Sebuah wawancara yang dilakukan Majalah TIRAS dengan WIRATMO SUKITO, Konseptor Manifes Kebudayaan 31 tahun yang lalu. Ia menentang pernyataan Mei 1995. SUMBER: MAJALAH TIRAS. EDISI: 1 JUNI 1995. HAL: 45-50
Oleh: Suryansyah
Telah lahir sebuah pernyataan, namanya “Pernyataan Mei”. Inilah pernyataan sikap sejumlah budayawan terhadap berbagai bentuk pelarangan dalam kemerdekaan mencipta. Diproklamasikan tanggal 8 Mei lalu bertepatan dengan 31 tahun dilarangnya Manifes Kebudayaan (Manikebu) oleh Presiden Soekarno “Pernyataan Mei” serta merta mendapat sambutan, baik pro maupun kontra.
Salah satu “penentang” itu adalah Wiratmo Soekito, konseptor Manifes Kebudayaan tahun 1963. “Pernyataan Mei”, katanya, “Semata-mata upaya mencari dukungan yang lebih luas bagi Dekarasi Sirnagalih yang memperjuangkan hak mereka untuk berorganisasi sendiri.” Ia berbicara panjang lebar tentang “Pernyataan Mei”, Manifes Kebudayaan, dan buku Prahara Budaya, kepada Wartawan H. Wawan Setiawan, Nanang Junaedi, Suqansyah, dan Fotografer Moriza Prananda, dari TIRAS, di rumahnya, 18 dan 19 Mei lalu. Berikut petikannya:
Anda dihubungi untuk mendukung “Pernyataan Mei”?
Seminggu sebelum pernyataan itu keluar, saya menerima faksimile “Sebuah Himbauan”, yang baru ditandatangani Arief Budiman, Budiman S. Hartoyo, Goenawan Mohamad, Rendra dan Sori Siregar. Imbauan ini bertanggal Jakarta, 8 Mei 1995 bertepatan dengan hari ulang tahun ke-31 dilarangnya Manifes Kebudayaan (Manifes) oleh almarhum Presiden Soekarno.
Anda menangkap, itu sebagai Manifes II?
Saya tidak percaya akan ada Manifes II. Sebab, Rendra, Goenawan, Arief Budiman, sebenarnya sudah meninggalkan Manifes.
Meninggalkan Manifes?
Ya. Wawancara Goenawan dengan DeTik (tabloid almarhum) menganjurkan agar Manifes bersama dengan Lekra dilupakan, karena itu masa lampau. Sejalan dengan itu, Joebaar Ajoeb (Lekra) menganggap, peristiwa itu sekarang sudah menjadi mitos. Dari situ, saya melihat, ada kedekatan antara sebagian kelompok
Manifes itu dengan Lekra.
Maksudnya, ada kesamaan cara pandang?
Ya. Saya kira, ini karena faktor Pramoedya Ananta Toer.
Apa hubungannya dengan Pram?
Pramoedya dianggap seorang novelis besar dan kebanggaan nasional. Itulah yang dikatakan Goenawan Mohamad ketika satu delegasi yang dipimpin Ilen Suryanegara menghadap Mendikbud Wardiman Djojonegoro. Ketika itu,Goenawan mengatakan, pemerintah sesungguhnya rugi dengan melarang Pramoedya. Goenawan memandang, Pramoedya orang besar. Tetapi saya kira, dalam hal ini, sikap Goenawan ditentukan oleh faktor A. Teeuw. Goenawan pasti berterima kasih kepada Teeuw atas hadiah sastra. Seperti diketahui, Teeuw sejak semula memperjuangkan supaya Pramoedya memperoleh hadiah Nobel untuk sastra. Kalau menurut saya, sekali dicalonkan dan tidak dipilih, itu batal – sampai dia membuat karya baru yang dianggap besar. Ini yang saya pelajari dari tradisi hadiah Nobel. Sedangkan, setelah Bumi Manusia, tidak ada karya Pramoedya yang lebih besar atau yang sama dengan itu.
Dengan “membela” Pram, Anda ingin mengatakan, Goenawan sudah keluar dari Manifes?
Bukan begitu. Dia mengadakan pendekatan. Sebenarnya, pendekatan itu sudah dimulai sejak tahun 1970-an, karena Goenawan banyak bergaul dengan orang-orang luar negeri. Karena itu, dia selalu memakai ukuran-ukuran luar negeri yang senang dengan Pramoedya. Kalau dia tidak melakukan kepada Pramoedya, dia merasa ketinggalan zaman. Padahal, Pramoedya punya masa lampau, yaitu melakukan intimidasi-intimidasi terhadap para pengarang yang mau bebas. Atas dasar itu, dia tidak pantas memperoleh hadiah Nobel. Saya kira, ini tujuan Taufik Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya, agar orang’ tahu bagaimana masa lampau Pramoedya dan orang Lekra lainnya.
Apakah “Pernyataan Mei” ini ada kaitarmya dengan perjuangan Goenawan menggolkan Pramoedya?
Tidak, tidak. “Pernyataan Mei” itu adalah perluasan dari Deklarasi Sirnagalih yang ditandatangani sejumlah wartawan yang memperjuangkan hak mereka untuk berorganisasi sendiri.
Alasan Anda?
“Pernyataan Mei” ini lahir sesudah anggota-anggota Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dipecat oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Saya mendengarkan sendiri wawancara Goenawan dengan BBC London beberapa waktu lalu. Dia membandingkan PWI dengan PKI dan para penanda tangan Deklarasi Sirnagalih dengan para Manifestan (penanda tangan Manifes), yang juga dipecat dari PWI setelah Badan Pendukung/ Penyebar Soekarnoisme (BPS) dilarang. Seorang Manifestan mungkin saja seorang wartawan yang menjadi anggota PWI, tetapi sebagian besar pasti tidak. Lagi pula, Manifes kemudian berpendapat, seorang Manifestan yang konsisten tidak berorganisasi secara fisik, melainkan secara spiritual saja. Saya melihat, munculnya “Pernyataan Mei” ini tidak lain dari upaya mencari dukungan bagi rehabilitasi orang-orang AJI yang dipecat PWI.
Melihat momentum munculnya “Pernyataan Mei”, 8 Mei (tanggal pelarangan Manifes oleh Presiden Soekarno), terkesan, semangat yang dibawa “Pernyataan Mei” merupakan kesinambungan Manifes 1963. Saya kemukakan, “Sebuah Himbauan” yang dikeluarkan oleh penanda tangan “Pernyataan Mei” tidak merupakan kesinambungan Manifes 1963. Pengertian mereka tentang Manifes pun keliru.
Bagaimana mungkin, padahal sebagian dari mereka justru Manifestan yang menggodok pemunculan Manifes?
Menurut “Sebuah Himbauan”, inti Manifes adalah suatu sikap untuk memperjuangkan kemerdekaan kreatif. Sebagai penyusun draf (rancangan) Manifes, saya merasa perlu mengingatkan, inti Manifes adalah penolakan terhadap penempatan kebudayaan di bawah subordinasi politik.
Anda ingin mengatakan, Manifestan yang menandatangani “Pernyataan Mei” ini bertindak salah?
Ya. Kekeliruan para penanda tangan “Sebuah Himbauan” mengenai inti Manifes, sebagian (sekali lagi sebagian) karena mereka tidak pernah bersikap rendah hati untuk merenungkan gagasan-gagasan yang saya perkembangkan dengan bertolak dari Manifes 1963. Mulai dari perlunya menjelaskan peranan falsafah untuk menghilangkan kesenjangan antara ilmu dan kebudayaan, sampai perlunya menggali sumber politik orang yang tak berpolitik untuk mencegah timbulnya pengkhianatan kaum intelektual.
Konkretnya?
Konon, dalam sebuah surat Rendra pada tahun-tahun 1960-an kepada Arief Budiman, ia mengaku, Manifes memang “kontrarevolusioner”. Arief Budiman sendiri, dalam sebuah wawancaranya, telah menyesalkan bahwa Manifes telah memakai “senjata politik”. Kesemuanya, bagi saya, hanyalah mencerminkan apa yang oleh orang Prancis sebutkan sebagai maladie enfantine de l ‘independance (penyakit kanak-kanan kemerdekaan). Goenawan, dalam sepucuk suratnya dari Eropa kepada saya, mengatakan, ia telah malu turut menandatangani sebuah Manifes yang, sepanjang hematnya, penuh dengan klise. Dalam sebuah wawancara, Goenawan pernah menganjurkan agar Manifes dan Lekra sama-sama dilupakan saja. Nah, sekonyong-konyong mereka mengambil posisi berpaling kepada Manifes setelah para penanda tangan Deklarasi Sirnagalih mengalami kesulitan karena kehilangan keanggotaannya dalam PWI.
Ide “Pernyataan Mei” ini kan datang dari Arief Budiman bukan dari Goenawan?
Arief Budiman sangat aktif dalam usaha mempengaruhi orang agar memboikot pengganti Tempo. Ini kan sebetulnya sudah kontradiksi. Cara itu kan sudah hampir menyerupai teror Pramoedya terhadap majalah Sastra dahulu. Jadi, komitmen Arief Budiman terhadap Tempo besar sekali.
Anda ingin mengatakan, ini proyek Goenawan Mohamad?
Ya.
Apakah sebegitu sederhana, sampai Rendra dan budayawan lain ikut serta?
Rendra melihat paralelisme dengan ceramah-ceramahnya yang dilarang.
Bukankah yang disampaikan “Pernyataan Mei” beralasan. Pelarangan yang terjadi tahun l960-an seperti kebebasan mencipta, berpendapat, sekarang terulang lagi?
Saya merasa tetap bebas. Saya pernah ditanya orang Amerika, teman Mochtar Lubis, “Apakah Anda seorang penulis yang bebas?”Saya jawab, “Kalau saya bukan penulis yang bebas, bagaimana saya rata-rata bisa menulis satu artikel sehari.” Saya tulis itu dengan antusias, merasa bahagia. Saya merasa, apa yang saya keluarkan melalui pikiran saya selalu baru. Jadi, tergantung pada orang itu sendiri. Selama masih mengambil sikap “aku mencintai kebebasan”, sesungguhnya ia orang yang bebas. Kalau menganggap ukuran kebebasan itu sukses, seorang yang setiap hari mengambil keuntungan belum tentu bebas.
Pengertian kebebasan yang dimiliki Rendra dan kawan-kawan itu masih pada tingkat pertama. Menurut saya, ada empat tingkat kebebasan. Yang tertinggi adalah kebebasan moral, di mana saya diikat tetapi saya tidak merasa terikat. Sementara, tingkat terendah, dia melihat, apa yang ada di sekitarnya itu adalah sikap permusuhan yang cuma mau menghalang-halangi saja. Itulah yang disebut kebebasan untuk memberontak. Menurut saya, ini disebabkan karena prestasinya masih rendah. Kalau yang bersangkutan sudah tinggi, tidak ada kekhawatiran untuk dipasung atau dicekal. Menurut pendapat saya, kalau mereka menginginkan kembalinya kebebasan, bukan begini caranya.
Caranya?
Caranya melakukan pendekatan dengan para 3 penguasa. Dialog. Mari, kita bicara. Kalau cara kita berkomunikasi baik, para penguasa bisa diajak bicara.
Kalau sekarang muncul pelarangan-pelarangan, mengapa?
Saya kira, itu timbul karena misunderstanding, lalu miscommunication. Seperti dikatakan Mensesneg Moerdiono, “Mereka mau kebudayaan, ayo kita juga mau kebudayaan. Mereka mau agitasi, kita juga agitasi.” Jadi, sebenarnya: kata berjawab, gayung bersambut. Saya tidak membela pemerintah. Saya netral. Saya selalu suka kepada apa yang disebut the balance of right. Jadi, dari dua pihak itu: oh . . . ini benar, itu benar. Masing-masing pihak keluarkanlah argumen, jangan prasangka. Penguasa prasangka, senimannya juga prasangka. Cobalah dikomunikasikan. Tetapi, anehnya, banyak ilmu komunikasi masyarakat makin tidak komunikatif.
Mengapa bisa begitu?
Saya kira, ada yang salah di dalam penerapan komunikasi. Kadang-kadang, tidak selalu bicara itu bisa langsung. Kadang-kadang, kita perlu bicara lewat orang ketiga. Misalnya: antara suami, istri, dan anak. Kalau si suami mau mengkritik istrinya, ia bilang lewat anaknya. Begitu juga, di sini. Jadi, dibutuhkan seni untuk lihai. Dengan demikian, saya mengkritik pemerintah, tetapi pemerintah tidak marah.
Namun, ada keluhan, pemerintah tidak toleran terhadap per bedaan pendapat.?
Ya. Tetapi, pengertian perbedaan pendapat mereka tidak sama dengan perbedaan pendapat menurut pemerintah. Presiden Soeharto mengatakan, boleh berbeda pendapat, tetapi jangan untuk meruncingkan. Kadang-kadang, mereka betul-betul menentang, lalu mengatakan, “Ini cuma perbedaan pendapat.” Jadi, diperlukan juga kejujuran. Berbeda pendapat ya berbeda pendapat, dan kemukakan itu tanpa kebencian. Kalau itu dikemukakan dengan kebencian, itu bukan perbedaan pendapat lagi. Kalau di pihak satu sudah begitu, di pihak lain juga akan sama. Ini radikal, yang itu juga radikal. Menurut pendapat saya, radikal harus dijawab dengan ironi.
Maksudnya?
Ironi adalah suatu jawaban yang tidak bisa diharapkan terlebih dahulu. Dikira jawabannya begini, tetapi ternyata lain. Itu ironi. Novelis-novelis besar banyak menggunakan ironi.
Kalau logika itu dipakai, bukankah bertolak belakang dengan munculnya Manifes yang memberontak terhadap situasi Orde Lama?
Tidak. Itu keliru. Manifes tuntutannya cuma satu: kebudayaan jangan ditempatkan di bawah subordinasi politik. Pokoknya, asal seniman dan sastrawan ini tidak ditempatkan di bawah subordinasi orang politik, cukuplah itu. Jadi, bukannya berontak. Itu terlalu dilebih-lebihkan. Tidak ada yang namanya pemberontakan. Manifes bukan suatu pemberontakan kebudayaan. Barangkali, orang-orang yang dangkal bilang begitu. Orang yang betul-betul mengerti, yang berada di dalam situasi itu, tidak akan berpendapat demikian.
Kalau Manifes dahulu menentang ditempatkannya kebudayaan di bawah subordinasi politik, sekarang juga ada pendapat: politik tetap sebagai panglima.
Ya, di mana? Di dalam konflik organisasi saja kan, PWI dan AJI. Itu kan hanya salah satu contoh mutakhir yang diangkat Goenawan. Bukankah banyak contoh lain, seperti pelarangan pementasan teater, baca puisi, dan ceramah? Ya, kalau mereka misalnya agitasi, tentu pemerintah akan bertindak.
Artinya, kondisi penciptaan Manifes dahulu dengan “Pernyataan Mei” berbeda?
Beda. Saya kira, “Pernyataan Mei” tekanannya hanya protes
Anda menangkap, ada nuansa politisnya?
Ada. Saya kira, itu bagian dari suatu oposisi. Bagian dari pemikiran, seolah-olah pemerintah ini akan segera runtuh. Mereka mengira, pemerintah sedang dalam krisis. Kalau memang sedang dalam krisis, kan saya sudah berpolitik. Saya akan mengatakan, saya berpolitik hanya kalau Indonesia dalam krisis. Tetapi, ini belum apa-apa.
Bukankah beralasan mengkhawatirkan kejadian getir masa lampau terulang lagi?
Kalau mereka bilang sejarah berulang, apa yang berulang. Yang berulang itu kan “Pernyataan Mei” ini. Yang berulang itu bukan pemerintah. Jadi, harus dihindarkan cara berpikir historisisme. Historisisme itu begini: apa yang telah terjadi di dalam sejarah pasti akan berulang lagi. Jadi, kalau misalnya telah pecah Perang Dunia I, pasti nanti akan pecah Perang Dunia II. Setelah pecah Perang Dunia II, pasti akan terjadi Perang Dunia III. Itu historisisme. Itu lemah dalam menganggap bahwa hal yang berulang itu bisa diramalkan. Yang berulang itu sebetulnya cuma kesalahan. Kebijaksanaan tidak akan berulang. Seperti dikatakan Hegel, ‘We learn from history that we don’t learn history.” Kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak belajar kepada sejarah. Tetapi, kalau itu kita ingat, kan tidak jadi berulang. Kalau tidak ingin mengulangi, misalnya apa yang terjadi pada masa Gestapu, bilanglah sebelum ini terjadi.
Tidakkah selama ini sudah sering dilakukan? Misalnya, ada keluhan-keluhan: ada pelarangan-pelarangan, namun pelarangan tetap juga berlangsung?
Ya. Tetapi, setelah terjadi. Pada zaman Ali Sadikin masih bikin Taman Ismail Marzuki (TIM), pelarangan itu kan belum terjadi. Kok, mereka pesta-pesta kebebasan saja? Ketika itu, saya sudah memperingatkan.
Memperingatkan bagaimana?
Ketika itu, saya menulis di Harian Merdeka, sebelum Bung Karno meninggal. Saya termasuk orang yang kritis terhadap pembentukan TIM. Saya katakan, “Jangan mengira, besok pagi Anda masih bebas.” Saya bilang begitu. “Sekarang, Anda mendapat kebebasan penuh, fasilitas penuh. Tetapi, jangan kira, besok pagi masih sama.”
Wiratmo pernah belajar filsafat di Universitas Katolik Nijmengen, negeri Belanda. Tidak sampai tamat. Begitu balik ke Indonesia, pria kelahiran .Solo (8 Februari 1929) ini memulai karier sebagai karyawan Radio Republik Indonesia (1957-1972), anggota redaksi majalah Kebudayaan Indonesia (1965&1969), mengajarkan apresiasi drama dan sastra di Akademi Teater Nasional indonesia (ATN ) Jakarta (1960-1962). Pada masa remaja ia mengaku sangat “dekat” dengan marxisme. Sebagai anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), ia pernah mengikuti kursus politik. “”Hampir.semua guru saya berpaham marxisme.” Setelah dewasa, ia justru penentang paling tegar kaum marxis (komunis) di Indonesia. Sebagai konseptor Manifes Kebudayaan, Wiratmo diganyang Lekra dan para sekutunya. Menyusul pelarangan Manifes ttahun 1964! ia pun nyaris bungkam.
Bagaimana ceritanya, Anda ,menjadi konseptor Manifes?
Saya didorong oleh teman-teman muda, seperti Goenawan, Bur Rasuanto, Arief Budiman. Mereka kan kepengin punya nama.
Ide Manifes memang dari Goenawan Cs?
Ya. Goenawan, Bur Rasuanto.
Ketika itu, mereka belum punya nama?
Belum.
Boleh dibilang, mereka mau mendompleng Anda?
Artinya, mereka takutkan, kalau kondisi politik terus-menerus begini, ya jangan-jangan nggak akan dikenal nama kita. Lebih-lebih, Salim Said. Ketika itu, baru tamat SMA. Dia bilang, “Wah, enak ya sudah punya nama.” Ketika itu, orang seperti Anas Ma’ruf, Trisno Sumarjo, berpikir, “Kita ini nggak ada kesempatan lagi.”
Nama Anda sudah besar ketika itu?
Ah, nggak juga. Saya ketika itu memimpin satu rubrik di Radio Republik Indonesia (RRI) yang, tiap hari Senin, waktunya setengah jam, membawakan acaramu dan Seni. Sebuah laporan mingguan di bidang seni dan ilmu pengetahuan. Itu yang membuat saya banyak dikenal. Saya juga sudah banyak menulis di mingguan Siasat, Indonesia Raya, Star Weekly, yang dipimpin P.K. Ojong, dan Keng Po, yang kemudian menjadi harian Kompas.
Kabarnya, Manifes terkenal justru setelah dilarang?.
Ya. Artinya, menjelang dilarang, juga menimbulkan heboh nasional. Tetapi nggak pake demonstrasi-demonstrasi seperti Goenawan. Kalau Goenawan kan pake demonstrasi-demonstrasi. Dahulu, belum sehebat sekarang, yang sudah canggih. Bisa demonstrasi segala, ya.
Manifes sempat pecah, karena Anda bersama H.B. Jasin dan Trisno Sumardjo minta maaf kepada Bung Karno?.
Bukan. Begini. Yang minta kami agar minta- maaf itu militer. Kata mereka, “Kalau mau terus, kami dukung. Mintalah maaf.”
Siapa pihak militer yang menyarankan Anda minta maaf?
Ya, kelompok Nasution, Yani, dan sebagainya. Tetapi, melalui intelijen mereka dari staf Angkatan Bersenjata. Hubungannya tidak dengan saya, tetapi dengan Bokor Hutasuhut. Kita memerlukan dukungan militer untuk surivive. Lalu, saya masih bilang kepada Rendra, Goenawan, dan sebagainya. “Kalau kalian itu pahlawan, keluarkanlah statemen kalian tidak setuju kita minta maaf.” Nyatanya, mereka nggak berani.
Mereka menentang langkah Anda?
Ya. Yang muda-muda ini, yang masih emosi, yang belum memperhitungkan taktik-taktik politik, berkeberatan. Lalu, saya bilang, “Siapa yang berkeberatan supaya mengeluarkan statemen berkeberatan.” Jangan baru kemudian kelak kalau kita sudah menang.
Itu sebelum atau sesudah menghadap Bung Karno?
Setelah.
Bukankah protes mereka beralasan, karena Anda tidak berkompromi terlebih dahulu dengan Manifestan lainnya?
Tetapi, itu hasil rapat. Memang ada pendukung radikal Manifes, tetapi bukan Jasin dan kawan-kawannya yang menandatangani kawat kepada Presiden Soekarno. Sebab, seorang yang tak berpolitik lebih memilih sikap ironi dan menolak sikap radikal.
Anda dan Jasin bertemu langsung dengan Bung Karno?
Lewat telegram. Dan, telegram itu tidak pernah sampai kepada Soekarno. Karena itu, kita utus Toyib Hadiwijaya-ketika itu menjabat menteri perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan (PTIP). Telegram itu sampainya di rumah Nyoto, karena di Telkom banyak orang Pemuda Rakyat. Mereka yang menyabot sehingga tidak sampai kepada Soekarno. Telegram itu dua kali tidak sampai kepada Soekarno. Karena itu, Toyib diutus.
Apa jawaban Bung Karno ketika itu?
Bung Karno mengatakan, “Kalau mereka berjiwa besar dengan minta maaf, saya juga akan berjiwa besar dengan memaafkannya.
Dengan minta maaf, artinya Manifes dianggap tidak ada?
Bukan. Itu sebetulnya untuk membuat Harian Rakyat (koran PKI-Red.) kecele. Mochtar Lubis juga menarik kesimpulan, seperti tertulis dalam bukunya Catatan Subversif, bahwa dengan permintaan maaf itu berarti sudah menolak Manifes Kebudayaan. Saya kira, Catatan Subversif tidak dibuat di penjara, tetapi tampaknya dibuat di Jakarta, karena dia katakan sebelum permintaan maaf dikirim.
Dia tahu dari mana?
Jadi, Mochtar menulis begitu terpengaruh oleh fiksi. Pada cetakan berikutnya buku itu sudah tidak ada lagi. Di dalam buku Prahara Budaya yang ditulis Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto, ada dituliskan tentang permintaan maaf itu dalam sebuah tulisan yang berjudul Sandiwara Manikebu. Reaksi itu justru menyelamatkan kami. Kalau tidak ada reaksi dari lawan itu, mungkin kami malah dirugikan. Jadi, ini bukti, kita bisa memanfaatkan reaksi dari lawan.
Tetapi, Taufik sendiri termasuk orang yang menentang permintaan maaf Anda itu?. Ya. Saya baru tahu kalau Taufik Ismail ternyata juga menentang permintaan maaf saya bersama H.B. Jasin kepada Soekarno. Padahal, perlu saya tegaskan, minta maaf itu kami lakukan tanpa mengingkari isi Manifes.
Kalau bukan diingkari, lalu apa artinya?
Minta maaf bahwa ini tidak direstui. Kami dahulu kan pro Soekarno. Bukannya sudah anti Soekarno. Nggak. Kami diajak oleh militer mendukung Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Jadi, bukannya sudah memusuhi. Menurut pendapat kami, Soekarno melarang Manifes karena desakan komunis. Bukan kehendak pribadinya.
Bung Karno tidak berkutik di bawah PKI?
Nggak berkutik. Karena, antara Soekarno dan PKI ada agreement.
Agreement tentang apa?
Agreement bahwa PKI akan mendukung semua langkah Soekarno asalkan Soekarno melarang semua yang menentang PKI. Jadi, siapa pun yang complain dengan PKI akan dilarang.
Agreement itu tertulis?
Nggak tertulis. Chaerul Saleh mengatakan kepada Hasan Sastraatmaja, pemimpin redaksi Nusantara, “Hasan, kamu boleh menyerang PKI. Tetapi, jangan menyerang Bung Karno. ” Lalu, Aidit mengeluarkan statemen, dikutip oleh pers, “Siapa yang hari ini menyerang PKI, tak bisa tidak, besok pagi akan menyerang Soekarno.” Itu artinya, semua yang complain dengan PKI akan dilarang oleh Soekarno.
Anda tidak pernah menyesal telah minta maaf?
Saya tidak pernah menyesal, karena itu langkah yang terbagus.
Langkah terbagus? Maksudnya?
Menurut saya, itu taktik ironi. Itu kami lakukan diam-diam agar jangan sampai bisa diramalkan oleh PKI. PKI meramalkan, kami akan mengeluarkan statemen menolak Manikebu. Lalu, kami menggunakan taktik ironi. Lebih baik minta maaf, tetapi tidak mengingkari isi dari pernyataan itu.
Ada kesan, dengan minta maaf, Anda tidak konsisten. Bahkan, ada suara miring, Anda adalah orang yang pandai bermain ke mana arahnya angin baik?.
Bukan. Kita tetap sulit karena tidak dimaafkan. Lalu, saya katakan, jiwa besar tidak pernah buruk. Minta maaf itu adalah jiwa besar. Hanya orang yang berjiwa besar yang mau minta maaf. Bahwa itu tidak dimaafkan, itu adalah uji coba bagi jiwa besar orang yang tidak memaafkan. Jadi, sebetulnya kelompok ini dahulu mau mendiskreditkan saya. Tetapi, karena ada H.B. Jasin, mereka tidak bisa. Soalnya, mereka mencintai Jasin,
Yang Anda maksudkan itu Goenawan, Rendra?
Ya. Tetapi, mereka tidak bisa, karena sangat mencintai Jasin. Selain itu, Jasin sangat bijaksana, tidak pernah mengkritik mereka. Kalau saya, kan polos. Saya katakan apa yang mau saya katakan. Itu risiko karena keterbukaan, kan. Tetapi, kalau Jasin, masih bisa dekat dengan orang-orang Lekra. Pada ulang tahun Pramoedya yang ke-70 baru-baru ini, Jasin dapat ciuman dari Pramoedya. Kalau Jasin bisa begitu, saya tidak bisa.
Mengapa tidak?
Karena, saya punya pengalaman di negeri Belanda. Semua orang pengarang Belanda yang bekerja sama dengan Hitler sesudah Jerman kalah diharuskan minta maaf kepada kementerian semacam Depdikbud. Kalau tidak minta maaf, dilarang untuk menyiarkan tulisan. Sebelumnya, semua pengarang itu masuk karantina. Sesudah itu, baru legal menyiarkan tulisan. Saya menghendaki, Pramoedya minta maaf.
Minta maaf secara tertulis?
Ya.
Kepada siapa?
Tidak usah kepada saya, tetapi kepada pemerintah.
Bukankah hukuman untuk dia selama ini sudah cukup?
Karena mendapat hukuman itu, kalau dia minta maaf, mungkin dia lebih cepat keluar dari hukuman. Dia malahan lebih berkeras kepala.
Keras kepala? Anda tahu dari mana?
Sava denvar sendiri waktu dia diinterview BBC London, waktu HUT dia yang ke-70, baru-baru ini. Katanya, “Dengan penguasa sekarang, saya sudah tutup buku.”
Bukankah ini sebab akibat: Pram begitu karena dia melihat pemerintah tutup buku terhadap dia?
Ya, bergantung ya. Kalau dia tetap keras kepala, pemerintah juga keras kepala. Ketika BBC London bertanya, “Apakah Pak Pram tidak melihat kemajuan-kemajuan Indonesia di bawah Orde Baru?” Pram menjawab, “Tidak. Ada pembangunan, tetapi tidak untuk rakyat.” Jadi, dia tidak mengakui juga prestasi-prestasi pembangunan Orde Baru.
Kalau Jasin, Goenawan, dekat dengan Pram, tidakkah karena mereka lebih melihat karya-karya Pram yang patut dihargai sebagai kebanggaan bangsa?
Saya kira, itu dasarnya.
Mengapa Anda tidak melihat seperti itu?
Saya tidak mudah untuk oportunis. Ingat. bukan mereka yang memaafkan kita, tetapi kita yang harus memaafkan mereka. Jangan dibalik. Jangan kita yang dosa, mereka yang suci. Nah, teman-teman ini tidak malu-malu untuk seperti minta maaf kepada mereka. Baca saja buku Pramoedya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ketika menerima kedatangan Bur Rasuanto, Goenawan, dan pengarang lainnya, caranya itu seperti pengagum menghadap dia. Ini yang saya tidak ikhlas. Di situlah sebetulnya sudah tersirat kata, “Maafkan kami.” Saya melihat, ada satu megalomania pada Pramoedya. Ketika tahun 1950-an, saya dan Pramoedya bergaul erat, saling mencintai. Tahun 1953, Pramoedya malah mengutuk Lekra. Dia mengatakan kepada saya, “Apa yang saya tidak suka Lekra, dia hitam-putih. Amerika musuh gua, Rusia kawan gua.” Nah, setelah pulang dari negeri Belanda, dia kecewa, karena merasa kurang dihargai. Pengalaman lain, kami pernah diundang oleh seorang novelis Cekoslowakia di gedung Proklamasi. Novelis itu bilang, “Novelis itu baru matang kalau sudah umur 50 tahun.” Pramoedya, yang masih berusia 30 tahun, merasa tersinggung, karena merasa tidak diakui sebagai novelis. Jadi, kelihatan sekali megalomanianya.
Bukankah “pengasingan” terhadap Pramoedya malah merugikan Indonesia, karena karya-karyanya dari segi sastra banyak dibicarakan?
Memang, Pramoedya jadi raja di tengah-tengah novel pop. Untuk sastra dunia, tidak begitu banyak artinya. Lagi pula, dunia sekarang sedang krisis karena teknologi.
Bagaimana Anda melihat karya-karya Pram?
Menurut saya, sama saja dengan Keluarga Gerilya dahulu. Cuma, dia sekarang barangkali lebih matang, karena kesepiannya di Pulau Buru. Dalam keadaan disekap begitu, akan timbul ide-ide besar. Misalnya, Mochtar Lubis besar karena 10 tahun di penjara.
Pengarang-pengarang Lekra,termasuk Pramoedya,kembali menjadi pusat perhatian, menyusul terbitnya buku Prahara Budaya. Komentar Anda terhadap buku itu?
Menurut saya, yang penting, sebagai masa lampau, dokumen-dokumen ini mengandung harta kekayaan yang akan bisa digarap selama 10 tahun mendatang. Banyak hal yang belum diketahui orang di situ, karena dokumen-dokumen yang dikutip buku itu tidak mudah dipinjam. Misalnya, kalau saya mau meminjam Harian Rakyat di Museum Nasional, harus membawa surat izin dari laksus. Nah, karena itu, saya merasa gembira, Taufik Ismail itu berhasil memperolehnya dan mencetaknya. Juga, memang di situ ada fitnah-fitnah dari kalangan Lekra.
Tepatkah saatnya pemunculan buku ini?
Menurut saya, tepat. Sebetulnya, lebih baik lagi kalau lebih cepat. Awalnya mau diterbitkan pada I Maret 1995 – bertepatan dengan ulang tahun ke-31 KKPI (Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia). Tetapi, takut dianggap mendahului peringatan 11 Maret. Jadi, ditunda.
Apa artinya ini?
Nah, di sini kelihatan sekali, Taufik Ismail itu berpolitik. Karena, kalau nggak salah, dia erat sekali dengan orang ICMI -kalau bukan anggotanya.
Taufik Ismail berpolitik? Maksud Anda?
Saya bilang kepada dia, itu sajak-sajak Tirani terhadap Orde Lama jangan hanya berlaku satu kali, hanya terhadap Orde Lama. Kalau misalnya di dalam Orde Baru juga ada tirani, sajak-sajak itu juga harus berlaku. Jadi, universal. Tidak kontekstual. Kalau kontekstual, itu kan hanya berlaku satu kali. Kalau universal, kan tidak. Kalau universal, itu kan, kalau sekarang ada gejala-gejala yang serupa dengan Orde Lama, ya Orde Lama-nya dikritik, yang sekarang juga dikritik. Tetapi, dia mengatakan, “O, tidak. Ini hanya untuk Orde Lama.” Nah, itu yang saya namakan berpolitik. Kalau nonpolitical atau unpolitical, seperti saya, tidak begitu.
Ada kritik dari sebagian budayawan, Prahara Budaya tidak fair, karena ada sebagian karangan dari pihak Lekra disisipi komentar tertentu dari pihak penyusun buku itu?.
Seharusnya, nggak boleh dia lakukan. Sejauh ini, saya belum melihat apa yang Anda maksudkan, karena saya baru memperhatikan tulisan-tulisan saya di situ. Tetapi, seandainya itu betul, saya tidak setuju. Kalau itu mesti ada intervensi, saya tidak setuju.[T]
Dijumput dari: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/wawancara-wiratmo-soekito/178234448898555
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar