Minggu, 30 Juni 2013

Kecerobohan Sang Kritikus atau Plagiarisme Sang Penyair Nobel?

Malkan Junaidi
http://www.facebook.com/malkan.junaidi

Dalam bukunya yang berjudul Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih, diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya, pada sub-kumpulan Puisi-Puisi (1995-1996), Arif Bagus Prasetyo mencantumkan sebuah puisi yang berjudul Nyanyian Diri:

Mungkin aku bisa berkelok untuk hidup bersama satwa,
Mereka begitu lembut lagi penuh percaya diri,
Aku berdiri memandang mereka begitu lama.
Mereka tidak berkeringat meratapi nasibnya,
Mereka tak berbaring dan mendelik dalam gelap menangisi dosa-dosanya,
Mereka tak memualkanku dengan bicara kewajiban terhadap Tuhan,
Tidak ada yang kekurangan, tak ada yang jadi edan
Oleh nafsu memiliki benda-benda,
Tidak ada yang berlutut pada yang lain, tak juga pada sesamanya
Yang hidup ribuan tahun silam,
Tak sekali pun dihargai atau berduka atas seluruh penjuru bumi.

1995

Saya tidak tahu bagaimana Arif B. Prasetyo (demikian penulisan yang lebih dilazimkan) bisa kemudian menyimpulkan bahwa puisi yang diterjemahkannya ini merupakan karya penyair Meksiko penerima Nobel Kesusastraan tahun 1990 itu, terlebih jika dikatakan sebagai ditulis pada tahun 1995. Puisi di atas, atau lebih tepatnya terjemahan penggalan puisi di atas, bukanlah milik Octavio Paz sebagaimana secara eksplisit diklaim di buku itu (di halaman ix dikatakan “…, kecuali sejumlah puisi mutakhir (1995-1996) dialihbahasakan dari manuskrip Paz Agency, New York.”), melainkan milik Walt Whitman (1819-1892), penyair besar Amerika kelahiran Long Island. Nyanyian Diri berasal dari Leaves of Grass, kumpulan puisi trademark Whitman yang merupakan hasil pergulatan kreatifnya di sepanjang paruh kedua hidupnya. Pertama kali terbit pada tahun 1855 dan hingga tahun 1882 memiliki setidaknya enam edisi.

SONG OF MYSELF

32

I think I could turn and live with animals, they are so placid and
self-contain’d,
I stand and look at them long and long.

They do not sweat and whine about their condition,
They do not lie awake in the dark and weep for their sins,
They do not make me sick discussing their duty to God,
Not one is dissatisfied, not one is demented with the mania of
owning things,
Not one kneels to another, nor to his kind that lived thousands of
years ago,
Not one is respectable or unhappy over the whole earth.

So they show their relations to me and I accept them,
They bring me tokens of myself, they evince them plainly in their
possession.

I wonder where they get those tokens,
Did I pass that way huge times ago and negligently drop them?
Myself moving forward then and now and forever,
Gathering and showing more always and with velocity,
Infinite and omnigenous, and the like of these among them,
Not too exclusive toward the reachers of my remembrancers,
Picking out here one that I love, and now go with him on brotherlyterms.

A gigantic beauty of a stallion, fresh and responsive to my caresses,
Head high in the forehead, wide between the ears,
Limbs glossy and supple, tail dusting the ground,
Eyes full of sparkling wickedness, ears finely cut, flexibly moving.

His nostrils dilate as my heels embrace him,
His well-built limbs tremble with pleasure as we race around and return.

I but use you a minute, then I resign you, stallion,
Why do I need your paces when I myself out-gallop them?
Even as I stand or sit passing faster than you.

Puisi di atas saya kutip dari Leaves of Grass edisi 1881. Ada beberapa perbedaan signifikan antara edisi ini dengan 5 edisi sebelumnya.[1] Pada edisi 1855, misalnya, puisi ini tak memiliki judul (dan memang semua puisi di edisi tersebut tak diberi judul), sedang pada edisi 1856, 1860, 1867, dan 1871-1872 ia dicantumkan sebagai puisi ke-32 dari 52 puisi di bawah judul “Walt Whitman”. Sepuluh tahun kemudian, yakni pada edisi 1881-1882, judul ini diganti dengan frasa “Song of Myself”. Perbedaan yang lain pada edisi kedua dan ketiga baris kedua[2] puisi ini berbunyi I stand and look at them sometimes half the day long., sedang pada edisi ketiga berubah menjadi I stand and look at them sometimes an hour at a stretch., dan baru di edisi keempat Whitman mantap dengan kalimat I stand and look at them long and long. Baris lain yang mengalami revisi adalah baris keenam: di semua edisi sebelum edisi 1881 bunyinya bukan Not one is respectable or unhappy over the whole earth., melainkan Not one is respectable or industrious over the whole earth.. Revisi lain di puisi Song of Myself bagian 32 hanya terkait ihwal pungtuasi dan enjambemen, dan kiranya kurang relevan untuk dibahas.

Kesalahan genealogis yang fatal ini secara tak sengaja saya temukan pada tahun 2006 saat saya membuka-buka buku Leaves of Grass di sebuah perpustakaan, tak lama setelah saya membaca cetakan pertama buku Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih. Sejak saat itulah saya meragukan kevalidan data yang digunakan alumnus International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat itu, terutama melihat perbedaan menyolok gaya tulisan (meski cuma hasil terjemahan) antara puisi-puisi dari sub-kumpulan Puisi-Puisi (1995-1996) dengan puisi-puisi dari sub-kumpulan yang lain (Dari La Estación Violenta (1948-1957), Dari Águilao sol (1949-1950, Dari Salamandra (1958-1951), Dari Ladera Este (1962-1968), dan Dari Vuelta (1976)). Puisi-puisi dari sub-kumpulan Puisi-Puisi (1995-1996) lebih terasa kontemplatif dan aforistis,sedang puisi-puisi dari sub-kumpulan yang lain lebih terasa surealis dan pos-modernis. Namun karena keterbatasan alat bukti, dalam hal ini buku-buku puisi asing, kegusaran saya tetaplah menjadi kegusaran. Lagipula jikapun saya punya cukup buku, tetap menurut saya merupakan masalah teknis yang tak mudah diatasi untuk memastikan apakah sebuah puisi digenealogikan secara benar atau salah, kecuali jika puisi-puisi yang disalah-nisbahkan tersebut termasuk puisi-puisi yang terkenal atau setidaknya yang kebetulan saya kenal. Beruntung, tak lama kemudian saya berkesempatan akrab dengan internet. Internet, yang menyediakan sistem pencarian menggunakan keyword, memberi kemungkinan pencarian data secara jauh lebih cepat dan presisi dibanding sistem pencarian manual memakai katalog di sebuah perpustakaan. Dengan bermodalkan Bahasa Inggris yang pas-pasan, satu per satu puisi-puisi tersebut saya selidiki, dan akhirnya sekarang saya nyatakan dengan tanpa ragu, bahwa: seluruh puisi yang berjumlah 7 judul yang dicantumkan di sub-kumpulan Puisi-Puisi (1995-1996) buku Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih karya Arif B. Prasetyo itu sama sekali bukan puisi Octavio Paz.

Keluar—cahaya marak ada di luar—keluarlah semua!
Dan, atas setiap sosok gemetar,
Tirai, sebentang kafan pemakaman,
Tergerai turun dalam raung angin topan.
Dan malaikat-malaikat, semuanya pucat pasi,
Bangkit, menyibak cadar, merestui
Lakon tragedi ini: Manusia
Dan Pahlawannya, Cacing Penakluk.

April, 1996

Puisi yang diberi judul Cacing Penakluk ini, misalnya, sangat tidak benar jika dikatakan merupakan puisi yang pernah dibuat oleh Paz. Ini adalah puisi Edgar Allan Poe. Mustahil seorang Arif B. Prasetyo tak mengenal penemu genre Fiksi Detektif yang sering mengalami masalah finansial disebabkan memutuskan untuk hidup hanya dari menulis ini. Judul asli puisi di atas adalah The Conqueror Worm, dipublikasikan pertama kali dalam bentuk puisi yang berdiri sendiri — yakni bukan merupakan bagian dari cerita pendek Ligeia (isi The Conqueror Worm juga merupakan bagian dari versi kedua cerita pendek Poe ini, versi pertama tidak mencantumkannya karena dipublikasikan tahun 1838, sebelum The Conqueror Worm dibuat) — pada Januari 1843 di Graham’s Magazine, sebuah majalah seni dan sastra bulanan dari Philadelphia yang eksis selama lebih kurang 18 tahun sejak awal 1840-an, dan yang mana Poe pernah menjadi editornya. Akan tetapi, sayangnya, versi Arif B. Prasetyo tersebut hanya merupakan terjemahan satu bait, yaitu bait terakhir, dari keseluruhan 5 bait yang ada.

THE CONQUEROR WORM

Lo! ‘tis a gala night
Within the lonesome latter years!
An angel throng, bewinged, bedight
In veils, and drowned in tears,
Sit in a theatre, to see
A play of hopes and fears,
While the orchestra breathes fitfully
The music of the spheres.

Mimes, in the form of God on high,
Mutter and mumble low,
And hither and thither fly —
Mere puppets they, who come and go
At bidding of vast formless things
That shift the scenery to and fro,
Flapping from out their Condor wings
Invisible Wo!

That motley drama — oh, be sure
It shall not be forgot!
With its Phantom chased for evermore,
By a crowd that seize it not,
Through a circle that ever returneth in
To the self-same spot,
And much of Madness, and more of Sin,
And Horror the soul of the plot. ­

But see, amid the mimic rout
A crawling shape intrude!
A blood-red thing that writhes from out
The scenic solitude!
It writhes! — it writhes! — with mortal pangs
The mimes become its food,
And the angels sob at vermin fangs
In human gore imbued.

Out — out are the lights — out all!
And, over each quivering form,
The curtain, a funeral pall,
Comes down with the rush of a storm,
And the angels, all pallid and wan,
Uprising, unveiling, affirm
That the play is the tragedy, “Man,”
And its hero the Conqueror Worm.

Sebenarnya ada beberapa versi dari The Conqueror Worm. Versi yang saya cantumkan dan agaknya merupakan versi yang diterjemahkan Arif B. Prasetyo di atas adalah yang sebagaimana bisa kita temukan di Ligeia dan antologi The Raven and Other Poems. Adapun dalam versi Graham’s Magazine bunyi baris kedua bait kelima bukanlah And over each quivering form,, melainkan And over each dying form,, sedang pada baris kelimanya bukan And the angels, all pallid and wan,, tetapi And the seraphs, all haggard and wan,. Di samping salah penggenealogian, kekurangtepatan (untuk tak mengatakan kesalahan) dalam penerjemahan juga saya temukan. Di puisi Nyanyian Diri, misalnya, Pemenang I Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007 ini menulis Tak sekali pun dihargai atau berduka atas seluruh penjuru bumi. sebagai terjemahan dari baris Not one is respectable or unhappy over the whole earth.. Sejak kapan “one” berarti “sekali pun”? Juga pada puisi Cacing Penakluk ia menulis Bangkit, menyibak cadar, merestui/Lakon tragedi ini: Manusia/Dan Pahlawannya, Cacing Penakluk. sebagai terjemahan dari Uprising, unveiling, affirm/That the play is the tragedy, “Man,”/And its hero the Conqueror Worm.. Bukankah “merestui” adalah “memberi berkat atau mendoakan” dan padan-katanya dalam Bahasa Inggris adalah “bless”? Sedang “affirm” jika dirunut maknanya di kamus, terutama mempertimbangkan adanya complementizer “that” dalam affirm that the play is the tragedy, mustahil diterjemahkan sebagai “merestui”, sebaliknya lebih tepat dimaknai sebagai “mengiyakan, menyetujui, atau menegaskan”. Lagipula “merestui” adalah verba transitif sama seperti “bless”, sedang “affirm” bisa baik transitif maupun intransitif.

Ada
Tiga ihwal sunyi:
Salju yang luruh, jam
Menjelang subuh, mulut seseorang
Yang menemui ajal.

Maret, 1996

Adapun puisi ini diberi judul Sunyi, merupakan puisi berikutnya yang juga sungguh menyesatkan jika dikatakan sebagai karya Paz. Adalah Adelaide Crapsey (1878–1914), penyair perempuan Amerika penemu Cinquain, jenis puisi imajis berpola 5 baris, yang menulis puisi ini di rentang tahun 1911-1913. Sebagaimana Edgar Allan Poe yang dalam The Conqueror Worm terinspirasi oleh puisiThe Proud Ladye karya Spencer Wallace Cone[3],Adelaide Crapsey pun di dalam menemukan Cinquain terinspirasi oleh Haiku dan Tanka dari kesusastraan Jepang. Dalam Bahasa Inggris Haiku lazim ditulis menjadi 3 baris, sedang Tanka menjadi 5 baris. Crapsey mengawinkan keduanya, termasuk memasukkan unsur imajis kemusiman (kigo) yang wajib ada dalam sebuah Haiku, sehingga menjadi apa yang disebut Cinquain itu. Dalam buku puisinya, Verse, yang diterbitkan tak lama setelah ia meninggal karena tuberkulosis, kita bisa menemukan 28 Cinquain karya Crapsey, salah satunya Cinquain berikut ini.

TRIAD

These be
Three silent things:
The falling snow. .the hour
Before the dawn. .the mouth of one
Just dead.

Dengan membandingkan dengan Cinquain di atas, saya bisa meraba setidaknya dua kejanggalan pada puisi Sunyi. Pertama, bagaimana ceritanya sehingga judul Triad bisa berubah menjadi Sunyi? Kedua, bukankah ada beda-nuansa saat the mouth of one just dead diterjemahkan sebagai “mulut seseorang yang menemui ajal” dengan jika misalnya diterjemahkan sebagai “mulut seseorang yang baru meninggal”? Baris terakhir sebuah Cinquain sangatlah penting diperhatikan, baik dalam proses pembacaan maupun penerjemahan. Sebab ada syarat baris ini harus diberi tekanan lebih besar dibanding keempat baris sebelumnya. Frasa baru meninggal dari segi kediksian dan fonetik-kepuisian mungkin kalah kuat dibanding frasa menemui ajal. Namun yang saya rasakan saat membaca frasa mulut seseorang yang menemui ajal adalah seolah-olah ia diterjemahkan darifrasa “the mouth of a dying man”, yaitu mulut orang yang sedang sekarat, beberapa detik sebelum benar-benar meninggal. Padahal yang ditangkap dari versi aslinya, the mouth of one just dead, adalah justru imaji mulut seseorang yang baru saja meninggal. Tentu keduanya berbeda.

Di samping kesalahan fatal penisbahan karya pada nama Octavio Paz, kejanggalan dalam penjudulan juga saya temukan di puisi Peneguhan Diri berikut:

Bukan soal betapapun sempitnya gerbang,
Betapapun suratan ini didera siksa,
Aku tuan atas nasibku:
Aku nakhoda bagi jiwaku.

Harvard,1996

Puisi liris ini seharusnya dinisbahkan pada nama William Ernest Henley (1849–1903), penyair dan kritikus Inggris yang pernah selama beberapa tahun menjadi editor di jurnal The National Observer. Kita bisa menemukan versi asli dan lengkap puisi di atas di antologi A Book of Verses milik Henley, yang merupakan puisi keempat (dengan judul iv) dari 95 puisi di bawah sub-kumpulan Life and Death (Echoes) yang didedikasikan untuk seseorang yang berinisial R. T. H. B., yaitu Robert Thomas Hamilton Bruce, seorang penjual tepung sukses dan notabene sastrawan terkemuka Skotlandia.

LIFE AND DEATH (ECHOES)

iv

To R.T. H. B.

Out of the night that covers me,
Black as the pit from pole to pole,
I thank whatever gods may be
For my unconquerable soul.

In the fell clutch of circumstance
I have not winced nor cried aloud.
Under the bludgeonings of chance
My head is bloody, but unbowed.

Beyond this place of wrath and tears
Looms but the Horror of the shade,
And yet the menace of the years
Finds and shall find me unafraid.

It matters not how strait the gate,
How charged with punishments the scroll.
I am the master of my fate:
I am the captain of my soul.

1875

Tetapi dalam perkembangannya, pada tahun 1900, sebuah buku berjudul Oxford Book of English Verse, 1250–1900 terbit, memuat 883 puisi dari kesusastraan Inggris yang diciptakan di rentang 1250-1900. Arthur Quiller-Couch, sang editor,memasukkan 3 puisi Henley di dalamnya, termasuk puisi pendek di atas yang diberinya judul Invictus (dengan tanpa menyertakan dedikasi pada Robert Thomas Hamilton Bruce dan tahun pembuatan sebagaimana di A Book of Verses). Sejak itulah puisi ini lebih dikenal sebagai puisi Invictus, bahasa Latin dari “tak terkalahkan” atau “unconquerable”. Peneguhan Diri oleh karenanya, meski dilihat dari konteks semantis memiliki relevansi dan kesesuaian (bahkan secara pribadi lebih saya sukai ketimbang Invictus), yatim piatu secara silsilah, kecuali tentu silsilah ke Paz Agency seperti disitir oleh Arif B. Prasetyo. Invictus— sangat jauh dari keterangan di bawah puisi Peneguhan Diri yang menyatakan ia ditulis di Harvard pada tahun 1996 — ditulis di Royal Infirmary of Edinburgh, sebuah rumah sakit nirlaba tertua di Skotlandia, saat Henley menjalani perawatan selama 20 bulan antara 1873-1875 karena infeksi tuberkular yang mendera kaki kanannya. Henley sebelumnya telah kehilangan kaki kirinya karena penyakit ini dan tak merelakan kaki kanannya mengalami nasib serupa. Dokter Joseph Lister yang kepadanya Henley menyerahkan kesembuhan dirinya akhirnya bisa menyelamatkan kaki tersebut, namun penyakit yang telah menghinggapi Henley sejak usia 12 tahun itu tak bisa benar-benar sembuh dan dinyatakan sebagai penyebab utama meninggalnya penyair ini di usia 53 tahun.

Kecut?
Aku tahu kita hanya hidup sekali.
Karena itu: hindari mati, saranku.

Juni,1996

Di antara 7 terjemahan puisi di sub-kumpulan Puisi-Puisi (1995-1996) buku Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih karya Arif B. Prasetyo, terjemahan puisi berjumlah 3 baris di atas merupakan yang terpendek sekaligus yang judulnya sama sekali tak mengalami perubahan dari versi aslinya, Arcades Ambo. Lagi dan lagi ini bukan hasil terjemahan dari puisi Paz, melainkan — kali ini — dari milik Robert Browning, penyair era Victoria di samping Alfred Tennyson yang paling populer dan berpengaruh. Browning lahir pada 7 Mei 1812 di Camberwell, London selatan. Ayahnya adalah seorang pecinta sastra yang berusaha keras mewariskan kecintaan itu pada anak-anaknya. Ia seorang bankir kaya, memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi mencapai 6.000 buku, banyak di antaranya merupakan buku langka. Melalui perpustakaan ayahnya inilah Browning yang kutu buku namun tak menyukai pendidikan formal mendapat asupan gizi yang meningkatkan secara pesat pengetahuan dan kemampuan kebahasaan dan kesusastraannya. Terbukti di usia baru 12 tahun ia sudah menghasilkan sebuah buku puisi, meski lalu dihancurkannya sendiri karena tak adanya penerbit yang mau menerbitkannya, dan pada umur 14 tahun ia sudah mahir bahasa Latin, Italia, Yunani, dan Prancis. Yang terakhir ini menjadi alasan penting kenapa tak sedikit puisi Browning harus kita cari referensinya dalam bahasa atau khazanah kesusastraan negara-negara tersebut, termasuk puisi ini:

ARCADES AMBO

A: You blame me that I ran away?
Why, Sir, the enemy advanced:
Balls flew about, and — who can say
But one, if I stood firm, had glanced
In my direction ? Cowardice ?
I only know we don’t live twice,
Therefore — shun death, is my advice.

B: Shun death at all risks ? Well, at some!
True, I myself. Sir, though I scold
The cowardly, by no means come
Under reproof as overbold
— I, who would have no end of brutes
Cut up alive to guess what suits
My case and saves my toe from shoots.

Arcades Ambo berasal dari Asolando, antologi puisi terakhir Robert Browning yang meski tertulis 1890 sebagai tahun terbitnya, namun pada kenyataannya diterbitkan pada hari kematiannya, yaitu 12 Desember 1889. Frasa Arcades Ambo sebelumnya juga pernah digunakan Browning dalam bait terakhir puisi terakhir antologi Jocoseria (1883), Pambo:

Brother, brother, I share the blame,
Arcades sumus ambo!
Darkling, I keep my sunrise-aim,
Lack not the critic’s flambeau,
And lookto my ways, yet, much the same,
Offend with my tongue – like Pambo!

Pambo adalah nama seorang biarawan pada masa Santo Antonius yang, setelah belajar ayat pertama dari Mazmur ke-39, menolak untuk belajar lagi, mengatakan bahwa satu saja sudah cukup baginya jika dia belajar dengan benar. Frasa look to my ways dan offend with my tongue merujuk pada ayat yang dimaksud, yaitu “I said I will look to my ways, that I offend not with my tongue.” Secara harfiah Arcades Ambo berarti “Keduanya Sama-Sama Orang Arkadia” sedang Arcades sumus ambo berarti “Kita berdua sama-sama orang Arkadia”. Kedua makna ini agaknya tak cukup membantu pemahaman kita mengenai apa yang kurang lebih dimaksudkan oleh Browning. Kita harus merunut jauh ke belakang, ke kesusastraan Latin, ke Eclogues— puisi bergaya klasik yang terdiri dari 10 bagian — karya Virgil (Publius Vergilius Maro), penyair Romawi Kuno yang meninggal pada 19 SM. Di 5 baris awal Eclogue Ketujuh (Ecloga Septima)-nya tertulis:

Forte subarguta consederat ilice Daphnis,
compulerantque greges Corydon et Thyrsis in unum,
Thyrsis ouis, Corydon distentas lacte capellas,
ambo florentes aetatibus, Arcades ambo,
et cantare pares et repondereparati.

Henry Rushton Fairclough (1862 – 1938), ahli bahasa Latin dan Yunani kelahiran Ontario yang meraih gelar Doktor Bidang Karya-Karya Klasik di Universitas Johns Hopkins, menerjemahkan penggalan Eclogue di atas sebagai:

Daphnis, it chanced had made his seat beneath a whispering ilex,
while Corydon and Thyrsis had driven their flocks together
– Thyrsis his sheep, Corydon his goats swollen with milk –
both in the bloom of life, Arcadians both,
ready in a singing match to start, ready to make reply.

Arkadia merupakan bagian dari region Peloponnese, Yunani selatan. Topografi wilayahnya bergunung-gunung, sehingga membuat mayoritas penduduknya, dahulu kala, memilih berprofesi sebagai penggembala ternak ketimbang becocok-tanam. Frasa while Corydon and Thyrsishad driven their flocks together – Thyrsis his sheep, Corydon his goats swollen with milk sedikit banyak menggambarkan suasana penggembalaan pada waktu itu. Orang Arkadia pada umumnya ‘terbelakang’ secara intelektual, namun ‘terpelihara’ secara moral. Populasi yang jarang membuat mereka mengembangkan sistem kekeluargaan dan pertemanan yang erat, sedang metode penggembalaan yang berpindah-pindah (demi air dan rumput segar) dengan sendirinya membentuk kepribadian yang harmonis dengan alam. Setelah periode yang lama Arkadia akhirnya identik dengan keluguan dan kepolosan, keramahan dan kehangatan, kesederhanaan dan kerendah-hatian, orang-orang yang ‘tak berbudaya’ ketika ‘berbudaya’ bermakna sombong dan rakus. Walau demikian “arkadian” adalah bipolar secara semantis, seperti halnya frasa “orang kampung”. Orang kampung secara konotatif identik dengan orang yang “kuno, kolot, atau tak berpendidikan”, — dan tidak jarang penilaian atau pemaknaan seperti ini dilakukan oleh orang-orang kota yang (mungkin merasa lebih terdidik namun sekaligus) tak cukup menyadari atau mengakui berbagai ironi yang membelit hidup mereka sendiri — tetapi sekaligus menyimpan pula makna-makna pastoral dalam dirinya. Demikian juga “arkadian” meski biasa dimaknai “polos”, namun bisa pula dimaknai “bodoh”.

Penggunaan frasa Arcades Ambo dalam karya yang lebih muda terdapat dalam novel The Fortune of War (1979) karya Patrick O’Brian:

Two weevils crept from the crumbs.
“You see those weevils, Stephen?” said Jack solemnly.
“Which would you choose?”
“There is not a scrap of difference. Arcades ambo. They are the same species of curculio, and there is nothing to choose between them.”
“But suppose you had to choose?”
“Then I should choose the right-hand weevil; it has a perceptible advantage in both length and breadth.”

Dari sini jelas terlihat bahwa, setelah dua ribu tahun, frasa yang dipopulerkan Virgil tersebut mengalami penyempitan makna,dari yang semula berada di ketegangan ambigu antara makna “keduanya sama-sama polos” dan “keduanya sama-sama tak canggih” menjadi sekedar “keduanya sama saja”.

Runutan semantis frasa Arcades Ambo ini penting untuk terbukanya jendela di ruang-puisi Robert Browning di atas, sehingga ia tak lagi terlihat terlalu gelap atau terasa terlalu pengap. Walaupun tentu tetap merupakan kebebasan pembaca untuk memilih makna mana yang diinginkannya, yang paling selaras dengan proses apresiasinya atas puisi tersebut. Bahkan tetap merupakan hak mereka untuk memilih makna yang sama sekali berbeda. Yang pasti konstruksi-dialogis yang dihadirkan Browning dalam puisinya kali ini, dengan dua aku-lirik, A dan B, dan dengan dihadirkannya perbandingan argumen yang menunjukkan kesetaraan kualitatif antar keduanya (A mengungkapkan I only know we don’t live twice, sedang B mengatakan I, who would have no end of brutes), menjadi alasan logis atas pemilihan judul Arcades Ambo. Adapun terjemahan Arif B. Prasetyo — terlepas dari fakta salah-nisbah ke Paz dan fakta puisi terjemahan di atas hanya merupakan 3-yang-tak-genap dari keseluruhan 14 baris yang ada — menurut saya relatif bagus. Hanya saja memang setelah mengerti makna Arcades Ambo, terjemahan tersebut, karena absennya dua hal atau dua orang yang diperbandingkan, jadi terasa janggal. Siapa atau apa yang sama tidak pernah jelas.

Kalau kau mau mengamati, tak perlu
Seorang pria berbadan besar untuk membuat
Bayang raksasa di atas tembok.
Dan dia yang sehari-hari tampak di mata kita
Tidak ebih daripada sosok kecil dan biasa-biasa saja,
Dalam sorot cahaya khayali kemasyhuran,
Akan melenggang seagung bayang
Melintasi layar masanya.

1996

Puisi ini diberi judul Kemasyhuran. Sebenarnya hanya fragmen dari sebuah puisi panjang karya John Townsend Trowbridge (1827-1916), penulis Amerika asal Ogden, New York, yang di awal-awal karier kepenulisannya sempat mengunakan pseudonim Paul Creyton. Trowbridge termasuk penulis yang latar pendidikannya biasa-biasa saja. Gangguan penglihatan semasa kecil membuatnya tak bisa mengikuti pendidikan formal dengan baik dan lebih banyak belajar secara autodidak, khususnya dalam bahasa Perancis, Latin, dan Yunani. Trowbridge pernah kuliah selama setahun di sebuah akademi di Lockport dan pernah menjadi guru selama dua tahun (1845-1846) di dua tempat yang berbeda, Illinois dan Lockport. Tahun 1847 ia pergi ke New York, menjadi kontributor untuk beberapa surat kabar dan majalah, terutama Dollar Magazine, dan menjadi salah satu staf editorial di koran Sentinel. Trowbridge adalah seorang yang anti perbudakan, sikap antinya ini diekspresikan tak hanya melalui artikel-artikel di koran[4],namun juga melalui sebuah novel berjudul Neighbor Jackwood (1856). Novel yang lantas ditulis ulang menjadi naskah drama untuk Boston Museum. Pada Senin, 16 Maret 1857 Trowbridge bersama seorang temannya menyaksikan sebuah poster pertunjukan drama miliknya itu. Tertulis di poster tersebut:

TREMENDOUS HIT!!
RECEIVED WITH THUNDERS OF APPLAUSE!!!

Insiden ini menjadi petunjuk bagi terciptanya bait pembuka puisi Author’s Night beberapa tahun berikutnya.

AUTHOR’S NIGHT

“BRILLIANT SUCCESS !” the play-bills said,
Flaming all over the town one day,
Blazing in characters blue and red,
(Printed for posting, by the way,
Before the public had seen the play!)
“Received with thunders of applause!
New Piece! New Author!! Tremendous hit!!!”
This was on Tuesday: still it draws,
And to-night is the Author’s Benefit.

“New piece”: I’ve a word to say about that.
Nine years ago, it may be more,
There came one day to the manager’s door
A hopeful man, with a modest rat-tat,
Who smilingly entered, took off his hat,
And, begging the great man’s pardon, slipt
Into his hand a manuscript.

In a month he came again: “The play —
Which I troubled you with — the other day —”
“The play? Oh! ah!” says the manager,
Politest of men. “Excuse me, sir ;
‘T is being considered.” (Safe to bet
He hadn’t looked at the title yet!)
“I’ll drop you a line; or you’ll confer
A favor by calling a week from now.”
And he turned him out with a model bow.
Eight days later again they met, —
Modest author hopeful as ever;
But the great man finished his business thus:
“I’ve read your play, sir ; very clever;
But” (handing it back to him) ”I regret
It isn’t exactly the thing for us.
Good-morning, sir!” Politest of men!
Nine years ago, it may be ten.

Author and piece were new enough then.
But sorrow and toil and poverty
Have taken the gloss from him, you see;
And the play was afterwards knocked about
The theatres, keeping company
With dice and euchre-packs so long,
And pipes and actors paint, it grew
To look so dingy and smell so strong,
You’d have called it anything but new!
Till gruff and gouty old Montagu

Happened to take it up one day:
’T was after dinner; he thought, no doubt,
’T would help him to a nap. “But stay!
What in the deuce, boys! Here’s a play!”
He rubbed his glasses, forgot his gout,
And read till he started up with a shout,
“’T is just the thing for my protégée,
And hang me, if I don’t bring it out!”

And so it chanced, politest of men!
The play came into your hands again
Nine years later, — did I say ten?
And either age had improved its flavor,
Or you are wiser than you were then;
For now you deem it a special favor
That gouty and grouty old Montagu
Consented to bring it out with you.

“Tremendous hit!”

In the vast theatre’s hollow sphere
High hangs the glittering chandelier;

Its bright beams flash on

Beauty and fashion;
A sea of life pours into the pit,
And cloud upon cloud piles over it,
Where Youth and Pleasure and Mirth and Passion
And Years and Folly and Wisdom and Wit
Throng to the Author’s Benefit.

The orchestra leader takes his place;
Horn and serpent and oboe follow,
Violin and violoncello,
Trombone, trumpet, and double-bass.
A turning of music-leaves begins,
With a thrumming and screwing of violins;
Then the leader waves his bow, and — crash !
Kettle-drum rattles and cymbals clash,
And brass and strings and keen triangle
And high-keyed piccolo, piercing and pure,
Their many-colored chords entangle,
Weaving the wild, proud overture.

Old Montagu, with fret and frown,

All cloaked and gloved, walks up and down
Before the door of his protégée,

Keeping her worshippers at bay.
But he catches one who comes that way,
Gives him a gouty finger or two,
And seems quite civil: “Why didn’t you

Have a bouquet

For my protégée,
In the boudoir-scene last night ? ‘T will do
As well to-night, though.” (Straight off goes gay
Young Lothario, hunting a nosegay.)
He punches a pale reporter next
With his playful cane: “She’s terribly vext
At you, young fellow! Why didn’t you get
That notice into your last Gazette?
You will in your next, eh ? Don’t forget! “
And gruff and snuffy old Montagu
Limps down to the curtain and peeps through:
“Boys! what a house it is! Thanks to me,
The fellow s fortune is made,” quoth he.

Then, tinkle-tinkle! The music hushes;
Up to the ceiling the great curtain rushes;

And a world of surprise

To fresh young eyes,
A realm of enchantment, glows and flushes,
Stretching far back from the footlights’ brink.
How does it look to worldly-wise
And crusty old Montagu, do you think?

And the author, where all the while is he?
How seems it to him ? Were I in his place,
Turning at last my toil-worn face

From the dreary deserts of poverty,
Wouldn’t all my heart leap high to see
The flowers of beauty and fashion and grace,

One many-hued, gay,

Immense bouquet,
Flaunting and fluttering here for me?
The costumed players, even she,

The bright young queen

Of the radiant scene,
Speaking his speeches, living his thought;
And all this vast, pulsating mass
Held captive by the spell he wrought, —
Held breathless, like a sea of glass
That bursts in breakers of wild applause: —
Wouldn’t you conceive you had some cause
For an honest thrill, if you were he?
But where, as we said, can the fellow be?

Montagu is crabbed and old;
And the wings are barren and gusty and cold;
And, ah! could the fresh young eyes behold,

Around and under

That vision of wonder, —
Behind the counterfeit joys and hopes,
The tinsel and paint of the players parts, —
The barn-like vault, with its pulleys and ropes,
Shabby canvas and sheet-iron thunder,
And, O, the humanest lives and hearts!

Head of Jesuit, heart of Jew,

Snuffy and puffy old Montagu

Watches his ward, as a lynx his prey;
Wheedles her lovers, and reckons his gains;
Though naught but praise of his protegee,
Will he hear from another, he follows the play
With eyes that threaten and brows that rebuke her,
And lips that can chide in a fierce, sharp way,
When all is over, for all her pains.
The priest and the lover are playing euchre
In the intervals of their parts ; the clown,
Dull fellow enough when the curtain is down,

Has had, they say,

Bad news to-day ;
The merry ghost of the murdered man
Takes pleasant revenge on the whiskered villain
At a game of chess which they began
In the green-room, just before the killing;
The beggar is scuffling with the king;
And the lovelorn maiden is gossiping
With the misanthrope, prince of all good fellows;
And some are sad, and some are gay,
Some are in love, and some are jealous;
And there s many a play within the play!

And, O young eyes! in yonder alley,
Which the tall theatre overtops
(Its sheer crag towering above a valley
Of poor men s tenements and shops), —
Where three little cherubs, not overfed,
Are lying asleep in a trundle-bed,
While a thin, wan woman, sitting late,
Is stitching a garment beside the grate, —
You might, at this moment, see a man
Act as no paid performer can, —
In that wholly unstudied, natural way

No one to this day

Ever saw in a play!

Out at elbows, out at toes,
A needy, seedy, lank little man,
To and fro and about he goes,
With a vexed little bundle of infantine woes;
Sitting down, rising up, and with rocking and walking,
With hushing and tossing and singing and talking,

Vainly trying

To still its crying;
While a shadow behind him, huge and dim,
With a shadow-baby mimics him,

Sketched on the wall,

Grotesque and tall.

Anon he pauses. Hark to the cheers!

He laughs as he hears;
And he says, “I believe I could tell by the cheers
(If only this child wouldn’t worry so!) —
Whether they come from above or below,
Begin in the boxes or up in the tiers, —
Which is the speech, and who is the player! “
In his keen face kindles a youthful glow, —
And lo! ’t is the face of the man we know;

’T is certainly so!
Though faded and jaded, thinner and grayer,
With a ghost of the look of long ago.

“To think,” he says, “I never knew
The play was to be brought out, until
I saw it that morning on the bill!
Then didn’t I hurry home to you
(I vow, this baby will never hush!
There, bite my finger, if you will!)
With the wonderful news? And didn’t I rush
Up the alley, to find old Montagu?
You wouldn’t believe it was really true,
And you only half believe it still!”

Reason enough that she should doubt!
For hasn’t she witnessed, all these years,
His coming in, and his going out,
His wisdom, his weakness, his laughter and tears?
Seen him pine and seen him fret?
Eating his dinner (when dinners were had) ;
Serious, frivolous, hopeful, sad; —

Why, he never could get

A living yet,
And all that he tried has failed outright!

Now can it be,

Is it really he,
This poor weak man at her side, whose wit
Is making the theatre shake to-night
As if its very sides would split?

Odd, is it not? But, after all,
If you will observe, it doesn’t take
A man of giant mould to make
A giant shadow on the wall;
And he who in our daily sight
Seems but a figure mean and small,
Outlined in Fame s illusive light,
May stalk, a silhouette sublime,
Across the canvas of his time.

She answers with a peevish smile,
Taking stitch upon stitch the while:
“Why didn’t they pay you something down
To buy you a coat and me a gown?
Then I could go to the theatre too,
And you would n t be ashamed to sit
In the private box they offered you,
Instead of sneaking in as you do.
They put you off with a benefit!
And how do I know but Montagu
Is going to cheat you out of it?”

“These women never will understand
Some things!” he cries. “How many times more
Must I explain —” A rap at the door!
A step on the creaking stairway floor!
He opens, and sees before him stand
A visitor, courteous, bland, and grand, —
His friend, the manager, true as you live!
Who puts a packet into his hand,
Very much as once we saw him give
A manuscript, with the same old bow.
(Everything seems altered now
But the model man and his model bow:
He will enter, I fancy, the other world

In just this style, —

With a flourish and smile,
Diamonds sparkling, and mustache curled!)

“It gives me very great pleasure: one third
Of the gross receipts”: presenting the packet.
“For a first instalment, upon my word,
Not bad, my friend ! — A check, if preferred;
But I thought you might manage this,”he says.
“A little seed, which I trust will grow.
The piece is certainly a success,
And, with the right management to back it,
Will run, I should say, six weeks or so.
Really, a very neat success!
We shall always be playing it more or less.
I m happy to say so much; although
I think I was right, nine years ago.
(Sign this little receipt, if you please?)
Times were not ripe for it then, you know;
The play would have failed, nine years ago.
Now, when can you give us another piece?”

The author, in the sudden heat
And tumult of his joy (or is it
His strange confusion at this visit ?
The greatest honor of all his life!)
Partly because the said receipt
Is to be signed, and partly, maybe,
Because one arm still holds the baby,
Turns over the packet to his wife.
She tears the wrapper, and both her hands

Amazed she raises, —

Amazed she gazes !
The bursting treasure her broad lap fills, —
Gold and silver and good bank-bills!
Why, this at last she understands;
And now she believes in the benefit,
In the manager, and in Montagu,
In the play, and just a little bit
In her dear, old, clever husband too!

As for him, he seizes his hat, —
Wife and children must have a treat!
He follows the manager into the street,
Bent on purchasing this and that,
Something to wear and something to eat.
But the worthy man is quite too fast :
The shops are mostly closed; and at last
He comes around to the play-house door,

Where he hears such a din

Burst forth within,
What does he do, but just look in?

He reaches the lobby, and stands in the crowd;
By craning his neck, and tiptoeing tall,
He can see that the curtain is down, that’s all.

But still the roar

Goes up as before,

Shout upon shout!
Rapping and clapping and whistling and calling,
Stamping and tramping and caterwauling.
So he cries aloud to a man in the crowd,

“What is it about?”
And the man in the crowd screams back as loud,

“Don’t you know?

It s the end of the show!
They’re trying to call the author out!”

The manager appears in his place,
Hat in hand, extremely polite,
Bowing and smiling to left and right,
(If only the author could get a sight!)
And delivers with characteristic grace
A neat little speech of about a minute,
With a plenty of pleasant nothings in it: —

“Author — unable to appear

Obliged — presents —

Compliments —”
(If only the author himself could hear!

How the people cheer!)
“Company — favorite — credit due —
My friend and the public’s — Montagu —
Theatre — enterprise in securing —
Author — other plans maturing —
Public — generous appreciation —

Gratification —

This ovation” —

And so, with a beautiful peroration,
Just the thing for the happy occasion,
He sails away in the breeze of a grand sensation.

All is over, and out with the throng
The jostled author is borne along.
Will the fresh young eyes, I wonder, see
The crumpled man in the crowd, and note
The napless hat and the seedy coat?
Alone, unknown, he goes his way,
None so unknown and lonely as he!
While he hears at his side a sweet voice say,
“O, what wouldn’t any one give to be
The author of that delightful play!
I know he is handsome, he must be gay,
And tall, — though of that I’m not so certain.
Why didn’t he come before the curtain?”

Author’s Night terdiri dari 27 bait (367 baris), bisa ditemukan di The Emigrant’s Story and Other Poems (1875) atau di The Poetical Works of John Townsend Trowbridge (1903). Merupakan sebuah puisi naratif yang rapi rimanya namun tak beraturan baitnya. Bercerita tentang seorang penulis cerdas yang karyanya diacuhkan, kehidupan keluarganya dihimpit kemiskinan, dan baru bisa keluar dari penderitaan ketika naskahnya — sembilan atau sepuluh tahun setelah ditolak oleh seorang manajer pertunjukan drama — secara kebetulan ditemukan dan dibaca oleh sang sutradara pertunjukan drama itu, lantas dimainkan dan meraih sukses besar. Istri sang penulis ketika mendengar kabar karya suaminya membuat heboh gedung teater merasa tak percaya, sebab pikirnya jika betul suaminya orang cerdas tentu usahanya tak begitu sering menemui kegagalan dan kehidupan mereka tak sengsara seperti sekarang. Ia ragu, benarkah lelaki miskin yang lemah fisiknya ini yang karyanya jadi buah bibir diseluruh penjuru kota? Dalam rangka menanggapi keheranan dan ketakpercayaan inilah Trowbridge menulis bagian yang diterjemahkan Arif B. Prasetyo sebagai puisi berjudul Kemasyhuran itu, yaitu keseluruhan bait ke-18 (baris ke-227 hingga 235), kecuali baris pertama:

Odd, is it not? But, after all,
If you will observe, it doesn’t take
A man of giant mould to make
A giant shadow on the wall;
And he who in our daily sight
Seems but a figure mean and small,
Outlined in Fame s illusive light,
May stalk, a silhouette sublime,
Across the canvas of his time.

Tak sebagaimana puisi-puisi Walt Whitman yang kerapkali mengalami revisi, puisi-puisi Trowbridge relatif stabil. Khusus puisi Author’s Night saya mencatat hanya terdapat dua versi, yaitu versi 1875, sebagaimana yang secara lengkap saya kutip di atas, dan versi 1893. Perbedaan di kedua versi ini pun sangat kecil, jika saya tak salah hitung hanya ada dua: pertama, pada baris terakhir bait ke-8 versi 1875 bunyinya The fellow’s fortune is made,” quoth he., sedang redaksi 1893 berbunyi The fellow’s fortune is made,” growls he., kedua, pada baris pertama bait ke-12 versi 1875 bunyinya Head of Jesuit, heart of Jew,, adapun pada versi 1893 adalah Within the wings, just hid from view,. Terlepas dari kesalahan penisbahan karya dan fakta bahwa Author’s Night bukan dicipta pada tahun 1996, melainkan di suatu masa di rentang tahun 1857-1875, menurut saya terjemahan Arif B. Prasetyo atas fragmen puisi Author’s Night di atas sangat bagus.

Pahamilah, jangan dikira Tuhan peduli,
Manusia adalah hikmah kemanusiaan yangsejati.
Diletakkan di tanah genting pada status yang mengambang,
Dialah wujud yang bijaksana lagi kelam, wujud akbar lagi kasar:

Sisi skeptis yang terlalu banyak ilmu,
Kebanggaan yang terlampau sarat cacat.
Terombang-ambing dalam bimbang untuk bertindak atau takluk,
Dalam gamang menganggap diri sebagai Tuhan atau binatang,

Dalam sangsi memilih benak atau tubuh.
Lahir cuma untuk mati, dan berpikir untuk sesat.
Apa pun yang dalam otak, sama saja tak peduli:
Apakah dia berwawasan kelewat sempit, atau justru muluk-muluk.

Carut-marut angan dan nafsu, semua baur:
Ia menindas atau ditindas.
Diciptakan setengahnya untuk tumbuh, separuh lagi untuk runtuh.
Tuan besar semesta benda, sekaligus si pemangsa segalanya.

Hakim tunggal kebenaran yang tak henti melakukan kesalahan:
Dialah keagungan, senda gurau, dan teka-teki dunia!

1996

Ini adalah puisi terakhir dari buku Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih yang merupakan terjemahan yang salah nisbah. Diberi judul Wujud Kemanusiaan dan dinyatakan ditulis pada tahun 1996. Siapa pemilik sah versi asli puisi di atas? Ialah Alexander Pope (1688 – 1744), salah satu penyair Inggris yang paling sering dikutip tulisannya. Pope berasal dari keluarga pengikut Gereja Katolik Roma yang pada akhir 1600-an mengalami diskriminasi dan pengucilan dari para pendukung Gereja Inggris, yang mana imbas langsungnya ia tak dapat mengenyam pendidikan formal secara layak. Pope sejak usia 12 tahun sudah harus belajar secara autodidak, baik dalam mempelajari bahasa (Perancis, Italia, Latin, dan Yunani) maupun sastra. Juga sejak usia itu ia menderita berbagai penyakit, antara lain penyakit Pott, yaitu bagian dari Tuberkulosis yang menyerang pertumbuhan tulang, akibatnya tinggi tubuh Pope hanya 1,37 meter. Penyakit Pott juga menyebabkan Pope mengalami gangguan pernapasan, demam, mata bengkak, dan sakit perut.

Popularitas Pope sebagai penyair melejit setelah karyanya, Essay on Criticism, sebuah puisi naratif dalam bentuk Heroic Couplet[5] yang terdiri dari 744 baris dan ditulisnya saat ia menginjak usia 21 tahun, dipublikasikan. The Rape of the Lock adalah karya berikutnya yang mengukuhkan nama Alexander Popesebagai salah satu penyair terbesar Inggris. Diterbitkan pertama kali secara anonim pada tahun 1712 dalam 2 kanto (334 baris), lantas direvisinya dan dikembangkan menjadi 5 kanto (794 baris) dan dipublikasikan atas namanya sendiri pada tahun 1714. Tahun 1729 Pope mulai mengerjakan sebuah proyek besar: sebuah puisi filosofis yang didesain menjadi 4 buah buku di bawah judul An Essay on Man. Namun sayang hingga ajal tiba ia hanya mampu menyelesaikan buku pertama, terdiri dari 4 Epistle dan secara umum membicarakan hakikat kemanusiaan dan hubungan manusia dengan semesta. Puisi ini mendapat sambutan luar biasa di seluruh penjuru Eropa. Para filsuf seperti Immanuel Kant, Jean-Jacques Rousseau, dan François-Marie Arouet (Voltaire) memuji-mujinya. Kant dalam Allgemeine Naturgeschichte und Theorie Des Himmels (Universal Natural History and Theory of the Heavens), misalnya, mengutip paling tidak 6 fragmen dari An Essay on Man (empat dari Epistle I, satu dari Epistle II, dan satu dari Epistle III). Rousseau dalam suratnya kepada Voltaire tanggal 18 Agustus 1756, dalam rangka membalas dan menanggapi puisi Voltaire yang dikirimkan pada Rousseau sebelumnya, mengatakan “Pope’s poem alleviates my difficulties and inclines me to patience; yours makes my afflictions worse, prompts me to grumble, and, leading me beyond a shattered hope, reduces me to despair….”. Adapun Voltaire sendiri adalah salah satu penggemar berat Pope, pujiannya atas penyair ini tak terbilang banyaknya. Di suatu kesempatan ia mengatakan “Pope is, I think, the most elegant, the most correct, what is more, the most harmonious of English poets.” dan di lain kesempatan, bicara soal An Essay on Man, ia mengatakannya sebagai “the most beautiful, the most useful, the most sublime didactic poem ever written in any language.”

Puisi Wujud Kemanusiaan sejatinya merupakan terjemahan dari 18 baris awal bagian pertama Epistle II puisi An Essay on Man. Epistle ini secara keseluruhan terdiri dari 3 bagian (294 baris).

EPISTLE II.

I. Know, then, thyself, presume not God to scan;
The proper study of mankind is man.
Placed on this isthmus of a middle state,
A being darkly wise, and rudely great:
With too much knowledge for the sceptic side,
With too much weakness for the stoic’s pride,
He hangs between; in doubt to act, or rest;
In doubt to deem himself a god, or beast;
In doubt his mind or body to prefer;
Born but to die, and reasoning but to err;
Alike in ignorance, his reason such,
Whether he thinks too little, or too much:
Chaos of thought and passion, all confused;
Still by himself abused, or disabused;
Created half to rise, and half to fall;
Great lord of all things, yet a prey to all;
Sole judge of truth, in endless error hurled:
The glory, jest, and riddle of the world!
Go, wondrous creature! mount where science guides,
Go, measure earth, weigh air, and state the tides;
Instruct the planets in what orbs to run,
Correct old time, and regulate the sun;
Go, soar with Plato to th’ empyreal sphere,
To the first good, first perfect, and first fair;
Or tread the mazy round his followers trod,
And quitting sense call imitating God;
As Eastern priests in giddy circles run,
And turn their heads to imitate the sun.
Go, teach Eternal Wisdom how to rule—
Then drop into thyself, and be a fool!
Superior beings, when of late they saw
A mortal man unfold all Nature’s law,
Admired such wisdom in an earthly shape
And showed a Newton as we show an ape.
Could he, whose rules the rapid comet bind,
Describe or fix one movement of his mind?
Who saw its fires here rise, and there descend,
Explain his own beginning, or his end?
Alas, what wonder! man’s superior part
Unchecked may rise, and climb from art to art;
But when his own great work is but begun,
What reason weaves, by passion is undone.
Trace Science, then, with Modesty thy guide;
First strip off all her equipage of pride;
Deduct what is but vanity or dress,
Or learning’s luxury, or idleness;
Or tricks to show the stretch of human brain,
Mere curious pleasure, or ingenious pain;
Expunge the whole, or lop th’ excrescent parts
Of all our vices have created arts;
Then see how little the remaining sum,
Which served the past, and must the times to come!

Arif B. Prasetyo jelas bukan penulis amatir. Dari tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media massa, juga yang telah terbukukan, bisa dilihat betapa jembar lanskap pengetahuan kesusastraan dan keseniannya. Selain dikenal sebagai penyair, Arif juga dikenal sebagai esais, kurator, dan penerjemah. Buku puisinya antara lain Mahasukka (2000) dan Memento (2009), sedang buku kritik sastranya Epifenomenon (2005). Ia menerjemahkan The Hungry Stones and Other Stories (2002), History of Infamy (2006), dan History of the World in Ten and A Half Chapters (2009), dan menulis beberapa buku tentang kesenian, di antaranya Mangu Putra: Nature, Culture, Tension (2000), Melampaui Rupa (2001), dan Stephan Spicher: Eternal Line [on Paper] (2005). Arif meraih berbagai penghargaan, antara lain Pemenang II Kritik Seni Rupa 2005 Dewan Kesenian Jakarta, Pemenang I Kritik Sastra 2007 Dewan Kesenian Jakarta, Anugerah Widya Pataka 2009 Pemerintah Provinsi Bali, serta CSH Poetry Award 2009. Semua capaian ini membuktikan betapa yang bersangkutan tak main-main dalam kecimpungnya di dunia kesenian dan kesusastraan.

Lelaki kelahiran Madiun, 30 September 1971 ini juga menunjukkan perhatian yang serius terhadap perkembangan kritik sastra. Tema krisis kritik sastra dan krisis kritik seni sering menjadi tema esainya, misalnya di esai Kritikus Seni Sudah Mati, dimuat Kompas pada 9 Januari 2011, antara lain ia mengatakan Kritikus memang ”sekadar pembaca”, tetapi bukan ”pembaca sekadar”. Kritikus adalah pembaca yang bukan saja memproduksi makna, tetapi juga menghasilkan ”surplus makna”. Ibaratnya, ketika semua orang bisa berjoget, kritikus adalah ia yang menari. Orang menari atau melukis menghasilkan ”surplus makna” yang membedakannya dari orang berjoget atau mengecat. Di esai yang lain, dimuat di Bali Post, 14 April 2013, mengetengahkan Buku Terjemahan dan Profesi Penerjemah, Arif mengeluhkan mutu terjemahan para penerjemah dengan mengatakan Persoalannya kemudian, banyak muncul keluhan tentang rendahnya mutu penerjemahan buku terjemahan yang beredar di pasar. Penerjemahnya terkesan bekerja asal-asalan,sehingga hasil terjemahannya membingungkan, bikin pusing, bahkan kadang mencapai taraf “tak bisa dibaca”. Empu-empu pengarang dunia yang karyanya diterjemahkan menjadi tampak konyol seperti badut yang menjengkelkan. Mereka seperti berceloteh dalam struktur bahasa kacau yang mustahil dimengerti, tanpa makna, mirip pengarang amatiran yang tak tahu bagaimana berbahasa dengan baik. Kalau mereka sastrawan besar, maka karyanya tak bermutu sastra sama sekali. Kalau mereka pemikir ulung, pemikirannya seperti sampah yang sedikit pun takmencerdaskan.

Yang saya tangkap dari apa yang ditulis Arif tersebut adalah: untuk menjadi kritikus mumpuni ?kritikus non-tradisional dalam paradigma Arif?, dibutuhkan kualifikasi tertentu, seni kritik tertentu, jika tidak maka ia akan menjadi sekedar penjoget atau pengecat. Pun untuk menjadi penerjemah handal, dibutuhkan kompetensi khusus, bukan saja dalam penguasaan bahasa yang dipakai dalam kerja penerjemahan, melainkan juga dalam penguasaan disiplin wacana yang terlibat, yang seringkali mengandung terminologi khas yang tak bisa diterjemahkan “kata per kata” begitu saja. Mungkin saya harus menambahkan di sini: dibutuhkan pula ketelitian dalam membaca sumber, agar selain hasil terjemahan bagus, pun kesalahan fatal semisal salah menisbahkan karya dapat dihindari, seperti yang secara ironis terjadi pada Arif.

Saya mungkin salah tuduh, barangkali Arif B. Prasetyo telah melakukan penerjemahan dari sumber yang terpercaya, dan seluruh puisi di buku tersebut adalah betul diterjemahkan dari karya Octavio Paz, atau setidaknya yang menurut sumber tersebut adalah benar-benar milik Paz. Jika begitu adanya saya jadi berpikir: apa usia tua dan kangker telah membuat penulis The Labyrinth of Solitude itu demikian menurun kecerdasannya hingga ke tingkat idiot, sehingga ia nekad mencuri karya-karya trademark penulis lain untuk diakui sebagai karyanya sendiri, tanpa merasa takut akan ketahuan? Saya juga berpikir: jika ada seorang penyair penerima nobel memlagiat karya-karya penyair yang tak kalah terkenal darinya, bukankah bisa dipastikan ini menjadi ekshibisi absurditas yang memicu heboh internasional? Namun kenapa saya tak pernah mendengar hebohnya? Saya yang terlalu kuper atau memang sudah tak ada lagi di planet ini yang membaca karya sastra dari pra-abad 21? Rasanya sulit sekali saya mengikuti alur pemikiran seperti ini. Rasanya lebih mudah menganggap Arif-lah yang ceroboh dalam bekerja. Arif-lah yang tergesa menisbahkan puisi-puisi tersebut kepada Paz tanpa terlebih dahulu meneliti data yang diperolehnya dari Paz Agency itu. Namun pun bagaimana bisa seorang yang sudah sangat sering disebut kritikus, yang sering mengangkat tema krisis kritik sastra di esai-esainya, yang notabene merupakan satu dari sedikit penerjemah karya sastra asing yang paling produktif, dan yang sekaligus penyair senior yang karya-karyanya banyak terpengaruh oleh karya-karya asing yang dibacanya dan sebagian di antaranya kemudian diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, bisa melakukan blunder yang tak masuk akal seperti ini? Apa pengetahuan seorang Arif B. Prasetyo ihwal kesusastraan Inggris dan Amerika demikian dangkal? Bagaimana jika buku Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih itu dibaca oleh kritikus Barat yang mahir berbahasa Indonesia? Alangkah memalukannya!

Blitar, 30 April 2013

Malkan Junaidi

(Penyair, Aktivis Warnet)

Catatan Kaki:

[1] Selama 5 tahun sejak 1831 Whitman mempelajari teknik percetakan di koran Patriot, di bawah bimbingan William Hartshorne. Tahun 1838 ia mencoba menerbitkan koran mingguannya sendiri, The Long Islander, dibantu oleh sang adik, Goerge, namun hanya bertahan satu tahun. Selanjutnya mulai September 1845 hingga Maret 1846 Whitman menjadi salah satu editor koran Long Island Star dan mulai Maret 1846 hingga Januari 1848 ia menjadi editor utama koran Eagle. Latar belakang inilah agaknya yang menyebabkan Whitman menjadi satu-satunya penulis Amerika abad ke-19 yang paling intim dalam proses pembuatan buku. Ia tak hanya menulis lantas menawarkan ke penerbit, namun juga terlibat dalam lay-out, pemilihan bahan sampul, dan penentuan ilustrasi buku. Leaves of Grass, sebagai contoh, tak hanya dicetak-ulang, namun diedit dan disajikan dalam bentuk yang berlainan di tiap edisinya, mulai edisi perdana yang berisi hanya 12 puisi hingga edisi terakhir yang berisi 293 buah puisi.

[2] Di buku tercantum sebagai baris ketiga dikarenakan ada pemotongan di baris pertama akibat baris terlalu panjang untuk ukuran buku yang dipilih Whitman.

[3] Lahir pada 1819 dan meninggal pada 1888, seorang jurnalis, penyair, dan dalam Civil War adalah seorang tentara berpangkat kolonel. Tahun 1840 menerbitkan sebuah buku, yang diulas oleh Edgar Allan Poe pada Juni 1840 di Burton’s Gentleman’s Magazine, berjudul The Proud Ladye and Other Poems, berisi 48 buah puisi dengan puisi pertama berjudul The Proud Ladye, terdiri dari 27 bagian yang bagian ketiga nomor 1 berbunyi:

Lay him upon no bier,
But on his knightly shield;
The warrior’s corpse uprear,
And bear him from the field.
Spread o’er his rigid form
The banner of his pride,
And let him meet the conqueror worm,
With his good sword by his side.

[4] Sebagaimana diceritakannya di buku My Own Story (berisikan berbagai cerita di seputar kehidupan, proses kreatif,dan hubungan Trowbridge dengan beberapa temannya, antara lain Walt whitman), koran Sentinel yang kebanyakan pelanggannya adalah kaum pro-perbudakan sampai nyaris gulung tikar berkat artikel yang dimuat Trowbridge saat ia diberi wewenang dan tanggungjawab mengelola koran tersebut selama satu atau dua minggu Benjamin Perley Poore, sang pemilik, bepergian ke Washington.

[5] Sebuah bentuk puisi tradisional yang sangat populer di abad 18, umumnya digunakan untuk menulispuisi naratif. Prosodi yang lazim adalah tiap baris terdiri dari lima Kaki.Satu Kaki adalah satu suku kata tak bertekanan yang diikuti satu suku katabertekanan, atau bisa digambarkan satu Kaki adalah satu dig-DUG detak jantung.

Dijumput dari: https://www.facebook.com/notes/malkan-junaidi/kecerobohan-sang-kritikus-atau-plagiarisme-sang-penyair-nobel/563186940390949

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae