Minggu, 01 Juni 2014

Tantangan Pesantren di Era Multikulturalisme

Khamami Zada
http://khamamizada.multiply.com/

Abdurrahman Wahid pernah meyebut pesantren sebagai subkultur. Sebagaimana terdapat dalam sosiologi, sebuah subkultur minimal harus memiliki keunikannya tersendiri dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditatati sepenuhnya.[1] Kesemuanya ini dimiliki sepenuhnya oleh pesantren, yang memiliki pola dan mekanisme tersendiri dalam tata nilai, perilaku, dan bahkan model pendidikannya. Tak heran jika, Abdurrahman Wahid berani mengambil kesimpulan bahwa pesantren adalah sebuah subkultur.


Kendati demikian, konsep subkultur ini mendapat kritik. Sebab, gambaran subkultur pesantren pesantren hanya mampu menjelaskan dunia pesantren yang unik dan belum bersentuhan dengan elemen-elemen dari luar dirinya, seperti organisasi, manajemen sumber daya manusia, dana, fisik, informasi, ilmu pengetahuan dan tekonologi. Itu sebabbya, Hadimulyo menggunakakn istilah institusi kultural” yang mengandung konotasi lebih longgar daripada subkultur. Dengan demikian, pesantren akan dilihat dalam pengertian “budaya pesantren” yang dalam realitas empiris lebih tampak sebagai counter culture yang seringkali memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan kultur yang dianggap dominan.[2]

Di tengah perdebatan itu semua, kini di zaman global yang sudah meniscayakan pluralitas budaya sebagai kenyataan sosial, pesantren menghadapi tantangan dalam merespons identitas kultural masyarakat (budaya lokal) dan budaya luar dengan segala keanekaragamannya. Pesantren yang berkembang dari identitas sejatinya belakangan ini sedang bergulat secara intens dengan budaya lokal dan budaya lain yang saling mempengaruhi. Tak pelak lagi, era multikulturalisme adalah tantangan tersendiri bagi pesantren; apakah pesantren mampu menjawab tantangan paradigma kehidupan di bawah payung multikulturalisme yang mengandaikan kesetaraan dan penghargaan di tengah pluralitas budaya.

Asumsi ini dikemukakan untuk melihat apakah pesantren sudah berani keluar dari kebenaran absolutnya (absolutly truth) yang kerapkali meminggirkan identitas kultural yang sudah diyakini oleh masyarakat. Atau dengan kata lain, budaya lokal sebagai entitas yang telah lama hidup bersama masyarakat menjadi terpinggirkan akibat doktrin agama yang diyakini pesantren. Desakan pesantren ini praktis memposisikan budaya lokal berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan subordinat. Apalagi, pesantren bisa menjadi kekuatan yang ampuh untuk menghilangkan atau paling tidak memperdaya budaya lokal. Ironisnya, karakter pesantren yang menolak budaya lokal ini banyak diambil dari model keberagamaan (Islam) Timur Tengah yang literal, kaku dan skriptural.

Pesantren dan Budaya Lokal

Sejatinya, watak dan karakter pesantren yang apresiatif terhadap kebudayaan lokal adalah watak yang damai, ramah dan toleran. Karena watak pesantren yang demikian ini, tidak menyuguhkan praktek kekerasan (penetracion pacifigure) untuk mendialogkan pesantren dengan kebudayaan lokal. Hal ini diambil dari kenyatan historis penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan pesantren memunculkan konsekuansi bahwa Islam di Indonesia lebih lunak, jinak dan akomodatif terhadap kepercayaan, praktek keagamaan, dan tradisi lokal. Nikii Keddie (1987), pengamat Timur Tengah, justru memandang karakter inilah yang menjadi kebangggan Islam di Indonesia, dan umumnya di kawasan Asia Tenggara.[3]

Tak pelak lagi, Islam sebagai agama dan pesantren sebagai media dakwah Islam yang tersebar ke seluruh penjuru Nusantara tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam.

Pesantren yang kebanyakan berdiri di pedesaan harus berhadapan dengan sekian banyak tradisi budaya asli masyarakat agraris. Namun karena semangat keagamaan yang membumi, pesantren lebih mampu bersikap ajur-ajer serta menyerap budaya setempat. Pesantren terbukti mampu berdialog dengan adat setempat secara produktif dan tidak saling menafikan satu sama lain.[4]

Terhadap tradisi sedekah bumi, nyadran, nyatus, nyewu, miwiti, dan sebagainya pesantren menanggapinya dengan pendekatan memberi dan menerima. Pihak pesantren mengambil bentuk (wadah) tradisi budaya tersebut sambil memberikan isi yang baru. Cara pendekatan ini terbukti bisa diterima kedua pihak dengan baik. Maka sekarang terdapat banyak upacara adat, seperti sedekah bumi, yang semula diselenggarakan untuk memuja dewa atau roh-roh yang mbaurekso desa, kini berganti isi menjadi ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah berkenan untuk memberi kemakmuran. Adat miwiti (mulai menuai padi) yang semula diadakan untuk memuha Dewi Sri kini menjadi acara syukuran menjelang panen. Dan, doa-doa yang dibaca adalah doa yang bisa dibaca di pesantren.[5]

Dialog Islam dan budaya memang sejak awal dilakukan Sunan Kalijaga yang berhasil mengisi spirit Islam ke dalam budaya lokal; seperti tradisi sekaten, mitung dino, nyatus, nyewu yang diisi dengan tahlil. Begitu juga wayang sebagai tradisi kesenian yang banyak disukai masyarakat, sudah dimodifikasi dengan spirit Islam. Tak heran, jika sekarang ini di Pesantren Kajen ada tradisi tahunan yang mementaskan wayang, yang banyak dinikmati oleh masyarakat sekitarnya. Kesemuanya ini menunjukkan betapa pesantren mampu berdialog dengan budaya lokal.

Namun demikian, tidak selamanya dialog antara pesantren dengan budaya lokal bisa berjalan baik. Hal ini disebabkan pihak pesantren menganggap secara prinsip beberapa unsur tradisi budaya setempat tidak bisa mereka terima. Misalnya, kebiasaan berjudi, sabung ayam, tunggon (kumpul kebo), minum arak, dan sebagainya. Dan dalam hal tidak terjadi perslangan budaya antara pesantren dan tradisi lokal, maka sering muncul ungkapan sinis terutama dari pihak adat. Sering kita dengar ungkapan “semantri-santri” (sok santri) yang ditujukan kepada mereka yang tidak bisa menerima kebiasa berjudi.[6]

Multikulturalisme dan Tantangan Pesantren

Multikulturalisme belakangan ini memang menjadi isu sentral dalam konteks hubungan antaragama dan antarbudaya. Multikulturalisme telah menjadi kenyataan faktual di dalam masyarakat global. Karena itu, multikulturalisme adalah sebuah tantangan bagi pengembangan budaya toleran dan pluralis.

Dalam perspektif ilmu politik, –mengikuti pemikiran Robushka dan Shepsle– masyarakat multikultural didefinisikan dengan parameter: (1) keragaman kultural, (2) aliansi etnik dan (3) terorganisasi secara politik. Dalam konteks ini, secara alamiah masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik yang beragam (majemuk), yang ditandai oleh berbagai keragaman suku, agama, ras dan golongan (SARA).

Masyarakat multikultural seperti ini adalah sumber pokok dalam membangun demokrasi modern. Namun, masyarakat multikultural juga memendam potensi yang rawan terhadap konflik sosial yang bisa mengakibatkan pudarnya keutuhan jalinan harmoni sosial masyarakat. Dengan kata lain, berbeda-bedanya suku, agama, dan budaya adalah suatu modal sosial, meminjam istilah Robert W. Hefner, yang apabila dirusak akan menimbulkan malapetaka bagi harmoni sosial yang mengarah pada konflik sosial. Sebab, ada tiga kecenderungan yang sering dihadapi dalam masyarakat multikultural. Yakni, (1) mengidap potensi konflik yang kronis di dalam hubungan-hubungan antar kelompok. (2) Pelaku konflik melihat sebagai all out war. (3) Proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas suatu kelompok oleh kelompok lain (Nasikun, 1996).

Dalam konteks inilah, paradigma multikultural mengandaikan pengembangan teologi inklusif dan pluralis yang riil. Pada aras ini, toleransi etnik, budaya dan agama di Indonesia menjadi agenda penting sejak maraknya kekerasan etnik dan agama yang meledak seiring dengan pergeseran politik mutakhir. Itu sebabnya, pesantren sebagai entitas sosial memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan teologi multikultural sehingga memberikan pencerahan kepada umat akan arti pentingnya kehadiran etnik, budaya dan agama di dalam komunitas sosial. Tanpa ini semua, pesantren akan kehilangan peran strategis di zaman multikultural seperti sekarang ini yang menghadirkan banyak konflik; entah agama maupun etnik.

Bertrand Russel pernah mengatakan, “Sejauh pendidikan dipengaruhi oleh agama, maka pendidikan dipengaruhi oleh agama institusional yang memiliki arti politik yang besar”.[7] Karena itu, pendidikan agama yang dilakukan pesantren memiliki peran politik yang besar dalam mengembangkan teologi multikultural. Meminjam filosofi pendidikan yang telah diformulasikan Paulo Freire, bahwa pendidikan untuk pembebasan bukanlah untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosia-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan karena itu, secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi silmultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas.

Karena itulah, tantangan pesantren tidak lagi berkutat pada pemberdayaan sumber daya manusia, dengan membuat program, seperti kursus-kursus kerajinan dengan perkakas, peralatan, dan mesin-mesin, menjahit, pertukangan kayu, perabot rumah, tani dan kebun, las dan teknik elektro.[8] Atau misalnya, program kerjasama dengan LSM seperti yang pernah dilakukan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) di Jakarta dalam program produktivitas (pertanian, pemeliharaan ternak dan unggas, pemeliharaan ikan, industri rumah tangga, dan perdaganan eceran), program kesehatan, lingkungan hidup (penghijauan, perbaikan perumahan, dan usaha perkebunan holtikultura dan pemanfaatannya).[9] Pesantren kini dihadapkan pada tantangan multikulturalisme yang telah menjadi kenyataan sosial.

Dalam konteks inilah, pendidikan pesantren sebagai media pembebasan umat dihadapkan pada tantangan bagaimana mengembangkan teologi multikultural sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang inklusif untuk harmonisasi agama-agama, budaya dan etnik di tengah kehidupan masyarakat. Tertananmnya kesadaran multikultural dan pluralitas kepada masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan pesantren ke dalam paradigma yang toleran dan humanis. Karena paradigma pendidikan pesantren yang ekslusif dan intoleran jelas-jelas akan mengganggu harmonisasi masyarakat multi-etnik dan agama. Dengan demikian, filosofi pendidikan pesantren yang ekslusif tidak relevan lagi di zaman multikultural. Sebab, jika cara pandangnya bersifat ekslusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi ekslusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap menghargai kebenaran agama lain.


Seperti dikemukkan Philip Yampolsky, “Melintasi batas adalah sangat penting untuk negara multikultural seperti Indonesi. Tantangan negara multikultural adalah bagaimana membangun toleransi dan pengertian antar kelompok, supaya semuanya bisa hidup dengan damai.”[10] Di sinilah signifikansi kita mendekonstruksi paradigma pesantren ekslusif, yang diharapkan dapat menumbuhkan sikap dan pola pikir yang bersahaja untuk menghargai dan menghormati agama-agama dan budaya tanpa konflik di tengah-tengah masyarakat multikultural.

/ Nov 16, ’07

[1]Abdurrahman Wahid, “Pesantren sebagai Subkultur”, dalam Dawam Rahardo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3ES, 1974), hlm. 43.
[2]Hadimulyo, “Pesantren, Dua Wajah Budaya”, dalam Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 99.
[3]Nikki R. Keddie, “Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East: Coparative Reflections”, dalam Sojourn, Volume 2, No. 1 Tahun 1987, hlm. 3-4.
[4]Ahmad Tohari, Membangun Dialog Produktif Pesantren-Budaya Lokal, Makalah tidak diterbitkan
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Bertrand Russel, Education and Social Order, 1993.
[8]Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 209.
[9]Ibid., hlm. 211-223.
[10]Philip Yampolsky, “Kesenian dan Pluralisme”, Makalah tidak diterbitkan.

Dijumput dari: http://khamamizada.multiply.com/journal/item/7

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae