Sabtu, 29 Oktober 2011

Strategi Budaya Mencari Titik Temu Islam-Jawa

Mh Zaelani Tammaka
http://sajaroh.blogspot.com/

MASALAH toleransi tetaplah menjadi masalah yang senantiasa urgen bagi masyarakat yang pluralistis-khususnya dari segi agama-seperti di Indonesia. Bermacam upaya dilakukan untuk menangani masalah itu. Di antara upaya tersebut adalah mencari titik temu (kalimatus sawa) di antara agama-agama yang ada. Namun demikian, upaya mencari titik temu sering seperti terbentur tembok yang tebal ketika masing-masing pihak merasa superior di antara pihak yang lain. Di luar itu, problem yang menghadang adalah bahwa pencarian titik temu tersebut dikhawatirkan akan merusak otentisitas ajaran suatu agama. Inilah yang kemudian tercermin pada munculnya gerakan-gerakan pemurnian agama, khususnya di kalangan Islam. Karena itu, perlu dicarikan jalan keluar bagaimana bisa membangun suatu praktik keagamaan yang terbuka, egalitarian, namun tidak mengorbankan otentisitas suatu agama.

Di masa lalu, khususnya pada zaman kerajaan-kerajaan Islam pasca-Demak, masalah semacam ini juga sudah terjadi, khususnya ketika hegemoni kekuasaan pesisiran (Pesisir Utara Pulau Jawa) mulai melemah dan kekuasaan mulai bergeser ke daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena ketika itu corak karakter masyarakat pesisiran yang maritim dan masyarakat pedalaman yang agraris jelas berbeda. Ketika transportasi masih mengandalkan laut, daerah pesisiran jelas lebih diuntungkan dan lebih mungkin bergaul dengan banyak pihak, khususnya pihak asing. Dengan begitu, masyarakat pesisiran terasa lebih dinamis, kosmopolit, mudah beradaptasi dan cepat menerima nilai-nilai baru.

Kedatangan Islam, sebagai suatu sistem nilai, jelaslah hal yang baru ketika itu. Sebelum itu, masyarakat Jawa (Nusantara) menganut agama Hindu dan Buddha, di samping nilai-nilai budaya asli. Sesuai dengan kondisi lingkungan dan struktur sosialnya, ajaran Islam itu lebih cepat tumbuh dan terintegrasi di masyarakat pesisiran. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh dan berdiri Kerajaan Demak, maka pertumbuhan Islam semakin terasa hegemonik. Hal ini, selain faktor historis adanya peran para wali penganjur Islam, karena posisi Demak memang terletak di kawasan pesisiran. Namun kemudian, ketika hegemoni Demak mulai surut dan pusat kekuasaan mulai bergeser ke selatan, maka mau tidak mau Islam harus berbagi kembali dengan nilai-nilai lama (Hindu, Buddha dan nilai-nilai lokal lainnya) yang masih dianut oleh masyarakat daratan (pedalaman) di Jawa.

Di tengah situasi yang demikian ini, penguasa baru di kerajaan-kerajaan Islam pasca-Demak, khususnya Mataram Islam, tentu tetap memandang perlu membangun integrasi wilayahnya. Posisinya yang berada di pedalaman, mau tidak mau membuat Mataram Islam harus mulai menghitung kekuatan-kekuatan lokal masyarakat pedalaman, basis utama penyangga kekuasaannya. Namun demikian, kekuatan pesisiran yang kental dengan corak Islamnya tidak boleh diabaikan begitu saja. Dari sinilah, upaya pencarian titik temu antara Islam dan Jawa mulai digalakkan. Strategi budaya untuk membangun pertemuan nilai itu di antaranya lewat "subversi" nilai melalui karya sastra.

Warisan dari Kedhung Kol

Serat Suluk Saloka Jiwa merupakan suatu karya Raden Ngabehi (RNg) Ranggawarsita (1802-1873 M/1728-1802 Jw). Namun, seperti ditulis Simuh (1991: 74-80), tampaknya karya ini merupakan turunan karya Ranggawarsita, hanya saja nama penurunnya tidak dicantumkan di dalamnya. Yang pasti karya ini disebutkan sebagai warisan dari Kedhung Kol (Yasadipuran), suatu tempat yang kini berada di sebelah timur Pasar Kliwon, Solo. Hal ini terungkap dalam dua bait penutup:

Tamat sampun/ panedaking serat suluk/ luluri wijangan/ wijang-wijanganing wiji/ winih sangking Kedhung Kol saloka jiwa//

Wit anurun katiten kaping nem nuju/ Jumadilakirnya/ Ehe sengkalaning warsi/ titengeran cipta catur ngesthi tunggal//

Artinya:

Telah selesai penurunannya serat suluk, melestarikan ujaran, ajaran serta Seloka Jiwa warisan dari Kedhung Kol. Mulai diturun tanggal enam Jumadil Akhir tahun Ehe dengan angka 1841.

Karena yang tinggal di Kedhung Kol bukan hanya Ranggawarsita, namun juga para leluhurnya, baik Yasadipura I dan putranya Yasadipura II, yang merupakan kakek Ranggawarsita, maka bisa saja karya ini merupakan warisan dari kakek dan kakek buyutnya tersebut. Namun demikian, penurunnya hampir dapat dipastikan Ranggawarsita sendiri, mengingat beliau lahir tahun 1802 M dan wafat pada 1873 M (dan tahun penurunan suluk, yakni 1841, juga diperkirakan merupakan tahun Masehi). Kali pertama suluk ini diterbitkan oleh Penerbit Albert Rusche & Co, pada tahun 1915, dalam huruf Jawa berbentuk sekar macapat.

Namun, jika ditilik dari ciri-cirinya, tampaknya kitab ini merupakan karya asli Ranggawarsita. Di antara ciri-ciri tersebut, misalnya, adanya candrasangkala atau suryasangkala, yaitu angka tahun yang dijelmakan dalam kalimat-kalimat yang sesuai dengan soal atau tujuan yang ditulis dalam karangannya. Disebut candrasangkala jika merujuk angka tahun Jawa, sedangkan suryasangkala merujuk angka tahun Masehi. Dalam Suluk Saloka Jiwa, candrasangkala atau suryasangkala tersebut terdapat kalimat di bait penutup, "...cipta catur ngesthi tunggal", yang berarti angka tahun 1841. Ciri-ciri yang lain, juga adanya sandiasma, yaitu nama pengarang yang dirahasiakan dalam berbagai sisipan dalam kalimat atau gatra (bagian/bait) atau dalam pada (bait). Dalam catatan Kamajaya (1980: 19), pujangga Ranggawarsita merupakan perintis dalam hal ini. Sandiasma tersebut terdapat dalam kutipan berikut:

rarasing gita wiyata/ dénta ngastawa ngastuti/ ngayut waluyéng jiwangga/ berat tyas murta birai/ ijrah ijiring dhiri/ rongkot rungsiting pangangkuh/ galong gêlênging cipta/ warsitaning pra muslimin/ sinukarta rong gatra trus warsitaya.

Kata-kata atau suku kata dalam cetak tebal dalam kutipan di atas, jika dirangkai akan merujuk nama Raden Ngabei Ranggawarsita. Karena itu, dalam tulisan ini, Suluk Saloka Jiwa dipandang sebagai karya asli Ranggawarsita.

Senjakala Sastra "Kapujanggan"

Ranggawarsita merupakan pujangga istana Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sebagai penulis istana, dia tentu masih mewarisi tradisi sastra kapujanggan, yaitu tradisi sastra istana, semacam sastrawan negara, yang menulis untuk kepentingan istana atau kerajaan. Bahkan, dalam banyak tempat, Ranggawarsita sering disebut sebagai pujangga pungkasan atau pujangga penutup dalam tradisi keraton-keraton Jawa. Namun demikian, gelar pujangga pungkasan ini seringkali dianggap sebagai mitos, karena seakan-akan setelah dia tidak ada lagi pujangga (istana) Jawa.

Padahal, pada kenyataannya setelah itu masih ada pujangga istana, yang bertugas sebagai abdi dalem carik (juru tulis) di istana. Ada pula tafsir yang mengatakan bahwa gelar pujangga pungkasan ini terkait pada kenyataan bahwa sepeninggal Ranggawarsita, raja tidak lagi mengangkat seorang pujangga (pengarang) untuk menuliskan pikiran-pikirannya. Tafsiran yang lain, gelar ini sebagai bagian untuk mitos untuk memberi legitimasi jalur "keislaman" Ranggawarsita, karena gelar ini mengingatkan adanya kenabian terakhir (khatamul anbiya) yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW dalam ajaran Islam.

Namun, pada sisi yang lain, gelar pujangga pungkasan ini seakan justru menjadi sebuah ironi bagi runtuhnya tradisi sastra kapujanggan akibat transformasi budaya yang berkembang kala itu. Transformasi budaya tersebut tidak lain dipicu oleh semakin hegemoniknya kekuasaan pemerintah kolonial, sehingga raja-raja Jawa tidak lagi membutuhkan legitimasi dari para pujangganya, melainkan oleh kekuasaan pemerintah kolonial-dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda. Gambaran tentang transformasi budaya tentang runtuhnya tradisi sastra kapujanggan ini digambarkan dengan amat jitunya oleh sejarawan Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa, 1912 - 1926 (1997:9):

Tidak ada yang dapat lebih menggambarkan transformasi budaya di Surakarta pada abad XIX ini daripada tempat yang diduduki oleh RNg Ranggawarsita saat itu. Melalui kemampuan bahasanya ia melegitimasi kekuasaan. Ia adalah pujangga istana Kesunanan yang tidak terpakai lagi karena urusan legitimasi budaya telah diberikan pada Belanda. Dengan demikian, yang menjadi patron baginya bukan lagi istana Sunan, melainkan para Javanolog Belanda dan komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang mengembangkan kesusastraan Jawa modern.

Dengan demikian, apa yang dikatakan Takashi Shiraishi bukan saja berakhirnya tradisi kapujanggan, namun juga berakhirnya para sastrawan Jawa berpatron pada istana (Mataram), melainkan kepada para Javanolog, yang kebanyakan justru berkebangsaan Belanda. Namun demikian, posisi Ranggawarsita sebagai sastrawan istana tetap penting untuk digarisbawahi, meskipun sebenarnya berada pada posisi senjakala, setidak-tidaknya untuk memosisikan karya-karya Ranggawarsita dalam kultur politik Jawa dan posisinya yang masih secara resmi sebagai abdi dalem istana. Apalagi, keindahan bahasa karya-karya Ranggawarsita, seperti juga diakui oleh Takashi Shiraishi, telah menetapkan standar artistik pada zamannya, karena itu posisinya tetap legendaris.

Di luar itu, karya-karya Ranggawarsita juga disebarkan lewat proses cetak, sehingga lebih bisa menjangkau khalayak yang lebih luas, termasuk bagi kalangan Javanolog Belanda dan komunitas Indo-Jawa-Tionghoa. Hal ini berbeda dengan pujangga sebelumnya, yang penyebaran karya-karyanya kebanyakan masih lewat proses salinan tangan. Atas posisinya yang demikian ini, karya-karya Ranggawarsita terasa lebih memiliki daya tekan sosiologis yang kuat, yang itu didapat bukan semata-mata posisinya sebagai pujangga keraton, tetapi juga faktor prestasi artistiknya.

Isi dan Ajaran "Suluk Saloka Jiwa"

Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu, didorong oleh rasa keinginannya yang besar mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke Negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaan Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap sebagai dewa Hindu, namun batinnya telah menganut Islam.

Demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan, sesampainya di Negeri Rum, Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para ulama besar ahli sufi kenamaan di Rum yang dipimpin Seh Ngusman Najid. Musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursid (guru sufi): Seh Ngusman Najid, Seh Suman sendiri, Seh Bukti Jalal, Seh Brahmana, dan Seh Takru Alam.

Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa sebagaimana dirangkumkan oleh Simuh (1991: 76). Menurut Simuh, kitab ini tampaknya "diilhami" oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampurnan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat. Pendapat senada terdapat dalam disertasi Dr Alwi Shihab di Universitas 'Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma'asir. Hanya saja, dalam disertasi Shihab, nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Seh Suman ditulisnya sebagai Sulaiman, Seh Ngusman Najid ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu, alur cerita yang digambarkan tidak berbeda. Keduanya juga menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya menyinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme), inti pokok ajaran kebatinan Jawa.

Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari mana manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah al-nur yang kemudian terpancar darinya tanah, api, udara, dan air. Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari empat unsur: darah, daging, tulang-tulang, dan tulang rusuk. Api melahirkan empat jenis jiwa/nafsu: aluamah (dalam ejaan Arab lawwamah) yang memancarkan warna hitam; amarah (ammarah) memancarkan warna merah; supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan mutmainah (muthma'inah) yang berwarna putih. Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kebatinan Jawa yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Dalam kaitan pemilahan an-nafs (nafsu) ini, Al-Ghazali membagi tujuh macam nafsu, yaitu mardhiyah, radhiyah, muthmainah, kamilah, mulhammah, lawwamah, dan ammarah (Rahardjo; 1991: 56). Namun, yang berkembang dalam kebatinan Jawa bukan tujuh macam nafsu, namun tetap empat nafsu di atas.

Seorang dokter-cendekiawan Jawa dari Semarang, dr Paryana Suryadibrata, pada tahun 1955, pernah menulis karangan "Kesehatan Lahir dan Batin" bersambung lima nomor di Majalah Media Yogyakarta. Ia, misalnya, menyebut empat macam tingkatan nafsu manusia: ammarah (egosentros), supiyah (eros), lawwamah (polemos), dan muthmainah (religios). Konsep tentang empat nafsu itu kemudian berkembang luas di kalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan kebatinan Jawa yang non-muslim. Karena itu, tidak salah jika Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen.

Sinkretisme atau Varian Islam?

Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk Saloka Jiwa? Benarkah Ranggawarsita, dengan karya suluknya ini, telah membawa bentuk sinkretisme Islam-Jawa? Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antarnilai suatu agama ini bisa dijadikan desain strategi budaya untuk membangun pola relasi antar-umat beragama di Indonesia dewasa ini? Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat kompleksnya permasalahan. Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir mengambil sudut pandang.

Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan. Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan Hinduisme. Hal ini seperti tercermin dalam kutipan pupuh berikut ini:

Yata wahu/ Seh Suman sareng angrungu/ pandikanira/ sang panditha Ngusman Najid/ langkung suka ngandika jroning wardoyo//Sang Awiku/ nyata pandhita linuhung/ wulange tan siwah/ lan kawruhing jawata di/ pang-gelare pangukute tan pra beda//

Artinya:

Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita dalam hatinya. Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak berbeda dengan ilmu kehinduan.

Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang berpendapat bahwa Ranggawarsita telah mengesahkan "agama ganda" bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena antara Hindu dan Islam memang terdapat keselarasan teologi. Simuh, misalnya, menyatakan, "Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan batin mengikuti tuntunan Islam" (Simuh; 1991: 77).

Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan asli. Upaya-upaya ini telah dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam. Di antaranya, Sultan Agung mengubah kalender Saka (Hindu) menjadi kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan sistem penanggalan Islam (Hijriah).

Namun, benarkah bahwa Islam Jawa merupakan bentuk sinkretisme Islam dengan ajaran Hindu, Buddha dan kepercayaan Jawa? Pendapat yang dominan memang demikian, khususnya bagi yang mengikuti teori trikotomi-santri-priayi-abangan-Clifford Geertz sebagaimana tercermin dalam The Religion of Java yang monumental itu. Namun, seorang pakar studi Islam lainnya, Mark R Woodward, yang melakukan penelitian lebih baru dibanding Geertz, yaitu pada tahun 1980-an, berkesimpulan lain. Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa. "Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan... sangat sepele," demikian tulis Woodward (1999: 3).

Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353). Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.

Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme. Dalam kaitan ini, Woodward menulis: "Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik." (ibid: 4-5).

Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun, pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.

Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan "menyeleweng" dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar. Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut:

Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami "pembacaan" ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai "teks besar" yang "membentuk" kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk "membaca kembali" Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena "menyeleweng" dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan "resistensi". Penolakan tampil dalam nada yang "subtil", dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme"....

Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan perlawanan: Menang tanpa ngasorake... Islam tampaknya telah mengalami kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah "disubversi" sedemikian rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga sesungguhnya yang tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.

Dari Mitis ke Epistemologis

Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan adalah pandangan "kita" versus "mereka", dan karena itu "Jawa" dan "Islam" berada dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini, resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara berpikir "mitis" ke pola berpikir "epistemologis.

Transformasi berpikir "mitis" ke "epistemologis" adalah membawa alam pikiran masyarakat dari semula yang "tidak berjarak" dengan alam menuju cara berpikir yang "mengambil jarak" dengan alam. Dengan adanya keberjarakan dengan alam, manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir "mitis", manusia berada "dalam penguasaan" alam.

Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam, seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi. Dengan berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional, bermanfaat.

__________16 September 2007
*) MH ZAELANI TAMMAKA Peminat studi sosial dan kebudayaan, salah satu penggiat Ndalem Padmosusastro Surakarta.
Dijumput dari: http://sajaroh.blogspot.com/2007/09/strategi-budaya-mencari-titik-temu.html

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae