Maman S Mahayana
http://riaupos.co
JAGAT Nusantara adalah kisah eksotisme manusia alam. Kebersatuan manusia Nusantara dengan alam itulah yang lalu menghasilkan kebudayaan, melahirkan kesenian, menciptakan puisi! Sebelum bangsa-bangsa asing datang ke Nusantara memperkenalkan kebudayaan mereka dengan segala sistem kepercayaannya,
seperti Hindu, Buddha, dan Islam, lalu menyusul Kristen, dan di antara itu: konfusianisme, penduduk etnik di pelosok Nusantara ini sudah hidup semarak dengan sistem kepercayaannya sendiri. Dan puisi telah mereka lahirkan berdasarkan sistem kepercayaan itu sebagai bentuk penghormatan pada alam dan pengagungan pada sesuatu yang dianggap sebagai penghuni atau penguasa alam.
Kedatangan bangsa-bangsa asing adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Maka, segala kebudayaan atau apa pun yang datang dari luar, diterima begitu saja, tanpa resistensi ketika semuanya disampaikan secara baik-baik. Tetapi, kepercayaan yang sudah ada dan menjadi denyut kehidupan keseharian mereka, tetap terpelihara, dan tak hendak dicampakkan begitu saja. Atau, setidak-tidaknya, mereka berusaha mempertahankannya, meski tak terhindarkan lahir sebuah hibrida lewat proses akulturasi dan inkulturasi.
Begitulah, bangsa yang mendiami wilayah Nusantara ini, sudah terbiasa hidup dengan segala keberagaman, lantaran dalam dirinya sudah mendekam naluri budaya yang juga beragam. Heterogenitas, bagi masyarakat Nusantara, adalah keniscayaan, dan sekaligusnya juga seperti sudah sejak awalnya memang begitu: take for granted!
Lihatlah, bagaimana animisme, Hindu, dan Islam bersanding baik-baik saja, seperti yang kerap kita lihat pada ziarah kubur menjelang ramadhan atau seusai lebaran. Bagaimana pula dua “tuhan” disimbolkan pada dzat yang bernama Dewatalla –dewa dan Allahtaalla—. Dia tinggal di swargaloka bersama para bidadari yang kerap turun ke bumi. Dan para bidadari itu sengaja turun ke bumi sekadar hendak merasakan keindahan alam. Mereka iri pada manusia karena manusia, selain leluasa menikmati keindahan jagatnya, juga dapat merasakannya langsung benda-benda alam. Merasakan hangat matahari atau bisa bebas berkecimpung mandi di sungai. Maka, para bidadari pun coba pula mandi, menikmati dan merasakan langsung dinginnya sungai atau air telaga. Saat itulah alam akan memberinya isyarat kepada manusia. Terhamparlah di kaki langit garis melengkung warna-warni yang lalu disebutnya: pelangi! Itulah pertanda alam.
***
Puisi paling tua di Nusantara ini lahir dari ekspresi mereka hidup bersama alam. Mereka belajar pada tanda-tanda alam, dan alam mengajari mereka menciptakan bahasa yang penuh analogi, metafora, personifikasi, simbolisme, dan entah apa lagi. Jadi, jangan salah, leluhur kita sejak lama sudah menjadi penyair alam. Fenomena alam bagi mereka adalah isyarat kehidupan. Maka, perilaku mereka dalam menata kehidupan sosial, tak lepas dari alam sebagai cermin, sebagai pantulan, sebagai representasi penguasa alam memberi penyadaran pada manusia. Dari sanalah penghormatan, ketakjuban, dan sikap hidup wujud dalam bahasa manusia dengan alam sebagai simbolnya.
Majas analogi, metafora, personifikasi, atau simbolisme dalam bahasa manusia, tidak lain merupakan ekspresi mereka, yang –menurut manusia modern sebagai bahasa atau ungkapan puitik—diperlakukan sebagai substansi puisi. Bukankah puisi dibangun lewat kekuatan gaya bahasa semacam itu. Bukankah puisi menjadi lebih hidup lantaran di sana ada ‘penyelewengean’ bahasa denotatif yang berubah maknanya menjadi konotatif.
Siapakah dari leluhur kita yang mula sekali memperkenalkan metafora: “air tenang menghanyutkan”, “bagai air di pembuluh,” atau personifikasi ilmu padi: makin berisi, makin merunduk? Untuk mengatakan sisi negatif watak manusia, tak perlu pula caci-maki dan sumpah seranah disemburkan. Cukuplah dikatakan: “musang berbulu domba,” atau “ada udang di balik batu,” “pagar makan tanaman,” atau “kacang lupa kulitnya,” dan seterusnya.
Konon, pola persajakan seperti itulah yang disebut bidal. Ada pula yang menyebutnya, peribahasa. Itulah model bahasa puitik, seperti juga mantra, yang paling arkaik. Maka, jika kita mencermati bidal, atau peribahasa, lebih dari separohnya, dapat dipastikan di dalamnya ada pesan-pesan yang kerap berkaitan dengan benda-benda alam.
Peribahasa atau bidal yang dilahirkan masyarakat berbagai etnik di Nusantara itu tidak lain merupakan representasi kedekatan masyarakat dengan alam. Sebutlah misalnya, peribahasa, bagai katak dalam tempurung atau seperti ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Bukankah ungkapan itu sebagai ekspresi metaforis, maknanya tidak ada kaitannya dengan katak dan padi.
Ada pula contoh lain yang bermakna negatif yang berkaitan dengan kehidupan sosial, seperti, antara lain, musuh dalam selimut, padi ditanam ilalang yang tumbuh, atau si pungguk merindukan bulan. Bagaimana pengkhianat disebut musuh dalam selimut, orang yang tak tahu berterima kasih dikatakan sebagai pagar makan tanaman atau padi ditanam ilalang yang tumbuh, dan orang yang mengharapkan sesuatu yang tak mungkin dapat diraihnya dikatakan pungguk merindukan bulan atau katak hendak menjadi lembu? Bukankah semua itu merupakan ekspresi metaforis? Mengatakan begini yang maksudnya begitu?
Di kalangan filsuf di Yunani sono, ada ungkapan sindrom buah apel—ada pula yang menyebutnya sindrom apel masam. Ungkapan itu ditujukan kepada seseorang yang gagal atau tidak dapat meraih sesuatu, lalu dikatakanlah, bahwa sesuatu itu tidak baik, jelek, dan seterusnya yang serbanegatif. Kini kita bertanya: siapakah orang Melayu yang pertama sekali memperkenalkan peribahasa: “Jangan karena tak mampu menjuluk, mangga manis dikatakan busuk.” Bukankah sindrom buah apel artinya sama dengan sindrom buah mangga? Itulah kekhasan sebuah peribahasa. Selalu ada warna lokal di sana, meski maknanya bisa berlaku universal.
Penciptaan bahasa seperti itu tidak lain, lantaran alam kerap menjadi cermin, menjadi bahan pertimbangan dalam perilaku sosial. Maka, kata-kata umpatan, caci-maki, dan sumpah seranah, sesungguhnya tidak perlu benar disampaikan secara verbalistik, sebab dalam hubungan manusia dengan alam, manusia sudah memanfaatkannya dengan sangat bijaksana. Bukankah buaya darat, muka badak, macan ompong, mulut harimau, lidah ular, otak udang—otak kerbau, kupu-kupu malam atau cinta monyet dan seterusnya, tidak lain adalah bentuk eufimisme untuk menyebut seseorang yang berperilaku negatif. Begitulah para binatang menjadi simbol. Maka, keburukan manusia cukup bercermin pada perilaku para binatang itu.
Selain para binatang, benda-benda alam pun dimanfaatkan untuk ‘bercermin’. Lahirlah benda-benda alam yang dilekatkan pada tubuh manusia. Sebut saja, misalnya, kepala batu, mulut jamban, lidah api, dan seterusnya. Itulah kreativitas manusia memanfaatkan alam untuk menciptakan bahasa dalam kehidupan sosial.
***
Kreativitas manusia tidak cuma berhenti sampai di sana. Di balik alam, bersembunyi makhluk lain yang mukim di sana. Bahkan juga yang mungkin menjadi penguasa alam. Kadang kala alam yang tidak ramah membuat manusia merasa perlu melakukan bujuk rayu atau meminta pertolongan makhluk lain untuk meredakan kemarahan alam. Dari sanalah muncul puja-puji, bujuk rayu, doa pengharapan dan keselamatan atau sekadar say hello hendak menyapa makhluk penghuni atau penguasa alam.
Segala puja-puji dan bujuk rayu itu tidak lain adalah ekspresi komunikasi antara manusia dan makhluk gaib. Itulah sebabnya, kita memahami, bahwa peristiwa komunikasi itu bukan dalam konteks hubungan sosial, melainkan hubungan dengan makhluk lain yang punya bahasanya sendiri, dunianya sendiri. Mengingat komunikasi itu ditujukan bagi makhluk gaib, maka hanya mereka saja yang memahami puja-puji dan bujuk rayu itu. Di dalam komunikasi seperti itu, peristiwa menjadi lebih penting daripada makna, suasana yang dihadirkan lebih penting daripada pesan. Demikian juga, kata-kata atau kalimat yang jumpalitan dan tak dapat ditangkap maknanya, tak menjadi soal, sebab yang penting di sana adalah penghadiran suasana magis. Di situlah pengulangan bunyi yang sama atau kata yang sebunyi atau repetisi, memainkan peranan agar tercipta jalinan komunikasi antara manusia dan makhluk gaib yang entah itu.
Perhatikanlah teks di bawah ini:
Deungdeuleu sima deuleu
Deungdeuleu malik katineung
Nénjo aing sia ceurik
Ceurik sia inget ka aing
Nya aing nu boga asihan neuleu.
Lihatlah-lihat sihir lihatlah
lihatlah-lihat berbalik rindu
pandang aku, kau menangis
tangismu ingat aku
karena akulah pemilik pengasih pandang
Itulah doa kemat atau asihan (mantra) dalam bahasa Sunda yang dalam bahasa etnik lain, juga dapat dengan mudah kita jumpai. Alam, jagat supranatural, kehidupan dunia gaib, kisah-kisah mitis jagat tidak kasat mata, telah mengajari leluhur kita menciptakan metafora, analogi, personifikasi, yang segalanya itu tanpa disadarinya, telah memperkaya bahasa, menghadirkan doa puja-puji, melantunkan puisi!
***
Apa kaitannya uraian panjang lebar tentang penyair alam dan doa puja-puji yang menjelma mantra dengan antologi puisi yang berjudul Olang 2 karya Dheni Kurnia? Di sinilah kehadiran antologi puisi Olang 2 karya Dheni Kurnia dalam peta perpuisian Indonesia menjadi khas, sangat unik, dan tentu saja penting. Pengalaman Dheni sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Talang Mamak yang tinggal di wilayah Bukit Tigapuluh, Indragiri Hulu, Riau, telah menjadikan puisi-puisinya sebagai ekspresi gebalau batin dan sekaligus juga semacam gerak spiritualitas yang tidak dapat dibendungnya lagi untuk berkabar tentang dunia Talang Mamak. Sekian lama ia mengerami pengalaman hidup dengan masyarakat Talang Mamak, memendamnya lama, tiba-tiba seperti mencolot begitu saja. Maka, dapat dipahami jika penyair menempatkan puisinya sebagai realitas, sebagai fakta.
Jika menelusuri bagaimana para leluhur Nusantara ini menciptakan puisi, menjadikan dirinya sebagai penyair alam, maka Dheni Kurnia seperti begitu saja memadukan puisi alam dengan mantra; atau sebaliknya. Tentu saja di dalamnya, termasuk tradisi masyarakat. Lalu, dengan kesadaran sebagai penyair kotemporer, ia merasa perlu mengemasnya tidak sebagai mantra atau doa-doa an sich, melainkan sebagai puisi yang di sana, mantra dan jampi-jampi, menjadi ruh atau menjadi tubuh puisi; atau mantra dan jampi-jampi, lesap menjadi puisi kontemporer yang jejaknya dapat ditelusuri ke masa lalu. Di sana alam pun menjadi bagian penting yang tidak dapat diabaikannya begitu saja. Dengan demikian, tubuh puisi-puisi Dheni Kurnia, tidak lagi perlu berada dalam permainan tipografi atau penyusunan bait-bait, melainkan pada tuntutan puisi itu sendiri membangun tema melalui repetisi, persamaan bunyi pada larik atau antarlarik.
Kini kita coba membandingkan mantra Sunda tadi dengan dua bait terakhir puisi Dheni Kurnia yang berjudul “Bulian.”
Keramat menangkap ringgit
Hakikat adalah taburan ruh
Menghujat pelupuh dan gendam
Untuk mengisi ruang alam raya
Melalui gentong air biasa
Takluklah semua jin dan manusia
Adalah marah menjadi kenang
Adalah dendam menjadi rindu
Adalah hilang balek ke rumah
Adalah piutang takkan hilang
Adalah sayang tumpah ruah
Adalah rezeki bertambah tambah
Berdasarkan judulnya saja: “Bunian,” puisi ini mengisyaratkan pesan tentang peristiwa atau perkara atau dunia yang berkaitan dengan kehidupan makhluk halus: jin, siluman, hantu, tuyul, dan seterusnya. Mantra Sunda tadi adalah doa pengasihan, jampi-jampi pesona atau pengemat agar seseorang jatuh cinta kepada si pembaca mantra itu. Di Nusantara ini, begitu banyak mantra sejenis itu. Hampir semua etnik punya mantra demikian.
Nah, kini kita kembali pada puisi Dheni Kurnia. Perhatikan pesan dan cara membangun tubuh puisi itu. Pesannya seperti seseorang minta rezeki. Mungkin betul. Jadi, ada pula mantra minta rezeki dengan melibatkan peranan para makhluk halus, seperti seseorang yang memelihara tuyul, kecik, dan sebangsanya. Berdasarkan logika formal, pesan dalam puisi itu tampak seperti paradoksal. Bagaimana mungkin makhluk halus mengerti ringgit, rezeki, dan seterusnya. Bukankah urusan yang begituan hanya berada dalam dunia manusia?
Meskipun demikian, jangan lupa, bukankah dalam Islam pun, ada bermacam-macam doa untuk berbagai kepentingan, mulai urusan memasuki rumah-rumah agung sampai menuju tandas, mulai dari urusan pribadi sampai perkara publik, bahkan bangsa dan umat manusia secara keseluruhan. Begitulah, doa (dalam sistem kepercayaan mana pun) menjadi penting karena ia berkaitan dengan urusan iman, keyakinan, dan penciptaan harapan menghadapi kehidupan—yang dalam masyarakat tradisional dibangun lewat mitos-mitos. Mantra yang (dipercaya) dapat mendatangkan rezeki, sesungguhnya juga sekadar penciptaan harapan, tetapi tokh sering juga diperlakukan sebagai pembenaran rasional. Dengan begitu, rasionalitas dan irasionalitas cuma dibatasi garis tipis yang dalam beberapa kasus bisa bolak-balik menerabas garis tipis itu.
Di situlah, rasio, logika atau akal sehat, cenderung gagal menjelaskan peristiwa-peristiwa irasional dan gaib. Berbagai peristiwa gaib itu, hanya mungkin dapat dirasakan atau diyakini jika ada pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Dheni Kurnia coba mengingatkan itu. Dan puisi yang menjadi salurannya, seperti memahami keterbatasan logika. Sering kali berbagai peristiwa gaib itu hanya dapat dirasakan, tetapi sulit dijelaskan. Puisi punya peluang menyimpan dan menyembunyikan berbagai peristiwa yang tidak dapat diungkapkan itu.
Dalam satu larik puisi, tersimpan begitu banyak peristiwa. Perhatikan lagi larik-larik pada bait terakhir puisi itu: /… marah menjadi kenang/ dendam menjadi rindu/ hilang balik ke rumah … mengingatkan kita pada salah satu ayat dalam surat Yassin: Kun faya kun! Jadi, maka jadilah. Oleh karena itu, marah menjadi kenang dan dendam menjadi rindu sesungguhnya, di belakangnya ada problem yang serius dan tak dapat diremehkan. Puncaknya dinyatakan dalam tiga larik terakhir: piutang takkan hilang/sayang tumpah ruah/ dan rezeki bertambah-tambah// Dengan demikian, puisi ini seperti hendak mengangkat nilai-nilai sakral sebuah mantra, dan sekaligus menjadikannya sebagai peristiwa profan lantaran yang diharapkan tidak lain persoalan duniawi yang dapat memberi kesenangan bagi manusia.
Sebagai sebuah teks puisi, secara tekstual kita dapat melusuri pesan atau makna yang tersebunyi di sana. Tetapi, jika teks itu ditempatkan sebagai sebuah peristiwa, maka kisah-kisah yang berada di balik fakta-fakta itu akan menjadi lebih hidup manakala ia berada dalam konteks peristiwa. Itulah yang saya maksud, peristiwa lebih penting daripada makna, karena di dalam peristiwa, kita sebenarnya dapat menangkap atau merasakan atau merasakan sendiri berbagai hal yang tidak terungkapkan itu. Di situlah keunikan puisi-puisi Dheni Kurnia dapat menjadi kisah besar dalam perjalanan perpuisian Indonesia.
Seperti disebutkan, batas peristiwa rasional dan irasional, dunia kasat mata dan alam gaib, atau fakta—fiksi, dapat dengan mudah dipertukarkan tempatnya. Kredo penyair: “Bagi saya, puisi adalah realitas—kenyataan” secara akademis memang masih dapat diperdebatkan. Meski begitu, jika kita lebih mencermati puisi-puisinya, maka kredo itu dapat kita pahami. Sebab, yang hendak ditekankan penyair adalah fakta peristiwa dan bukan makna teks. Dengan demikian, jika di antara sejumlah puisi Dheni Kurnia ini ada yang sulit dilacak maknanya, seperti juga sejumlah puisi Sutardji Calzoum Bachri dengan berbagai tipografinya, puisi-puisi yang demikian itu tidak termasuk kategori puisi gelap, sebab yang hendak diungkapkan di sana tidak lain adalah peristiwa (dalam) puisi, dan bukan makna puisi.
Tidak dapat dimungkiri, bahwa realitas masyarakat kita kerap berada dalam dua dunia: realitas faktual dan realitas fiksional. Atau, dunia yang ditandai garis demarkasi yang memisahkan rasionalitas dan irasionalitas. Tetapi itulah fakta dalam kehidupan masyarakat kita. Batas perkara rasionalitas dan irasionalitas bisa begitu tipis, atau bahkan kerap terjadi peristiwa tumpang tindih antara rasionalitas yang faktual, menjadi fiksional, sementara irasionalitas yang menabrak hukum logika, diperlakukan sebagai peristiwa faktual.
Untuk menegaskan, bahwa tarik-menarik dunia real dengan dunia gaib, kehidupan manusia dengan makhluk bunian dan sebangsanya, sebagai sebuah fakta penyair menampilkan pola mantra dengan permainan repetisinya. Dengan begitu, fakta-fiksi dalam puisi-puisi Dheni Kurnia bisa seenaknya saling bertukar tempat, sementara jejak mantra dapat dimanfaatkannya untuk menyampaikan berbagai kepentingan, baik yang berurusan dengan tema yang diangkat, maupun persajakan yang hendak dibangun.***
http://riaupos.co/3121-spesial-puisi-alam-membangun-mitos-baru.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar