Asarpin
Nona Dawna Markova adalah seorang guru psikologi yang mendalami puisi, yang pekerjaannya adalah membantu anak-anak agar senang belajar. Ia telah mengarang buku tentang bagaimana menemukan anugerah terindah yang dimiliki setiap anak. Mengapa anugerah? Karena ”dunia membutuhkan anugerah-anugerah yang hanya bisa dibawa olehmu”.
Pembaca, izinkan saya menyarikan gagasan ibu Dawna Markova itu di sini, siapa tahu bisa jadi setitik cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti pendidikan kita. Ibu Dawna berangkat dari keprihatinan dalam memandang potensi anak yang sudah lama terkubur oleh cara pandang dan perspektif yang kita gunakan dalam mendidik anak di rumah maupun di sekolah. Baginya, ia mesti menyuburkan anugerah terindah tiap-tiap siswanya.
Kisahnya dimulai ketika tahun demi tahun, dari ruang kelas yang satu ke ruang kelas yang lain, ia menyaksikan cahaya pendidikan itu diredupkan setiap proses yang justru dimaksudkan untuk menyalakannya. Mulailah ia berpikir keras, dan tampaknya ia tetap tertarik dengan seni belajar dan mendorong melesatkan kelebihan setiap anak. Namun ia ternyata ditakdirkan untuk melatih anak-anak agar menjadi pekerja yang patuh guna memelihara status quo. Ia mengajar guna membasmi pengabaian terhadap anak. Tetapi, ia malah mendapatkan dirinya berada dalam perang massif melawan ketakutan–rasa takut karena berbeda, rasa takut akan kelemahan, rasa takut terhadap sesuatu yang tak dikenal.
Kemudian ia berpikir, bahwa dirinya berada di kelas setiap hari untuk membantu siswa belajar. Namun yang ia temukan dirinya menjadi bagian dari ”institusi kepakaran” yang tanggungjawab utamanya adalah menyiapkan anak-anak untuk menghadapi tes terstandardisasi seperti UN, serta memelihara nilai-nilai.
Sebagai guru psikologi yang akrab dengan sastra, tentu saja ia gelisah. Di mana saja, katanya, orang-orang bicara tentang kaidah kencana. Tapi kaidah tersebut diberikan berdasarkan anggukan kepala dari warisan sang pemimpin lama. Untung saja departemen pendidikan tanggap dengan situasi demikian. Lalu menyerukan perubahan dan pemulihan dengan menstandardisasi kurikulum, mengurangi pilihan-pilihan alternatif, meningkatkan gaji guru, membuka jaringan dengan swasta untuk proyek beasiswa bagi guru, dan mengadopsi standar-standar yang ketat di negara maju.
Hari-hari berlalu, dan dalam waktu tak terlalu lama, negaranya telah memiliki pemikir-pemikir yang terstandardisasi dan guru-guru bersertifikat yang taat. Dan mulailah ia berpikir tentang fungsi standardisasi dan sertifikasi, karena bagaimanapun, ia tidak menghasilkan kecerdikan dan inovasi. Bahkan standardisasi hanya mengakibatkan imajinasi menjadi mati.
Baru-baru ini ia membaca hasil riset yang ditulis Richard Florida tentang pekerjaan yang paling banyak diminati di negarnya, serta lowongan yang paling cepat membludak dalam sepuluh tahun terakhir. Jawabanya adalah pegawai negeri sipil (guru dan pegawai kantor di lingkungan Pemda). Florida menyatakan: dengan mempekerjakan begitu banyak warga negara dalam pekerjaan yang tidak kreatif, bakat dan potensi yang ada terbuang percuma. Tapi tren ini merupakan efek langsung dari peningkatan dorongan terhadap kenaikan gaji dan standardisasi dalam pendidikan. Lalu dengan pesat, begitu banyak orang kehilangan kecakapan untuk berpikir ”imajinatif yang liar”.
Begitu banyak dana dibutuhkan agar guru yang jumlahnya lebih banyak dari salah satu propinsi berpenduduk terbesar di pulau Jawa itu hidup sejahtera. (Sebagai perbandingan, anggaran untuk pendidikan di Indonesia tahun ini mencapai 54 triliun lebih yang dialokasikan lewat Diknas, dan 23 triliun lebih lewat Depag. Belum lagi dana yang pendidikan di pos-pos lain yang tersembunyi dan tidakkasatmata, sehingga seluruh anggaran pendidikan nyaris mencapai 100 triliun, termasuk untuk gaji guru dan gaji pegawai negeri sipil lainnya).
Akibatnya bisa terjadi penurunan finansial, dan dalam waktu dekat dapat diasumsikan bahwa masa depan tidak memiliki kebutuhan nyata bagi para seniman, penyair, penari, petani swasembada, filsuf, diplomat, wartawan, dan orang tua yang berdiam di rumah. Yang diperlukan hanyalah pegawai negeri sipil dengan mental warisan turun-temurun yang berkarat dan sulit diubah. Selamat tinggal kalian semua!
Rasa-rasanya, mereka yang masih berpikir sehat, tak mau membiarkan situasi yang kalut itu mencengkram lebih dalam. Dalam situasi krisis kita memang bisa gamang dan tak tahu harus berbuat apa. Kita kalut memikirkan apa yang mesti dilakukan dalam situasi demikian. Dalam keasyikan ber-soliloqui—tiba-tiba pikiran tertuju pada fungsi imajinasi dan turunanya, kreativitas serta inovasi.
Ya, bicara soal imajinasi tentu bukan perkara yang bisa dibeli, apalagi perkara aset yang bisa di jual. Ia juga bukan monopoli orang sekolahan, guru dan peserta didik. Ia menjadi milik siapa saja dan penting bagi siapa pun untuk menjadi manusia merdeka. Mereka dapat disuburkan atau didangkalkan, dimekarkan atau ditanduskan, dapat diperbaharui atau dihamburkan sampai habis. Sumber daya yang paling berlimpah, paling tidak mahal, tetapi paling sedikit didayakan dan sering disalahgunakan, itulah imajinasi.
Tahun-tahun ketika ia menjadi guru, ia tertegun melihat bagaimana semua kebijakan untuk memajukan pendidikan ternyata mengakibatkan penghapusan sumber daya tersebut sampai pada ambang yang nyaris punah. Di mana-mana para penulis menganjurkan untuk mulai berpikir secara global dan inovatif, tapi mereka bahkan tidak dapat berpikir melebihi hidung sendiri. Para psikolog yang menekuni SQ dan EQ mengusulkan agar para guru mulai menggunakan otak kanan yang intuitif, inovatif, imajinatif secara keheren. Tapi mereka sendiri masih asyik dengan otak kiri yang linear.
Dibutuhkan waktu berabad-abad bagi informasi mengenai pencairan sebiji emas untuk bisa melintasi benua dan mengawali Abad Besi. Tetapi ketika manusia pertama melangkah di bulan, seluruh dunia hanya membutuhkan waktu kurang dari 1,4 detik untuk mengetahui apa yang teradi. Kecepatan itu pun sekarang sudah terhitung sangat lambat. Sekarang orang bilang Abad Informasi dan bukan lagi Abad Industri. Sekolah-sekolah menyiapkan siswa untuk dididik bukan agar jadi sekrup, mur atau baut, dan siap untuk bekerja di dunia industri. Sekarang sekolah-sekolah menyiap siswa-siswa untuk memasuki keragaman informasi, bank data, tabungan aksara.
Jika dulu kita bicara ”waktu apung”—rentang waktu antara penulisan cek dan pencairan cek di bank—kini hal itu sudah tiada. Tak ada lagi apungan moneter, bahkan tak ada lagi, di mana saja, waktu antara sesuatu yang telah dan akan terjadi. Segala sesuatunya kini berubah dan berada dalam ambiguitas.
Sekolah-sekolah, sebagaimana kita ketahui, belum dirancang untuk menghadapi dunia ambiguitas, dan hanya segelintir seniman urakan yang berusaha mengantisipasi apa yang bakal terjadi. Kurikulum dan sistem pendidikan dibuat masih menggunakan musik harmoni yang sama untuk menyongsong siswa menghadapi dunia industri. Tak heran jika sebagian besar siswa tertinggal karena sistem pendidikan hari ini. Kita mnyiapkan untuk masa depan mereka dengan memberi keterampilan dan wawasan yang sesuai dengan masa sekarang. Esok, kita akan mengirimkan anak-anak ke sekolah ”masa lalu”.
Bel-bel di sekolah akan terus memberi tahu anak-anak kapan masuk dan kapan pulang. Mereka terus mengaitkan guru mereka sebagai bos-bos yang akan menentukan hal yang semestinya dipelajari anak-anak lewat standar-standar masa lalu. Sebab masa lalu, kata mereka yang tahu, adalah guru.
Itukah yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh sebuah negara besar agar tetap menjadi ranah bagi kesempatan dan inovasi? Inikah masa depan yang ingin dihuni oleh anak-anak kita?
Gagalnya Pendidikan Kita
Orang bijak pernah mengatakan, ”Jika kau ingin dapat pekerjaan yang secara ekonomi dan sosial menggiurkan, maka tak perlu sekolah tinggi. Cukup tamat SLTA dan cari pekerjaan. Untuk apa sekolah sampai S2 dan S3 karena kenyataannya tak membuat orang nambah pintar secara sosial, ekonomi, budaya, politik. Juga tidak menambah pintar secara intelektual, emosional dan spiritual. Lihatlah rekan-rekanmu yang master dan doktor, apa bedanya dengan kamu yang cuma tamat SLTA dan S1”.
Makin kita panjangkan contoh rekan-rekan kita yang menempuh pendidikan tinggi tapi tidak lebih pintar itu, maka makin pesimis kita dengan yang namanya lembaga pendidikan di negeri ini. Terus terang, sejak lama saya sudah mengalami krisis terhadap pendidikan kita, terutama sejak saya bersentuhan secara teoritis dengan buku-buku Paulo Freire, Ivan Illich, Peter Drost, buku-buku Romo Mangunwijaya dan buku-buku keluaran Insist. Ditambah pengalaman saya berkecimpung dengan sastra dan bergelut bersama kaum miskin kota di Jakarta dan di Bandarlampung, yang ternyata tidaklebih bodoh dari burung beo seperti para sarjana kita.
Saya yakin orang-orang yang sudah master dan doktor sadar akan beban gelar yang mereka emban. Saya yakin mereka sadar bahwa gelar tidak menjamin seseorang lebih pintar. Kalau saja karena tidak ada kepentingan untuk jadi dosen atau agar cepat diterima jadi pegawai negeri sipil, mungkin orang-orang itu tidak melanjutkan pendidikan sampai S2 dan S3. Tapi apa memang betul? Bukankah gelar juga prestise, bisa menambah gengsi sosial dalam pergaulan?
Sebagian besar mereka yang master dan doktor cuma kedoknya saja. Hanya bertambah nama depan atau nama belakang saja, tanpa bertambah wawasan dan pengetahuan yang sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Para mahasiswa yang pernah memperoleh predikat teladan pun ternyata tak ada yang pantas diteladani. Pengetahuan yang mereka tabung di kepala, di dada dan di lubuk jiwanya, tak pernah memadai bagi negeri yang sedang karam ini.
Gelar master dan doktor hanya topeng yang menyembunyikan begitu banyak kerapuhan. Master dan doktor sudah begitu banyak di Indonesia saat ini, dan seharusnya Indonesia sudah jauh lebih hebat dari setengah abad yang lalu. Tapi apakah Indonesia lebih hebat, lebih baik, lebih sejahtera, lebih beradab?
Kalau seorang master dan seorang doktor tidak lebih pintar dari orang yang hanya tamat SLTP atau SLTA, lalu apa artinya ini? Siapa yang salah jika para doktor dan profesor kita tidak lebih pintar dari orang yang tamat SLTA? Siapa yang mesti bertanggungjawab jika pendidikan negeri ini tambah bobrok?
Izinkan saya menjawab: dunia pendidikan. Yang saya maksudkan dunia pendidikan di sini adalah sekolah, perguruan tinggi seperti universitas, institut dan sekolah tinggi itu. Yang saya maksudkan dunia pendidikan adalah sekolah formal yang mencetak para sarjana yang memimpikan siap pakai tapi tak siap belajar itu.
Ada dua kesalahan negara yang mencolok. Pertama, kebijakan negara hanya memberi peluang pada orang yang berijazah tanpa mengukur kemampuan orang yang tak punya ijazah. Kedua, disadari atau tidak, negara telah membuat prasangka yang rasis dengan menempatkan yang tidak berijazah sebagai bodoh dan yang berijazah sebagai orang pintar dan menutup akses bagi yang pertama.
Sekolah saja tak pernah cukup, tuan, tulis Andrias Harefa. Perlu juga ditambahkan di sini: sekolah kita sudah lama mati. Pendidikan tinggi kita hanya melahirkan orang yang tidak terdidik. Betapa pun lembaga-lembaga pengajaran formal itu dibenahi dan direformasi, ia tak menjamin melahirkan manusia-manusia berkarakter, berjiwa, inovatif dan kreatif.
Pendidikan kita gagal membentuk mental. Pendidikan kita gagal melahirkan manusia Indonesia berkarakter. Pendidikan kita gagal melahirkan sarjana yang berjerih-berkeringat secara intelektual, emosional dan spiritual, dan hanya berhasil menambah banyak manusia yang jadi pengemis.
Pendidikan kita hanya sarang penyamun. Lembaga penjual gelar yang cuma melahirkan para pendidik yang pandai berslogan dan jual proposal. Pendidikan kita sudah begitu jauh berada di menara gading. Pendidikan kita begitu jauh meninggalkan spirit budaya.
Hai, manusia-manusia berpendidikan, bangunlah! Hai manusia-manusia bergelar master dan doktor, berkacalah! Malu pada gelar kalian kalau ternyata kalian tidak punya kontribusi apa pun bagi perbaikan negeri ini! Malulah pada diri kalian kalau ternyata kalian sudah tak membaca buku lagi!
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar