Kamis, 08 Desember 2011

Pulang Haji *

Amien Wangsitalaja
http://amien-wangsitalaja.blogspot.com/

Haji Norham akhir-akhir ini merasa, sepertinya makin banyak saja orang melakukan kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek sosial dan atau keagamaan. Dari anak-anak muda sampai orang-orang tua, dari panitia-panitia kecil sampai panitia-panitia besar. Haji Norham merasakan hal ini sepulangnya dari ibadah hajinya setahun lalu. Dan ia merasakannya bukan karena setelah pulang haji itu ia menjadi interes dengan kegiatan atau acara berbau sosial dan atau keagaaman itu. Sama sekali bukan, karena ia hampir tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Ia tak kan punya waktu untuk hal-hal di luar kesibukan kantor yang cukup menguras pikiran dan energi.

Haji Norham merasakannya jika pada malam hari menjelang tidur istrinya melaporkan kondisi keuangan harian keluarga. Di samping untuk kebutuhan subsistensi harian, uang jajan anak, uang arisan, biasanya istrinya juga menyebutkan pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga atau tak direncanakan. Paling sering dari pengeluaran tak terencana ini adalah sumbangan dana untuk acara-acara sosial dan atau keagamaan.

“Siang tadi datang beberapa mahasiswa dari Kerohanian Islam FKIP Bahasa Indonesia. Mereka akan mengadakan bakti sosial dalam rangka merayakan Idul Qurban di sebuah desa transmigran di Kutai Kartanegara Seberang. Mereka butuh dana dan pakaian-pakaian bekas. Ini proposal kegiatan mereka.”

“Berapa kau kasihkan, Ma?”
“Seratus ribu….”
“Seratus ribu?!”
“Juga enam belas helai pakaian bekas kita.”

“Kenapa seratus ribu? Apa kau sudah merasa cukup kaya raya dengan gajiku yang hanya dua setengah juta sebulan itu? Jika setiap orang datang minta sumbangan kau kasih sekian dan perbulan kita menerima lebih dari sepuluh proposal kegiatan, bagaimana kita akan memenuhi kebutuhan keluarga kita sendiri?”

“Saya merasa tidak enak untuk memberi sedikit. Mereka tahu Ayah adalah seorang haji lagi seorang yang memiliki jabatan kepala bagian di sebuah kantor ternama di Samarinda ini.”

“Apakah seorang haji atau seorang yang memiliki jabatan penting di sebuah kantor harus berarti orang yang kaya dan tidak pernah memunyai problem keuangan?”

“Tapi…, mahasiswa-mahasiswa itu bilang bahwa yang memberitahu dan menyuruh mereka untuk datang ke sini adalah Julak Puji, dan kulihat di proposal mereka memang terdapat nama Pujiharto, S.S., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing. Bukankah Julak Puji itu teman Ayah sewaktu jadi mahasiswa di Jawa dulu? Apakah Ayah tak sungkan pada Julak jika kita hanya memberi sedikit apalagi menolak proposal mereka?”

Haji Norham tiba-tiba menjadi sangat terbebani dengan gelar haji yang sedang disandangnya, ketika sebuah gelar selalu berhubungan dengan persoalan gengsi dan citra. Ia sendiri sebetulnya tidak memiliki kebiasaan untuk menuliskan inisial “H” di depan namanya ketika ia menuliskan namanya untuk keperluan apa pun. Tapi, orang lain melakukan demikian terhadapnya. Ini tampak dari, misalnya, undangan rapat kantor atau pertemuan wali murid dari sekolah anaknya. Mereka menulis di kertas undangan itu Kepada Yth. Bpk. H. Norham Wahab, S.S.

Dan orang-orang memang terlanjur mengenalnya sebagai seorang haji. Maka, sepintar apa pun ia menyembunyikan inisial “H” itu orang-orang akan tetap memperlakukannya sebagai seorang haji. Dan yang paling memuakkan dari perlakuan orang-orang itu terhadap seorang haji adalah sikap mereka yang muncul dari citra yang tertanam secara umum bahwa seorang haji pastilah kaya dan suka berderma. Kaya, karena orang tahu bahwa tidak setiap orang mampu untuk melakukan ibadah ini oleh sebab biayanya yang teramat tinggi. Suka berderma, karena seseorang yang terpanggil untuk ibadah haji dianggap pastilah seseorang yang memperhatikan agamanya, sedang berderma adalah sebagian dari moralitas yang direkomendasikan oleh agama.

Karena itu, jika di langgar RT atau masjid RW diadakan acara peringatan Maulid Nabi atau ketika lantai langgar/masjid akan diganti dari ulin menjadi semen dan dari semen menjadi keramik, misalnya, orang-orang akan memosisikan Haji Norham sebagai penyandang dana dengan nominal yang lebih tinggi dari warga umumnya. Itu karena ia seorang haji. Bahkan, perlakuan semacam ini kemudian juga berlaku untuk bukan saja hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan persoalan keagamaan. Untuk kegiatan-kegiatan kerja bakti RT, pembikinan gapura gang, acara agustusan, dan sebagainya, orang-orang pastilah membawa proposalnya pertama kali ke rumah Haji Norham.

Biasanya yang menemui mereka adalah istrinya karena ia sendiri berada di kantor siang hari. Dan istrinya, sebagai seorang perempuan, pastilah sensitif dalam persoalan gengsi dan citra diri. Istrinya pasti tidak akan menolak proposal apa pun dan jika memberi pastilah dalam angka yang dianggapnya pantas sebagai sumbangan dana dari keluarga seorang haji.

Sering Haji Norham berpikir mungkin lebih baik ia mengumumkan kepada orang-orang itu bahwa dirinya tidaklah kaya-kaya amat. Ia sendiri merasa bahwa dirinya bahkan belum termasuk jajaran orang yang agak kaya pun. Ia memunyai rumah, tapi itu dibelinya dengan bantuan mertua dan orang tuanya di Jawa. Meski ia memang mampu mempercantik rumah itu, ia tidak merasa yakin mampu membeli rumah itu sendiri. Ia pun memakai mobil, tapi bukankah itu mobil kantor?

Kemudian soal haji? Ia memang tidak sempat berterus terang kepada orang-orang, entah karena gengsi atau apa, bahwa ia tidak berhaji atas biaya sendiri. Secara kebetulan dan di luar kebiasaan, Kepala Kantor tempatnya bekerja memiliki inisiatif untuk mengadakan pemilihan pegawai teladan. Ia pun terpilih karena etosnya dalam bekerja memang tidak diragukan. Dan bukan main hadiahnya: dihajikan oleh kantor. Begitulah, tahun lalu ia naik haji.

Haji Norham merasa bahwa orang-orang itu tidak mau tahu bahwa ia bisa naik haji bukan karena ia kaya. Sebagai orang yang tidaklah kaya, ia bahkan tidak pernah sempat memiliki pikiran untuk suatu saat bisa naik haji karena ia merasa jalan ke sana teramat jauh jika melihat kondisi keuangannya. Ia cukup rasional dalam sikapnya. Memang, konon ada beberapa cerita yang kurang rasional mengenai hasrat berhaji. Inti cerita itu rata-rata mengungkapkan perihal orang-orang yang secara nalar tidak mungkin bisa naik haji, tapi oleh kuatnya doa dan hasrat orang tersebut akhirnya bisa melaksanakan haji dengan jalan yang tak terduga.

Misalnya, konon ada seorang pembantu yang bekerja pada seorang juragan dari sebuah kerajinan perak di Kotagede Yogyakarta, sebuah kota di Jawa tempat Haji Norham dahulu menyelesaikan kuliah S1-nya. Kisah tentang pembantu itu sendiri didapat Haji Norham dari seorang sastrawan Yogyakarta yang teramat relijius bernama Mustofa W Hasyim, teman Haji Norham juga.

Seorang pembantu janganlah dibayangkan memiliki cukup uang, bahkan untuk kebutuhan harian pun. Karena itu, janganlah dinalarkan suatu saat ia bisa naik haji. Tapi, si pembantu itu memiliki doa dan hasrat yang hebat untuk ke sana. Tiap kali ia disuruh membeli rokok oleh juragannya, ia selalu memungut sebutir kerikil dari jalan yang dilaluinya dari antara rumah majikannya dengan warung rokok. Malam harinya kerikil itu dibawanya pulang dan dikumpulkannya di dalam sebuah karung beras. Anak lelakinya yang sempat mengenyam SMA meski tidak tamat terheran-heran dengan kebiasaan bapaknya mengumpulkan kerikil tersebut.

“Untuk apa sih, Pak, kerikil-kerikil itu?”
“Ini bapakmu kumpulkan setiap kali bapakmu bekerja mengabdi pada majikan yang memberi kita makan. Kerikil-kerikil ini menjadi saksi atas ibadah dan mu’amalah bapakmu ini. Kelak, kerikil-kerikil ini akan menjelma menjadi batangan-batangan emas yang akan bapakmu gunakan untuk membiayai haji.”

“Ha ha ha….”
“Kenapa? Kamu tidak memercayainya?”
“Aduuh, Bapak, Bapak…. Bapak sedang mimpi atau mengejek Tuhan, Pak?

Bagaimana kerikil berubah menjadi emas?”
“Kamu pasti tidak akan memercayainya. Tapi, jangan ejek bapakmu karena itu berarti mengejek Tuhanmu.”

Akhirnya, setelah sekian lama menjadi pembantu, karung beras tersebut penuhlah oleh kerikil. Entah berapa ratus ribu biji kerikil yang berarti berapa ratus ribu kali pula si pembantu itu berjalan dari rumah majikan ke warung rokok demi memenuhi tugasnya dan demi beribadah mencari nafkah dan berapa ratus ribu butir keringat pula menetes dari tubuhnya.

Namun, kerikil-kerikil itu tak kunjung jua menjelma menjadi kepingan-kepingan emas. Malam itu anak lelaki satu-satunya kembali sinis kepadanya,
“Gimana, Pak? Kapan Bapak akan menjual emas-emas Bapak untuk membayar ONH?”

Si pembantu itu tampak termenung seolah putus asa dengan kehidupannya. Ia merasa sedang bercanda dengan nasib. Bagaimana mungkin seorang pembantu berharap bisa naik haji? Tidakkah ia berkaca diri? Tidak sadarkah bahwa dirinya hanyalah seorang pembantu?

Esok paginya si pembantu itu mencoba melupakan kepiluan hatinya atas ejekan dari anak lelakinya semalam. Ia kembali menyiapkan diri untuk bekerja, berangkat ke rumah majikannya.

Hari itu, seperti biasanya majikan menyuruhnya membeli rokok. Ia pun berangkat ke warung rokok seperti biasanya melalui jalan seperti biasanya. Namun, tidak seperti biasanya ia lupa memungut sebuah kerikil untuk dibawa pulang malam harinya dan disimpan untuk siapa tahu nantinya menjelma menjadi batangan emas.

Sesampai di rumah majikannya ia segera menyerahkan rokok kepada majikannya.
“Pak Toto, duduklah dulu.”

Toto Sugih, itulah namanya, dan ia berusia lebih tua dari majikannya sehingga majikan yang berusia lebih muda darinya itu selalu memanggilnya dengan “pak” di depan namanya.

“Ya, Tuan.”
“Pak Toto tahu mengenai kondisi kesehatan Nyonya, bukan?”
“Ya, Tuan. Ada apa gerangan?”

“Begini, kami sudah lama berencana untuk bersama-sama naik haji. Setelah bertahun-tahun menyisihkan laba, kami merasa tahun ini keuangan kami telah mencukupi untuk membiayai keberangkatan kami berdua. Tapi, sebagaimana Pak Toto ketahui, diabetes Nyonya semakin parah saja dan tidak memungkinkannya untuk pergi haji. Kami semalam mengobrol dan Nyonya memutuskan merelakan diri untuk tidak berangkat haji. Bukan hanya itu, sebagai rasa terima kasih dan penghormatan kami atas kesetiaan Pak Toto bekerja di rumah kami, Nyonya telah memutuskan untuk menshadaqahkan uang hajinya kepada Pak Toto. Karena itu, Pak Toto bersiaplah tahun ini naik haji bersama saya.”

“Ya, Allah! Ma syaallah! Subhanallah!”
Tak kuasa pembantu itu menahan tangis. Ia tidak percaya dengan datangnya rizqi yang tiada pernah diduganya dan ia menyesal telah sempat berputus asa terhadap rahmat Tuhan.

Kemudian, tahun itu pula naik hajilah si pembantu itu, tentu saja tidak dengan menjual kerikil-kerikil yang terkumpul di karung beras yang memang tidak akan pernah menjelma menjadi batangan emas itu.

Jika mengingat cerita semacam itu terkadang Haji Norham merasakan kemiripannya dengan apa yang dialaminya. Tapi, ia selalu menganggap kepergian hajinya bukanlah sebuah keajaiban. Hal yang rasional baginya jika kantor tempatnya bekerja menghajikannya karena pertimbangannya juga rasional, karena ia memang cukup memiliki dedikasi dan etos kerja yang tinggi.

Tapi, ia pun juga sangat berbahagia dengan kesempatan berhaji itu. Hanya, efek samping dari konsekuensi gelar hajinya itulah yang kini merisaukannya. Perlakuan orang-orang itulah yang membuatnya risih meski istrinya selalu mencoba menetralkan perasaannya.

“Sudahlah, Yah. Bukankah bershadaqah itu besar pahalanya? Insyaallah Tuhan akan membalas dengan rizqi yang lebih besar.”

Selalu saja istrinya berbicara mengenai pahala. Bukan berarti Haji Norham tidak percaya adanya pahala, tapi ia tidak ingin bersikap munafik bahwa selama ini mereka bershadaqah tidak seratus persen oleh keikhlasan. Mereka bershadaqah oleh adanya sedikit keterpaksaan dan keharusan. Orang-orang yang datang membawa proposal dan list donatur terkadang mirip para perampok baginya yang tidak memberi kesempatan lain selain bahwa ia harus memberi sejumlah uang pantas kepada mereka.

Tiba-tiba Haji Norham menjadi tidak nyaman dengan malam-malamnya karena malam-malam itu harus dilaluinya dengan mendengarkan laporan pengeluaran keuangan harian dari istrinya dan teramat sering di laporan itu disebutkan perihal shadaqah untuk proposal kegiatan atau pembangunan sarana dan prasarana kegiatan sosial dan atau keagamaan.

Uang, itulah pangkal persoalannya. Orang butuh uang untuk sebuah kegiatan yang meriah. Orang butuh uang untuk pembangunan sarana dan prasarana kegiatan yang megah. Orang malu masjid atau langgarnya tidak berkeramik, orang malu gapura gang RT tidak cantik. Orang mengejar penampakan dan bukan substansi. Jika memperingati Maulid Nabi, bukan bagaimana bisa mengambil ibrah dari kehidupan Nabi yang ditekankan, tapi semata meriahnya acara.

Orang tidak lebih memikirkan bagaimana memakmurkan masjid, memfungsikan masjid secara esensial sebagai sarana ibadah dan dakwah; tapi orang lebih memikirkan bagaimana merias masjid dan memewahkan struktur bangunan fisiknya. Masjid harus megah, bertingkat, bahkan jika perlu terbesar dengan tiang pancang menara terdalam se-ASEAN.

Haji Norham menjadi teringat masa kecilnya di sebuah dusun kecil di pinggiran Kabupaten Pacitan, sebuah kabupaten bertanah tandus di Jawa. Masjid dusunnya sederhana tapi mengabarkan adanya ruh di sana. Jika datang hari-hari peringatan keagamaan, orang cukup berkumpul, berdoa, dan saling nasihat-menasihati.

Haji Norham memang bukan penduduk asli di RT tempatnya tinggal sekeluarga sekarang ini. Sekitar limabelas tahun lalu, setelah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta, Haji Norham tidak pulang ke dusun tempat kelahirannya, Pacitan yang gersang, tapi lebih memilih—bersama beberapa temannya—mengadu nasib merantau ke Samarinda. Nasib baik menyertainya, ia diterima menjadi PNS di instansi penting di kota tersebut. Nasib yang lebih baik lagi, lima tahun kemudian ia menemukan tambatan hatinya dan menikah dengan seorang gadis asli Samarinda sehingga kian mantaplah Haji Norham menjadi urang Samarinda.

Haji Norham tiba-tiba merindukan masjid dusun asalnya sebelum merantau itu. Ia merindukan keberagamaan yang sederhana, yang tidak harus menjajakan proposal penggalangan dana. Mungkin tidak ada salahnya jika ia mengambil cuti barang seminggu untuk pulang ke Jawa di lebaran Haji tahun ini. Barangkali lebih lima tahun ia lupa pulang ke desanya di Jawa. Ia ingin mengenang masjid dusunnya.

Jadilah ia sendirian pulang ke Jawa. Anak-anak tidak bisa ikut karena sekolah tidak libur panjang selain juga biaya tiket pesawat sangat mahal sedangkan kalau memakai kapal laut akan sangat memakan waktu perjalanan. Istrinya pun juga tak ikut karena harus menemani anak-anak.

Haji Norham melakukan shalat Ied di masjid dusunnya di Jawa. Masjid itu mulai menampakkan perubahan. Wajarlah kiranya, rentang waktu lebih dari lima tahun menjadikan masjid dusunnya mulai diperbaiki dan diperluas. Rupanya demam pembangunan sudah menjangkau ke desa-desa dan pelosok-pelosok dusun.

Pada hari ketiga kepulangannya, Kadus (Kepala Dusun) dan Ketua RT bersilaturahim ke rumah bapaknya. Haji Norham ikut menemui mereka. Mereka pun berakrab-akrablah melepas rindu. Haji Norham memuji perkembangan yang terjadi di dusun dan tentu saja para tamu itu merespon secara antusias.

“Kita memang sangat berterima kasih dengan anak-anak kita yang menjadi perantau, merekalah tumpuan kita untuk perbaikan dusun ini. Lebaran Fitri kemarin, paguyuban warga kita yang merantau ke Jakarta kembali menyumbang untuk pembangunan dusun dan masjid kita. Alhamdulillah jumlahnya cukup besar, Pak Haji, lima juta rupiah.”

Kadus dan Ketua RT timpal-menimpali menceritakan pembangunan dusun dan uluran dana para perantau.

“Memang baru para perantau di Jakartalah yang tampak memiliki perhatian pada dusun asal mereka. Padahal kita juga mengharapkan anak-anak kita yang merantau ke tempat lain berbuat demikian. Pembangunan dusun kita masih memerlukan uluran dana yang lebih besar lagi. Kita belum punya gapura dusun yang permanen, jalan-jalan di dalam dusun belum diaspal, masjid belum memiliki serambi dan taman….”

“Secara kebetulan sekali lebaran Haji ini Pak Haji Norham pulang dusun. Karena itulah, kami atas nama sesepuh dusun mewakili para warga juga berharap sekiranya Pak Haji bersedia mengumpulkan para anak-anak kita yang merantau ke Kalimantan dan membikin paguyuban di sana. Tidak lupa setelah paguyuban berdiri, pikirkanlah kami yang terlantar di dusun ini.”

“Atau, barangkali Pak Haji sendiri saat ini juga akan memelopori, atas nama perantau di Kalimantan, mendermakan sedikit dari harta Pak Haji untuk pembangunan dusun kita ini? Itu kami pikir sangat mulia dan kami sangat berterima kasih atas nama warga. Tentu, sebagai seorang haji, Bapak tidak rela jika masjid dusun kita kalah megah dengan masjid dusun sebelah.”

“Anak-anak remaja masjid juga mulai bersemangat mengadakan berbagai kegiatan semacam peringatan hari-hari keagamaan, Pak Haji, sehingga masjid kita menjadi tidak sepi.”

Berapi-api kedua-duanya mencecarkan kata-kata ke telinga Haji Norham. Haji Norham tak kuasa menimpali mereka. Ia bingung dan hanya mampu menjawab dengan mengumbar senyum. Diam-diam Haji Norham membatin,

“Seandainya istrikulah yang menemui kedua sesepuh desa ini….”
***

*) Pernah dimuat di Jawa Pos

1 komentar:

Solusi Bisnis mengatakan...

solusi bau mulut, napas, alergi dan berbagai penyakit dalam, klik http:// serbasolusi.co.cc

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae