Marhalim Zaini *
http://www.riaupos.co/
Saya menulis esai ini dengan segenap rasa bahagia, karena orasi saya dalam helat Anugerah Sagang 2011 berjudul “Akulah Melayu yang Berlari, (Percakapan-percakapan yang Tak Selesai Tentang Ideologi dan Identitas Kultural),” yang dimuat di Riau Pos, 13 November 2011, direspon dengan amat referensial dan konstruktif oleh sahabat karib saya Syaukani Al Karim. Bertambah kebahagiaan saya itu, ketika Alvi Puspita turut serta menyambut orasi saya dan esai Syaukani tersebut, dengan esai berjudul “Apa yang Sebenar, Apa yang Mesti?” (Riau Pos, 25 Desember 2011).
Saya kira, beginilah eloknya cara kita mempercakapkan perkembangan diskursus kebudayaan kita hari ini, yang dengan begitu akan memperluas cakrawala dan memperpanjang karnaval pemikiran kita ke depan yang lebih cerdas dan menyegarkan, tak sekedar menceracau dengan emosional, dan mengganggap “kebenaran” itu tunggal sehingga menutup ruang diskusi. Tak sekedar mencibir, menyalah-nyalahkan ‘kerja kreatif’ orang lain, dan lalu membenar-benarkan ‘kerja kreatif’ sendiri.
Esai Syaukani berjudul “Ihwal Melayu dan Jalan Kemelayuan” (Riau Pos, 20 November 2011) itu, bagi saya, di satu sisi sesungguhnya justru memperkuat percikan gagasan saya dalam orasi itu. Kenapa percikan? Karena orasi itu memang ditulis untuk durasi yang sedemikian terbatas (5-7 menit), sehingga agak mustahil mengembangkannya dalam ulasan yang panjang-lebar. Akan tetapi, oleh Syaukani, orasi itu menjadi meluas (setidaknya memperdalam tinjauan historisnya). Maka, apa yang saya premiskan sejak awal dalam sub-judul orasi itu yang berbunyi, “Percakapan-percakapan yang Tak Pernah Selesai Tentang Ideologi dan Identitas Kultural” menjadi niscaya, seolah menemukan artikulasi dan ruang “kebenarannya”.
Kebenaran tentang premis itu tampak misalnya pada dua dan tiga paragraf awal esai Syaukani, yang jelas ia bersepakat dengan menulis begini, “meski dunia bergerak maju secara bergemuruh, persoalan kaum dan bani, persoalan “kami” dan “kalian”, tak pernah selesai dipercakapkan, bahkan ada kecenderungan mengental, dengan segala klaim kesombongan yang dilekatkan.” Pada baris-baris kalimat berikutnya, Syaukani bahkan menunjukkan berbagai fakta historis dan empiris (di Amerika, Israel, Afrika, Timur Tengah dan Jerman) yang terkait dengan bagaimana sesungguhnya ‘identitas kultural” itu memang tak pernah selesai—tidak hanya dipercakapkan, ditingkat wacana—akan tetapi juga tidak (pernah) selesai pada konteks pergerakannya. Maka, tentu sampai di sini, esai Syaukani adalah semacam pembenaran/penguat gagasan dalam orasi saya itu.
Namun, begitu masuk pada paragraf berikutnya, ketika Syaukani hendak mulai membahas tentang Melayu, dan menulis pernyataan berbunyi, “Saya berpendapat, bahwa sebenarnya persoalan identitas dan etnisitas, bagi Melayu di Riau, sudah lama selesai (cetak miring oleh penulis),” maka saya kira dari sinilah sisi paradoksnya mulai tampak. Sebab, bukankah dengan pernyataan itu, justru Syaukani membantah sendiri berbagai realitas yang ia sebut dalam paragraf sebelumnya?
Lalu, pertanyaan logis yang kemudian muncul adalh, faktor apakah yang membuat Melayu, sebagai sebuah entitas budaya bernama etnis/kaum/puak/suku/ras/bani, menjadi berbeda dengan contoh-contoh yang disebut di berbagai belahan dunia itu, sehingga (Melayu) telah menjadi identitas yang selesai? Bukankah juga, Melayu (hari ini) sedang berada dalam putaran dan sergapan “dunia (yang) bergerak maju secara bergemuruh” itu?
Tapi baiklah. Agaknya, yang dimaksud Syaukani dengan “sudah lama selesai” itu adalah merujuk kepada—sebagaimana yang ia tulis dalam esainya ini—teks-teks lama seperti Sejarah Melayu, misalnya, yang menjelaskan asal-usul keturunan Melayu. Saya tidak boleh menampik apa yang telah termaktub di dalamnya, dan sebagai teks “sejarah” kita semua akui sangat penting sebagai referensi. Meskipun, kita, tidak juga boleh melupakan berbagai teks referensi lain yang bertimbun, yang juga mengurai berbagai versi historis (dari berbagai perspektif) ihwal kemelayuan. Akan tetapi, apakah dengan begitu serta-merta dapat menunjukkan bahwa identitas kultural Melayu (Riau) hari ini, telah selesai? Andai ya, maka bukankah dengan begitu Syaukani seolah sedang mengatakan secara implisit bahwa idenitas Melayu itu telah ‘beku’ alias ‘mati’? Dan pada saat yang sama, maka berhentilah Melayu menjadi entitas kebudayaan, karena ‘perubahan’ sebagai nyawanya, telah sirna.
Kacukan dan Rumah yang Terbuka
Namun, anehnya—dan saya kira ini sisi paradoks yang kedua—pada paragraf berikutnya, Syaukani justru menjelaskan ihwal ‘kacukan’, yang tampak lebih sebagai penegasan (bukan penyanggahan) dari orasi saya. Bahwa pengakuannya tentang ‘kacukan’ (campuran dari berbagai unsur, menurut KBBI) yang tidak hanya merupakan persoalan dalam dunia Melayu tetapi juga puak lain, dan kemudian diperkuat dengan kalimat, “memang tidak ada yang tunggal di bawah matahari ini,” serta disambung dengan kalimat berikutnya, “Pun, sebuah komunitas, kaum, dan bani, selalu tumbuh dan menjadi, setelah melewati “perbincangan dan perembukan” biologis dan bersilang…”, merupakan penandasan bahwa Melayu itu adalah identitas yang “tumbuh”, yang bergerak, yang berubah, yang aktif, yang dinamis. Artinya, di sini, Syaukani sedang membantah kembali pernyataan “sudah lama selesai” itu.
Maka, sebenarnya tidak ada yang berseberanganlah saya dengan Syaukani dalam memaknai istilah ‘kacukan’, hanya saja konteksnya berbeda. Kacukan yang saya pakai dalam orasi saya itu, lebih hendak menjelaskan tentang (saya kutip lagi pernyataan saya itu), “bagaimana metode-metode yang dipakai oleh para pemimpin kerajaan Siak pada masa akhir abad ke-17 dan abad ke-18 dapat menyatukan komunitas-komunitas multi-etnik, yang kemudian berujung pada puncak kemakmuran.” Dan yang menariknya lagi, soal sifat ‘kacuk’ pada masyarakat Sumatera Timur di masa itu, justru membawa mereka semua (termasuk yang bukan Melayu) mengidentifikasikan diri mereka sebagai “Melayu.”
Jadi, tidak ada satu pernyataan pun dari orasi saya itu yang menyebut bahwa Melayu itu tertutup. Malah, kemudian saya menegaskan bahwa (saya kutip lagi orasi saya itu), “Ini artinya, secara lebih luas, kata “Melayu” harus dimaknai sebagai sebuah rumah yang terbuka. Terbuka, tidak berarti ia tidak berdaun pintu, yang sewaktu-waktu ia bisa ditutup saat dingin angin dari luar begitu menggigit, dan kembali dibuka saat matahari pagi merayap masuk.” Apakah dengan begitu, saya sedang menyangsikan “keterbukaan” Melayu sebagai sebuah entitas kebudayaan? Sampai-sampai kemudian Syaukani pun seolah ingin lebih menegaskannya dengan mengutip seloroh kawannya, “bahwa rumah Melayu itu bahkan tak berdinding, hanya berlantai, bertiang dan beratap.”
Bagi saya, apapun metafor yang dipakai untuk menunjukkan bahwa Melayu itu terbuka, adalah sah. Hanya saja, andai rumah Melayu itu tak berdinding, dan dengan begitu berarti tak berjendela dan tak berpintu, maka agaknya akan gampang “masuk angin”-lah para penghuninya. Belum lagi kalau kita rujuk pula konsepsi “Rumah Melayu” baik secara fisik maupun filosofis. Tak boleh kita nafikan peran dinding rumah yang terbuat dari berbagai bahan seperti daun enau, daun rumbia, daun nipah yang disusun bersirat dan berkajang, buluh, kulit kayu, papan, dan sebagainya. Pintu di rumah Melayu itu justru biasanya tak cuma satu, bahkan dalam rumah pun ada pintu-pintu. Jendela, atau juga disebut tingkap, juga sangat banyak. Belum lagi kita tengok bagaimana susunan ruang dalam rumah, yang terbagi-bagi berikut dengan simbol dan maknanya, yang juga menunjukkan betapa kebudayaan Melayu tak terdedah begitu saja tanpa penyaring.
Artinya, melalui metafor itu saya hendak mengatakan bahwa penting bagi Melayu (hari ini) untuk tahu kapan ia harus menutup dan membuka pintu dan jendela rumahnya. Sebab musim dan cuaca ‘globalisasi/kapitalisme’ yang kerap ekstrim, menyerbu dan menyergap secara tiba-tiba yang cenderung sulit untuk ditolak kehadirannya, membuat sebuah rumah harus memiliki daun pintu dan jendela. Dan inilah saya kira apa yang disebut sebagai “sikap budaya.” Seturut Yasraf (2004) misalnya, terkait sikap budaya ini, membuat pilihan seperti ini; (1) menolaknya secara radikal; (2) atau menerimanya secara total tanpa reserve; (3) atau, sikap moderat yang kritis. Dan, bukankah mestinya kita memilih sikap budaya yang ke tiga?
Belum lagi, menyinggung kedudukan bahasa Melayu, sebagai yang paling konkret menunjukkan ihwal keterbukaan itu. Tak perlulah lagi kiranya saya sebutkan berbagai referensi sejarah dan ulasan yang memperkuat itu, sebab saya kira kita semua (bangsa Indonesia) tahu, betapa potensi keterbukaan yang dimiliki oleh bahasa Melayu itu tak bisa disangsikan lagi. Dan pada tingkat tertentu, agaknya kita semua bersepakat dengan Nikolaos van Dam, yang menyebut di majalah Tempo, bahwa bahasa Melayu adalah mukjizat karena dalam waktu satu abad telah berhasil menjadi bahasa resmi (bahasa pemersatu) di seluruh Indonesia. (Bersambung)
*) Marhalim Zaini, adalah Seniman Pilihan Sagang 2011. Sedang menyelesaikan S-2 di Program Pascasarjana Jurusan Antropologi UGM. /1 Januari 2012
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar