Rabu, 11 Juli 2012

Kisah Peminggiran Masyarakat Desa

M. Harya Ramdhoni Julizarsyah *
Lampung Post, 6 Des 2009

“INDONESIA, di mana itu? Seperti sekelumit kisah di Sangir,” Gora mengerenyitkan dahi diikuti tawa Dagu. Mereka berdua tertawa bersama-sama. (Dyah Merta, 2007:189).

Peri Kecil di Sungai Nipah adalah sebuah kisah tentang orang-orang biasa dengan penghidupan yang sederhana. Namun, novel ini menjadi tidak biasa ketika penulisnya, Dyah Merta, sukses membangun alur yang menarik disertai perwatakan yang kuat dari setiap pelaku. Dyah Merta, penulis kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 21 Juli 1978. Ia sempat kuliah di FKIP Bahasa Indonesia Unila dan merupakan salah seorang dari 100 Tokoh Terkemuka Lampung versi Lampung Post.
Peri Kecil di Sungai Nipah menceritakan sebuah keluarga terpandang pemilik perkebunan tebu di Desa Sangir yaitu keluarga Karyo Petir. Ia memiliki dua orang anak Dagu dan Gora hasil dari perkawinannya dengan seorang perempuan bernama Dalloh. Tokoh-tokoh lain di dalam novel itu adalah para pekerja yang turut tinggal bersama keluarga Karyo Petir seperti Kerapu, Genuk dan bibi Kasemi.

Pembangunanisme Orba

Peri Kecil di Sungai Nipah berlatar-belakang awal berdirinya Orde Baru (Orba) dan konsolidasi ekonomi politik yang terjadi setelah itu. Novel ini mencoba merekonstruksi ingatan kita bersama terhadap watak ideologi pembangunanisme dan usaha-usaha yang dilakukan Orba untuk memperkenalkan gagasannya tersebut.

Prolog dari sosialisasi istilah “pembangunan” di desa itu ialah dibangunnya sebuah helipad di tengah ladang jagung Wak Jo, salah seorang tokoh di desa Sangir, yang saat itu dipenuhi jagung siap panen. Sekelompok kecil orang berhasil membujuk Wak Jo agar merelakan tanahnya dibangun helipad untuk pendaratan helikopter yang akan membawa pak menteri. Orang-orang tersebut membawa uang banyak untuk Wak Jo. Mereka adalah orang-orang besar sahabat penguasa. Wak Jo merasa girang hatinya mendapat banyak uang tanpa harus memanen jagung. (Dyah Merta, 2007:90).

Pak menteri yang ditunggu warga Desa Sangir akhirnya datang dengan menumpang helikopter. Gora menyebut benda itu sebagai “capung raksasa”. Ketibaan pak menteri dengan menumpang raksasa menarik perhatian seluruh penduduk Desa Sangir. Orang-orang berkumpul memenuhi bekas ladang Wak Jo yang melebar sebagai lapangan. Seluruh penduduk gembira menyambut kedatangan pak menteri. Warga yang berbondong-bondong datang ke bekas ladang Wak Jo baru menyadari bahwa lelaki yang disebut pak menteri adalah seorang lelaki setengah tua dan botak. Pak menteri meminta masyarakat mendukung rencana “pembangunan” pemerintah pusat. Istilah “pembangunan” kemudian mulai dikenal oleh masyarakat Desa Sangir. Kosakata aneh itu perlahan-lahan menyihir seluruh warga tua dan muda.

Setelah kedatangan pak menteri, warga Desa Sangir mulai disuguhi dengan beragam aktivitas asing yang disebut-sebut sebagai usaha pemerintah untuk “memajukan” Desa Sangir. Ritual “pembangunan” dimulai dengan ledakan tanda dimulainya pendirian sebuah waduk yang disambut gegap gempita seluruh penduduk. Ledakan tersebut diikuti dengan pembangunan barak-barak di sekitar lapangan bekas ladang Wak Jo. Barak-barak yang tengah dibangun itu kelak ditinggali oleh beberapa puluh orang tentara. Pada sisi lain barak ditinggali oleh para kuli bangunan yang didatangkan dari tempat yang jauh. Beberapa minggu kemudian banyak buldoser tiba di desa Sangir. Jalan-jalan di desa itu diperlebar dan diratakan. Kepala desa mengatakan kepada para penduduk bahwa Desa Sangir tengah mengalami pembangunan dari desa menuju kota.

Pembangunan barak-barak militer digambarkan Dyah sebagai bentuk lazim persekutuan segitiga antara penguasa otoriter, pengusaha, dan kaum bersenjata dalam mengamankan praktek-praktek pembangunanisme yang menghalalkan segala cara. Pembangunan terhadap Desa Sangir memerlukan modal yang tidak sedikit. Kapital yang diperlukan itu berasal dari pengusaha atau pihak kapitalis. Pada titik ini kaum kapitalis menuntut pengertian negara Orde Baru untuk memudahkan prosedur birokrasi dan jaminan keselamatan modalnya. Hal ini bisa sukses dilakukan apabila negara memfasilitasi kemudahan investasi modal dengan melibatkan tentara sebagai penjaga akumulasi kapital. Persekutuan segitiga antara negara Orde Baru, pemodal dan tentara tersebut digambarkan secara apik oleh Dyah Merta.

Marginalisasi Masyarakat Desa

Membaca Desa Sangir dari perspektif Dyah Merta adalah seperti membaca riwayat panjang penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia sejak zaman feodalisme, kolonialisme hingga masa pemerintahan Orde Baru Soeharto. Desa Sangir dan warganya adalah objek penindasan dan penghisapan tiada tara yang dilakukan oleh kapitalis-kapitalis besar “sahabat penguasa”. Sebelum kedatangan pak menteri yang diikuti pembangunan waduk di Sungai Nipah dan pembangunan pabrik gula masyarakat Desa Sangir hidup tenteram, sejahtera, dan aman. Sebagaimana Dyah Merta (2007:91) menuturkan:

“Sungai Nipah adalah sungai besar yang selama ini menumbuhkan tak hanya gambut dan rumput, ikan-ikan seperti terbang dan jatuh ke talam hanya dengan duduk di tepian, juga umbi dan tebu bermunculan karena aliran sungai itu. Sungai yang membuat masyarakat Sangir selalu memiliki senyum paling manis di samping mereka memiliki kebun gula yang manis.”

Ketenteraman dan keindahan Desa Sangir dan Sungai Nipah hilang dalam sekejap. Sungai Nipah yang dulu menjadi sumber nafkah para nelayan kecil telah diledakkan dan berganti wujud menjadi waduk raksasa yang nyaris menenggelamkan desa Sangir. Ikan-ikan yang berterbangan lindap di dalam lumpur sungai itu. Kebun gula yang menghampar luas di Desa Sangir pun telah bertukar wujud menjadi pabrik tebu yang dimiliki perseorangan. Petani tebu terhimpit oleh keberadaan pabrik gula tersebut. Mereka tidak dapat lagi mencicipi manisnya harga tebu karena pabrik tebu telah memonopoli harga jual tebu dan memaksa para petani menjual tebunya dengan harga murah. Perlahan-lahan senyum paling manis yang dimiliki warga desa Sangir pun melenyap menjadi tangisan yang mengharu-biru.

Eksistensi masyarakat Desa Sangir yang terpinggirkan dan terlupakan oleh penguasa dan pemodal sangat bertentangan dengan kondisi desa mereka yang mulai menampakkan kemajuan secara fisik. Pabrik tebu telah pun menggantikan penggilingan tebu secara sederhana. Apabila dulu penggilingan tebu dilakukan dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah roda gigi dan sebuah poros sepanjang 4,5 meter maka proses mesinisasi telah mempercepat proses penyaringan sari tebu menjadi sebanyak dua kali lebih cepat dibandingkan sebelumnya.

Kapitalisme dan mesin memang memudahkan segala proses teknikal yang selama ribuan tahun dikerjakan manusia melalui gilda-gilda sederhana. Kemajuan pesat teknologi dan industri kapitalis telah mereduksi tenaga puluhan orang menjadi tenaga sebuah mesin saja. Hal itu yang terjadi di Desa Sangir. Proses mesinisasi telah mempercepat dan memudahkan segalanya, tetapi hal itu juga yang menjadi sebab terpinggirnya masyarakat desa tersebut. Pabrik yang didirikan telah memangsa tanah-tanah subur milik penduduk setempat. Selain itu keberadaan pabrik juga secara nyata tidak memberikan kesejahteraan bagi penduduk desa Sangir karena pabrik tebu tersebut lebih memilih mengimpor tenaga buruh murah dari tempat yang jauh.

Proyek pembangunan di Desa Sangir juga menerbitkan teror-teror yang sengaja dimunculkan. Teror-teror itu dialamatkan kepada sekelompok orang yang berwawasan kritikal yang merasa tidak puas dengan keadaan di Desa Sangir. Mereka juga mengorganisasi buruh pabrik tebu untuk melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah dan perbaikan fasilitas. Salah seorang korban dari upaya-upaya represif penguasa adalah Dagu, putra pertama Karyo Petir. Dagu dibunuh secara sadis setelah diseret dari tempat persembunyiannya. Ia didakwa sebagai musuh pemerintah dan pihak kapitalis karena menghasut warga desa Sangir untuk tidak menjual rendeman tebu kepada pabrik tebu. Tahap-tahap penangkapan dan pembunuhan atas Dagu merupakan tipikal pembunuhan politik ala Orde Baru.

Penyiksaan dan pembunuhan yang dialami Dagu nampak berlebihan namun kejadian seperti itu bukan merupakan suatu hal yang mustahil terjadi di sebuah negara otoriter seperti Orde Baru. Pembunuhan politik terhadap Dagu yang dilakukan secara telanjang mengingatkan kami pada teror-teror dan pembunuhan politik dalam riwayat politik raja-raja Jawa. Perbuatan sadis itu pernah dilakukan oleh raja Mataram Amangkurat I yang secara sadis membantai ratusan ulama Islam.

Kekuasaan Jawa yang bersifat mutlak dan tidak boleh terbagi mesti menjaga kewibawaannya dari bermacam gugatan dan ancaman. Pemilik kekuasaan Jawa yang bersifat mutlak ini mesti merespon segala macam perlawanan itu secara betul, efektif, dan efisien. Respons harus dilakukan secara betul tanpa kesalahan sedikit pun. Respons juga mesti dilaksanakan secara efektif dan efisien agar dapat menghemat waktu dan tenaga. Penyiksaan terhadap Dagu telah memenuhi ketiga kriteria tersebut. Pembunuhan dilakukan secara betul dengan tujuan menghancurkan dalang kekacauan. Pembunuhan dilakukan secara efektif dan efisien dengan tujuan meneror masyarakat untuk tidak sekalipun mengulang dosa-dosa Dagu terhadap penguasa. Soeharto sendiri pernah berkata bahwa ia tidak akan ragu-ragu menindak siapa pun yang berniat mengusik kekuasaannya.

Penutup

Apa yang dilakukan oleh pembangunanisme Orde Baru di desa Sangir adalah “pembangunan kemunduran“ sepertimana dipaparkan oleh Paul Baran. Rezim Orde Baru memang telah sukses membangun desa itu secara fisik namun secara mental masyarakat desa Sangir mengalami kemunduran. Desa yang semula dihidupi dengan cinta, kasih sayang dan tenggang rasa kemudian berubah menjadi perkampungan tanpa moralitas. Hal ini disebabkan oleh kapitalisme yang telah mereduksi segalanya. Saiful Arif (2000) mengatakan apabila semuanya direduksi dan dipahami sebagai kapital, maka disanalah sebenarnya pereduksian nilai-nilai sosial, cita-cita nasional dan kehidupan yang sejahtera sedang terjadi. Nilai-nilai yang dahulu kerap akrab menyapa, kini berganti dengan sistem nilai baru yang menempatkan rekayasa individu dan pemilikan kapital sebagai tuan.

Pembangunan kemunduran yang dialami desa Sangir menyeret masyarakat desa menuju metamorfosis yang asing dan absurd. Itulah anak haram bernama pembangunanisme. Anak haram itu bukan hanya meminggirkan warga desa Sangir namun juga telah meruntuhkan derajat mereka hanya sebagai buruh upahan yang dibayar (Karl Marx, 1978). Pembangunanisme merubah orang-orang yang bertahan di Sangir serupa kaum hamba yang pendiam dan penurut. Mereka hidup di pinggiran dengan mengais-ais sampah dan menjadi penonton pasif roda kapital yang dengan rakus terus berputar. Pergerakan modal yang dahsyat dengan mengatasnamakan pembangunan telah merampas setiap remah-remah mimpi, kehidupan, kebebasan dan hak alamiah mereka atas air dan tanah. Segala hal yang selama ratusan tahun dimiliki secara percuma oleh seluruh warga desa Sangir kini berubah menjadi properti yang dijual-belikan. Sangir dan masa depannya telah dikorbankan demi ambisi-ambisi kaum kapitalis yang berwatak munkar.

*) M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, kandidat Ph.D. Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia
Dijumput dari: http://ulunlampung.blogspot.com/2009/12/apresiasi-kisah-peminggiran-masyarakat.html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae