Kamis, 29 Desember 2011

Lembaga Penerjemahan Sastra, Sebuah Alternatif

Anton Kurnia*
http://www.sinarharapan.co.id/

Bisa jadi banyak karya sastra—novel, cerpen, puisi, lakon—karya para pengarang dunia tak akan pernah dapat dinikmati oleh sebagian besar khalayak kita jika tak ada para penerjemah yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, andil para penerjemah sangat besar.

Sabtu, 24 Desember 2011

Gadis di Kereta

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

AKU harus terdiam di sini, di tengah kegalauan yang semakin memburu jiwa, terombang-ambing gelombang mimpi buruk yang menghantuiku. Entah mengapa aku selalu berpikir, “mengapa kehidupan itu kacau sekali”. Aku tak bisa menebaknya. Menebak masa depan terlalu sulit.

MEMBACA JARAN GOYANG, HATI PUN BERGOYANG;

Catatan Kecil Sajak Samsudin Adlawi
Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/

Waktu itu, kira-kira sehabis Isya’, saya menguhubungi kawan saya. Saya bermaksud mau ngobrol-ngobrol denganya. Seketika itu saya lansung mengambil motor dan memacunya ke rumah kawanku tadi. Bukan sekedar kawan, tapi lebih dari itu. Entah apalah, yang jelas dia istimewa bagi saya. Namanya Nurel Javissyarqi.

SEGI TIGA SASTRA DI WILAYAH BORNEO

Korrie Layun Rampan *
Kaltim Post, 5 Sep 2007, Jurnal Toddopuli, 9 Des 2008.

Segi tiga sastra di sini dimaksudkan adalah tumbuh dan berkembangnya eksistensi sastra di wilayah Borneo dan Kalimantan. Istilah Borneo meliputi negara Brunei Darussalam dan Malaysia Timur (yang mencakup: Labuan, Sarawak, Sabah) dan wilayah Kalimantan mencakup empat provinsi di Kalimantan: Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah (sebentar lagi akan lahir Provinsi Kalimantan Utara). Sejak 20 tahun lalu dimulai “Dialog Borneo-Kalimantan” yang dilaksanakan di Miri, Sarawak, 27-29 November 1987.

Ketika Tuhan Berbisik Lembut

(salah satu pengantar antologi puisi tunggalnya Samsudin Adlawi, “Jaran Goyang”)
Daisuke Miyoshi
http://sastra-indonesia.com/

Sajak-sajak di dalam antologi ini bukan puisi gelap. Berlama-lama saya pandangi, saya pandangi, saya pendangi terus. Diam saya. Terkejut membaca diksi kepada bait. Dari balik diksi itu, satu per satu makna muncul. Seketika menyatu, membuat makna di dalamnya nyata.

Perjalanan Sastra di Banyuwangi

Fatah Yasin Noor*
http://www.sastra-indonesia.com/

GELIAT dan pertumbuhan sastra Banyuwangi kontemporer, sebenarnya sudah dimulai sejak tahun-tahun awal 60-an. Ini dilakukan oleh sejumlah penyair Banyuwangi yang berkarya di luar Banyuwangi, seperti Armaya yang rajin menuliskan karyanya di Majalah Siasat tahun 1960 dan dalam antologi Manifes bersama Goenawan Mohamad yang diterbitkan Tintamas-Djakarta, 1963. Begitu juga yang dilakukan oleh Chosin Djauhari yang termasuk dalam Pujangga Baru. Di Banyuwangi sendiri, sejak tahun 70-an, geliat sastra mulai tumbuh dengan suburnya, baik sastra berbahasa Indonesia maupun yang berdialek daerah Using.

Periode tahun 70-an ini diawali dengan kemunculan pembacaan dan apresiasi sastra di stasiun radio, yakni di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Banyuwangi. Puisi-puisi yang ditulis secara personala oleh sejumlah penyair Banyuwangi kemudian di bacakan di stasiun radio tersebut yang meluangkan waktunya dalam program sastra. Periode tahun 70-an ini, saya sebut saja sebagai “Periode RKPD”. Di situlah para penyair Banyuwangi membacakan puisi-puisinya dan mengapresiasi, di antara para penyair yang merintis pertumbuhan sastra di Banyuwangi adalah; Armaya, Hasnan Singodimayan, Pomo Martadi, Yoko S. Pasandaran, Slamet Utomo, dan Cipto Abadi. Puisi-puisi mereka tersebar di pelbagai media massa nasional. Misalnya Armaya dalam Bendera Sastra Jogja, Pomo Martadi di Pelopor Jogja. Sayangnya, di antara nama-nama yang saya sebutkan tadi, tidak ada yang memiliki antologi puisi tunggal, kecuali Hasnan Singodimayan yang telah menerbitkan novelnya berjudul Kerudung Santet Gandrung (Desantara, 2003).

Dari Periode RKPD itu, lahirlah penyair-penyair baru dalam kurun waktu 10 tahunan. Di awal tahun 80-an, muncul penyair-penyair bagus yang meneruskan perjalanan kesusastraan di Banyuwangi baik lewat acara program radio maupun di media massa. Di antara nama-nama penting itu adalah; Fatah Yasin Noor, Agus Aminanto, Gimin Artekjursi, Syamsul Hadi ME., Suhaili Bachtiar. Para penyair di awal tahun 80-an ini mengumumkan karya-karyanya di sejumlah media massa lokal dan nasional, juga di radio. Program radio yang memberi ruang sastra bukan lagi hanya di RKPD, melainkan radio Mandala AM Stereo pun membuka ruang program sastra dan apresiasi. Periode ini saya sebut sebagai “Periode Mandala”. Karya-karya penyair tahun 80-an ini memiliki sebentuk ciri khas tersendiri dibandingkan karya-karya penyair Periode RKPD. Fatah Yasin Noor dan Agus Aminanto yang karyanya telah dimuat di Bali Post dengan ‘penjaga gawang’ Umbu Landu Paranggi. Sedangkan Gimin Artekjursi telah berhasil menembus redaktur Majalah Sastra Horison. Pada periode ini juga, lahirlah penyair berbakat Nirwan Dewanto. Di usia yang masih belasan tahun, Nirwan Dewanto mendapatkan banyak pujian dari penyair-penyair gaek Banyuwangi. Nirwan Dewanto lahir di Banyuwangi dan bersastra pertama kali di Banyuwangi dalam pergulatan sastra lokal di Banyuwangi.

Lalu di tahun 90-an, yakni kemunculan karya-karya sastra dari para penyair di Banyuwangi semakin mendapatkan tempat yang lapang di dua stasiun radio sekaligus, yakni di RKPD dan Mandala AM Stereo. Muncul penyair-penyair di tahun 90-an ini, yakni Irwan Sutandi, M. Karyono, Adji Darmaji, Un Hariyati, Rosdi Bahtiar Martadi, Sentot Parijatah, Abdullah Fauzi, Iwan Aziez Syswanto S., A. Ardiyan, Taufik Walhidayat,

Dwi Pranoto, Tri Irianto, M. Solichin, Samsudin Adlawi, Iqbal Baraas, Yudi Prasetyo, dll. Nama-nama penting tersebut telah menyumbangkan karya dalam sebuah pertumbuhan yang cukup berarti bagi perkembangan sastra kontemporer di Banyuwangi, meski pada akhirnya sejumlah nama kemudian menghilang karena terseleksi secara alamiah. Sejumlah antologi puisi, buletin, dan majalah sastra di Banyuwangi diterbitkan. Di awal-awal, mereka menerbitkan antologinya dengan diketik secara manual lalu digandakan berupa lembaran-lembaran kemudian dibagi-bagikan. Di sampaing itu juga, mereka cukup rajin mengirimkan karya-karya mereka ke media-media massa, misalnya Sentot Parijatah yang juga wartawan Karya Dharma, sering menampilkan puisi-puisinya di Surabaya Post di tahun 1996, Samsudin Adlawi yang wartawan Jawa Pos, juga sering menampilkan karyanya di Jawa Pos. Sejumlah buletin yang diterbitkan secara terbatas dan diasuh oleh sejumlah sastrawan Banyuwangi, antara lain; Jurnal Lontar (1971, yang dipimpin oleh Pomo Martadi), Buletin Point (1980), Buletin Imbas (1990, dipimpin oleh Tri Irianto), Buletin Menara Baiturrahman (1990, dengan Pimrednya Fatah Yasin Noor ), Buletin Jejak (yang kemudian terbit sebagai Majalah Budaya Jejak, 1990 sampai sekarang, diasuh oleh Armaya dan Pimred Fatah Yasin Noor kemudian Iwan Aziez Siswanto S.), Majalah Seblang (berbahasa daerah Using), dan Buletin Baiturrahman (2000, dengan Pimred Abdullah Fauzi, Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S.), Lepasparagraph (2002, dikelola oleh Taufiq Wr. Hidayat dan Dwi Pranoto).

Sejumlah antologi tunggal diterbitkan oleh penyairnya sendiri juga oleh sejumlah lembaga sastra, di antaranya Abdullah Fauzi dengan antologi berbahasa Using Dubang (Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) 2002), dan antologinya berjudul Sayap (1990). Taufik Walhidayat menerbitkan antologi tunggal berjudul Labuh Rindu (1993), Iqbal Baraas dengan Sebuah Penawaran (Remas Jami’atul Hidayat, Genteng, 1990), Penjual Payung (Gelar Tikar, 1993), Bunga Abadi (1997), Tri Irianto dengan Waktu (1998), Adji Darmaji dengan Juru Angin (1980, puisi berdialek Using), Iwan Aziez Syswanto S., dengan Matahari Pecah Kembali (1993), Rembulan di Atas Gelombang (2005), Fatah Yasin Noor dengan Gagasan Hujan (2003), Dwi Pranoto dengan Penjaga Lokomotif (1996), Taufiq Wr. Hidayat dengan Sepasang Wajah (2002) dan Suluk Rindu (2004).

Penerbitan secara tunggal itu sangat terbatas karena diketik secara manual dan difoto kopi, hanya beberapa yang diterbitkan secara modern berupa buku dengan jumlah eksemplar yang cukup banyak. Keterbatasan itu membuat sejumlah antologi yang telah terbit hilang dari dokumentasi perpustakaan dan komunitas, bahkan penyairnya sendiri hingga kini melacak keberadaan karyanya, misalnya Abdullah Fauzi yang kehilangan antologi awalnya Sayap. Buruknya media penerbitan dan pendikumentasian karya sastra di Banyuwangi, tak dapat dipungkiri telah merenggut sejumlah karya berkualitas para penyair Banyuwangi yang menjadi tonggak sejarah awal pertumbuhan sastra kontemporer di Banyuwangi. Menyadari keterbatasan tersebut, terutama sangat terbatasnya dana, para penyair Banyuwangi menyiasatinya dengan membentuk komunitas sastra di Banyuwangi yang terkenal, yakni Komunitas Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) yang melakukan pertemuan rutin tipa hari Selasa. Komunitas ini didirikan oleh sejumlah peyair tua di Banyuwangi dan dikelola oleh penyair-penyair muda. Pendiri Selasa adalah Pomo Martadi dan dikelola oleh Samsudin Adlawi, Rosdi Bahtiar Martadi, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan, dan Iwan Aziez Syswanto S. Komunitas sastra ini juga telah melahirkan sejumlah penyair generasi terbaru, dan secara berkala menerbitkan buletin Imbas juga menerbitkan kembali Jurnal Lontar yang pernah terbit tahun 1971. Dari komunitas Selasa lahir antologi-antologi bersama, Cadik (Komunitas Selasa dan Komunitas Penyair Bali, 1998), Menara Tujuh Belas (Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2002), Dzikir Muharam (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2004), Tilawah (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2005). Kemudian Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi memiliki agenda rutin menerbitkan kumpulan puisi karya tunggal para penyair Banyuwangi setiap tahun, Suluk Rindu ( Taufiq Wr. Hidayat, 2004), Dzikir Debu ( Nuchbah Baroroh, 2005), Tasbih (Abdullah Fauzi, 2006).

Perjalanan yang panjang itu, saya sadari tak dapat saya paparkan secara detil lagi, hal ini tak lain karena keterbatasan data dan sumber. Namun paling tidak, pemaparan ini memberikan sebentuk gambaran besar perjalanan kekusastraan di Banyuwangi dihitung dari dimensi pergerakannya dari tahun ke tahun. Kesusastraan di Banyuwangi banyak diramaikan dengan proses kreatif generasi tahun 80-an dengan puisi, jarang sekali tercipta cerpen dan novel. Beberapa penyair gaek juga memberikan sebentuk kritik sastra bagi generasi di bawahnya, yakni Hasnan Singodimayan, Armaya, dan Pomo Martadi. Tiga nama tersebut sangat berperan penting di dalam pembentukan seorang penyair yang matang di Banyuwangi yang karyanya kemudian menjadi konsumsi secara nasional. Dari asuhan tiga orang sastrawan itu, lahirlah Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S., Nirwan Dewanto, Samsudin Adlawi, dll.

Di samping itu pula, sastra pertunjukan juga mengalami puncaknya di tahun 1980-an. Ini ditandai di kota Genteng Kabupaten Banyuwangi, sebuah daerah pedesaan yang sering melahirkan karya-karya drama/teater. Komunitas teater di Genteng itu didirikan pada 1980 yang melakukan pelatihan-pelatihan teater di sekolah-sekolah. Komunitas itu kemudian diberi nama Gelar Tikar. Komunitas teater Gelar Tikar didirikan oleh sejumlah seniman di Genteng, yakni Totok Hariyanto, Sugito, Pak Azis, Pak Sa’roni, Pak Rifa’i, dan Iqbal Baraas yang masih berusia belasan tahun. Di tahun 1990-an, Gelar Tikar berubah nama menjadi Padepokan Gelar Tikar. Komunitas ini kemudian sangat rajin melakukan kegiatan sastra secara rutin di Genteng, mulai dari pementasan, penerbitan buku puisi bersama, pembacaan puisi, dan apresiasi sastra, baik di media cetak maupun di radio-radio komunitas. Ini juga merupakan bagian terpenting dalam perjalanan sastra di Banyuwangi. Sedangkan di Banyuwangi Kota, ditandai dengan munculnya Teater Tongkat Sandi yang dikelola oleh Abdullah Fauzi dan Agus Wahyu Nuryadi yang diasuh dan didanai oleh Armaya, juga Kasat Teater yang dikelola oleh Yudi Prasetyo, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan dan A. Saichu Imron di tahun 1990-an. Namun demikian, perkembangan seni sastra pertunjukan di Banyuwangi Kota tidak sebagus di Genteng, melainkan di Banyuwangi kota banyak menampilkan buku-buku dan media-media sastra komunitas.

Sekilas Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi

ADAPUN perjalanan sebuah langkah, tidak hanya terpaku pada bagaimana langkah itu digerakkan. Melainkan juga kita mesti mengukur secara obyektif nuansa gerak itu sendiri dengan kritis. Maka, barangkali menjadi penting di sini untuk saya mengupas sejumlah karya sastra (baca: puisi) di Banyuwangi dari tahun ke tahun yang terkumpulkan dalam media sastra di Banyuwangi, yakni Kertas Sastra Lontar dan Majalah Budaya Jejak. Adapun Lontar dan Jejak adalah media sastra yang paling bersejarah di Banyuwangi, berhubung kedua media sastra itu menjadi tempat proses kreatif sastrawan Banyuwangi, dan dari keduanya terlahir penyair-penyair nasional dari Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, Adji Darmadji, dll.

Karya sastra adalah sebuah gambaran ruang dan waktu atau sebuah kondisi aktual peradaban suatu masyarakat. Gampangnya begitu.

Di tahun 70-an, puisi-puisi yang ditulis oleh para penyair Banyuwangi sudah mengalami kematangan yang baik serta memiliki dunia khasnya sendiri di antara jutaan puisi yang pernah di buat di Indonesia di tahun yang sama.

Ada beberapa nama penting yang karyanya perlu saya kupas dalam tulisan ini. Beberapa nama tersebut menjadi penting karena di awal tahun 70-an mereka telah menancapkan bentuk awal perpuisian di Banyuwangi sebagai embrio generasi berikutnya, juga mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat berarti di dalam menyuburkan dinamika kesusastraan di Banyuwangi. Beberapa nama penting tersebut adalah Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi. Seringkali Armaya mengeluarkan dana yang tidak sedikit dari saku pribadinya untuk membiayai penerbitan buku dan kegiatan-kegiatan sastra di Banyuwangi. Sedangkan Hasnan dan Pomo seringkali melakukan sebentuk kritik sastra dan membentuk penyair-penyair baru. Tiga nama tersebut adalah penyair dan sastrawan nasional yang karyanya patut diperhitungkan. Armaya sendiri besar di Solo dan proses kreatifnya seangkatan dengan W. S. Rendra (mereka satu kelas di SMA dan teman akrab), Hartojo Andangdjaja, Mansur Samin, dan Taufiq Ismail. Beberapa karya Armaya tergabung dalam antologi nasional bersama Goenawan Mohammad, Hartojo Andangdjaja, dll. dalam antologi 30 sajak yang diambil dari karya Armaya yang dimuat dalam Majalah Siasat. Antologi tersebut berjudul Manifes (Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963).

Ada yang perlu dicatat jika mengupas karya-karya penyair Banyuwangi di awal-awal tahun 1960 sampai tahun 1970-an, yakni gaya ucap banyak terpengaruh dialek Banyuwangi asli, yakni dialek Using. Kecuali puisi-puisi awal Armaya, karya Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan sangat kental dengan gaya pengucapan berdialek Using Banyuwangi. Armaya menulis puisi, esai, dan prosa. Begitu juga dengan Pomo Martadi, dia produktif menulis puisi dan sangat jarang menulis prosa, penulis esai yang rajin serta penulis berita yang sangat teliti. Sedangkan Hasnan Singodimayan lebih produktif menulis esai dan kritik seni juga prosa. Amat jarang sekali menemukan puisi karya Hasnan, kecuali beberapa saja dalam hitungan jari. Penulis nasional ini seringkali menjadi tempat berlabuh para akademisi untuk menimba referensi kebuayaan lokal Banyuwangi.

Puisi Armaya di tahun 1960 banyak mencatat kerinduannya terhadap Banyuwangi. Seperti halnya penggalan puisinya berikut:

Bila Aku Pulang
(buat ibu & yunda)

Bila aku pulang ke kampung untuk kesekian kalinya
selalu kutemui si Luri dan Hasnan
cerita dan ketawa]meminum musim-musim yang terus berjalan
……..
(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)

atau:

Nostalgia

Terekam rindu dan warna bianglala
sejemput sejarah
Banyuwangi yang biru
Banyuwangi tempat bicara
sempat mengharu biru
dan
semangat menggebu gebu
kesenian wajah tersendiri
gandrung, angklung, rebana
semua dalam sebuah makna
kebenaran! Milik siapa saja

Bandung, 1982
(Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.2, April 1982. Terbit di Bandung).
juga

Kepergian

Pagisubuh di mana rumah itu telah kami tinggalkan
mentari lelap tidur di telanjang kabut
tak jauh tak beda suara bunda membentak
–he anak durhaka tinggalkan bumi berbasah darah ini
pembunuhan tanpa cinta menembus liang hatinya
……..

(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)
dan

Segenggam Permata

Aku terus berjalan
di semenanjung jalan ular
antara ranting-ranting rapuh berguguran
dalam cahaya bongkahan jurang
aku dapatkan permata di perutnya
warna warni bintang
merah menyala
sisi sisik ular keemasan
berdesir angin lautan
hutan diam
bersimpuh usapan tangan
bayangan pepohonan
terbelenggu ruang dan waktu
…….

Banyuwangi, 2002
(Sumber: Buletin Baiturrahman. No11, Oktober 2002.Penerbit: Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi).

Demikian beberapa kutipan sajak-sajak Armaya. Paling tidak, dapat kita telusuri, bahwa gaya khas Armaya tidak terlepas dari gaya sajak yang sederhana dan menggambarkan kerinduan orang rantauan akan desa. Aktualitas desa menjadi desah yang cukup erotis di dalam sajak-sajak awal Armaya.

Adapun sajak-sajak Pomo Martadi, memiliki bentuk dan pengucapan yang sederhana, dinamis, namun terkadang rumit dalam pemaknaannya. Sajak-sajak Pomo Martadi seringkali menjadi bahasan penting di dalam forum-forum sastra di Banyuwangi. Sajak-sajak Pomo juga telah banyak mendapatkan perhatian yang serius dari generasi sesudah tahun 90-an, dan tidak jarang penyair-penyair Banyuwangi sesudah Pomo mengalami keterpengaruhan dengan sublimasi sajak-sajak Pomo. Beberapa yang mungkin perlu saya kutip:

Puisi Tersisihkan

djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi, tersisihkan ini
jang tertinggal sepi
dipanggang teriknja sedjuta mentari duka
djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
angin malam menderai menerpa djantung jang letih
teriringkan pula njanjian hati
tapi masih kau lagukan djuga
lagu kemengan dan kebebasan
djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi tersisihkan ini
jang telah terkapar dipintu hatimu
ah, terbangkit aku dari semua mimpi
ini bukan satu keachiran
sebab harapan masih mau bitjara
bintang2pun mau mengerdip
dan malampun mau temaram

(Sumber: Lontar, kertas sastra dan budaya. Edisi 01, Nopember 1971).
juga

Berita Utama Koran Sore

jika benar pedang bermata dua itu terlempar
ke dasar jurang dan hanya bisa dilihat lewat
cahaya bulan, berarti benar korban pemerkosaan yang
ditemukan terkapar dan berdarah di perbatasan
kota pagi tadi adalah pemiliknya yang tak
pernah melepas penutup mata dan tak lupa

membawa neraca yang kemarin sore masih tampak
membagi-bagikan payung kepada setiap orang
yang melewati jalan desa itu
langit tiba-tiba dikerubung mendung
bendera setengah tiang tanda berkabung
siapa di antara laki-laki berjubah
bulu gagak yang kaki dan tangannya berlumur
jelaga itu patut diajukan sebagai tersangka,
atau bisa jadi ketiganya jika terbukti ikut
melakukannya orang-orang di kedai kopi tampak lega
peristiwa itu menjadi berita utama koran sore
apalagi terulas di tajuk rencana dan halaman opini
tak heran jika mereka tak habis berbisik
ketika mempelesetkan kepanjangan empat huruf
sebuah singkatan pada judul buku lama berwarna hijau

Jember-Banyuwangi, Juli 1996
(Sumber: Lepasparagraf. Edisi 2/2/05)

Sajak-sajak Pomo terasa pekat, namun dengan gaya ucap yang sederhana. Banyak sajak-sajak Pomo adalah sebuah misteri peristiwa yang digali secara pekat dari faktualitas kejadian umum. Seringkali saya bertanya apa maksud diksi-diksinya puisinya yang terdengan ‘aneh’ itu kepada Pomo, dan dia menjawabnya dengan sebuah jawaban yang juga aneh namun terkesan tidak terlalu penting berkaitan dengan sajaknya. Tapi, menanyakan hal ini kepada Pomo menjadi sesuatu yang menarik, karena kemudian akan berlanjut dengan sebuah kisah panjang dalam setiap sajak-sajaknya, yakni kisah-kisah personal yang secara umum memiliki sebentuk keterkaitan yang lain. Ada sisi absurditas yang terbangun namun tak berkental-kental dalam filsafat. Ia adalah sebuah sajak yang sempurna dan memiliki ciri khas yang unik. Dan ketika beliau sudah meninggal dunia, maka saya pun kehilangan orang yang begitu sangat teliti dan antusias membahas sastra serta dunia tulis menulis. Pomo Martadi menggoreskan sajak-sajak yang menjadi sumber inspirasi penyair-penyair Banyuwangi generasi terkini di Banyuwangi.

Lalu Hasnan Singodimayan. Sebagaimana saya sebutkan, Hasnan sangat jarang menulis puisi. Dia lebih tekun menulis esai sastra dan kesenian, prosa dan drama. Namun dapat kita lihat karya-karya prosa Hasnan, seperti novelnya Kerudung Santet Gandrung yang diterbitkan Desantara laku hampir lima ribu copy. Prosa yang ditulis Hasnan banyak menggambarkan kegamangan dan kegelisahan spiritual dari seorang pecinta dan penjaga tradisi ketika harus berhadapan dengan nilai-nilai keyakinan beragama serta kekinian masyarakat. Hasnan mencoba membenturkan nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai agama yang selama ini diyakini yang terkesan membatasi ruang gerak tradisi setempat. Barangkali mirip dengan yang dilakukan DR. Chaim Potok yang mencoba membenturkan nilai-nilai Yahudi dengan kekinian ilmu pengetahuan serta aktualisasi jaman.

Lontar dan Jejak

Pada tahun 1971, Banyuwangi menerbitkan kertas sastra dan budaya yang bernama Lontar. Nama tersebut diberikan oleh Pomo Martadi. Media sastra pertama di Banyuwangi ini menjadi media utama yang sangat penting dalam proses kreatif penyair-penyair Banyuwangi hingga tahun 1983. Media sastra Lontar ini diterbitkan secara stensil seukuran saku dengan ketik manual oleh Blambangan Sastra dan Teater Club. Sejumlah nama penyair awal dan yang sudah gaek menjadi dewan redaksinya, yakni: Sudh Widjaya, Arbowati HS., Djoko Sp., S. Ghandiarto, Ds. Lubdhoko, Ririn Ma., Tjipto Abadi, Pomo Martadi, Hermin Hs., Mh. Sutikno, Rumaniyati, Zdulfiqar Awwami. Beralamat di: Djl. Sritandjung-Banjuwangi. Diterbitkan sekali sebulan 14 halaman, ditjetak pada Djawatan Penerangan Kabupaten Banyuwangi.

Lontar menjadi media sastra perdana di Banyuwangi yang telah melahirkan nama-nama penyair dan penulis Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, dll. Media sastra ini diasuh oleh Hasnan Singodimayan dan Pomo Martadi. Pomo Martadi seringkali menulis kritis sastra dan juga puisi di Lontar, sedangkan Hasnan banyak menciptakan penyair-penyair baru dengan esai-esai saastranya di samping juga mengupas secara mendalam mengenai kebuayaan lokal Banyuwangi. Lontar terus berkembang dari tahun ke tahun, hingga pada tahun 1980, Lontar sudah digarap dengan komputer dan dengan lay out yang lebih rapi.

Media sastra Lontar ini menjadi barometer kesusastraan modern di Banyuwangi, di mana penyair-penyair baru bermunculan dan dialog-dilaog sastra serta pertunjukan digelar oleh redaksi Lontar atau BSC (Blambangan Sastra dan Teater Club). Di tahun 1983-1984, Fatah Yasin Noor tiba di Banyuwangi dari studinya di Djogja. Nirwan Dewanto mengirimkan sajak-sajak awalnya ke Lontar, dll. Dua nama baru itu karya-karyanya menjadi bahasan penting dalam tiap pertemuan. Tak kurang Hasnan dan Pomo membahas karya-karya mereka dalam tulisan maupun dalam setiap pertemuan. Generasi Lontar adalah generasi orisinil yang memcetak penyair-penyair Banyuwangi modern di tahun 1970 sampai tahun 1983. Dengan minimnya pendanaan dan di samping itu banyak pengurus BSC yang ke luar kota untuk mencari nafkah, Lontar berhenti terbit pada edisi 23 tahun 1983. Sejak itu tahun 1983, media sastra cetak di Banyuwangi tidak terbit. Kesusastraan kembali lebih marak dibacakan dan diulas secara lisan di radio-radio lokal di Banyuwangi.

Baru di tahun 1990-an, muncul kembali komunitas sastra yakni Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) Banyuwangi. Banyak di antara aggota komunitas adalah penyair-penyair generasi tahun 1990, atau para pemula. Namun, keberadaan Selasa tetap tidak lepas dari tangan dingin Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan. Nama Selasa diberikan oleh Pomo Martadi, dan komunitas ini kemudian menerbitkan media cetak sastra, yakni menerbitkan kembali Lontar dalam bentuk majalah. Edisi pertama, setelah mati sejak 1983, Lontar pada tahun 1998. Namun sayangnya, setelah edisi perdana di tahun 1998 itu, majalah ini tidak terbit lagi.

Lalu komunitas sastra yang dikelola Armaya yang beranggotakan tiga orang saja, yakni Iwan Aziez Siswanto S., Fatah Yasin Noor, Abdullah Fauzi, menerbitkan Buletin Menara Baiturrahman. Sebuah buletin Jum’at yang diterbitkan oleh Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi itu dikelola oleh tiga orang tersebut, dan secara langsung dibiayai oleh Armaya ditambah dengan dana yayasan. Hanya bertahan kira-kira setahun, buletin ini pun mati. Namun kembali terbit Buletin Jejak, mati lagi, kemudian terbit Buletin Baiturrahman hingga mati pada tahun 2004. Buletin-buletin masjid yang hanya empat halaman itu banyak memuat karya-karya sastra penyair Banyuwangi di tengah sangat keringnya pemuatan karya-karya sastra di media cetak di Banyuwangi. Sempat beberapa bulan lamanya, Radar Banyuwangi, koran yang diterbitkan Jawa Pos Group di Banyuwangi menyediakan secuil halamannya untuk puisi, karena kebetulan Samsudin Adlawi, penyair generasi terbaru Banyuwangi menjadi pimpinan redaksi Radar Banyuwangi.

Tahun 2000-an, Armaya mendirikan PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi). PSBB kemudian banyak menerbitkan karya-karya sastra modern di Banyuwangi dan puisi-puisi berdialek Using, esai-esai budaya, buku-buku sejarah, dan pengenalan kesenian Banyuwangi. PSBB tidak dikelola secara profesional, sehingga pendanaan bersumber langsung dari saku pribadi Armaya dan beberapa donatur saja. Lalu di tahun 2002, berdirilah DKB-R (Dewan Kesenian Blambangan Reformasi) yang diketuai oleh Fatah Yasin Noor. DKB-R ini kemudian menerbitkan Majalah Budaya Jejak yang terbit secara rutin hingga akhir tahun 2006. Di dalam majalah Jejak banyak termuat karya-karya penyair Banyuwangi, cerpen, esai sastra.

Pada akhir tahun 2006, Majalah Budaya Jejak berhenti terbit. Hal ini karena tim redaksi sudah mengalami perpecahan dikarenakan kesibukan mencari nafkah keluarga. Hingga kini, Armaya merasa kehilangan anak-anak didiknya dalam dunia sastra, sehingga dengan usianya yang sudah kepala delapan, beliau kebingungan orang untuk menerbitkan secara tehnis majalah sastra dan budaya yang ada dalam kehendak hatinya.

Dan di tahun 2008 ini, di Banyuwangi samasekali tidak ada media sastra, baik cetak maupun elektronik, tidak terbit lagi majalah/media dan buku-buku sastra di Banyuwangi, tidak ada radio yang ngomong sastra di Banyuwangi. Ini merupakan sebuah kemunduran yang aktual dari tahun-tahun lalu yang begitu subur dan menggebu menggairah. Sebentuk kemundulan yang aktual mengingat para penyair atau sastrawan di Banyuwangi terbilang tidak sedikit untuk ukuran sebuah daerah kabupaten, yakni kabupaten paling ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Semoga kekeringan ini segera berakhir.

Banyuwangi, 2010

Esai ini disampaikan pada acara bedah buku puisi “Rajegwesi”, karya Fatah Yasin Noor, diselenggarakan oleh Komunitas Lembah Pring pada acara Geladak Sastra # 8, minggu, 26 September 2010 di Sanggrah Akar Mojo Ds. Sajen Pacet, Mojokerto.

Kamis, 08 Desember 2011

Pulang Haji *

Amien Wangsitalaja
http://amien-wangsitalaja.blogspot.com/

Haji Norham akhir-akhir ini merasa, sepertinya makin banyak saja orang melakukan kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek sosial dan atau keagamaan. Dari anak-anak muda sampai orang-orang tua, dari panitia-panitia kecil sampai panitia-panitia besar. Haji Norham merasakan hal ini sepulangnya dari ibadah hajinya setahun lalu. Dan ia merasakannya bukan karena setelah pulang haji itu ia menjadi interes dengan kegiatan atau acara berbau sosial dan atau keagaaman itu. Sama sekali bukan, karena ia hampir tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu. Ia tak kan punya waktu untuk hal-hal di luar kesibukan kantor yang cukup menguras pikiran dan energi.

Haji Norham merasakannya jika pada malam hari menjelang tidur istrinya melaporkan kondisi keuangan harian keluarga. Di samping untuk kebutuhan subsistensi harian, uang jajan anak, uang arisan, biasanya istrinya juga menyebutkan pengeluaran-pengeluaran yang tak terduga atau tak direncanakan. Paling sering dari pengeluaran tak terencana ini adalah sumbangan dana untuk acara-acara sosial dan atau keagamaan.

“Siang tadi datang beberapa mahasiswa dari Kerohanian Islam FKIP Bahasa Indonesia. Mereka akan mengadakan bakti sosial dalam rangka merayakan Idul Qurban di sebuah desa transmigran di Kutai Kartanegara Seberang. Mereka butuh dana dan pakaian-pakaian bekas. Ini proposal kegiatan mereka.”

“Berapa kau kasihkan, Ma?”
“Seratus ribu….”
“Seratus ribu?!”
“Juga enam belas helai pakaian bekas kita.”

“Kenapa seratus ribu? Apa kau sudah merasa cukup kaya raya dengan gajiku yang hanya dua setengah juta sebulan itu? Jika setiap orang datang minta sumbangan kau kasih sekian dan perbulan kita menerima lebih dari sepuluh proposal kegiatan, bagaimana kita akan memenuhi kebutuhan keluarga kita sendiri?”

“Saya merasa tidak enak untuk memberi sedikit. Mereka tahu Ayah adalah seorang haji lagi seorang yang memiliki jabatan kepala bagian di sebuah kantor ternama di Samarinda ini.”

“Apakah seorang haji atau seorang yang memiliki jabatan penting di sebuah kantor harus berarti orang yang kaya dan tidak pernah memunyai problem keuangan?”

“Tapi…, mahasiswa-mahasiswa itu bilang bahwa yang memberitahu dan menyuruh mereka untuk datang ke sini adalah Julak Puji, dan kulihat di proposal mereka memang terdapat nama Pujiharto, S.S., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing. Bukankah Julak Puji itu teman Ayah sewaktu jadi mahasiswa di Jawa dulu? Apakah Ayah tak sungkan pada Julak jika kita hanya memberi sedikit apalagi menolak proposal mereka?”

Haji Norham tiba-tiba menjadi sangat terbebani dengan gelar haji yang sedang disandangnya, ketika sebuah gelar selalu berhubungan dengan persoalan gengsi dan citra. Ia sendiri sebetulnya tidak memiliki kebiasaan untuk menuliskan inisial “H” di depan namanya ketika ia menuliskan namanya untuk keperluan apa pun. Tapi, orang lain melakukan demikian terhadapnya. Ini tampak dari, misalnya, undangan rapat kantor atau pertemuan wali murid dari sekolah anaknya. Mereka menulis di kertas undangan itu Kepada Yth. Bpk. H. Norham Wahab, S.S.

Dan orang-orang memang terlanjur mengenalnya sebagai seorang haji. Maka, sepintar apa pun ia menyembunyikan inisial “H” itu orang-orang akan tetap memperlakukannya sebagai seorang haji. Dan yang paling memuakkan dari perlakuan orang-orang itu terhadap seorang haji adalah sikap mereka yang muncul dari citra yang tertanam secara umum bahwa seorang haji pastilah kaya dan suka berderma. Kaya, karena orang tahu bahwa tidak setiap orang mampu untuk melakukan ibadah ini oleh sebab biayanya yang teramat tinggi. Suka berderma, karena seseorang yang terpanggil untuk ibadah haji dianggap pastilah seseorang yang memperhatikan agamanya, sedang berderma adalah sebagian dari moralitas yang direkomendasikan oleh agama.

Karena itu, jika di langgar RT atau masjid RW diadakan acara peringatan Maulid Nabi atau ketika lantai langgar/masjid akan diganti dari ulin menjadi semen dan dari semen menjadi keramik, misalnya, orang-orang akan memosisikan Haji Norham sebagai penyandang dana dengan nominal yang lebih tinggi dari warga umumnya. Itu karena ia seorang haji. Bahkan, perlakuan semacam ini kemudian juga berlaku untuk bukan saja hal-hal yang berhubungan secara langsung dengan persoalan keagamaan. Untuk kegiatan-kegiatan kerja bakti RT, pembikinan gapura gang, acara agustusan, dan sebagainya, orang-orang pastilah membawa proposalnya pertama kali ke rumah Haji Norham.

Biasanya yang menemui mereka adalah istrinya karena ia sendiri berada di kantor siang hari. Dan istrinya, sebagai seorang perempuan, pastilah sensitif dalam persoalan gengsi dan citra diri. Istrinya pasti tidak akan menolak proposal apa pun dan jika memberi pastilah dalam angka yang dianggapnya pantas sebagai sumbangan dana dari keluarga seorang haji.

Sering Haji Norham berpikir mungkin lebih baik ia mengumumkan kepada orang-orang itu bahwa dirinya tidaklah kaya-kaya amat. Ia sendiri merasa bahwa dirinya bahkan belum termasuk jajaran orang yang agak kaya pun. Ia memunyai rumah, tapi itu dibelinya dengan bantuan mertua dan orang tuanya di Jawa. Meski ia memang mampu mempercantik rumah itu, ia tidak merasa yakin mampu membeli rumah itu sendiri. Ia pun memakai mobil, tapi bukankah itu mobil kantor?

Kemudian soal haji? Ia memang tidak sempat berterus terang kepada orang-orang, entah karena gengsi atau apa, bahwa ia tidak berhaji atas biaya sendiri. Secara kebetulan dan di luar kebiasaan, Kepala Kantor tempatnya bekerja memiliki inisiatif untuk mengadakan pemilihan pegawai teladan. Ia pun terpilih karena etosnya dalam bekerja memang tidak diragukan. Dan bukan main hadiahnya: dihajikan oleh kantor. Begitulah, tahun lalu ia naik haji.

Haji Norham merasa bahwa orang-orang itu tidak mau tahu bahwa ia bisa naik haji bukan karena ia kaya. Sebagai orang yang tidaklah kaya, ia bahkan tidak pernah sempat memiliki pikiran untuk suatu saat bisa naik haji karena ia merasa jalan ke sana teramat jauh jika melihat kondisi keuangannya. Ia cukup rasional dalam sikapnya. Memang, konon ada beberapa cerita yang kurang rasional mengenai hasrat berhaji. Inti cerita itu rata-rata mengungkapkan perihal orang-orang yang secara nalar tidak mungkin bisa naik haji, tapi oleh kuatnya doa dan hasrat orang tersebut akhirnya bisa melaksanakan haji dengan jalan yang tak terduga.

Misalnya, konon ada seorang pembantu yang bekerja pada seorang juragan dari sebuah kerajinan perak di Kotagede Yogyakarta, sebuah kota di Jawa tempat Haji Norham dahulu menyelesaikan kuliah S1-nya. Kisah tentang pembantu itu sendiri didapat Haji Norham dari seorang sastrawan Yogyakarta yang teramat relijius bernama Mustofa W Hasyim, teman Haji Norham juga.

Seorang pembantu janganlah dibayangkan memiliki cukup uang, bahkan untuk kebutuhan harian pun. Karena itu, janganlah dinalarkan suatu saat ia bisa naik haji. Tapi, si pembantu itu memiliki doa dan hasrat yang hebat untuk ke sana. Tiap kali ia disuruh membeli rokok oleh juragannya, ia selalu memungut sebutir kerikil dari jalan yang dilaluinya dari antara rumah majikannya dengan warung rokok. Malam harinya kerikil itu dibawanya pulang dan dikumpulkannya di dalam sebuah karung beras. Anak lelakinya yang sempat mengenyam SMA meski tidak tamat terheran-heran dengan kebiasaan bapaknya mengumpulkan kerikil tersebut.

“Untuk apa sih, Pak, kerikil-kerikil itu?”
“Ini bapakmu kumpulkan setiap kali bapakmu bekerja mengabdi pada majikan yang memberi kita makan. Kerikil-kerikil ini menjadi saksi atas ibadah dan mu’amalah bapakmu ini. Kelak, kerikil-kerikil ini akan menjelma menjadi batangan-batangan emas yang akan bapakmu gunakan untuk membiayai haji.”

“Ha ha ha….”
“Kenapa? Kamu tidak memercayainya?”
“Aduuh, Bapak, Bapak…. Bapak sedang mimpi atau mengejek Tuhan, Pak?

Bagaimana kerikil berubah menjadi emas?”
“Kamu pasti tidak akan memercayainya. Tapi, jangan ejek bapakmu karena itu berarti mengejek Tuhanmu.”

Akhirnya, setelah sekian lama menjadi pembantu, karung beras tersebut penuhlah oleh kerikil. Entah berapa ratus ribu biji kerikil yang berarti berapa ratus ribu kali pula si pembantu itu berjalan dari rumah majikan ke warung rokok demi memenuhi tugasnya dan demi beribadah mencari nafkah dan berapa ratus ribu butir keringat pula menetes dari tubuhnya.

Namun, kerikil-kerikil itu tak kunjung jua menjelma menjadi kepingan-kepingan emas. Malam itu anak lelaki satu-satunya kembali sinis kepadanya,
“Gimana, Pak? Kapan Bapak akan menjual emas-emas Bapak untuk membayar ONH?”

Si pembantu itu tampak termenung seolah putus asa dengan kehidupannya. Ia merasa sedang bercanda dengan nasib. Bagaimana mungkin seorang pembantu berharap bisa naik haji? Tidakkah ia berkaca diri? Tidak sadarkah bahwa dirinya hanyalah seorang pembantu?

Esok paginya si pembantu itu mencoba melupakan kepiluan hatinya atas ejekan dari anak lelakinya semalam. Ia kembali menyiapkan diri untuk bekerja, berangkat ke rumah majikannya.

Hari itu, seperti biasanya majikan menyuruhnya membeli rokok. Ia pun berangkat ke warung rokok seperti biasanya melalui jalan seperti biasanya. Namun, tidak seperti biasanya ia lupa memungut sebuah kerikil untuk dibawa pulang malam harinya dan disimpan untuk siapa tahu nantinya menjelma menjadi batangan emas.

Sesampai di rumah majikannya ia segera menyerahkan rokok kepada majikannya.
“Pak Toto, duduklah dulu.”

Toto Sugih, itulah namanya, dan ia berusia lebih tua dari majikannya sehingga majikan yang berusia lebih muda darinya itu selalu memanggilnya dengan “pak” di depan namanya.

“Ya, Tuan.”
“Pak Toto tahu mengenai kondisi kesehatan Nyonya, bukan?”
“Ya, Tuan. Ada apa gerangan?”

“Begini, kami sudah lama berencana untuk bersama-sama naik haji. Setelah bertahun-tahun menyisihkan laba, kami merasa tahun ini keuangan kami telah mencukupi untuk membiayai keberangkatan kami berdua. Tapi, sebagaimana Pak Toto ketahui, diabetes Nyonya semakin parah saja dan tidak memungkinkannya untuk pergi haji. Kami semalam mengobrol dan Nyonya memutuskan merelakan diri untuk tidak berangkat haji. Bukan hanya itu, sebagai rasa terima kasih dan penghormatan kami atas kesetiaan Pak Toto bekerja di rumah kami, Nyonya telah memutuskan untuk menshadaqahkan uang hajinya kepada Pak Toto. Karena itu, Pak Toto bersiaplah tahun ini naik haji bersama saya.”

“Ya, Allah! Ma syaallah! Subhanallah!”
Tak kuasa pembantu itu menahan tangis. Ia tidak percaya dengan datangnya rizqi yang tiada pernah diduganya dan ia menyesal telah sempat berputus asa terhadap rahmat Tuhan.

Kemudian, tahun itu pula naik hajilah si pembantu itu, tentu saja tidak dengan menjual kerikil-kerikil yang terkumpul di karung beras yang memang tidak akan pernah menjelma menjadi batangan emas itu.

Jika mengingat cerita semacam itu terkadang Haji Norham merasakan kemiripannya dengan apa yang dialaminya. Tapi, ia selalu menganggap kepergian hajinya bukanlah sebuah keajaiban. Hal yang rasional baginya jika kantor tempatnya bekerja menghajikannya karena pertimbangannya juga rasional, karena ia memang cukup memiliki dedikasi dan etos kerja yang tinggi.

Tapi, ia pun juga sangat berbahagia dengan kesempatan berhaji itu. Hanya, efek samping dari konsekuensi gelar hajinya itulah yang kini merisaukannya. Perlakuan orang-orang itulah yang membuatnya risih meski istrinya selalu mencoba menetralkan perasaannya.

“Sudahlah, Yah. Bukankah bershadaqah itu besar pahalanya? Insyaallah Tuhan akan membalas dengan rizqi yang lebih besar.”

Selalu saja istrinya berbicara mengenai pahala. Bukan berarti Haji Norham tidak percaya adanya pahala, tapi ia tidak ingin bersikap munafik bahwa selama ini mereka bershadaqah tidak seratus persen oleh keikhlasan. Mereka bershadaqah oleh adanya sedikit keterpaksaan dan keharusan. Orang-orang yang datang membawa proposal dan list donatur terkadang mirip para perampok baginya yang tidak memberi kesempatan lain selain bahwa ia harus memberi sejumlah uang pantas kepada mereka.

Tiba-tiba Haji Norham menjadi tidak nyaman dengan malam-malamnya karena malam-malam itu harus dilaluinya dengan mendengarkan laporan pengeluaran keuangan harian dari istrinya dan teramat sering di laporan itu disebutkan perihal shadaqah untuk proposal kegiatan atau pembangunan sarana dan prasarana kegiatan sosial dan atau keagamaan.

Uang, itulah pangkal persoalannya. Orang butuh uang untuk sebuah kegiatan yang meriah. Orang butuh uang untuk pembangunan sarana dan prasarana kegiatan yang megah. Orang malu masjid atau langgarnya tidak berkeramik, orang malu gapura gang RT tidak cantik. Orang mengejar penampakan dan bukan substansi. Jika memperingati Maulid Nabi, bukan bagaimana bisa mengambil ibrah dari kehidupan Nabi yang ditekankan, tapi semata meriahnya acara.

Orang tidak lebih memikirkan bagaimana memakmurkan masjid, memfungsikan masjid secara esensial sebagai sarana ibadah dan dakwah; tapi orang lebih memikirkan bagaimana merias masjid dan memewahkan struktur bangunan fisiknya. Masjid harus megah, bertingkat, bahkan jika perlu terbesar dengan tiang pancang menara terdalam se-ASEAN.

Haji Norham menjadi teringat masa kecilnya di sebuah dusun kecil di pinggiran Kabupaten Pacitan, sebuah kabupaten bertanah tandus di Jawa. Masjid dusunnya sederhana tapi mengabarkan adanya ruh di sana. Jika datang hari-hari peringatan keagamaan, orang cukup berkumpul, berdoa, dan saling nasihat-menasihati.

Haji Norham memang bukan penduduk asli di RT tempatnya tinggal sekeluarga sekarang ini. Sekitar limabelas tahun lalu, setelah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta, Haji Norham tidak pulang ke dusun tempat kelahirannya, Pacitan yang gersang, tapi lebih memilih—bersama beberapa temannya—mengadu nasib merantau ke Samarinda. Nasib baik menyertainya, ia diterima menjadi PNS di instansi penting di kota tersebut. Nasib yang lebih baik lagi, lima tahun kemudian ia menemukan tambatan hatinya dan menikah dengan seorang gadis asli Samarinda sehingga kian mantaplah Haji Norham menjadi urang Samarinda.

Haji Norham tiba-tiba merindukan masjid dusun asalnya sebelum merantau itu. Ia merindukan keberagamaan yang sederhana, yang tidak harus menjajakan proposal penggalangan dana. Mungkin tidak ada salahnya jika ia mengambil cuti barang seminggu untuk pulang ke Jawa di lebaran Haji tahun ini. Barangkali lebih lima tahun ia lupa pulang ke desanya di Jawa. Ia ingin mengenang masjid dusunnya.

Jadilah ia sendirian pulang ke Jawa. Anak-anak tidak bisa ikut karena sekolah tidak libur panjang selain juga biaya tiket pesawat sangat mahal sedangkan kalau memakai kapal laut akan sangat memakan waktu perjalanan. Istrinya pun juga tak ikut karena harus menemani anak-anak.

Haji Norham melakukan shalat Ied di masjid dusunnya di Jawa. Masjid itu mulai menampakkan perubahan. Wajarlah kiranya, rentang waktu lebih dari lima tahun menjadikan masjid dusunnya mulai diperbaiki dan diperluas. Rupanya demam pembangunan sudah menjangkau ke desa-desa dan pelosok-pelosok dusun.

Pada hari ketiga kepulangannya, Kadus (Kepala Dusun) dan Ketua RT bersilaturahim ke rumah bapaknya. Haji Norham ikut menemui mereka. Mereka pun berakrab-akrablah melepas rindu. Haji Norham memuji perkembangan yang terjadi di dusun dan tentu saja para tamu itu merespon secara antusias.

“Kita memang sangat berterima kasih dengan anak-anak kita yang menjadi perantau, merekalah tumpuan kita untuk perbaikan dusun ini. Lebaran Fitri kemarin, paguyuban warga kita yang merantau ke Jakarta kembali menyumbang untuk pembangunan dusun dan masjid kita. Alhamdulillah jumlahnya cukup besar, Pak Haji, lima juta rupiah.”

Kadus dan Ketua RT timpal-menimpali menceritakan pembangunan dusun dan uluran dana para perantau.

“Memang baru para perantau di Jakartalah yang tampak memiliki perhatian pada dusun asal mereka. Padahal kita juga mengharapkan anak-anak kita yang merantau ke tempat lain berbuat demikian. Pembangunan dusun kita masih memerlukan uluran dana yang lebih besar lagi. Kita belum punya gapura dusun yang permanen, jalan-jalan di dalam dusun belum diaspal, masjid belum memiliki serambi dan taman….”

“Secara kebetulan sekali lebaran Haji ini Pak Haji Norham pulang dusun. Karena itulah, kami atas nama sesepuh dusun mewakili para warga juga berharap sekiranya Pak Haji bersedia mengumpulkan para anak-anak kita yang merantau ke Kalimantan dan membikin paguyuban di sana. Tidak lupa setelah paguyuban berdiri, pikirkanlah kami yang terlantar di dusun ini.”

“Atau, barangkali Pak Haji sendiri saat ini juga akan memelopori, atas nama perantau di Kalimantan, mendermakan sedikit dari harta Pak Haji untuk pembangunan dusun kita ini? Itu kami pikir sangat mulia dan kami sangat berterima kasih atas nama warga. Tentu, sebagai seorang haji, Bapak tidak rela jika masjid dusun kita kalah megah dengan masjid dusun sebelah.”

“Anak-anak remaja masjid juga mulai bersemangat mengadakan berbagai kegiatan semacam peringatan hari-hari keagamaan, Pak Haji, sehingga masjid kita menjadi tidak sepi.”

Berapi-api kedua-duanya mencecarkan kata-kata ke telinga Haji Norham. Haji Norham tak kuasa menimpali mereka. Ia bingung dan hanya mampu menjawab dengan mengumbar senyum. Diam-diam Haji Norham membatin,

“Seandainya istrikulah yang menemui kedua sesepuh desa ini….”
***

*) Pernah dimuat di Jawa Pos

FENOMENA KAMAR MENCARI MIMBAR

Mukadimah Antologi Puisi KATARSIS
Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Berawal dari sebuah wacana, yang melebur ke dalam rencana, dan kini terlaksana dengan sederhana. Seperti itulah kira-kira gambaran lahirnya buku Antologi Puisi yang lalu saya juduli KATARSIS ini. Ya, buku berisi 150 anak kandung yang terlahir kerdil dan kecil dari rahim pena saya. Yang oleh beberapa orang menyebutnya karya sastra, meski saya sendiri tidak begitu yakin dengan sebutan tersebut.

“Mengintip” Latar Sastra Pesantren

Aguk Irawan MN
http://langitan.net/

Tempo hari, saya menerima posting email dari Gus Acep (Acep Zamzam Noor) dan Kang Bunis (Sarabunis Mubarok) perihal acara “Silaturahmi Sastrawan Santri” yang diselanggarakan komunitas Azan dan Desantara di Tasikmalaya. Kendati saya bukanlah sastrawan-santri yang betulan, namun jujur, ketika membaca larik barisan sejumlah santri-sastrawan yang akan berkumpul pada tanggal itu, sambil membayangkan berjalannya acara, tiba-tiba saja ada sesuatu yang tertangkap oleh benak saya, sebuah kesan, yang cukup menggetarkan. Antara sedu, bahagia dan haru.

Betapa tidak?. Mendengar kabar ini, mungkin bagi siapapun pecinta sastra yang kebetulan lahir dari latar Pendidikan Pesantren akan menemukan perasaan sama, seperti yang saya alami. Kenapa? Paling tidak, menurut hemat saya dalam gejala kebudayaan dewasa ini yang sangat getir dengan berjubelnya penulis sastra seks perempuan yang melimpah, dan penulis fiksi islami yang hanya ‘kemasan’, mungkin kehadiran acara tersebut akan berusaha menjadi penyeimbang gejala yang kurang sedap ini. Selain kegiatan itu diharapkan bisa menawarkan interaksi pemikiran sekitar pemaknaan korelasi antara sastra religiusitas dan pluralisme budaya, yang saat ini sudah hampir menemui ajalnya, terkubur dalam perosok budaya yang busuk, dalam representasi perubahan yang terjadi di masyarakat saat ini, karena terpaan arus globalisasi.

Dan yang paling penting, mungkin acara tersebut sebagai salah satu usaha untuk melestarikan kekayaan dunia sastra Pesantren yang sudah lama membeku, dan sangat memerlukan penyegaran kembali. Dengan jalan ‘membuka diri’ dengan realitas di luar lingkungan Pesantren, sehingga mengarah pada kondisi bahwa eksistensi sastra Pesantren tidak sekadar untuk mendukung proses belajar-mengajar di lingkungan Pesantren, tetapi demi kebudayaan dalam arti yang cukup luas.

Sastra dalam Tradisi Pesantren dan Islam

Barangkali ada suatu pertanyaan yang ‘mengganjal’ dan perlu kita jawab bersama; kenapa sastrawan-santri yang lahir di Pesantren, hampir semuanya, bisa dipastikan, bukan berdiri dari hasil proses belajar mengajar di Pesantren, melainkan karena motif sastra, yang dikenalinya di luar dunia Pesantren? Padahal, bukankah Pesantren cukup mengajarkan apresiasi terhadap sastra, selain memang sudah menjadi tradisi para kiyai. Sejak dahulu, tradisi ilmu sastra di Pesantren diajarkan, untuk menyebut nama seperti kitab Siraj At-Talibin-nya Kyai Ihsan- Kediri, atau kitab Al-Miftah, Aroudl, Balagah, Ma’ani juga beberapa lainnya tersebut seperti bandongan, sorogan, dan wetonan, dan lain sebagainya. Bukankah ini sebagai bukti bahwa santri dan sastra cukup akrab bersahabat, tidak saja sekedar untuk memahami isi dan menangkap pesan di dalam kitabnya, melainkan untuk memproduksi sastra itu sendiri.

Mbah Hasyim Asy’ari mempunyai diwan dalam bahasa arab yang berhasil beritijalan (improvisasi) “Diwanu Asy’ari”. Mbah Hamid Pasuruan yang terkenal wali, juga seorang sastrawan yang aktif dengan menulis bahasa jawa-arab. Hadaratus Syaikh Imam Syafii “Dewan Asyafi’i” yang menceritakan banyak kisah petualangnya. Di kalangan ulama, selain Imam Syafi’i yang identik dengan ilmu fikih (hukum Islam), salah seorang Imam dari empat mazhab fikih, bersama Maliki, Hanafi, Hambali. Dari tangan Ibnu Hazm, ulama fiqh asal Spanyol, penulis buku fikih termashur Al Muhalla, tercipta puisi cinta yang luar biasa indah Tauqul Hamamah (Kalung Burung Merpati). Para penyair Islam non-ulama (fikih) antara lain Muizzi, Abu A’la Alma’ari, Hathim At Thai, Abu Nuwas Al Hani, Abu Faraj al Asfahani, hingga Syauqi Bey. Dari kalamgan sufi, orang tak akan melupakan Jalaludin Rumi, Hafiz, Attar, Al Hallaj, Rabiah al Adawiyah, Abu Yazid al Bustami, dan masa-masa subur para penyair sufi Islam pada abad ke 10-14.

Dalam tradisi Islam, khususnya pada masa perjuangan Nabi, sastrawan dan karyanya memiliki peran yang cukup penting. Saat perang Khandaq, Nabi Muhammad juga menyenandungkan berpuisi. Bahkan Nabi memberikan penghargaan kepada Ka’ab bin Zuhair yang membacakan puisi di depan Banat Su’ad. Tradisi berpuisi juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali. Lalu, tradisi ini berkembang sampai ke tangan kiyai dan Pesantren. Mungkin karena pentingnya sastra, sehingga dalam Alquran ada satu surat yang diberi nama Assyuara’ (Para Penyair).

Sastra Pesantren, Kemana Kini?

Namun, belakangan muncul stigma bahwa munculnya sastrawan-santri yang mumpuni, bukan akibat lurus dari wacana kesastraan di Pesantren, bukankah ini kondisi yang paradoks. Dan tentu kondisi demikian menyebabkan sastra di pesantren kurang berkembang, karena tidak mengarah pada apresiasi dan penciptaan seni bagi para santri itu, juga menyebabkan ‘kesulitan’ tersendiri bagi apresian di luar Pesantren untuk ikut ‘berkutat’ Ketika misalnya, kita menyebutkan nama-nama sastrawan yang berlatar pendidikan Pesantren seperti, Emha Ainun Najib, Jamaluddin Kafie, Hamid Jabbar, Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yosie Herfanda, Abdul Hadi WM, Fudholi Zaini, Danarto, D Zawawi Imron, Kuntowijoyo, Ibrahim Sattah, Jamal D. Rahman, Mathori A Elwa, Ahmad Nurullah, Zainal Arifin Thoha, Syubbanuddin Alwy, Isbedy Stiawan ZS, Abidah El-Khalieqy, Hamdy Salad, dan tentu saja KH Mustofa Bisri, serta sederet nama-nama lain yang dalam banyak hal kita sepakati sebagai pengusung sastra bernafaskan spiritual, apakah benar mereka berproses kreatif, lahir dari hingar-bingar pendidikan Pesantren? Ternyata tidak. Mereka mampu berkembang pesat setelah mereka berinteraksi langsung dengan alam semesta, hiruk pikuk masyarakat, dan berbagai ketimpang-tindihan sosial. Prahara-prahara kehidupan yang realistis itulah yang mampu memberikan ide-ide kreatif dalam kepenulisan. Hal ini sulit ditemukan dalam lingkaran pesantren yang cenderung ‘adem-ayem’ dengan berbagai gejolak sosial.

Sementara fenomena lain menghentak khazanah sastra Nusantara, dan mengejutkan, fiksi Islami remaja, akhir-akhir ini, tidak dipelopori mereka yang secara formal berpendidikan Pesantren dan notabene “santri” tetapi pelopornya adalah remaja kota yang mengenyam pendidikan formal. Dan mereka ini, dalam jagad sastra dan tulis-menulis, telah mulai meninggalkan santri, jauh melesat sekali. Dan tentu saja fenomena ini telah membuat tak sedikit dari sekian juta masyarakat pesantren merasa “cemburu”.

Bagaimana bisa segelintir penulis remaja Muslim (yang kebetulan berdiam di wilayah) perkotaan itu telah mampu menebar hegemoni yang cukup kuat bagi tumbuh mekarnya sastra religius (Islam) di tengah horison buram kesusasteraan kita. Sehingga kita sah mengajukan sebuah soal; kemana sastra Pesantren kita? Bukankah, yang Pesantren seharusnya lebih ‘matang’ memahami seluk beluk Islam, ketimbang yang bukan? Bahkan seandainnya kita hubungkan dengan strategi kultural dalam berdakwah, bukankah santri lebih bisa dapat memanfaatkan karya sastra yang bernuansa spiritual dari pada mereka yang bukan?. Yaitu karya yang memancarkan kesadaran spiritual yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekarang ini yang cenderung terbius oleh nilai-nilai duniawi, kasat mata. Sehingga gerakan kultural dalam konteks ini dapat dijadikan sebagai upaya untuk mengimbangi gencarnya kampanye di berbagai lini media dan kehidupan yang mendewakan kehidupan duniawi itu. Dan hingga sekarangpun, rasanya Pesantren belum sepenuhnya dimanfaatkan dan memanfaatkan diri sebagai oase kesusasteraan yang mampu menebarkan rasa sejuk di tengah kegersangan dinamika sastra, khususnya– yang orang menamakan sastra Islami di Tanah Air, dengan ciri penyebutan beberapa metafor yang merujuk pada kekhasan Islam.

Barangkali dalam konteks demikian, serbuan pertanyaan yang bernada kegalauan seperti ini mampu dijawab oleh peserta “Silaturahmi Sastrawan Santri”. Selain memang, harus sebagai gugusan cahaya yang berusaha untuk senantiasa melesat menuju perubahan kebudayaan? Mengembalikan pesantren tidak hanya dalam disiplin wacana keagamaan, tetapi sebagai fasilitator proses kreatif sastra dan habitat budaya.

*) Pernah nyantri di Pesantren Langitan Tuban, dan belajar di al-Azhar Kairo, Mesir.http://langitan.net/?p=701

? (Aku tidak Tahu)

Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/

Ada satu pertanyaan yang tak pernah terjawab, mungkin takkan terjawab. Dunia ini apa?

Itulah, satu hal yang menjamin ketekunan beribu filsuf. Segala produktivitas pengetahuan, berjuta tulisan, beribu uji laboratorium dan perenungan yang tak berhingga telah tersulut oleh hanya pertanyaan itu. Tak urung karenanya, bapakku yang hanya merawat ayam di kandang, pernah sekali waktu hadir dalam wacana kuasa semesta. Barangkali semua manusia, pernah pula merasakan momen spesial sebagai filsuf yang sejati.

Sulit memulainya, meskipun Plato pernah menjawab, “Dunia ini mengagumkan.” Hanya itu. Malahan Kant mengarifi bahwa, “Aku tidak mampu menjawabnya.” Bodhi Satwa mengajarkan dengan senyuman beserta isyarat telunjuk yang diacungkan di bibir, “Sst..” Aku pula pernah kaget setengah mati tatkala bapak menjawabnya dengan berteriak membentak, “Ku tempeleng kalau kau menanyakan itu lagi!” Ujarnya demikian.

Apa itu dunia? Profesor Armahedi Mahzar dalam bukunya yang membuat kerutan di antara dua alis mata, “Revolusi Integralisme Islam” (2004), dalam arus pikir holisme berpendapat, “Itulah Yang Maha Kuasa.” Lalu siapa Dia? Terjawab, “(…..).” Dalam bahasa yang dituliskan, tidak ada apapun. Dengan perasaan yang cemas, lalu menunjuk kepada Nagarjuna. Sang guru menuliskan dalam Mulamadyamakakarika dan menyebut Sunyata atau kosong. Kosong adalah bukan apapun, bahkan pikiran sekalipun (MK XXIV: 11).

Hal yang sama pula diungkapkan oleh filsuf Yunani kuno, Gorgias. Dengan ketajaman alam pikirnya, Ia menyebut dengan tegas bahwa, “Tidak ada sesuatunya, jikalau kebenaran itu pun ada, maka bukanlah pengetahuan dan seandainya benar ada kau tak semestinya berbicara, diamlah.” Friedrich Nietzsche mengamini semua itu. Takut-takut kiranya dibicarakan, akan disalahgunakan. Karena lazimnya memang menarik untuk mengunduh keuntungan hasrat.

Apakah agama memiliki petunjuk? Mungkin buku-buku ajaib yang ditulis di langit, lalu sengaja dibiarkan terbaca di bumi ini, bisa memberi jalan keluar, asal dapat memecahkan teka-tekinya. Tapi bertanya tentang dunia atau semesta, kiranya penting untuk mendengarkan pendapat dari ilmuan, karena mereka memiliki sudut pandang yang spesifik. Doktor di bidang fisika Universitas Hirosima, Jepang, Agus Purwanto dalam buku Ayat-Ayat Semesta (2007) menjelaskan bahwa, memang ada keterangan-keterangan dalam huruf-huruf Arab itu (al-Quran) yang mengisyaratkan tentang hukum-hukum semesta. Salah satunya bahwa, keterangan itu tidak dapat diketahui secara hakiki, karena semesta tidak akan selesai dipahami.

Nampaknya, akal biasa memang selalu tidak melegakan. Mungkin hati atau olah rasa bisa memberi sedikit nasehat tentang dunia. Salah satu alternatifnya, kita bertanya kepada guru mistik seperti misalnya Raden Ngabehi Ronggowarsito. Menurut bisikan gaib yang menjelaskan, dunia sejatinya adalah kekosongan. Dalam kitab Serat Hidayat Jati tertulis bahwa, Sajatine ora ana apa-apa/ awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji/ kang ana dingin iku ingsun (sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena pada waktu dalam keadaan kosong, belum ada sesuatu, yang ada adalah aku). (Ronggowarsito: 5).

Bisakah suatu hal yang dijelaskan dengan kekuatan akal yang sedikit dan dengan relung hati yang sejumput pula? Entahlah, yang jelas betapapun manusia berputus asa, Ia tak akan berhenti bertanya, hingga berhenti dengan sendirinya.

Namun pada Rabu 5 Oktober 2011, ada berita mengejutkan di harian Jawa Pos pada kolom internasional. Di Stockholm, penghargaan bergengsi Nobel Fisika 2011 jatuh ke tangan para ilmuan. Saul Perlmutter, Adam riess dan Brian P. Schmidt yang bertahun-tahun meneliti bunga api angkasa (supernova), telah menemukan sesuatu. Apakah itu yang disebut dunia? Bukan, tapi paling tidak temuannya melengkapi pengetahuan sebelumnya.

Setelah bergumul dengan ilmu sekian lama dan beruban putih, para astronom itu menyimpulkan bahwa semesta bergerak dengan kecepatan yang tetap, bukan berkurang, malahan elemen-elemen penyusunnya seperti bintang-bintang selalu menambah kecepatannya. “Kesimpulan tersebut memberikan fakta baru dalam ilmu tentang semesta. Yakni bahwa sebuah tempat dengan temperatur yang sangat rendah dan langit berwarna hitam sama sekali tak terpengaruh kilatan galaksi yang bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dengan kecepatan supertinggi… Menurut mereka, pergerakan alam semesta tercipta akibat dark energy. Yakni, kekuatan kosmik yang sampai sekarang masih menjadi misteri terbesar dari semesta” (JP: 11).

Kekuatan hitam? Ya kekuatan hitam. Hitam itu disebut sebagai warna, padahal bukanlah warna. Tapi kekosongan. Tidak ada apapun, bukan sesuatupun tapi punya kekuatan. Menurut Fritjof Capra, itulah kekuatan yang mengendalian semua hal, bahkan daun renta yang jatuh dari pohon, terikat kekuatan itu. Frithjof Schuon tanpa beban menyebut bahwa kekuatan itu telah diramalkan oleh semua agama. Gary Zukav, Ilya Prigogine, dan Ken Wilber, serempak mengamini bahwa hitam adalah hal yang mengagumkan, canggih, namun dekat sekali dengan hidup kita. Dalam bahasa agama, kekuatan itu lebih dekat dari urat leher kita, tidak ada jalan keluar.

Bagaimana menjawab pertanyaan yang belum terjawab ini, mungkin tak akan pernah terjawab? Mungkin ini bukan kesimpulan, bahwa kosong yang penuh, utuh adalah hitam. Kosong yang bukan apapun bukanlah kering, tapi bermakna, abadi. Dengan bertanya tentang dunia, kita akan selalu bertanya tentang Yang Maha Kuasa, sekaligus tentang siapa diri kita sendiri. Mungkin kita bisa merenungkan permakluman oleh Fyodor Dostoevsky (2008), seorang sastrawan Russia. “Manusia, hingga setua ini aku tak tahu apapun tentangnya, padahal itu diriku sendiri.”

Sesungguhnya manusia tidak pernah mengakhiri “dunia, Tuhan dan dirinya sendiri”. Namun, betapapun dengan keras memikirkannya sepanjang hidup, akan memberi tahu suatu hal yang sangat penting, “Semakin mendalami tentang itu semua, akan memahami bahwa, kita tak tahu apapun.”

Oktober 2011

Cerita-cerita tentang Kita (Pembacaan Kumcer Bulan Celurit Api)

Ita Siregar
Riau Pos, 30 Januari 2011

APA yang akan terjadi ketika kita menceritakan cerita kita, tetangga kita, kampung kita? Mungkin kita akan saling mengenal dengan baik.

Tony Pollard, penulis asal Australia, menuturkan kegentarannya –-meski dia telah melakukan dengan baik– ketika menerjemahkan cerpen “Batubujang” karya Benny Arnas ke bahasa Inggris. Cerpen itu termasuk dalam antologi dua bahasa bersama 12 pengarang Indonesia yang diundang ke acara UWRF (Ubud Writers and Readers Festival) di Ubud, Oktober lalu.

Medy Lukito, penyair yang pernah diundang ke International Writing Program di Universitas Iowa Amerika Serikat tahun 2001, menuturkan pengalaman seorang penulis dari satu negara (saya lupa namanya) yang hati-hati dalam “menerjemahkan” bahasa puisi dari satu budaya negara tertentu ke bahasa lain sesuai budayanya. Artinya, memindahkan satu cerita budaya dengan cara bercerita budaya lain. Misalnya, letusan senapan Barat berbunyi bang, bang, bang!, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi dor, dor, dor!

Cok Sawitri, penyair Bali, menyatakan kegembiraannya menemukan seorang gadis asli Papua mau mengikuti latihan menulis. Dia memberi semangat kepada si gadis untuk menulis tentang dirinya, keluarga, teman-teman, tanah kelahirannya, dari perspektif dan pengalamannya sendiri. Pertama gadis bersemangat tetapi kemudian dia mendatangi Cok dan berkata, “Bu, saya tidak ingin meneruskan menulis. Saya ingin berlatih tinju saja.”

Apa kaitannya ketiga cerita di atas dengan kumpulan cerita ini?

Identitas Tokoh

Bahasa menunjukkan identitas. Saya tidak bisa selintas membaca kumpulan cerita dalam buku ini, karena terhalang aksen, pilihan diksi yang tidak biasa buat saya, istilah-istilah cakap Melayu, yang memaksa saya membuka kamus dan tergeli-geli karena ingat bacaan semasa sekolah dasar dulu. Bahwa ternyata tidak mudah menjadi orang desa. Mereka mempunyai masalah sendiri yang hanya bisa didekati dengan cara tersendiri pula.

Ketika mendiskusikan novel 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori, Agus Noor memaparkan apakah tokoh Nadira dapat mewakili karakter manusia (perempuan) Indonesia modern dengan beragam atribut yang menempel pada dirinya dalam cerita? Sebuah isyarat yang mengatakan bahwa seorang pengarang seyogyanya bertanggung jawab dalam menggambarkan karakter-karakter tokoh yang mewakili manusia-manusia dalam dunia nyata.

Lalu, apakah kegelisahan tokoh Mak Muna dalam cerpen “Bulan Celurit Api” mewakili kekhawatiran orang-orang tua desa ketika melihat anak-anak muda mereka mulai menamai bayi-bayi mereka dengan nama-nama asing seperti di sinetron-sinetron? Fakta bahwa sajian media televisi menghibur dan mengedukasi masyarakat desa sekaligus mengubah keseharian dan melupakan kebiasaan sembahyang di masjid.

Dalam cerita “Perkawinan Tanpa Kelamin”, pengarang mengungkap cara anggota warga desa yang mempunyai kelainan orientasi seks. Mereka setengah mati mengatasi keinginan yang meletup-letup di dalam diri dengan cara yang tidak berbenturan dengan nilai-nilai masyarakat desa. Karakter manusia desa digambarkan di buku ini adalah masyarakat yang memelihara adat keluarga dan tradisi agama, cepat menjadi hakim atas tindakan buruk orang lain, bukan karena senang mengurus urusan pribadi orang lain atau kurang hiburan tetapi lagi-lagi soal budaya.

“Malam Rajam”, cerpen surealis yang sarat ketegangan, berbicara bahwa di tengah masyarakat yang belum menerima arti kesetaraan dalam urusan pribadi dan cinta, mempunyai cara sendiri untuk membalas dendam. Dengan memanfaatkan tokoh aku perempuan, pengarang membentangkan nilai-nilai normatif desa, bahwa kejahatan apa pun bentuknya, akan selalu mendapat ganjaran setimpal. Dengan cara yang diluar pikiran manusia sekali pun.

Bahasa dan Cerita Sendiri

Dalam satu masa beberapa tahun lalu, penyair asal Batam mulai mempesona orang-orang ibukota dengan sejuta puisinya yang tak berhenti mengalir, hingga seorang bertanya, “Kapan pindah ke Jakarta?” Menanggapi itu seorang wartawan dengan cepat menjawab, “Jangan pindah. Biar rasa daerah itu tetap terjaga dan memberi rasa yang tepat.”

Salah satu keistimewaan buku yang mengusung cerita-cerita lokal ini adalah karena ditulis oleh pengarang yang tinggal dan bergumul dengan masyakarat desa dan menjadi saksi mata pertama. Rasa ini akan tampak dari keluwesan menceritakan, menggunakan bahasa ungkap, dan memanfaatkan nilai-nilai yang hendak dibawa dalam cerita. Maka tersajilah rasa yang tak biasa karena khasanah aksen, langgam bahasa, atmosfer desa, karakter-karakter manusia yang unik. Semua cerita ini untuk diterima bukan untuk dipermasalahkan, bagaimana seharusnya.

Saya kira cerita-cerita seperti inilah yang dinantikan dari seluruh penjuru tanah air. Cerita tentang kita. Bukan cerita rekayasa lalu mendramatisir habis-habisan. Berhentilah mencari cerita, kembali ke akar kita sendiri, cerita di sekitar kita.

Akhirnya, selamat berkelana dalam cerita-cerita yang menarik ini. Bila nanti berkesempatan mengunjungi Sumatera Selatan, Anda sedikitnya tahu cerita mereka dan bagaimana untuk bertahan hidup di sana. Bahwa cerita tidak untuk didakwa salah benar atau diwakilkan oleh orang lain. Cerita itu kepunyaan cerita itu sendiri dan yang si empunya ceritalah yang paling cocok menceritakannya.

*) Ita Siregar, penikmat sastra, mantan wartawati sebuah majalah wanita. Tinggal di Jakarta.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/cerita-cerita-tentang-kita-pembacaan.html

Watu Beber

Akhmad Muhaimin Azzet *
http://www.kompasiana.com/akhmad_muhaimin_azzet

Hujan gerimis yang terjadi hampir seharian, hingga senja menuju gelap ini belum juga berhenti. Anjing Lek Marsuji di ujung jalan juga tidak seperti biasanya, seakan mempunyai keasyikan tersendiri dengan menyalak berkepanjangan. Dan, suasana semakin terasa wingit, tatkala dari rumah Ki Waseso asap kemenyan mengepul lewat celah-celah genting dan baunya menyergap ke segala penjuru. Bibir sesepuh desa itu menggumamkan mantra tiada henti.

Aku duduk termenung sendiri di teras rumah. Dalam benakku masih memikirkan kata-kata Ki Waseso tadi siang, bahwa mulai seminggu yang lalu, semenjak kematian mendadak Mas Darun, kemenakannya Pak Carik itu, sebenarnya tantangan maut dari para penghuni Watu Beber telah dimulai. Hal itu terbukti, masih menurut Ki Waseso, di leher Mas Darun ada tanda tiga lingkaran kecil berwarna hitam kebiruan. Demikian pula dengan kematian Mbok Girah dan Mbah Tanu yang menyusul mendadak bergantian setelah tiga hari berlalu.

Sebagai seorang sarjana pendidikan dan sudah mengajar di sebuah SMP kota, bukan berarti aku tak percaya sama sekali omongan Ki Waseso. Tapi, sesungguhnya, aku semakin penasaran untuk mencari kebenarannya. Dan, oleh sebab itulah mulai malam ini aku sengaja tinggal dan menginap di rumah Ki Waseso untuk beberapa malam. Kebetulan minggu ini juga ada libur kenaikan kelas.

Perkenalanku dengan Ki Waseso dan dengan masyarakat Desa Kedunglir ini terjadi semenjak tiga tahun yang lalu, yakni ketika aku KKN di sini. Sebagai orang luar Jawa, aku sangat tertarik dengan tradisi dan kepercayaan mistik orang-orang di sini. Maka, ketika aku mendapat SK untuk menjadi guru negeri di kecamatan kota yang hanya sepuluh kilometer dari desa sini, aku sungguh senang bukan main. Apalagi Wulansari, gadis kembang desa itu sangat menarik hatiku. Kedatanganku kali ini pun sebenarnya juga dalam rangka pendekatan terhadap putri bungsu Pak Ratman itu.

“Kamu masih tidak percaya bahwa sebenarnya para penghuni Watu Beber telah marah kepada seluruh penduduk desa sini dengan cara menunjukkan tantangan mautnya?!” Ki Waseso ternyata sudah berhenti dari prosesi meditasinya dan tiba-tiba duduk di sampingku.

“Bukan begitu, Ki, lantas alasan dan hak apa yang membuat para lelembut itu marah kepada masyarakat sini?”

Ki Waseso manggut-manggut. Jenggotnya yang sudah mulai memutih dielusnya. Dan, dalam sekejap, ia begitu terampil melinting rokok klobotnya. Asap berkelembak mengepul tebal dan hampir-hampir menutup seluruh wajahnya yang dipenuhi dengan guratan persoalan hidup.

“Begini, Nak Guru, dahulu masyarakat sini begitu menghormati penghuni Watu Beber. Setiap menjelang dan usai panen padi, jagung, kedelai, dan kacang tanah, orang-orang selalu mengadakan sedekah desa sebagai tanda syukur di pelataran Watu Beber. Tapi, kini tradisi agung ini telah dilupakan. Hanya Aki sajalah yang melakukan seorang diri. Itu pun, terkadang mendapat perlakuan menyakitkan dari mereka. Tidak jarang Aki disindir melakukan perbuatan yang tidak masuk akal dan ketinggalan jaman.” Ki Waseso menandaskan setiap kata yang meluncur dari bibir tebal dan hitamnya, seakan menguraikan keprihatinan.

Dan, memang, di ujung sebelah utara dari desa Kedunglir ini di sisi kanan bukit, ada sebuah pelataran dan dinding bukit berbatu yang berbentuk empat persegi panjang, persis seperti panggung dan kelir pertunjukan wayang kulit. Oleh karena itulah, orang-orang lantas menamai tempat itu dengan sebutan Watu Beber. Tempat itu dahulu sangat dikeramatkan. Apalagi, menurut keterangan Ki Waseso, dan beberapa orang tertentu termasuk aku yang telah mendengarnya, pada malam-malam tertentu dari Watu Beber terdengar pertunjukan wayang kulit yang digelar semalam suntuk. Namun, setelah didekati, suara yang bagiku masih misteri itu perlahan menjauh dan hilang begitu saja. Hanya suara angin yang menderu bergesekan dengan daun-daun jati yang mulai kering dan berjatuhan.

Dan, di Watu Beber sebenarnya aku menyimpan kenangan hati yang hingga kini tiada terlupakan. Pada saat itu hari Minggu pagi, program kelompokku KKN adalah bersama karang taruna mengadakan kerja bakti di Watu Beber. Seorang gadis cantik, rambutnya hitam dan lurus, tinggi semampai dengan bibir tipis mungil yang bernama Wulansari, pada saat bersih-bersih di Watu Beber benar-benar menikam jantung asmaraku. Bahkan, hingga kini, matanya yang berbinar dengan bulu mata yang lentik itu tak mampu menghilang dari bayangan keseharianku. Tapi sayang, hingga kini aku belum cukup keberanian untuk mengungkapkan cinta kepadanya. Entah karena apa.

Oh tidak! Aku nyaris tidak percaya terhadap apa yang aku lihat. Di belakang Ki Waseso berkelebat bayangan tinggi besar berwarna hitam pekat.

“Awas di belakang, Ki!” mulutku spontan berteriak.

Ki Waseso dengan cekatan berkelit. Sisa-sisa kemahirannya sewaktu muda sebagai anggota pencak silat, masih terlihat piawai. Dan, dalam sekejap, terjadilah duel hebat antara Ki Waseso dengan makhluk aneh, mengerikan, sekaligus berwajah buas itu. Suara dengus antara keduanya berdesis-desis bersamaan hujan di tengah malam yang mulai melebat. Aku terpaku seorang diri. Dan, sungguh, aku bingung mesti berbuat apa. Rupanya perkelahian berjalan semakin tidak seimbang. Ki Waseso terdesak, dan… Crash!!!

Aku seperti mati berdiri melihat tubuh Ki Waseso memuncratkan darah segar ditikam taring makhluk asing itu. Tubuh Ki Waseso roboh. Dan, menghembuskan nafas yang terakhir.

Semuanya berjalan begitu singkat dan cepat. Duh, Ya Tuhan, aku baru sadar, ternyata makhluk itu semakin buas mengarah kepadaku. Dengan sisa keberanian dan kaki yang masih bergemetaran, aku menggenjot dan berlari secepat mungkin. Tak peduli semak-semak dan pagar bambu, setiap yang ada di depanku kutabrak berantakan. Dan, mulut ini dengan spontan berteriak…, “Tolong…, tolong…, tolong…!!!”

Penduduk desa berhamburan keluar rumah. Suasana menjadi sangat gaduh. Aku terus saja berlari dan menabrak penduduk yang menyongsongku. Makhluk asing yang orang-orang menyebutnya sebagai Gendoruwo Preh itu mendadak berhenti. Mundur beberapa langkah karena orang-orang mengacung-acungkan obor.

“Tenang…, tenang…!!! Semuanya tenang saja.” Mbah Zaed tiba-tiba muncul tepat di saat orang-orang mulai panik karena Gendoruwo Preh itu beraksi dengan menyemburkan api berulang dari mulut lebarnya. Pardi tiba-tiba terkapar berkelojotan karena terkena semburannya. Dan, setelah itu, tak bergerak lagi.

Mbah Zaed berjalan cepat mendekati Gendoruwo Preh dengan gagah berani. Tangannya masih memegang tasbih dan memutar-mutarnya. Mulutnya fasih dan tartil membaca kalimat-kalimat suci. Dan… Hah?! Semua orang yang ada mendadak bengong dan tak tahu harus berbuat apa, karena tiba-tiba Mbah Zaed dan Gendoruwo Preh itu hilang dari pandangan mata.

Selanjutnya, sungguh kami semua tahu telah terjadi pertarungan yang sangat dahsyat antara Mbah Zaed dan Gendoruwo Preh itu. Cuma kami tak dapat melihatnya. Hanya beberapa hembusan angin yang kencang, kadang terasa dingin, kadang terasa panas sekali, berkali-kali menyapu tempat sekitar kami. Dan, tak lama kemudian, Mbah Zaed terlihat kembali dengan tetap berdiri tegak. Terus terang, kami semua kagum atas kesaktian Mbah Zaed.

Akhirnya, tanpa banyak bicara, ini semua juga disebabkan karena Mbah Zaed orangnya pendiam, kami semua berbondong untuk segera merawat jenazah Ki Waseso dan Pardi yang meninggal dengan mengenaskan. Malam yang basah karena hujan semakin lebat dan terasa wingit. Dan, malam itu juga semua prosesi perawatan jenazah Ki Waseso dan Pardi yang dipimpin langsung oleh Mbah Zaed berjalan dengan perasaan tegang. Menjelang adzan Shubuh, segalanya telah usai.

Mbah Zaed mengajak orang-orang untuk berjamaah Shubuh di masjid. Suasana jamaah shalat Shubuh di masjid tua itu menjadi ramai kembali. Tidak seperti selama ini, hanya Mbah Zaed dan beberapa orang saja yang memakmurkannya. Dan, aku tahu betul, pada saat berjalan menuju tempat wudhu, dari kedua bola mata Mbah Zaed mengalir linangan air bening yang deras bercucuran.

*) Suka membaca dan menulis. Di antara tulisannya pernah dimuat di Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Karya, Elka Sabili, Ummi, Annida, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Bernas, Solo Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Surabaya Post, Lampung Post, Analisa, Medan Pos, Waspada, Pedoman Rakyat, dan beberapa media kalangan terbatas. Menulis juga buku (nonfiksi) yang sudah diterbitkan oleh beberapa penerbit. Suka pula bersepeda dan aktif di Lereng Merapi Onthel Community, Yogyakarta —[twitter: @kangazzet]

Puisi-Puisi Bambang Kempling dan Mahmud Jauhari Ali

http://sastra-indonesia.com/
Tentang Aku dan Listrik Hari Ini
Mahmud Jauhari Ali

dalam dekap cahaya panas
dadamu dihunus sebilah tembaga
tubuhmu roboh tepat di samping sebuah guci warna jingga
“Sabar! Kau harus sabar!” ucapmu pelan
tiba-tiba dadaku sesak
lalu kaupegang tanganku erat-erat
“Kau jangan sedih. Anakku akan datang menemanimu nanti.”
katamu lagi bersama mata yang sayu

sebelum jantungmu berhenti berdetak
kulihat air matamu bagai luapan sungai
menyapa kakiku
menyentuh tanganku
juga menggenangi wajahku yang kian menghangat

di ruang-ruang selatan
bagai seorang ibu yang mengandung tua
aku menanti kehadiran anakmu hampir sembilan jam lamanya
dan, ketika aku jongkok di beranda malam
anakmu datang
dia membawa sekuntum matahari
sementara itu bibirku merekah, menemani hatiku yang purnama

Tanah Borneo



Mozaik Pagi
Bambang Kempling

dari celah pagi kau susuri
jejak buih
mozaik luka pasir pantai

debar telah membawamu
tengelam dalam langkah-langkah kecil dan tergesa
siput-siput meliang
dalam tatapmu

sementara perahu-perahu tertambat
dan matahari berpeluh di relung jiwa

tiba-tiba senyap
menjeratmu
menelusuri jejak-jejak itu

Panyuran, November 2011

Tabiat yang Kita Warisi

Rosihan Anwar
Pikiran Rakyat, 09 Maret 2005

ORANG Indonesia sekarang tidak ingat lagi atau tidak tahu pamflet historis yang ditulis oleh Sutan Sjahrir, disiarkan tanggal 10 November 1945—lima hari sebelum diangkat jadi perdana menteri pertama Republik Indonesia. Buku kecil berjudul “Perdjoeangan Kita” (PK) berisi gambaran tentang keadaan bangsa Indonesia pada akhir pendudukan Jepang selama 3,5 tahun dan pada awal zaman revolusi perjuangan kemerdekaan. Sjahrir waktu itu berusia 36 tahun. Pamfletnya terbit bertepatan dengan meletusnya pertemuan di Surabaya antara pemuda Indonesia dengan tentara Inggris. Dalam “Perdjoeangan Kita” Sjahrir melukiskan kekacauan yang menjalar terus, setelah kekuasaan Jepang runtuh dan pemerintah Republik Indonesia yang baru diproklamasikan masih lemah. Terjadi pembunuhan bangsa asing seperti Belanda, Indo, Tionghoa, juga bangsa sendiri Ambon, Manado. Terjadi perampokan dan penggedoran yang dapat dimengerti bila mengingat kemiskinan dan kegelisahan rakyat akibat penindasan militer Jepang. Dalam perjuangan itu pemuda ikut serta memenuhi panggilan kebangsaan. Bagaimana penilaian Sjahrir terhadap mereka? “Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu yaitu berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu, dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin. Oleh karena itu dia tidak berpengetahuan lain. Cara dia mengadakan propaganda dan agitasi pada rakyat banyak itu seperti dilihatnya dan diajarnya dari Jepang yaitu fasilitas. Sangat menyedihkan keadaan jiwa pemuda kita,” tulis Sjahrir. Dari sejarah kita ketahui Jepang melatih pemuda dalam barisan pemuda Seinendan, barisan Kepolisian Keiboodan, tentara pembela tanah air (Peta), pasukan pembantu tentara Jepang (Heiho). Betul, pemuda mendapat kemampuan dan pengalaman militer, tahu mempergunakan senjata, tapi sebagai gejala sampingan dia memperoleh tabiat dan sikap fasis.

Sjahrir mengatakan, “Di seluruh kehidupan rakyat kita, terutama di desa, alam kehidupan serta pikiran orang masih feodal. Penjajahan Belanda berpegang pada segala sisa-sisa feodalisme itu untuk menahan kemajuan sejarah bangsa kita. Penjajahan Belanda itu mencari kekuatannya dengan perkawinan ratio-modern dengan feodalisme Indonesia, menjadi akhirnya contoh fasisme yang terutama di dunia ini. Fasisme di tanah jajahan jauh mendahului fasisme Hitler ataupun Mussolini. Sebelum Hitler mengadakan kamp konsentrasi Buchenwald atau Belzen, Bovan-Digul sudah lebih dahulu diadakan. Oleh karena itu, maka pergerakan rakyat kita dari sejak mula di dalam menentang penjajahan asing sebenarnya menentang feodal-birokrasi, dan akhirnya otokrasi dan fasisme jajahan Belanda.” Sikap fasis Pendapat yang menimbulkan kebencian terhadap Sjahrir dari pihak politisi ialah “bahwa revolusi kita harus dipimpin oleh golongan demokratis yang revolusioner dan bukan oleh golongan nasionalistis yang pernah membudak kepada fasis-fasis lain, fasis kolonial Belanda atau fasis militer Jepang. Orang-orang ini harus dianggap sebagai pengkhianat perjuangan. Sekalian politieke collaboratoren dengan fasis Jepang harus dipandang sebagai fasis sendiri”. Akibat pendapat tadi beberapa menteri kabinet Soekarno seperti Mr. Ahmad Subardjo, Mr. Iwa Kusumasumantri, Abikusno mengambil sikap oposisi frontal terhadap PM Sjahrir. Wartawan yang meliput sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang berfungsi sebagai parlemen bulan November 1945 di mana beleid politik PM Sjahrir dibicarakan tentu ingat bagaimana Abikusno Tjokrosuyoso mantan Menteri Pekerjaan Umum “mengamuk” dalam ruangan bekas AMS Salemba Batavia, hanya karena dianggap sebagai kaki tangan Jepang. Menurut Sjahrir, gerakan kebangsaan yang memabukkan dirinya dengan nafsu membenci bangsa-bangsa asing untuk mendapat kekuatan niscaya pada akhirnya akan berhadapan dengan seluruh dunia dan kemanusiaan. Nafsu kebangsaan yang pada mulanya dapat merupakan suatu kekuatan itu, mesti tiba pada satu jalan buntu dan akhirnya mencekik dirinya sendiri dalam suasana jibaku. Kekuatan yang kita cari adalah pada pengorbanan perasaan keadilan dan kemanusiaan. Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan dapat mengantar kita maju di dalam sejarah dunia. Nyata pula bahwa kaum pemuda, terutama yang terpelajar yang sekarang berkobar-kobar dengan semangat kebangsaan tak akan dapat menjalankan terus kewajibannya sebagai perintis, jika semangat kebangsaannya itu tidak diisi dengan semangat kerakyatan dan semangat kemasyarakatan, demikian tulis Sjahrir pada tahun 1945. Kendati itu cerita dan masalah dari 60 tahun yang lampau, namun pokok-pokok pikiran yang diutarakan oleh Sjahrir tadi masih relevan sebagai bahan masukan untuk memahami dan menilai keadaan kita dewasa ini. Peringatan Sjahrir terhadap bahaya dan ancaman fasisme, keprihatinannya terhadap sikap dan mentalitas fasis yang berkembang di kalangan pemuda masa itu, tidak boleh kita abaikan begitu saja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa fasis berarti penganut fasisme, dan kata fasisme bermakna prinsip atau paham golongan nasionalis ekstrem kanan yang menganjurkan pemerintahan otoriter. Tidak usahlah kita menggunakan istilah fasis melulu dalam kaitan dengan suatu paham atau prinsip serta sistem politik tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari orang bisa berkata “Kamu fasis”, dan yang dimaksudnya ialah “Kamu tidak demokratis, tukang paksa, abang kuasa, mau menang sendiri, penindas.” Dalam hal ini kata “fasis” telah memperoleh perluasan makna, melampaui makna orisinalnya, namun intisari pengertiannya masih ada.

Berbasis atau Mati

Negeri Nazi-Jerman tahun 1930-an adalah contoh tempat sikap fasis dipraktikkan dengan gencar. Pemuda Hitler dan Pasukan Kemeja Coklat yang bertindak sebagai tukang pukul memaksa rakyat untuk tunduk dan patuh pada perintah. Semboyan mereka ialah “Marschieren oder Krepieren”, artinya berbaris atau mati. Kaum fasis selalu melakukan kekerasan terhadap orang atau golongan yang tidak mereka sukai. Mengapa kita teringat buku kecil Sjahrir tahun 1945 “Perdjoeangan Kita” yang menyebutkan soal fasis? Karena pada hakikatnya hal itu 60 tahun kemudian belum hapus dalam masyarakat kita. Tabiat dan sikap fasis adalah salah satu warisan dari zaman dulu. Kalau kita baca berita tentang Farid Faqih seorang aktivis sosial dari sebuah LSM datang ke Aceh turut memberikan bantuan kepada para korban tsunami telah ditahan oleh militer karena dituduh mengambil barang milik orang lain, lalu digebuk ramai-ramai oleh perwira dan perjuritnya, apakah kejadian itu suatu manifestasi kemarahan dan letupan emosional semata-mata di pihak militer bersangkutan? Menjelang berakhirnya rezim Orde Baru Soeharto, tatkala terjadi demo-demo mahasiswa dan rakyat terhadap pemerintah, maka terdengar berita tentang penculikan-penculikan yang dilakukan oleh sekumpulan militer yang mendapat didikan khusus memadamkan huru hara di kota-kota. Ternyata korban banyak yang hilang, tidak diketahui lagi selama-selamanya, dan mereka yang bisa keluar bercerita tentang siksaan-siksaan badan yang mereka alami. Bukankah ini juga manifestasi sikap fasis?

Kita tidak boleh menutup mata terhadap peristiwa kekerasan. Kita harus jujur mengakui sikap fasis adalah sebuah tabiat yang kita warisi. Kalau sudah mengakui itu, maka usaha kita berikut ialah bersama-sama menghilangkan segala yang bersifat fasis, dan belajar melaksanakan kehidupan yang beradab dan berperikemanusiaan.***

Penulis adalah wartawan senior.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/rosihan-anwar-tabiat-yang-kita-warisi/288612201167652

Puisi, Korupsi, & Kritik Tradisi

Munawir Aziz*
Pikiran Rakyat, 5 April 2009

KORUPSI menjadi polemik dan bencana dan ruang kehidupan bangsa ini. Menghadapi polemik ini, sastra bertugas memberi wawasan segar dan pencerahan kreatif kepada publik luas, agar menghindar dari jerat korupsi. Virus korupsi seolah menggerakkan energi iblis untuk melahirkan setan-setan baru yang menghancurkan negara dan tatanan kehidupan. Masa depan bangsa ini dihimpit suramnya badai korupsi. Di tengah badai, sastra bertugas menangkis korupsi dengan menginspirasi pembaca sebanyak-banyaknya agar menghindar dari terjangan korupsi.

Karya sastra yang lahir untuk mencerdaskan bangsa ini, hendaknya menempatkan antikorupsi sebagai wacana yang terus dikampanyekan. Tanggung jawab sosial sastrawan adalah mengupayakan perbaikan hidup dengan menjelaskan kondisi kritis yang merenggut masa depan bangsa ini. Maka, karya sastra yang menggambarkan perlawanan terhadap tradisi korupsi patut didukung dengan pemikiran dan gerakan kongkret.

Melawan korupsi berarti menyiapkan mental dan diri menggempur kemapanan birokrasi. Kritik sosial semacam ini, akan meletup dalam diri sastrawan yang tak mau dikekang kejumudan. Sastrawan dan seniman yang menghamba pada kemapanan birokrasi hanya akan menghasilkan dengan nafas pendek. Kampanye antikorupsi dalam karya sastra mengharuskan konsistensi dalam pikiran dan tindakan. Kampanye antikorupsi yang meletup akan menjadi perjuangan kreatif penuh risiko, namun menjadi panggilan hidup dan refleksi penting. Puisi antikorupsi merupakan jalan kreatif untuk mengutuk kebusukan birokrasi dan mengimpikan masa depan cerah bangsa ini.

Perjuangan kreatif inilah yang akan menjadikan nama penyair terekam dalam keabadian. Sebaliknya, ketika penyair hanya terdiam menghadapi badai krisis sosial, menjadi epigon, dan makelar sastra, maka karya yang lahir hanya akan singgah sejenak pada beranda sejarah, selanjutnya tenggelam dan diterpa arus tren baru yang lebih relevan. Penyair yang setia pada penciptaan puisi, berfungsi sebagai aktor yang mengendalikan lorong komunikasi dalam jengkal syairnya, dengan menampilkan nilai-nilai baru (new values) yang bermanfaat bagi masa depan sastra negeri ini. Untuk itu, penggalian terhadap tema-tema sosial hendaknya melalui filter kontemplasi dari ruang batin.

Sudah selayaknya lorong puisi negeri ini memunculkan karya kreatif yang tak tunduk pada kanon sastra yang lazim diikuti, atau setelah ditahbiskan sebagai “selera zaman”. Perjuangan menemukan celah kreatif yang tak sekadar berbeda, tetapi menyuguhkan jalan dan bentuk baru dalam khazanah sastra negeri ini.

Jalan sunyi yang ditempuh penyair, merupakan perjuangan kemanusiaan dengan sayap kreatif luar biasa. Penyair yang setia menampilkan kritik sosial dan jejak kreatif dalam derap sajaknya, akan tercatat dalam naskah sejarah kesastraan. Hal inilah, yang menjadikan Widji Thukul—penyair dan aktivis sosial—dari Solo, sajaknya menjadi “lagu wajib” bagi aktivis mahasiswa, hingga detik ini. Widji THukul melancarkan sajak-sajak kritik sosial, hingga menjadikan dirinya “lenyap” tak berbekas, ketika hegemoni Orde Baru masih menancap di bumi pertiwi. Dengan demikian, bukan dentuman karya yang menjadi “air bah” dalam panggung sastra, akan tetapi subtansi dan kecemerlangan karya, yang akhirnya memberikan kontribusi penting bagi perkembangan kehidupan. Pada konteks inilah, ucapan Heidegger (dalam Urterwegs zur Sprache) bahwa “setiap penyair besar hanya menghasilkan sebuah syair” menjadi kalimat penting.

Wacana korupsi

Dalam letupan puisi di panggung sastra negeri ini, wacana antikorupsi yang sublim dalam deretan sajak penyair disuarakan secara lantang. Adalah F. Rahardi, penyair dan wartawan, menulis kumpulan sajak “Catatan Harian sang Koruptor” (1985). Dalam buku ini, F. Rahardi merangkum 48 sajak yang penuh dengan kritik sosial dan refleksi realitas kehidupan.

Sajak F. Rahardi sarat dengan kritik sosial terhadap keserakahan, wajah pemerintah, paradoks keadilan, dan perilaku koruptor yang melukai hati rakyat. Sebagaimana dalam puisi “Tentang Tikus” ini; Tikus tikus jorok itu melubangi kebun rakyat/ dan mencuri cek lembar demi lembar/ Dan menumpuknya dalam gudang 75 cm/ di bawah permukaan tanah. Kukerahkan herder/ kusiapkan sekop/ kubongkar dan kutumpas tikus-tikus yang bodoh dan memalukan. Bagiku,/ cek, bini muda, mobil/gedung atau karet KB/semuanya bernyawa dan punya kaki/ mereka tak pernah kukejar/ kucari-cari atau kucuri/ mereka semua datang sendiri/ tiap hari sebagai upeti. Sajak ini, walaupun ditulis puluhan tahun lalu, akan tetapi masih relevan dengan konteks sosial politik yang terjadi saat ini. Korupsi menjadi hantu yang membayangi kehidupan dan merasuki tubuh pejabat negeri ini, hingga mencederai amanat rakyat.

Suara hati F. Rahardi menjadi penanda (sign) betapa virus korupsi begitu parah merasuk dalam kehidupan bangsa ini. Dalam sajaknya yang lain, F. Rahardi merefleksikan situasi dalam ruang pengadilan yang penuh dengan muslihat. Seperti petikan sajak “Pledoi di Meja Hijau”: Tuan Hakim Ketua dan Anggota/ Saudara Jaksa/ Rekan Saya Pembela/ Dan Hadirin semua. terlebih dahulu/ kenalkan: aku ini hewan kurban/ —bukan koruptor—/ seperti tuduhan jaksa/ atau pers Indonesia. Penyair F. Rahardi menuliskan perenungannya akan kondisi hukum negeri ini, dengan perspektifnya sebagai penyair, sekaligus wartawan yang setiap hari bergelut dengan problem politik dan hukum. Selanjutnya, Korupsi itu/ kalau toh dianggap ada/ mustahil bisa dibasmi dari muka bumi/ termasuk negeri ini/ tapi dalam hal ini upaya saudara jaksa/ bagaimanapun juga sangat saya hargai. Ungkapan ini menjadi sentilan kepada lembaga hukum negeri ini, ketika menghadapi kasus korupsi sekan berbelit-belit. Selain itu, sajak ini mengungkapkan paradoks keadilan di negeri zamrud khatulistiwa.

Di ranah hukum, koruptor yang merugikan negara dalam jumlah besar, sekan bebas mempermainkan, sedangkan warga kecil dengan balutan kemiskinan menjadi pesakitan ketika tertimpa kasus hukum. Selain F. Rahardi, belakangan ini muncul ratusan penyair yang menggemakan kritik antikorupsi dalam deretan sajak.

Riuhnya kritik sosial dalam panggung sastra, semoga menjadi inspirasi bagi berbagai elemen bangsa untuk memperbaiki negeri ini. Kritik sosial yang menguar dari lubuk sastra, akan menjadi ekpresi kehidupan yang sesungguhnya. Hal ini senada dengan analisis Nyoman Kutha Ratna (2005) bahwa kaitan antara sistem estetika dan sistem sosial tampak apabila karya sastra dilihat melalui dimensi-dimensi sosiokulturalnya. Artinya, karya sastra dianggap melalui manifestasi intensi-intensi struktur sosial tertentu, baik sebagai afirmasi (pengakuan), restorasi (pengembalian pada semula), dan inovasi (pembaruan), maupun negasi (pengingkaran). Melalui medium bahasa, karya sastra menampilkan ekspresi kolektivitas tertentu, sebagai pandangan dunia. Hal ini menjadi spirit penyajian refleksi melalui lorong sastra.

Kampanye antikorupsi dan kritik sosial lain yang menggema dalam karya sastra, diharapkan menjadi inspirasi terbukanya ruang kesadaran elite politik negeri ini untuk memperbaiki kinerja dan mengayomi rakyat. Dengan demikian, cita-cita negara kesejahteraan (welfare state) akan tergapai. Dan lewat panggung sastra, spirit inilah yang terus dikobarkan.***

* Munawir Aziz, Koordinator Divisi Riset Sampak “Gus Uran” dan peneliti di Cepdes, Jakarta.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/04/puisi-korupsi-kritik-tradisi.html

Fiksi dalam Pelajaran Sejarah

Junaidi Abdul Munif
Lampung Post, 29 Nov 2011

WASIAT Bung Karno tentang sejarah; jasmerah (jangan sampai melupakan sejarah) menjadi sinyal bahwa sejarah menjadi bagian penting dari sebuah peradaban bangsa. Sejarah menjadi mozaik yang membentuk generasi kemudian, yang dapat mengambil hikmah dari peristiwa generasi tua (masa lalu).

Di sini, sejarah kemudian tampil dalam oposisi biner; hitam-putih. Mozaik sejarah itu memunculkan konstruksi tentang apa yang disebut pahlawan dan pengkhianat. Begitulah sejarah diajarkan kepada anak didik di sekolah pada masa Orde Baru. Sebuah megaproyek pembentukan ideologi anak bangsa yang kerdil dan traumatis menghadapi sisi kelam sejarah.

Di titik inilah, kita sebetulnya sedang dibonsai untuk menjadi penakut, menjadi masyarakat yang tidak dewasa menghadapi perbedaan.

Secara aplikatif, pembonsaian masyarakat lewat sejarah bisa dilihat dari perangkat kurikulum pelajaran sejarah yang penuh sesak. Akurasi (5 W 1 H) berusaha dikejar semaksimal mungkin, kendati yang tampak adalah paparan sepotong demi sepotong peristiwa yang datar. Dengan alokasi waktu (jam pelajaran) yang sedikit, mustahil sejarah akan dipelajari (dan dipahami) dengan sangat mendalam oleh siswa. Sejarah yang diajarkan akhirnya menjadi sejarah yang muncul untuk dilupakan.

Pelajaran sejarah selama ini menitikberatkan pada pola sinkronik; peristiwa hanya didasarkan pada kurun waktu historis tertentu. Bukan pada pola diakronik, yang menghubungkan sebuah peristiwa dengan perubahan sepanjang waktu. Kalau mengikuti strukturalisme, setiap peristiwa akan selalu berkaitan dengan perisitwa lain. Ini yang kurang menjadi perhatian dalam penulisan sejarah.

Budaya Menulis

Faktor yang membuat sejarah kurang diminati adalah rendahnya budaya baca dan menulis. Yang lantas memunculkan budaya dokumentasi yang masih lemah di banding budaya Barat. Tak aneh, buku babon sejarah Indonesia justru ditulis orang asing yang pernah melakukan kolonialisasi atau penelitian di Indonesia. Babad Tanah Jawi yang merekam sejarah masyarakat Jawa justru ada di Leiden, Belanda. Karena berbagai kelemahan itu, sejarah Indonesia selalu tampak remang-remang. Verifikasi sejarah sulit dilakukan karena minimnya sumber primer tertulis peristiwa (ber)sejarah.

Sejarah menjadi “dongeng” dan tuturan lisan yang rentan terjadi manipulasi fakta. Dan karena berbagai kepentingan pragmatis-politis untuk menancapkan hegemonisasi penguasa pada masyarakat, sejarah mengalami seleksi yang ketat untuk diajarkan di sekolah.

Sejarah bukan lagi history, melainkan his story (cerita dia/penguasa). His story ini menguat, misalnya ketika pemerintah menarik buku-buku pelajaran sejarah untuk SMP dan SMA dalam KBK 2004, yang membingungkan siswa (Dharmini, 2007).

Di samping itu, guru menyampaikan pelajaran sejarah masih terbatas pada metode ceramah yang sangat membosankan. Keberhasilan metode ini hanya sekitar 20%. Perlu dikembangkan sebuah metode berbasis kontekstual dengan menjadikan guru sebagai inovator penting untuk menyampaikan sejarah (Nurrakhman, 2007).

Novel Sejarah

Pelajaran sejarah dan kurikulum yang membingungkan demikian berdampak pada siswa yang menjadi objek pelajaran sejarah. Kebingungan tersebut dapat menyebabkan siswa tercerabut dari akar sejarah yang membentuk bangsa dan negaranya. Padahal, sejarah menjadi medium penting bagi siswa untuk mengenal dan memahami Indonesia.

Dunia sastra Tanah Air kini marak dengan novel berlatar belakang sejarah. Di rak sastra toko buku, novel sejarah hampir memenuhi separuh isinya. Kita tiba-tiba seolah kembali disentak dengan nama-nama tokoh yang mungkin nyaris terlupakan di benak kita seandainya novel sejarah itu tak masif seperti sekarang.

Ada dua kategori novel sejarah yang membanjiri rak toko buku. Pertama, adalah novel sejarah yang terkait dengan suatu peristiwa yang panjang dalam kurun tertentu -seperti tetralogi Pulau Buru-nya Pramoedya Ananta Toer, dan kedua novel sejarah yang merupakan “biografi” tokoh. Untuk kategori kedua ini, novel Presiden Prawiranegara (Akmal Nassery Basral) dan Gadjah Mada (Langit Kresna Hadi) bisa diajukan sebagai contoh.

Apsanti Djokosujatno (2002) meneliti beberapa contoh novel sejarah yang menjadi prototipe penulisan novel sejarah di Indonesia. Setidaknya, dari paparan dia, sejarah menjadi tema sentral kendati ada yang memperlakukan tokoh sejarah sebagai latar utama cerita maupun hanya pelengkap.

Penulisan novel sejarah akan menghadirkan tantangan tersendiri. Novel adalah fiksi (dunia rekaan), sementara sejarah adalah fakta (peristiwa) yang telah terjadi. Penulis novel sejarah dengan demikian, sejatinya adalah peneliti sejarah. Pramoedya Ananta Toer adalah contoh sastrawan yang juga peneliti sejarah yang baik karena semasa hidupnya dia mengumpulkan kliping koran sebagai arsip peristiwa.

Maraknya penulisan novel sejarah adalah sebuah otokritik bagaimana sejarah dan pelajaran sejarah belum menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Novel-novel Pram yang di masa Orde Baru dilarang terbit, kini menjadi buruan masyarakat yang ingin melihat sejarah Indonesia dari kacamata “subversif”. Sementara itu, novel sejarah akhir-akhir ini seperti latah, tanpa harus melakukan kerja riset yang mendalam. Banyak kisah dari tuturan lisan yang lantas dinovelkan, menyaru sebagai novel sejarah.
__________________________
*) Junaidi Abdul Munif, Peneliti el-Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/11/fiksi-dalam-pelajaran-sejarah.html

Sabtu, 03 Desember 2011

Sastra yang Mendustai Pembaca

Damhuri Muhammad*
Kompas, 4 April 2009

SEORANG kawan, sebutlah Fulan, pernah datang memenuhi panggilan sebuah perusahaan penerbitan buku berkelas di Jakarta. Konon, ia memperoleh tawaran menjadi penyunting naskah sastra terjemahan, khususnya dari roman-roman berbahasa Arab.

Dalam perjalanan, kawan itu tiba-tiba khawatir bakal gagal sebab tak ada yang bisa diandalkannya, selain sedikit kemahiran menulis fiksi dan sedikit kemampuan membaca teks-teks berbahasa Arab.

Selepas bincang-bincang penuh basa-basi yang sesekali bernada menguji, Fulan bertanya kepada penguji yang tampak sudah kenyang pengalaman di dunia sastra terjemahan dari bahasa Arab itu—seperti roman- roman karya para pengarang Mesir: Thaha Husain, Naguib Mahfouz, Nawwal el-Saadawi, Radwa Ashour, atau Ala Al-Aswany.

”Jebolan universitas Al-Azhar (Kairo) banyak sekali. Kemampuan bahasa Arab mereka tak diragukan, kenapa Bapak malah memanggil saya?” Sambil menggeleng penguji itu bilang, ”Bahasa Arab mereka memang hebat, tetapi mereka kurang cakap dalam berbahasa Indonesia.”

Pernyataan penguji mewakili secara tepat problem dunia penerjemahan Arab-Indonesia. Para penerjemah begitu menguasai aspek gramatikal Arab (qawaid al-lughah), tetapi kurang ”maju” dalam berbahasa Indonesia. Banyak dari mereka yang belum mempraktikkan bahasa Indonesia yang ”baik” dan ”benar”. Kerja terjemahan mereka bukan alih bahasa dalam arti sejatinya, tetapi hanya mendedahkan teks bahasa Indonesia yang masih bercita rasa Arab. Meski sudah (meng)-Indonesia, jejak Arabnya masih saja tersisa. Setengah Arab, setengah Indonesia.

Terjemahan, satu contoh

”Seorang pelayan keluar dari sebuah vila yang megah, matanya sibuk mengitari jalanan yang lengang. Angin sepoi-sepoi bertiup dengan lembut, menyanyikan pada dedaunan sebuah nyanyian senja.” Kutipan ini salah satu contoh teks terjemahan dari sebuah roman berbahasa Arab.

Tengoklah, kata keluar yang terbaca rancu meski mungkin tidak salah. Lebih tepat bila diganti muncul. Kata megah tidak tepat menyifati vila—sebab, megah lazimnya menyifati gedung. Lebih sepadan bila megah diganti mewah.

Begitupun kata sibuk tidak serasi bersanding dengan mata, lagi-lagi meski tidak salah. Sorot mata lebih berjodoh dengan kata awas—kejelian, ketelitian mengamati obyek. Mengitari akan terasa lebih tajam bila diganti dengan menyigi atau menelusuri.

Menyunting bukan sekadar menggunting kalimat, tetapi juga memperkaya pilihan kata guna mempertajam pesan-pesan teks. Agaknya belum memadai bila kerja penyuntingan hanya mempertimbangkan aspek leksikal-gramatikal saja, dituntut pula eksplorasi yang mendalam untuk memilih padanan kata yang jitu, yang sepadan satu sama lain, dan karena yang disunting adalah teks sastra, ambiguitasnya tentu harus tetap terjaga.

”Angin sepoi-sepoi bertiup dengan lembut, menyanyikan pada dedaunan sebuah nyanyian senja” terdengar janggal. Dalam cita rasa bahasa Indonesia, sepoi-sepoi sesungguhnya lebih tepat bila ditempatkan sebagai kata sifat. Bertiup dapat diganti dengan berembus atau berkesiur.

Hal kata dengan, inilah yang disebut sebagai jejak bahasa asal dalam teks terjemahan. Dapat diduga, dengan adalah terjemahan dari bi (huruf ba berharakat kasrah), yang di dalam kaidah tata bahasa Arab disebut huruf Jar. Angin berembus/berkesiur sepoi-sepoi sudah mengandung sifat lembut. Maka, dengan lembut tidak perlu lagi. Inilah salah satu cara menghapus jejak bahasa asal dalam teks terjemahan.

Adapun frase ”menyanyikan pada dedaunan sebuah nyanyian senja”, selain mengulang kata (nyanyi), preposisinya terdengar tidak logis. Seolah-olah embusan angin sepoi-sepoi yang bernyanyi. Padahal yang bernyanyi bukan angin, melainkan daun-daun. Dedaunan bergerak—melenggok-lenggok, menimbulkan bunyi—akibat embusan angin. Karena kesiur angin sepoi-sepoi, dedaunan (seolah-olah) menyanyikan sebuah lagu senja. Maka boleh jadi akan lebih baik bila kalimat tersebut berbunyi, ”angin berembus sepoi-sepoi, hingga daun-daun seolah-olah menyanyikan sebuah lagu senja.

Dengan perubahan itu, preposisinya menjadi sangat logis dan secara tidak sengaja malah menciptakan sebuah metafora (”lenggok-lenggok daun yang menimbulkan bunyi serupa nyanyian lagu senja”).

Setelah disunting dengan cara mempertajam diksi, memangkas kata yang tak perlu, menghilangkan repetisi, meluruskan preposisi, rumusan teks hasil terjemahan di atas akan berubah menjadi: ”Seorang pelayan muncul dari sebuah vila mewah. Sorot matanya awas menelusuri jalan yang lengang. Angin berkesiur sepoi-sepoi, hingga daun-daun seolah-olah sedang menyanyikan sebuah lagu senja”.

Buah dusta

Menyunting teks terjemahan, tampaknya tidak hanya perlu penguasaan terjemahan tekstual, tetapi juga membutuhkan kecerdasan dalam menyingkap tafsir kontekstual. Sebagai contoh, kata hadist (bahasa Arab) dalam teks ilmu hadis, asosiasi maknanya mengarah pada sumber hukum Islam kedua setelah Al Quran. Namun, bila kata itu ditemukan dalam teks filsafat, tidak bisa lagi dimaknai sebagaimana maknanya dalam konteks ilmu hadis.

Hadis dalam bahasa filsafat bermakna ”temporal” (nisbi, relatif). Begitu juga kata qadim, dalam ilmu sejarah, asosiasi maknanya mengarah pada waktu yang telah berlalu (lampau, dahulu). Namun, dalam konteks ilmu kalam (teologi Islam), filsafat dan sebagian besar teks sastra, qadim bermakna; ”eternal” (kekal, tak berubah).

Kerja penyuntingan teks terjemahan sangat berpeluang membuahkan dusta. Itu terjadi ketika muncul ketidakselarasan antara pesan teks asli dan teks alih bahasa. Dusta yang bermula dari penerjemah, dilanjutkan oleh penyunting, hingga menjadi dusta berkepanjangan yang terus-menerus ditimpakan kepada khalayak pembaca ”tak berdosa”. Ini kerap terjadi dalam penerjemahan dan penyuntingan teks sastra terjemahan, khususnya dari roman-roman berbahasa Arab yang terus berhamburan dalam khazanah perbukuan Tanah Air sejak beberapa tahun belakangan ini.

Ironisnya, dalam banjir naskah itu, masih saja ditemukan sebagian penyunting yang bekerja tanpa pengetahuan yang memadai terhadap aspek ketatabahasaan Arab. Sementara kebutuhan pengetahuan tentang itu sangat vital, bahkan masih perlu dilengkapi dengan pemahaman tentang dasar-dasar ilmu stilistika Arab (Bayan, Ma’ani, Badi’, ’Arudh dan Qawafi).

Itu pun sebenarnya masih perlu dilengkapi dengan kemampuan yang terlatih dalam menulis karya sastra, membentangkan layar estetik, meraih diksi-diksi yang tepat, dan piawai bermain tamsil, amsal, dan umpama. Dengan begitu, penyunting dapat menyulap roman-roman berbahasa Arab menjadi (seolah-olah) bukan karya terjemahan.

Maka, saya jadi mengerti, kenapa kawan saya, Fulan, lebih bisa dipercaya dibandingkan dengan para penyunting yang canggih bahasa Arab-nya, tetapi payah dan bermasalah bahasa Indonesia-nya. Pilihan tersebut sudah tepat. Tentu saja penguji tersebut berharap agar kerja penyuntingan dapat menghasilkan sastra terjemahan yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya sehingga tidak lagi sewenang-wenang mendustai pembaca.

* Damhuri Muhammad, Cerpenis dan Penyunting Buku
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/04/sastra-yang-mendustai-pembaca.html

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae