Sabtu, 29 Oktober 2011

Islam di Mata Dua Raja Jawa

Asep Sambodja
http://www.kompas.com/

Bagaimana kita membaca Wedhatama dan Wulangreh dalam konteks kekinian? Mungkin kita akan dengan mudah mengatakan bahwa pengarang Wedhatama, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegoro IV terasa sinis saat membicarakan agama Islam. Sementara pengarang Wulangreh, yakni Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Pakubuwono IV terasa lebih bisa menerima ajaran agama Islam. Tapi, apakah sesederhana itu?

Kalau kita baca Wedhatama karya Mangkunegoro IV, yang diterjemahkan kembali oleh Fatchurrohman (Jakarta: WWS, 2003), terbaca bahwa Mangkunegoro IV memberi pelajaran kepada anak-anaknya bahwa sebaiknya yang dijadikan panutan itu Panembahan Senopati (Raja Mataram yang pertama) dan bukan Nabi Muhammad SAW.

Hal ini terbaca pada bagian berikut ini:
Nuladha laku utama, tumraping wong tanah Jawi, wong Agung ing Ngeksiganda, panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amemangun karyenak tyasing sasama (Teladanilah sikap terpuji tokoh besar dari Mataram, Panembahan Senapati. Ia telah berupaya sepenuh hati demi terkendalinya hawa nafsu. Rajin bertapa, baik siang maupun malam, guna menciptakan ketenteraman batin sesama makhluk).

Lamun sira paksa nulad, tuladhaning Kanjeng Nabi, o, ngger kadohan panjangkah, wateke tan betah kaki, rehne ta sira Jawi, sathithik bae wus cukup, aja guru aleman, nelad kas ngepleki pekih, lamun pengkuh pangangkah yekti karahmat (Jika kau memaksakan diri untuk meniru sikap ketauladanan Nabi, o, terlampau jauh, anakku. Dari gelagatmu, kau takkan mampu karena kau lahir sebagai orang Jawa. Karenanya tak perlu berlebihan. Janganlah mencari pujian dengan meniru dan menyerupai ulama ahli. Asalkan engkau tekun meraih cita-cita tentu anugerah akan tiba).

Mangkunegoro IV sadar bahwa ia adalah keturunan raja, priyayi, karena itu, dalam Wedhatama, ia juga mengatakan, “Lambat laun aku berpikir, mengingat dilahirkan sebagai putra priyayi, layakkah berkeinginan menjadi santri, juru dakwah, atau ahli agama?” Dan, karena merasa tidak memiliki bakat keturunan itulah Mangkunegoro IV lebih berpegang teguh pada garis ketentuan hidup, yakni melakukan upaya pelestarian terhadap ajaran para pendahulu hingga saat sekarang. “Garis hidup yang harus kutempuh tak lain hanyalah mencari nafkah.”

Jika dihadapkan pada dua pilihan; lebih mengutamakan ibadah atau mencari nafkah, maka Mangkunegoro IV melalui Wedhatama akan menjawab: “Mencari nafkah kiranya lebih utama karena kita ditakdirkan sebagai orang lemah. Misalnya, mengabdi kepada raja, bertani, ataukah berdagang. Demikianlah menurutku, setidaknya sebagai orang yang bodoh, oleh karena bahasa Arab belum kukenal, Jawa pun belum tuntas kukuasai. Walaupun demikian, aku terpaksa memberanikan diri menggurui anak.”

Manusia ideal di mata Mangkunegoro IV adalah manusia yang dalam hidupnya memiliki tiga hal, yakni kekuasaan, harta, dan kepandaian. Kalau manusia tidak dapat meraih satu dari ketiga hal di atas, maka habislah martabatnya sebagai manusia. Jadi, kalau menggunakan kacamata Mangkunegoro IV, kemuliaan manusia tidak dilihat dari ketaqwaannya, melainkan dari ketiga hal yang sangat duniawi.

Hal lain yang cukup penting dalam Wedhatama adalah masalah syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat, yang di Jawa sebenarnya sudah dikenal pula dengan sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Tampaknya Mangkunegoro IV agak risih dengan pelaksanaan syariat yang dinilainya terlalu berlebihan. “Dahulu kala masyarakat belum pernah dikenalkan pada ajaran rahasia ini. Baru sekarang kaum saleh memperlihatkan karya, menampakkan kemahirannya, bahkan syariat aneh-aneh.”

Berbeda dengan Mangkunegoro IV, raja Jawa lainnya, Pakubuwono IV agak berbeda menyikapi Islam dalam Wulangreh. Dalam bagian awal tulisannya, Pakubuwono IV mengatakan, “Dalam Alquranlah tempat kebenaran sejati, namun hanya yang terpilih yang tahu, dan yang memperoleh petunjukNya. Demikianpun pemahamannya tidak dapat hanya berdasar perkiraan sehingga tidak menemukan kebenaran isyarat, bahkan mungkin berlebihan sehingga tersesat. Jika engkau ingin memahami kesempurnaan hidup, seyogyanya bergurulah.”

Sebagaimana Wedhatama, Wulangreh juga merupakan naskah kraton; yakni naskah yang ditulis oleh kalangan kraton atas perintah raja saat itu. Dan, ajaran-ajaran yang terdapat dalam naskah ini juga ditujukan kepada anak-anak raja. Saya menilai Wulangreh adalah naskah yang sangat luar biasa, karena di dalamnya berisi nasihat kepada anak-anak raja (penguasa) untuk tidak menyombongkan diri. Pakubuwono IV mengajarkan agar anak-anak raja tidak adigang adigung adiguna; yang artinya janganlah kau menyombongkan diri, janganlah suka mencela, serta jangan menyombongkan kepandaian (sok pintar).

“Ajaran yang benar itu sesungguhnya pantas ditiru. Sekalipun berasal dari orang berderajat rendah, namun jika ajarannya benar, pantas kau terapkan,” kata Pakubuwono IV. Pernyataan ini sama dengan sabda Nabi yang mengatakan “dengarlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.”

Banyak sekali nasihat-nasihat yang diberikan Pakubuwono IV yang saya nilai justru antifeodalisme. Bahkan, ketika menasihati anaknya untuk berbakti, maka orang yang harus dihormati pertama kali adalah orangtua (ayah dan ibu), kemudian mertua (baik mertua laki-laki maupun perempuan), setelah itu harus menghormati kakak (baik laki-laki maupun perempuan), kemudian guru, dan yang terakhir adalah raja. Ini menurut saya sangat menarik. Meskipun ada nasihat untuk menghormati raja, tapi itu dilakukan setelah kita menghormati orangtua dan guru.

Naskah Wulangreh ini ditulis pada 1803 (awal abad ke-19), sementara Wedhatama ditulis sekitar 1853-1881 (pertengahan abad ke-19). Jika Wulangreh ditulis oleh Pakubuwono IV yang ketika dikukuhkan menjadi raja masih berumur 19 tahun, maka Wedhatama ditulis oleh Mangkunegoro IV yang di masa kolonial Belanda saat itu dikenal lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi.

Pakubuwono IV tidak menafikan syariat Islam sebagaimana Mangkunegoro IV yang merasa risih dengan syariat Islam. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa sebenarnya kultur atau budaya Jawa itu beragam. Dengan demikian, Islam yang diterima dan dipraktikkan oleh manusia Jawa pun beragam. Ada yang menerima agama Islam seutuhnya, yang berusaha “meniru-niru Kanjeng Nabi Muhammad dari Mekah”, ada pula yang menerima Islam namun tidak melupakan kepercayaan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa dalam kedua naskah ini, penggunaan istilah Hyang Widhi dan Allah silih berganti posisinya. Bahkan Nabi Muhammad pun disandingkan dengan Hyang Widhi. Ini memperlihatkan adanya sinkretisme ataupun proses transisi dari pengaruh Hindu ke Islam.

Niels Mulder mencatat bahwa Islam mulai menancapkan pengaruhnya di Jawa pada abad ke-16 sejak berdirinya kerajaan Demak di daerah pesisir Jawa. Begitu kerajaan Demak berakhir, terjadi negosiasi ulang antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai kejawaan (kejawen) di kerajaan-kerajaan di Jawa yang berada di pedalaman, termasuk raja-raja di Surakarta. Saya melihat naskah Wedhatama memperlihatkan dengan jelas adanya negosiasi ulang itu. Sementara Wulangreh memperlihatkan masih adanya sikap akomodatif terhadap Islam di tanah Jawa. ***

____________________11 April 2009
Bibliografi

Mangkunegoro IV, KGPAA. Wedhatama.
Mulder, Niels. 2001. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Pakubuwono IV, ISKS. 1803. Wulangreh.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Soekmono, R. 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogykarta: Kanisius.
Tammaka, Mh. Zaelani. 2003. “Suluk Saloka Jiwa: Strategi Budaya Mencari Titik Temu
Islam-Jawa,” dalam Bre Redana dkk. (ed.). Bentara. Jakarta: Kompas.

Strategi Budaya Mencari Titik Temu Islam-Jawa

Mh Zaelani Tammaka
http://sajaroh.blogspot.com/

MASALAH toleransi tetaplah menjadi masalah yang senantiasa urgen bagi masyarakat yang pluralistis-khususnya dari segi agama-seperti di Indonesia. Bermacam upaya dilakukan untuk menangani masalah itu. Di antara upaya tersebut adalah mencari titik temu (kalimatus sawa) di antara agama-agama yang ada. Namun demikian, upaya mencari titik temu sering seperti terbentur tembok yang tebal ketika masing-masing pihak merasa superior di antara pihak yang lain. Di luar itu, problem yang menghadang adalah bahwa pencarian titik temu tersebut dikhawatirkan akan merusak otentisitas ajaran suatu agama. Inilah yang kemudian tercermin pada munculnya gerakan-gerakan pemurnian agama, khususnya di kalangan Islam. Karena itu, perlu dicarikan jalan keluar bagaimana bisa membangun suatu praktik keagamaan yang terbuka, egalitarian, namun tidak mengorbankan otentisitas suatu agama.

Di masa lalu, khususnya pada zaman kerajaan-kerajaan Islam pasca-Demak, masalah semacam ini juga sudah terjadi, khususnya ketika hegemoni kekuasaan pesisiran (Pesisir Utara Pulau Jawa) mulai melemah dan kekuasaan mulai bergeser ke daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena ketika itu corak karakter masyarakat pesisiran yang maritim dan masyarakat pedalaman yang agraris jelas berbeda. Ketika transportasi masih mengandalkan laut, daerah pesisiran jelas lebih diuntungkan dan lebih mungkin bergaul dengan banyak pihak, khususnya pihak asing. Dengan begitu, masyarakat pesisiran terasa lebih dinamis, kosmopolit, mudah beradaptasi dan cepat menerima nilai-nilai baru.

Kedatangan Islam, sebagai suatu sistem nilai, jelaslah hal yang baru ketika itu. Sebelum itu, masyarakat Jawa (Nusantara) menganut agama Hindu dan Buddha, di samping nilai-nilai budaya asli. Sesuai dengan kondisi lingkungan dan struktur sosialnya, ajaran Islam itu lebih cepat tumbuh dan terintegrasi di masyarakat pesisiran. Ketika Kerajaan Majapahit runtuh dan berdiri Kerajaan Demak, maka pertumbuhan Islam semakin terasa hegemonik. Hal ini, selain faktor historis adanya peran para wali penganjur Islam, karena posisi Demak memang terletak di kawasan pesisiran. Namun kemudian, ketika hegemoni Demak mulai surut dan pusat kekuasaan mulai bergeser ke selatan, maka mau tidak mau Islam harus berbagi kembali dengan nilai-nilai lama (Hindu, Buddha dan nilai-nilai lokal lainnya) yang masih dianut oleh masyarakat daratan (pedalaman) di Jawa.

Di tengah situasi yang demikian ini, penguasa baru di kerajaan-kerajaan Islam pasca-Demak, khususnya Mataram Islam, tentu tetap memandang perlu membangun integrasi wilayahnya. Posisinya yang berada di pedalaman, mau tidak mau membuat Mataram Islam harus mulai menghitung kekuatan-kekuatan lokal masyarakat pedalaman, basis utama penyangga kekuasaannya. Namun demikian, kekuatan pesisiran yang kental dengan corak Islamnya tidak boleh diabaikan begitu saja. Dari sinilah, upaya pencarian titik temu antara Islam dan Jawa mulai digalakkan. Strategi budaya untuk membangun pertemuan nilai itu di antaranya lewat "subversi" nilai melalui karya sastra.

Warisan dari Kedhung Kol

Serat Suluk Saloka Jiwa merupakan suatu karya Raden Ngabehi (RNg) Ranggawarsita (1802-1873 M/1728-1802 Jw). Namun, seperti ditulis Simuh (1991: 74-80), tampaknya karya ini merupakan turunan karya Ranggawarsita, hanya saja nama penurunnya tidak dicantumkan di dalamnya. Yang pasti karya ini disebutkan sebagai warisan dari Kedhung Kol (Yasadipuran), suatu tempat yang kini berada di sebelah timur Pasar Kliwon, Solo. Hal ini terungkap dalam dua bait penutup:

Tamat sampun/ panedaking serat suluk/ luluri wijangan/ wijang-wijanganing wiji/ winih sangking Kedhung Kol saloka jiwa//

Wit anurun katiten kaping nem nuju/ Jumadilakirnya/ Ehe sengkalaning warsi/ titengeran cipta catur ngesthi tunggal//

Artinya:

Telah selesai penurunannya serat suluk, melestarikan ujaran, ajaran serta Seloka Jiwa warisan dari Kedhung Kol. Mulai diturun tanggal enam Jumadil Akhir tahun Ehe dengan angka 1841.

Karena yang tinggal di Kedhung Kol bukan hanya Ranggawarsita, namun juga para leluhurnya, baik Yasadipura I dan putranya Yasadipura II, yang merupakan kakek Ranggawarsita, maka bisa saja karya ini merupakan warisan dari kakek dan kakek buyutnya tersebut. Namun demikian, penurunnya hampir dapat dipastikan Ranggawarsita sendiri, mengingat beliau lahir tahun 1802 M dan wafat pada 1873 M (dan tahun penurunan suluk, yakni 1841, juga diperkirakan merupakan tahun Masehi). Kali pertama suluk ini diterbitkan oleh Penerbit Albert Rusche & Co, pada tahun 1915, dalam huruf Jawa berbentuk sekar macapat.

Namun, jika ditilik dari ciri-cirinya, tampaknya kitab ini merupakan karya asli Ranggawarsita. Di antara ciri-ciri tersebut, misalnya, adanya candrasangkala atau suryasangkala, yaitu angka tahun yang dijelmakan dalam kalimat-kalimat yang sesuai dengan soal atau tujuan yang ditulis dalam karangannya. Disebut candrasangkala jika merujuk angka tahun Jawa, sedangkan suryasangkala merujuk angka tahun Masehi. Dalam Suluk Saloka Jiwa, candrasangkala atau suryasangkala tersebut terdapat kalimat di bait penutup, "...cipta catur ngesthi tunggal", yang berarti angka tahun 1841. Ciri-ciri yang lain, juga adanya sandiasma, yaitu nama pengarang yang dirahasiakan dalam berbagai sisipan dalam kalimat atau gatra (bagian/bait) atau dalam pada (bait). Dalam catatan Kamajaya (1980: 19), pujangga Ranggawarsita merupakan perintis dalam hal ini. Sandiasma tersebut terdapat dalam kutipan berikut:

rarasing gita wiyata/ dénta ngastawa ngastuti/ ngayut waluyéng jiwangga/ berat tyas murta birai/ ijrah ijiring dhiri/ rongkot rungsiting pangangkuh/ galong gêlênging cipta/ warsitaning pra muslimin/ sinukarta rong gatra trus warsitaya.

Kata-kata atau suku kata dalam cetak tebal dalam kutipan di atas, jika dirangkai akan merujuk nama Raden Ngabei Ranggawarsita. Karena itu, dalam tulisan ini, Suluk Saloka Jiwa dipandang sebagai karya asli Ranggawarsita.

Senjakala Sastra "Kapujanggan"

Ranggawarsita merupakan pujangga istana Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sebagai penulis istana, dia tentu masih mewarisi tradisi sastra kapujanggan, yaitu tradisi sastra istana, semacam sastrawan negara, yang menulis untuk kepentingan istana atau kerajaan. Bahkan, dalam banyak tempat, Ranggawarsita sering disebut sebagai pujangga pungkasan atau pujangga penutup dalam tradisi keraton-keraton Jawa. Namun demikian, gelar pujangga pungkasan ini seringkali dianggap sebagai mitos, karena seakan-akan setelah dia tidak ada lagi pujangga (istana) Jawa.

Padahal, pada kenyataannya setelah itu masih ada pujangga istana, yang bertugas sebagai abdi dalem carik (juru tulis) di istana. Ada pula tafsir yang mengatakan bahwa gelar pujangga pungkasan ini terkait pada kenyataan bahwa sepeninggal Ranggawarsita, raja tidak lagi mengangkat seorang pujangga (pengarang) untuk menuliskan pikiran-pikirannya. Tafsiran yang lain, gelar ini sebagai bagian untuk mitos untuk memberi legitimasi jalur "keislaman" Ranggawarsita, karena gelar ini mengingatkan adanya kenabian terakhir (khatamul anbiya) yang disandang oleh Nabi Muhammad SAW dalam ajaran Islam.

Namun, pada sisi yang lain, gelar pujangga pungkasan ini seakan justru menjadi sebuah ironi bagi runtuhnya tradisi sastra kapujanggan akibat transformasi budaya yang berkembang kala itu. Transformasi budaya tersebut tidak lain dipicu oleh semakin hegemoniknya kekuasaan pemerintah kolonial, sehingga raja-raja Jawa tidak lagi membutuhkan legitimasi dari para pujangganya, melainkan oleh kekuasaan pemerintah kolonial-dalam hal ini pemerintah Hindia Belanda. Gambaran tentang transformasi budaya tentang runtuhnya tradisi sastra kapujanggan ini digambarkan dengan amat jitunya oleh sejarawan Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa, 1912 - 1926 (1997:9):

Tidak ada yang dapat lebih menggambarkan transformasi budaya di Surakarta pada abad XIX ini daripada tempat yang diduduki oleh RNg Ranggawarsita saat itu. Melalui kemampuan bahasanya ia melegitimasi kekuasaan. Ia adalah pujangga istana Kesunanan yang tidak terpakai lagi karena urusan legitimasi budaya telah diberikan pada Belanda. Dengan demikian, yang menjadi patron baginya bukan lagi istana Sunan, melainkan para Javanolog Belanda dan komunitas Indo-Jawa-Tionghoa yang mengembangkan kesusastraan Jawa modern.

Dengan demikian, apa yang dikatakan Takashi Shiraishi bukan saja berakhirnya tradisi kapujanggan, namun juga berakhirnya para sastrawan Jawa berpatron pada istana (Mataram), melainkan kepada para Javanolog, yang kebanyakan justru berkebangsaan Belanda. Namun demikian, posisi Ranggawarsita sebagai sastrawan istana tetap penting untuk digarisbawahi, meskipun sebenarnya berada pada posisi senjakala, setidak-tidaknya untuk memosisikan karya-karya Ranggawarsita dalam kultur politik Jawa dan posisinya yang masih secara resmi sebagai abdi dalem istana. Apalagi, keindahan bahasa karya-karya Ranggawarsita, seperti juga diakui oleh Takashi Shiraishi, telah menetapkan standar artistik pada zamannya, karena itu posisinya tetap legendaris.

Di luar itu, karya-karya Ranggawarsita juga disebarkan lewat proses cetak, sehingga lebih bisa menjangkau khalayak yang lebih luas, termasuk bagi kalangan Javanolog Belanda dan komunitas Indo-Jawa-Tionghoa. Hal ini berbeda dengan pujangga sebelumnya, yang penyebaran karya-karyanya kebanyakan masih lewat proses salinan tangan. Atas posisinya yang demikian ini, karya-karya Ranggawarsita terasa lebih memiliki daya tekan sosiologis yang kuat, yang itu didapat bukan semata-mata posisinya sebagai pujangga keraton, tetapi juga faktor prestasi artistiknya.

Isi dan Ajaran "Suluk Saloka Jiwa"

Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu, didorong oleh rasa keinginannya yang besar mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke Negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaan Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap sebagai dewa Hindu, namun batinnya telah menganut Islam.

Demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan, sesampainya di Negeri Rum, Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para ulama besar ahli sufi kenamaan di Rum yang dipimpin Seh Ngusman Najid. Musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursid (guru sufi): Seh Ngusman Najid, Seh Suman sendiri, Seh Bukti Jalal, Seh Brahmana, dan Seh Takru Alam.

Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa sebagaimana dirangkumkan oleh Simuh (1991: 76). Menurut Simuh, kitab ini tampaknya "diilhami" oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampurnan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat. Pendapat senada terdapat dalam disertasi Dr Alwi Shihab di Universitas 'Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma'asir. Hanya saja, dalam disertasi Shihab, nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Seh Suman ditulisnya sebagai Sulaiman, Seh Ngusman Najid ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu, alur cerita yang digambarkan tidak berbeda. Keduanya juga menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya menyinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme), inti pokok ajaran kebatinan Jawa.

Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari mana manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah al-nur yang kemudian terpancar darinya tanah, api, udara, dan air. Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari empat unsur: darah, daging, tulang-tulang, dan tulang rusuk. Api melahirkan empat jenis jiwa/nafsu: aluamah (dalam ejaan Arab lawwamah) yang memancarkan warna hitam; amarah (ammarah) memancarkan warna merah; supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan mutmainah (muthma'inah) yang berwarna putih. Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kebatinan Jawa yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Dalam kaitan pemilahan an-nafs (nafsu) ini, Al-Ghazali membagi tujuh macam nafsu, yaitu mardhiyah, radhiyah, muthmainah, kamilah, mulhammah, lawwamah, dan ammarah (Rahardjo; 1991: 56). Namun, yang berkembang dalam kebatinan Jawa bukan tujuh macam nafsu, namun tetap empat nafsu di atas.

Seorang dokter-cendekiawan Jawa dari Semarang, dr Paryana Suryadibrata, pada tahun 1955, pernah menulis karangan "Kesehatan Lahir dan Batin" bersambung lima nomor di Majalah Media Yogyakarta. Ia, misalnya, menyebut empat macam tingkatan nafsu manusia: ammarah (egosentros), supiyah (eros), lawwamah (polemos), dan muthmainah (religios). Konsep tentang empat nafsu itu kemudian berkembang luas di kalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan kebatinan Jawa yang non-muslim. Karena itu, tidak salah jika Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen.

Sinkretisme atau Varian Islam?

Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk Saloka Jiwa? Benarkah Ranggawarsita, dengan karya suluknya ini, telah membawa bentuk sinkretisme Islam-Jawa? Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antarnilai suatu agama ini bisa dijadikan desain strategi budaya untuk membangun pola relasi antar-umat beragama di Indonesia dewasa ini? Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat kompleksnya permasalahan. Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir mengambil sudut pandang.

Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan. Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan Hinduisme. Hal ini seperti tercermin dalam kutipan pupuh berikut ini:

Yata wahu/ Seh Suman sareng angrungu/ pandikanira/ sang panditha Ngusman Najid/ langkung suka ngandika jroning wardoyo//Sang Awiku/ nyata pandhita linuhung/ wulange tan siwah/ lan kawruhing jawata di/ pang-gelare pangukute tan pra beda//

Artinya:

Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita dalam hatinya. Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak berbeda dengan ilmu kehinduan.

Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang berpendapat bahwa Ranggawarsita telah mengesahkan "agama ganda" bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena antara Hindu dan Islam memang terdapat keselarasan teologi. Simuh, misalnya, menyatakan, "Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan batin mengikuti tuntunan Islam" (Simuh; 1991: 77).

Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan-kepercayaan asli. Upaya-upaya ini telah dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam. Di antaranya, Sultan Agung mengubah kalender Saka (Hindu) menjadi kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan sistem penanggalan Islam (Hijriah).

Namun, benarkah bahwa Islam Jawa merupakan bentuk sinkretisme Islam dengan ajaran Hindu, Buddha dan kepercayaan Jawa? Pendapat yang dominan memang demikian, khususnya bagi yang mengikuti teori trikotomi-santri-priayi-abangan-Clifford Geertz sebagaimana tercermin dalam The Religion of Java yang monumental itu. Namun, seorang pakar studi Islam lainnya, Mark R Woodward, yang melakukan penelitian lebih baru dibanding Geertz, yaitu pada tahun 1980-an, berkesimpulan lain. Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa. "Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan... sangat sepele," demikian tulis Woodward (1999: 3).

Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353). Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.

Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme. Dalam kaitan ini, Woodward menulis: "Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik." (ibid: 4-5).

Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun, pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.

Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan "menyeleweng" dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar. Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut:

Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami "pembacaan" ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai "teks besar" yang "membentuk" kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk "membaca kembali" Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena "menyeleweng" dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan "resistensi". Penolakan tampil dalam nada yang "subtil", dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme"....

Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan perlawanan: Menang tanpa ngasorake... Islam tampaknya telah mengalami kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah "disubversi" sedemikian rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga sesungguhnya yang tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.

Dari Mitis ke Epistemologis

Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan adalah pandangan "kita" versus "mereka", dan karena itu "Jawa" dan "Islam" berada dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini, resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara berpikir "mitis" ke pola berpikir "epistemologis.

Transformasi berpikir "mitis" ke "epistemologis" adalah membawa alam pikiran masyarakat dari semula yang "tidak berjarak" dengan alam menuju cara berpikir yang "mengambil jarak" dengan alam. Dengan adanya keberjarakan dengan alam, manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir "mitis", manusia berada "dalam penguasaan" alam.

Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam, seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi. Dengan berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional, bermanfaat.

__________16 September 2007
*) MH ZAELANI TAMMAKA Peminat studi sosial dan kebudayaan, salah satu penggiat Ndalem Padmosusastro Surakarta.
Dijumput dari: http://sajaroh.blogspot.com/2007/09/strategi-budaya-mencari-titik-temu.html

Minggu, 23 Oktober 2011

Puisi-Puisi Ribut Wijoto

http://manuskripdody.blogspot.com/
SENGAJA AKU MENCINTAIMU

sengaja aku mencintaimu
lalu biarkan kukirim surat
seperti suratku yang tiada henti
mengalir ke tubuhmu

aku tak pernah menanti jawab
sebab aku belum selesai mengeja
bait bait sajak yang kautulis
tak juga sempat kutolak
sebab cinta adalah kesendirian

rindu aku jadi kekasihmu
sebab dari ada kuingin tiada

1996



DI PUCUK PUCUK

engkaukah itu
bening bergelantungan
di pucuk pucuk daun

dan akukah tuhan
tiap kali menyebut
namamu

1996



KABAR DARI PENGASINGAN

di paruh perjalanan
aku bertanya padamu
engkau kalijaga

sejarah merubah perahu
mencari cermin tanah
namun tanpa upacara
burung burung ketakutan

1996

Dijumput dari: http://manuskripdody.blogspot.com/2010/10/puisi-puisi-ribut-wijoto.html

Puisi-Puisi Indiar Manggara

MENDUNG JULI

apakah kau masih tersenyum di sana?
dalam labirin sunyi
merajam cengkrama kita waktu itu
sementara di sini kembang setaman
telah menebal di dadamu
tercacah gerimis malam
kau jadikan selimutmu

apa kau masih kegelapan dalam rumah tuamu?
karena pualam-pualam telah rapuh
pada rumput-rumput liar yang acuh padamu

apa kau telah kehabisan salam
dari ribuan jejak tanpa nama
biar kugantikan dengan melodi kudus
yang kukirimkan seperti sajak putih
yang tereja dari tiga bibir dupa melati
bergincu bara, menari di bawah biru langit sebagai penafsir kata.

apa bulan masih tersenyum padamu?
apa matahari masih menyapamu?

ijinkan aku bermain ke rumah tuamu
sekedar membuka kembali cengkerama kita
waktu itu

20-23oktober ‘05



INTERLUDE RIEZKA

I
di senyap bilik senja aku bertapa
mencari gerimis di balik tirai mendung
meruntuhkan angsana-angsana kuning
berdansa seperti melodi kelam rambutmu

dimana kata-katamu yang kau kubur
dalam senyummu yang tak pernah tampak
tapi jangan kirimi aku fatamorgana itu
karena aku akan menyeberang ke sana

dalam namamu aku lahirkan mantra-mantra tua
kemudian aku catat dalam segelas anggur
ku teguk menjadi darah yang ku rasakan di tubuhku
seperti pertama kali ku cumbu bibir perawan bidadari

II
Cericit nyaring pualam tubuh itu
seperti aku mengenalnya,
mungkin dalam azali kita
adalah sepasang camar yang berkasihan
di kolam sorga
lalu kita terpisahkan pada rahim yang terbelah
kemudian kita anggap itu sekedar dejavu kita saja

III
aku kehilangan arah
ketika kuseberangi labirin hitam matamu
hingga tersandung-sandung air kaca yang membeku
di mukamu seperti kematian yang abadi

akan ku tafsirkan garis abu-abu
yang tertoreh di senyum itu
seperti ku baca ayat-ayat kudus yang turun
dari jari-jari zeus
tapi beri aku langkah
untuk kuturunkan gerimis dari balik tirai-tirai mendung

26 oktober ’05



PULANG KERJA

Sore itu, bapakku pulang kerja
Meninggalkan kerja yang dikerjai bapak
Bapak capek dikerjai kerja

Sore itu hanya kutemukan tas kerja bapak di atap rumah

“Kok bapak nggak ada?” tanyaku pada ibu

“Bapak sudah pulang kerja tapi masih kepagian.” jawab ibu yang masih sibuk membetulkan baju kami sedikit demi sedikit

23 november ‘05

Dijumput dari: http://indiarmanggara.blogspot.com/

Jumat, 21 Oktober 2011

Cerita Lama dari Kami

Budi Saputra
http://www.lampungpost.com/

LENGANG, dan tak banyak yang dapat kami perbuat di sini. Sebuah rumah tua dengan arsitektur dan ornamen lama. Lukisan hitam putih para petani, dan patung harimau Sumatera yang setia menemani lenguh birahi kami di kamar pengap miskin cahaya. Di luar itu, hanyalah hamparan kesepian dan barisan makhluk hijau yang menatap kami setiap harinya. Bahwa selalu ada yang kami rasa datang menyusup di kala malam merayap. Dari kedalaman hutan rumbia yang lebat, selain kabar seorang gadis belia yang pernah diperkosa dan dibakar, juga bunyi-bunyi aneh yang kerap kami dengar dan merangkak menuju rumah kami di tengah malamnya.

Ya, selama bertahun-tahun memang seperti itulah. Sebuah masa yang berlari dari nyala lilin, dari sinar petromaks yang hanya menyala di kala malam. Usia yang terkungkung, terisolasi dari lalu lalang kemanusiaan. Anjing betina dan jantan yang kerap kami saksikan kawin pun, hanyalah percakapan konyol kami pada benda-benda yang tak bisa memberikan sesuatu yang menguntungkan selain untuk berjaga-jaga. Kalau pun ada tetangga yang bertandang ke rumah kami di malam harinya, itu pun hanya sesekali. Bercakap tentang rencana nonton organ tunggal atau doa selamatan di rumah tetangga lain yang jaraknya lumayan jauh dari sini.

Dan mengenai keadaan ekonomi kami. Apalah yang bisa kami perbuat saat itu. Hanya ladang ubi dan jagung yang bisa kami gantungkan untuk menyambung hidup. Pasar kecamatan yang juga jauh kami tempuh untuk menjual hasil ladang saat musim panen tiba.

***

Mana lagi cerita orang lama yang belum kami dengar. Tak ada. Semuanya akan kami ceritakan bila ada yang minta diceritakan. Tentang bigau, hantu suluh, hantu karung, palasik tudung, orang bunian, hingga tentang dewa yang kawin dan hidup dengan tukang bendi selagi ada paku menancap di kepalanya. Di zaman Belanda dulu, konon ada seorang tukang bendi yang menaikkan seorang perempuan di tengah malam. Ia tahu bahwa perempuan itu adalah dewa yang menjelma. Maka, ditanamkanlah paku di kepalanya. Mereka kawin dan akhirnya punya anak.

Di suatu hari, ketika si anak mencari kutu di kepala ibunya, maka terkejutlah si anak.

“Apa ini, Bu?” Si anak bertanya pada ibunya saat meraba kepala paku di ujung telunjuknya.

Namun, belum sempat ibunya menjawab, secara tiba-tiba si anak mencabut paku itu di kepala ibunya. Sungguh aneh, dalam detik itu jua si ibu menghilang. Menghilang dan kembali ke alamnya yang entah berantah. Sebuah peristiwa yang membuat si tukang bendi hanya bisa menyesali kehilangan perempuan cantik yang semerbak harum itu.

Hahaha…. zaman ketumbarlah namanya (bahasa lain dari istilah jadul). Saat itu memang masih lengang. Belum seperti yang sekarang, rumah-rumah penduduk yang kian bertumbuhan dan segalanya telah digerakkan dengan listrik. Lihatlah pohon kapuk ini, berapakah usianya? Cukup tua sekali. Tak jarang, dulu anak-anak didikan subuh selalu lewat bergerombol jika melawati pohon ini. Mereka tak berani sendirian. Jika pun ada yang berani, maka larilah pontang-panting sambil mengucap doa-doa pengusir setan.

Memang, soal perkara cerita lama, kami sudah kenyang dibuatnya. Siapa pula yang tak kenal dengan Sibuih pemaling besar saat itu. Pemaling yang sering menyantroni rumah dan menguras harta penduduk. Ia kebal peluru, walaupun ditembak dari dekat oleh polisi. Konon, kabarnya ia punya ilmu hitam. Ada sesuatu benda keramat yang ditanam di betisnya dan dihuni hantu balau.

***

Begitulah hidup kami, melalui perubahan demi perubahan. Dari memelihara anjing, kemudian berkembang memelihara ayam dan kambing. Dari zaman lampu petromaks, kemudian kami mendapat suntikan listrik untuk menerangi kamar buram kami. Ya, semuanya perlahan berubah. Satu demi satu orang telah mulai membangun rumah dan bersawah. Jalan menuju pasar kecamatan pun telah bisa memanjakan roda kendaraan dengan aspalnya yang hitam legam dan mulus. Sungguh, kemajuan zaman yang membuat segala aktivitas menjadi mudah. Mana ada dulu mobil mewah seperti saat ini? Mana ada mesin bajak yang menggantikan peran si kerbau kubang? Hingga akhirnya, hanyalah perubahan itu yang kami cecap dan kami saksikan saat ini.

***

Anjing. Ya, anjing. Hewan peliharaan yang satu ini memang setia menemani kami selama bertahun-tahun. Kami beranak pinak, mereka juga beranak pinak hingga kami pun lupa jumlah generasinya. Anjing yang semenjak perbaikan jalan atau semenjak daerah ini mulai membangun, tingkahnya, dan salaknya yang bergetar hanya membuat kami terkadang malu oleh orang yang melintas di depan rumah kami. Kadang kami sempatkan jua minta maaf jika kebetulan tengah berada di halaman.

Walaupun di sini rumah tidak rapat-rapat, tetap saja anjing kami seolah paling berkuasa menguasai daerah ini. Pernah kejadian yang membuat kami geram saat itu. Anjing kami mati. Mati karena dikasih tuba oleh orang yang tentunya tak senang dengan keberadaan anjing kami. Hmmm.. Kasus pertama. Kasus yang membuat kami mulai sensitif terhadap orang-orang baru. Hanya karena sering disalak dan digertak saat melintas di depan rumah kami, mereka dengan entengnya membunuh anjing kesayangan kami.

Jelas, jelas kami merasa sedikit dikucilkan. Semakin banyak pertumbuhan rumah di sini, semakin membuat kami berpikir-pikir untuk berhenti memelihara anjing. Pernah kami dengar dari Haji Kapeh, jika memelihara anjing, malaikat tak akan masuk ke rumah. Rahmat jauh dan rezki dari Tuhan pun jauh.

Maka dari nasihat Haji Kapeh dan atas desakan anak tertua kami-lah, akhirnya semenjak tiga tahun yang lalu kami telah berhenti memelihara anjing. Hanya janin-janin manusia yang terus berlahiran di sini. Lalu lalang anak-anak sekolah di pagi dan petangnya dari petak-petak mewah yang mengilap sekitar empat ratus meter menuju rumah kami.

***

Semenjak bekas ladang tebu itu kian subur ditumbuhi perumahan warga, maka semenjak itulah keganjilan-keganjilan sering menghampiri kami. Apakah ini bentuk kesumat atau barangkali disebabkan rumah kami agak terpencil letaknya (tetangga terdekat berjarak sekitar 30 meter dari rumah kami). Dengan kondisi di sini temaram pada malam harinya, dikelilingi sawah warga, pun pohon kapuk yang bertubuh besar ini, rasanya tak akan cocok untuk tempat keberlangsungan anak kucing, maupun anak anjing. Bukan. Bukan kami menghendaki kehadiran anjing yang banyak berkeliaran di sekitaran rumah kami, anak dan induk kucing, atau bahkan janin aborsi yang pernah kami temukan di suatu pagi. Tapi begitulah yang kami alami di sini. Halaman rumah kami jadi sasaran tempat pembuangan. Membuang yang dianggap aib, yang dianggap merusak pandangan mata.

Kami memang sering kecolongan. Kami tak tahu siapa yang membuang makhluk-makhluk itu (kebanyakan anak kucing dan anak anjing). Mungkin pelakunya beraksi di tengah malam saat kami tengah terlelap tidur. Yang jelas, kami begitu kesal. Kesal dengan si pembuang dan hewan buangan yang kerap masuk ke dalam rumah kami.

Tapi pernah suatu malam kami menyaksikan dua orang lelaki tengah membuang anak kucing dari dalam karung. Di halaman rumah kami ini, mereka mengendap-ngendap di bawah pohon kapuk. Merasa tak ada orang yang tengah memperhatikan mereka.

Sengaja. Ya, sengaja kami tak menghardiknya. Kami biarkan mereka berlalu dengan motor menuju perumahan mewah. Sialan! Barangkali dari sanalah para pembuang beraksi di malam hari.

“Mungkin karena di sini lengang, jadi mereka tak takut kelihatan oleh orang,” begitulah keluhan kami pada tetangga terdekat tukang sate, Opeang.

Jika mereka bisa membuang, maka kami pun bisa membuang. Buang apa saja yang buruk-buruk pada mereka. Seperti dalam sebuah gurauan kami dengan Opeang.

“Untuk membalas mereka, bagaimana kalau kita sate saja daging anjing dan kucing yang mereka buang itu. Kemudian kita jual pada mereka. Biar mereka rasain enaknya!”

Dan sejurus kemudian, kami pun tertawa terbahak-bahak bersama.

09 October 2011

Terompah Kyai

Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/

Hening malam itu seketika buyar ketika detak-detak suara terompah kiai bergelombang membahana di setiap sudut lokasi pesantren. Alas kaki kiai menggerus jalan beraspal menuju tempat beribadah laksana derap kaki kuda yang menerjang medan perang tuk membasmi musuh-musuh. Detak-detak suara terompah kiai semakin cepat memecah keheningan akhir malam yang berudara dingin karena ingin segera sampai ke musholla. Di musholla itu kiai sudah ditunggu ratusan santrinya.

Menunggu Kereta

Renny Meita Widjajanti
http://www.suarakarya-online.com/

Dari sebuah rumah sakit lelaki itu keluar, meninggalkan ruangan VIP yang baru semalam di tempatinya. Dengan kakinya yang lemah, ia melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit, melewati pintu gerbang hingga tiba di tepi sebuah jalan yang padat lalu-lintas. Ia sendirian berdiri di trotoar, wajahnya terlihat pucat dengan bibir membiru, tatapan matanya menyiratkan kegelisahan. Lelaki itu terus mengarahkan pandangannya ke arah lalu-lintas yang hingar bingar. Ada yang sedang ia tunggu.

Sebuah mobil warna putih mendekat dan berhenti tepat di sampingnya. Ia pun bergegas masuk lewat pintu yang telah dibukakan dari dalam. Kemudian mobil itu melaju menembus padatnya lalu-lintas. Selama di perjalanan batin lelaki itu terus berbisik: “Aku harus secepatnya sampai stasiun sebelum hari gelap. Sebelum malam mengepakkan sayap-sayap hitamnya. Aku tak ingin ketinggalan kereta.” Ia harus berangkat sore ini.

Matahari perlahan beranjak ke peraduan, burung-burung terbang beriring-an hendak pulang ke sarang. Sedangkan mobil itu baru saja mengawali perjalanan. Masih ada jarak yang panjang yang harus di tempuh dengan kondisi lalu-lintas yang padat merayap. Lelaki itu mulai dihinggapi rasa khawatir terlambat sampai stasiun.

Ia membayangkan seandainya mobil yang ditumpanginya itu bisa terbang di atas jalan raya tentunya ia dapat sampai tujuan lebih awal. Sudah lama ia memendam keinginan untuk menyusul istrinya yang telah lebih dulu pergi.

Sopir yang berpakaian serba putih itu mengarahkan mobilnya menyusup di antara kendaraan lain, berkelok ke kanan ke kiri, menyalip kendaraan yang di depan. Tapi jalan benar-benar padat, akhirnya mobil hanya bisa merayap, sama sekali tak ada ruang untuk mempercepat laju jalannya.

Tapi supir itu tetap tenang dan lelaki itu pun mencoba menenangkan perasaannya sendiri. Pikirannya melayang ke sosok istrinya. Ia kembali teringat saat pertemuan pertamanya dengan istrinya dulu. Di sebuah perpustakaan tua di sudut kota. Pertemuan di pagi yang mendung itu meninggalkan kesan mendalam pada hati lelaki itu.

Perempuan itu sederhana, berwajah cantik. Tatapan matanya lembut. Dengan rasa cinta itulah lelaki itu segera meminang perempuan itu. Ia merasakan keteduhan setiap kali menatap mata perempuan yang bernama Rindu itu. Karena banyak kesamaan pandangan dan selera yang mengantarkan keduanya sampai kepada mahligai pernikahan.

Sudah lebih dari 30 tahun usia perkawinannya tak pernah sekalipun terjadi konflik yang serius dalam biduk rumah tangganya. Rindu seorang istri yang baik, sabar dan penuh kasih sayang.

Lelaki itu masih mengingat hari-hari indahnya saat bersama Rindu. Ingat kemesraan-kemesraan dan keindahan-keindahan dalam hidup rumahtangganya. Ada gemuruh hebat di hatinya. Kerinduan yang dalam yang membuat dadanya sesak. Ia ingin secepatnya menyusul Rindu, istrinya.

Di dekat persimpangan, mobil tak bisa bergerak sedikit pun. Ketenangan sopir goyah, ia mulai merasa jengah. Sopir itu bisa merasakan kegelisahan penumpangnya yang sangat diburu waktu.

Ia memahami bahwa kenyamanan penumpang harus diutamakan. Tapi dalam situasi seperti ini ia tak mampu berbuat banyak. Sopir paling handal sekalipun tidak akan bisa melajukan kendaraan dengan cepat di tengah lalu lintas yang padat seperti itu.

Keriuhan suara klakson membuyarkan lamunan lelaki itu. Lalu-lintas masih padat, kemacetan belum juga berlalu. Ia makin disergap resah, hingga mobil terasa panas dan pengap.

Dingin AC sama sekali tidak menyentuh tubuhnya, butiran keringat mulai membanjir, membasahi keningnya.

“Saya khawatir akan ketinggalan kereta,” lelaki itu mengeluh pada dirinya sendiri.

Mendengar keluhan itu, sopir melirik jam yang terpasang di dashboard mobil. “Masih ada waktu, Pak. Setengah jam lagi kita akan sampai. Saya akan mencoba mencari jalan yang tidak macet.”
“Ya, yang penting tidak terlambat,” jawab lelaki itu.

Mobil menikung memasuki sebuah gang, sebuah jalan alternatif. Laju mobil memang tak bisa kencang karena jalannya sempit.

Tapi ini pilihan terbaik dari pada teronggok di tengah jalan raya. Jantung lelaki itu berdebar menahan takut mendengar mobil yang ditumpanginya berderit-derit melaju di jalan tikus yang sempit itu. Kembali lelaki itu larut dalam lamunannya.

Ia membayangkan keindahan pertemuan dengan istrinya nanti. Bisa jadi lebih indah dari pertemuan-pertemuan yang pernah ada, istrinya pasti tak menduga ia akan datang. Istrinya tentu terkejut. Ia akan langsung lari menghambur memeluk istrinya, menciuminya. Atau membuat kejutan dengan diam-diam mendekapnya dari belakang, seperti yang dulu sering dilakukan kepada istrinya. Ahh…

Lelaki itu tak sabar lagi ingin segera sampai stasiun dan menaiki kereta yang sama dengan istrinya. Ia pun akan memilih gerbong dan tempat duduk yang sama seperti yang ditempati istrinya dulu.
Ia sangat ingin secepatnya merasakan pengalaman perjalanan seperti yang dialami istrinya.

Langit mulai menggelap, membuat hati lelaki itu kian dilanda kecemasan. Dia takut hari keburu malam dan ia tak mendapat kereta seperti kereta istrinya. Tentu, banyak kereta di stasiun. Tapi ia hanya ingin kereta yang pernah dinaiki istrinya.
“Sebentar lagi kita sampai, Pak,” sopir memecah kesunyian yang menenangkan hatinya.

Bibir lelaki itu menyunggingkan senyum. Ia tak begitu hapal dengan jalan tikus seperti yang dilewatinya sekarang ini. Entah sudah berapa tikungan yang dilalui, tak terukur panjang jalan sempit yang sudah ditempuh.

Tapi kini ia merasa tenang setelah sopir mengatakan sebentar lagi akan sampai stasiun. Ya. sebentar lagi ia akan segera menaiki kereta dengan tujuan sama seperti istrinya. Ia masih ingat dimana istrinya dulu duduk menunggu di ruang tunggu. Ia pun akan duduk di bangku yang sama seperti istrinya dulu pernah menunggu. Ia akan melakukan seperti yang pernah dilakukan istrinya di stasiun dulu.

Mobil berhenti di halaman stasiun. Sopir membukakan pintu. “Saya hanya bisa mengantar sampai sini,” ujarnya sambil menatap lelaki itu. Lelaki itu turun dengan terburu-buru.

* * *

Duduk di kursi tunggu, perasaan lelaki itu risau. Sudah setengah jam lebih ia menunggu, kereta belum juga datang. Silih berganti kereta yang lewat, tapi bukan kereta yang pernah ditumpangi istrinya. Hatinya kembali diguncang kegelisahan. Ia berharap kereta itu segera datang. Ia sudah tak dapat lagi meredam gejolak ingin berjumpa dengan Rindu, istrinya.

Sudah beberapa kali dari kejauhan tampak kereta datang. Setiap kali kereta datang lelaki itu berdiri, berharap kereta yang datang itu sama dengan kereta yang dulu pernah dinaiki istrinya. Tapi ia kembali kecewa, kereta itu bukan kereta yang pernah ditumpangi istrinya.

Sementara penumpang-penumpang lain berebut naik, ia hanya terdiam pilu. Ular besi itu lalu bergerak pergi meninggalkan bunyi. Lelaki itu kembali duduk, pikirannya gelisah. Ia tak percaya jika kereta yang di tunggunya bisa datang terlambat.
Beberapa lampu stasiun mulai dimatikan untuk menghemat biaya listrik.

Gelap semakin merayap mendekati malam yang larut. Lelaki itu menggigil kedinginan. Orang-orang mulai pergi meninggalkan stasiun, suasana menjadi lengang seperti kuburan. Kios-kios sudah tutup, juga pedagang asongan yang sebelumnya banyak berseliweran sudah tidak tampak lagi.

Tapi lelaki itu menguatkan hatinya untuk tetap bertahan, meski hawa dingin menggigit. Ia telah melewati perjalanan yang melelahkan hingga bisa sampai di tempat ini. Ia tak mau kembali lagi. Ia bertekad hari ini juga harus menyusul istrinya dengan kereta yang masih ia harapkan datang, yang mungkin saja memang datang terlambat. Ia sudah sangat rindu memeluk istrinya.

Tiba-tiba turun hujan disertai angin kencang. Tempias air sampai ke bangku ruang tunggu, menerpa tubuh lelaki itu. Dia beringsut menggeser duduknya. Dia menyesali keadaan, tapi yang lebih ia sesalkan adalah kereta yang hingga larut malam belum juga datang. Dulu orang sering bercerita, kereta itu selalu datang tepat pada saat yang telah ditentukan. Kini ia meragukan cerita itu. Ia telah menanti berjam-jam, tapi kereta belum datang.

Beredar juga kabar, sejak peristiwa 2 Oktober beberapa setahun lalu, lokomotif penarik gerbong kereta yang ditunggu itu sudah tidak dijalankan lagi. Ah, tapi nyatanya hari ini ia merasa akan mendapat kesempatan menaikinya dan ia akan setia menanti kedatangannya.

Hujan semakin deras, tubuh lelaki itu basah kuyup. Dia menggigil. Wajahnya makin pucat, bibirnya yang biru bergetar. Belum ada tanda-tanda kereta yang ditunggunya datang. Tapi ia terus bertahan duduk di bangku ruang tunggu. Ia tetap mantap ingin menyusul istrinya. Tak dihiraukannya tempias air hujan yang mendera. Ia seperti sengaja menantang hujan.

Langit sepertinya tersentuh oleh keteguhan hati lelaki itu. Hujan mere. Kemudian dari ujung rel terdengar suara gemuruh roda kereta dan cahaya terang benderang.

Lelaki itu menggosok-gosokan matanya, ia terkesima bahagia. Ia segera bangkit menyongsong arah datangnya cahaya. Setelah kereta itu semakin dekat ia tertegun lalu tersenyum. Kereta itu akhirnya datang. Kereta yang sama seperti yang telah membawa istrinya pergi. Lelaki itu lari terburu-buru. Ia ingin segera menjemput istrinya. Lelaki itu bergegas masuk menaiki kereta.

Bersamaan dengan itu, di tempat yang berbeda, di kamar nomor 21, ruang VIP rumah sakit tempat lelaki itu keluar pintu 7 jam yang lalu. Orang-orang tengah khusyuk berdoa di hadapan tubuh lelaki yang sedang dalam perjalanan menuju ajalnya. ***

Yogyakarta, 2010-2011

Pesta Kawin

Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Tanjung Dungkak, adalah kota kecil dari sekian puluh kota yang pernah aku singgahi. Dibanding Tanjung Benoa Bali, kota ini tak sekedar jauh wilayah teritorialnya, melainkan jauh pula tingkat peradapannya. Kawasan sunyi dari lalu lalang menusia, minim gedung mewah, tak ada kendaraan transportasi dan dunia gemerlap. Keadaan ini berbanding seratus delapan puluh derajat dengan Tanjung Benoa Bali yang tak sepi turis manca negara silih berganti menyinggahi.

Hingga kini aku tak pernah mempertanyakan, apakah hidup di rantau adalah takdir yang aku pesan. Yang aku tau adalah saat kepala bagian kontraktor CV tempatku bekerja menelphon, mengabari perpindahan tempatku selanjutnya setelah libur beberapa minggu.

Kerjaku memang berganti wilayah. Sekali berangkat, tak akan pulang hingga garapan usai. Jarak kepulanganku yang paling pendek sekitar enam bulan, selebihnya hingga empat tahun. Bahkan kepulangan terakhirku, seorang anak kecil yang baru jalan terantanan memanggilku kakek, padahal keberangkatan terahir lalu, anak gadisku masih kelas dua SMP.

Kehidupan kadang seperti diktator. Ia mengangkang berkacak pinggang saat kita besimpuh merunduk di telapak kakinya sekali pun. Kebutuhan hidup menjadi seutas tambang yang dilempar matador dan persis mendadung leher dan kemudian menyeretku seperti sapi atau kerbau dungu.

Meski bertahun tahun di rantau, tetap saja ada secarik goresan yang gagal aku hilangkan. Yakni seperti ada yang tak tercatat di langit dan kitab suci, rindu kampung halaman, rindu ingin pulang. Padahal telapak kakiku sering berkata,”Indonesia adalah kampung halamanku, Indonesia mana yang tak aku singgahi?”

Sejatinya aku bukan keturunan Marcopolus Colombus, sang kakek Amerika itu. Aku ingat, nisan kayu goprak yang tak bernama lagi, adalah kepala Tukejo, buyutku yang asli Jawa. Tapi mungkin Tukejo adalah sejawat Marcopolo, atau sekedar teman gaplei di gardu beratus tahun lalu. Terbukti kedekatan mereka, mewaris kepadaku. Dimana ada pulau, di situ aku berlabuh.

***

Berbeda dengan setahun lalu. Tempat ini sudah berbentuk beton cor yang layak ditiduri. Awalnya hanyalah rawa-rawa. Sejak kali pertama di tempat ini, tugasku setiap hari merubah kawasan ini menjadi bangunan layak huni bagi kapal kapal berlabuh. Tak terasa memang, adonan semen dan pasir yang ditanting tangan kuli anak buahku se ember demi se ember kini telah mengeras, tak berupa lumpur rawa yang membuat badan belepotan dan wajah hingga tak berbentuk saat bekerja.

Kadang aku mendengar senda gurau kawan sepekerjaku saat mereka menyelesaikan lelah. “ Seandainya istriku tau kalau kerjaku begini sengsara, mungkin ia tak sampai hati, makan hasil jerih payahku,” Kawan yang lain segera menyahut! “Lantas kalau gak makan jerih payahmu, istrimu mau makan apa? Yang namanya wanita itu, lobangnya lebar. Dimasukkan apa saja pasti muat. Jangankan uang pas pasan, harta segudang pun tetap kurang. Lha wong kepala bayi saja muat kok.” Seperti biasanya, kedua sahabatku itu larat ke kisah mereka semalam di tepian kolam madu yang jaraknya tujuh kilo meter. Sebuah kubangan segaran yang direguk para perantau sebagai pelepas dahaga.

Selintas aku ingat Rahwana. Ia jadi tersangka saat penculikan Shinta dari pagar Lesmana. Padahal sesungguhnya tanpa diculik pun Shinta tetap keluar dari lingkaran pagar. Kijang kencana yang berlarian di sekitar pagar, membuat lidah Shinta kemecer memilikinya sebelum wanita lain mendapatkannya. Dan betapa indah wanita jika berhias emas kencana dan berlian, apalagi harta melimpah. Andai Shinta keluar pagar tanpa pakaian pun akan ia lakukan jika itu syarat mendapat kijang kencana.

***

Cangkang laut hulu anak sungai Musi ini, soal ikan bakar, aku seperti pemilik restaurant. Senja seusai bekerja, tinggal melempar mata kail, dua kali straekan cukup buat lauk. Berbeda ketika aku di sepanjang pantai Uluwatu Jimbaran. Tiap bobot ikan dihitung harga dollaran.

Terhitung bulan ke enam, dari selatan matahari sudah menyeberangi katulistiwa. Hujan tak akan berkunjung lagi tiap pekan. Dedaunan yang lebat segera rontok di pesta musim gugur. Dan setelahnya, pasti segera berbuah.

Tepat di depan bangunanku, di seberang sungai, pohon beringin itu satu-satunya pohon terbesar di tempatku. Pemukim asli menyebutnya istana kera. Taruan saja memang pohon itu tak sepi ditempati kawanan kera.

Sudah tiga hari ini bunyi kera-kera itu lain dari biasanya. Tak sekedar pating cruet, bunyi mereka disertai perubahan nada. Dari crueeet, crueeet, beberapa hari itu cruet uww, uww. Awal bunyi itu dilantunkan sang raja kera. Sepertinya pernah dirapatkan dalam aturan perundang-undangan perkerahan, bahwa suara khas sang raja kera itu harus disauti semua pejantan kera seantero hutan belantara. Tak pelak, dalam waktu singkat, berbagai penjuru hutan gemontang suara yang sama.

Melihat perkelahian terus menerus tiga hari sesudahnya, agaknya suara itu adalah tanda tiba waktunya diselenggarakan ajang penentuan pejantan sejati. Semua kera jantan harus bertarung dan terseleksi. Hari hari itulah yang paling mengesankan bagi kami. Sambil bekerja, seolah sambil menonton gratis pagelaran teater kera kala memasuki akting antagonis. Namun beberapa kawanku ada yang kerja tak bergaji. Sebab dalam pertarungan kera itu, mereka berjudi menebak kera mana yang kalah. Sedang teman lain yang tak suka berjudi, bertaruh dengan colekan arang di wajah. Siapa yang sering kalah, wajahnya pating celoteng melebihi kera.

Selama tiga hari keramaian pohon istana nyaris menghapus minggu minggu dan bulan sebelumnya. Tak tau persis kapan kera ini mengirim surat kepada buaya. Hingga cangkang hulu sungai itu dipenuhi sembulan ombak ratusan buaya yang nenggak. Ratusan buaya berbondong bondong ke sekitar istana. Bagi buaya, saat petarungan kera adalah pesta bagi bangsanya. Sekian lama melata bertahun-tahun, dalam kesengsaraan (buaya), kera ingin mempersembahkan hal yang paling sisah dalam hidupnya untuk menghibur buaya.

Suara raungan silih berganti. Bagi pejantan yang lari artinya kalah. Tetapi tak sedikit yang memilih mati demi harga diri. Beberapa saat kemudian dua ekor segera melempar bangkai kawan tak bernyawa karena teguh dengan kegigihannya. Kematian mulia bagi manusia, ternyata tidak berlaku bagi kera. Tak sekedar melempar, kera itu sambil berekspresi memoncongkan bibir mengutuk bangkai kawannya. Bangkai bertelantingan di dahan-dahan, dan kemudian terjebur ke sungai. Jangankan sejak bertelantingan jatuh, jauh sebelum pertarungan saja buaya sudah menunggu dengan celangap mulut laparnya.

***

Setelah pertarungan itu, pohon istana yang doyong ke sungai hanya dihuni beberapa ekor saja, yakni pejantan sejati dan beberapa ekor pengabdi. Namun tiap hari tak sepi sekitar sepuluh ekor betina berbanjar mengantri. Para betina yang datang dari penjuruh hutan berarti memasuki masa kawin. Suda jadi resiko pejantan sejati, selalu dikunjungi betina yang ingin berketurunan dominan. Dan kalau pejantan sejati itu tidak mau, sama artinya mampus dikeroyok rombongan betina. Demikianlah kiranya siklus hutan. Untuk memilih pejantan sejati ditentukan lawan pejantan lain. Sedang untuk membuktikan jantan sejati, harus diadu melawan betina.

Aku ingat Sarmin, kawanku SMA. Dia harus mati dirajam hukum Arab Saudi. Saat bekerja menjadi supir pribadi di negara itu, juragannya adalah 5 wanita dalam satu rumah. Selain menyopir mobilnya, Samin juga dipaksa menyupir tubuh mereka secara bergantian. Dua tahun kemudian tubuh Sarnim kurus kekurangan hormon, dan ketika ia menolak ajakan juragannya, mereka beramai-ramai melaporkan ke polisi dengan alasan pemerkosaan.

Tak hanya pertarungan yang menjadi momen berkesan bagiku, masa kawin kera juga tontonan gratis pelepas lelah. Di dahan besar itu pejantan malu-malu, salah tingkah di hadapan sederet betina. Satu di antara betina mendekat. Sementara yang lain seperti tidak ada urusan dengan kedua pasangan itu. Meskipun antri, tetap saja bagi mereka adalah urusan dan kepentinan tersendiri. Mula-mula pejantan mengusap kepala betina, lalu mencari kutu di bulu-bulunya. Setelah keduanya berciuman, tak berselang lama yang memang telanjang sebelumnya, seperti saat aku dan istriku yang kemudian melahirkan kedua anakku.

Itulah saat saat keduanya menjadi pemilik sorga hutan belantara. Jangankan keranya, kutu di bulunya pun memiliki hal yang sama. Betina yang selesai diajak bertamasya pejantan ke ruang-ruang hampa segera pergi tanpa mau tahu apa yang dilakukan pejantan dengan betina giliran berikutnya. Para betina pun hamil dan menyusui bayi mereka sekian bulan sesudahnya.

Waktu bersamaan dengan tontonan pesta perkawinan kera itu, kadang beberapa rekanku langsung ngelonyor ke tempat mandi dan betah berlama-lama. Seperti biasanya, sore seusai bekerja, dua orang temanku sudah berpakaian necis. Mereka pergi ke lembah madu yang berjarak tujuh kilo meter. Sebuah kubangan segaran tempat para perantau mereguk madu pelepas dahaga. Apalagi setelah berguru pada kera, penonton ibarat murit cerdas yang segera memraktekkannya.

Sementara aku dengan sisah dada bergemuruh, sibuk menghalau rasa kangen pada istri di rumah nan jauh. Aku yakin. Aku bukan keturunan Marcopolo yang di mana ada pulau, di situ pula aku mendarat. Tentu, sekalian menjelajahi wanita setempat.

17 Oktober 2011

DARI DAN KE …

Bambang Kempling *
http://sastra-indonesia.com/

Mimpi masih berlanjut setelah itu.

Suatu perbincangan pada suatu sore masih saja mengiang di telinganya sepanjang hari yang dilalui kini. Apakah hal yang tampak selalu di depan mata, telah menjelmakan racun pada setiap lembut udara yang dihirupnya? Ataukah semacam tabir bagi kebanggaan jalan yang pernah dilalui?

Sore itu, selesai rintik hujan dan di barat matahari kuning keemasan hampir terhimpit di antara gedung-gedung tua tertiraikan pohon-pohon akasia, ketika sepasang kekasih duduk berhadapan di bawah tiang bendera yang menjulang di tengah lapangan rumput, ketika dia dan seorang temannya melintas di antara mereka tanpa begitu peduli, ketika mereka lalu menyapa,

“Hallo!!”

Ketika sapaan itu tak ada sahutan sama sekali. Ketika sang perempuan menyebulkan senyum kecil yang manis sekali, lalu bertanya pada sang kekasih:

“Kemana mereka?”

“Entah!” jawab sang kekasih.

Di perempatan jalan mereka berhenti, ketika seorang pengendara motor melambaikan tangan tanpa menoleh lalu mengencangkan laju motornya, ketika percakapan itu terjadi:

“Seekor nyamuk sekarat di atas sehelai kertas putih lantas mati. Begitu mengagumkan ia dalam mengakhiri kebebasannya dengan bermula dari kebahagiaan tanpa beban kelaparan. Tapi dengan begitu, mungkin dan bahkan sangat mungkin, ia justru sangat menderita karena tidak sempat menikmati keinginan-keinginan yang akan terjadi sesudahnya,” temannya mencoba membuka kebisuan.

“Hidup tidaklah sesederhana itu kawan. Adalah tidak salah kalau saya tiba-tiba memilih keputusan yang benar-benar menyakitkan, yaitu pulang. Tidak seperti nyamuk itu, sebab kami ternyata bukan kawan yang baik untuk mati bersama-sama. Kalau hal ini kau anggap menuju kematian? Tunggu dulu! Siapa sebenarnya yang telah merintis jalan itu bahkan cenderung untuk mempertahankannya?”

“Stop!! Saya hanya berbicara tentang nyamuk, bukan untuk berdebat tentang pilihan kita.”

“Apologi kuno!! aku berangkat.”

“Kita belum selesai bicara!”

“Kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan pembicaraan! aku berangkat pulang!”

“Sudah kau pikirkan masak-masak?”

“Busyet! kita sehari-hari di sini terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mimpi-mimpi..”

“Tunggu dulu.., paling tidak dengarkan perkataanku kali ini!”

“Otakku capek.”

“Apa perlu kita saling berkabar?”

“Kita titipkan pada angin.”

“Itu klise!”

“Ya… pada embun.”

“Sama saja!”

“Kalau begitu tidak usah!”

“Adakah ini keberartian jalan?”

“Simpan kalimatmu untuk nama jalan ini?”

Masih di perempatan jalan itu, di bawah jajaran pohon palem yang menjulang, berpacu dengan matahari mereka berjabatan. Dia berjalan ke timur mengejar bayangannya yang meliuk-liuk di atas rerumputan sepanjang pinggir jalan.

Bagaikan sesosok tubuh tunggal, terasa ada yang hilang dari diri mereka yang lelah dengan harapan-harapan.

“Hai…! tidak kau ucapkan sepatahpun kata pepisahan?” teriak sang kawan.

“Kita bukanlah sepasang kekasih sobat!” jawabnya dari kejauhan dan akhirnya menghilang di kelokan.

Sang kawan berjalan ke utara menyusuri jalan sempit berlawanan dengan arah air sungai kecil yang mengalir di bawahnya.

“Kenapa pulang selalu menjadi masalah?” kalimat itu terulang bersekian juta kali di kepalanya, bagaikan kekhusukan dzikir sepanjang perjalanan beriringan dengan denyut nadi, langkah kakinya sendiri, langkah kaki orang-orang yang bersimpangan, guguran daun-daun sepanjang jalan, laju mobil angkutan, teriakan kenek-kenek bus, obrolan penumpang, sapa orang tuanya sesampainya di rumah, bantingan pintu kamar, ngorok tidurnya.

Pagi-pagi benar ketika bangun tidur, dia menyambut pagi dengan umpatan keras. “Bangsaaat…kubunuh kau!!”

Ibunya yang baru serekaat melaksanakan sholat subuh, membatalkan sholatnya, cepat-cepat menghampirinya. “Ada apa?” tanyanya.

“Cicak…”

“Kenapa dengan cicak?”

“Mukaku dikencingi!”

“Oh…alaaah, begitu saja kok mengumpat! Sana sholat! biar bening hatimu.”

Dengan berang dia beranjak dari kamar menuju kamar mandi, membasuh muka dan bagian-bagian tubuh yang layak tersiram air wudlu lalu segera pergi. Ibunya yang belum selesai sholat tak sempat bertanya.

Matahari sudah membentuk bayangan panjang bagi lalu lalang orang-orang di pasar. Keramaian yang sudah sejak tadi, sebagai satu tanda tentang harapan-harapan. Tapi dia bukanlah seperti kebanyakan dari mereka. Kemarahan yang iseng mengantarkannya ke salah satu toko mainan,“Pistol ini berapa?” tanyanya pada penjaga.

“Baru benah-benah Mas!” jawab perempuan penjaga.

“Busyet!! Pistol ini!!”

“Untuk adiknya?”

“Saya bertanya harganya!? Adapun ini nanti untuk saya atau nenek saya, itu bukan urusanmu! Yang penting saya beli! Titik!!” sahutnya kesal.

Wajah penjaga toko tiba-tiba pucat dan gemetar mendengarnya, segera ia memberikan mainan yang dikehendakinya sekaligus menunjukkan harganya. “Kok sekarang jadi gitu?” desisnya.

Bagaikan remaja belasan tahun dia mengendarai motornya, para tetangga yang kebetulan bangun pagi pada ngedumel lantas segera memasang tanda tanya dan tanda seru yang besar di atas kepalanya: “Ada apa?!” atau “Kok?!” Pengedumel-pengedumel itu serta-merta berkerumun untuk merumuskan tentang sebab dan musabab dari “Ada apa?!” dan “Kok?!”. Hasilnya, tidak lebih dari satu rumusan tanda tanya dan tanda seru yang semakin besar menindih setiap kepala mereka. “Nihil!” Celotehnya.

Sesampai di kamar, cicak di atap semakin banyak, bahkan ada yang asyik bercumbu. Dia segera mengeluarkan pistol mainannya, menembakinya satu persatu. Satu persatu cicak itu terjatuh: ada yang mengenai kepalanya, ada yang ekornya hingga putus dan seakan-akan hidup memisahkan diri dari induk tubuh, menjentik-njentik di lantai sementara sang induk tubuh terus melanjutkan kehidupannya. Tetapi dia tetap tidak akan memberikan hak untuk itu. Ketika dilihatnya ada sepasang yang bercumbu dia jadi tertawa sekeras-kerasnya,

“Ha…ha…ha… Keterlaluan..! Dan inilah ganjaran bagi yang tak tahu diri!!”

Tas!!

Tas!!

“Kena kau…! Mampus kau…!” teriak girangnya.

Di balik pintu kamar ibunya yang masih bermukena setelah menyelesaikan sholat dhuha mengelus dada, meneteskan air mata. “Apa ada yang salah dari doa saya?” tanyanya dalam hati.

Kabar tentang itu segera terdengar sampai di setiap sudut kampung. Peristiwa yang teramat ganjil dalam pikiran-pikiran sederhana mereka dengan santernya menjadi topik setiap pembicaraan di warung-warung, di toko-toko kelotong, di pasar-pasar, di jalan-jalan, di hampir semua tempat orang-orang biasa bergerombol termasuk di tempat ibadah. Sepanjang hari itu topik tidak pernah berubah bahkan cenderung berkembang menjadi pro dan kontra, dan masalah pro dan kontra ini di suatu warung kopi dua orang nyaris saling melempar cangkir kopi kalau tidak segera dilerai dengan geram oleh pemiliknya:

“Kalau berani saling melempar dengan cangkirku, maka kursi ini nanti akan kulempar ke kalian, biar sekalian hancur!!” bentak pemilik warung itu.

Sudah tiga hari dia tidak keluar kamar, kecuali untuk buang air kecil atau makan, lampu kamar dibiarkan menyala terang. Yang dilakukan selama itu kalau tidak ada cicak dia membaca, kalau tidak membaca ya menulis, kalau tidak membaca dan menulis dia bernyanyi keras atau berdeklamasi, kalau semuanya tidak dia tidur mendengkur.

Hari keempat dia mulai jenuh dengan rutinitas perang melawan cicak, maka diputuskannya untuk menempelkan foto-foto dirinya di dinding dan sudut kamar sebagai bidikan barunya. Tidak tanggung-tanggung kali ini senjatanya tidak dengan pistol mainan, tapi dengan senapan angin yang dimiliki. Mula-mula yang dibidik matanya kemudian jidat sampai seluruh bagian tubuhnya. Kalau tidak mengenai sasaran dia berteriak menyumpahi ketololannya.

Hari berikutnya, dia tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba mengamuk menghancurkan semua benda-benda dalam kamar, menyobeki semua buku-bukunya, menempelengi kepalanya , bernyanyi keras-keras, berdeklamasi keras-keras, dan menangis keras-keras.

Melihat keadaan yang dianggap ganjil, seluruh keluarganya berkumpul untuk membicarakan sikap dan tindakan yang tepat. Dan hasilnya segera mengirimnya ke rumah sakit jiwa.

Seminggu di rumah sakit jiwa dia lepas, pulang naik taxi. Di depan rumah dia berteriak keras, “Saya tidak gila! saya tidak butuh rumah sakit jiwa! tidak butuh dokter! yang saya butuhkan hanya kebebasan untuk menjalani pilihan hidup saya! Pilihan hidup yang didasari oleh kebebasan cara berpikir! Apakah kemudian dengan demikian lantas dengan enaknya kalian menempatkan saya pada ketidakmampuan akal sehatku untuk menjalani hidup? Percuma saya sekolah! Percuma saya belajar psikologi, sastra, dan filsafat! Kalau kemudian dengan pengabdianku kepada kehidupan yang baru kurintis terlalu cepat dianggap sinting! Tidak adakah bentuk penghargaan lain kecuali tuduhan yang tidak beradab ini? Hari ini saya pergi!”

Selesai mengucapkan itu, dia langsung pergi. Sementara sang supir taxi masih linglung, salah seorang dari keluarganya menanyakan tentang upahnya, setelah dibayar dalam kelinglungannya buru-buru tancap gas. Di perjalanan kembali bertemu dengan bekas penumpangnya tadi, karena takut ditumpangi lagi supir itu semakin tancap gas sampai laju taxinya tak terkendali dan di tikungan jalan nyelonong ke sebuah toko kelontong hingga ringsek, sedang sang supir luka parah. Banyak orang berkerumun, ketika dia sang bekas penumpang tadi lewat tidak menoleh sedikitpun.

“Sombong!! Takabur!! Sok..!!” bisik seseorang kepada seseorang yang kebetulan menyaksikan dia.

*

Tiga tahun sudah peristiwa itu terjadi, dan selama waktu itu, dia telah hampir menyinggahi seluruh kota di negri ini, menjalani hidup sebagai manusia kelas pinggiran, bermukim di rumah-rumah kardus bawah jembatan dan pinggiran jalan kumuh. Untuk makan dia mencari uang dengan mengais dan menjual barang-barang bekas yang dari gundukan sampah pinggir kota. Anehnya selama bermukim di setiap permukimannya, dia hanya dikenal oleh yang lain sebagai ‘entah’ dan mengenal yang lain pun dengan ‘entah’ saja.

“Kamu siapa dan dari mana?” suatu ketika salah seorang wanita bertanya kepadanya, langsung wanita itu diringkusnya lantas disetubuhi, anehnya wanita itu tidak berontak. Esoknya, tepat tengah malam dan bulan bundar terang menyinari perkampungan kardus itu, wanita itu dengan berkain sarung masuk ke rumah kardusnya, dia tidak terkejut dan langsung meringkusnya setelah mendengar pertanyaan yang sama. Begitulah yang terjadi di hari-hari berikutnya apabila wanita itu bertanya. Lama-lama pertanyaan itu sudah terlalu basi bagi bibir manisnya, tapi tetap saja diringkus bahkan sampai menjalani hidup selayaknya sebuah rumah tangga yang aneh dengan tanpa kata-kata. Percintaannya terjadi hanya dengan isyarat-isyarat. Dan dengan isyarat pula, ketika pada suatu pagi dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi sebelum wanita itu bangun, ditulisnya pesan singkat dengan arang di salah satu dinding kardus.

“lewat terang bulan yang menerobos di persinggahan ini

aku kabarkan pilar rahasia dari percintaan kita

pada langit terang bila tak ada hujan

luka dan tangis adalah sia-sia

sia-sia

pergiku adalah beruntai-untai kisah panjang

yang tak kan pernah terungkap

Akhirnya hanya pada angin aku bersimpuh.

Hanya pada angin.”

Semula wanita itu tidak terkejut melihat dia sudah tidak di sampingnya, tetapi keadaan menjadi lain ketika ditemuinya tulisan itu.

“Siapa yang kucintai ini?” desisnya, sambil mengusap air mata yang tiba-tiba berurai. Tangisnya semakin menjadi, semakin menjadi setiap dibacanya tulisan yang tepat dihadapannya. Seharian wanita itu menangis, seharian wanita itu membacanya.

*

Beberapa hari kemudian, di suatu tempat yang jauh, di sebuah warung kopi, dia seperti sedang menunggu seseorang. Para pengunjung warung kopi tampak sudah akrab sekali dengannya, sesekali mereka terlibat dalam kelakar dan basa-basi juga saling mengabarkan sesuatu. Seseorang dengan tubuh kerempeng sambil membawa buku tebal melongokkan wajah dari balik jendela, dengan tertawa ia menyambut kedatangannya, “Aku tadi dengar kalau kau datang, bagaimana pulangmu?” sambutnya.

“Busyet!” jawabnya.

November 2003
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
Baginya menulis adalah sebagai bentuk ‘dialog’ yang harus dilakukan. Bersama teman-teman KOSTELA, ia akan terus menulis sepanjang masih bermakna.
Alamat surat: KOSTELA, Jln Raya Karanggeneng No.107 Cuping, Madulegi, Sukodadi, Lamongan. Tlp. (0322) 393042. HP. 081 332 002 807

Selasa, 11 Oktober 2011

Dharmadi: Ketika Sajak Kembali Menjejak

Abdul Aziz Rasjid
Kedaulatan Rakyat, 14 Des 2008

Empat tahun sesudah terbitan Aku Mengunyah Cahaya Bulan, muncullah sekarang: Dharmadi, kumpulan puisi Jejak Sajak (diterbitkan Kancah Budaya Merdeka: Purwokerto. 2008). Sebagian sajak-sajak yang termuat didalamnya tak dapat dikatakan muda, sebab ditulis dari rentang waktu 1994-2000, dan sebagian memang dapat dikatakan baru, sebab ditulis dari rentang waktu 2006-2007.

Membaca Jejak Sajak, secara umum mendapati jeritan jiwa Dharmadi sebagai penyair, khususnya keresahannya terhadap keadaan zaman. Jeritan itu semakin menguat, karena ia meyakini, bahwa zaman hari ini penuh kejanggalan juga kemuraman.

Kejanggalan dan kemuraman adalah situasi kengerian. Sebuah suasana yang melahirkan kecemasan. Sebuah suasana yang melahirkan kecemasan. Namun, tidak seperti kecemasan normal hanya melanda seseorang akibat harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Kejanggalan dan kemuraman yang disuguhkan Dharmadi timbul secara massal.

Akibat dari hadirnya kepercayaan berlebihan pada citraan imajiner dan simbolik yang diusung benda-benda di tengah kehidupan, untuk selanjutnya menciptakan kekaburan bahkan kematian hakikat kedirian. Situasi itu namapak jelas dalam bait-bait puisi Dharmadi, antara lain:

“Sejarah Yang Berdarah”: anak-anak mengais-ngais sisa waktu/ dalam timbunan reruntuhan benda-benda/ kehilangan ruh dunia.

“Penari Bar”: bagai ular/ geliat tubuhmu dalam mainan cahaya/ dan patukan-patukanmu mengucurkan darah/ yang menggelegak dari orang-orang/ yang melupakan realitas dunia.
“Sajak Gelombang”: aku mengalir/ dalam mainan/ ketidak-pastian.

Citraan-citraan imajiner dan simbolik yang telah mengaburkan hakekat kedirian manusia, lalu dipahami Dharmadi sebagai sebuah tipuan. Dalam bait penutup “Sajak Bunga Plastik” Dharmadi menuliskannya begini: apalagi yang bisa dirasa-rasa/dari kehidupan/ yang imitasi.

Citraan

Dari manakah citraansimbolik maupun imajiner yang merupakan tipuan itu timbul? Jika dikait-kaitkan, Milan Kundera akan menjawab pertanyaan itu sebagai kemenangan “imagologi”, ketika ideologi dikalahkan oleh realitas dan realitas ternyata bisa dikalahkan oleh image yang dibangun dan disebarkan oleh para pakar “imagologi”, seperti: Perancang busana, ahli kosmetik, dan media massa.

Beberapa diksi dari produk “imagologi”, terdapat pula dalam beberapa bait puisi Dharmadi, dan saya kira pengembangan diksi-diksi itu senada dengan apa yang diungkapkan Milan Kundera (Bold dari saya: AAR).

“Hari-Hari Berkabut ”: ada suara kunci magazine terbuka/ masihkah ada yang tega ingin berburu/ di kegelapan seperti ini?

“Penari Bar”: dj memainkan irama yang berloncatan/ menyihir suasana/ ingar dalam kekosongan.

“Ketika Naik Bus Transjakarta”: ketika sesekali naik bus transjakarta/ mata lelakiku kadang iseng atau tak sengaja menatap payudara/ di dada penumpang perempuan/ yang mengintip lewat model pakaiannya/ ah, betapa subur dan indahnya:….

Kembali pada Milan Kundera, jika ia menyebut zaman itu lahir akibat hadirnya kemenangan “imagologi”. Saya akan menyebut zaman itu sebagai “zaman kemasan” (merujuk pada Goenawan Mohammad), sebuah zaman dimana terdapat pewadahan bertingkat-tingkat, yang sebenarnya merupakan tempat kurang nyaman bagi siapa saja yang menghendaki harus selalu ada pegangan yang teguh, yang menyeluruh, yang utuh, suatu proses yang entah kapan dimulai dan entah kapan berakhir.

Lalu, sebagai manusia yang menyadari adanya seretan kuat arus zaman kemasan. Pada siapa Dharmadi berpegang? Penjelasan ini terdapat jelas dalam dua puisi pendeknya.

“Kesejatian”: kau kosongkan pikir-rasa/ dari mimpi-mimpi imitasi;/ Kuisikan sejatiKu/ sejatimu menjadi.
“Meditasi”: masuklah dalam nadirku;/ Aku dalam ada ketiadaanmu.

Dari banyaknya kejanggalan, kemuraman, yang terakibat dari tipuan citraan zaman kemasan. Sebagai penyair, Dharmadi mengambil sebuah jalan, yaitu perenungan mendalam untuk menemukan hakekat kesejatian, dengan mencoba kembali pada kondisi asali pra-imajiner dan pra-simbolik untuk kemudian menyatu padu, berpegang pada penciptanya yang satu.
Apakah Dharmadi sanggup?

Dugaan Awal

Sekalipun Dharmadi mencoba merenungi lalu menjawab lewat puisi bahwa citraan imajiner dan simbolik dapat dilepaskan dengan kembali pada hakekat kesejatian diri, saya masih menyangsikan. Karena puisi-puisi yang menjejak dalam kumpulan Jejak Sajak, yang pada mulanya terselimuti ketidak percayaan diri, menjadi percaya diri sebab hadirnya penilaian —kesan-kesan kawan— yang mengubah citraan puisi.

Dua perasaan kedirian yang kontras itu, tertuliskan dalam kata pengantar yang ia beri judul “pada suatu ketika”:
“Puisi- puisi saya tidak layak untuk dimunculkan saat ini, di tengah bertebaran puisi-puisi bagus karya para penyair yang masih muda-muda. Saya sendiri mengagumi karya mereka, mengakui tak mungkin mampu menulis puisi seindah dan sebagus itu.”

Namun, kata-kata sides Sudyarto Ds, “Anda mesti muncul lagi”, pesan Medy Loekito lewat ponsel “hebat, euih, jauh meloncat”, komentar Sihar Ramses Simatupang “Belum tentu puisi yang ditolak di media itu puisi buruk”, serta kata-kata dari Adri Darmadji Woko “terbitkan saja, Dhar”, membangun kepercayaan diri, dan saya membulatkan tekad agar bendel kumpulan puisi itu harus menjadi buku. Entah bagaimana caranya dan bagaimana ujudnya.

Bagi saya pribadi, proses keberadaan Jejak Sajak yang lahir hanya atas dasar kesan-kesan, secara bersamaan, dalam ketaksadaran Dharmadi sesungguhnya telah mewujud sebagi hasrat diri yang narsistik, yang sekaligus pula menyatakan kehendakan bahwa harus selalu ada pegangan yang teguh, menyeluruh, utuh sebagai penguat idealisasi akan identitas diri yang kompleks. Perubahan itu, saya anggap tak senada dengan pesan puisinya yang mencoba lepas dari segala citraan imajiner dan simbolik untuk menemukan hakekat diri yang sejati.

Dari kata pengantar itu serta isi puisi yang disampaikan Dharmadi. Sebagai pembaca Jejak Sajak, saya berharap agar semua yang dituliskan Dharmadi pada akhirnya juga dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti lontaran yang dituliskan Acep Zamzam Noor —tanpa ada kepentingan membandingkan kebesaran kepenyairan pada keduanya— pada kata pengantar kumpulan puisi Jalan Menuju Rumahmu (diterbitkan Grasindo: Jakarta. 2004): Puisi ternyata tidak hanya minta untuk selalu dituliskan, tetapi juga untuk dilakukan. Untuk menjadi perbuatan sehari-hari.

Akhirnya, saya kira Dharmadi pun menyakini hal serupa, karena seperti yang ia tuliskan pada bait dua puisi penutup Jejak Sajak “Kembali Pulang Merapat ke Bayang”, ia menyatakan: …telah ditemukannya jawab tentang ‘apa itu hidup’/ pada laku yang memberi/ ia pun semakin paham tentang mujur malang.

Purwokerto, Juli-November 2008

Disiar pertama kali dalam SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu Legi 14 Desember 2008 (16 Besar 1941), disiar ulang dalam catatan facebook 07 oktober 2009.

Karya di Tengah Silang Sengkarut

Ahda Imran
Pikiran Rakyat, 29 Des 2007

SEBUAH obrolan selepas di depan Taman Budaya Kalimantan Timur seusai Kongres Cerpen Indonesia V di Banjarmasin, 26 Oktober 2007 yang lalu.

Di situ ada Saut Situmorang, Isbedy Stiawan Z.S., Ari Pahala Hutabarat, Oyos Saroso HN, dan cerpenis Trianto Triwikromo. Hanya sebuah obrolan santai sambil saling berseloroh. Tapi tiba-tiba suasana menjadi serius dan panas. Dan itu dimulai dengan pertanyaan Saut yang ditujukan pada Isbedy dan Ari Pahala, “Bagaimana, enak diundang TUK?” Pertanyaan itu awalnya diladeni Isbedy dan Ari Pahala dengan gurauan dan sindiran. Akan tetapi, kemudian lama-kelamaan suasana jadi tambah panas. Saut terus berbusa-busa menerangkan sejumlah hal dan sikapnya yang cenderung menyerang komunitas Teater Utan Kayu (TUK). Ketika Isbedy, Ari Pahala, Trianto, dan Oyos dianggapnya membela TUK, tiba-tiba telontarlah makian Saut, “Ah! Kalian semua tahi kucing! Bela-bela TUK!”

Kejadian itu hanyalah bagian kecil dari riuh-rendahnya silang sengkarut dalam sastra Indonesia sepanjang tahun 2007. Silang sengkarut yang tak hanya terjadi di milis, tapi juga hingga ke forum-forum diskusi sastra. Bahkan, sebuah news letter seperti Boemi Poetra pun diterbitkan untuk menegaskan bahwa hegemoni sastra itu ada dan berbahaya. Di bagian lain, sebuah polemik lama pun muncul kembali pada tahun 2007 ini, yakni perdebatan ihwal sastra, seks, dan moral. Perdebatan ini muncul sejak Pidato Kebudayaan penyair Taufiq Ismail di Taman Ismail Marzuki (TIM) tanggal 20 Desember 2006. Penyair senior ini melontarkan apa yang disebutnya dengan Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) untuk mengidentifikasi kecenderungan sejumlah karya sastra Indonesia yang dianggapnya mengeksplorasi seksualitas. Selain Taufiq Ismail dan Saut Situmorang, juga tampil Hudan Hidayat, Mariana Aminuddin, dan Fajroel Rachman meladeni Taufiq Ismail di seberang lain. Kebebasan ekspresi sastra dan moral di situ dipertengkarkan.

Namun apa pun, seluruh silang sengkarut yang menamakan dirinya politik sastra itu, juga polemik kebebasan sastra dan moral, sepanjang tahun 2007 telah menghadirkan sebuah perkembangan menarik.

Akan tetapi, kritikus sastra Acep Iwan Saidi seolah hendak menginterupsi peristilahan politik sastra yang dilabelkan pada silang sengkarut yang selama ini terjadi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan politik sastra? Apakah ia berarti sebuah strategi untuk mencapai sesuatu? Jika benar apa yang ingin dicapainya, kualitas karya? Perjuangan mendudukkan sebuah estetika baru? Atau jangan-jangan hanya mencari popularitas semata? Ia menilai sepanjang tahun 2007 yang tampak adalah ketidakjelasan arah pemikiran. Sekelompok orang menghujat kelompok lain sebab merasa kelompok lain itu menerapkan hegemoni. Lalu melontarkan pernyataan-pernyataan emosional, bahkan sangat kasar.

Tentang GSM yang dilontarkan Taufiq Ismail, Acep Iwan Saidi memandang betapa lontaran itu tidak disertai oleh data-data tekstual.

“Jangan-jangan karya sastra yang dimaksudnya porno itu menjadi porno justru karena Taufiq menjulukinya demikian. Terus, Taufiq juga tidak mengungkapkan data sebatas mana karya-karya yang dianggapnya porno itu memengaruhi masyarakat. Saya pikir di bagian ini pendapat Taufiq justru terasa ganjil jika dihubungkan dengan apa yang bertahun-tahun ia gemborkan: bahwa para siswa sekolah dasar sampai menengah jarang sekali membaca karya sastra, jauh berbeda jika dibandingkan dengan di negeri jiran. Pemimpin-pemimpin kita juga katanya tidak dilahirkan dari generasi pembaca sastra. Nah, lho, kalau begitu, bagaimana ceritanya sampai kemudian Taufiq merasa khawatir jika karya-karya porno itu bisa meracuni masyarakat.”

Moral dan etik

Di sisi lain, berbeda dengan Acep, penyair dan redaktur majalah sastra Horison, Jamal D. Rahman, memandang bahwa polemik ihwal seks dalam sastra lebih berkorelasi dengan moral dan etik sastra di tengah lingkungan sosialnya. Sebuah lingkungan sosial yang amat menyedihkan. “Kita tahu, situasi sosial kita dewasa ini penuh bencana, mulai dari tsunami, gempa bumi, banjir (bandang), lumpur Lapindo, kemiskinan kian menggencet, dan lain-lain dengan ribuan korban yang masih menderita entah sampai kapan. Pertanyaan dasarnya adalah dalam situasi menyedihkan seperti itu, apakah menjadikan seks sebagai tema dalam karya sastra dapat diterima secara moral?”

Di bagian lain, Jamal pun setuju dengan asumsi bahwa silang sengkarut dan berbagai polemik yang terjadi telah menyebabkan lenyapnya karya sastra dalam perbincangan, di samping juga karena adanya sejumlah faktor yang turut melemahkannya, yakni kritik sastra, terutama kritik di media-massa. “Ya, banyak orang tidak tahu karya sastra apa yang dapat kita anggap penting di tahun 2007 ini yang dipertimbangkan dengan pemikiran, diskusi, atau polemik, Karena kritik dan media kritik sastra sangat minim, peran kritik sastra diambil alih oleh industri atau pasar. Pasarlah yang menentukan apakah karya sastra ’heboh’ atau tidak. Begitu pasar menerima karya sastra, ’heboh’-lah karya sastra itu. Tak ada karya sastra yang di-’heboh’-kan oleh kritik,” tuturnya.

Sementara itu, Acep Iwan Saidi menilai bahwa sesungguhnya terdapat banyak karya menarik yang layak dan penting untuk diperbicangkan di tahun 2007 ini, ketimbang berkerumun dan menghujat.

“Saya ingin menunjukkan beberapa contoh saja melalui beberapa pertanyaan berikut: 1) mengapa sajak-sajak Joko Pinurbo dalam antologi Kepada Cium menunjukkan ciri-ciri berbeda dengan sajak-sajak sebelumnya?; 2) Mengapa Acep Zamzam Noor membuat judul antologinya, Menjadi Penyair Lagi?; 3) Mengapa Andrea Hirata menjadi demikian populer, ada apa dengan Laskar Pelangi yang terbit tahun sebelumnya?; 4) Mengapa Bu Guru yang dijadikan model tokoh dalam Laskar Pelangi itu tiba-tiba menjadi populer?, dan 5) mengapa Soni Farid Maulana senang sekali menerbitkan kumpulan puisi? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini lebih layak diperbincangkan dan didiskusikan daripada berkerumun dan menghujat.”

Senada dengan Acep Iwan Saidi, penyair dan esais Adi Wicaksono memandang banyak terdapat karya menarik sepanjang tahun 2007, terutama di genre yang dilabeli sastra pop. Selain semakin kuat di pasar, sesungguhnya sejumlah karya sastra pop seperti Laskar Pelangi Andrea Hirata tidaklah melulu hanya menghidangkan permasalahan cinta seperti banyak diduga. Dalam sastra pop juga terdapat permasalahan-permasalahan identitas dan pluralitas. Perkembangan sastra pop, kata dia, sekarang tidaklah bisa disamakan dengan zaman-zamannya Lupus Hilman Hariwijaya.

Perkara tafsir

Berangkat dari fenomena 2007 dan membayangkan tahun 2008 mendatang, Acep Iwan Saidi atau Adi Wicaksono sama merasa optimistis bahwa sastra Indonesia akan melahirkan karya-karya yang bagus, seraya juga sebaliknya menyimpan pesimisme yang sama terhadap perkembangan kritik sastra. Di bidang pemikiran, satu hal yang ditegaskan Acep Iwan Saidi adalah soal kritik dan tafsir atas karya. Polemik-polemik tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya, menurut dia, salah satunya dipicu oleh kesimpangsiuran tafsir.

“Satu peristiwa penting yang tidak Anda tanyakan di tahun ini –padahal sangat penting– adalah soal pemberedelan sajak ’Malaikat’ karya Saeful Badar di harian ini. Saya pikir Anda sendiri pasti mengetahui bahwa peristiwa itu terjadi sebab timpangnya tafsir yang kemudian diikuti oleh tindakan sepihak yang merasa memiliki kebenaran. Ada satu pendapat umum bahwa siapa pun bebas menafsirkan karya seni sebab seni bersifat subjektif. Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Semua rumah punya pintu, dan Anda harus terlebih dahulu mengetuk pintu itu jika ingin masuk ke dalamnya, kecuali jika Anda preman atau pencuri. Ini artinya, jika Anda ingin menafsir seni, Anda juga harus mengetahui ilmunya, setidaknya Anda berdiskusi dengan ahlinya. Apalagi, jika kemudian berdasarkan tafsir itu Anda mengklaim, menista, dan merusak. Anda tidak bisa menyebut buku harian sebagai novel, begitu pun saya tidak bisa menafsir sebaris ayat Alquran sebagai selarik puisi.

Islam bahkan dengan sangat jelas menyarankan bahwa setiap persoalan hendaknya diberikan pada ahlinya. Untuk itu pula sebenarnya sekolah didirikan dan disiplin ilmu disusun. Bagian penting dari soal tafsir di ruang publik–dan ini yang selalu jadi soal–tentu saja media publik itu sendiri. Media, saya pikir, harus bertindak objektif dan netral sebab ia media publik, jelas ia milik publik. Kasus sajak ’Malaikat’ yang, menurut saya, fenomena budaya paling penting tahun 2007, terutama di Jawa Barat, adalah sebuah contoh yang tidak baik. Ini kritik saya untuk Pikiran Rakyat. Saya berharap ini tidak terulang pada tahun 2008,” paparnya.

Sementara itu, Adi Wicaksono memprediksi bahwa sastra pop, termasuk yang bertemakan keagamaan (Islam), akan tetap menjadi perkembangan menarik sepanjang tahun 2008 . Satu hal yang justru dicemaskannya adalah perkembangan kritik sastra. Keengganannya untuk menjamah sastra pop dan yang berkembang di berbagai daerah akan membuat kritik sastra mengalami involusi.

“Dia hanya melulu melihat ke dalam, tidak mau ke luar. Ya, seperti katak dalam tempurung,” ujarnya. ()

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/12/sastra-karya-di-tengah-silang-sengkarut.html

Memaknai Sastra Religius dari Pesantren

Linda Sarmili
http://www.suarakarya-online.com/

Dewasa ini, secara kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis. Salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan.

Maka, bertambahlah ‘spesies’ baru, genre baru ke dalam khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).

Sebagaimana kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).

Mayoritas begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abi-dah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi’ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat di lingkungan geografis yang bernama pesantren.

Akibat kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering di-identikan dengan sastra sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi kesusasteraan pesantren.

Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf.

Dengan apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf. Dengan kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pe-santren sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan non-pesantren.

Namun, dewasa ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra pesantren yang subversif.

Yang paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan bahwa novel ini subversif terhadap sistem tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di lingkungan pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.

Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop.

Namun, bagaimanapun inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang secara mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal). Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant.

Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn ‘Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya?

Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis merupakan suatu hal yang manusiawi dan tak bisa ditinggalkan. Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elite pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya. Secara kuantitatif, sastra pop pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan.

Sederetan nama sastra-wan pesantren yang rata-rata berusia muda dengan karyanya tampil ke muka: Santri Semelekete (karya Ma’rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung) Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad) dan sederet nama lain yang tak bisa disebutkan satu-persatu.

Motivasinya bisa beragam, atau barangkali sastra pop pesantren dipandang lebih prospektif dalam hal laba finansial? Terlepas dari semua itu, ini akan menjadi aset ekonomi para sastrawan. Banyak kalangan elit sastra yang cenderung ‘mengejek’ akan keberadaan sastra pop, termasuk sastra pop pesantren. Budi Darma dalam esainya “Sastra Mutakhir Kita” (Horison, Februari 2000) menyatakan kekhawatirannya bahwa dengan industri, keberadaan sastra pop bukan hanya sekedar keberadaan, melainkan juga kekuatan yang akan menggeser keberadaan sastra serius”.

Ini saya kira suatu kekahawatiran yang agak berlebihan. Sementara, St Sunardi (2006) mengatakan” dalam setiap kebudayaan pop ada suatu jaringan kekuatan. Namun bagaimana kebijakan kita mengarahkannya untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan.”

Dalam konteks sastra pesantren saya melihat bahwa relasi sastra serius pesantren dan sastra pop pesantren cenderung bersifat hierarkis, sinergis dan interdependen; bahwa dari minat terhadap karya sastra pop yang ringan itulah embrio tradisi membaca bisa terbangun. Karena itu animo masyarakat dan kalangan santri terhadap sastra pop pesantren tetaplah harus kita pandang positif.

Bahkan penyair Jamal D Rahman dalam sebuah perbincangan tentang proses kreatifnya, mengaku mendapat modal senang membaca karena awalnya keranjingan membaca novel-novel ‘kacangan’ Freddy. S, tapi seiring dengan waktu dan intelegensinya yang terus berkembang ia pun beralih membaca dan menulis karya sastra sufistik yang high-quality. Sastra pop juga berfungsi untuk ‘latihan pemula’, dan ini akan melanggengkan tradisi bersastra (baik kepenulisan maupun apresiasi) sehingga kontinuitasnya terjaga; bukankah hanya dengan hal itu literacy culture di pesantren bisa hidup, menyala dan terus memberi sumbangan-sumbangan berarti bagi peradaban?
***

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae