Jumat, 13 Januari 2012

N Y E K A R

Akhiriyati Sundari
http://sastra-indonesia.com/

Ibu ingin nyekar. Keinginan itu disampaikannya berulang-ulang. Ibu ingin seperti umumnya warga di kampung kami. Bersiap jelang bulan suci Ramadhan dengan nyekar. Tradisi yang biasanya dirangkai dengan besik atau bersih-bersih makam itu diakhiri dengan berdoa, mendoakan arwah yang dikubur. Berikut moyang-moyang terdahulu. Ibu juga ingin kembali nyekar, lusa, usai sembahyang Ied di masjid kampung. Kebetulan, sarean atau pemakaman umum utama kampung kami terletak persis di samping masjid.

Biasanya, tepat sepekan sebelum Ramadhan, kampung kami mengadakan tradisi yang dilakukan secara massal, di samping nyekar. Dengan mengambil tempat di tanah lapang sekitar pemakaman, ritual Nyadran atau kenduri bersama, diadakan. Setiap warga diwajibkan membawa nasi berkat. Seusai ritual doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama, nasi berkat tersebut kemudian saling ditukar dengan warga lain dan dibawa pulang. Tradisi itu seluruhnya dilakukan oleh laki-laki. Keluarga kami tak pernah sekalipun mengikutinya. Ibu beserta kami, ketiga anaknya, semuanya perempuan, karenanya kami tidak terkena kewajiban sosial itu.

Tetapi, rasa-rasanya bukan itu alasan utama sehingga kami sebagai bagian warga kampung tak dilibatkan. Hanya warga yang memiliki sanak yang dikuburkan di pemakaman itu yang bisa mengikuti tradisi nyekar maupun Nyadran. Sedang almarhum ayah kami tidak dimakamkan di situ. Warga kampung menolak, tidak membolehkan ayah dikubur di pemakaman umum milik kampung. Bertahun-tahun kami hanya bisa menyimpan gundukan perasaan tajam sebagai warga yang dikucilkan. Setajam ingatan yang menancap di ubun-ubunku. Pada masa lalu.

Naluri masa kanak yang lekat oleh pendengaran tidak sengaja pada suatu hari, membawaku bergetar tiap kali ruang ingatanku membuka. Terlebih ketika tradisi mengunjungi makam sebelum Ramadhan dilakukan orang-orang penuh suka cita, namun tidak dengan keluarga kami.

***

Hari masih pagi ketika seorang tamu yang rupanya dikenal ibu datang membawa kabar. Bibir ibu bergetar. Aku yang masih kecil ketika itu, mengintip dan mencuri dengar percakapan. Dari korden pintu tengah yang menghubungkan dengan ruang tamu, aku melihat ibu berbincang dengan tamu itu. Sesekali ibu tampak terhenyak. Menghela napas berat. Kakiku terasa diseret dan masuk ke dongeng gelap.

”Lokasinya sudah diketemukan. Seseorang yang mengaku sebagai pelaku itulah yang menceritakan dan menunjukkan. Tapi, kita jangan salah paham. Seperti Mbakyu ketahui, orang-orang itu tidak tahu-menahu. Mereka hanya disuruh. Mohon, kita coba ikhlas untuk memaafkan. Tak ada faedahnya kita memelihara dendam. Besok teman-teman akan ke sana. Silakan kalau Mbakyu mau ikut”.

Tamu itu bicara dengan suara lirih, pelan, dan penuh kehati-hatian. Seakan yang dihadapi adalah barang yang mudah pecah. Diujung percakapan aku melihat tangis ibu tumpah. Tamu itu merunduk. Sehari kemudian, ibu pergi bersama tamu itu dan menjadi awal hari yang hitam di hidupku. Di keluargaku.

***

Aku tengah menyiram pohon kenanga ketika ibu pulang membawa bungkusan. ”Siapkan bunga kenanga itu, Nis. Juga kembang setaman lain. Kita akan ke makam ayahmu”. Ibu berujar singkat. Aku tidak mengerti. Seumur-umur, ibu tidak pernah mengajak kami, anak-anaknya, ke makam ayah. Kisah yang sering diulang-ulang oleh ibu adalah ayah meninggal karena kecelakaan kapal saat tengah berlayar ke Makassar. Jasadnya tidak pernah ditemukan. Aku masih dalam perut ibu saat itu. Lantas, makam siapa? Ayah yang mana?

Belakangan, baru aku tahu bahwa bungkusan yang dibawa ibu tak lain adalah tulang-belulang yang konon jasad ayah. Bersama orang-orang yang kata ibu juga menjadi korban, entah korban apa, ibu mengambilnya dari sebuah sumur di daerah pegunungan kidul. Orang-orang menyebutnya luweng. Sumur dengan kedalaman yang konon berujung di laut selatan. Seseorang yang datang dari masa lalu telah membongkar semuanya. Rupanya ayahku tidak meninggal karena kecelakaan kapal, tetapi dibunuh orang-orang tak dikenal.

Aku melihat ibu bergegas. Hari telah beranjak gelap. Pak Lik Martoyo datang menenteng cangkul dan peralatan menggali lainnya. Aku semakin tidak paham. Ketika kami semua telah siap hendak meninggalkan rumah, sekelompok orang mendadak mendatangi rumah kami. Wajah mereka tertutup warna senja. Gelap dan menakutkan.

”Tulang-tulang itu tidak boleh kau kubur di pemakaman kampung ini. Kampung ini bisa dikutuk karena pemakaman umum berpenghuni pengkhianat bangsa, pemberontak negara macam suamimu. Kalau kau bersikeras, kami seluruh warga tak segan-segan membongkar galianmu. Kau hanya boleh mengubur tulang-tulang itu di tanah sekitar rumahmu sendiri”. Seorang tetua kampung berteriak lantang di depan rumah kami. Disusul suara sahut-sahutan teriakan orang-orang di belakangnya dengan ancaman yang sama. Aku ketakutan. Naluri kanakku membuatku menangis keras. Mulutku dibekap dan ditenangkan oleh ibu. Ibu diam. Kami semua diam. Orang-orang itu kemudian berlalu setelah ibuku menyatakan sanggup memenuhi keinginan mereka. Setelah senja yang menyakitkan itu, hampir sepekan sekali, ibu dan kedua kakakku pasti mengunjungi gundukan tanah di belakang rumah. Makam ayah. Ya, ibu mengubur tulang-belulang ayah di sana. Tanpa upacara. Tanpa air mata.

***

Masa kanak-kanak merambat kutinggalkan, namun ingatan saat kanak itu tidak mau tanggal. Setiap hari aku menumpuknya menjadi gumpalan dendam. Setiap hari pula ibu dengan sabar meruntuhkan.

Menurut cerita ibu, ayah kami bukan pemberontak seperti yang dituduhkan orang-orang. Ayah hanyalah seorang guru sekolah dasar yang biasa dipanggil Kamerad Guru. Kebetulan ayah memiliki bakat lain selain menjadi seorang guru. Bermain Kethoprak (sandiwara Jawa). Saat ulang tahun sebuah partai politik yang dilangsungkan meriah di Alun-Alun Kota, ayah diundang untuk pentas. Sebuah pementasan yang berujung petaka karena partai politik itu kini terlarang keberadaannya.

Sejak terjadi ontran-ontran di ibukota negara, ayah tidak pernah pulang. Kata ibu, ayah dibawa paksa oleh orang-orang tak dikenal dengan truk. Entah ke mana. Hari-hari selanjutnya status ibu berubah menjadi janda. Anehnya, ibu meminta kami semua untuk berlapang dada. Melupakan air mata. Sekaligus memaafkan ibu yang tak pernah bercerita sebelumnya.

Ucapan-ucapan bijak ibu yang setiap hari mencoba meruntuhkan batu di dadaku, tak menuai hasil. Aku merasakan bara yang memenuhi rongga hatiku kian besar dan mampat. Siap meledak dan membakar apa saja. Sejarah keluarga yang tak pernah kutahu sebelumnya serta perlakuan terhadap jasad ayah yang tidak manusiawi, tak pernah bisa aku terima.

***

Kini, keinginan ibu untuk nyekar kembali terngiang. Membuat jantungku berdebar kencang. Bukan kenapa. Kali ini, setelah bertahun-tahun, setelah uban kian menegaskan ibu yang menua, ibu mengagetkan kami. Ibu ingin makam ayah dipindah ke pemakaman umum kampung. Dengan begitu, ibu bisa nyekar lazimnya warga lain. Nyekar secara bersama-sama penuh suka cita menyambut Ramadhan dan lebaran.

Ibu dan kami semua tahu, tahun-tahun telah berlalu seiring berlalunya rezim yang mengutuk keluarga kami. Tetua kampung yang dulu menyalak keras di depan rumah kami pun sudah lama meninggal. Simpati orang-orang terhadap ibu lambat laun datang. Bahkan kian menebal setelah ibu pergi beribadah haji. Sesuatu yang membuatku tak habis mengerti, pada tali mana aku bisa menariknya.

Ibu berhasil menuai simpati orang-orang yang dulu mengucilkan kami. Orang-orang mulai membuka tangan. Mempersilakan ibu melakukan puter kuburan. Sebuah ritual memindah makam ayah dengan upacara sekadarnya. Ibu tidak pernah meminta lebih. Bahkan, rehabilitasi nama ayah sekali pun. Ibu hanya meminta ayah dikubur secara layak di pemakaman umum.

Dan kini, aku semakin berdebar menantikan apa yang akan terjadi. Tapi toh, semua orang tahu. Bertahun-tahun gundukan di belakang rumah kami hanyalah seonggok tulang-belulang yang mungkin sekarang sudah menjadi tanah. Upacara penghormatan puter kuburan hanya semacam syarat yang dilakukan dengan mengambil beberapa genggam tanah gundukan makam ayah untuk di pindahkan. Tidak ada yang musti dirisaukan. Tapi sesuatu tengah aku risaukan.

Kuikuti rangkaian proses penggalian gundukan di belakang rumah dengan khidmat. Tepat dugaanku, tak satu pun tulang ditemukan. Tapi tak seorang pun menaruh curiga, sekaligus tak satu pun yang tahu jika aku mulai dirambati resah. Mereka berkesimpulan tulang itu telah menjadi tanah. Ibu mengangguk pasrah ketika Pak Kaum yang memimpin acara itu meminta persetujuan. Mengambil beberapa genggam tanah. Dibawa dan dikuburkan di pemakaman umum kampung kami.

Tak sampai memakan waktu lama, kami telah berada di pemakaman kampung. Pak Kaum meminta kami duduk menghadap gundukan tanah baru. Makam ayah. Detik selanjutnya Pak Kaum memimpin doa. Kulihat wajah khusuk ibu. Juga kedua kakakku. Tak ada gelisah. Tak ada air mata. Tapi jauh di dalam hatiku bergetar luar biasa. Hendak menjelma air mata.

Diam-diam rasa bersalah menyelinap hebat di dadaku. Menjalar serupa akar. Mencengkeram kuat di ulu hati. Aku merasa bersalah kepada ibu, juga keluargaku. Dihantam oleh rasa sakit hati yang tak bisa kuredam dan rasa putus asa yang menekan, aku telah bertindak sendiri. Beberapa bulan lalu, tanpa sepengetahuan siapa pun, aku telah mengambil tulang-tulang ayah dari gundukan belakang rumah. Dengan caraku sendiri aku memindahkannya. Mengubur tulang-belulang itu di titik paling sudut pemakaman ini. Di bawah rimbun pohon bambu dan kamboja tua. Sejenak aku melirik ke sana. Kemudian beralih ke Maejan yang menancap di kedua ujung gundukan baru, tepat di depan mataku. Kubaca nama ayah. Mataku terasa panas …

Kulonprogo, 14 September 2008

Nyekar : ritual ziarah kubur yang disimbolkan dengan tabur bunga
Nasi berkat : nasi kenduri
Ontran-ontran : kekacauan
Maejan : kayu pusara, biasanya bertuliskan nama jenasah

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae