Amien Wangsitalaja
http://amien-wangsitalaja.blogspot.com/
Haji Norham akhir-akhir ini merasa, sepertinya makin banyak saja orang melakukan kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek sosial dan atau keagamaan. Dari anak-anak muda sampai orang-orang tua, dari panitia-panitia kecil sampai panitia-panitia besar. Haji Norham merasakan hal ini sepulangnya dari ibadah hajinya setahun lalu. Dan ia merasakannya bukan karena setelah pulang haji itu ia menjadi interes dengan kegiatan atau acara berbau sosial dan atau keagaaman itu. Sama sekali bukan, karena ia hampir tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Ia tak kan punya waktu untuk hal-hal di luar kesibukan kantor yang cukup menguras pikiran dan energi.
Haji Norham merasakannya jika pada malam hari menjelang tidur istrinya melaporkan kondisi keuangan harian keluarga. Di samping untuk kebutuhan subsistensi harian, uang jajan anak, uang arisan, biasanya istrinya juga menyebutkan pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga atau tak direncanakan. Paling sering dari pengeluaran tak terencana ini adalah sumbangan dana untuk acara-acara sosial dan atau keagamaan.
“Siang tadi datang beberapa mahasiswa dari Kerohanian Islam FKIP Bahasa Indonesia. Mereka akan mengadakan bakti sosial dalam rangka merayakan Idul Qurban di sebuah desa transmigran di Kutai Kartanegara Seberang. Mereka butuh dana dan pakaian-pakaian bekas. Ini proposal kegiatan mereka.”
“Berapa kau kasihkan, Ma?”
“Seratus ribu….”
“Seratus ribu?!”
“Juga enam belas helai pakaian bekas kita.”
“Kenapa seratus ribu? Apa kau sudah merasa cukup kaya raya dengan gajiku yang hanya dua setengah juta sebulan itu? Jika setiap orang datang minta sumbangan kau kasih sekian dan perbulan kita menerima lebih dari sepuluh proposal kegiatan, bagaimana kita akan memenuhi kebutuhan keluarga kita sendiri?”
“Saya merasa tidak enak untuk memberi sedikit. Mereka tahu Ayah adalah seorang haji lagi seorang yang memiliki jabatan kepala bagian di sebuah kantor ternama di Samarinda ini.”
“Apakah seorang haji atau seorang yang memiliki jabatan penting di sebuah kantor harus berarti orang yang kaya dan tidak pernah memunyai problem keuangan?”
“Tapi…, mahasiswa-mahasiswa itu bilang bahwa yang memberitahu dan menyuruh mereka untuk datang ke sini adalah Julak Puji, dan kulihat di proposal mereka memang terdapat nama Pujiharto, S.S., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing. Bukankah Julak Puji itu teman Ayah sewaktu jadi mahasiswa di Jawa dulu? Apakah Ayah tak sungkan pada Julak jika kita hanya memberi sedikit apalagi menolak proposal mereka?”
Haji Norham tiba-tiba menjadi sangat terbebani dengan gelar haji yang sedang disandangnya, ketika sebuah gelar selalu berhubungan dengan persoalan gengsi dan citra. Ia sendiri sebetulnya tidak memiliki kebiasaan untuk menuliskan inisial “H” di depan namanya ketika ia menuliskan namanya untuk keperluan apa pun. Tapi, orang lain melakukan demikian terhadapnya. Ini tampak dari, misalnya, undangan rapat kantor atau pertemuan wali murid dari sekolah anaknya. Mereka menulis di kertas undangan itu Kepada Yth. Bpk. H. Norham Wahab, S.S.
Dan orang-orang memang terlanjur mengenalnya sebagai seorang haji. Maka, sepintar apa pun ia menyembunyikan inisial “H” itu orang-orang akan tetap memperlakukannya sebagai seorang haji. Dan yang paling memuakkan dari perlakuan orang-orang itu terhadap seorang haji adalah sikap mereka yang muncul dari citra yang tertanam secara umum bahwa seorang haji pastilah kaya dan suka berderma. Kaya, karena orang tahu bahwa tidak setiap orang mampu untuk melakukan ibadah ini oleh sebab biayanya yang teramat tinggi. Suka berderma, karena seseorang yang terpanggil untuk ibadah haji dianggap pastilah seseorang yang memperhatikan agamanya, sedang berderma adalah sebagian dari moralitas yang direkomendasikan oleh agama.
Karena itu, jika di langgar RT atau masjid RW diadakan acara peringatan Maulid Nabi atau ketika lantai langgar/masjid akan diganti dari ulin menjadi semen dan dari semen menjadi keramik, misalnya, orang-orang akan memosisikan Haji Norham sebagai penyandang dana dengan nominal yang lebih tinggi dari warga umumnya. Itu karena ia seorang haji. Bahkan, perlakuan semacam ini kemudian juga berlaku untuk bukan saja hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan persoalan keagamaan. Untuk kegiatan-kegiatan kerja bakti RT, pembikinan gapura gang, acara agustusan, dan sebagainya, orang-orang pastilah membawa proposalnya pertama kali ke rumah Haji Norham.
Biasanya yang menemui mereka adalah istrinya karena ia sendiri berada di kantor siang hari. Dan istrinya, sebagai seorang perempuan, pastilah sensitif dalam persoalan gengsi dan citra diri. Istrinya pasti tidak akan menolak proposal apa pun dan jika memberi pastilah dalam angka yang dianggapnya pantas sebagai sumbangan dana dari keluarga seorang haji.
Sering Haji Norham berpikir mungkin lebih baik ia mengumumkan kepada orang-orang itu bahwa dirinya tidaklah kaya-kaya amat. Ia sendiri merasa bahwa dirinya bahkan belum termasuk jajaran orang yang agak kaya pun. Ia memunyai rumah, tapi itu dibelinya dengan bantuan mertua dan orang tuanya di Jawa. Meski ia memang mampu mempercantik rumah itu, ia tidak merasa yakin mampu membeli rumah itu sendiri. Ia pun memakai mobil, tapi bukankah itu mobil kantor?
Kemudian soal haji? Ia memang tidak sempat berterus terang kepada orang-orang, entah karena gengsi atau apa, bahwa ia tidak berhaji atas biaya sendiri. Secara kebetulan dan di luar kebiasaan, Kepala Kantor tempatnya bekerja memiliki inisiatif untuk mengadakan pemilihan pegawai teladan. Ia pun terpilih karena etosnya dalam bekerja memang tidak diragukan. Dan bukan main hadiahnya: dihajikan oleh kantor. Begitulah, tahun lalu ia naik haji.
Haji Norham merasa bahwa orang-orang itu tidak mau tahu bahwa ia bisa naik haji bukan karena ia kaya. Sebagai orang yang tidaklah kaya, ia bahkan tidak pernah sempat memiliki pikiran untuk suatu saat bisa naik haji karena ia merasa jalan ke sana teramat jauh jika melihat kondisi keuangannya. Ia cukup rasional dalam sikapnya. Memang, konon ada beberapa cerita yang kurang rasional mengenai hasrat berhaji. Inti cerita itu rata-rata mengungkapkan perihal orang-orang yang secara nalar tidak mungkin bisa naik haji, tapi oleh kuatnya doa dan hasrat orang tersebut akhirnya bisa melaksanakan haji dengan jalan yang tak terduga.
Misalnya, konon ada seorang pembantu yang bekerja pada seorang juragan dari sebuah kerajinan perak di Kotagede Yogyakarta, sebuah kota di Jawa tempat Haji Norham dahulu menyelesaikan kuliah S1-nya. Kisah tentang pembantu itu sendiri didapat Haji Norham dari seorang sastrawan Yogyakarta yang teramat relijius bernama Mustofa W Hasyim, teman Haji Norham juga.
Seorang pembantu janganlah dibayangkan memiliki cukup uang, bahkan untuk kebutuhan harian pun. Karena itu, janganlah dinalarkan suatu saat ia bisa naik haji. Tapi, si pembantu itu memiliki doa dan hasrat yang hebat untuk ke sana. Tiap kali ia disuruh membeli rokok oleh juragannya, ia selalu memungut sebutir kerikil dari jalan yang dilaluinya dari antara rumah majikannya dengan warung rokok. Malam harinya kerikil itu dibawanya pulang dan dikumpulkannya di dalam sebuah karung beras. Anak lelakinya yang sempat mengenyam SMA meski tidak tamat terheran-heran dengan kebiasaan bapaknya mengumpulkan kerikil tersebut.
“Untuk apa sih, Pak, kerikil-kerikil itu?”
“Ini bapakmu kumpulkan setiap kali bapakmu bekerja mengabdi pada majikan yang memberi kita makan. Kerikil-kerikil ini menjadi saksi atas ibadah dan mu’amalah bapakmu ini. Kelak, kerikil-kerikil ini akan menjelma menjadi batangan-batangan emas yang akan bapakmu gunakan untuk membiayai haji.”
“Ha ha ha….”
“Kenapa? Kamu tidak memercayainya?”
“Aduuh, Bapak, Bapak…. Bapak sedang mimpi atau mengejek Tuhan, Pak?
Bagaimana kerikil berubah menjadi emas?”
“Kamu pasti tidak akan memercayainya. Tapi, jangan ejek bapakmu karena itu berarti mengejek Tuhanmu.”
Akhirnya, setelah sekian lama menjadi pembantu, karung beras tersebut penuhlah oleh kerikil. Entah berapa ratus ribu biji kerikil yang berarti berapa ratus ribu kali pula si pembantu itu berjalan dari rumah majikan ke warung rokok demi memenuhi tugasnya dan demi beribadah mencari nafkah dan berapa ratus ribu butir keringat pula menetes dari tubuhnya.
Namun, kerikil-kerikil itu tak kunjung jua menjelma menjadi kepingan-kepingan emas. Malam itu anak lelaki satu-satunya kembali sinis kepadanya,
“Gimana, Pak? Kapan Bapak akan menjual emas-emas Bapak untuk membayar ONH?”
Si pembantu itu tampak termenung seolah putus asa dengan kehidupannya. Ia merasa sedang bercanda dengan nasib. Bagaimana mungkin seorang pembantu berharap bisa naik haji? Tidakkah ia berkaca diri? Tidak sadarkah bahwa dirinya hanyalah seorang pembantu?
Esok paginya si pembantu itu mencoba melupakan kepiluan hatinya atas ejekan dari anak lelakinya semalam. Ia kembali menyiapkan diri untuk bekerja, berangkat ke rumah majikannya.
Hari itu, seperti biasanya majikan menyuruhnya membeli rokok. Ia pun berangkat ke warung rokok seperti biasanya melalui jalan seperti biasanya. Namun, tidak seperti biasanya ia lupa memungut sebuah kerikil untuk dibawa pulang malam harinya dan disimpan untuk siapa tahu nantinya menjelma menjadi batangan emas.
Sesampai di rumah majikannya ia segera menyerahkan rokok kepada majikannya.
“Pak Toto, duduklah dulu.”
Toto Sugih, itulah namanya, dan ia berusia lebih tua dari majikannya sehingga majikan yang berusia lebih muda darinya itu selalu memanggilnya dengan “pak” di depan namanya.
“Ya, Tuan.”
“Pak Toto tahu mengenai kondisi kesehatan Nyonya, bukan?”
“Ya, Tuan. Ada apa gerangan?”
“Begini, kami sudah lama berencana untuk bersama-sama naik haji. Setelah bertahun-tahun menyisihkan laba, kami merasa tahun ini keuangan kami telah mencukupi untuk membiayai keberangkatan kami berdua. Tapi, sebagaimana Pak Toto ketahui, diabetes Nyonya semakin parah saja dan tidak memungkinkannya untuk pergi haji. Kami semalam mengobrol dan Nyonya memutuskan merelakan diri untuk tidak berangkat haji. Bukan hanya itu, sebagai rasa terima kasih dan penghormatan kami atas kesetiaan Pak Toto bekerja di rumah kami, Nyonya telah memutuskan untuk menshadaqahkan uang hajinya kepada Pak Toto. Karena itu, Pak Toto bersiaplah tahun ini naik haji bersama saya.”
“Ya, Allah! Ma syaallah! Subhanallah!”
Tak kuasa pembantu itu menahan tangis. Ia tidak percaya dengan datangnya rizqi yang tiada pernah diduganya dan ia menyesal telah sempat berputus asa terhadap rahmat Tuhan.
Kemudian, tahun itu pula naik hajilah si pembantu itu, tentu saja tidak dengan menjual kerikil-kerikil yang terkumpul di karung beras yang memang tidak akan pernah menjelma menjadi batangan emas itu.
Jika mengingat cerita semacam itu terkadang Haji Norham merasakan kemiripannya dengan apa yang dialaminya. Tapi, ia selalu menganggap kepergian hajinya bukanlah sebuah keajaiban. Hal yang rasional baginya jika kantor tempatnya bekerja menghajikannya karena pertimbangannya juga rasional, karena ia memang cukup memiliki dedikasi dan etos kerja yang tinggi.
Tapi, ia pun juga sangat berbahagia dengan kesempatan berhaji itu. Hanya, efek samping dari konsekuensi gelar hajinya itulah yang kini merisaukannya. Perlakuan orang-orang itulah yang membuatnya risih meski istrinya selalu mencoba menetralkan perasaannya.
“Sudahlah, Yah. Bukankah bershadaqah itu besar pahalanya? Insyaallah Tuhan akan membalas dengan rizqi yang lebih besar.”
Selalu saja istrinya berbicara mengenai pahala. Bukan berarti Haji Norham tidak percaya adanya pahala, tapi ia tidak ingin bersikap munafik bahwa selama ini mereka bershadaqah tidak seratus persen oleh keikhlasan. Mereka bershadaqah oleh adanya sedikit keterpaksaan dan keharusan. Orang-orang yang datang membawa proposal dan list donatur terkadang mirip para perampok baginya yang tidak memberi kesempatan lain selain bahwa ia harus memberi sejumlah uang pantas kepada mereka.
Tiba-tiba Haji Norham menjadi tidak nyaman dengan malam-malamnya karena malam-malam itu harus dilaluinya dengan mendengarkan laporan pengeluaran keuangan harian dari istrinya dan teramat sering di laporan itu disebutkan perihal shadaqah untuk proposal kegiatan atau pembangunan sarana dan prasarana kegiatan sosial dan atau keagamaan.
Uang, itulah pangkal persoalannya. Orang butuh uang untuk sebuah kegiatan yang meriah. Orang butuh uang untuk pembangunan sarana dan prasarana kegiatan yang megah. Orang malu masjid atau langgarnya tidak berkeramik, orang malu gapura gang RT tidak cantik. Orang mengejar penampakan dan bukan substansi. Jika memperingati Maulid Nabi, bukan bagaimana bisa mengambil ibrah dari kehidupan Nabi yang ditekankan, tapi semata meriahnya acara.
Orang tidak lebih memikirkan bagaimana memakmurkan masjid, memfungsikan masjid secara esensial sebagai sarana ibadah dan dakwah; tapi orang lebih memikirkan bagaimana merias masjid dan memewahkan struktur bangunan fisiknya. Masjid harus megah, bertingkat, bahkan jika perlu terbesar dengan tiang pancang menara terdalam se-ASEAN.
Haji Norham menjadi teringat masa kecilnya di sebuah dusun kecil di pinggiran Kabupaten Pacitan, sebuah kabupaten bertanah tandus di Jawa. Masjid dusunnya sederhana tapi mengabarkan adanya ruh di sana. Jika datang hari-hari peringatan keagamaan, orang cukup berkumpul, berdoa, dan saling nasihat-menasihati.
Haji Norham memang bukan penduduk asli di RT tempatnya tinggal sekeluarga sekarang ini. Sekitar limabelas tahun lalu, setelah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta, Haji Norham tidak pulang ke dusun tempat kelahirannya, Pacitan yang gersang, tapi lebih memilih—bersama beberapa temannya—mengadu nasib merantau ke Samarinda. Nasib baik menyertainya, ia diterima menjadi PNS di instansi penting di kota tersebut. Nasib yang lebih baik lagi, lima tahun kemudian ia menemukan tambatan hatinya dan menikah dengan seorang gadis asli Samarinda sehingga kian mantaplah Haji Norham menjadi urang Samarinda.
Haji Norham tiba-tiba merindukan masjid dusun asalnya sebelum merantau itu. Ia merindukan keberagamaan yang sederhana, yang tidak harus menjajakan proposal penggalangan dana. Mungkin tidak ada salahnya jika ia mengambil cuti barang seminggu untuk pulang ke Jawa di lebaran Haji tahun ini. Barangkali lebih lima tahun ia lupa pulang ke desanya di Jawa. Ia ingin mengenang masjid dusunnya.
Jadilah ia sendirian pulang ke Jawa. Anak-anak tidak bisa ikut karena sekolah tidak libur panjang selain juga biaya tiket pesawat sangat mahal sedangkan kalau memakai kapal laut akan sangat memakan waktu perjalanan. Istrinya pun juga tak ikut karena harus menemani anak-anak.
Haji Norham melakukan shalat Ied di masjid dusunnya di Jawa. Masjid itu mulai menampakkan perubahan. Wajarlah kiranya, rentang waktu lebih dari lima tahun menjadikan masjid dusunnya mulai diperbaiki dan diperluas. Rupanya demam pembangunan sudah menjangkau ke desa-desa dan pelosok-pelosok dusun.
Pada hari ketiga kepulangannya, Kadus (Kepala Dusun) dan Ketua RT bersilaturahim ke rumah bapaknya. Haji Norham ikut menemui mereka. Mereka pun berakrab-akrablah melepas rindu. Haji Norham memuji perkembangan yang terjadi di dusun dan tentu saja para tamu itu merespon secara antusias.
“Kita memang sangat berterima kasih dengan anak-anak kita yang menjadi perantau, merekalah tumpuan kita untuk perbaikan dusun ini. Lebaran Fitri kemarin, paguyuban warga kita yang merantau ke Jakarta kembali menyumbang untuk pembangunan dusun dan masjid kita. Alhamdulillah jumlahnya cukup besar, Pak Haji, lima juta rupiah.”
Kadus dan Ketua RT timpal-menimpali menceritakan pembangunan dusun dan uluran dana para perantau.
“Memang baru para perantau di Jakartalah yang tampak memiliki perhatian pada dusun asal mereka. Padahal kita juga mengharapkan anak-anak kita yang merantau ke tempat lain berbuat demikian. Pembangunan dusun kita masih memerlukan uluran dana yang lebih besar lagi. Kita belum punya gapura dusun yang permanen, jalan-jalan di dalam dusun belum diaspal, masjid belum memiliki serambi dan taman….”
“Secara kebetulan sekali lebaran Haji ini Pak Haji Norham pulang dusun. Karena itulah, kami atas nama sesepuh dusun mewakili para warga juga berharap sekiranya Pak Haji bersedia mengumpulkan para anak-anak kita yang merantau ke Kalimantan dan membikin paguyuban di sana. Tidak lupa setelah paguyuban berdiri, pikirkanlah kami yang terlantar di dusun ini.”
“Atau, barangkali Pak Haji sendiri saat ini juga akan memelopori, atas nama perantau di Kalimantan, mendermakan sedikit dari harta Pak Haji untuk pembangunan dusun kita ini? Itu kami pikir sangat mulia dan kami sangat berterima kasih atas nama warga. Tentu, sebagai seorang haji, Bapak tidak rela jika masjid dusun kita kalah megah dengan masjid dusun sebelah.”
“Anak-anak remaja masjid juga mulai bersemangat mengadakan berbagai kegiatan semacam peringatan hari-hari keagamaan, Pak Haji, sehingga masjid kita menjadi tidak sepi.”
Berapi-api kedua-duanya mencecarkan kata-kata ke telinga Haji Norham. Haji Norham tak kuasa menimpali mereka. Ia bingung dan hanya mampu menjawab dengan mengumbar senyum. Diam-diam Haji Norham membatin,
“Seandainya istrikulah yang menemui kedua sesepuh desa ini….”
***
*) Pernah dimuat di Jawa Pos
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 08 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
1 komentar:
solusi bau mulut, napas, alergi dan berbagai penyakit dalam, klik http:// serbasolusi.co.cc
Posting Komentar