Sabtu, 16 Juni 2012

Narasi Negeri Beton di Indonesian Poetry Idol BPSM

Tosa Poetra
http://sastra-indonesia.com/

Seperti biasa, saya selalu kebingungan ketika hendak memulai menulis. Kadang saya mulai dengan bercerita tentang pekerjaan, sekolah, kadang juga keluarga. Dan kali ini pun, saya memulai menulis dengan mengatakan tentang kebingungan saya. Dan sebuah kebingungan adalah hal wajar bagi penulis pemula seperti saya. Karena kali ini yang akan saya bicarakan ialah hal yang berkait dengan bapak Dimas Arika Miharja alias DAM dan berkaitan dengan Bengkel Puisi Swadaya Mandiri yang disingkat BPSM, di tengah kebingungan saya memulai cerita, saya pikir tidak akan ada yang menyalahkan jika saya memulai dengan sedikit menceriterakan tentang pak DAM dan BPSM.

Saya mengenal pak DAM sejak bulan Agustus 2010, sebelum bulan itu sebenarnya di dunia maya, tepatnya di sebuah situs jejaring sosial yang dinamakan Facebook, saya juga telah berkawan dengan beliau. Tetapi sebelum bulan Agustus, saya jarang bersapa dengan beliau, maklum saya sangat minder, siapa saya dan siapa beliau, dapat dikonfirmasi permintaan pertemanan saya saja sudah sangat bersyukur. Pada bulan Agustus, saya diajak kawan saya Nurani Soyomukti untuk mengadakan kegiatan sastra di kota saya, Trenggalek. Kegiatan itu rutin kami lakukan setiap bulan, karena pendanaan di kegiatan tersebut kita gali dari arisan anggota, maka kita menamakannya Arisan Sastra Trenggalek. Acara perdana akan di gelar tanggal 2 September 2010, telah diputuskan saya pemothel pertama. Sebagai pemothel atau yang mutus, saya diwajibkan membagikan karya. Di bulan Agustus akhirnya terpaksa mengumpulkan dan memilih karya-karya amatir saya di tahun 2009 sampai dengan 2010 untuk saya jadikan dalam bentuk buku. Ketika itulah saya memberanikan diri menghubungi pak DAM untuk minta endorsmen, dan Alhamdulilah, saya tidak menyangka beliau sangat ramah dan bersahaja, permintaan endorsmen saya juga sangat cepat dipenuhi oleh beliau, padahal sebelumnya saya membayangkan alangkah sibuknya penyair yang juga akademisi seperti beliau.

Melihat keramahan beliau, saya yakin beliau pasti ramah pada siapa saja, dan semua orang tentu baik pada beliau, sehingga tentunya jika saya menggunakan cara yang pada umumnya untuk dekat dengan beliau saya pikir cukup sulit untuk beliau lekas menghafal nama saya. Maka saya punya cara sendiri untuk dekat dengan beliau, termasuk cara saya sendiri mengeruk bertumpuk pengetahuan dan ilmu yang beliau miliki. Cara saya itu munngkin aneh, sehingga orang mungkin menilai saya telah lancang atau berani pada beliau, seperti teman saya Misbahus Surur memarahi saya, karena telah berbuat demikian pak DAM yang sangat baik. Tapi sungguh di dasar hati, tak ada niat atau hal yang kurang baik, seperti apa yang mungkin disangkakan orang. Bagaimana pun pak DAM adalah bapak sekaligus guru saya, dan kemarin sempat seorang menyampaikan pada saya bahwa beliau sempat bilang saya adalah anak dan muridnya yang paling bandel. Puji sykur Alhamdulilah saya yang bukan apa dan siapa ini diakui sebagai murid beliau, sebab meski diakui maupun tidak diakui saya tetap anak murid beliau, karena saya memang banyak belajar dan mendapat pengetahuan dari beliau. Dan di sini saya sampaikan terimaksih dan hormat pada beliau terkait hal tersebut, juga mewakili rekan-rekan di Kamboja Grup mengucapkan terimakasih atas endorsmen yang diberikan pada buku “Tembang Cinta Kamboja” yang InsaAllah besok naik cetak, mohon doa restu. Satu hal lagi, kemarin saya dengar kabar bahwa beliau berulang tahun perak atas pernikahannya, meskipun agak terlambat saya juga ingin mengucapkan Selamat, semoga semakin mawadah wa rahmah.

Sebaiknya saya cukupkan dulu cerita tentang saya dengan pak DAM, kini saya sedikit bercerita tentang BPSM. BPSM telah dirintis dan diperjuangkan oleh pak DAM sejak lama, namun seingat saya BPSM dibuka online oleh pak DAM dengan beliau membuka grup di Facebook berkisar antara bulan Juni-Juli 2011, jadi tidak lama lagi BPSM online akan berulang tahun utuk yang pertama (semoga saya tidak salah mengingat). Puluhan bahkan ratusan penyair dan puisinya ada di BPSM, beragam sangat karya yang ada, termasuk pula terdapat diskusi yang menarik dan sering kali pak DAM menumpahkan ilmunya terkait kesusastraan. Meski tidak setiap saat, namun dapat saya pastikan dalam sehari saya menengok BPSM, mengintip-intip karya, juga artikel serta diskusi yang ada, tatapi saya memilih tidak hanyut dalam diskusi, karena minimnya pengetahuan saya. Tentu akan sangat memalukan jika saya salah berkomentar, sehingga sangat jarang saya berkomentar, bahkan memberi jempol pun jarang. Sehingga mungkin sahabat di BPSM jarang yang tahu atau mengenal saya dengan akrab.

Saya mengawali tulisan sederhana ini dengan bercerita tentang pak DAM dan BPSM, karena memang pada dasarnya yang akan saya ceritakan sangat erat dengan pak DAM dan BPSM, dengan agenda terbaru BPSM (kalau saya tidak ketinggalan berita). Kemarin malam, saya mengunjungi BPSM, di beranda saya melihat judul “Indonesian Poetry Idol: Puisi dan Religiusitas”. Sebagai pengantar wacana pak DAM menyampaikan terkait mulanya seni dan sastra serta fungsinya. Di bawah saya melihat tiga judul karya yang telah dipilih oleh direktur BPSM. Ketiga puisi tersebut antaranya: “Menghikmati Urap, Menelusuri Urat, Syafaat Jumat” karya Yessika Susastra (Jambi), “Moksa Mengasing” karya Nabila Dewi Gayatri (Surabaya), dan “ Narasi Negeri Beton” karya Luluk Andrayani (Hongkong). Semacam acara Indonesian Idol yang digelar di salah satu stasiun televisi swata di Indonesia, ketiga judul karya tersebut disediakaan untuk diapresiasi dan dipilih. Proses pemilihan dan apresiasi mungkin melalui komentar pada postinng tersebut, saya kurang jelas dengan cara mengapresiasi dan memilihnya. Dan saya pikir apa yang saya tulis ini pun adalah cara saya mengapresiasi dan memilih karya tersebut.

Memang sebuah hal yang sukar untuk memilih salah satu dari tiga yang sudah menjadi/ dipilihkan oleh direktur BPSM, cara mengapresiasi pun beragam. Namun, layaknya Indonesian Idol, bahwa kita perlu mengidolakan salah satu karya, maka saya tentu juga kan mengidolakan salah satu dengan tidak berangkat untuk memilah yang baik atau yang terbaik, yang indah maupun yang terindah, sebab indah ialah relatif, meski keindahan juga dapat diukur dengan skala prioritas atau kebanyakan. Secara emosional saya memiliki kedekatan khusus dengan salah satu penulis ketiga karya tersebut, ibaratnya orang Bali akan lebih memillih mengidolakan yang dari Bali, orang Surabaya akan lebih memilih mengidolakan yang dari Surabaya, orang Hongkong akan lebih memilih untuk mengidolakan yaang dari Hongkong. Sedang saya bukan dari Jambi, Surabaya maupun Hoongkong, namun saya dari Jawa Timur yang beribukota propinsi di Surabaya, jadi mungkin saya akan memilih mengidolakan yang dari Surabaya, namun saya belum pernah mengenal maupun bertutur sapa dengan yang dari Surabaya, sedangkan seoraang penulis di Hongkong, saya tahu pasti karyanya ditulis di MOS atau kalau tidak salah merupakan singkatan dari Ma On Sand. Dan saya harus jujur mengakui bahwa saya ada kedekatan hkusus dengan penulis yang di Hongkong tersebut, namun kedekatan khusus tersebut bukanlah kedekatan khusus dalam artian benar-benar berhubungan secara khusus. Tapi saya tahu pasti penulis yang menulis di MOS- Hongkong tersebut juga berasal dari Jawa Timur, dari kota berteman hati, Trenggalek, Kota saya tercinta.

Setelah menentukan karya yang di-idolakan, selain dengan alasan kedekatan emosional kedaerahan dengan penulisnya tentu saya harus menyampaikan yang dapat diterima secara logika keumuman tentang alasan mengolakan karya tersebut dengan memberikan apresiasi secara sederhana. Pada karya berjudul “Narasi Negeri Beton” , Luluk, begitu saya dan teman lain akrab menyapa penulis karya tersebut, dalam karya tersebut Luluk menyampaikan tentang “Narasi Negeri Beton” dengan membaginya menjadi lima frasa, atau mungkin saya boleh menyebutnya pupuh yang ditandai dengan abjad “a” sampai “e”, yang akan saya coba narasikan ulang/ saya parafrasekan dengan bahasa dan cara saya untuk memahami karya tersebut sebagaimana teori dalam mengapresiasi karya sastra salah satunya yaitu dengan cara pendekatan parafrasis.

Pada pupuh pertama, Luluk melukiskan suasana ketika hujan di senja hari, si aku lirik/ Luluk hatinya berkabung karena merindukan belaian mentari. Dalam hal ini saya mengartikan matahari sebagai kebahagiaan, yang akan menjadi kenangan abadi, yang tak terlupakan sampai mati/ di undak-undak sayap malaikat. Berikutnya saat titis menggantung di ujung hari/ ketika airmata ada di masa tua, si aku lirik mengaduk tanpa arah dan jeda/ kebingungan sampai meninggal dunia/ nyata jerit di bawah payung hitam. Payung hitam lazim digunakan ketika orang sedang mengantar jenazah ke pemakaman, dan ketika yang terdengar adalah wasiat, pada umumnya yang berwasiat adalah orang mati. Jadi jika disimpulkan dari pupuh satu ini bahwa si aku lirik berharap nanti di masa tuanya akan mendapat kebahagiaan, tidak berada dalam kesedihan dan akan di kenang dia dan kata-katanya ketika sudah mati.

Pada pupuh ke dua disampaikan bahwa dunia hanya ada dua hal yaitu mungkin dan tidak mungkin yang semua berpasangan saling melengkapi yang kesemuanya merupakan garis ketetapan Tuhan seperti adanya bumi dan planet lainnya. Sementara si aku lirik tidak berada pada mungkin atau tidak mungkin tetapi menempati air mata, darah, sepi dan kepedihan lainnya, sedangkan ada dan tidak ada adalah ketetapan dan keabadian.

Pada pupuh ke-tiga, si aku lirik berada pada kesepian, dan tidak tahu berapa lagi perjalanan panjang yang masih akan dilaluinya agar dapat menggapai kebahagiaan/ cakrawala. Sementara kebahagiaanya hanyalah kembang malam/ mimpi yang tak ada artinya meski pun terus berusaha/ menafsirkan. Dan seolah si aku lirik berkata pada orang lain, namun tentu di sana sebenarnya berkata pada dirinya sendiri utuk menyudahi hayalan agar tidak menjadikan buruknya kehidupan/ amis perjalanan.

Pada pupuh empat disampaikan ketika jendela melambai, memanggil, merayu tubuhnya untuk masuk, meskipun mungkin dia masih ragu namun dia tidak takut pada apapun resikonya, pada penderitaan atau pun kematian/ koak gagak dan gugu tuhu di flamboyan. Gagak biasanya disimbolkan sebagai binatang yang membawa firasat buruk/ pertanda kematian, sedang tuhu adalah burung hantu yang biasanya suaranya menyeramkan. Dia memilih memasuki saja jendela itu, mungkin di dalamnya ada taman sejati/ kebahagiaan hakiki yang didambakan dan dicari selama ini.

Pada pupuh terakir diceritakan ketika dia sampai di stasiun dan laut, ketika sampai pada pemberhentian terakhir yang berdinding laut, dia ingin meraih segala harapannya/ mimpinya dengan tekat yang bulat/ keyakinan penuh, meskipun mungkin harapannya cuma akan jadi mimpi dan di stasiun terakir itu dia terbuang menunggu hari tua, menunggu kematian/ sampai pada-Nya.

Stasiun berdinding laut adalah simbol negeri Hongkong. Negeri beton biasa digunakan untuk mengistilahkan Hongkong, karena bangunan-bangunan di Hongkong banyak terbuat dari beton. Sebagaimana yang disampaikan Sigit Susanto dalam bukunya Menelusuri Lorong-lorong Dunia 3, bahwa Hongkong adalah sebuah pulau yang dikelilingi laut, Victoria tempat berlibur para BMI di sana, yang sekilas kelihatan seperti lapangan luas berumput hijau, ternyata hanya beberapa saja tempat yang terdapat rumput dan yang selebihnya adalah beton. Dan Hongkong adalah tempat Luluk bekerja. Jadi jika dicoba simpulkan dari lima pupuh tersebut merupakan kesatuan utuh yang menceritakan tentang keberadaan penulis/ si aku lirik hingga sampai ke negerti beton, yaitu alasannya sampai ke sana, karena kesedihan dan dengan penuh harapan di Hongkong akan mendapatkan kebahagiaan untuk hari tuanya, sebelum mati, dan agar dapat meningalkan kenangan/ kebaaikan untuk yang ditinggalkannya nanti jika mati.

Sebagaimana yang diungkapkan A Teuw bahwa: “Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta ; akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana” (Teeuw, 1984: 23), maka Sastra atau karya sastra adalah karya ciptaan manusia (pengarang) yang digunakan untuk menyampaikan ilmu, ide-ide atau pemikiran kepada manusia lain dengan maksud dan tujuan tertentu yang di sampaikan dengan menggunakan cara estetis atau indah sehingga di dalamnya terdapat nilai atau cita rasa seni yang hal tersebut digunakan agar dapat diterima dengan baik dan senang hati oleh manusia lain (pembaca). Demikian pula Luluk Andrayani melalui karyanya menyampaikan ilmu, ide-ide atau pemikirannya kepada manusia lain dengan maksud dan tujuan tertentu dengan menggunakan cara estetis atau indah.

Dalam kajian semiotika sastra, karya sastra dianggap sebagai simbol, simbol realitas kehidupan nyata. “Bagi semiotika teks sastra sebagai realitas yang dihadirkan dihadapan pembaca, di dalamnya pasti ada potensi komunikatif”.(Aminudin, 2010: 124). “dan menurut Ricoeour, simbol adalah ungkapan yang mengandung makna ganda”(Rafiek, 2010: 12). Maka apa yang disampaikan Luluk Andrayani dalam karyanya tersebut merupakan simbol dari kehidupan. Si aku lirik merupakan simbol dari para pekerja di Hongkong, Hongkong pun juga merupakan sebagai simbol luar negeri. Yaitu banyak para penduduk Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan alasan atau pun tujuan yang salah satunya sebagaimana yang disampaikan dalam karya Luluk tersebut.

Terlebih, luar negeri juga dapat dianggap sebagai simbol tujuan hidup, bahwa dalam mencari tujuan hidupnya hendaknya dengan tekat bulat, penuh yakin, tanpa ragu daan takut pada apa pun sebab kehidupan merupakan kemungkinan dan kemungkinan, yang dalam sesuatu yang kita tidak / belum ketahui kejelasnnya bisa saja terdapat hal yang kita cari / dambakan, sebagaimana disampaikan Luluk dalam karyanya tersebut.

Puisi adalah bahasa yang bersayap, dapat melahirkan makna yang beragam pada masing-masing kepala pembacanya. Dan karya yang berbobot adalah karya yang apabila meskipun dikaji berulang-ulang akan ditemukan hal yang berbeda baik dari segi makna maupun manfaat. Sebagaimana yang dikatakan Ralph Waldo Emerson: Puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.(Situmorang. 1983; 9). Jadi dalam karya Luluk Andrayani tersebut tentu mengajarkan banyak hal dan beragam makna. Saya sendiri pun membaca karya tersebut juga menemukan makna lain yang ada selain yang saya uraikan di atas, dan saya percaya pembaca lain juga menemukan makna yang berbeda.

Beberapa hal yang perlu dan penting untuk dicatat dari kalimat yang ada dalam karya tersebut yang merupakan petuah atau kata mutiara, di antaranya : pada pupuh dua “ dunia adalah dua kemungkinan, mungkin dan tidak mungkin, semua berpasang-pasangan, baik dan buruk yang semuanya sudah tergaris, ada dan tidak ada bukanlah keajaiban, tetapi sudah menjadi ketetapan Tuhan”. Demikian jika saya coba memahami dan mengapresiasi karya tersebut yang dapat saya sampaikan sebagai apresiasi pada karya tersebut, yang saya sampaikan dengan cara saya, uraian sederhana yang mungkin kurang akademis dan kurang mencantumkan referensi atau pun menggunakan pisau bedah tertentu yang sukar untuk diadahkan. Terakhir saya sampaikan sukses untuk Luluk Andrayani, Untuk BPSM dan direkturnya, sukses untuk Indonesian Poetry Idol. Salam sastra budaya.

Trenggalek, 16 Juni 2012

Daftar pustaka:
Aminuddin. Tanpa tahun. Pengantar Apresiasi Karya sastra, Sinar Baru Agresindo.
Rafiek, M. 2010. Teori Sastra Kajian Teori dan Praktik, Bandung; Refika Additama.
Situmorang, Bp. 1983. Puisi Dan Metodelogi Pengajarannya, Flores: Nusa Indah.
Teeuw, A. 1984. Sastra Dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Pustaka Jaya.
http://www.facebook.com/groups/bengkelpuisimandiri/
http://www.facebook.com/luka.simawarputih

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae