Tjahjono Widijanto
http://binhadnurrohmat.com
Dengan bisik isyarat alam mengucap amanat.
Makna riang atau dingin menanti arah angin.
Pundak penyair memanggul bahasa berabad.
Menera zalim serta benderang akal dan batin.
(“Sebelum Perjalanan”, Binhad Nurrohmat)
Di pintu buritan waktu ada yang tak ragu.
Di masa terang dan gulita menjadi lampu.
Seluruh riwayat terburai di hangat bahu.
Pelukan kekal akan menepis fana waktu.
(“Setelah Perjalanan”, Binhad Nurrohmat)
/1/
Nihil ex nihilo, tidak ada sesuatu lahir dari ketiadaan. Begitulah, sulit membayangkan seorang penyair atau puisi berangkat dan hadir dari sebuah kekosongan. Puisi lahir dari persentuhan inderawi-rohani, antara penyair dan semesta, seperti gesekan ranting pada musim kering yang menghasilkan api, karena itu puisi — dalam publik yang paling terbatas sekalipun — akan senantiasa mendiskusikan, mendialogkan, dan memperbincangkan “sesuatu”.
Puisi seperti halnya teks sastra yang lain telah lama dianggap sebagai fakta kemanusiaan, fakta sejarah dan kesadaran kolektif kebudayaan. Sebagai fakta kemanusiaan, fakta sejarah dan kesadaran kolektif budaya, puisi dapat disikapi dan difungsikan sebagai sejarah intelektual atau pemikiran yang di dalamnya dapat ditemukan cara penyikapan, pemahaman dan cara kreasi masyarakat atau individu terhadap perjalanan waktu (perubahan) beserta segala persoalannya.
Berkaitan dengan sejarah intelektual ini, puisi dapat menyuarakan, mengusung sekaligus mempersoalkan mitos-mitos tertentu. Bahkan Umar Yunus menegaskan bahwa teks satra baik sastra lama atau baru pada hakekatnya adalah mengusung suatu mitos. Sebuah puisi bisa jadi bertugas mengukuhkan suatu mitos tertentu (myth of concern) dan mungkin pula bertugas untuk merombak, membebaskan, menentang, memodifikasi serta menafsir ulang mitos tertentu (myth of freedom).
Di sisi lain, untuk mengawali tulisan ini kita bisa memulainya dengan kesepahaman yang sama bahwa sastra diperlakukan sebagai teks yang tak sekedar serangkaian kata yang mendedahkan makna yang tunggal. Seperti yang diucapkan oleh Roland Barthes (1977), puisi sebagai sebuah ruang multidimensi yang saling berbaur dan bertubrukan.
Penggalan paling menarik dari pernyataan Barthes “saling berbaur dan bertubrukan” ini dapat memantik berbagai tafsir. Seseorang dapat saja menafsirkan sebagai suatu hal yang kondisional dan musykil diramalkan. Boleh juga ditafsirkan sebagai bentuk adu-kuasa di antara berbagai wacana demi meraih dominasi, tetapi yang jelas pernyataan “saling berbaur dan bertubrukan” dapat memberikan bayangan kepada setiap orang bahwa puisi senantiasa dapat mrucut dari kontrol individu. Karena itu membaca dan menafsirkan puisi tak hanya dipahami sebagai sesuatu yang produktif dan informatif tetapi juga menafsirkan puisi sama halnya dengan upaya mempertautkan puisi dan penyair dengan dunianya. Berkaitan dengan upaya mempertautkan puisi dan penyair sebagai representasi dari dunianya ini memaksa puisi untuk bertaut-sengkarut dengan apa yang disebut identitas1.
Penyair Indonesia asal etnis Jawa adalah manusia perbatasan2 yang sedang bertransformasi diri dengan mencoba mengikutsertakan budaya etnis-tradisi Jawa dalam negara-bangsa Indonesia yang merupakan “kampung halaman baru” yang mau tak mau harus didukung dan dikembangkan. Hal ini bagi penyair Indonesia Jawa merupakan suatu proses panjang yang berat dan besar karena pada satu sisi mereka terikat pada kedudukan dan fungsi budaya dan sastra Jawa sebagai akar mereka, di sisi lain mereka terpaksa melakukan migrasi (perantauan) ke budaya baru bernama Indonesia. Dalam proses ini sastrawan Indonesia Jawa dalam dirinya dapat muncul berbagai persoalan, perasaan dan situasi yang bisa jadi menimbulkan rasa gamang, bimbang bahkan paradoksal3. Proses perantauan ini berarti mengolah, merekontruksi bahkan membongkar bahan-bahan budaya lama, mitos-mitos lama untuk menghasilkan mitos, pandangan dan pemikiran baru.
Binhad Nurrohmat adalah sastrawan Indonesia dalam generasi yang jauh lebih muda tinimbang Goenawan Mohamad, Linus Suryadi AG. maupun Darmanto Jatman, namun dalam kumpulan puisi paling gres-nya, Kwatrin Ringin Contong, tersirat kegelisahan sekaligus kerinduan arketipe. Kegelisahan untuk menggenggam dua jagad kosmologis sekaligus, jagad kosmologis Indonesia modern dengan segala serbuan anasir dari luar yang terasa begitu cair dan jagad kosmologis Jawa yang terlanjur makin samar-samar.
Tulisan pendek ini mencoba ‘mencurigai’ dan menelisik mengapa Binhad Nurrohmat dalam kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong begitu getol memperlihatkan kegairahan sekaligus kegelisahan untuk menengok dan membongkar kembali kosmologi Jawa yang bagi segenerasinya pasti relatif samar-samar.
/2/
Di Jawa siapa yang tak kenal pohon beringin? Pohon yang sering disebut dengan “ringin” atau ‘waringin’ ini sering dipertukarkan dan disederajatkan dengan pohon bodi dari India meski jenisnya berbeda. Beringin adalah pohon yang memulai hidupnya sebagai epifit ketika bijinya bersemai di celah atau retakan pohon induknya (atau struktur seperti bangunan dan jembatan). Biasanya beringin merupakan jenis umum yang berasal dari India bernama Ficus benghalensis, pohon nasional India, kemudian dipakai untuk semua pohon besar yang siklus hidupnya sama dan secara sistematis tergolong subgenus Urostigma. Biji beringin disebarkan oleh burung pemakan buah. Bijinya tumbuh dan menurunkan akarnya ke tanah dan dapat menyelubungi sebagian pohon inang atau struktur bangunan dengan akarnya, memberinya kesan sebagai pohon pencekik. Daun pohon beringin besar, berkulit, hijau polos dan bentuknya lonjong. Seperti semua pohon besar, pucuk daun ditutupi oleh dua sisik besar. Saat daun berkembang, sisik ini jatuh. Daun muda memiliki warna kemerahan yang menarik. Pohon beringin yang lebih tua dicirikan oleh akar gantung yang tumbuh menjadi tunggul kayu tebal yang seiring berjalannya waktu menjadi tidak terbedakan dengan pokok utama pohon. Pohon beringin dapat menyebar menggunakan akar gantung ini untuk menutupi daerahnya. Seperti spesies pohon besar (yang termasuk pohon Ficus carica), beringin memiliki struktur buah yang unik dan tergantung pada ngengat Ficus untuk reproduksinya. Beringin juga mahsyur sebagai tanaman yang memiliki umur sangat tua, tanaman tersebut dapat hidup dalam waktu lama hingga ratusan tahun.
Di kalangan masyarakat Jawa, pohon beringin dikenal mempunyai filosofi tersendiri, yakni sebagai pohon yang kokoh kuat dan mengayomi. Tak heran hampir setiap alun-alun – yang notabene merupakan bagian dari perangkat kekuasaan — di setiap kabupaten di Jawa selalu terdapat pohon beringin yang ditanam oleh penguasa. Bahkan dalam konteks kebudayaan Mentaraman, pohon beringin merupakan pintu gerbang pertama seorang kawula untuk dapat bertemu dengan gustinya4.
Bagi saya keunikan pertama dalam buku kumpulan puisi Binhad Nurrohmat ini adalah pilihan warna estetikanya. Semua sastrawan Indonesia etnis Jawa dalam mengolah mitologi dan kosmologi Jawa sebagai pilihan estetikanya cenderung berangkat dan menggali mitologi yang bersumber dari kebudayaan yang sudah kadung dianggap adiluhung yakni wayang yang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana. Sebut saja misalnya Goenawan Mohamad banyak mengambil lakon-lakon wayang semisal Parikesit, Gandari, dll. Seno Gumira Ajidarma menggali dan menafsir ulang lakon Ramayana dalam novel Kitab Omong Kosong, Sindhunata yang juga menggali mitos Ramayana dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin, Mashuri dalam novelnya Hubbu mencoba menafsir ulang konsep mitos ajaran Sastra Jendra dalam Ramayana, namun Binhad Nurrohmat justru “tergila-gila” pada mitos dan konsep “ringin” sebagai pilihan untuk mengolah warna estetis puisinya.
Bagi Binhad Nurrohmat kegelisahan untuk menggenggam kembali kosmologi lama (dalam hal ini Jawa) merupakan sebuah kewajiban dan hutangnya sebagai penyair untuk lebih menghayati keberadaannya di tengah lingkungan semestanya tempat saat ini ia bermukim, ini dengan tegas disampaikannya dalam kwatrin pertama pembuka buku kumpulan puisinya ini: Dengan bisik isyarat alam mengucap amanat./ Makna riang atau dingin menanti arah angin./ Pundak penyair memanggul bahasa berabad./ Menera zalim serta benderang akal dan batin. (“Sebelum Perjalanan”).
Frasa pundak penyair memanggul bahasa berabad merupakan penegasan sebuah tekad untuk menunaikan “tanggung jawab” mengabarkan, mengungkit bahkan kemudian membongkar kembali kekayaan kosmologi lama. Puisi pertama ini dapat dilihat sebagai “kredo” Binhad Nurrohmat saat ini dalam menjatuhkan pilihan warna estetiknya. Kredo ini bagi saya sangat mengejutkan dan menohok apabila saya bandingkan dengan buku kumpulan puisi Binhad Nurrohmat yang lain sebelumnya, Kuda Ranjang (2004) atau Bau Betina (2007). Bagi saya kredo ini juga menjadi semacam “pengakuan dosa” sekaligus upaya meditatif untuk meletakkan kesadaran atas pemahaman jagad cilik sang penyair di tengah keberadaan jagad gedhe atau semesta yang melingkupinya. Upaya yang dilakukan Binhad Nurrohmat ini mengingatkan saya pada sebuah konsep laku Jawa dalam upaya mengenal kosmologinya: jagad ginelar jagad ginulung.
Setelah kredo diucapkan mulailah Binhad Nurrohmat melakukan pengembaraan kosmologinya, jagad ginelar jagad ginulung-nya dengan apa yang disebutnya “penempuhan pertama” dan langkah itu dimulainya dari pohon beringin seperti tergambar dalam sajak “Ringin Contong Pagi”. Dari sajak ini Binhad Nurrohmat — entah sadar atau tak sadar, sengaja atau tak sengaja — telah mulai mengungkit kembali konsep “ringin” di Jawa yang dianggap sebagai gerbang patron pertama untuk mengawali seorang apakah dia seorang ksatria, brahmana atau penyair untuk melakukan perjalanan mencapai apa yang ia inginkan, sekaligus tempat nanti ia harus mengakhiri perjalanannya.
Dari “ringin contong” ini penyair mencari, menggali berbagai mitologi dan sejarah kemudian mengolah bahkan membongkarnya sendiri sehingga tersirat penyair ingin menganyam mitologinya sendiri. Karena itu tak heran puisi-puisi Binhad Nurrohmat dalam kumpulan ini semuanya menghadirkan unsur cerita dan unsur tak-cerita, kisah sekaligus berita pikiran. Unsur cerita menyajikan kisah sedang unsur tak-cerita menyajikan berita pikiran. Unsur cerita bertugas menyajikan narasi tertentu, sedang unsur tak-bercerita berupaya menyampaikan pikiran, gagasan dan pandangan tentang konstruksi realitas budaya penyairnya. Hal ini misalnya dapat kita lihat dengan jelas dalam puisi-puisinya seperti “Sayyid di Mojoagung”, “Setelah Mongol Pergi” “Pelarian di Watugaluh” dan “Trah Kiai Shoicah”.
Unsur cerita-tak bercerita, unsur kisah-berita pikiran ini memiliki konsekuensi pada persoalan ekspresi. Persoalan ekspresi selalu membawa penyair pada dua kutub pilihan kontinum yang ekstrem: penyederhanaan (simplikasi) atau perumitan. Kedua kutub ini dapat diibaratkan dalam cerita persilatan sebagai dua pendekar dari perguruan berbeda yang turun gunung dengan semangat berbeda pula. Yang pertama menulis dengan sangat memperhatikan dan mempedulikan kepentingan akan pesan, “cerita” dan pembaca; dan yang kedua bertujuan untuk kepentingan ekspresi tumpahnya kesadaran bawah-sadar sehingga hajat-hajat puitiknya terpenuhi tumpah tanpa sisa. Dan konsekuensi atas kredo awalnya pada Kwatrin Ringin Contong ini maka puisi-puisi Binhad Nurrohmat kali ini tampil dengan ekspresi diksi yang sederhana dan komunikatif sangat berbeda dengan dua kumpulan puisinya terdahulu.
/3/
Dalam antologi puisi ini tampak gamblang bagaimana penyairnya mencoba bermain-main dengan sejarah. Penyair mencoba memanfaatkan aspek mitologi dan sejarah dan mencoba melakukan rekontruksi ulang terhadap sejarah dan mitologi tersebut. Tentu saja rekontruksi sejarah dan mitologi yang dilakukan penyair tidak seperti yang dilakukan oleh para ahli sejarah dari sudut akademis an sich, tetapi lebih cenderung seperti apa yang dikatakan sejarawan Taufik Abdullah sebagai ‘nothing but story’, sejarah yang menekankan pada gaya literer5. Dalam hal ini pusi dan sejarah saling mempengaruhi sebagai suatu narasi yang dapat dinikmati tapi tak terlepas sama sekali dari kenyataan empiris.
Sebagai penyair, Binhad Nurrohmat memberikan referensi imajinatif ke dalam sejarah sehingga puisi tetap memiliki sifat simbolik, karena itu ketika bersinggungan dengan sejarah menyebabkan sejarah dalam puisi menjadi sesuatu yang problematik. Karena sifat simbolis yang menyimpan “misteri” tertentu yang sarat dengan interpretasi bagaimanapun juga puisi pada akhirnya memang tidak dapat dijadikan sumber sejarah meskipun sebenarnya ia ‘mempertanyakan’ sejarah. Pertanyaan-pertanyaan elementer dalam disiplin ilmu sejarah tentang “apa, siapa, di mana dan apabila” memang tidak bisa dijawab dengan menggunakan puisi sebagai sumber. Tetapi dengan memanfaatkan sejarah dan mitologi dalam puisi-puisi Binhad Nurrohmat ini dapat memberikan “pantulan-pantulan” tentang perkembangan pikiran, perasaan dan orientasi masa silam yang bermanfaat untuk masa kini dan mungkin yang akan datang atau bisa jadi secara substansial dapat terulang dalam sejarah berikutnya. Selain itu rekonstruksi sejarah yang dilakukan penyair ini lebih pada upaya jagad ginelar jagad dinulung, lebih pada upaya menyosokkan kembali “identitas” yang melatarbelakanginya dan dalam skala yang lebih makro upaya mencari identitas sebagai “Jawa yang samar-samar”.
Kesadaran penyair untuk merekontruksi sejarah dan mitologi secara transparan terlihat dalam beberapa sajak Binhad Nurrohmat dalam bukunya, antara lain, “Monumen Angan”, “Sepasang Kuburan”, “Rel Terjulur ke Sumobito”, “Sayyid di Mojoagung”, “Setelah Mongol Pergi”, “Trah Brantas”, “Ranggalawe, 1295”, “Bercumbu di Kudu”, “Komunis Curahmalang”, “Hadiah Watu Gurit” “Mandi di Tretes”, dan “Petapa Goa Si Golo-Golo”.
Sejarah yang coba direkonstruksi penyair dalam upaya menyosokkan kembali identitas tersebut, penyair tidak memulai dan mencari dari disiplin sejarah akademis yang terdapat dalam buku-buku sejarah “resmi” tetapi justru memulainya dari mitologi-mitologi yang tersebar. Karena berangkat dari mitologi inilah sejarah yang coba direkonstruksi oleh penyair menjadi sarat dengan berbagai tafsir dan pengolahan berbagai sumber atau versi yang semuanya dianggap memiliki kebenaran. Dari berbagai versi ini penyair mencoba menghasilkan rekonstruksi sejarah “baru” yang menurut B. Lord6 upaya ini disebut sebagai stable skleton of narrative atau dalam susastra Jawa “balungan cerita”.
Dalam kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong ini penyair Binhad Nurrohmat ingin menunjukkan bahwa sejarah meski merupakan masa lampau yang terpisah dari masa kini namun bukan berati tidak berhubungan. Pada satu pihak memang ada keterpisahan antara keduanya pada mana masa lalu tidak mungkin dikembalikan atau digantikan, namun di pihak lain masa lampau sebenarnya tetap hidup dalam diri kita. Sesuatu yang terjadi pada masa lampau secara substansial bisa saja terjadi pada saat ini atau masa mendatang. Dengan demikian, masa lampau sebenarnya tidak pernah terpisah secara mutlak dari masa kini. Ada benang halus yang menghubungkannya, yang benang halus ini dapat menjadi tali besar sehingga masa lampau itu berubah menjadi sesuatu yang kembali kongkret pada masa kini. Tali besar dari benang halus ini akan menjadi semacam kompas yang bermanfaat untuk meniti masa kini dan menghadapi masa yang akan datang.
Dalam upaya merekonstruksi sejarah dan mitologi, penyair tidak mendekati sejarah sebagai pendekatan monumental tetapi lebih cenderung pada pendekatan antikuarian dan pendekatan kritis7. Melalui pendekatan antikuarian pengarang tidak melihat sejarah semata-mata sebagai laci penyimpan peristiwa-peristiwa besar kemanusiaan dari masa lampau supaya tidak ditelan oleh waktu, namun lebih terfokus memandang sejarah sebagai sebuah kesadaran identitas lampau yang berkesinambungan dan memberikan arah masa depan. Sedangkan dengan pendekatan kritis, penyair membuka kemungkinan untuk menguji, mengkaji ulang dan menafsirkan kembali peristiwa masa lampau untuk kepentingan masa depan. Sejarah diperlakukan sebagai organisme yang berkembang dan lahir kembali atau sebagai siklus alamiah peradaban manusia yang dapat menjadi persoalan abadi bagi manusia sebagai pembentuk peradaban.
Dengan demikian secara kreatif melalui antologi puisi ini Binhad Nurrohmat tidak membeberkan sejarah sebagai fakta telanjang yang memandang sejarah terbatas pada hubungan waktu dan kronologis semata. Tidak cuma memandang sejarah sebagai past significance (hanya penting untuk peristiwa lampau) tetapi secara kreatif mencoba memandang sejarah dalam hubungannya dengan masa kini (present meaning) bahkan masa yang akan datang (future meaning). Sejarah menjadi sebuah medan yang selain berpotensi membuka tafsir baru juga menyimpan potensi-potensi yang signifikan untuk lahirnya sejarah baru sekaligus berfungsi sebagai tengara untuk mengingatkan manusia atas berbagai kemungkinan baik atau buruk pada masa silam dan masa datang.
/4/
Akhirnya, kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong karya Binhad Nurrohmat ini merupakan upaya merefleksikan dan merepresentasikan kegelisahan kehendak untuk kembali menggenggam kosmologi lama dengan kosmologi masa kini dalam genggaman yang lain. Puisi-puisi dalam kumpulan antologi ini merupakan kegelisahan untuk meletakkan mitologi dan kosmologi yang kuat dan jelas di sebuah dunia yang sedang meleleh tanpa kosmologi dan mitologi yang jelas dan kuat.
Puisi-puisi Binhad Nurrohmat dalam kumpulan ini menyiratkan bagaimana seorang penyair harus menjadi seorang pejalan ulang-alik budaya yang terus bergerak dari satu kosmologi dan mitologi ke kosmologi dan mitologi lain seraya mengusung warna, obsesi puitik dan warna estetika pilihannya. Juga merupakan cerminan usaha sang penyair membangun kampung halaman baru bernama Indonesia dari berbagai bahan kosmologi dan mitologi Jawa (baca Jombang dan sekitarnya).
Bagaimanapun juga buku ini menunjukan bagaimana Binhad Nurrohmat, sang penyair, sudah turut membangun kampung halaman baru bagi penyair Indonesia segenerasinya.
***
Catatan Kaki:
1. Apa yang disebut identitas itu hadir ketika ada satu kesadaran bahwa penulis dan pembaca “mengetahui” dari dunia yang dihadirkan . Identitas menjadi sesuatu yang sangat rawan karena kebudayaan di suatu waktu telah berubah sehingga tak lagi sama seperti yang ada dalam bayangan. Identitas juga bersifat stereotipe, menggampangkan atau melebihkan suatu citra tertentu kepada teritori (geografis) kultural tertentu sehingga akhirnya disepakati sebagai identitas kultural tersebut.
2. Subagio Sastro Wardoyo. Pengarang Indonesia Sebagai manusia Perbatasan (Jakarta, Balai Pustaka, 1989) hal. 13-17
3. Hal ini misalnya tergambar dalam pengakuan Goenawan Mohamad (GM) dalam tulisanya “Potret Penyair Muda sebagai si Malin Kundang” (1973) dan “Kesusastraan Pasemon” (1993). GM merasa dalam situasi gamang dan bimbang ketika memasuki wilayah budaya dan sastra Indonesia sekaligus merasa durhaka kepada ibu budaya dan satranya yakni budaya dan satra Jawa. Penyair lain, Linus Suryadi AG yang berasal dari Kadisobo Wonosari Gunung Kidul dalam bukunya Transformasi dalam Puisi Indonesia (1984 hal: 372-383) mengaku merasa menjadi kaum urban yang melakukan migrasi budaya dengan gerak dan orientasi melingkar. Hal yang senada juga dialami oleh Darmanto Jatman (Semarang) , dijalaninya proses menjadi Indonesia dengan keyakinan “a kupu kupu was a kepompong was an ulat was an telur, semula saya Jawa kemudian Jawa-Indonesia, lalu Indonesia Jawa, kelak Indonesia total” (Sastra, Psikologi dan Masyarakat, 1985: 145).
4. Dalam sejarah dan kebudayaan Jawa mentaraman dikenal istilah mepe atau pepe. Seorang rakyat (kawula) untuk dapat menarik perhatian Raja (Gusti) seringkali ‘berdemonstrasi’ dengan cara menjemur diri, bersila di bawah pohon beringin yang terletak di alun-alun yang dapat terlihat dari kraton tempat raja berdiam. Dan sang raja yang mengamatinya dari kraton setelah beberapa lama akan memanggilnya untuk menghadap dalam istana. Simak Geraff, 1983.
5. Simak Taufik Abdullah, “Sastra dan Sejarah: Pantulan Historis dan Sastra. “, Horison no 11-12 th 1983
6. Simak Suripan sadihutomo, 2000. “Sastra Daerah dan Penulisan Sejarah Lokal”. Dalam buku Apa Kabar Sastra Indonesia? (Surabaya, DKJT, 200)
7. Simak St. Sunardi , 2003. Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku Baik.
***
Referensi:
Abdullah, Taufik. 1983. Sastra dan Sejarah: Pantulan Hstoris dan Novel. Majalah Sastra Horison No. 11-12
Alfian. 1984. Transformasi Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Awuy, Tommy F. 1996. 27 Juli. Masyarakat Rasional dan Retorika Ilmiah. Dalam Kompas, hlm. 5.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckman (Terjemahan oleh Hasan Basari). 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Cassirer, Ernst (Terjemahan Alois A. Nugroho). 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 1999.Politik Ideologi dan Sastra Hibrida.. Jakarta: Pustaka Firdaus..
Foucault, Michel. 1972. The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language. New York: Pantheon.
Hutomo, Suripan Sadi.. 1993. Sastra Daerah dan Penulisan Sejarah Lokal dalam Apa Kabar Sastra? Surabaya: DKJT.
Kartodihardjo, Sartono, dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia II. Depdikbud.
Kayam, Umar. 1989. Transformasi Budaya Kita. Horison, XXIV (08, 09, 10): 256 — 269;292 — 298;328 — 335.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera.
Mahayana, Maman. S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.
Naim, Mochtar. 1999. Demokrasi dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara, dalam Pembebasan Budaya-budaya Kita. Jakarta: Gramedia
Naim, Mochtar. 1999. Demokrasi dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara, dalam Pembebasan Budaya-budaya Kita. Jakarta: Gramedia
Sunardi, ST. 2003. Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku baik.
Sugiharto, Bambang. 2003. Kebudayaan, Filsafat dan Seni. Bentara, Kompas, Rabu 3 Desember.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar