Jumat, 13 Januari 2012

Identitas Kultural (Melayu) Itu, Tak Akan Pernah Selesai… (1)

Marhalim Zaini *
http://www.riaupos.co/

Saya menulis esai ini dengan segenap rasa bahagia, karena orasi saya dalam helat Anugerah Sagang 2011 berjudul “Akulah Melayu yang Berlari, (Percakapan-percakapan yang Tak Selesai Tentang Ideologi dan Identitas Kultural),” yang dimuat di Riau Pos, 13 November 2011, direspon dengan amat referensial dan konstruktif oleh sahabat karib saya Syaukani Al Karim. Bertambah kebahagiaan saya itu, ketika Alvi Puspita turut serta menyambut orasi saya dan esai Syaukani tersebut, dengan esai berjudul “Apa yang Sebenar, Apa yang Mesti?” (Riau Pos, 25 Desember 2011).

Saya kira, beginilah eloknya cara kita mempercakapkan perkembangan diskursus kebudayaan kita hari ini, yang dengan begitu akan memperluas cakrawala dan memperpanjang karnaval pemikiran kita ke depan yang lebih cerdas dan menyegarkan, tak sekedar menceracau dengan emosional, dan mengganggap “kebenaran” itu tunggal sehingga menutup ruang diskusi. Tak sekedar mencibir, menyalah-nyalahkan ‘kerja kreatif’ orang lain, dan lalu membenar-benarkan ‘kerja kreatif’ sendiri.

Esai Syaukani berjudul “Ihwal Melayu dan Jalan Kemelayuan” (Riau Pos, 20 November 2011) itu, bagi saya, di satu sisi sesungguhnya justru memperkuat percikan gagasan saya dalam orasi itu. Kenapa percikan? Karena orasi itu memang ditulis untuk durasi yang sedemikian terbatas (5-7 menit), sehingga agak mustahil mengembangkannya dalam ulasan yang panjang-lebar. Akan tetapi, oleh Syaukani, orasi itu menjadi meluas (setidaknya memperdalam tinjauan historisnya). Maka, apa yang saya premiskan sejak awal dalam sub-judul orasi itu yang berbunyi, “Percakapan-percakapan yang Tak Pernah Selesai Tentang Ideologi dan Identitas Kultural” menjadi niscaya, seolah menemukan artikulasi dan ruang “kebenarannya”.

Kebenaran tentang premis itu tampak misalnya pada dua dan tiga paragraf awal esai Syaukani, yang jelas ia bersepakat dengan menulis begini, “meski dunia bergerak maju secara bergemuruh, persoalan kaum dan bani, persoalan “kami” dan “kalian”, tak pernah selesai dipercakapkan, bahkan ada kecenderungan mengental, dengan segala klaim kesombongan yang dilekatkan.” Pada baris-baris kalimat berikutnya, Syaukani bahkan menunjukkan berbagai fakta historis dan empiris (di Amerika, Israel, Afrika, Timur Tengah dan Jerman) yang terkait dengan bagaimana sesungguhnya ‘identitas kultural” itu memang tak pernah selesai—tidak hanya dipercakapkan, ditingkat wacana—akan tetapi juga tidak (pernah) selesai pada konteks pergerakannya. Maka, tentu sampai di sini, esai Syaukani adalah semacam pembenaran/penguat gagasan dalam orasi saya itu.

Namun, begitu masuk pada paragraf berikutnya, ketika Syaukani hendak mulai membahas tentang Melayu, dan menulis pernyataan berbunyi, “Saya berpendapat, bahwa sebenarnya persoalan identitas dan etnisitas, bagi Melayu di Riau, sudah lama selesai (cetak miring oleh penulis),” maka saya kira dari sinilah sisi paradoksnya mulai tampak. Sebab, bukankah dengan pernyataan itu, justru Syaukani membantah sendiri berbagai realitas yang ia sebut dalam paragraf sebelumnya?

Lalu, pertanyaan logis yang kemudian muncul adalh, faktor apakah yang membuat Melayu, sebagai sebuah entitas budaya bernama etnis/kaum/puak/suku/ras/bani, menjadi berbeda dengan contoh-contoh yang disebut di berbagai belahan dunia itu, sehingga (Melayu) telah menjadi identitas yang selesai? Bukankah juga, Melayu (hari ini) sedang berada dalam putaran dan sergapan “dunia (yang) bergerak maju secara bergemuruh” itu?

Tapi baiklah. Agaknya, yang dimaksud Syaukani dengan “sudah lama selesai” itu adalah merujuk kepada—sebagaimana yang ia tulis dalam esainya ini—teks-teks lama seperti Sejarah Melayu, misalnya, yang menjelaskan asal-usul keturunan Melayu. Saya tidak boleh menampik apa yang telah termaktub di dalamnya, dan sebagai teks “sejarah” kita semua akui sangat penting sebagai referensi. Meskipun, kita, tidak juga boleh melupakan berbagai teks referensi lain yang bertimbun, yang juga mengurai berbagai versi historis (dari berbagai perspektif) ihwal kemelayuan. Akan tetapi, apakah dengan begitu serta-merta dapat menunjukkan bahwa identitas kultural Melayu (Riau) hari ini, telah selesai? Andai ya, maka bukankah dengan begitu Syaukani seolah sedang mengatakan secara implisit bahwa idenitas Melayu itu telah ‘beku’ alias ‘mati’? Dan pada saat yang sama, maka berhentilah Melayu menjadi entitas kebudayaan, karena ‘perubahan’ sebagai nyawanya, telah sirna.

Kacukan dan Rumah yang Terbuka

Namun, anehnya—dan saya kira ini sisi paradoks yang kedua—pada paragraf berikutnya, Syaukani justru menjelaskan ihwal ‘kacukan’, yang tampak lebih sebagai penegasan (bukan penyanggahan) dari orasi saya. Bahwa pengakuannya tentang ‘kacukan’ (campuran dari berbagai unsur, menurut KBBI) yang tidak hanya merupakan persoalan dalam dunia Melayu tetapi juga puak lain, dan kemudian diperkuat dengan kalimat, “memang tidak ada yang tunggal di bawah matahari ini,” serta disambung dengan kalimat berikutnya, “Pun, sebuah komunitas, kaum, dan bani, selalu tumbuh dan menjadi, setelah melewati “perbincangan dan perembukan” biologis dan bersilang…”, merupakan penandasan bahwa Melayu itu adalah identitas yang “tumbuh”, yang bergerak, yang berubah, yang aktif, yang dinamis. Artinya, di sini, Syaukani sedang membantah kembali pernyataan “sudah lama selesai” itu.

Maka, sebenarnya tidak ada yang berseberanganlah saya dengan Syaukani dalam memaknai istilah ‘kacukan’, hanya saja konteksnya berbeda. Kacukan yang saya pakai dalam orasi saya itu, lebih hendak menjelaskan tentang (saya kutip lagi pernyataan saya itu), “bagaimana metode-metode yang dipakai oleh para pemimpin kerajaan Siak pada masa akhir abad ke-17 dan abad ke-18 dapat menyatukan komunitas-komunitas multi-etnik, yang kemudian berujung pada puncak kemakmuran.” Dan yang menariknya lagi, soal sifat ‘kacuk’ pada masyarakat Sumatera Timur di masa itu, justru membawa mereka semua (termasuk yang bukan Melayu) mengidentifikasikan diri mereka sebagai “Melayu.”

Jadi, tidak ada satu pernyataan pun dari orasi saya itu yang menyebut bahwa Melayu itu tertutup. Malah, kemudian saya menegaskan bahwa (saya kutip lagi orasi saya itu), “Ini artinya, secara lebih luas, kata “Melayu” harus dimaknai sebagai sebuah rumah yang terbuka. Terbuka, tidak berarti ia tidak berdaun pintu, yang sewaktu-waktu ia bisa ditutup saat dingin angin dari luar begitu menggigit, dan kembali dibuka saat matahari pagi merayap masuk.” Apakah dengan begitu, saya sedang menyangsikan “keterbukaan” Melayu sebagai sebuah entitas kebudayaan? Sampai-sampai kemudian Syaukani pun seolah ingin lebih menegaskannya dengan mengutip seloroh kawannya, “bahwa rumah Melayu itu bahkan tak berdinding, hanya berlantai, bertiang dan beratap.”

Bagi saya, apapun metafor yang dipakai untuk menunjukkan bahwa Melayu itu terbuka, adalah sah. Hanya saja, andai rumah Melayu itu tak berdinding, dan dengan begitu berarti tak berjendela dan tak berpintu, maka agaknya akan gampang “masuk angin”-lah para penghuninya. Belum lagi kalau kita rujuk pula konsepsi “Rumah Melayu” baik secara fisik maupun filosofis. Tak boleh kita nafikan peran dinding rumah yang terbuat dari berbagai bahan seperti daun enau, daun rumbia, daun nipah yang disusun bersirat dan berkajang, buluh, kulit kayu, papan, dan sebagainya. Pintu di rumah Melayu itu justru biasanya tak cuma satu, bahkan dalam rumah pun ada pintu-pintu. Jendela, atau juga disebut tingkap, juga sangat banyak. Belum lagi kita tengok bagaimana susunan ruang dalam rumah, yang terbagi-bagi berikut dengan simbol dan maknanya, yang juga menunjukkan betapa kebudayaan Melayu tak terdedah begitu saja tanpa penyaring.

Artinya, melalui metafor itu saya hendak mengatakan bahwa penting bagi Melayu (hari ini) untuk tahu kapan ia harus menutup dan membuka pintu dan jendela rumahnya. Sebab musim dan cuaca ‘globalisasi/kapitalisme’ yang kerap ekstrim, menyerbu dan menyergap secara tiba-tiba yang cenderung sulit untuk ditolak kehadirannya, membuat sebuah rumah harus memiliki daun pintu dan jendela. Dan inilah saya kira apa yang disebut sebagai “sikap budaya.” Seturut Yasraf (2004) misalnya, terkait sikap budaya ini, membuat pilihan seperti ini; (1) menolaknya secara radikal; (2) atau menerimanya secara total tanpa reserve; (3) atau, sikap moderat yang kritis. Dan, bukankah mestinya kita memilih sikap budaya yang ke tiga?

Belum lagi, menyinggung kedudukan bahasa Melayu, sebagai yang paling konkret menunjukkan ihwal keterbukaan itu. Tak perlulah lagi kiranya saya sebutkan berbagai referensi sejarah dan ulasan yang memperkuat itu, sebab saya kira kita semua (bangsa Indonesia) tahu, betapa potensi keterbukaan yang dimiliki oleh bahasa Melayu itu tak bisa disangsikan lagi. Dan pada tingkat tertentu, agaknya kita semua bersepakat dengan Nikolaos van Dam, yang menyebut di majalah Tempo, bahwa bahasa Melayu adalah mukjizat karena dalam waktu satu abad telah berhasil menjadi bahasa resmi (bahasa pemersatu) di seluruh Indonesia. (Bersambung)

*) Marhalim Zaini, adalah Seniman Pilihan Sagang 2011. Sedang menyelesaikan S-2 di Program Pascasarjana Jurusan Antropologi UGM. /1 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae