Jakob Sumardjo *
Pikiran Rakyat, 5 Jan 2008
JAWA Barat kaya akan tradisi kerakyatan, termasuk cerita rakyat.
Meskipun tradisi istana pernah hidup di Jawa Barat, karena mengalami
zaman dua kerajaan besar, yakni Galuh di daerah Ciamis dan Pajajaran di
daerah Bogor, sedikit sekali ditemukan artefak-artefak budaya istana. Kerajaan-kerajaan
Hinduistik di Jawa Barat lenyap bersama pendukungnya, yakni masyarakat
istana. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian muncul di Jawa Barat tidak
melanjutkan tradisi istana-istana sebelumnya. Kerajaan-kerajaan Islam
itu adalah Banten dan Cirebon.
Banten dan Cirebon cenderung kejawa-jawaan akibat hubungan mereka
dengan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Akan tetapi, apabila ditilik lebih dalam, masih akan tampak
ciri-ciri kesundaan di kedua kerajaan Islam tersebut. Bagaimanapun
kerajaan-kerajaan Islam tersebut masih berada di masyarakat Sunda
sehingga tradisi lokal mendasari kebudayaan di kedua kerajaan tadi.
Tradisi kerakyatan masih terus hidup di bawah arus budaya-budaya
istana yang silih berganti. Ini disebabkan sistem kerajaan-kerajaan di
Jawa Barat berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Kerajaan-kerajaan Jawa berdasarkan masyarakat sawah, sedangkan
kerajaan-kerajaan Sunda berdasarkan masyarakat huma. Kebudayaan istana
di Jawa Barat hanya berkembang di lingkungan terbatas masyarakat nagara.
Di Jawa Barat tidak dikenal adanya negaragung dan mancanegara seperti
di Jawa.
Masyarakat istana adalah masyarakat Sunda di negara itu, yakni istana
dan wilayah yang benar-benar dikuasainya secara langsung. Hal ini bisa
disimak dalam Babad Pakuan abad ke-18 yang ditulis dalam bentuk wawacan
berbahasa Jawa. Saya telah menulis perkara ini dalam Hermeneutika Sunda.
Di luar wilayah, nagara merupakan kesatuan-kesatuan kampung Sunda yang
berpindah-pindah akibat hidup dari ladang padi (huma).
Sudah barang tentu pengaruh istana sampai juga di wilayah-wilayah
kampung Sunda. Seperti kita saksikan bahwa teks-teks tertulis Sunda lama
masih disimpan oleh penduduk perkampungan di Jawa Barat.
Selain itu carita-carita pantun yang berisi mitos-mitos istana Sunda
masih tersebar di kalangan rakyat perdesaan. Hanya artefak-artefak
istana sudah sulit ditemukan di kalangan rakyat, misalnya batik istana
Sunda, seni ukir istana Sunda, buku-buku Hindu-Buddha, tata adat istana
Sunda, dan seni gamelan, karena masyarakat istana-istana Sunda itu
memang tidak berlanjut sebagai lembaga sosial.
Pemandangan semacam itu masih terlihat pula ketika di Jawa Barat
berdiri kerajaan-kerajaan Islam di Banten dan Cirebon. Kedua kerajaan
itu juga terdiri dari wilayah negara atau negaragung saja. Wilayah
mancanegara tidak dikenal. Apalagi bahasa di wilayah negara dan
negaragung berbeda dengan bahasa masyarakat perdesaan Sunda.
Dengan demikian, semakin kuatlah kesan kita bahwa kebudayaan Sunda
yang berkontinuitas itu hanya ada di kalangan masyarakat kampung.
Berbeda dengan masyarakat Sunda di zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha,
yang hubungan antara istana dan rakyat amat tipis, maka di zaman
penyebaran agama Islam di Jawa Barat, agen-agen perubahan ke arah Islam
benar-benar keluar masuk kampung-kampung Sunda. Hal ini tercermin dalam
mitos-mitos rakyat terhadap penyebar Islam seperti Kian Santang.
Tidak mengherankan apabila di kalangan masyarakat pedesaan Sunda,
kenangan terhadap zaman kebudayaan Hindunya amat tipis, bahkan tidak
mengenal zaman seperti itu. Mereka percaya bahwa agama Islam itu sudah
sejak awalnya ada di Sunda. Sunda itu Islam.
Inilah sebabnya cerita-cerita rakyat Sunda amat kuat kesan
keislamannya. Meskipun dalam cerita-cerita rakyat dikenal nama-nama dewa
dan batara yang kehindu-hinduan, namun tidak dalam pemahaman bahwa itu
berdasarkan agama Hindu-Buddha, tetapi Sunda semata-mata, Kebudayaan
Hindu-Buddha-Sunda itu hanya dikenal di kalangan intelektual moderennya.
Di kalangan rakyat, zaman Hindu itu adalah Sunda.
Lenyapnya ingatan kolektif terhadap kebudayaan Hindu-Sunda, lebih
mirip dengan yang terjadi di Sumatra. Di zaman kejawaan Hindu-Buddha di
Sumatra dikenal kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Jambi,
Melayu, dan Tulang Bawang. Akan tetapi, begitu kerajaan-kerajaan maritim
itu lenyap, maka lenyap pulalah masyarakat pendukungnya dalam arti
lembaga. Manusia-manusia Buddha-Sumatra tentu saja masih terus ada,
tetapi kemudian bercampur lebur dalam masyarakat luar istana. Ini
disebabkan kerajaan-kerajaan maritim yang besar itu tidak memerlukan
ladang atau sawah untuk mendukung keberadaannya. Mereka hanya butuh
pelabuhan dan tentara sewaan (pegawai tentara) yang mampu menjaga
kedaulatan negara kota maritimnya.
Sedangkan hubungan mereka dengan rakyat kampung hanya terbatas pada
jual-beli atau pajak berupa hasil kebun rempah-rempah dan produk hutan
yang lain.
Seperti di Sunda, Islam juga tertanam kuat di kalangan rakyat
Sumatra. Kenangan mereka terhadap kejayaan Jambi dan Sriwijaya tidak
ada, kecuali di lingkungan golongan terpelajarnya yang mengenal
penggalian sejarah sarjana-sarjana kolonial. Dewa-dewa juga dikenal di
kalangan rakyat Sumatra, namun tetap harus dibaca sebagai hal yang
bersifat Melayu dan bukan Hindu-Buddha.
Keadaan yang berbeda terjadi di kalangan rakyat Jawa. Di lingkungan
rakyat, dan lebih lebih istana, amat kuat kenangan kolektif mereka atas
budaya Hindu-Buddha sebelumnya. Mereka menyebutnya sebagai agomo Buddho
(agama Buddha). Hal ini disebabkan sistem kerajaan sawah mereka yang
konsentris sejak awal. Hal ini pun dipermudah karena masyarakat sawah
itu menetap. Kontinuitas budaya rakyat dan istana terus berlangsung,
bahkan di kalangan rakyat cenderung berbudaya istana.
Tradisi budaya istana di Jawa Barat amat tipis di kalangan rakyat.
Sebaliknya tradisi budaya rakyat perladangan amat kuat. Tradisi ini
diwariskan secara lisan. Tradisi budaya lisan selalu auditif. Karena
sifatnya auditif maka budaya ini hanya berkembang di kelompok komunitas
terbatas. Dengan demikian sifat auditif mengembangkan relasi
kekeluargaan (gemeinschaft), harmoni, partisipasi, menekankan
kekonkretan dalam bentuknya yang sederhana. Komunikasi lisan semacam itu
cenderung menyampaikan pesan-pesan komunal melalui bentuk
cerita-cerita.
Cerita-cerita rakyat di Jawa Barat amat kaya, isinya tentang mitos,
siluman, legenda, kehidupan rakyat sehari-hari, dan dongeng binatang.
Usaha mengumpulkan jenis-jenis cerita rakyat tersebut masih sedikit
dilakukan, apalagi peneelaahan serius atas cerita-cerita tersebut. Mitos
dan legenda lokal tentu bersifat Sunda. Akan tetapi, cerita binatang
sering berasal dari luar. Sedangkan cerita kehidupan rakyat sehari-hari
banyak bersifat lokal, namun juga sering diadaptasi dari luar, seperti
dalam cerita-cerita Si Kabayan.
Yang menarik adalah cerita-cerita binatang yang khas Sunda, yakni
Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet. Cerita binatang ini sering
mengambil cerita-cerita luar, namun digarap dalam alam pikir masyarakat
Sunda. Yang terkenal adalah cerita kedua binatang tersebut, kura-kura
dan kera yang mirip dengan cerita-cerita kancil di Jawa, dalam tema
mencuri hasil kebun pak tani. Dalam usaha mereka mencuri tanaman,
kura-kura berhasil ditangkap pak tani.
Ketika kura-kura dikurung pak tani, monyet datang dan diberi tahu
kura-kura bahwa dirinya dikurung agar tak lari untuk dikawinkan dengan
putri pak tani yang cantik. Monyet bersedia bertukar tempat untuk
menggantikan kura-kura di dalam kurungan. Pagi hari pak tani menjumpai
kura-kura telah berganti monyet dan bermaksud untuk memotongnya.
Mengetahui hal ini monyet pura-pura mati, dan pak tani membuang “mayat”
monyet itu di sungai. Dengan begitu, monyet dan kura-kura pun bebas
kembali.
Dalam cerita yang sama, monyet itu tidak bebas. Akan tetapi, berhasil
dipotong pak tani dan disate. Dalam cerita Sunda justru kedua binatang
itu selamat semua akibat kecerdikan keduanya. Kura-kura dan monyet dalam
cerita rakyat Sunda merupakan pasangan antagonis. Keduanya selalu
berselisih adu kecerdasan, namun selalu saling bertemu kembali.
Kura-kura di pihak protagonis dan monyet pihak antagonis. Kura-kura
simbol binatang air, monyet binatang gunung dan hutan. Apakah ini simbol
budaya sawah Sunda melawan budaya ladang Sunda?
Cerita binatang Kuya Jeung Monyet (kura-kura dan monyet) disatukan
dalam bentuk paradoks dalam tokoh Si Kabayan. Tokoh ini kesatuan watak
kura-kura dan monyet, kecerdasan dan kebodohan. Cerdas bagai kuya dan
bodoh bagai monyet. Si Kabayan bisa jadi simbol Sunda-air dan
Sunda-gunung sekaligus serta menjadi jati diri Sunda secara budaya. Si
Kabayan adalah tokoh bodoh-pintar. Terkadang begitu bodohnya dan di lain
saat begitu cerdasnya.
Nanti kalau kita perhatikan, Kabayan sebagai tokoh bodoh selalu
berhubungan dengan nilai-nilai rohaniah, sedangkan sebagai tokoh pintar
selalu berhubungan dengan manusia lain. Kebodohan Kabayan adalah juga
kebodohan kita secara rohani. Di hadapan nilai-nilai rohaniah-ketuhanan
dan illahiah, Kabayan digambarkan begitu bodohnya sehingga tidak mampu
membedakan antara bayangan dan kenyataan.
Cerita-cerita Si Kabayan bodoh tidak begitu banyak. Kebodohan Kabayan
dalam cerita-cerita semacam itu sering keterlaluan. Misalnya Kabayan
tak bisa membedakan antara mayat dan manusia hidup, antara bayangan
langit dan permukaan tanah di sawah.
Kebodohan Kabayan yang demikian itu ternyata simbolik rohani. Kita
ini bodoh spiritual. Dalam hal ini, Si Kabayan bukan hanya jati diri
Sunda, tetapi jati diri manusia itu sendiri.
Kesundaan Si Kabayan ada pada latar lokalitasnya. Bahwa dalam
masyarakat Sunda cara hidup sehari-harinya semacam itu, seperti pergi ke
sawah, ke huma, ke hutan, pasang perangkap hewan, kenduri, haji, salat,
pohon tertentu, mandi di kali, dan lain-lain. Akan tetapi dalam alam
pikiran dan sikap spiritual benar-benar untuk semua manusia, hanya
kadang terselip kosmologi Sunda lama. Sebagai cerita rakyat, Si Kabayan
memang menggambarkan manusia di tanah Sunda. Tema dan pesan tetap
universal.
Sebagai cerita rakyat Sunda Si Kabayan sejajar dengan Abu Nawas dan
Koja Nasrudin. Orang sering menyejajarkan Si Kabayan dengan tokoh
pintar-bodoh di suku-suku lain. Akan tetapi tokoh-tokoh cerita rakyat
suku-suku lain itu tidak sekaya Si Kabayan. Cerita-cerita mereka kadang
hanya diwakili satu cerita.
Cerita Si Pandir di Melayu, misalnya, meliputi beberapa cerita saja.
Begitu pula Si Luncai dan Pak Senik, hanya ada satu dua ceritanya.
Sedangkan Si Kabayan, kalau dikumpulkan bisa mencapai seratus cerita
lebih. Coster-Wijaman bisa mengumpulkan 80 cerita di daerah Banten saja.
Sebagai cerita rakyat milik masyarakat Sunda, Si Kabayan memang
istimewa, setara dengan pantun-pantun Sunda. Cerita-cerita itu amat
dalam kalau ditafsirkan secara budaya. Cerita-cerita itu sama sekali
bukan dongeng-dongeng seperti diperkirakan orang, namun tidak semua
berkualitas demikian, sebab banyak para peniru Si Kabayan yang hanya
melihat permukaan ceritanya.
Cerita-cerita yang demikian itu tidak serta merta membangkitkan
adanya struktur-struktur berpikir simbolik. Sehingga banyak juga
cerita-cerita Si Kabayan baru yang hanya tertarik pada segi humornya,
namun tidak dilandasi oleh cara berpikir budayanya.
Mengapa istimewa?
Si Kabayan itu tokoh paradoks yang membangun cerita-cerita paradoks
pula. Tokoh demikian itu jelas muncul dari pemikiran mendalam seorang
(atau beberapa orang) intelektual. Bobot sastrawinya amat tinggi.
Meskipun diceritakan secara lisan sehingga banyak ditambah dan dikurangi
sesuai dengan perubahan masyarakatnya, inti pesannya masih amat jelas.
Bahkan kita dapat merekonstruksi bentuk aslinya.
Permata itu tetap permata, meskipun berada di mulut kerbau. Dengan
mudah kita dapat memilih mana Si Kabayan yang autentik dan mana Si
Kabayan artifisial. Untuk menulis cerita Si Kabayan yang baru diperlukan
dasar pengetahuan filsafat, bukan sekadar menulis cerita.
Cerita Si Kabayan itu memiliki dasar pandangan mistisisme dan laku mistis itu memang penuh paradoks. ***
* Jakob Sumardjo, Budayawan Sunda.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/seni-tradisi-si-kabayan-sebagai-cerita.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar