Reporter: Ribut Wijoto
beritajatim.com 22 Mei 2013
Novel Kumara, Hikayat Sang Kekasih karya S Jai memenangi lomba novel etnografis yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur pada 2013 ini.
Novel yang bertutur tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di pelosok desa di Jawa —tepatnya di sebuah dusun di Kediri— dalam menghadapi gerak pergeseran, pergesekan dan perubahan zaman tersebut terpilih sebagai satu-satunya pemenang, oleh juri sastrawan Beni Setia, M Shoim Anwar dan S. Yoga.
S Jai, pengarang yang memenangi lomba ini, sebelumnya juga dikenal penulis sejumlah novel; Tanah Api (LkiS 2005), Tanha (Jogja Media Utama 2011) dan Khutbah di Bawah Lembah (Najah 2012). Pria yang tinggal di Desa Munungrejo Kecamatan Ngimbang Lamongan ini, sehari-harinya juga bekerja pada Women and Youth Development Institute of Indonesia.
Kepada beritajatim.com pengarang kelahiran Kediri 4 Pebruari 1973 ini mengatakan bahwa berita kemenangannya itu diterima melalui surat pemberitahuan pada 20 Mei lalu.
Biografi dan Kekuasaan Danyang Desa
“Saya menulis novel ini sebetulnya saya maksudkan sebagai tulisan biografi—riwayat banyak orang. Namun sebagai bentuk sastra, saya menggunakan prespektif (sudut pandang) danyang desa,” tutur pengarang yang juga kelahiran Kediri, 4 Pebruari 1973 ini.
Novel terbarunya ini, katanya, terinspirasi dari satu istilah dalam buku Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa: Kumara. Meski banyak sekali menuai kritik dan ditolak, namun buku itu menyimpan kekayaan budaya menjadi sumber ilham yang tak habis-habisnya.
“Sudut pandang kumara saya gali dari sana. Kumara adalah wilayah kekuasaan danyang desa. Kumara juga berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Dalam tradisi Hindu, Kumara adalah Sanghyang Kumara, Dewa Pelindung Bayi —salah satu putra Dewa Siwa,” ungkap sarjana bidang studi Sastra Indonesia dari FISIP Unair tersebut.
Dikatakannya, sebagai karya yang memuat banyak sekali biografi—yang oleh orang Jawa kerap disebut ‘sejarah’ itu—Jai banyak sekali menggali tokoh-tokohnya dengan wawancara banyak orang.
“Mereka adalah para penduduk sekitar Pabrik Gula Ngadirejo dan para mantan buruh yang sebagian besar telah berumur senja. Atas kenangannya sekalipun itu getir namun menerima lapang dada pertanyaan-pertanyaan tajam saya,” papar Jai.
Di mata Jai, tokoh-tokoh dalam novel Kumara, adalah orang-orang yang berjibaku dalam pergulatan selaku pribadi-pribadi masyarakat kecil yang keukeuh pada daya budi hasil peradaban Jawa dan yang telanjur diuntai dengan tali secara keliru ke dalam pentahapan mistis yang irrasional.
Bukan hanya itu. Bahkan mereka jugalah yang berkumpar pada keteguhannya dengan kultur Jawa rendahan yang mengukuhkan kebudayaannya, yang secara religi dimaknai stupid vainglory dengan istilah Abangan oleh sederet sarjana terkemuka —termasuk oleh Geertz.
“Saya merasa agak beruntung berkenalan dengan karya Umar Kayam, Para Priyayi yang mencoba mengurai kembali gerak lembut tranformasi kaum priyayi ke dalam novel itu. Dan inilah yang memantik saya menulis novel Kumara. Saya mengambil jalan yang lain: maka Kumara dari saya adalah sebentuk pledoi pribadi-pribadi masyarakat kecil dengan kultur Jawa rendahan yang sadar betul bagaimana mempertahankan, betapa berharganya hidup bagi semesta,” terang pria yang juga dikenal dramawan tersebut.
Keberanian Memasuki Sejarah Kelam
Sebagai konsekuensi dari ‘jalan lain’ yang ditempuhnya itu, lanjut Jai, dirinya mengumpulkan keberanian memasuki wilayah yang selama ini absen dalam sastra maupun sejarah. Atau setidaknya berlanjut dalam kontroversi. Yakni sejarah kelam 1965, misalnya.
“Pada novel saya ini, saya tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa itu sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, apalagi yang berbaris-bergerombol memafhumi pembunuhan sembari bersembunyi, menghibur diri dengan alasan kemanusiaan tersebut. Melainkan, saya bicara tentang fakta. Tepatnya berpihak pada korban yang tak kuasa menolak, apalagi mengutuk pembunuhan itu, atau sembunyi atas nama apapun dari takdirnya,” tandas pria yang beberapa saat lalu juga memenangkan sayembara Cerita Panji yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jombang.
Jai mencontohkan, apa yang dilakukan Umar Kayam melalui tokoh Sri dalam Sri Sumarah, sesungguhnya telah tumbuh kepeduliannya pada perempuan ‘abangan.’ Namun demikian Umar Kayam tidak melakukan beberapa hal yang Jai sebut belakangan: tentang kepedulian pada korban dan absennya alasan kemanusiaan —yang kehadirannya justru seringkali untuk menyembunyikan diri karena mengamini pembunuhan.
“Nah, pada Kumara, saya tampilkan bagaimana kekuatan daya budi para perempuan yang tak mau kalah dari kepintaran kaumnya yang telah memilih membiakkan kecerdasannya menjadi anggota Gerwani, atau para pemuda yang menebar benih kritisnya dengan tergabung dalam Pemuda Rakyat,” ujar ayah dari Raushan Damir, Kasyful Kanzan Makhfi dan Zahra Ulayya Mahjati ini.
Menurut pengakuan Jai, sebagai sebuah karya yang dimaksudkan selaku biografi, dalam penulisan novel Kumara ini dirinya berutang budi pada Pipit Rochijat —seorang nasionalis Indonesia yang sejak 1972 “mengasingkan diri” ke Berlin Barat— yang dengan sabar berbagi cerita, menyerahkan sebagian pengalaman hidupnya, menjawab surat-suratnya, memasrahkan data, catatan harian serta dokumen-dokumen tua untuk memperkaya pengetahuan menulis cerita ini.
Bukan hanya itu, bahkan Pipit Rochijat merelakan sebagian kehidupan keluarganya pada tahun-tahun itu ditelisik untuk memperkaya tulisan Jai. Bahkan dari pria itu, Jai mendapatkan transkrip wawancara intelektual Arief W Djati dengan ayahanda Pipit Rochijat, Kartawidjaya, mantan Direktur PG Ngadirejo seputar peristiwa G-30-S di Kediri.
“Begitulah Kumara saya tulis saya maksudkan untuk dokumentasi sejarah mental, sekaligus demi rekonsiliasi dalam alam kesadaran bahwa kebudayaan tidak berdiri di atas satu kaki alam pikiran rasional atau alam pikiran mistis saja. Bahwa mitos bisa bermula dari apa saja—tak terkecuali dari pikiran manusia,” tandas Jai.
Kesaksian Leluhur Kampung
Dikisahkan dalam novel Kumara, empat orang anak, tiga diantaranya perempuan, Surat, Suratemi, Markonah dan Marsitun ditinggal bapaknya mati muda. Mereka kemudian diasuh oleh ibunya, Tukinem dan tinggal serumah dengan kakeknya, Man To Karso, yang beristri seorang perempuan pawang hujan.
Anak-anak itu tumbuh besar juga oleh doa dan restu dari leluhurnya yang berdiam di punden kampung Mbah Singa Maya dan Mbok Putri Ambar Sari. Kakek Man To Karso dan Nenek Nyi Tuk —tukang talang hujan itulah- yang berpengaruh besar dalam keyakinan hidup mereka.
Surat tumbuh menjadi laki-laki dusun yang mengurus diri berkat kekuasaan yang ada padanya. Marsitun melarikan diri dari kebusukan suaminya, dengan merantau ke Sumatera. Sementara Suratemi dinikahi Satijo, mandor tebu Pabrik Gula Ngadirejo yang suka main perempuan. Sedangkan Markonah menikah dengan Ngali, pria tetangganya yang kemudian bersama-sama merantau sebagai pedagang di dekat Jengkol.
Novel ini berkisah seputar kehidupan mereka dan anak-anak turun mereka, sekaligus sebuah kesaksian leluhur Mbah Singa Maya —pelindung seluruh warga dusunnya.
Para Korban G 30 S yang Selamat
Ketika geger Gestok, Markonah harus terus menerus menyembunyikan Ngali agar lolos dari para pemburu yang haus darah dan nyawa. Sementara Suratemi harus terus bertahan dengan penderitaan batin karena perilaku sewena-wena suaminya, sebelum kemudian memilih tidak lagi sudi hidup bersama. Di sisi lain, ia terus memikirkan anak tirinya yang mondok di pesantren Kiai Jauhari sebelum pecah peristiwa Kanigoro.
Adik Ngali, Sumiatun yang bersuamikan Sajuri, Juru Tulis Pabrik Gula PG Ngadirejo tak bisa melahirkan seorang anak pun. Karena itu keduanya sepakat untuk mengadopsi salah seorang anak Markonah yang masih berusia 3 bulan. Penyerahan bayi lelaki yang kemudian bernama Supriyadi itu terjadi beberapa hari sebelum meletusnya peristiwa Gestok.
Perang saudara tahun 1965 itu ternyata menyibukkan Pak Karta —seorang lelaki beristerikan perempuan keturunan priyayi, Raden Rara Moendjijah Martosoebroto— yang saat itu menjabat direktur Pabrik Gula PG Ngadirejo— atasan Sajuri. Sejak belasan tahun lamanya sebelum pecah perang saudara itu, Pak Karta terus diserang dan dibenci kaum komunis, bahkan menjadi musuh utama sejak peristiwa Jengkol. Namun pada saat geger Gestok, justru Pak Karta melakukan pelbagai cara untuk melindungi kaum komunis demi kelangsungan perusahaannya, dan tentu saja atas nama kemanusiaan. Karena sebagian besar karyawan Pak Karta adalah anggota Serikat Buruh Gula—organisasi buruh di bawah PKI, jelas bila mereka semua dikirim ke ‘sukabumi’, maka bongkorlah perusahaannya itu. Pak Karta menyembunyikan mereka di dalam pabrik selama kekacauan politik waktu itu. Termasuk Sajuri.
Sajuri pun yang telah bekerja belasan tahun lamanya pada perusahaan negara itu, bertahun kemudian terkena pembersihan alias skrining yang berdampak pada kehidupan pribadi dan tentu pada masa depan anak angkatnya, Supriyadi. Walau demikian Sajuri menempuh jalan hidup yang tak biasa. Sajuri menjadi petani penggarap yang punya lahan sawah dan tegal cukup luas. Ia malah sempat mempekerjakan Ngali, memulangkan Markonah dan anak-anaknya ke kampung. Bahkan Sajuri bertahun kemudian justru menikahkan Supriyadi dengan Yatim Muhaeni, seorang gadis yang bapaknya menjadi korban 1965 karena salah seorang Ketua BTI.
Keluarga Supriyadi mewarisi kehidupan yang tidak kalah pelik dari Sajuri, walau zaman telah berubah. Mereka terus hidup dalam rasa takut. Bahkan hingga anak-anak mereka tumbuh dewasa. Ketika Palupi, anak gadisnya mengurus pernikahannya dengan pria asal Korea Selatan bernama Young Sub Shin, di depan pejabat pemerintah, bayang-bayang ketakutan itu terus membayangi. Sebagai orangtua dari anak-anak yang ingin hidupnya bahagia, Supriyadi dan Yatim Muhaeni merasa dipersulit.
Meski demikian, betapa pun sulit hidupnya, mereka semua menyakini leluhur Mbah Singa Maya dan Mbok Putri Ambar Sari senantiasa bersama —melindungi dan memberi restu jalan hidupnya.
Kini, Markonah, Suratemi, Sajuri telah benar-benar tua. Usianya dimakan pergerakan zaman. Yang bisa dilakukan hanyalah menyaksikan jalan hidup yang ditempuh anak turun mereka pada hari ini sebagai pewaris zaman —dalam lintasan keangkuhan atau kerendahhatiannya, pasang surutnya pergeserannya juga ketegangan serta kelembutan perubahan padanya.
Mereka semua telah betul-betul menyakini, hari ini adalah masa depannya, juga masa depan anak-anak mereka. [but]
Dijumput dari: http://www.beritajatim.com/detailnews.php/2/gaya_hidup/2013-05-22/172421/S_Jai_Menangi_Lomba_Novel_Etnografis
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar