Dorothea Rosa Herliany
http://suaramerdeka.com/
INI bukanlah sesuatu yang disesali. Tiba-tiba saja ia merasa seperti ada macan dari dalam tubuhnya. Perutnya minta daging, mulutnya haus darah, dadanya gemuruh, berdentam, bergendam, ingin menyergap, ingin mencerkam, mendera, mencabik, mencakar…Itulah perasaannya setiap kali bertemu lelaki yang menempati beberapa langkah di seberang tempat tinggalnya. Saat ini ia tinggal di sebuah studio yang sekaligus dijadikannya rumahnya —sebuah tempat yang boleh ditinggali untuk waktu selama beberapa bulan. Perasaan itu datang tiba-tiba saja. Rasanya ingin melakukan sesuatu kepada laki-laki itu.
Padahal lelaki itu tak begitu dikenalnya. Dari riwayat hidupnya, yang ia baca di media virtual, lelaki berkulit terang itu adalah seorang wartawan dari negeri berpenduduk terbanyak di dunia. Seorang lelaki yang baik. Ia satu dari sekian korban yang selamat dari pembantaian massal pada sebuah waktu yang mengenaskan di tempat yang memilukan. Ia dipenjara dua tahun delapan bulan. Enam giginya rontok. Tangan kanannya lumpuh. Ia alami ”vaksinansi” di penjara: polisi memasukkan kepinding di luka setiap napi. Kepinding itu akan mengubah luka jadi tomat, merah, gendut dan gembur penuh darah! Setelah peristiwa itu, ia masih dinistakan. Ia kehilangan identitas. Namanya tak boleh muncul sampai waktu lama. Dan ketika akhirnya bisa muncul, namanya ditulis dengan salah. Ini jelas melanggar taboo nenek moyang yang mengatakan: apa pun yang terjadi, nama tak boleh tak ada atau diubah. Yeach! Ia dianggap pelawan rezim. Virus yang harus dimusnahkan. Namun ia tak gentar. Dengan berbagai cara, berkejaran dengan polisi, ia terus menulis, mengkritik, berbicara di pertemuan-pertemuan, sampai suaranya terdengar hingga ke luar negeri, ke publik internasional.
Lelaki ini sebetulnya sama statusnya dengan dirinya. Sama-sama tamu yang dibolehkan menumpang beberapa waktu di sebuah negeri yang memiliki banyak filsuf itu. Lelaki itu menempati sebuah rumah. Ya rumah, bukan studio seperti yang dimilikinya. Rumah itu ada di halaman yang sama dengan studionya. Lelaki ini berperut buncit. Lehernya menyatu dengan dagu. Wajahnya dingin dan kaku. Rambutnya lurus sebahu. Dirinya sendiri jadi tampak kecil dibanding lelaki gendut gondrong itu. Walau begitu, ia simpan dalam-dalam semacam perasaan kesumat yang ada dalam dirinya itu. Ia simpan hati-hati, bahkan seperti memeliharanya diam-diam. Ini hasrat purba, pikirnya, biar saja ada.
Di kebun belakang studionya, ada seekor kuda. Ada juga sederet pohon walnut hitam dengan burung-burung kecil yang selalu berkicau-kicau. Macan dalam dirinya ia bayangkan seperti si kuda yang dilihatnya di belakang rumahnya itu. Ia pelihara binatang itu: dileus-elusnya saban waktu.
Entahlah mengapa perasaannya pada lelaki yang tak begitu dikenalnya itu seperti itu. Namun ia sendiri seperti punya ingatan akan sesuatu yang lama dulu…ada memori di kepalanya yang dulu hanya tersimpan di satu bagian tertentu dalam otaknya saat ini tiba-tiba muncul. Tapi, ini mungkin tak penting. Ia lebih sering memikirkan lelaki itu. Ia justru ingin bertemu lagi. Ia ingin memiliki perasaan itu lagi: menjadi liar, ingin menghunjam, ingin meledak….
Suatu siang, ia masuk ke ruang perpustakaan yang biasa dipakai berbagi untuk semua penghuni selingkung rumah itu. Tiba-tiba saja, lelaki itu muncul dari dalam rumah dia sendiri. Rambutnya sebagian menutup matanya. Lelaki itu melihatnya, lalu satu tangannya melambai padanya. Tangan ini saja yang tampak ramah sebab rautnya mukanya tetap saja dingin. Rokok tak beranjak dari mulutnya. Setelah itu, tangannya masuk saku celana, menahan dingin udara luar. Ahhh, perasaan dalam dirinya itu benarlah sekarang muncul lagi: perutnya kaku, nyeri, lapar haus, ingatannya melayang, tenggorokannya ngilu dan perasaannya meluap-luap ingin mencelakai lelaki itu…
”Hei!” kata si lelaki dari kaca jendela perpustakaan. Tapi ini hanya mulutnya saja yang seperti mengucap kata ”hei” itu, suaranya sendiri tak ada. Lelaki ini maju beberapa langkah ke arahnya, seperti sedang ingin bersikap lebih akrab. Namun hanya begitu saja. Ia tetap di luar perpustakaan itu, menikmati rokok yang diisapnya itu. Hemat kata betul lelaki ini. Dan wajahnya juga tetap dingin-dingin saja.
Ia tak membalas ucapan lelaki ”hei” itu. Namun ia menyumpah-nyumpah dalam hati, mengapa ia tak mampu bersikap biasa saja. Memang sesungguhnya ia sedang menikmati perasaan tak nyaman itu. Perasaan yang mengaduk-aduk emosinya itu. Namun sebagaimana binatang macan yang selalu tampak tenang, ia juga menenang-nenangkan gemerutuk yang menggerogoti tubuhnya. Ia sembunyikan perasaannya yang sebenarnya jauh-jauh. Padahal ia tengah mengincar mangsanya itu. Kini malahan tambah ada sepercik api di dalam dadanya.
2
SEPERTI tadi sudah kuceritakan, peristiwa kecil ketika si lelaki menyapanya dengan ”hei” itu, diingat dan dipeliharanya terus gejolaknya. Bukan soal pertemuannya. Namun ya perasaan tak nyaman itu. Setiap kali ia sudah kembali normal, ia malahan mengingat-ingat pertemuan kecil siang itu…maka perutnya kembali mual, perasaan benci yang tanpa sebab kembali datang. Sejak itu, ia mulai melihat-lihat peralatan di dapurnya. Apa saja benda tajam yang ada di rumah ini. Ada pisau beberapa jenis, untuk iris roti, iris daging, iris keju, iris wortel…huh tak ada yang cocok untuk iris sesuatu yang lebih kenyal dan keras!
Kini dadanya berdebar setiap kali berada di dapur. Jika tiba saat harus melakukan sesuatu di dapur untuk dimakan, ia jadi gugup dan gemetar. Gelas atau piring hampir saja jatuh karena tangannya memegang benda-benda itu dengan gemetar. Saat waktu minum teh tiba, ia lebih suka duduk di kursi yang di depannya ada kacanya. Sebab dari situ ia bisa langsung mengawasi rumah depan. Matanya mencari-cari, atau tepatnya menunggu-nunggu kalau-kalau lelaki itu muncul? Kemarin pagi si yang dinanti itu muncul, hanya kepalanya saja, membuka jendela kamar atas ruang tidurnya. Sebentar saja karena sepertinya ia segera turun, mungkin ke dapur atau kamar mandi. Tapi heran, hal itu itu sudah membuatnya ”senang”. Ah, senang? Benarkah? Yang jelas, ada struktur di syaraf otaknya yang bekerja lebih aktif dari sebelumnya.
3
DI sebuah hari minggu yang dirayakan lebih istimewa dari hari lainnya, ia bermaksud pergi ke sebuah rumah ibadah. Saat ia berjalan, beberapa ratus meter di depan dirinya, ia lihat lelaki itu juga berjalan ke arah yang sama dengan dirinya. Menuju ke kota bawah. Tempat mereka tinggal memang di sebuah daerah di atas bukit yang terpencil. Jika mereka ingin melakukan sesuatu atau membutuhkan suatu barang, mereka harus turun. Ia percepat langkah kakinya agar lebih dekat dengan lelaki itu. Padahal, makin dekat, perutnya seperti makin melilit-lilit saja. Haus sekali, lapar sekali. Daging. Darah. Tapi itu semua seperti ia abaikan saja. Sebab ia sedang konsentrasi mempercepat langkah kaki agar lebih segera sampai ke lelaki itu.
”Hei,” sapanya ketika sudah tiba persis di serong samping belakang si laki-laki.
Lelaki itu menoleh dan melihat ke arah dia. Tatapan matanya dingin tanpa ekspresi. Seperti biasa. Bajunya agak aneh kali ini. Biasanya, di berbagai cuaca, ia selalu setia dengan biru putih. Kadang jins biru dipadu dengan kemeja atau kaos putih. Kadang di balik, jins putih dengan kaos atau kemeja biru. Itu sudah menjadi seragamnya saban waktu. Aneh kali ini, ia mengenakan kemeja hitam dan jins hitam. Dan…oh rupanya si putih dan biru ada di topinya! Ia mengenakan topi dua warna, bawah biru dan putih di atasnya. Dan rupanya si biru putih itu berasal dari jin. Ya dari bahan celana yang biasa dipakainya selama ini! Apakah ia menyobek celana-celananya? Belum sempat ia memeriksa apa yang terjadi dengan perut atau debar dadanya, huh, ia malah terpancing pada sang topi! Topi itu terbuka di bagian atasnya. Mamamia!
”Topi. Terbuka. Yang Kuasa,” ujar lelaki itu tanpa ditanya, juga tiada menoleh ke yang diajak bicara. Manusia hemat kata.
Ia terbengong. Namun sebaliknya (dan sekaligus), macan dalam dirinya datang lagi. Mengaum-aum, menggeram-geram, mengendus. Mangsa sudah dekat.
Perutnya bergolak. (Ia lalu hentikan langkah).
Lelaki itu tak menghiraukan dan meneruskan perjalanan begitu saja.
Perutnya pedih. (Isi perutnya mendesak-desak minta keluar).
Perutnya mual. (Dadanya naik turun, kepala berkunang-kunang).
Perutnya seperti ada yang memompa dari dalam.
Ia lalu lari ke arah semak belukar. (Di sana, ia muntah-muntah).
Entahlah, apakah ini melanggar kebersihan di negeri ini. Ia tak sempat berpikir soal itu. Perutnya benar-benar kosong kini. Lidahnya terasa jadi pahit.
4
MALAMNYA, ia sedang duduk tepekur di kursi yang biasa untuk minum teh. Pikirannya kosong saja. Jendela berkaca itu sudah dia tutup tirainya. Tiba-tiba, lamat-lamat, ia dengar ada suara dari rumah di depan studionya. Suara pintu rumah dibuka. Lalu langkah kaki mendekat ke studionya. Lalu…tuk tuk tuk…Seseorang itu tiba-tiba saja sudah mengetuk pintu kaca studionya. Ia kaget, meski semua itu dari tadi sudah diamatinya.
Pintu dibukanya. Ini spontan saja menghormati tamu. Deg! Wajah lelaki, tetangga serumahnya itu muncul di depannya. Ya ia lelaki yang selama ini selalu dipikirkannya itu. Lalu…tanpa ba bi bu, kedua tangan lelaki itu tiba-tiba saja sudah memegang lehernya! Ia terpana. Pegangan itu makin lama makin kuat…sampai ia tak bisa bernapas!!! Tapi akhirnya lelaki itu melepaskannya begitu saja. Begitu saja…Lalu ia pergi. Juga hanya begitu saja. Balik kembali ke rumah dia sendiri. Santai meninggalkannya. Sebuah peristiwa yang begitu saja.
5
PAGI cerah. Matahari muncul dengan warna merah jambu. Beda dari warna matahari di negerinya, merah jingga. Ah, ia jadi ingat di negerinya sendiri. Pagi begini adalah waktu untuk menanak nasi untuk suami, dan memasak sesuatu sederhana lainnya untuk pagi. Juga mengganti popok bayi, memandikan, menyusui bayi dan suami yang selalu marah-marah jika ia mendengar bayinya menangis tak henti. Ia sering mendapat tempeleng dan hajaran jika waktunya sedikit berlebih untuk si orok ketimbang melayani hasratnya seksual suaminya yang sering muncul pagi-pagi. Dan…beberapa kali sudah suaminya mencoba mencekiknya juga. Tak terhitung sudah…
6
TIBA-TIBA seseorang sudah ada di depan pintu studionya yang sengaja ia buka sejak tadi supaya hawa segar pagi masuk.
”Permisi. Perkenalkan, nama saya Elsebeth. Nyonya Elsebeth.”
”Oh!”
”Apa kabar? Anda dari mana? Saya tinggal di seberang rumah ini. Saya volunteer yang selalu menemani dan menjadi teman semua tamu-tamu yang datang ke rumah ini. Sudah bertahun-tahun beginilah saya. Ingat ya, Elsebeth nama saya. Kali ini selain Anda, ada tamu bernama a, b, c…mereka masing-masing berasal dari negeri a, b, c…”
Lalu satu-satu, ia menceritakan tentang tamu-tamu di rumah ini. Siapa yang sudah datang, siapa yang akan datang lagi. Juga tentang pemilik rumah ini yang adalah sahabat karibnya. Yang paling menarik, tentu saja bagian ketika nyonya ini menceritakan tentang si lelaki gondrong putih besar tinggi perokok dingin kaku hemat kata itu. Agaknya dia sudah beberapa bulan lalu tinggal di rumah ini.
”Dia seorang pemberontak, orang keras di negerinya. Ia sekaligus sedang mencari suaka di negeri ini. Sebagai pemberontak ia hero. Namun secara pribadi ia orang aneh. Dan untuk urusan pribadinya, ia sangat tertutup pada orang-orang di negerinya.”
”Oh!”
”Namun, ssstt, ia bisa terbuka dengan saya. Ia seperti bayi, Oh my baby,” kata ibu ini mengawang, suara berubah pelan seperti berbisik.
”Tanpa diketahui banyak orang, ia pernah menginap di penjara beberapa hari. Namun bukan karena tulisannya tapi karena ia disangka membunuh istrinya. Tapi peristiwa itu kontroversial. Tak ada bukti-bukti yang memberatkan. Ia bebas.”
”Istrinya baru saja melahirkan bayi ketika ia meninggal.”
”Bayinya masih beberapa bulan usianya.”
”Oh!”
”Istrinya depresi tak mampu layani hasrat seks-nya saban pagi yang seperti harimau.”
”Beberapa kali tanpa sadar ia mencekik istrinya sendiri.”
”Oh!”
”Istrinya mati mendadak.”
”Ia sedang menyusui bayinya.”
”Sementara itu, ia terus menulis dan membuat kritik tajam…”
”Istrinya adalah temannya semasa masih mahasiswa dulu. Dialah yang menyelamatkan jiwanya dalam pembantaian masal dulu itu.”
”Oh!”
”Istrinya yang waktu itu masih jadi pacarnya menyeret tubuhnya dan menyembunyikannya dari kejaran polisi.”
”Oh!”
”Ia lari dari peristiwa pribadinya yang berat itu dan kebetulan mendapat stipendium di rumah ini dan ia boleh tinggal di sini selama beberapa bulan dan mendapat beaya hidup juga.”
”Oh!”
”Selama di sini ia berubah khusyuk. Setiap pagi ia selalu pergi ke ‘rumah kesunyian’, tempat ibadah bagi sembarang agama. Pindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah kesunyian yang lain-lain yang ada di beberapa kota di dekat sini.”
”Saya pernah bertemu dengannya di satu rumah kesunyian. Di dalam, ia ternyata hanya diam saja. Hanya duduk di kursi. Katanya, ia tak perlu apa-apa atau bagaimana-bagaimana. Katanya, otaknya sudah berkomunikasi langsung dengan Yang Kuasa. Makanya ia membuat topi dengan ujung atas terbuka…”
”Itulah…”
”Itulah…”
”Oh!”
7
SETELAH si tamu pulang, tiba-tiba seperti ada rangkaian baru dalam otak. Kini ia berada di antara ruang bayang dan ruang nyata. Termasuk pada peristiwa malam kemarin perihal lehernya itu. Ia tak yakin apakah itu nyata atau sesungguhnya tak nyata…tak nyata antara dirinya sendiri dengan mantan suaminya yang ia tinggalkan jauh di negerinya sana. Sekeping sejarah pahit. Sedang lelaki yang tinggal di depan studionya itu, bukankah ia bukan siapa-siapa? Semestinya ia baik-baik saja dengannya. Kini perutnya tak lagi berasa mau muntah. Perasaan ingin mencabik-cabik itu lenyap dan padam begitu saja. Si macan, yang baru tumbuh di tubuh, itu telah tak ada. Namun, sejak itu ia lantas juga jadi rajin pergi ke rumah-rumah kesunyian di kota kota lain di benua itu. Tapi bukan, bukan lelaki itu yang dicarinya, namun teror, teror di tubuhnya sendiri. Ia terus mencari…
rumah theodor, 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar