Sabtu, 31 Maret 2012

Bermula dari Tuhan Maha Romantis

Syaifuddin Gani
http://syaifuddinganisalubulung.wordpress.com/

Ya Tuhan yang Maha Romantis,
jadikanlah
aku puisinya
dan
dia puisiku
Terimakasih banyak
(2011)


Keromantisan dan Hasrat Seksual

Sajak di atas mendapat tanggapan yang cukup kritis dari Patta Nasrah, salah seorang pembahas sajak-sajak Deasy Tirayoh yang terhimpun di dalam buku puisi 9 Pengakuan, Seuntai Kidung Mahila, dieditori Shinta Febriany, dan diterbitkan Mahila Press, Januari 2012.  Menurut Patta Nasrah, penyebutan “Tuhan yang Maha Romantis” seakan-akan sebuah penegasan bahwa Tuhan itu memiliki hasrat seksual, karena romantis itu sendiri adalah sebuah perwujudan akan adanya hasrat seksual.

Demikianlah pandangan Patta Nasrah, ketika membahas sajak-sajak Deasy pada kegiatan diskusi puisi bertajuk Pengakuan Deasy Tirayoh yang diselenggarakan Komunitas Settung berkerja sama dengan Kloter-B (Kelompok Teras Budaya) di Taman Budaya Sultra, Kamis, 22 Maret 2012. Lanjutnya, Tuhan itu tidak berkelamin, tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan. Adanya 99 Asmaul Husna, yang menegaskan sifat-sifat Tuhan, tidak satu pun menyatakan Maha Romantis di dalamnya.  Menurutnya, sebagai penyair Deasy Tirayoh berani sekali berpandangan absurd serta menyiratkan adanya keangkuhan teologis.

Patta Nasrah kemudian mengutip salah satu lagi larik “kuampuni diriku/sebelum mengubur dirimu” adalah wujud keangkuhan teologis. Padahal, yang seharusnya mengampuni adalah Tuhan yang Maha Pengampun. Sehingga larik yang sesuai adalah “kumaafkan diriku” sebagai sikap momosisikan diri sebagai sang hamba. Akan tetapi, pendapat berbeda disampaikan Achmad Zain dan Galih Al Qandari, bahwa penyebutan “Tuhan yang Maha Romantis” adalah wujud ekspresi si penyair dengan Tuhannya, dalam media bahasa yang dianggapnya paling sesuai saat ia memetik momen puitik yang “spiritual” itu. Bahkan, Stone, sapaan karib Achmad Zain, menganggap sajak itu akan terasa lebih “sempurna” jika larik terakhir yaitu “Terima kasih banyak” dihilangkan saja. Atau jika tetap harus dipertahankan, sekalian ditambah dengan kata sapaan “nah” menjadi “Terima kasih banyak nah” sebagai wujud kedekatan atau ketiadaan jarak antara si aku lirik dengan Tuhannya.

Diskusi ini tambah menarik karena diawali pembacaan sajak-sajak Deasy oleh tiga Mahila (perempuan) yang juga penulis puisi Kendari: Sulprina Rahmin Putri, Kiki Reskyana Ilyas, dan Wa Ode Nur Iman.
Pembahasan tekstual, sebagaimana yang dikatakan salah seorang pendiri Sanggar Merah Putih di Makassar tersebut, bahwa ada benang merah “keremajaan” di dalam sajak-sajak Deasy Tirayoh, karena tema-tema masa muda banyak menghiasi sajak-sajaknya. Sajak “Nisan Itu Bernama November” adalah ikon keremajaan tematik yang bernada romantik. Inilah kutipan sajak tersebut:

Kuampuni diriku melalui puisi
Semua wajah
pada siang malam saat mengenalimu

Seperti ini
Telah kuampuni diriku
Jadi waktu
jadi bayangan
Riwayat yang memuara
ke laut
ke kuntum bunga
ke halaman buku
ke keabadian surga
Haruskah kecewa?
Demikianlah
November akan berganti
seperti es lalu cair kembali
Kuampuni diriku
sebelum menguburmu

Masa Muda dan Keangkuhan Teologis

Dari segi tekstual, sajak di atas menegasikan persoalan masa silam ‘kawin muda’ antara si aku lirik dan “sang kekasih”. Lanjut Patta, romantisme seperti ini banyak terdapat di dalam sajak Deasy Tirayoh sebagai sumber inspirasi penciptaan sajak-sajaknya. Bahkan sajak yang dikutip paling awal di atas, yang menyebut “Tuhan yang Maha Romantis” adalah bentuk permohonan kepada Tuhan agar sang aku lirik dan kekasihnya menjadi “aku puisinya/dan dia puisiku”. Sebuah permohonan romantis demi keromantisan hubungan kedua pasangan kekasih itu.

Ketika mengawali pembicaraannya, Patta Nasrah menegaskan bahwa ia selalu tergoda untuk mengetahui perjuangan ideologis sang penyair. Perjuangan ideologis seperti apa, yang sadar atau tidak sadar, termaktub di dalam sajak-sajak penyair. Dari pertanyaan awal hingga proses pembacaan itulah, Patta Nasrah kemudian menemukan adanya semacam keangkuhan teologis/idelogis di dalam sajak-sajak tersebut yang merupakan representasi penyairnya. Selain itu, Pattah Nasrah juga melihat adanya benih-benih eksistensialisme dan sekularisme di dalamnya. Hanya sayang, saat itu, sang pemateri tidak sempat mengutip larik-larik sajak yang mengindikasikan adanya benih-benih yang dimaksud. Dari penemuan ideologis itu, Pattah Nasrah menegaskan bahwa sebagai penyair Deasy Tirayoh tergolong sosok yang berani di dalam menuangkan ide-idenya, meskipun masih menyiratkan adanya ketidakstabilan emosi di dalamnya. Bahkan, atas pembacaan kritisnya itu, Patta Nasrah juga “berani” menyimpulkan bahwa sebagai penyair, Deasy Tirayoh “tidak terlalu” beragama.

Akan tetapi, pandangan seperti ini terasa tidak “adil” jika klaim keberagamaan seseorang hanya berdasar pada teks puisinya. Apalagi “hanya” ada sepuluh teks puisi dan cuma  tiga puisi yang berbicara soal Tuhan. Padahal, religiusitas seseorang lahir dari perpaduan teks-teks kehidupannya yang tak terhingga. Pandangan Patta Nasrah sebagai pembaca dan pembahas sajak-sajak Deasy tersebut, mengingatkan kita pada analisis teks-teks puisi Chairil Anwar oleh Arief Budiman dengan menggunakan pembacaan eksistensialisme yang terhimpun di dalam buku Chairil Anwar Sebuah Pertemuan (Penerbit Wacana Bangsa, 2007).

Di sisi lain, hasil pembacaan dengan pendekatan tekstual, membawa Patta Nasrah pada suatu penemuan bahwa sebagai penyair, Deasy Tirayoh telah berhasil menemukan dan memanfaatkan bahasa semaksimal mungkin sebagai sarana pengungkapan ide-idenya. Deasy mampu mengoptimalkan keterbatasan sekaligus kemampuan kata untuk hadir menjadi metafora yang kuat. Larik “Jemarimu kau simpan pada jantungku yang berdebar hingga pagi pecah” menujukkan kekuatan kata itu. Kata “pecah” adalah pengoptimalan kata dasar untuk hadir bersama kata yang lain, membentuk bangunan larik yang utuh dan kuat. Menurut Patta, seandainya kata “pecah” diawali imbuhan “me” sehingga “memecah” maka ia akan terasa lemah. Lanjut Patta, “pagi pecah” adalah bahasa laki-laki. Istilah “bahasa laki-laki” ini sebetulnya masih harus mendapat pendapat penjelasan lebih lanjut. Karena apakah “pagi memecah” misalnya adalah bahasa perempuan? Bahasa yang dianggap tidak kuat atau lemah?

Ruangan di Rumah Seni Kloter-B, tempat pelaksanaan diskusi ini terasa pengap, karena disesaki sekitar empat puluh orang peserta dari berbagai komunitas sastra dan teater, serta mahasiswa. Tidak terasa dua jumbo kopi, plus satu jumbo teh yang disiapkan panitia, hampir habis. Matahari semakin tenggelam saja. Warna kirmizinya menembus kisi-kisi jendela. Deasy Tirayoh menebar senyum romantis ke seluruh peserta,juga pada pemateri. Ia selalu ceria ditemani anak semata wayangnya, Edelweis.

Patta Nasrah telah melakukan kajian tekstual dan ideologis dengan baik di dalam menganalisis sajak-sajak Deasy.

Antara “Sinkretisme” Hanna Fransiska & Dorothea Rosa Herliany

Pembicara yang lain, Ilham Q. Moehiddin memiliki pendapat yang lain lagi mengenai sajak-sajak Deasy Tirayoh. Menurutnya, daya ungkap Deasy mengapungkan makna puisinya, menjadi luar biasa. Membaca sajak-sajak Deasy, lanjutnya, seolah-olah kita membaca “sinkretisme” antara Hanna Fransisca dan Dorothea Rosa Herliany dalam pengertian yang sederhana. Kemiripan dengan Hanna, kata spesialis penelisik sastra ini, Deasy lihai di dalam mengoptimalkan keseharian dan lingkungan terdekatnya menjadi sebuah sajak. Sajak “Kangen, Balada Hati, Catatan di Tepi Bulan, Layang-layang, dan Di Teras dengan Bunga-bunga” adalah sederet sajak yang lahir dari lingkungan keseharian penyair. Menurutnya, kelebihan Hanna Fransisca, penyair yang telah melahirkan buku puisi Konde Penyair Han, adalah kemampuannya menangkap momen-monen keseharian menjadi sebuah sajak, misalnya tentang pepaya, memasak di dapur, puisi kacang hijau, pohon jambu, dan sebagainya.

Sedangkan kemiripannya dengan Dorothea adalah daya ungkap Deasy yang liar serta kepiawaiannya mengakhiri sajaknya dengan baik. Sajak “Secangkir Purnama” adalah salah satu sajak  Deasy yang seperti itu, lanjutnya. Inilah kutipannya:

Senja beranjak buram menuju malam
Ruang bergerak hitam di minus retina
Kau: serupa halaman bertumbuh
bijibiji kopi
dan rimbun janji menganakpinak

Tungkai lupa harus menempuh berapa
setelah jarak sebait tanggal
Perayu,
malam di mana sama sajalah
tetapi
saat kehilangan rasa
tanpa kau sadari
purnama kelam mengapung
di cangkirmu


Akan tetapi, lanjut Ilham, karena terlalu terobsesi dengan ungkapan yang liar, sebagian sajak Deasy menjadi gelap, seperti larik berikut ini, “Tungkai lupa harus menempuh berapa/setelah jarak sebait tanggal”. Pertanyaan yang kemudian diajukan Ilham adalah, apa makna dari larik “tungkai lupa harus menempuh berapa”? Bukankah ada kesan terjadinya kegelapan bahasa dan metafora? Meskipun demikian, Ilham tetap memuji kerja kepenyairan Deasy yang mencoba mengoptimalkan penggunaan diksi yang maksimal di dalam sajaknya. Katanya, “Jarang kita temukan diksi yang ditautkan dengan diksi yang lain ut membentuk daya ungkap”!

Enjambemen yang “Lain”

Salah satu hal yang sangat menarik perhatian Ilham yang juga salah seorang pendiri Komunitas Settung ini adalah penggunaan enjambemen yang sangat khas dan unik di dalam sajak Deasy. Sajak “Di Teras dengan Bunga-bunga” adalah sajak yang enjambemennya “lain”. Inilah sajak tersebut secara utuh:

Seperti apa wajahmu sekarang,
Nay?
Masihkah matamu tanpa
Jiwa?

Kapan pulang?
Kita timbun lagi bijibiji
dengan cangkul kaca
Ke mana
Sobekan rok merahmu kau bawa?
Benangnya masih menggelayut di bunhbunga
Nay,
datanglah sesekali
kita tidur siang lagi
Aku tunggu di teras
2010

Ilham kemudian melahirkan pertanyaan, “Kenapa “Nay,” harus ke larik berikut, sementara ada “koma” di belakangnya?  Mengapa kata “Jiwa” pada larik ke empat mesti turun ke bawah, tidak menjadi bagian dari larik ke tiga? Mengapa larik “Ke mana” tidak bersambung saja menjadi satu larik dengan “Sobekan rok merahmu kau bawa”? Untuk jawaban ini, Ilham berjanji akan membuat tulisan tersendiri mengenai enjambemen sajak-sajak Deasy.

Suara Salawat dari masjid yang tidak jauh dari Taman Budaya Sultra mulai terdengar samar ketika sesi tanya-jawab saya buka, selaku moderator. Achmad Zain, penanya pertama mengatakan bahwa selain suka puisi Deasy, ia juga sangat suka status-status Deasy di akun facebook. Katanya, kesederhanaan bahasa adalah salah satu kekuatan sajak Deasy, sebagaimana kesederhanaan bahasanya di facebook. Baginya, Deasy ibarat sebuah pohon yang telah berbuah dan kita telah menikmati buahnya. Seorang penyair tidak boleh terjerembab pada hutan diksi sehingga sajaknya menjadi susah dipahami. Lanjutnya, sajak “Catatan di Tepi Bulan” adalah sajak yang menyadarkan bahwa kita masih memiliki Tuhan.  Galih Al Qandari, penanya lain berpendpat bahwa Deasy Tirayoh akan bermazhab teologi apa, itu wajar dan sepenunnya menjadi bagian dari kebebasannya.

Abdul Razak Abadi yang memiliki nama maya Adhy Rical mengatakan bahwa jujur saya tidak tahu kalau Deasy Tirayoh sebagai penulis puisi. Saya hanya kenal sebagai penulis cerpen saja. Ia sering meng-tag cerpen-cerpennya kepada saya.  Adhy juga mengeritik sampul buku yang dinilainya tidak “konsisten”. Judulnya 9 Pengakuan tetapi gambar “sel telur” berjumlah sebelas.

Ilham, sambil mengutip sebuah firman, bahwa  Tuhan itu tergantung persangkaan umatnya. Bila aku buruk di matanya, buruklah aku. Jika aku baik di matanya, baiklah aku. Pengutipan ayat Alquran ini adalah “jawaban” Ilham atas kemultiinterpretasian sajak “Tuhan yang Maha Romantis” itu. Hal yang kurang lebih sama dikatakan Pattah bahwa sajak yang bagus adalah yang multiinterpretasi. Pendapatnya yang mengatakan bahwa sajak itu seakan-akan mengandaikan bahwa Tuhan itu punya hasrat seksual karena keromantisan itu bagian dari hasrat seksual, dan bahwa larik “kuampuni diriku” adalah wujud keangkuhan teologis, sementara Achmad Zain dan Galih mengatakan bahwa itu adalah wujud/kebebasan ekspresi sang penyair, kesemuanya menegaskan bahwa sajak itu multiinterpretasi dan “berhasil”.

Kembali ke soal sajak Deasy, Pattah mengatakan bahwa ia suka absurditas dan eksistensialisme asal penulisnya konsisten akan hal itu. Saya jengkel karena penulisnya tidak konsisten, katanya sambil tertawa. Selain itu, kepasrahan Deasy pada kodrat sebagai perempuan, Pattah juga tidak setuju. Apakah memang Deasy pasrah pada yang kodrati? Apa yang kodrati pada perempuan?

Senja Hampir Usai dan Deasy yang Pemalu

Senja hampir usai. Pasukan malam mulai berdatangan.

Saya harus segera memanggil Deasy Tirayoh ke depan untuk menyampaikan proses kreatif, ihwal penerbitan buku 9 Pengakuan, dan menjawab tanggapan kedua pemateri. Inilah sesi yang ditunggu-tunggu. Inilah jawaban Deasy yang saya berupaya tidak menambahkurangi.

Terima kasih atas kehadiran para peserta, kata Deasy. Terima kasih kepada Komunitas Settung dan Kloter-B, yang menyelenggarakan diskusi ini. Terima kasih kepada kedua pemateri yang sangat menyenangkan.

Saya duduk di tengah-tengah pemateri, dan kata pertama yang saya ucapkan adalah “Wow”!

Seharusnya saya duduk bersama ke delapan kawan saya. Tetapi ke delapan kawan saya bermukim di kota yang berbeda jadi tidak mungkin berada di ruangan ini. Lagi pula, diskusi ini menitikberatkan pada sajak-sajak saya saja. Tidak ada kata “kebetulan” saya masuk dalam antologi 9 Pengakuan. Ini adalah berkah facebook.

Saya tidak pernah bergabung dengan komunitas apa pun di Kendari, bahkan dosen-dosen saya keget ketika tahu saya menulis puisi.

Saya menulis di sebuah ruangan, kontemplasi, lahirlah beberapa karya.

Saya adalah seorang yang sesungguhnya pemalu. Bahkan jarak terjauh yang saya lalui adalah ketika keluarga pindah ke Kendari dan  ke Makassar untuk bedah dan lounching buku ini.

Teman-teman facebooker di Makassar melirik saya dan terlibat dengan proyek ini.

Kemudian saya terima sebagai momen untuk keluar dari kamar. Saya kirim karya yang saya simpan dari kamar rahasia di sebuah di folder yang saya  kunci.

Puisi adalah hal terdekat dan misteri paling jauh.

Puisi ini (maksudnya buku 9 Pengakuan) lahir karena kami bukan kebetulan perempuan tapi karena ingin menunjukkan aktualisasi di khazanah sastra Indonesia.

Harusnya memang saya banyak belajar.

Bapak saya calon pendeta mengawini ibu saya yang Islam. Kemudian bapak saya menjadi mualaf.
Apakah pengakuan Deasy tersebut dimaksudkan untuk menjawab klaim Patta Nasrah soal keberagamaan Deasy? Demikianlah serentetan pengakuan sekaligus pembelaan Deasy Tirayoh atas sajaknya dan atas pembahasan pemateri.

Sayang sekali, Magrib akan segera tiba, jadi sesi pertanyaan dari forum untuk Deasy sebagai penulisnya, saya tiadakan. Masih banyak peserta yang ingin bertanya. Sebaliknya, kedua pemateri dapat bertanya langsung kepada Deasy, tetapi juga harus ditiadakan, demi menyongsong panggilan Tuhan, menunaikan ibadah Salat Magrib.

Patta Nasrah dan Ilham Q. Moehiddin telah menggunakan haknya sebagai pembaca untuk menilai dan mengkritisi sajak-sajak Deasy. Tentunya, hasil pembacaan itu dilakukan oleh dua orang yang berperan sebagai pemateri diskusi saat itu. Artinya, masih akan banyak hasil pembacaan yang bisa saja berbeda yang dilakukan oleh pembaca-pembaca yang lain.

Tradisi kesusastraan yang sehat dan bernas hanya akan lahir dari proses kritisisme seperti ini. Ada karya, ada kritik, ada diskusi, ada dialektika.

Bagi saya, ada sajak Deasy yang sangat menantang untuk didiskusikan, yang terlewati pada diskusi ini. Saya tidak tahu, apakah kedua pemateri merasa tidak “tertarik” atas sajak itu atau sengaja melewatinya. Sajak itu menggukan kata “pintu” sebagai kata kunci utama yang di setiap bait, bisa saja memiliki makna yang berbeda-beda, atau makna yang sama sekali sama. Dengan kata lain, “pintu” yang dimaksudkan adalah sama. Sebagai moderator atau seorang pembaca, sajak ini mengandung “kontroversi” mengenai para penjaga pintu itu.

Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip sajak Deasy Tirayoh yang saya maksudkan di atas:

Dongeng: Di Pintu Ibu

Pada zaman dahulu kala, pintu itu dijaga oleh raksasa. Matanya nyalang. Giginya panjang. Rambutnya berantakan
Pada zaman pascadahulu kala. Pintu itu dijaga nabi berjanggut panjang. Matanya penuh sabda. Bibirnya bergelantung mantramantra
Pada zaman setelah itu. Pintu itu tak lagi berpenjaga. Lama
Nak,
Di zaman sekarang, pintu kamu jaga baikbaik. Kelak kamu akan mengerti, rahim itu lebih suci dari air zamzam dan Sungai Gangga
Kampus Unhalu, 2007

Sebagai moderator, tentunya salah satu kewajiban saya adalah merangkum keseluruhan ide, pertanyaan, dan jawaban di dalam diskusi ini. Inilah semacam rangkuman saya atas pemikiran yang terserak dan saya coba mengumpulsatukan. Saya menutup tulisan ini, sambil mengutip sajak Chairil Anwar, Rumahku dari unggun-timbun sajak? Kaca jernih dari luar segala nampak!

                                                            Puri Tawang Alun 2,  26-27 Maret  2012
Dijumput dari: http://syaifuddinganisalubulung.wordpress.com/2012/03/29/bermula-dari-tuhan-maha-romantis/

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae