Selasa, 12 September 2017

Puisi Alam: Membangun Mitos Baru (Bagian Kedua)

Maman S. Mahayana
http://riaupos.co

KESADARAN  penyair bahwa ia menempatkan puisi sebagai fakta, sebagai realitas, menuntutnya pada pemahaman, bahwa ia mesti berjuang membangun puisinya tidak sebatas mengangkat puisi alam atau mantra sebagaimana adanya, tidak juga sekadar menawarkan bentuk tranformasi atau usaha melakukan revitalisasi.
Dheni Kurnia menyadari benar pada kekuatan puisinya sebagai suara zamannya. Ia menawarkan puisi dengan mantra dan kekuatan puisi alam lesap ke dalam tubuh puisinya. Oleh karena itu, penghadiran suasana magis lewat repetisi dan kesamaan bunyi, berlaku ketika puisi itu menuntutnya demikian. Oleh karena itu juga, kita masih merasakan adanya bentuk puisi yang lazim atau bentuk lain dari sebuah puisi modern yang inspirasinya melayang jauh ke masa lalu.

Perhatikan puisi berikut ini:

MA’RIPAT

Hu
Alam, langit dan maya
Hu
Alam, karibam kus ripat maripat
Hu
Alam, bujang talang keritang
Kayalah!

Dengan kunyit kuning
Dengan sirih dan sadah
Dengan bubuk tempala halus
Dengan seratus empat puluh
Dengan mengoles setiap sudut
Dengan air bening dan nama ruh
Dengan keyakinan sembilan kali
Dengan mantra bukit tujuh puluh
Berkat lailahaillallah

Jadilah!

Airmolek, 90/12/16

Dheni Kurnia tampaknya menyadari benar pengalamannya yang kaya tentang mantra.  Maka puisi itu pun dia kembangkan sebagai mantra atau mantra yang diolah menjadi puisi. Dengan begitu puisi—mantra atau mantra—puisi pada hakikatnya tidak berbeda, sebab penyair sejak awal memang menempatkan puisinya sebagai realitas. Dalam hal ini, tidak ada lagi jarak antara mantra yang sakral atau gaib dengan puisi yang profan dan real berada di sekeliling kita.

Sebagai teks, sebagiannya atau seluruhnya dapat dipahami atau tidak, tidaklah terlalu penting benar. Sebab, penyair memang hendak mengangkat mantra sebagai realitas, betapapun hakikatnya tidak lain adalah puisi. Meskipun begitu, ketika ia dihadirkan sebagai peristiwa, maka suasana magis sangat mungkin akan hadir begitu saja, lantaran pengulangan bunyi—apalagi jika diucapkan deras dan kencang—akan mengundang gema dan kegaiban. Repetisi yang muncul di awal, tengah atau akhir setiap larik adalah salah satu cara untuk menghadirkannya.

Puisi “Talang Perindu” juga tetap dengan mempertahankan pola repetisi. Yang menarik dari puisi ini adalah adanya hiponimi bambu. Dan proses kelahiran setiap bagian dari bambu itu selalu terjadi pada waktu dan suasana yang berbeda. Kita –lewat puisi itu—berhadapan dengan peristiwa alam yang memantul menjadi cermin kehidupan. Ada makna simbolik dalam proses kelahiran setiap bagian bambu itu yang mengingatkan kita pada bentuk bidal yang lebih arkaik.

Puisi yang cenderung mengungkapkan semacam biografi bambu ini menegaskan kedekatan penyair dengan alam. Repetisi dalam puisi itu tak lagi menyerupai mantra, tetapi lebih dekat pada puisi alam, sebagaimana leluhur kita menempatkan alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupannya sehari-hari. Bambu menjadi kisah besar tentang kehidupan manusia yang punya harapan. Maka bercerminlah pada bambu, maka manusia akan menemukan hakikat hidup yang punya harapan menatap masa depan. Puisi ini menjadi semacam mitos tentang dunia manusia yang menyatu dengan alam. Sebuah puisi yang sungguh unik dan khas, dan karena itu menjadi menarik tidak sekadar sebagai puisi an sich, melainkan sebagai penciptaan mitos baru.

TALANG PERINDU

Di panasnya cahaya tumbuhlah
betung
Di dinginnya embun lahirlah buluh
Di gelapnya dinihari terciptalah bilah
Di tingginya tebing kuatlah aur

Di diri bilah mengkajilah buluh
Di dalam buluh terpujilah bilah
Dari rebung membesarlah betung
Betung bertuah menjimat rebung

Tegar tebing membesar aur
Melengkung aur dibentuk tebing
Sakti tebing berjurai aur
Aur dan tebing melahirkan talang

Talang aku talang berhajat
Hajat aku karena talang
Talang perindu mengasih kau!

Airmolek, 20/1115

Demikianlah, puisi-puisi Dheni Kurnia dalam antologi ini pada akhirnya menegaskan bahwa penyair yang merasa menjadi bagian dari masyarakat Talang Mamak, terkesan hendak tampil sebagai ‘juru bicara’ tradisi kebudayaan masyarakat itu. Puisi-puisinya seperti merefleksikan pengalaman pribadinya sebagai individu, mewartakan pengalaman batin dan pengalaman spiritualnya sebagai pengalaman bersama yang mungkin pada suatu hari kelak, akan menjadi pengalaman kita juga.

Dalam konteks perpuisian Indonesia, puisi-puisi Dheni Kurni betul-betul lepas dari mainstream perpuisian kita yang cenderung berkutat pada problem aku lirik yang dikepung kehidupan masyarakat sekitarnya. Puisi-puisi Dheni Kurnia tegas hendak mengembalikan puisi alam yang lebih arkaik, sebagaimana yang dibangun para leluhur kita, tetapi sekaligus juga coba mengangkatnya sebagai bagian dari kehidupan kontemporer sebagai sebuah kenyataan kini. Dengan demikian, kredonya: “puisi sebagai realitas” dapat dimaknai, bahwa bangsa ini memang hidup dalam dua dunia: masa lalu yang jejaknya masih bertebaran di sana-sini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita, dan masa kini yang memerlukan mitos baru untuk meraih harapan masa depan.

Antologi puisi Olang 2 karya Dheni Kurnia ini ibarat mitos baru bagi masyarakat kita kini yang ke belakang, jejaknya masih dapat ditelusuri, dan ke depan, perlu membangun harapan yang tidak lagi semata-mata bertumpu pada kemajuan dunia modern, melainkan juga pada kearifan lokal dalam memperlakukan alam sebagai cermin kehidupan. Maka, puisi sebagai realitas, mesti dimaknai sebagai pesan untuk menghadapi realitas dunia modern kini, dan realitas masa lalu leluhur kita yang menyimpan kearifan dalam memperlakukan alam.
***

Keseluruhannya, antologi puisi Olang 2 (Pekanbaru: Palagan Press, 2016, xxiii + 265 halaman) karya Dheni Kurnia ini menghimpun 153 puisi yang disusun ke dalam tiga bagian berdasarkan tarikh perjalanan kepenyairannya, yaitu 2006—2016 (memuat 46 puisi), 1995—2005 (21 puisi), dan 1984—1994 (86 puisi). Pembagian itu boleh jadi dimaksudkan sebagai pembabakan belaka. Mungkin juga untuk menegaskan perjalanan kepenyairannya.

Dengan asumsi itu, kita melihat, bagian periode 1984—1994, sebagai masa awal kepenyairannya, ia masih sangat dekat dengan pusat kebudayaan masyarakat yang melahirkan dan membesarkannya. Kita dapat menganalogikan pembabakan periode kepenyairannya Dheni Kurnia dengan teori gelombang. Ketika sebuah kerikil dilemparkan ke tengah kolam yang tenang, gelombang besar akan terjadi melingkari plung-nya kerikil. Lalu, gelombang air itu semakin jauh dari pusat plung, semakin lemah pula gerak gelombangnya. Jadi, periode awal kepenyairan Dheni Kurnia, masih tampak sangat kental mitos mantra, elang, dan Talang Mamak.

Pada periode kedua (1995—2005), keterbetotan Dheni Kurnia pada ibu budayanya, tidak lagi sekencang periode pertama. Ada usaha untuk melesapkan keterbetotannya pada pengalaman empiris berhadapan dengan masyarakat dunia. Dan ia menemukan dunia lain, aura lain manakala ia masuk dalam lingkaran religiusitas. Ia menemukan roh yang menakjubkan sesuai dengan keyakinan keimanannya. Dengan kesadaran itulah, memancar semacam pertobatan, lahir hasrat untuk membangun semangat baru dengan jiwa yang telah diguyur aur religiusitas. Periksa saja puisi-puisinya yang bertajuk “Selepas Kelam.” (hlm. 144—149).

Pada periode ketiga (2006—2016) lahir sudah dunia baru yang dibangun oleh kekayaan pengalaman batinnya. Maka, warna-warni puisinya lebih beragam, lebih kaya, dan lebih reflektif. Meskipun demikian, mantra, elang, dan Talang Mamak yang telah melahirkan, membentuk dan membesarkannya, tetap nemplok sebagai panggilan kebudayaan tanah leluhur. Lalu, disadari pula, ada aura baru yang kini ikut mencengkeramnya: kesadaran religius, keberimanan pada perkara keimanan, dan pengalaman hidup kini yang menggoncangkan keduanya. Dalam konteks itulah, ia mesti tegas bersikap. Maka, dapat kita pahami, jika ia menyebutkan puisinya sebagai realitas. Dalam hal ini, kita dapat menempatkannya sebagai isyarat, bahwa yang dimaksud realitas di sana tidak lain adalah pengalaman empiris penyair ketika penghormatan pada ibu budaya dan keberimananya berada dalam kepungan kebudayaan masyarakat yang lebih berbagai.

Gelombang pada pusat kebudayaan leluhur, memang semakin menjauh. Tetapi, kesadaran baru menuntutnya untuk menengok kembali kebudayaan tanah leluhur. Itulah yang terjadi pada puisi-puisi Dheni Kurnia periode ketiga: 2006—2016.
***

Perlu dicamkan, kebudayaan masyarakat itu punya jiwa, punya roh. Maka roh kebudayaan itu, tanpa atau dengan kesadarannya sebagai penyair, menggayuti dan mencolot begitu saja, lesap dalam tubuh puisi-puisinya. Oleh karena itu, puisi-puisi Dheni Kurnia juga seperti merefleksikan keyakinan spiritualnya yang menjelma laksana elan baru, spirit baru tentang mantra, elang, dan Talang Mamak yang melahirkannya. Dengan begitu, ia mesti menerima kenyataan, bahwa kini ia berhadapan dengan fakta sosial yang kerap menggoncangkan pengalaman masa lalunya. Meskipun demikian, ia juga tidak dapat begitu saja mengabaikan roh mantra dan simbol elang yang seolah-olah terus merayap mengikuti perjalanan hidupnya. Jadilah batas realitas masa lalu dan masa kini berkelindan saling menerkam-mencengkeram. Panggilan roh kebudayaan masa lalu dan realitas yang dihadapinya kini mewujud bukan sebagai hibrida, melainkan sebagai elan penyair dalam kehidupan berkebudayaan.

Mantra yang sejak sekian lama meresap ke dalam denyut batinnya, merayapi aliran darahnya, dan bertahta dalam benaknya itu, tiba-tiba seperti diterjang fakta sosial yang kini menuntutnya mesti bertindak rasional. Lalu, olang—elang, yang telah begitu kuat mendekam-mengeram dalam ingatan masa lalunya, tiada henti, terus saja melayang-layang tak mudah dienyahkan. Ia hidup bergentayangan sebagai representasi panggilan sosio-kultural yang telah membentuk dan membesarkannya. Di situlah, puisi-puisi Dheni Kurnia seperti menggambarkan ketidakberdayaannya melepaskan mantra dan elang menjadi simbol ingatan yang tak pernah punah dan tak akan lekang diterjang zaman, dan sekaligus sebagai penghormatan pada leluhur masyarakatnya: Talang Mamak.

Periksalah puisi-puisinya periode 2006—2016. Perjalanan dan pengelanaannya di belahan dunia mana pun, kerap dibayang-bayangi sang olang. Maka, ketakjubannya pada Menara Eiffel, justru malah menghadirkan pengagungan pada sang elang yang terbang melebihi ketinggian menara itu (“Elang di Pucuk Eiffel”), seperti dikatakannya: Ketinggian eiffel tak ada artinya bagi elang/ hanya serengkuh detik dia ada di puncaknya/Eiffel bagi elang hanya sebuah mainan// Atau, seekor burung bagiku hanyalah elang… elang adalah jelmaan talang mamak. Dengan demikian, bagi Dheni Kurnia, persoalan apa pun yang dihadapinya yang kemudian diangkatnya menjadi tema puisi-puisinya, tidak dapat begitu saja meninggalkan mantra, elang, dan Talang Mamak, yang hadir sebagai representasi kultur leluhur.

Cermatilah puisinya yang berjudul “Elang di Pucuk Eiffel” (hlm. 4) dan bandingkanlah dengan salah satu puisinya periode 1984—1994 yang judulnya diawali dengan “Qodam Elang” (hlm. 153—204). Betapa simbol sang elang mengeram dan melekat dalam jiwa-pikirannya. Ia menyatu, membentangkan spirit, menggelontorkan harapan yang bersumber dan berpijak pada masa lalu, pada simbolisasi elang, pada roh kebudayaan tanah leluhur.

QODAM ELANG

Bissmillah, kata pertama
Arrahman, membuka sekat
Arrahim, melindung kasih
Dari elang terbang tinggi,
lahirlah qodam
Dari elang menyifat badan,
suluklah qodam
Dari elang membuka hati,
bangunlah qodam
Dari elang menetak jantung,
jadilah qodam
Di tubuh elang bermukim qodam
Di qodam elang, menyifat tubuh

Pekanbaru, 90.12/16

Berikut ini saya kutip dua bait terakhir puisinya yang berjudul “Elang di Pucuk Eiffel”.

Di bukit tiga puluh rebung
menjadi menu utama
Tapi bagi alain ducasse, chef
ducasse, rebung dicampur nira
Airnya menyatu dengan warna anggur
Alunan tradisi talang mamak,
rentak bulian diubah ulang
Menjadi irama gypsi dan alunan
lembut eidith piaf
Sambil memandang kota paris
di ketinggian, rentak menyentak
Membuat kaki terpaku berlama-lama

Bagi elang, eiffil bukanlah apa-apa
Tak setinggi terbang ke arasy
Tak sebanding dengan desir angin
di belilas
Lembut seumpama simfoni,
orkestra arus di air molek
Tapi ketika elang di pucuk eiffil
Dia melihat tuhan tak adil
untuk negerinya
Elang pulang dengan tanda tanya!

Paris, 20.12/16

Kiranya jelas, bagaimana posisi elang dan kehadirannya dalam puisi-puisi Dheni Kurnia. Ia menempatkannya sebagai akar dan sumber yang menggerakkan cara berpikir dan bersikap dalam memandang kehidupan kini. Ia tidak berkhianat pada tradisi, tidak melupa dan mendelete peran leluhur sebagai penyair alam. Ia justru menghidupkannya kembali, menghadirkan model transformasi, menjelma elan spiritualitas, yang lalu mencelat begitu saja, nemplok-melekat dalam larik-larik puisinya. Dengan demikian, Dheni Kurnia telah secara sadar ‘belajar’ pada kepenyairan leluhur yang memperlakukan alam dan kehidupan dunia gaib sebagai perilaku dalam membangun kebudayaan. Itulah sikap kepenyairannya.

Semangatnya sejalan dengan sikap Seniman Gelanggang, sebagaimana yang tersurat pada Surat Kepercayaan Gelanggang, “... tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. …” yang bagi sastrawan Angkatan 70-an, seperti yang dirumuskan Abdul Hadi WM, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber.” Disadari atau tidak, Dheni Kurnia telah mengejawantahkannya dalam puisi-puisi yang disebutnya: “Mantra Puisi”!

Tema menjadi tidak penting lagi bagi Dheni Kurnia. Sebab, fenomena apa pun yang dihadapinya atau persoalan apa pun yang diangkatnya, mantra, elang, dan Talang Mamak, lindap dan lesap dalam puisi-puisinya. Maka, ingatan pada peristiwa budaya masa lalu, pada para leluhurnya sebagai penyair alam, disikapi Dheni Kurnia sebagai usahanya menjelmakan mitos baru. Sebuah sikap kepenyairan yang tegas tak hendak berkhianat pada ibu-budayanya.***

Bojonggede, 18 Juni 2016
http://riaupos.co/3129-spesial-puisi-alam-membangun-mitos-baru-(bagian-kedua).html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae