Rabu, 31 Agustus 2011

Tapol 007: Cerita Tentang Seorang Kawan

Yos Rizal Suriaji, Kurie Suditomo, Evieta Fadjar, LN Idayanie
- Majalah Tempo, 8 Mei 2006

Mereka berbicara tentang seseorang, juga tentang sebuah masa yang jauh.
Oey Hay Djoen datang ke Tempo, Rabu lalu, dengan ditopang sepotong tongkat. Usianya 77 tahun. Tapi suaranya masih lantang-. Ingatannya pada masa lalu masih jernih. Oey a-dalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat dan anggota MPR/DPR GR dari Partai Komunis Indonesia. Ia dikarantina sejak 1969 sampai 1979. Ia menempati Unit 3 Wanayasa. Oey adalah tahanan politik (tapol) berbaju nomor 001.

Wartawan Amarzan Loebis dibuang ke pulau dengan ladang-ladang sagu dan bukit-bukit kayu putih itu pada 1971. Ia menempati Unit 16 dan bernomor 056. Amarzan dipercaya sebagai administratur unit dan dikenal sebagai “Bapak Protokol” lantaran selalu- diminta menjadi pembawa acara.

Mulyono SH ditempatkan di Markas Komando (Mako)- dan dipercaya mengurusi koperasi. Sedangkan Marsudi Sumanto adalah seorang dokter yang tinggal satu barak dengan Mulyono dan bernomor baju 594.

Empat sekawan itu mempercakapkan kisah haru-biru semasa menghuni kamp perbudakan-begitu sebutan- Oey pada Pulau Buru. Juga kisah karib mereka dengan seorang pujangga -begitu Amarzan menyebut-yang baru saja wafat, 30 April lalu. Seorang pengarang- yang telah menerbitkan 50-an buku yang telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa-. Seorang penulis yang dalam beberapa tahun terakhir- dicalonkan sebagai penerima Nobel Sastra. Sang sastrawan itu anggota rombongan pertama tapol yang beranggotakan 500 orang yang dibagi dalam 10 barak. Ia berseberangan tempat tidur dengan Oey di Unit 3 dan bernomor baju 007: Pramoedya Ananta Toer.

Pram bergabung dengan Lekra, sebuah organisa-si ke-budayaan yang punya hubungan erat dengan PKI, pada 1959. Pram kemudian mengasuh ruangan kebudayaan Lentera di harian Bintang Timur, Jakarta, yang berhadap-hadapan dengan para penanda tangan- Manifes Kebudayaan. Ketika ditahan, rumahnya- dirampas, perpustakaannya dijarah dan dibakar, delapan bukunya yang sedang ia tulis dibakar. Gempa politik 1965 telah memelantingkan Pram ke kamp kerja paksa itu. “Sejarah hidup saya adalah sejarah perampasan,” ucap Pram.

Pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, itu pun bertahan di Buru dengan bekerja dan menulis. Sejak pukul 04.00 pagi hingga petang hari, tapol harus bekerja membuka hutan, menjadikannya sawah dan ladang, membangun jaringan irigasi, jalan, membudidayakan berbagai jenis hewan ternak. Hanya enam bulan pertama tapol diberi makan. Selebihnya, kata Amarzan, “Kami menghi-dupi diri sen-diri dan menghidupi serdadu yang menjaga kami.”

Pram, misalnya, aktif bertukang. “Tapi ia sok mengerti bangunan,” ucap Oey seraya tergelak. Perhitungannya sering meleset. Pernah suatu kali, tutur Oey, Pram menyia-nyiakan bahan bangunan dengan- nilai puluhan juta rupiah hanya dalam beberapa minggu.

Pram acap sok pintar. Selain bertukang, Pram menga-ku mengembangkan tanaman mangga dan menanam sendiri tembakau. “Tapi tembakaunya kerasnya minta ampun,” ucap Pram. Ia juga memelihara delapan ayam. “Saya menjual ayam dan telurnya untuk membeli kertas dan rokok,” kata Pram dalam wawancara dengan Tempo pada Me-i 1999.

Kertas-kertas berukuran kuarto itu selain didapat dari menjual telur ke Namlea, ibu kota Pulau Buru, juga diperoleh dari uluran temantemannya. Mulyono menceritakan, ia selalu menyisihkan jatah kertas dan karbon milik tentara yang ada di koperasi yang ia kelola- untuk Pram. Ini tindakan berbahaya.

Hersri Setiawan, kawan lai-n Pram, yang menghabiskan delapan setengah tahun hidupnya di Buru, menuturkan sebuah perubahan pendekatan. Sebelum Panglima Komando Pengamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro berkunjung pada 1973, kertas dan alat tulis menjadi barang terlarang. Munajid, seorang tapol asal Jawa Barat, misalnya, ketahuan membaca surat kabar. Ia pun disiksa sampai mati.

Soemitro membebaskan para tapol seniman untuk berkreasi. Amarzan dan Mulyono pun menyelenggarakan pentas ludruk. Pram ju-ga mendapat privilege me-nulis. Menurut Hersri, kertas yang digunakan Pram adalah kertas bungkus semen yang disumbangkan oleh teman-temannya sesama tapol.

Dari mana Pram mendapatkan mesin ketik? Sastrawan terkenal Prancis, Jean-Paul Sartre, kabarnya menyumbang mesin ketik untuk Pram. Oey mengaku masih menyimpan surat Sartre yang ditujukan kepada pemerintah saat itu dan ditembuskan kepada Pram. Sartre menuntut pembebasan Pram sembari memberi hadiah mesin ketik. Menurut Oey, mesin ketik yang dipakai Pram bukan mesin ketik dari Sartre, tapi sudah diganti mesin lain.

Dari mesin ketik inilah, kata Oey, lahir delapan karya Pram: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Sang Pemula, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik. Sedangkan Max Lane, penerjemah awal buku-buku Pram ke dalam bahasa Inggris, tak memasukkan Sang Pemula, tapi menambahkan Mata Pusaran yang sampai kini naskahnya belum ditemukan.

Naskah-naskah itu diketik rangkap tujuh, satu diserahkan ke penjaga, sisanya diedarkan kepada teman-temannya termasuk Oey, Mulyono, dr Marsudi, dan Amarzan. Kopian naskah diedarkan di 14 unit desa tapol di Pulau Buru.

Meski bebas menulis, Pram tak diperbolehkan mempublikasikan di luar kamp. Ia membangkang dengan cara menyelundupkan melalui seorang pengemudi kapal- yang membawa bahan makanan atau kayu antar-pu-lau di sekitar Pulau Buru. Dari situ, naskahnya diserahkan ke Gereja Katolik di Namlea untuk diselamatkan. “Jadi, naskah itu diselundupkan secara ber-gelombang, dan berbentuk lembaran-lembaran ker-tas. Sewaktu saya keluar dari Pulau Buru, semua ker-tas dirampas oleh Angkatan Darat,” Pram mengungkapkan.

Sekadar ilustrasi, cerita pembangkangan yang sama dilakukan ketika pemerintah melarang Hasta Mitra-yang didirikan oleh Joesoef Isak, Hasyim Rahman, dan Pram-menerbitkan karya-karya Pram. Joesoef menyiasati penerbitan pada hari Jumat karena pada Sabtu dan Minggu, Kejaksaan Agung libur. Jika mereka ditegur, mereka memintanya dalam perintah tertulis, sementara penjualan terus dilanjutkan. Jika pelarangan tertulis telah mereka dapatkan, Hasta Mitra pun menyelundupkan buku-buku Pram ke luar negeri. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, misalnya, diterbitkan dulu di Belanda dan baru diterbitkan di Indonesia saat Pram berusia 70 tahun. “Karena dianggap terlalu berbahaya,” kata Joesoef,

Joesoef adalah tapol yang masuk golongan A. Golongan ini dianggap berbahaya dan direncanakan dibawa ke pengadilan karena cukup bukti. Golongan B golongan berbahaya tapi tidak cukup bukti untuk diseret ke pengadilan. Golongan B dibuang ke Buru. “Saya beruntung, belum sempat diadili sudah ada tekanan internasional kepada Soeharto agar menye-lesaikan masalah tahanan politik,” ucap Joesoef.

Menurut Oey, pada tahun-tahun awal di Buru, Pram belum menuliskan kisah-kisahnya. Ia hanya menuturkannya secara lisan kepada teman-temannya di barak I setiap sore sepulang bekerja. Pram duduk di am-ben dan dikelilingi kawan-kawannya. Mula-mula hanya teman satu barak, tapi semakin hari kisah-kisahnya didengar oleh semakin banyak tapol. Cerita yang ia tuturkan sepenuhnya mengandalkan ingatan, dan- kata Oey, “Persis seperti yang tertulis dalam buku.”

Setiap mengakhiri cerita, Pram meminta komentar dari pendengarnya. Belakangan, “dongeng” Pram dan interaksinya dengan kawan-kawannya itu dike-tahui sebagai cara untuk membangkitkan semangat hidup para tapol.

Pram menceritakan, waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. “Saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.” Nyai Ontosoroh adalah tokoh dalam novel Bumi Manusia.

Setelah periode “sastra lisan”, Pram menggambar komik, sebelum akhirnya Soemitro memperbolehkannya menulis. Amarzan ingat betul Pram menyusun semacam komik tentang masuknya agama Hindu Hinayana ke Tanah Jawa, Oroh Sanagara namanya. Entah ada di mana naskah itu sekarang.

Amarzan juga ingat suatu kali ia bercerita kepada Pram bahwa kepala adat di Pulau Buru menyimpan buku dari lembaran-lembaran tembaga dan menyim-pannya dalam bumbungan bambu. Buku itu ditulis dalam bahasa yang tak dikenali para tapol. Mendengar cerita itu, secara spontan Pram berseru, “Curi saja! Itu milik nasional.” Ide gila Pram itu tentu saja tak ditanggapi.

Mulyono juga menuturkan Pram kerap mengail ide dari penduduk Buru. Ia antara lain bertemu dengan- beberapa guru sejarah yang ada di sana untuk mencocokkan pengetahuan tentang sejarah Majapahit dan Singasari. Guru-guru itulah yang memasok bahan pada Pram saat menulis Arus Balik dan Arok Dedes.

Sedangkan dalam tetralogi Buru, Pram memperoleh data jauh sebelum ia ditahan di Buru. Ketika mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti) pada 1962-1965, ia memberi tugas kepada setiap mahasiswa untuk mempelajari koran selama satu tahun, lalu membuat naskah kerja. Dari tugas-tugas mahasiswanyalah Pram mendapat sumber-sumber historis. Ia mengingat setiap detail sebelum menuangkannya menjadi “sastra lisan”.

Kehidupan di kamp pengasingan itu digambarkan- Amarzan sebagai kehidupan yang pedih. Tapi, dengan- menulis dan bekerja, kata Marsudi, “Pram mem-beri teladan bagaimana bertahan dalam penderitaan.”

Dokter yang menangani penyakit diabetes Pram itu mencontohkan bagaimana di tanah pembuangan Pram, melalui surat-suratnya, masih memberi sema-ngat pada istri dan anak-anaknya yang ditinggalkan. Marsudi tak tahu apakah surat-surat Pram itu dikirimkan oleh penguasa teritori Buru. Tapi suatu kali ia pernah membaca sebuah surat Pram yang tergeletak di meja seorang jaksa di Buru yang ditujukan kepada Astuti Ananta Toer, anaknya. Isinya tentang ayah Astuti yang pasti akan pulang dan menceri-takan sejumlah perubahan yang akan terjadi jika ia pulang.

Selain menerima surat dari Sartre, Pram juga menerima surat dari Presiden Soeharto, yang sangat ia benci. Tapi uniknya, kata Amarzan, Pram menjawab surat Soeharto itu dalam nada yang santun.

Paradoks ini juga terjadi dalam hubungannya dengan H.B Jassin. Bagi Pram, Jassin adalah guru yang mengajarkan nilai-nilai humanisme universal. Tapi lantaran Jassin tak bereaksi ketika 1,5 juta orang digelandang sebagai tapol, Pram menjauh dari Jassin. Ia bahkan tak mau menengok Jassin ketika sakit.

Surat-menyurat Jassin-Pram, menurut Mujib Hermani dari Penerbit Lentera Dipantara, dapat dibagi menjadi beberapa periode: ketika Pram menganggap Jassin sebagai guru, periode Pram menganggap Jassin sebagai teman, dan periode Pram yang berseberangan dengan Jassin. Yang agak lucu, ada suratme-nyurat keduanya yang menyangkut bisnis. “Pram dan Jassin ternyata pernah mau berbisnis timah. Jassin membawa sampel timah ke Pram, Pram yang mencari pembelinya,” kata Mujib, yang berniat menerbitkan surat-menyurat keduanya.

Kawan lain yang tak terlupakan bagi Pram adalah Ramadhan K.H. Ajip Rosidi, dalam buku Mengenang Ramadhan KH Sebagai Sahabat, menulis Pram yang sangat individualistis menganggap pengarang Priangan Si Jelita itu sebagai sahabat. Salah satu sebabnya, ketika Pram menikah dengan Maemunah Thamrin, Pram tak punya uang di sakunya. Ketika Pram hendak membayar mahar, ia meraba-raba sakunya yang kosong. Ramadhan pun mengambil dompetnya sendiri- sambil berkata, “Ini dompetmu, Pram, tadi terjatuh- di mobil.”

Pram mengakui kejadian itu dalam surat kepada anaknya yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995). Tapi Pram menyebut, ia meraba-raba sa-ku yang tak ada uangnya itu karena harus memba-yar- buku nasihat pernikahan karangan Nazaruddin La-ti-ef.

Kawan lain yang kocak adalah pelukis Djoko Pekik. Ketika bertemu, Djoko menceritakan, mereka saling pamer harta. Sang pelukis yang juga pernah ditahan membanggakan ratusan ternak, mobil Peugeot 206, dan bus bergambar celeng yang diberi judul Pengkhianat Revolusi. Tak mau kalah, Pram membeberkan cerita tentang rumah bertingkat enam miliknya yang dibangun di tengah kebun di Bojong Gede, Bogor. “Ini untuk menunjukkan kemampuan saya kepada Orde Baru,” kata Pram.

“Pamer kekayaan itu adalah bagian dari guyonan kami. Wong dia itu sudah kaya sejak dulu, kok,” kata pelukis Djoko Pekik. Adu pamer itu mungkin akan bertambah seru bila Djoko mengetahui Pram telah menjual hak memfilmkan Bumi Manusia kepada sebuah rumah produksi senilai Rp 1,5 miliar.

Berbagai gambaran Pram itu menunjukkan bahwa sosok yang penuh kontroversi itu punya cerita berwarna. Ia dikecam sekaligus dipuja. Ia dikurung, tapi karyanya terbang bebas. Ia mendapat banyak peng-hargaan internasional, tapi pada saat yang sama miskin- penghargaan di negeri sendiri. Ia membenci, tapi sekaligus santun. Ia menghardik, tapi sekaligus menyapa.

Pram membenci wayang yang mengkultuskan fi-gur, tapi memuja Soekarno. Ia anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, tapi tidak anti terhadap pinjam-an luar negeri. Ia gampang menyadari kesalahan, tapi sekaligus sulit meminta maaf. “Ia manusia biasa yang penuh kekurangan,” kata Oey.

Sebagai manusia biasa pula, Pram di saat sengit mempertahankan ide-idenya bisa tiba-tiba berubah lunak, mengajak bicara soal obat kuat, misalnya. Amarzan menceritakan, suatu kali Pram mendatanginya sembari bertanya, “Ada obat kuat model baru?” Amarzan pun menjawab sekenanya.

Oey pun menuturkan, saat pulang dari Amerika pada 1999 lalu, Pram ternyata juga membawa viagra. Beberapa hari kemudian Pram meneleponnya dan memintanya menjual kembali viagra dari Amerika itu. “Mungkin tak manjur. Maklumlah, Pram kan punya gula darah yang tinggi,” ucap Oey.

Gula darah, penyakit jantung, dan belakangan sakit ginjal menggempur tubuhnya. Sebulan sebelum meninggal, Pram pun mengeluh pada Oey. Ia me-rasa kesepian dan tak pernah lagi dikunjungi kawan-kawannya.

Namun, Pram pergi di tengah puluhan kawan yang menjenguknya. Tak seperti Minke, tokoh dalam tetralogi Buru, yang cuma diantar oleh enam pelayat ke pekuburan Karet, Pram berangkat diantar ratusan pelayat yang hiruk menyanyikan lagu-lagu mars, di Karet. Dalam Rumah Kaca, ia berucap: Semua akan bertemu dalam alam mati, tidak peduli raja tidak peduli budaknya. Betapa sederhananya mati.

Dijumput dari: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/tapol-007-cerita-tentang-seorang-kawan-majalah-tempo-8-mei-2006/198624933526173

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae