Selasa, 20 Maret 2012

Bahasa dan Jati Diri Bangsa

Imam Jahrudin Priyanto*
Pikiran Rakyat, 9 Feb 2008

MENDALAMI bahasa Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Semakin didalami, semakin terasa kesulitan dan segala kroniknya. Namun, dalam kesulitan itu terdapat keunikan tertentu sehingga orang yang mencintai bahasa Indonesia akan semakin asyik mendalaminya.

Sudah selayaknya bila kita merasa bangga terhadap bahasa Indonesia yang kosakatanya digali dari kekayaan budaya sendiri, khususnya bahasa Melayu, yang kemudian mendapat pengayaan dari sana-sini.

Proses adopsi atau penyerapan dari bahasa lain selalu ada. Bahasa Inggris, misalnya, sebagai bahasa yang paling banyak dipakai di dunia, ternyata masih menyerap kata-kata dari bahasa Indonesia. Umpamanya saja kata rattan (dari rotan), bamboo (bambu), orangutan (orangutan), roozak (rujak), dan amok atau amuck yang berarti marah.

Bahasa Inggris pun masih perlu menyerap utuh kata entrepreneur (pengusaha) dari bahasa Prancis. Kemudian kata itu dibubuhi akhiran ship (sufiks yang dalam bahasa Indonesia berarti ke – an) sehingga muncullah kata entrepreneurship (kewirausahaan). Jangan lupa juga kata “sambal” dan “tahu” sudah masuk dalam bahasa Jerman, atau setidaknya sudah digunakan oleh orang Jerman untuk maksud dan arti yang sama dengan sambal dan tahu dalam bahasa Indonesia.

Demikianlah perkembangan bahasa, selalu diwarnai dinamika yang tak ada habisnya. Setiap bahasa saling berinteraksi dengan tujuan untuk memperoleh pengayaan, suatu hal yang sudah menjadi syarat mutlak agar bahasa bisa eksis di tengah masyarakat yang terus maju dan berkembang.

Dalam kaitan itu, bahasa Indonesia pun terus memperkaya diri dengan kosakata baru agar bisa mengikuti perkembangan, termasuk dalam hal teknologi. Tak bisa disangkal, untuk pengayaan istilah teknologi, bahasa Indonesia banyak menyerap kata atau istilah bahasa Inggris, yakni bahasa yang dipergunakan para ahli penemu atau pencipta barang-barang tertentu.

Proses pengayaan itu tidak hanya terkait proses penyerapan, tetapi juga penciptaan kata-kata (baru) yang memiliki arti sama atau sepadan, misalnya cakram padat untuk compact disc, pelantang untuk microphone (walaupun sudah ada bentuk serapan mikrofon), atau peranti pengondisi udara untuk air conditioner (AC), dan lain-lain.

Dalam bidang lainnya, kini hadir pula istilah pemangku kepentingan yang artinya sama dengan stakeholder, atau penyintas yang artinya sama dengan survivor (orang yang selamat dalam insiden, musibah, atau kecelakaan). Belum lama ini pun muncul istilah uang kerahiman yang artinya sepadan dengan atonement money atau uang kompensasi atas kedukaan, kerugian (semacam uang penebus dosa).

Para ahli bahasa juga merasa tidak nyaman dengan kata nominator yang diartikan secara salah kaprah sebagai orang yang dicalonkan atau diunggulkan dalam proses nominasi. Padahal, nominator berarti orang atau tim panel yang mencalonkan atau mengunggulkan orang (pihak) tertentu dalam proses nominasi. Sementara orang yang dicalonkan atau diunggulkan dalam proses nominasi disebut nomine dan kata ini sudah resmi masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (sejak edisi kedua). Kata nomine diserap dari nominee (bahasa Inggris).

Selain dari bahasa asing, bahasa Indonesia juga memperkaya diri dengan kata-kata yang berasal dari bahasa daerah, termasuk bahasa Sunda. Salah satu contohnya, kata ngabuburit. Pada bulan Ramadan, media-media nasional, baik cetak maupun elektronik, tak ragu lagi menggunakan kata itu untuk arti menanti tibanya waktu magrib (burit) saat orang berbuka puasa. Kini kata ngabuburit sudah menasional. Perkembangan bahasa memang tidak bisa dibendung.

Saat ini, pejabat dari berbagai daerah di Indonesia terus berkomunikasi dengan Pusat Bahasa (dulu Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) Depdiknas di Jakarta, untuk mengusulkan agar kata-kata atau istilah dari daerah mereka bisa dimasukkan ke Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat yang rencananya diterbitkan Oktober 2008.

Dinamika bahasa

Bahasa yang hidup adalah bahasa yang dinamis. Jadi tidak ada bahasa yang benar-benar mapan. Selalu ada kekurangannya. Ambil contoh, semula dalam bahasa Inggris beberapa kata yang menunjukkan profesi atau pekerjaan, seolah-olah hanya untuk laki-laki, yang ditandai adanya akhiran man, misalnya businessman (pengusaha), spokesman (juru bicara), atau chairman (ketua). Kata-kata itu sangat bias gender. Apakah profesi pengusaha, juru bicara, atau ketua organisasi itu hanya untuk laki-laki?

Dalam perkembangannya, banyak perempuan yang memprotes penggunaan kata-kata itu. Maka kemudian muncullah kata businessperson, spokesperson, dan chairperson. Mungkin kata-kata terakhir ini masih terdengar asing bagi sebagian kalangan, namun lihatlah dalam perkembangannya, kata-kata tersebut pasti akan semakin akrab. Kata spokesperson sudah lebih dulu “tampil” karena sering digunakan dalam laporan politik, terutama bila juru bicara kepresidenan atau juru bicara kementerian luar negeri (yang berjenis kelamin perempuan) memberikan keterangan di televisi.

Perkembangan bahasa adalah bagian dari proses sosial yang ditandai oleh adanya dinamisasi dalam konteks kehidupan masyarakat. Namun, hendaknya perkembangan itu tidak sampai mengurangi wibawa bahasa sebagai bagian dari jati diri bangsa. Dalam konteks keindonesiaan, hendaknya bahasa Indonesia menempati posisi terhormat. Tidak menjadi bahasa kelas II seperti tercermin dari sikap sebagian anggota masyarakat yang lebih sering membangga-banggakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Dalam benak mereka, bahasa asing lebih gaya, lebih bergengsi, atau lebih laku dijual.

Kecenderungan penggunaan bahasa asing secara tidak proporsional atau berlebihan, sejatinya memang harus diwaspadai karena dalam konteks makro bisa mengancam wibawa bahasa Indonesia. Ambil contoh, nama-nama kompleks perumahan atau pertokoan mewah. Masih banyak kompleks perumahan atau pertokoan mewah yang menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Sementara nama perumahan tipe-tipe kecil menggunakan bahasa Indonesia.

Perlakuan seperti ini cenderung diskriminatif dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kelas II. “Mengapa harus menggunakan bahasa asing? Tokh kompleks perumahan Pondok Indah di Jakarta yang jelas-jelas berasal dari bahasa Indonesia, tetap dianggap sebagai kompleks elite, kompleks yang bergengsi. Jadi tidak harus dengan bahasa asing,” kata Drs. Mustakim, M.Hum., Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa saat menjadi pembentang makalah pada Seminar Pengutamaan Penggunaan Bahasa Indonesia di Pusat Bahasa, Jakarta, Desember 2007 lalu.

Bahasa Indonesia tentu bukanlah bahasa kelas II, namun bahasa terhormat yang memiliki peran strategis. Namun, pernyataan ini hendaknya jangan ditafsirkan bahwa kita harus “memusuhi” bahasa asing. Apalagi kini, menguasai bahasa asing sudah menjadi keharusan untuk mengikuti perkembangan zaman. Namun, perlu dicatat, penggunaan bahasa asing haruslah proporsional, terutama dalam konteks hubungan internasional.

Peran sekolah

Sikap menyepelekan bahasa Indonesia juga terjadi pada sebagian pelajar yang tidak mau mendalami bahasa nasional ini karena mereka menganggap bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari-hari. Tak heran bila ada pelajar SMP atau SMA mendapat nilai 10 untuk pelajaran bahasa Inggrisnya di rapor, sementara nilai bahasa Indonesianya 7.

Disinyalir, sekolah-sekolah tertentu pun cenderung tidak mengutamakan bahasa Indonesia. Kini banyak sekolah nasional berstandar internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Padahal sebaiknya (atau seharusnya), yang “internasional” itu hanya kurikulumnya, sedangkan bahasa pengantarnya tetap bahasa Indonesia. Ini tentu berbeda dengan sekolah internasional yang pasti menggunakan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, sebagai bahasa pengantar sehari-hari.

Kondisi-kondisi tersebut mengundang keprihatinan pakar linguistik Prof. Dr. Amrin Saragih yang juga Guru Besar Universitas Negeri Medan. Tokoh yang juga Kepala Balai Bahasa Medan ini menganggap sebagian orang Indonesia sedang mengalami krisis bahasa yang juga berarti mengalami krisis identitas. Mereka mengalami “demam” bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, yang dianggap memiliki nilai jual tinggi. Semua istilah, merek dagang, spanduk, nama perusahaan, nama hotel, dan nama tempat pelayanan umum menggunakan bahasa Inggris, atau bercampur bahasa Inggris, sehingga tidak proporsional.

Dalam konteks senada, penyair mbeling Remy Sylado yang juga seorang munsyi (ahli bahasa), mengecam keras bertebarannya kata-kata dan istilah asing di berbagai segi kehidupan bangsa Indonesia, seolah-olah kita tidak punya bahasa Indonesia. Media massa cetak dan elektronik pun dikritiknya karena sering menggunakan kata atau istilah bahasa asing secara berlebihan, padahal kata atau istilah yang memiliki arti sama atau sepadan sudah ada dalam bahasa Indonesia.

Sikap respek

Sebenarnya, bahasa Indonesia punya tempat yang khusus di hati masyarakat internasional. Banyak warga negara lain, misalnya Jepang atau Australia yang mempelajari bahasa Indonesia. Kini tercatat ada 73 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia, baik di tingkat SD, SMP, SMA, atau perguruan tinggi.

Di Australia, bahasa Indonesia diajarkan dari tingkat SD sampai SMA. Beberapa perguruan tinggi di sana juga membuka program studi bahasa Indonesia. Sementara di Jepang ada tujuh belas perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Indonesia.

Dari semua paparan tersebut, kini diharapkan muncul sikap untuk selalu mengutamakan bahasa Indonesia dan menempatkannya pada posisi terhormat. Petugas hotel misalnya, tak perlu ragu untuk menyapa tamu asing dengan salam “selamat pagi” pada kesempatan pertama, baru kemudian “good morning” (bila dirasa perlu). Buat apa kita menggunakan kata concern padahal kita punya kata peduli? Mengapa kita memakai kata input padahal kita punya kata masukan? Mengapa harus organizing committee, bukan panitia pelaksana? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Semua pihak dituntut untuk peduli terhadap perkembangan bahasa Indonesia, baik itu pelajar, pengajar, pejabat, maupun pers. Apalagi pers memiliki peran yang sangat besar karena produknya setiap hari dibaca atau dinikmati masyarakat luas. Kini saatnya kita menunjukkan kecintaan yang tinggi terhadap bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan bagian dari jati diri bangsa.***

* Imam Jahrudin Priyanto, Redaktur Bahasa Pikiran Rakyat
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/02/khazanah-bahasa-dan-jati-diri-bangsa.html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae