Maman S. Mahayana
http://riaupos.co
KESADARAN penyair bahwa ia menempatkan puisi sebagai fakta, sebagai realitas, menuntutnya pada pemahaman, bahwa ia mesti berjuang membangun puisinya tidak sebatas mengangkat puisi alam atau mantra sebagaimana adanya, tidak juga sekadar menawarkan bentuk tranformasi atau usaha melakukan revitalisasi.
Dheni Kurnia menyadari benar pada kekuatan puisinya sebagai suara zamannya. Ia menawarkan puisi dengan mantra dan kekuatan puisi alam lesap ke dalam tubuh puisinya. Oleh karena itu, penghadiran suasana magis lewat repetisi dan kesamaan bunyi, berlaku ketika puisi itu menuntutnya demikian. Oleh karena itu juga, kita masih merasakan adanya bentuk puisi yang lazim atau bentuk lain dari sebuah puisi modern yang inspirasinya melayang jauh ke masa lalu.
Perhatikan puisi berikut ini:
MA’RIPAT
Hu
Alam, langit dan maya
Hu
Alam, karibam kus ripat maripat
Hu
Alam, bujang talang keritang
Kayalah!
Dengan kunyit kuning
Dengan sirih dan sadah
Dengan bubuk tempala halus
Dengan seratus empat puluh
Dengan mengoles setiap sudut
Dengan air bening dan nama ruh
Dengan keyakinan sembilan kali
Dengan mantra bukit tujuh puluh
Berkat lailahaillallah
Jadilah!
Airmolek, 90/12/16
Dheni Kurnia tampaknya menyadari benar pengalamannya yang kaya tentang mantra. Maka puisi itu pun dia kembangkan sebagai mantra atau mantra yang diolah menjadi puisi. Dengan begitu puisi—mantra atau mantra—puisi pada hakikatnya tidak berbeda, sebab penyair sejak awal memang menempatkan puisinya sebagai realitas. Dalam hal ini, tidak ada lagi jarak antara mantra yang sakral atau gaib dengan puisi yang profan dan real berada di sekeliling kita.
Sebagai teks, sebagiannya atau seluruhnya dapat dipahami atau tidak, tidaklah terlalu penting benar. Sebab, penyair memang hendak mengangkat mantra sebagai realitas, betapapun hakikatnya tidak lain adalah puisi. Meskipun begitu, ketika ia dihadirkan sebagai peristiwa, maka suasana magis sangat mungkin akan hadir begitu saja, lantaran pengulangan bunyi—apalagi jika diucapkan deras dan kencang—akan mengundang gema dan kegaiban. Repetisi yang muncul di awal, tengah atau akhir setiap larik adalah salah satu cara untuk menghadirkannya.
Puisi “Talang Perindu” juga tetap dengan mempertahankan pola repetisi. Yang menarik dari puisi ini adalah adanya hiponimi bambu. Dan proses kelahiran setiap bagian dari bambu itu selalu terjadi pada waktu dan suasana yang berbeda. Kita –lewat puisi itu—berhadapan dengan peristiwa alam yang memantul menjadi cermin kehidupan. Ada makna simbolik dalam proses kelahiran setiap bagian bambu itu yang mengingatkan kita pada bentuk bidal yang lebih arkaik.
Puisi yang cenderung mengungkapkan semacam biografi bambu ini menegaskan kedekatan penyair dengan alam. Repetisi dalam puisi itu tak lagi menyerupai mantra, tetapi lebih dekat pada puisi alam, sebagaimana leluhur kita menempatkan alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya sehari-hari. Bambu menjadi kisah besar tentang kehidupan manusia yang punya harapan. Maka bercerminlah pada bambu, maka manusia akan menemukan hakikat hidup yang punya harapan menatap masa depan. Puisi ini menjadi semacam mitos tentang dunia manusia yang menyatu dengan alam. Sebuah puisi yang sungguh unik dan khas, dan karena itu menjadi menarik tidak sekadar sebagai puisi an sich, melainkan sebagai penciptaan mitos baru.
TALANG PERINDU
Di panasnya cahaya tumbuhlah
betung
Di dinginnya embun lahirlah buluh
Di gelapnya dinihari terciptalah bilah
Di tingginya tebing kuatlah aur
Di diri bilah mengkajilah buluh
Di dalam buluh terpujilah bilah
Dari rebung membesarlah betung
Betung bertuah menjimat rebung
Tegar tebing membesar aur
Melengkung aur dibentuk tebing
Sakti tebing berjurai aur
Aur dan tebing melahirkan talang
Talang aku talang berhajat
Hajat aku karena talang
Talang perindu mengasih kau!
Airmolek, 20/1115
Demikianlah, puisi-puisi Dheni Kurnia dalam antologi ini pada akhirnya menegaskan bahwa penyair yang merasa menjadi bagian dari masyarakat Talang Mamak, terkesan hendak tampil sebagai ‘juru bicara’ tradisi kebudayaan masyarakat itu. Puisi-puisinya seperti merefleksikan pengalaman pribadinya sebagai individu, mewartakan pengalaman batin dan pengalaman spiritualnya sebagai pengalaman bersama yang mungkin pada suatu hari kelak, akan menjadi pengalaman kita juga.
Dalam konteks perpuisian Indonesia, puisi-puisi Dheni Kurni betul-betul lepas dari mainstream perpuisian kita yang cenderung berkutat pada problem aku lirik yang dikepung kehidupan masyarakat sekitarnya. Puisi-puisi Dheni Kurnia tegas hendak mengembalikan puisi alam yang lebih arkaik, sebagaimana yang dibangun para leluhur kita, tetapi sekaligus juga coba mengangkatnya sebagai bagian dari kehidupan kontemporer sebagai sebuah kenyataan kini. Dengan demikian, kredonya: “puisi sebagai realitas” dapat dimaknai, bahwa bangsa ini memang hidup dalam dua dunia: masa lalu yang jejaknya masih bertebaran di sana-sini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita, dan masa kini yang memerlukan mitos baru untuk meraih harapan masa depan.
Antologi puisi Olang 2 karya Dheni Kurnia ini ibarat mitos baru bagi masyarakat kita kini yang ke belakang, jejaknya masih dapat ditelusuri, dan ke depan, perlu membangun harapan yang tidak lagi semata-mata bertumpu pada kemajuan dunia modern, melainkan juga pada kearifan lokal dalam memperlakukan alam sebagai cermin kehidupan. Maka, puisi sebagai realitas, mesti dimaknai sebagai pesan untuk menghadapi realitas dunia modern kini, dan realitas masa lalu leluhur kita yang menyimpan kearifan dalam memperlakukan alam.
***
Keseluruhannya, antologi puisi Olang 2 (Pekanbaru: Palagan Press, 2016, xxiii + 265 halaman) karya Dheni Kurnia ini menghimpun 153 puisi yang disusun ke dalam tiga bagian berdasarkan tarikh perjalanan kepenyairannya, yaitu 2006—2016 (memuat 46 puisi), 1995—2005 (21 puisi), dan 1984—1994 (86 puisi). Pembagian itu boleh jadi dimaksudkan sebagai pembabakan belaka. Mungkin juga untuk menegaskan perjalanan kepenyairannya.
Dengan asumsi itu, kita melihat, bagian periode 1984—1994, sebagai masa awal kepenyairannya, ia masih sangat dekat dengan pusat kebudayaan masyarakat yang melahirkan dan membesarkannya. Kita dapat menganalogikan pembabakan periode kepenyairannya Dheni Kurnia dengan teori gelombang. Ketika sebuah kerikil dilemparkan ke tengah kolam yang tenang, gelombang besar akan terjadi melingkari plung-nya kerikil. Lalu, gelombang air itu semakin jauh dari pusat plung, semakin lemah pula gerak gelombangnya. Jadi, periode awal kepenyairan Dheni Kurnia, masih tampak sangat kental mitos mantra, elang, dan Talang Mamak.
Pada periode kedua (1995—2005), keterbetotan Dheni Kurnia pada ibu budayanya, tidak lagi sekencang periode pertama. Ada usaha untuk melesapkan keterbetotannya pada pengalaman empiris berhadapan dengan masyarakat dunia. Dan ia menemukan dunia lain, aura lain manakala ia masuk dalam lingkaran religiusitas. Ia menemukan roh yang menakjubkan sesuai dengan keyakinan keimanannya. Dengan kesadaran itulah, memancar semacam pertobatan, lahir hasrat untuk membangun semangat baru dengan jiwa yang telah diguyur aur religiusitas. Periksa saja puisi-puisinya yang bertajuk “Selepas Kelam.” (hlm. 144—149).
Pada periode ketiga (2006—2016) lahir sudah dunia baru yang dibangun oleh kekayaan pengalaman batinnya. Maka, warna-warni puisinya lebih beragam, lebih kaya, dan lebih reflektif. Meskipun demikian, mantra, elang, dan Talang Mamak yang telah melahirkan, membentuk dan membesarkannya, tetap nemplok sebagai panggilan kebudayaan tanah leluhur. Lalu, disadari pula, ada aura baru yang kini ikut mencengkeramnya: kesadaran religius, keberimanan pada perkara keimanan, dan pengalaman hidup kini yang menggoncangkan keduanya. Dalam konteks itulah, ia mesti tegas bersikap. Maka, dapat kita pahami, jika ia menyebutkan puisinya sebagai realitas. Dalam hal ini, kita dapat menempatkannya sebagai isyarat, bahwa yang dimaksud realitas di sana tidak lain adalah pengalaman empiris penyair ketika penghormatan pada ibu budaya dan keberimananya berada dalam kepungan kebudayaan masyarakat yang lebih berbagai.
Gelombang pada pusat kebudayaan leluhur, memang semakin menjauh. Tetapi, kesadaran baru menuntutnya untuk menengok kembali kebudayaan tanah leluhur. Itulah yang terjadi pada puisi-puisi Dheni Kurnia periode ketiga: 2006—2016.
***
Perlu dicamkan, kebudayaan masyarakat itu punya jiwa, punya roh. Maka roh kebudayaan itu, tanpa atau dengan kesadarannya sebagai penyair, menggayuti dan mencolot begitu saja, lesap dalam tubuh puisi-puisinya. Oleh karena itu, puisi-puisi Dheni Kurnia juga seperti merefleksikan keyakinan spiritualnya yang menjelma laksana elan baru, spirit baru tentang mantra, elang, dan Talang Mamak yang melahirkannya. Dengan begitu, ia mesti menerima kenyataan, bahwa kini ia berhadapan dengan fakta sosial yang kerap menggoncangkan pengalaman masa lalunya. Meskipun demikian, ia juga tidak dapat begitu saja mengabaikan roh mantra dan simbol elang yang seolah-olah terus merayap mengikuti perjalanan hidupnya. Jadilah batas realitas masa lalu dan masa kini berkelindan saling menerkam-mencengkeram. Panggilan roh kebudayaan masa lalu dan realitas yang dihadapinya kini mewujud bukan sebagai hibrida, melainkan sebagai elan penyair dalam kehidupan berkebudayaan.
Mantra yang sejak sekian lama meresap ke dalam denyut batinnya, merayapi aliran darahnya, dan bertahta dalam benaknya itu, tiba-tiba seperti diterjang fakta sosial yang kini menuntutnya mesti bertindak rasional. Lalu, olang—elang, yang telah begitu kuat mendekam-mengeram dalam ingatan masa lalunya, tiada henti, terus saja melayang-layang tak mudah dienyahkan. Ia hidup bergentayangan sebagai representasi panggilan sosio-kultural yang telah membentuk dan membesarkannya. Di situlah, puisi-puisi Dheni Kurnia seperti menggambarkan ketidakberdayaannya melepaskan mantra dan elang menjadi simbol ingatan yang tak pernah punah dan tak akan lekang diterjang zaman, dan sekaligus sebagai penghormatan pada leluhur masyarakatnya: Talang Mamak.
Periksalah puisi-puisinya periode 2006—2016. Perjalanan dan pengelanaannya di belahan dunia mana pun, kerap dibayang-bayangi sang olang. Maka, ketakjubannya pada Menara Eiffel, justru malah menghadirkan pengagungan pada sang elang yang terbang melebihi ketinggian menara itu (“Elang di Pucuk Eiffel”), seperti dikatakannya: Ketinggian eiffel tak ada artinya bagi elang/ hanya serengkuh detik dia ada di puncaknya/Eiffel bagi elang hanya sebuah mainan// Atau, seekor burung bagiku hanyalah elang… elang adalah jelmaan talang mamak. Dengan demikian, bagi Dheni Kurnia, persoalan apa pun yang dihadapinya yang kemudian diangkatnya menjadi tema puisi-puisinya, tidak dapat begitu saja meninggalkan mantra, elang, dan Talang Mamak, yang hadir sebagai representasi kultur leluhur.
Cermatilah puisinya yang berjudul “Elang di Pucuk Eiffel” (hlm. 4) dan bandingkanlah dengan salah satu puisinya periode 1984—1994 yang judulnya diawali dengan “Qodam Elang” (hlm. 153—204). Betapa simbol sang elang mengeram dan melekat dalam jiwa-pikirannya. Ia menyatu, membentangkan spirit, menggelontorkan harapan yang bersumber dan berpijak pada masa lalu, pada simbolisasi elang, pada roh kebudayaan tanah leluhur.
QODAM ELANG
Bissmillah, kata pertama
Arrahman, membuka sekat
Arrahim, melindung kasih
Dari elang terbang tinggi,
lahirlah qodam
Dari elang menyifat badan,
suluklah qodam
Dari elang membuka hati,
bangunlah qodam
Dari elang menetak jantung,
jadilah qodam
Di tubuh elang bermukim qodam
Di qodam elang, menyifat tubuh
Pekanbaru, 90.12/16
Berikut ini saya kutip dua bait terakhir puisinya yang berjudul “Elang di Pucuk Eiffel”.
Di bukit tiga puluh rebung
menjadi menu utama
Tapi bagi alain ducasse, chef
ducasse, rebung dicampur nira
Airnya menyatu dengan warna anggur
Alunan tradisi talang mamak,
rentak bulian diubah ulang
Menjadi irama gypsi dan alunan
lembut eidith piaf
Sambil memandang kota paris
di ketinggian, rentak menyentak
Membuat kaki terpaku berlama-lama
Bagi elang, eiffil bukanlah apa-apa
Tak setinggi terbang ke arasy
Tak sebanding dengan desir angin
di belilas
Lembut seumpama simfoni,
orkestra arus di air molek
Tapi ketika elang di pucuk eiffil
Dia melihat tuhan tak adil
untuk negerinya
Elang pulang dengan tanda tanya!
Paris, 20.12/16
Kiranya jelas, bagaimana posisi elang dan kehadirannya dalam puisi-puisi Dheni Kurnia. Ia menempatkannya sebagai akar dan sumber yang menggerakkan cara berpikir dan bersikap dalam memandang kehidupan kini. Ia tidak berkhianat pada tradisi, tidak melupa dan mendelete peran leluhur sebagai penyair alam. Ia justru menghidupkannya kembali, menghadirkan model transformasi, menjelma elan spiritualitas, yang lalu mencelat begitu saja, nemplok-melekat dalam larik-larik puisinya. Dengan demikian, Dheni Kurnia telah secara sadar ‘belajar’ pada kepenyairan leluhur yang memperlakukan alam dan kehidupan dunia gaib sebagai perilaku dalam membangun kebudayaan. Itulah sikap kepenyairannya.
Semangatnya sejalan dengan sikap Seniman Gelanggang, sebagaimana yang tersurat pada Surat Kepercayaan Gelanggang, “... tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. …” yang bagi sastrawan Angkatan 70-an, seperti yang dirumuskan Abdul Hadi WM, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber.” Disadari atau tidak, Dheni Kurnia telah mengejawantahkannya dalam puisi-puisi yang disebutnya: “Mantra Puisi”!
Tema menjadi tidak penting lagi bagi Dheni Kurnia. Sebab, fenomena apa pun yang dihadapinya atau persoalan apa pun yang diangkatnya, mantra, elang, dan Talang Mamak, lindap dan lesap dalam puisi-puisinya. Maka, ingatan pada peristiwa budaya masa lalu, pada para leluhurnya sebagai penyair alam, disikapi Dheni Kurnia sebagai usahanya menjelmakan mitos baru. Sebuah sikap kepenyairan yang tegas tak hendak berkhianat pada ibu-budayanya.***
Bojonggede, 18 Juni 2016
http://riaupos.co/3129-spesial-puisi-alam-membangun-mitos-baru-(bagian-kedua).html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar