Jumat, 21 Oktober 2011

Pesta Kawin

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Tanjung Dungkak, adalah kota kecil dari sekian puluh kota yang pernah aku singgahi. Dibanding Tanjung Benoa Bali, kota ini tak sekedar jauh wilayah teritorialnya, melainkan jauh pula tingkat peradapannya. Kawasan sunyi dari lalu lalang menusia, minim gedung mewah, tak ada kendaraan transportasi dan dunia gemerlap. Keadaan ini berbanding seratus delapan puluh derajat dengan Tanjung Benoa Bali yang tak sepi turis manca negara silih berganti menyinggahi.

Hingga kini aku tak pernah mempertanyakan, apakah hidup di rantau adalah takdir yang aku pesan. Yang aku tau adalah saat kepala bagian kontraktor CV tempatku bekerja menelphon, mengabari perpindahan tempatku selanjutnya setelah libur beberapa minggu.

Kerjaku memang berganti wilayah. Sekali berangkat, tak akan pulang hingga garapan usai. Jarak kepulanganku yang paling pendek sekitar enam bulan, selebihnya hingga empat tahun. Bahkan kepulangan terakhirku, seorang anak kecil yang baru jalan terantanan memanggilku kakek, padahal keberangkatan terahir lalu, anak gadisku masih kelas dua SMP.

Kehidupan kadang seperti diktator. Ia mengangkang berkacak pinggang saat kita besimpuh merunduk di telapak kakinya sekali pun. Kebutuhan hidup menjadi seutas tambang yang dilempar matador dan persis mendadung leher dan kemudian menyeretku seperti sapi atau kerbau dungu.

Meski bertahun tahun di rantau, tetap saja ada secarik goresan yang gagal aku hilangkan. Yakni seperti ada yang tak tercatat di langit dan kitab suci, rindu kampung halaman, rindu ingin pulang. Padahal telapak kakiku sering berkata,”Indonesia adalah kampung halamanku, Indonesia mana yang tak aku singgahi?”

Sejatinya aku bukan keturunan Marcopolus Colombus, sang kakek Amerika itu. Aku ingat, nisan kayu goprak yang tak bernama lagi, adalah kepala Tukejo, buyutku yang asli Jawa. Tapi mungkin Tukejo adalah sejawat Marcopolo, atau sekedar teman gaplei di gardu beratus tahun lalu. Terbukti kedekatan mereka, mewaris kepadaku. Dimana ada pulau, di situ aku berlabuh.

***

Berbeda dengan setahun lalu. Tempat ini sudah berbentuk beton cor yang layak ditiduri. Awalnya hanyalah rawa-rawa. Sejak kali pertama di tempat ini, tugasku setiap hari merubah kawasan ini menjadi bangunan layak huni bagi kapal kapal berlabuh. Tak terasa memang, adonan semen dan pasir yang ditanting tangan kuli anak buahku se ember demi se ember kini telah mengeras, tak berupa lumpur rawa yang membuat badan belepotan dan wajah hingga tak berbentuk saat bekerja.

Kadang aku mendengar senda gurau kawan sepekerjaku saat mereka menyelesaikan lelah. “ Seandainya istriku tau kalau kerjaku begini sengsara, mungkin ia tak sampai hati, makan hasil jerih payahku,” Kawan yang lain segera menyahut! “Lantas kalau gak makan jerih payahmu, istrimu mau makan apa? Yang namanya wanita itu, lobangnya lebar. Dimasukkan apa saja pasti muat. Jangankan uang pas pasan, harta segudang pun tetap kurang. Lha wong kepala bayi saja muat kok.” Seperti biasanya, kedua sahabatku itu larat ke kisah mereka semalam di tepian kolam madu yang jaraknya tujuh kilo meter. Sebuah kubangan segaran yang direguk para perantau sebagai pelepas dahaga.

Selintas aku ingat Rahwana. Ia jadi tersangka saat penculikan Shinta dari pagar Lesmana. Padahal sesungguhnya tanpa diculik pun Shinta tetap keluar dari lingkaran pagar. Kijang kencana yang berlarian di sekitar pagar, membuat lidah Shinta kemecer memilikinya sebelum wanita lain mendapatkannya. Dan betapa indah wanita jika berhias emas kencana dan berlian, apalagi harta melimpah. Andai Shinta keluar pagar tanpa pakaian pun akan ia lakukan jika itu syarat mendapat kijang kencana.

***

Cangkang laut hulu anak sungai Musi ini, soal ikan bakar, aku seperti pemilik restaurant. Senja seusai bekerja, tinggal melempar mata kail, dua kali straekan cukup buat lauk. Berbeda ketika aku di sepanjang pantai Uluwatu Jimbaran. Tiap bobot ikan dihitung harga dollaran.

Terhitung bulan ke enam, dari selatan matahari sudah menyeberangi katulistiwa. Hujan tak akan berkunjung lagi tiap pekan. Dedaunan yang lebat segera rontok di pesta musim gugur. Dan setelahnya, pasti segera berbuah.

Tepat di depan bangunanku, di seberang sungai, pohon beringin itu satu-satunya pohon terbesar di tempatku. Pemukim asli menyebutnya istana kera. Taruan saja memang pohon itu tak sepi ditempati kawanan kera.

Sudah tiga hari ini bunyi kera-kera itu lain dari biasanya. Tak sekedar pating cruet, bunyi mereka disertai perubahan nada. Dari crueeet, crueeet, beberapa hari itu cruet uww, uww. Awal bunyi itu dilantunkan sang raja kera. Sepertinya pernah dirapatkan dalam aturan perundang-undangan perkerahan, bahwa suara khas sang raja kera itu harus disauti semua pejantan kera seantero hutan belantara. Tak pelak, dalam waktu singkat, berbagai penjuru hutan gemontang suara yang sama.

Melihat perkelahian terus menerus tiga hari sesudahnya, agaknya suara itu adalah tanda tiba waktunya diselenggarakan ajang penentuan pejantan sejati. Semua kera jantan harus bertarung dan terseleksi. Hari hari itulah yang paling mengesankan bagi kami. Sambil bekerja, seolah sambil menonton gratis pagelaran teater kera kala memasuki akting antagonis. Namun beberapa kawanku ada yang kerja tak bergaji. Sebab dalam pertarungan kera itu, mereka berjudi menebak kera mana yang kalah. Sedang teman lain yang tak suka berjudi, bertaruh dengan colekan arang di wajah. Siapa yang sering kalah, wajahnya pating celoteng melebihi kera.

Selama tiga hari keramaian pohon istana nyaris menghapus minggu minggu dan bulan sebelumnya. Tak tau persis kapan kera ini mengirim surat kepada buaya. Hingga cangkang hulu sungai itu dipenuhi sembulan ombak ratusan buaya yang nenggak. Ratusan buaya berbondong bondong ke sekitar istana. Bagi buaya, saat petarungan kera adalah pesta bagi bangsanya. Sekian lama melata bertahun-tahun, dalam kesengsaraan (buaya), kera ingin mempersembahkan hal yang paling sisah dalam hidupnya untuk menghibur buaya.

Suara raungan silih berganti. Bagi pejantan yang lari artinya kalah. Tetapi tak sedikit yang memilih mati demi harga diri. Beberapa saat kemudian dua ekor segera melempar bangkai kawan tak bernyawa karena teguh dengan kegigihannya. Kematian mulia bagi manusia, ternyata tidak berlaku bagi kera. Tak sekedar melempar, kera itu sambil berekspresi memoncongkan bibir mengutuk bangkai kawannya. Bangkai bertelantingan di dahan-dahan, dan kemudian terjebur ke sungai. Jangankan sejak bertelantingan jatuh, jauh sebelum pertarungan saja buaya sudah menunggu dengan celangap mulut laparnya.

***

Setelah pertarungan itu, pohon istana yang doyong ke sungai hanya dihuni beberapa ekor saja, yakni pejantan sejati dan beberapa ekor pengabdi. Namun tiap hari tak sepi sekitar sepuluh ekor betina berbanjar mengantri. Para betina yang datang dari penjuruh hutan berarti memasuki masa kawin. Suda jadi resiko pejantan sejati, selalu dikunjungi betina yang ingin berketurunan dominan. Dan kalau pejantan sejati itu tidak mau, sama artinya mampus dikeroyok rombongan betina. Demikianlah kiranya siklus hutan. Untuk memilih pejantan sejati ditentukan lawan pejantan lain. Sedang untuk membuktikan jantan sejati, harus diadu melawan betina.

Aku ingat Sarmin, kawanku SMA. Dia harus mati dirajam hukum Arab Saudi. Saat bekerja menjadi supir pribadi di negara itu, juragannya adalah 5 wanita dalam satu rumah. Selain menyopir mobilnya, Samin juga dipaksa menyupir tubuh mereka secara bergantian. Dua tahun kemudian tubuh Sarnim kurus kekurangan hormon, dan ketika ia menolak ajakan juragannya, mereka beramai-ramai melaporkan ke polisi dengan alasan pemerkosaan.

Tak hanya pertarungan yang menjadi momen berkesan bagiku, masa kawin kera juga tontonan gratis pelepas lelah. Di dahan besar itu pejantan malu-malu, salah tingkah di hadapan sederet betina. Satu di antara betina mendekat. Sementara yang lain seperti tidak ada urusan dengan kedua pasangan itu. Meskipun antri, tetap saja bagi mereka adalah urusan dan kepentinan tersendiri. Mula-mula pejantan mengusap kepala betina, lalu mencari kutu di bulu-bulunya. Setelah keduanya berciuman, tak berselang lama yang memang telanjang sebelumnya, seperti saat aku dan istriku yang kemudian melahirkan kedua anakku.

Itulah saat saat keduanya menjadi pemilik sorga hutan belantara. Jangankan keranya, kutu di bulunya pun memiliki hal yang sama. Betina yang selesai diajak bertamasya pejantan ke ruang-ruang hampa segera pergi tanpa mau tahu apa yang dilakukan pejantan dengan betina giliran berikutnya. Para betina pun hamil dan menyusui bayi mereka sekian bulan sesudahnya.

Waktu bersamaan dengan tontonan pesta perkawinan kera itu, kadang beberapa rekanku langsung ngelonyor ke tempat mandi dan betah berlama-lama. Seperti biasanya, sore seusai bekerja, dua orang temanku sudah berpakaian necis. Mereka pergi ke lembah madu yang berjarak tujuh kilo meter. Sebuah kubangan segaran tempat para perantau mereguk madu pelepas dahaga. Apalagi setelah berguru pada kera, penonton ibarat murit cerdas yang segera memraktekkannya.

Sementara aku dengan sisah dada bergemuruh, sibuk menghalau rasa kangen pada istri di rumah nan jauh. Aku yakin. Aku bukan keturunan Marcopolo yang di mana ada pulau, di situ pula aku mendarat. Tentu, sekalian menjelajahi wanita setempat.

17 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae