Rabu, 31 Agustus 2011

Sajak, Puisi

Hasif Amini
Kompas, 2 Mei 2010

Bahasa Indonesia memiliki hanya sedikit perbendaharaan untuk menyebut kata-kata yang terangkai menjadi larik-larik dan bait berirama yang penuh citraan atau kiasan: ”sajak” dan ”puisi”—ada kalanya ”syair” juga dipakai, dan dulu (atau kini sesekali) kata ”sanjak” pun beredar. Tetapi itu rupanya tak hanya terjadi dalam bahasa kita. Bahasa Inggris, misalnya, dengan latar tradisi sastra yang begitu panjang dan luas, pun hanya punya nomina poem, poetry, dan verse, untuk menyebut hal yang lebih-kurang sama.

(Adapun sajak atau sanjak atau syair atau puisi itu tentulah sangat banyak ragam atau bentuknya: gurindam, haiku, pantun, sajak bebas, sestina, soneta, talibun, villanelle, dan seterusnya. Jika dikumpulkan dari pelbagai khazanah sastra di segenap penjuru dunia, mungkin ada ratusan atau bahkan ribuan bentuk puisi yang pernah hidup sejak manusia mulai berbahasa dan bernyanyi dengan kata-kata hingga hari ini.)

Namun, kembali kepada empat patah nama di kalimat pembuka di atas, kosakata yang sedikit itu barangkali sudah sewajarnya: nama umum/generik untuk menyebut sesuatu memang tak perlu bervariasi. Yang penting adalah bahwa cukup tersedia nama diri untuk menyebut atau menandai masing-masing jenis atau ragam yang lebih khusus, sebagaimana dicontohkan pada alinea kedua.

Dalam penggunaan sehari-hari, kata ”sajak” dan ”puisi” kerap dipertukarkan sebagai sinonim, tetapi kadang-kadang digunakan untuk menunjuk dua ihwal yang sedikit berlainan. Kata ”sajak” tak jarang merujuk pada wujud formal yang tampak pada sebuah komposisi verbal yang berirama—termasuk di dalamnya rima, panjang-pendek larik, dan pembagian bait. Karena itu, frase ”pola persajakan” mengacu pada penyusunan unsur-unsur tersebut dalam sebuah karya. Sedangkan ”puisi” bisa mengarah pada watak sugestif bahasa yang digunakan atau kekuatan dan kepadatan imajinasi yang terkandung dalam suatu karya tulis, entah karya itu mengandung ”pola persajakan” ataupun tidak. Bahkan, kawasan ”puisi” kini seakan lebih luas dari sastra: sekali waktu kita mendengar sebuah film atau lukisan disebut ”puitis” atau dikatakan sebagai sebuah ”puisi”—bukan karena ada kata-kata bersajak di dalamnya, melainkan karena kekuatan visualnya.

Jalan berliku

Kata ”syair”, setidaknya sebagaimana terpetik dari khazanah sastra Melayu, semula merujuk pada suatu bentuk puisi terikat, tetapi dalam pemakaian umum kini barangkali lebih banyak berlaku sebagai padanan ”lirik lagu”. Padahal kata dasar ini telah membentuk kata ”penyair” dan ”kepenyairan”—nah, di sini pun kita mungkin akan mendengar pertanyaan: kenapa bukan ”pesyair” dan ”kepesyairan”? Sementara dalam bahasa Arab, khazanah asal istilah itu, kata sya’ir sebetulnya justru merujuk kepada orang yang menulis sajak, sedangkan sajak adalah syi’ir. Apa mau dikata: demikianlah jalan berliku yang bisa dan biasa ditempuh sebuah kata, apalagi dari zaman ke zaman, melintas dari satu ke lain bahasa.

Sedangkan kata ”sanjak”, yang bersinonim dengan ”sajak”, kini terasa kuno, arkais. Rasanya sudah jarang orang menggunakannya dalam tulisan atau ujaran sehari-hari. Namun, di tahun 1954, pernah terbit buku Sandjak-sandjak Muda Mr. Muhammad Yamin susunan Armijn Pane. Pun, beberapa tahun kemudian, terbit Priangan Si Djelita: Kumpulan Sandjak karya Ramadhan KH. Setelah itu agaknya kata ini pelan-pelan menepi dan menghilang.

Jadi, manakah yang mesti dipakai: ”sajak”, ”sanjak”, ”syair”, atau ”puisi”? Silakan pilih sendiri—salah satu, salah dua, atau semuanya, atau menggilir masing-masing sesuai keperluan dan selera. Tak ada anjuran apalagi larangan. Jika kami akhirnya memilih menggunakan ”puisi” sebagai nama rubrik, itu semata demi alasan akomodasi: semua sajak adalah puisi, sedangkan tidak semua puisi bersajak.

WIRATMO SOEKITO: INI BUKAN MANIFES KEBUDAYAAN II

Sebuah wawancara yang dilakukan Majalah TIRAS dengan WIRATMO SUKITO, Konseptor Manifes Kebudayaan 31 tahun yang lalu. Ia menentang pernyataan Mei 1995. SUMBER: MAJALAH TIRAS. EDISI: 1 JUNI 1995. HAL: 45-50
Oleh: Suryansyah

Telah lahir sebuah pernyataan, namanya “Pernyataan Mei”. Inilah pernyataan sikap sejumlah budayawan terhadap berbagai bentuk pelarangan dalam kemerdekaan mencipta. Diproklamasikan tanggal 8 Mei lalu bertepatan dengan 31 tahun dilarangnya Manifes Kebudayaan (Manikebu) oleh Presiden Soekarno “Pernyataan Mei” serta merta mendapat sambutan, baik pro maupun kontra.

Salah satu “penentang” itu adalah Wiratmo Soekito, konseptor Manifes Kebudayaan tahun 1963. “Pernyataan Mei”, katanya, “Semata-mata upaya mencari dukungan yang lebih luas bagi Dekarasi Sirnagalih yang memperjuangkan hak mereka untuk berorganisasi sendiri.” Ia berbicara panjang lebar tentang “Pernyataan Mei”, Manifes Kebudayaan, dan buku Prahara Budaya, kepada Wartawan H. Wawan Setiawan, Nanang Junaedi, Suqansyah, dan Fotografer Moriza Prananda, dari TIRAS, di rumahnya, 18 dan 19 Mei lalu. Berikut petikannya:

Anda dihubungi untuk mendukung “Pernyataan Mei”?

Seminggu sebelum pernyataan itu keluar, saya menerima faksimile “Sebuah Himbauan”, yang baru ditandatangani Arief Budiman, Budiman S. Hartoyo, Goenawan Mohamad, Rendra dan Sori Siregar. Imbauan ini bertanggal Jakarta, 8 Mei 1995 bertepatan dengan hari ulang tahun ke-31 dilarangnya Manifes Kebudayaan (Manifes) oleh almarhum Presiden Soekarno.

Anda menangkap, itu sebagai Manifes II?

Saya tidak percaya akan ada Manifes II. Sebab, Rendra, Goenawan, Arief Budiman, sebenarnya sudah meninggalkan Manifes.

Meninggalkan Manifes?

Ya. Wawancara Goenawan dengan DeTik (tabloid almarhum) menganjurkan agar Manifes bersama dengan Lekra dilupakan, karena itu masa lampau. Sejalan dengan itu, Joebaar Ajoeb (Lekra) menganggap, peristiwa itu sekarang sudah menjadi mitos. Dari situ, saya melihat, ada kedekatan antara sebagian kelompok

Manifes itu dengan Lekra.

Maksudnya, ada kesamaan cara pandang?

Ya. Saya kira, ini karena faktor Pramoedya Ananta Toer.

Apa hubungannya dengan Pram?

Pramoedya dianggap seorang novelis besar dan kebanggaan nasional. Itulah yang dikatakan Goenawan Mohamad ketika satu delegasi yang dipimpin Ilen Suryanegara menghadap Mendikbud Wardiman Djojonegoro. Ketika itu,Goenawan mengatakan, pemerintah sesungguhnya rugi dengan melarang Pramoedya. Goenawan memandang, Pramoedya orang besar. Tetapi saya kira, dalam hal ini, sikap Goenawan ditentukan oleh faktor A. Teeuw. Goenawan pasti berterima kasih kepada Teeuw atas hadiah sastra. Seperti diketahui, Teeuw sejak semula memperjuangkan supaya Pramoedya memperoleh hadiah Nobel untuk sastra. Kalau menurut saya, sekali dicalonkan dan tidak dipilih, itu batal – sampai dia membuat karya baru yang dianggap besar. Ini yang saya pelajari dari tradisi hadiah Nobel. Sedangkan, setelah Bumi Manusia, tidak ada karya Pramoedya yang lebih besar atau yang sama dengan itu.

Dengan “membela” Pram, Anda ingin mengatakan, Goenawan sudah keluar dari Manifes?

Bukan begitu. Dia mengadakan pendekatan. Sebenarnya, pendekatan itu sudah dimulai sejak tahun 1970-an, karena Goenawan banyak bergaul dengan orang-orang luar negeri. Karena itu, dia selalu memakai ukuran-ukuran luar negeri yang senang dengan Pramoedya. Kalau dia tidak melakukan kepada Pramoedya, dia merasa ketinggalan zaman. Padahal, Pramoedya punya masa lampau, yaitu melakukan intimidasi-intimidasi terhadap para pengarang yang mau bebas. Atas dasar itu, dia tidak pantas memperoleh hadiah Nobel. Saya kira, ini tujuan Taufik Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya, agar orang’ tahu bagaimana masa lampau Pramoedya dan orang Lekra lainnya.

Apakah “Pernyataan Mei” ini ada kaitarmya dengan perjuangan Goenawan menggolkan Pramoedya?

Tidak, tidak. “Pernyataan Mei” itu adalah perluasan dari Deklarasi Sirnagalih yang ditandatangani sejumlah wartawan yang memperjuangkan hak mereka untuk berorganisasi sendiri.

Alasan Anda?

“Pernyataan Mei” ini lahir sesudah anggota-anggota Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dipecat oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Saya mendengarkan sendiri wawancara Goenawan dengan BBC London beberapa waktu lalu. Dia membandingkan PWI dengan PKI dan para penanda tangan Deklarasi Sirnagalih dengan para Manifestan (penanda tangan Manifes), yang juga dipecat dari PWI setelah Badan Pendukung/ Penyebar Soekarnoisme (BPS) dilarang. Seorang Manifestan mungkin saja seorang wartawan yang menjadi anggota PWI, tetapi sebagian besar pasti tidak. Lagi pula, Manifes kemudian berpendapat, seorang Manifestan yang konsisten tidak berorganisasi secara fisik, melainkan secara spiritual saja. Saya melihat, munculnya “Pernyataan Mei” ini tidak lain dari upaya mencari dukungan bagi rehabilitasi orang-orang AJI yang dipecat PWI.

Melihat momentum munculnya “Pernyataan Mei”, 8 Mei (tanggal pelarangan Manifes oleh Presiden Soekarno), terkesan, semangat yang dibawa “Pernyataan Mei” merupakan kesinambungan Manifes 1963. Saya kemukakan, “Sebuah Himbauan” yang dikeluarkan oleh penanda tangan “Pernyataan Mei” tidak merupakan kesinambungan Manifes 1963. Pengertian mereka tentang Manifes pun keliru.

Bagaimana mungkin, padahal sebagian dari mereka justru Manifestan yang menggodok pemunculan Manifes?

Menurut “Sebuah Himbauan”, inti Manifes adalah suatu sikap untuk memperjuangkan kemerdekaan kreatif. Sebagai penyusun draf (rancangan) Manifes, saya merasa perlu mengingatkan, inti Manifes adalah penolakan terhadap penempatan kebudayaan di bawah subordinasi politik.

Anda ingin mengatakan, Manifestan yang menandatangani “Pernyataan Mei” ini bertindak salah?

Ya. Kekeliruan para penanda tangan “Sebuah Himbauan” mengenai inti Manifes, sebagian (sekali lagi sebagian) karena mereka tidak pernah bersikap rendah hati untuk merenungkan gagasan-gagasan yang saya perkembangkan dengan bertolak dari Manifes 1963. Mulai dari perlunya menjelaskan peranan falsafah untuk menghilangkan kesenjangan antara ilmu dan kebudayaan, sampai perlunya menggali sumber politik orang yang tak berpolitik untuk mencegah timbulnya pengkhianatan kaum intelektual.

Konkretnya?

Konon, dalam sebuah surat Rendra pada tahun-tahun 1960-an kepada Arief Budiman, ia mengaku, Manifes memang “kontrarevolusioner”. Arief Budiman sendiri, dalam sebuah wawancaranya, telah menyesalkan bahwa Manifes telah memakai “senjata politik”. Kesemuanya, bagi saya, hanyalah mencerminkan apa yang oleh orang Prancis sebutkan sebagai maladie enfantine de l ‘independance (penyakit kanak-kanan kemerdekaan). Goenawan, dalam sepucuk suratnya dari Eropa kepada saya, mengatakan, ia telah malu turut menandatangani sebuah Manifes yang, sepanjang hematnya, penuh dengan klise. Dalam sebuah wawancara, Goenawan pernah menganjurkan agar Manifes dan Lekra sama-sama dilupakan saja. Nah, sekonyong-konyong mereka mengambil posisi berpaling kepada Manifes setelah para penanda tangan Deklarasi Sirnagalih mengalami kesulitan karena kehilangan keanggotaannya dalam PWI.

Ide “Pernyataan Mei” ini kan datang dari Arief Budiman bukan dari Goenawan?

Arief Budiman sangat aktif dalam usaha mempengaruhi orang agar memboikot pengganti Tempo. Ini kan sebetulnya sudah kontradiksi. Cara itu kan sudah hampir menyerupai teror Pramoedya terhadap majalah Sastra dahulu. Jadi, komitmen Arief Budiman terhadap Tempo besar sekali.

Anda ingin mengatakan, ini proyek Goenawan Mohamad?

Ya.

Apakah sebegitu sederhana, sampai Rendra dan budayawan lain ikut serta?

Rendra melihat paralelisme dengan ceramah-ceramahnya yang dilarang.

Bukankah yang disampaikan “Pernyataan Mei” beralasan. Pelarangan yang terjadi tahun l960-an seperti kebebasan mencipta, berpendapat, sekarang terulang lagi?

Saya merasa tetap bebas. Saya pernah ditanya orang Amerika, teman Mochtar Lubis, “Apakah Anda seorang penulis yang bebas?”Saya jawab, “Kalau saya bukan penulis yang bebas, bagaimana saya rata-rata bisa menulis satu artikel sehari.” Saya tulis itu dengan antusias, merasa bahagia. Saya merasa, apa yang saya keluarkan melalui pikiran saya selalu baru. Jadi, tergantung pada orang itu sendiri. Selama masih mengambil sikap “aku mencintai kebebasan”, sesungguhnya ia orang yang bebas. Kalau menganggap ukuran kebebasan itu sukses, seorang yang setiap hari mengambil keuntungan belum tentu bebas.

Pengertian kebebasan yang dimiliki Rendra dan kawan-kawan itu masih pada tingkat pertama. Menurut saya, ada empat tingkat kebebasan. Yang tertinggi adalah kebebasan moral, di mana saya diikat tetapi saya tidak merasa terikat. Sementara, tingkat terendah, dia melihat, apa yang ada di sekitarnya itu adalah sikap permusuhan yang cuma mau menghalang-halangi saja. Itulah yang disebut kebebasan untuk memberontak. Menurut saya, ini disebabkan karena prestasinya masih rendah. Kalau yang bersangkutan sudah tinggi, tidak ada kekhawatiran untuk dipasung atau dicekal. Menurut pendapat saya, kalau mereka menginginkan kembalinya kebebasan, bukan begini caranya.

Caranya?

Caranya melakukan pendekatan dengan para 3 penguasa. Dialog. Mari, kita bicara. Kalau cara kita berkomunikasi baik, para penguasa bisa diajak bicara.

Kalau sekarang muncul pelarangan-pelarangan, mengapa?

Saya kira, itu timbul karena misunderstanding, lalu miscommunication. Seperti dikatakan Mensesneg Moerdiono, “Mereka mau kebudayaan, ayo kita juga mau kebudayaan. Mereka mau agitasi, kita juga agitasi.” Jadi, sebenarnya: kata berjawab, gayung bersambut. Saya tidak membela pemerintah. Saya netral. Saya selalu suka kepada apa yang disebut the balance of right. Jadi, dari dua pihak itu: oh . . . ini benar, itu benar. Masing-masing pihak keluarkanlah argumen, jangan prasangka. Penguasa prasangka, senimannya juga prasangka. Cobalah dikomunikasikan. Tetapi, anehnya, banyak ilmu komunikasi masyarakat makin tidak komunikatif.

Mengapa bisa begitu?

Saya kira, ada yang salah di dalam penerapan komunikasi. Kadang-kadang, tidak selalu bicara itu bisa langsung. Kadang-kadang, kita perlu bicara lewat orang ketiga. Misalnya: antara suami, istri, dan anak. Kalau si suami mau mengkritik istrinya, ia bilang lewat anaknya. Begitu juga, di sini. Jadi, dibutuhkan seni untuk lihai. Dengan demikian, saya mengkritik pemerintah, tetapi pemerintah tidak marah.

Namun, ada keluhan, pemerintah tidak toleran terhadap per bedaan pendapat.?

Ya. Tetapi, pengertian perbedaan pendapat mereka tidak sama dengan perbedaan pendapat menurut pemerintah. Presiden Soeharto mengatakan, boleh berbeda pendapat, tetapi jangan untuk meruncingkan. Kadang-kadang, mereka betul-betul menentang, lalu mengatakan, “Ini cuma perbedaan pendapat.” Jadi, diperlukan juga kejujuran. Berbeda pendapat ya berbeda pendapat, dan kemukakan itu tanpa kebencian. Kalau itu dikemukakan dengan kebencian, itu bukan perbedaan pendapat lagi. Kalau di pihak satu sudah begitu, di pihak lain juga akan sama. Ini radikal, yang itu juga radikal. Menurut pendapat saya, radikal harus dijawab dengan ironi.

Maksudnya?

Ironi adalah suatu jawaban yang tidak bisa diharapkan terlebih dahulu. Dikira jawabannya begini, tetapi ternyata lain. Itu ironi. Novelis-novelis besar banyak menggunakan ironi.

Kalau logika itu dipakai, bukankah bertolak belakang dengan munculnya Manifes yang memberontak terhadap situasi Orde Lama?

Tidak. Itu keliru. Manifes tuntutannya cuma satu: kebudayaan jangan ditempatkan di bawah subordinasi politik. Pokoknya, asal seniman dan sastrawan ini tidak ditempatkan di bawah subordinasi orang politik, cukuplah itu. Jadi, bukannya berontak. Itu terlalu dilebih-lebihkan. Tidak ada yang namanya pemberontakan. Manifes bukan suatu pemberontakan kebudayaan. Barangkali, orang-orang yang dangkal bilang begitu. Orang yang betul-betul mengerti, yang berada di dalam situasi itu, tidak akan berpendapat demikian.

Kalau Manifes dahulu menentang ditempatkannya kebudayaan di bawah subordinasi politik, sekarang juga ada pendapat: politik tetap sebagai panglima.

Ya, di mana? Di dalam konflik organisasi saja kan, PWI dan AJI. Itu kan hanya salah satu contoh mutakhir yang diangkat Goenawan. Bukankah banyak contoh lain, seperti pelarangan pementasan teater, baca puisi, dan ceramah? Ya, kalau mereka misalnya agitasi, tentu pemerintah akan bertindak.

Artinya, kondisi penciptaan Manifes dahulu dengan “Pernyataan Mei” berbeda?

Beda. Saya kira, “Pernyataan Mei” tekanannya hanya protes

Anda menangkap, ada nuansa politisnya?

Ada. Saya kira, itu bagian dari suatu oposisi. Bagian dari pemikiran, seolah-olah pemerintah ini akan segera runtuh. Mereka mengira, pemerintah sedang dalam krisis. Kalau memang sedang dalam krisis, kan saya sudah berpolitik. Saya akan mengatakan, saya berpolitik hanya kalau Indonesia dalam krisis. Tetapi, ini belum apa-apa.

Bukankah beralasan mengkhawatirkan kejadian getir masa lampau terulang lagi?

Kalau mereka bilang sejarah berulang, apa yang berulang. Yang berulang itu kan “Pernyataan Mei” ini. Yang berulang itu bukan pemerintah. Jadi, harus dihindarkan cara berpikir historisisme. Historisisme itu begini: apa yang telah terjadi di dalam sejarah pasti akan berulang lagi. Jadi, kalau misalnya telah pecah Perang Dunia I, pasti nanti akan pecah Perang Dunia II. Setelah pecah Perang Dunia II, pasti akan terjadi Perang Dunia III. Itu historisisme. Itu lemah dalam menganggap bahwa hal yang berulang itu bisa diramalkan. Yang berulang itu sebetulnya cuma kesalahan. Kebijaksanaan tidak akan berulang. Seperti dikatakan Hegel, ‘We learn from history that we don’t learn history.” Kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak belajar kepada sejarah. Tetapi, kalau itu kita ingat, kan tidak jadi berulang. Kalau tidak ingin mengulangi, misalnya apa yang terjadi pada masa Gestapu, bilanglah sebelum ini terjadi.

Tidakkah selama ini sudah sering dilakukan? Misalnya, ada keluhan-keluhan: ada pelarangan-pelarangan, namun pelarangan tetap juga berlangsung?

Ya. Tetapi, setelah terjadi. Pada zaman Ali Sadikin masih bikin Taman Ismail Marzuki (TIM), pelarangan itu kan belum terjadi. Kok, mereka pesta-pesta kebebasan saja? Ketika itu, saya sudah memperingatkan.

Memperingatkan bagaimana?

Ketika itu, saya menulis di Harian Merdeka, sebelum Bung Karno meninggal. Saya termasuk orang yang kritis terhadap pembentukan TIM. Saya katakan, “Jangan mengira, besok pagi Anda masih bebas.” Saya bilang begitu. “Sekarang, Anda mendapat kebebasan penuh, fasilitas penuh. Tetapi, jangan kira, besok pagi masih sama.”

Wiratmo pernah belajar filsafat di Universitas Katolik Nijmengen, negeri Belanda. Tidak sampai tamat. Begitu balik ke Indonesia, pria kelahiran .Solo (8 Februari 1929) ini memulai karier sebagai karyawan Radio Republik Indonesia (1957-1972), anggota redaksi majalah Kebudayaan Indonesia (1965&1969), mengajarkan apresiasi drama dan sastra di Akademi Teater Nasional indonesia (ATN ) Jakarta (1960-1962). Pada masa remaja ia mengaku sangat “dekat” dengan marxisme. Sebagai anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), ia pernah mengikuti kursus politik. “”Hampir.semua guru saya berpaham marxisme.” Setelah dewasa, ia justru penentang paling tegar kaum marxis (komunis) di Indonesia. Sebagai konseptor Manifes Kebudayaan, Wiratmo diganyang Lekra dan para sekutunya. Menyusul pelarangan Manifes ttahun 1964! ia pun nyaris bungkam.

Bagaimana ceritanya, Anda ,menjadi konseptor Manifes?

Saya didorong oleh teman-teman muda, seperti Goenawan, Bur Rasuanto, Arief Budiman. Mereka kan kepengin punya nama.

Ide Manifes memang dari Goenawan Cs?

Ya. Goenawan, Bur Rasuanto.

Ketika itu, mereka belum punya nama?

Belum.

Boleh dibilang, mereka mau mendompleng Anda?

Artinya, mereka takutkan, kalau kondisi politik terus-menerus begini, ya jangan-jangan nggak akan dikenal nama kita. Lebih-lebih, Salim Said. Ketika itu, baru tamat SMA. Dia bilang, “Wah, enak ya sudah punya nama.” Ketika itu, orang seperti Anas Ma’ruf, Trisno Sumarjo, berpikir, “Kita ini nggak ada kesempatan lagi.”

Nama Anda sudah besar ketika itu?

Ah, nggak juga. Saya ketika itu memimpin satu rubrik di Radio Republik Indonesia (RRI) yang, tiap hari Senin, waktunya setengah jam, membawakan acaramu dan Seni. Sebuah laporan mingguan di bidang seni dan ilmu pengetahuan. Itu yang membuat saya banyak dikenal. Saya juga sudah banyak menulis di mingguan Siasat, Indonesia Raya, Star Weekly, yang dipimpin P.K. Ojong, dan Keng Po, yang kemudian menjadi harian Kompas.

Kabarnya, Manifes terkenal justru setelah dilarang?.

Ya. Artinya, menjelang dilarang, juga menimbulkan heboh nasional. Tetapi nggak pake demonstrasi-demonstrasi seperti Goenawan. Kalau Goenawan kan pake demonstrasi-demonstrasi. Dahulu, belum sehebat sekarang, yang sudah canggih. Bisa demonstrasi segala, ya.

Manifes sempat pecah, karena Anda bersama H.B. Jasin dan Trisno Sumardjo minta maaf kepada Bung Karno?.

Bukan. Begini. Yang minta kami agar minta- maaf itu militer. Kata mereka, “Kalau mau terus, kami dukung. Mintalah maaf.”

Siapa pihak militer yang menyarankan Anda minta maaf?

Ya, kelompok Nasution, Yani, dan sebagainya. Tetapi, melalui intelijen mereka dari staf Angkatan Bersenjata. Hubungannya tidak dengan saya, tetapi dengan Bokor Hutasuhut. Kita memerlukan dukungan militer untuk surivive. Lalu, saya masih bilang kepada Rendra, Goenawan, dan sebagainya. “Kalau kalian itu pahlawan, keluarkanlah statemen kalian tidak setuju kita minta maaf.” Nyatanya, mereka nggak berani.

Mereka menentang langkah Anda?

Ya. Yang muda-muda ini, yang masih emosi, yang belum memperhitungkan taktik-taktik politik, berkeberatan. Lalu, saya bilang, “Siapa yang berkeberatan supaya mengeluarkan statemen berkeberatan.” Jangan baru kemudian kelak kalau kita sudah menang.

Itu sebelum atau sesudah menghadap Bung Karno?

Setelah.

Bukankah protes mereka beralasan, karena Anda tidak berkompromi terlebih dahulu dengan Manifestan lainnya?

Tetapi, itu hasil rapat. Memang ada pendukung radikal Manifes, tetapi bukan Jasin dan kawan-kawannya yang menandatangani kawat kepada Presiden Soekarno. Sebab, seorang yang tak berpolitik lebih memilih sikap ironi dan menolak sikap radikal.

Anda dan Jasin bertemu langsung dengan Bung Karno?

Lewat telegram. Dan, telegram itu tidak pernah sampai kepada Soekarno. Karena itu, kita utus Toyib Hadiwijaya-ketika itu menjabat menteri perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan (PTIP). Telegram itu sampainya di rumah Nyoto, karena di Telkom banyak orang Pemuda Rakyat. Mereka yang menyabot sehingga tidak sampai kepada Soekarno. Telegram itu dua kali tidak sampai kepada Soekarno. Karena itu, Toyib diutus.

Apa jawaban Bung Karno ketika itu?

Bung Karno mengatakan, “Kalau mereka berjiwa besar dengan minta maaf, saya juga akan berjiwa besar dengan memaafkannya.

Dengan minta maaf, artinya Manifes dianggap tidak ada?

Bukan. Itu sebetulnya untuk membuat Harian Rakyat (koran PKI-Red.) kecele. Mochtar Lubis juga menarik kesimpulan, seperti tertulis dalam bukunya Catatan Subversif, bahwa dengan permintaan maaf itu berarti sudah menolak Manifes Kebudayaan. Saya kira, Catatan Subversif tidak dibuat di penjara, tetapi tampaknya dibuat di Jakarta, karena dia katakan sebelum permintaan maaf dikirim.

Dia tahu dari mana?

Jadi, Mochtar menulis begitu terpengaruh oleh fiksi. Pada cetakan berikutnya buku itu sudah tidak ada lagi. Di dalam buku Prahara Budaya yang ditulis Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto, ada dituliskan tentang permintaan maaf itu dalam sebuah tulisan yang berjudul Sandiwara Manikebu. Reaksi itu justru menyelamatkan kami. Kalau tidak ada reaksi dari lawan itu, mungkin kami malah dirugikan. Jadi, ini bukti, kita bisa memanfaatkan reaksi dari lawan.

Tetapi, Taufik sendiri termasuk orang yang menentang permintaan maaf Anda itu?. Ya. Saya baru tahu kalau Taufik Ismail ternyata juga menentang permintaan maaf saya bersama H.B. Jasin kepada Soekarno. Padahal, perlu saya tegaskan, minta maaf itu kami lakukan tanpa mengingkari isi Manifes.

Kalau bukan diingkari, lalu apa artinya?

Minta maaf bahwa ini tidak direstui. Kami dahulu kan pro Soekarno. Bukannya sudah anti Soekarno. Nggak. Kami diajak oleh militer mendukung Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi. Jadi, bukannya sudah memusuhi. Menurut pendapat kami, Soekarno melarang Manifes karena desakan komunis. Bukan kehendak pribadinya.

Bung Karno tidak berkutik di bawah PKI?

Nggak berkutik. Karena, antara Soekarno dan PKI ada agreement.

Agreement tentang apa?

Agreement bahwa PKI akan mendukung semua langkah Soekarno asalkan Soekarno melarang semua yang menentang PKI. Jadi, siapa pun yang complain dengan PKI akan dilarang.

Agreement itu tertulis?

Nggak tertulis. Chaerul Saleh mengatakan kepada Hasan Sastraatmaja, pemimpin redaksi Nusantara, “Hasan, kamu boleh menyerang PKI. Tetapi, jangan menyerang Bung Karno. ” Lalu, Aidit mengeluarkan statemen, dikutip oleh pers, “Siapa yang hari ini menyerang PKI, tak bisa tidak, besok pagi akan menyerang Soekarno.” Itu artinya, semua yang complain dengan PKI akan dilarang oleh Soekarno.

Anda tidak pernah menyesal telah minta maaf?

Saya tidak pernah menyesal, karena itu langkah yang terbagus.

Langkah terbagus? Maksudnya?

Menurut saya, itu taktik ironi. Itu kami lakukan diam-diam agar jangan sampai bisa diramalkan oleh PKI. PKI meramalkan, kami akan mengeluarkan statemen menolak Manikebu. Lalu, kami menggunakan taktik ironi. Lebih baik minta maaf, tetapi tidak mengingkari isi dari pernyataan itu.

Ada kesan, dengan minta maaf, Anda tidak konsisten. Bahkan, ada suara miring, Anda adalah orang yang pandai bermain ke mana arahnya angin baik?.

Bukan. Kita tetap sulit karena tidak dimaafkan. Lalu, saya katakan, jiwa besar tidak pernah buruk. Minta maaf itu adalah jiwa besar. Hanya orang yang berjiwa besar yang mau minta maaf. Bahwa itu tidak dimaafkan, itu adalah uji coba bagi jiwa besar orang yang tidak memaafkan. Jadi, sebetulnya kelompok ini dahulu mau mendiskreditkan saya. Tetapi, karena ada H.B. Jasin, mereka tidak bisa. Soalnya, mereka mencintai Jasin,

Yang Anda maksudkan itu Goenawan, Rendra?

Ya. Tetapi, mereka tidak bisa, karena sangat mencintai Jasin. Selain itu, Jasin sangat bijaksana, tidak pernah mengkritik mereka. Kalau saya, kan polos. Saya katakan apa yang mau saya katakan. Itu risiko karena keterbukaan, kan. Tetapi, kalau Jasin, masih bisa dekat dengan orang-orang Lekra. Pada ulang tahun Pramoedya yang ke-70 baru-baru ini, Jasin dapat ciuman dari Pramoedya. Kalau Jasin bisa begitu, saya tidak bisa.

Mengapa tidak?

Karena, saya punya pengalaman di negeri Belanda. Semua orang pengarang Belanda yang bekerja sama dengan Hitler sesudah Jerman kalah diharuskan minta maaf kepada kementerian semacam Depdikbud. Kalau tidak minta maaf, dilarang untuk menyiarkan tulisan. Sebelumnya, semua pengarang itu masuk karantina. Sesudah itu, baru legal menyiarkan tulisan. Saya menghendaki, Pramoedya minta maaf.

Minta maaf secara tertulis?

Ya.

Kepada siapa?

Tidak usah kepada saya, tetapi kepada pemerintah.

Bukankah hukuman untuk dia selama ini sudah cukup?

Karena mendapat hukuman itu, kalau dia minta maaf, mungkin dia lebih cepat keluar dari hukuman. Dia malahan lebih berkeras kepala.

Keras kepala? Anda tahu dari mana?

Sava denvar sendiri waktu dia diinterview BBC London, waktu HUT dia yang ke-70, baru-baru ini. Katanya, “Dengan penguasa sekarang, saya sudah tutup buku.”

Bukankah ini sebab akibat: Pram begitu karena dia melihat pemerintah tutup buku terhadap dia?

Ya, bergantung ya. Kalau dia tetap keras kepala, pemerintah juga keras kepala. Ketika BBC London bertanya, “Apakah Pak Pram tidak melihat kemajuan-kemajuan Indonesia di bawah Orde Baru?” Pram menjawab, “Tidak. Ada pembangunan, tetapi tidak untuk rakyat.” Jadi, dia tidak mengakui juga prestasi-prestasi pembangunan Orde Baru.

Kalau Jasin, Goenawan, dekat dengan Pram, tidakkah karena mereka lebih melihat karya-karya Pram yang patut dihargai sebagai kebanggaan bangsa?

Saya kira, itu dasarnya.

Mengapa Anda tidak melihat seperti itu?

Saya tidak mudah untuk oportunis. Ingat. bukan mereka yang memaafkan kita, tetapi kita yang harus memaafkan mereka. Jangan dibalik. Jangan kita yang dosa, mereka yang suci. Nah, teman-teman ini tidak malu-malu untuk seperti minta maaf kepada mereka. Baca saja buku Pramoedya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ketika menerima kedatangan Bur Rasuanto, Goenawan, dan pengarang lainnya, caranya itu seperti pengagum menghadap dia. Ini yang saya tidak ikhlas. Di situlah sebetulnya sudah tersirat kata, “Maafkan kami.” Saya melihat, ada satu megalomania pada Pramoedya. Ketika tahun 1950-an, saya dan Pramoedya bergaul erat, saling mencintai. Tahun 1953, Pramoedya malah mengutuk Lekra. Dia mengatakan kepada saya, “Apa yang saya tidak suka Lekra, dia hitam-putih. Amerika musuh gua, Rusia kawan gua.” Nah, setelah pulang dari negeri Belanda, dia kecewa, karena merasa kurang dihargai. Pengalaman lain, kami pernah diundang oleh seorang novelis Cekoslowakia di gedung Proklamasi. Novelis itu bilang, “Novelis itu baru matang kalau sudah umur 50 tahun.” Pramoedya, yang masih berusia 30 tahun, merasa tersinggung, karena merasa tidak diakui sebagai novelis. Jadi, kelihatan sekali megalomanianya.

Bukankah “pengasingan” terhadap Pramoedya malah merugikan Indonesia, karena karya-karyanya dari segi sastra banyak dibicarakan?

Memang, Pramoedya jadi raja di tengah-tengah novel pop. Untuk sastra dunia, tidak begitu banyak artinya. Lagi pula, dunia sekarang sedang krisis karena teknologi.

Bagaimana Anda melihat karya-karya Pram?

Menurut saya, sama saja dengan Keluarga Gerilya dahulu. Cuma, dia sekarang barangkali lebih matang, karena kesepiannya di Pulau Buru. Dalam keadaan disekap begitu, akan timbul ide-ide besar. Misalnya, Mochtar Lubis besar karena 10 tahun di penjara.

Pengarang-pengarang Lekra,termasuk Pramoedya,kembali menjadi pusat perhatian, menyusul terbitnya buku Prahara Budaya. Komentar Anda terhadap buku itu?

Menurut saya, yang penting, sebagai masa lampau, dokumen-dokumen ini mengandung harta kekayaan yang akan bisa digarap selama 10 tahun mendatang. Banyak hal yang belum diketahui orang di situ, karena dokumen-dokumen yang dikutip buku itu tidak mudah dipinjam. Misalnya, kalau saya mau meminjam Harian Rakyat di Museum Nasional, harus membawa surat izin dari laksus. Nah, karena itu, saya merasa gembira, Taufik Ismail itu berhasil memperolehnya dan mencetaknya. Juga, memang di situ ada fitnah-fitnah dari kalangan Lekra.

Tepatkah saatnya pemunculan buku ini?

Menurut saya, tepat. Sebetulnya, lebih baik lagi kalau lebih cepat. Awalnya mau diterbitkan pada I Maret 1995 – bertepatan dengan ulang tahun ke-31 KKPI (Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia). Tetapi, takut dianggap mendahului peringatan 11 Maret. Jadi, ditunda.

Apa artinya ini?

Nah, di sini kelihatan sekali, Taufik Ismail itu berpolitik. Karena, kalau nggak salah, dia erat sekali dengan orang ICMI -kalau bukan anggotanya.

Taufik Ismail berpolitik? Maksud Anda?

Saya bilang kepada dia, itu sajak-sajak Tirani terhadap Orde Lama jangan hanya berlaku satu kali, hanya terhadap Orde Lama. Kalau misalnya di dalam Orde Baru juga ada tirani, sajak-sajak itu juga harus berlaku. Jadi, universal. Tidak kontekstual. Kalau kontekstual, itu kan hanya berlaku satu kali. Kalau universal, kan tidak. Kalau universal, itu kan, kalau sekarang ada gejala-gejala yang serupa dengan Orde Lama, ya Orde Lama-nya dikritik, yang sekarang juga dikritik. Tetapi, dia mengatakan, “O, tidak. Ini hanya untuk Orde Lama.” Nah, itu yang saya namakan berpolitik. Kalau nonpolitical atau unpolitical, seperti saya, tidak begitu.

Ada kritik dari sebagian budayawan, Prahara Budaya tidak fair, karena ada sebagian karangan dari pihak Lekra disisipi komentar tertentu dari pihak penyusun buku itu?.

Seharusnya, nggak boleh dia lakukan. Sejauh ini, saya belum melihat apa yang Anda maksudkan, karena saya baru memperhatikan tulisan-tulisan saya di situ. Tetapi, seandainya itu betul, saya tidak setuju. Kalau itu mesti ada intervensi, saya tidak setuju.[T]

Dijumput dari: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/wawancara-wiratmo-soekito/178234448898555

Haji Misbach: Muslim Komunis

Sumber : Tabloid Pembebasan Edisi V/Thn II/Februari 2003
Kontributor : Dewan Redaksi Tabloid Pembebasan, Januari 2004
Versi Online : Indomarxist.Net, 3 Februari 2004

Haji Misbach memiliki posisi yang unik dalam sejarah di Tanah Air. Namanya sedahsyat Semaun, Tan Malaka, atau golongan kiri lainnya. Di kalangan gerakan Islam, memang namanya nyaris tak pernah disebut lantaran pahamnya yang beraliran komunis. Menurut Misbach, Islam dan komunisme tidak selalu harus dipertentangkan, Islam seharusnya menjadi agama yang bergerak untuk melawan penindasan dan ketidakadilan.

Lahir di Kauman, Surakarta, sekitar tahun 1876, dibesarkan sebagai putra seorang pedagang batik yang kaya raya. Bernama kecil Ahmad, setelah menikah ia berganti nama menjadi Darmodiprono. Dan usai menunaikan ibadah haji, orang mengenalnya sebagai Haji Mohamad Misbach.

Kauman, tempat Misbach dilahirkan, letaknya di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Di situlah tinggal para pejabat keagamaan Sunan. Ayah Misbach sendiri seorang pejabat keagamaan. Karena lingkungan yang religius itulah, pada usia sekolah ia ikut pelajaran keagamaan dari pesantren, selain di sekolah bumiputera “Ongko Loro”.

Menjelang dewasa, Misbach terjun ke dunia usaha sebagai pedagang batik di Kauman mengikuti jejak ayahnya. Bisnisnya pun menanjak dan ia berhasil membuka rumah pembatikan dan sukses. Pada 1912 di Surakarta berdiri Sarekat Islam (SI). Bicara kepribadian Misbach, orang memuji keramahannya kepada setiap orang dan sikap egaliternya tak membedakan priyayi atau orang kebanyakan. Sebagai seorang haji ia lebih suka mengenakan kain kepala ala Jawa, Misbach mulai aktif terlibat dalam pergerakan pada tahun 1914, ketika ia berkecimpung dalam IJB (Indlandsche Journalisten Bond)-nya Marco. Pada tahun 1915, ia menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin, yang edisi pertamanya tertanggal 15 Januari 1915 dan kemudian menerbitkan Islam Bergerak pada tahun 1917. Surat-surat kabar ini menjadi media gerakan yang sangat populer di Surakarta dan sekitarnya.

Marco Kartodikromo, salah satu tokoh pergerakan pada saat itu berkisah tentang Misbach:

“.. Di Pemandangan Misbach tidak ada beda di antara seorang pencuri biasa dengan orang yang dikata berpangkat, begitu juga di antara rebana dan klenengan, di antara bok Haji yang bertutup muka dan orang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Dan sebab itu dia lebih gemar memaki kain kepala dari pada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut “Haji”.

Apa yang tersirat dari tulisan Marco adalah populisme Misbach. Populisme seorang Haji, sekaligus pedagang yang sadar akan penindasan kolonialis Belanda dan tertarik dengan ide-ide revolusioner yang mulai menerpa Hindia pada jaman itu.

Misbach langsung terjun melakukan pengorganisiran di basis-basis rakyat. Membentuk organisasi dan mengorganisir pemogokan ataupun rapat-rapat umum/vergadering yang dijadikan mimbar pemblejetan kolonialisme dan kapitalisme.Bulan Mei 1919 akibat pemogokan-pemogokan petani yang dipimpinnya, Misbach dan para pemimpin pergerakan lainnya di Surakarta ditangkap.

Pada 16 Mei 1920, ia kembali ditangkap dan dipenjarakan di Pekalongan selama 2 tahun 3 bulan. Pada 22 Agustus 1922 dia kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta. Maret 1923, ia sudah muncul sebagai propagandis PKI/SI Merah dan berbicara tentang keselarasan antara paham Komunis dan Islam. Bulan Juli 1924 ia ditangkap dan dibuang ke Manokwari dengan tuduhan mendalangi pemogokan-pemogokan dan teror-teror/sabotase di Surakarta dan sekitarnya. Walaupun bukan yang pertama diasingkan tapi ia-lah orang yang pertama yang sesungguhnya berangkat ke tanah pengasingan di kawasan Hindia sendiri.

Orang menggambarkan Haji Misbach sebagai sosok yang tak segan bergaul dengan anak-anak muda penikmat klenengan (musik Jawa) dengan tembang yang sedang populer. Satu tulisan tentang Misbach menyebutkan, di tengah komunitas pemuda, Misbach menjadi kawan berbincang yang enak, sementara di tengah pecandu wayang orang Misbach lebih dihormati ketimbang direktur wayang orang.

“… di mana-mana golongan Rajat Misbach mempoenjai kawan oentoek melakoekan pergerakannya. Tetapi didalem kalangannya orang-orang jang mengakoe Islam dan lebih mementingkan mengoempoelken harta benda daripada menolong kesoesahan Rajat, Misbach seperti harimau didalem kalangannya binatang-binatang ketjil. Kerna dia tidak takoet lagi menyela kelakoeannja orang-orang yang sama mengakoe Islam tetapi selaloe mengisep darah temen hidoep bersama.”

Takashi Shiraisi mengungkapkan perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta. Ini dikaitkan dengan persamaan dan perbedaan antara KH Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan, Misbach, seorang muslim ortodoks yang saleh, progresif, dan hidup di Surakarta.

Di Yogya, Muhammadiyah yang lahir pada 1912 di Kauman, segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Dahlan sendiri sempat dipercaya menjadi chatib amin. Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan. Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga, kata Shiraisi, wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara.

Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah. Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah.

Lain dengan di Surakarta. Kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba’ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906) dan SI pun sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri “kaum muda Islam”.

Beda pergerakan Islam Surakarta dan Yogya, di Yogya reformis tentu juga modernis, tetapi di Surakarta kaum muda Islam memang modernis tetapi belum tentu reformis. Kegiatan keislaman di Solo banyak dipengaruhi kiai progresif tapi ortodoks, seperti Kiai Arfah dan KH Adnan. Sampai suatu ketika ortodoksi yang cenderung menghindar ijtihad itu terpecah pada 1918.

Perpecahan kelompok Islam di Surakarta dipicu artikel yang dimuat dalam Djawi Hiswara, ditulis Martodharsono, seorang guru terkenal dan mantan pemimpin SI. Ketika artikel itu muncul di Surakarta tidak langsung terjadi protes, tetapi Tjokroaminoto memperluas isi artikel dan menyerukan pembelaan Islam atas pelecehan oleh Martodharsono. Seruan itu muncul di Oetoesan Hindia, sehingga bangkitlah kaum muda Islam Surakarta.

Tjokroaminoto membentuk Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM), yang mencuatkan nama Misbach sebagai mubalig vokal. Mengiringi terbentuknya TKNM, lahir perkumpulan tablig reformis bernama Sidik, Amanah, Tableg, Vatonah (SATV). Haji Misbach menyebar seruan tertulis menyerang Martodharsono serta mendorong terlaksananya rapat umum dan membentuk subkomite TKNM. Segeralah beredar cerita, Misbach akan berhadapan dengan Martodharsono di podium. Komunitas yang dulunya kurang greget menyikapi keadaan itu tiba-tiba menjadi dinamis. Kaum muslimin Surakarta berbondong-bondong menghadiri rapat umum di lapangan Sriwedari, pada 24 Februari 1918 yang konon dihadiri 20.000-an orang. Tjokroaminoto mengirim Haji Hasan bin Semit dan Sosrosoedewo (penerbit dan redaktur jurnal Islam Surabaya, Sinar Islam), dua orang kepercayaannya di TKNM. Waktu itu terhimpun sejumlah dana untuk pengembangan organisasi ini. Muslimin Surakarta bergerak proaktif menjaga wibawa Islam terhadap setiap upaya penghinaan terhadapnya. Inilah awal perang membela Islam dari “kaum putihan” Surakarta. Belakangan, muncul kekecewaan jamaah TKNM ketika Tjokro tiba-tiba saja mengendurkan perlawanan kepada Martodharsono dan Djawi Hiswara setelah mencuatnya pertikaian menyangkut soal keuangan dengan H Hasan bin Semit. Buntutnya, Hasan bin Semit keluar dari TKNM. Beredar artikel menyerang petinggi TKNM. Muncul statemen seperti “korupsi di TKNM dianggap sudah menodai Nabi dan Islam”.

Dalam situasi itu muncul Misbach menggantikan Hisamzaijni, ketua subkomite TKNM dan menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi) Medan Moeslimin. Artikel pertama Misbach di media ini,Seroean Kita. Dalam artikel itu Misbach menyajikan gaya penulisan yang khas, yang kata Takashi, menulis seperti berbicara dalam forum tablig. Ia mengungkapkan pendapatnya, bergerak masuk ke dalam kutipan Al-Quran kemudian keluar lagi dari ayat itu. “Persis seperti membaca, menerjemahkan, dan menerangkan arti ayat Al-Quran dalam pertemuan tablig.”

Sikap Misbach ini segera menjadi tren, apalagi kemudian secara kelembagaan perkumpulan tablig SATV benar-benar eksis melibatkan para pedagang batik dan generasi santri yang lebih muda. Menurut Shiraisi, ada dua perbedaan SATV dibanding Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah menempati posisi strategis di tengah masyarakat keagamaan Yogya, sedangkan SATV adalah perhimpunan muslimin saleh yang merasa dikhianati oleh kekuasaan keagamaan, manipulasi pemerintah, dan para kapitalis non muslim. Kedua, militansi para penganjur Muhammadiyah bergerak atas dasar keyakinan bahwa bekerja di Muhammadiyah berarti hidup menjadi muslim sejati. Sedangkan militansi SATV berasal dari rasa takut untuk melakukan manipulasi, dan keinginan kuat membuktikan keislamannya dengan tindakan nyata. Di mata pengikut SATV, muslim mana pun yang perbuatannya mengkhianati kata-katanya berarti muslim gadungan.

SATV menyerang para elite pemimpin TKNM, kekuasaan keagamaan di Surakarta, menyebut mereka bukan Islam sejati, tetapi “Islam lamisan”, “kaum terpelajar yang berkata mana yang bijaksana yang menjilat hanya untuk menyelamatkan namanya sendiri.” Dasar keyakinan SATV dengan Misbach sebagai ideolognya, “membuat agama Islam bergerak”. Misbach kondang di tengah muslimin bukan sekadar karena tablignya, melainkan ia menjadi pelaku dari kata-kata keras yang dilontarkannya di berbagai kesempatan. Ia dikenal luas karena perbuatannya “menggerakkan Islam”: menggelar tablig, menerbitkan jurnal, mendirikan sekolah, dan menentang keras penyakit hidup boros dan bermewah-mewah, dan semua bentuk penghisapan dan penindasan.

“Jangan takut, jangan kawatir”

Misbach sangat antikapitalis. Siapa yang secara kuat diyakini menjadi antek kapitalis yang menyengsarakan rakyat akan dihadapinya melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak. Tak peduli apakah dia juga seorang aktivis organisasi Islam. Berdamai dengan pemerintah Hindia Belanda adalah jalan yang akan dilawan dengan gigih. Maka kelompok yang anti politik, anti pemogokan, secara tegas dianggapnya berseberangan dengan misi keadilan.

Misbach membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919. Isinya menohok kapitalis Belanda yang menghisap petani, mempekerja-paksakan mereka, memberi upah kecil, membebani pajak. Residen Surakarta digugat, Paku Buwono X digugat karena ikut-ikutan menindas. Retorika khas Misbach, muncul dalam kartun itu sebagai “suara dari luar dunia petani”. Bunyinya, “Jangan takut, jangan kawatir”. Kalimat ini memicu kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Ekstremitas sikap Misbach membuat ia ditangkap, 7 Mei 1919, setelah melakukan belasan pertemuan kring (subkelompok petani perkebunan). Tapi akhirnya Misbach dibebaskan pada 22 Oktober sebagai kemenangan penting Sarekat Hindia (SH), organisasi para bumiputera.

Misbach menegaskan kepada rakyat “jangan takut dihukum, dibuang, digantung”, seraya memaparkan kesulitan Nabi menyiarkan Islam. Misbach pun sosok yang selain menempatkan diri dalam perjuangan melawan kapitalis, ia meyakini paham komunis. Misbach mengagumi Karl Marx, dia sempat menulis artikel Islamisme dan Komunisme di pengasingan. Marx di mata Misbach berjasa membela rakyat miskin, mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Agama pun dirusak oleh kapitalisme sehingga kapitalisme harus dilawan dengan historis materialisme.

Misbach kecewa terhadap lembaga-lembaga Islam yang tidak tegas membela kaum dhuafa. Berjuang melawan kapitalisme tak membuat Misbach tidak menegakkan Islam. Baginya, perlawanan terhadap kapitalis dan pengikutnya sama dengan berjuang melawan setan. Misbach pun ketika CSI (Central Sarekat Islam) pecah melahirkan PKI/SI Merah, memilih ikut Perserikatan Kommunist di Indie (PKI), bahkan mendirikan PKI afdeling Surakarta.

Terkait dengan “teror-teror” yang terjadi di Jawa, Misbach tetap dipercaya sebagai otaknya. Misbach ditangkap. Dalam pengusutan sejumlah fakta memberatkannya meskipun belakangan para saksi mengaku memberi kesaksian palsu karena iming-iming bayaran dari Hardjosumarto, orang yang “ditangkap” bersama Misbach. Hardjosumarto sendiri juga mengaku menyebarkan pamflet bergambar palu arit dan tengkorak, membakar bangsal sekatenan, dan mengebom Mangkunegaran.

Namun Misbach tetap tidak dibebaskan. Dia dibuang ke Manokwari, Papua, beserta dengan istri dan tiga anaknya. Selama penahanan di Semarang, tak seorang pun diizinkan menjenguknya. Misbach hanya dibolehkan membaca Al-Qur’an. Di pengasingan, selain mengirim laporan perjalanannya, Misbach juga menyusun artikel berseri “Islamisme dan Komunisme”.

Medan Moeslimin kemudian memuat artikel Misbach tersebut,

“…agama berdasarkan sama rata sama rasa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa hak persamaan untuk segenap manusia dalam dunia tentang pergaulan hidup, tinggi dan hinanya manusia hanya tergantung atas budi kemanusiaannya. Budi terbagi tiga bagian: budi kemanusiaan, budi binatang, budi setan. Budi kemanusiaan dasarnya mempunyai perasaan keselamatan umum; budi binatang hanya mengejar keselamatan dan kesenangan diri sendiri; dan budi setan yang selalu berbuat kerusakan dan keselamatan umum.”

Ditengah ganasnya alam di tempat pembuangannya Misbach terserang malaria dan meninggal di pada 24 Mei 1926 dan dimakamkan di kuburan Penindi, Manokwari, di samping kuburan istrinya.***

Dijumput dari: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/haji-misbach-muslim-komunis/200466983341968

Wawancara Asrul Sani: “Angkatan 45 Membebaskan Bahasa Indonesia”

Dwi Arjanto, Hermien Y. Kleden
Majalah Tempo, 8 Nov 1999

TIDAK mudah menampilkan sosok Asrul Sani, penyair, sutradara, dan penulis skenario yang oleh orang film kini dianggap legenda. Asrul juga dokter hewan lulusan Institut Pertanian Bogor dan pernah menjadi anggota DPR selama tiga masa jabatan. Pengetahuannya sebagai dokter hewan hampir tidak dipraktekkan. Namun, selaku sastrawan dan seniman film, Asrul Sani tak pernah berhenti berkarya. Selain dikenal sebagai penyair Angkatan 45, dia juga menulis cerita pendek, esai, serta skenario film dan televisi. Anehnya, Asrul menyebut dirinya amatir dalam bidang-bidang ini. Sebab, “Seorang amatir melakukan sesuatu karena kesenangan.”

Asrul Sani memenangi piala Golden Harvest dalam Festival Film Asia 1970 untuk filmnya Apa yang Kaucari, Palupi. Sejak filmnya yang pertama, Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959), disusul Pagar Kawat Berduri (1961), hampir ke-20 film yang disutradarainya mengangkat tema dengan muatan sosial politik yang pekat. Demikian juga cerita dan skenario film yang digubahnya—dua yang terakhir berupa komedi populer, yakni Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985) dan Naga Bonar (1986). Dari tangannya juga bermunculan film televisi yang memikat—yang acap ditayangulangkan adalahMahkamah. Beberapa di antaranya bahkan diputar di Malaysia dan Singapura.

Istrinya, Mutiara Sani, ikut membintangi film layar lebar dan film televisi arahannya. Respons dari penonton cukup mendukung masa itu, terutama ketika serial televisi Siti Nurbaya—dengan skenario dari Asrul Sani yang dibuat berdasarkan novel klasik karya Marah Roesli—ditayangkan, jauh sebelum televisi Indonesia dilanda banjir sinetron. Ironisnya, Asrul, yang banyak dilibatkan dalam upaya menumbuhkan perfilman nasional, justru menyaksikan kehancuran film Indonesia itu sendiri. Menurut Asrul, penghancuran itu dengan sukses dilakukan Harmoko selama 15 tahun “berkuasa” sebagai menteri penerangan.

Asrul Sani, yang tak tertandingi di arena debat, menjadi anggota DPR selama 16 tahun. Ia sempat dicap sebagai “pemberontak” karena acap melancarkan kritik terhadap pemerintah. Katanya, aura demokrasi sudah menguap dari parlemen kita sejak 1971.

Bersama-sama Chairil Anwar dan Rivai Apin, Asrul Sani dikenal sebagai pelopor Angkatan 45 (ketiganya terwakili dalam kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir). Tonggak mereka adalah Surat Kepercayaan Gelanggang, 18 Februari 1950, sebuah manifesto yang ditulis Asrul dan mencuatkan “konsepsi budaya” Angkatan 45. Dokumen ini diterbitkan pada 23 Oktober 1950, setahun setelah Chairil meninggal.

Asrul, ayah enam anak, kelahiran Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1927, adalah bungsu dari tiga bersaudara, anak pemuka adat Sultan Marah Sani Syair Alamsyah. Ditemui di kediamannya awal Oktober lalu, Asrul, yang rambut dan berewoknya telah bersepuh perak, tampak sehat dan bugar. Ingatannya jernih dan mendetail, bahkan tentang banyak hal sepanjang usianya yang sudah 72 tahun itu. Wartawan TEMPO Dwi Arjanto dan Hermien Y. Kleden tiga kali menemuinya di rumahnya, di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan.

Petikannya:

Apa yang ada di benak Anda sewaktu menyusun Surat Kepercayaan Gelanggang?

Terus terang, ada satu kesombongan. Kami merasa tidak perlu dibatasi dengan kebanggaan tentang Borobudur atau Shakespeare, misalnya. Apa yang ada di dunia adalah milik kita semua. Dan itu yang menjadi kenyataan.

Mengapa harus sombong?

Setiap pemuda itu sombong, tidak bisa tidak. Dia tidak akan maju kalau tidak arogan. Dia harus bisa separuh sinting memandang keyakinannya. Kalau tidak, dia juga tidak akan bisa berdemonstrasi. Sebagaimana umumnya gerakan avant garde, Angkatan 45 hanya berjalan di depan—sampai suatu saat ada orang lain yang lebih jeli yang memanfaatkan keuntungan. Angkatan 45 tidak punya waktu. Dia berlari terlalu cepat untuk mengejar apa yang diinginkan.

Apa saja yang dilakukan Angkatan 45 dengan semangat avant garde-nya?

Mereka membuka horizon-horizon baru, yang semestinya dilanjutkan. Sayang, generasi berikutnya tidak mendapat kesempatan menumbuhkan hal itu dengan caranya sendiri.

Apakah pertumbuhan itu berhenti?

Tidak berhenti. Sebab, bagaimanapun, ada yang muncul. Di Taman Ismail Marzuki, semasa Orde Baru, tetap saja ada ceramah. Tapi, yang bertanya, pengetahuannya sangat kurang. Kebebasan untuk mendapatkan buku bermutu amat terbatas. Yang paling fatal adalah sikap meniadakan polemik, meniadakan pertukaran pikiran. Sekarang, pertukaran pikiran itu berkembang kembali kendati orang masih ragu-ragu menggunakan bahasa setajam mungkin.

Bagaimana pergulatan antarkomponen inti Angkatan 45?

Yang menyatukan adalah kesamaan tanggapan terhadap penggunaan bahasa Pujangga Baru: kita menganggap bahasa Pujangga Baru tidak mengutarakan apa yang ingin diutarakan, tapi lebih mementingkan penyesuaian diri dengan kaidah-kaidah tata bahasa.

Menarik bahwa pengarang Angkatan 45, yang rata-rata anak priayi pegawai negeri, “memberontak” terhadap bahasa Pujangga Baru, yang mencerminkan kehalusan berbahasa kaum priayi.

Benar bahwa pengarang Angkatan 45 itu semuanya anak pegawai negeri. Tapi, anehnya, sudah lepas penghormatan kita terhadap priayi. Kita berpendapat, kelompok paling lemah waktu itu adalah pegawai negeri. Nilai intrinsik dalam Surat Kepercayaan Gelanggang adalah bahwa kita mencari manusia yang sudah dilepaskan dari bajunya. Kita menentang pendapat bahwa budaya kita hanya dibuat oleh bangsa kita.

Memangnya ada yang salah dari anggapan yang berkembang sebelum itu, yakni bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Timur dan merupakan kumpulan dari puncak kebudayaan daerah?

Kebudayaan lahir seperti air yang mengalir. Kita boleh saja mengatakan menjunjung nasionalisme dengan menetapkan suatu pakaian yang “asli” Indonesia. Bukan itu yang ada dalam kenyataan. Kita tidak lagi berjalan dengan langkah-langkah kecil karena memakai kain kebaya, tapi bisa leluasa dengan celana blue jeans. Itu yang tampak dalam novel Saman. Masalahnya, pakaian baru ini akan diapakan? Kita jangan munafik mengatakan cinta pakaian nasional tapi tidak pernah memakainya. Apalagi baju nasional ternyata lebih mahal dari pakaian biasa.

Angkatan 45 sering disebut sebagai pembaharu pertama dalam khazanah sastra kita. Apa sebenarnya yang akan mereka capai?

Suatu angkatan mencari kebenarannya sendiri dalam situasi tersendiri dari zaman yang berlangsung.

Dan zaman kepada siapa Angkatan 45 terikat adalah revolusi.

Benar. Dalam film, misalnya, Usmar Ismail (pelopor perfilman Indonesia) mengatakan tujuannya adalah membawa revolusi ke layar putih. Dalam bidang kesenian, yang dikaji adalah keunikan manusia, yang amat perlu membuat kita lebih manusiawi.

Dalam pengertian yang bagaimana?

Menghargai pendapat orang lain. Suatu bangsa yang tradisi kesusastraannya tinggi dapat menghargai perbedaan pendapat. Kesusastraan membuat kita lebih manusiawi. Dengan membaca sastra, kita mengadakan dialog dengan diri sendiri. Demokrasi, hak asasi manusia, martabat manusia itu tidak bisa kalau tidak ada contohnya. Dan kesusastraan membawa pencerahan (enlightenment).

Kata-kata Anda mengingatkan pada apa yang ditulis Sjahrir di Penjara Glodok dalam bukunya,Renungan Indonesia: “Bagaimana kita bicara tentang manusia sedangkan kita tidak membaca novel?”

Lo, waktu itu, pelajar Indonesia memang malu membaca novel. Jangankan itu, bahkan Bung Hatta pun malu. Ketika di antara tumpukan bukunya ditemukan novel, Bung Hatta tidak mengaku kalau dia yang membelinya. Membaca novel pada masa itu dianggap membuang-buang waktu.

Bagaimana frame besar Angkatan 45 sebagai sebuah generasi kesusastraan?

Media yang dipergunakan tidak lagi berhasil mengutarakan apa yang ingin diutarakan. Kalau sekiranya zaman itu menjadi zaman yang sangat cepat, cara pengutaraan yang lambat tidak bakal dipakai lagi. Ada konflik dengan Takdir Alisjahbana di masa itu—sebuah konflik yang lebih banyak hubungannya dengan realitas sebagai sumber bahasa dan sumber penafsiran. Makanya, Angkatan 45 disebut angkatan pembaharu, yang sebelumnya telah dirintis Armijn Pane lewat novel Belenggu.

Armijn Pane merintis pembaruan sebuah angkatan lewat Belenggu, tapi tampaknya ia gagal melukiskan realitas masyarakat. Roman ini, yang bermain di Sawahbesar dan Tanjungpriok, tidak memberikan gambaran Jakarta pada waktu itu.

Ini memang masalah pengarang Indonesia. Realitas adalah sesuatu yang dia rekayasa saja, tidak ada hubungannya dengan sejarah. Begitu pula karya-karya memoar pengarang Indonesia. Memoar Jenderal Nasution, misalnya, hanya sedikit memberikan gambaran utuh, kendati ada beberapa bagian di buku itu yang menceritakan lingkungannya. Itu berbeda, misalnya, dengan memoar Laksamana Maeda yang dia tulis setelah Kaisar Jepang mengumumkan penyerahan Jepang kepada Sekutu.

Apa yang ditulis Maeda?

Ia tidak bercerita tentang kegundahan hatinya atas keputusan Tenno Heika. Dia kembali ke kantornya, duduk dekat jendela, menghadap ke jalan. Di situ ada pohon flamboyan. Lalu, ia menulis, “Pohon flamboyan sudah mulai berbunga, tanda musim hujan sudah mulai datang.” Maeda menuliskan realitas hati manusia yang berada pada titik nadir—tanpa perlu menyebut soal penyerahan Jepang kepada Sekutu yang begitu menggundahkan hatinya.

Dan soal realitas pula yang membuat Rivai Apin (Angkatan 45) mengejek-ejek Sutan Takdir Alisjahbana atau STA (Pujangga Baru) bahwa STA terlalu banyak retorika dan bahasa berbunganya.

Pujangga Baru memang tidak efektif dalam penggunaan bahasa. Angkatan 45 lalu memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari kungkungan, baik oleh Pujangga Baru maupun sebelumnya. Dua orang yang sangat penting dalam membebaskan bahasa Indonesia menjadi alat pengutaraan pribadi adalah Chairil Anwar dan Bung Karno. Sukarno itu sangat tidak puas dengan bahasa Indonesia. Kita bisa membaca bahasanya yang hidup dalam bukunya Sarinah.

Masa? Bukankah buku itu ditulis dengan bahasa Indonesia yang baku?

Itu edisi yang telah direvisi. Anda harus membaca Sarinah edisi asli, yang diterbitkan pertama kali. Setelah Bung Karno menjadi presiden, buku itu kembali diterbitkan, tapi bahasanya diperbaiki sesuai dengan bahasa Indonesia yang baku, sehingga keasliannya hilang. Padahal, versi asli bahasanya sangat hidup, misalnya istilah “ahli fikir” dia tulis “macam-macam fikir”. Konkret sekali.

Bagaimana kedekatan Anda dengan Bung Karno?

Suatu ketika, saya menemui Bung Karno tatkala saya mau membuat film Tauhid di Mekah. Dia bertanya, “Pernahkah kamu membaca buku Tolstoy—sastrawan besar Rusia—tentang dua orang suami-istri? Pada suatu malam, keduanya hanya punya sepotong roti. Lalu, datang seseorang yang kelaparan. Suami-istri itu berunding, lalu memutuskan untuk memberikan roti itu kepada si orang lapar. Itu agama. Apa kamu menggambarkan hal seperti ini?” Lain dengan Sjahrir. Dia memberikan buku Roti dan Anggur, lalu saya disuruh menyusun arti sosialisme sendiri.

Benarkah generasi pertama kita yang memimpin Indonesia memang punya rasa kebudayaan (sense of culture) yang tinggi?

Benar. Suatu ketika, pada 1963, Bung Karno berkata kepada Roeslan Abdoelgani, “Roes, selama kamu tidak mengerti kebudayaan, kamu tidak akan mengerti politik.” Dan mereka banyak sekali membaca. Sekali waktu, Bung Karno memberi saya satu buku yang dia kagumi, memoar Alexander Herzen, seorang revolusioner Rusia yang romantik. Katanya, “Kau saja yang baca karena toh enggak ada yang bakal baca buku ini.”

Kembali ke soal Angkatan 45. Bagaimana awal perkenalan dengan Chairil Anwar, salah seorang karib Anda itu?

Saya ketemu Chairil pertama kali di Senen, sewaktu dia sedang berada di toko buku bekas. Sesudah Belanda jatuh, kan, mereka bisa melego buku-buku dengan harga murah. Chairil itu suka bermacam-macam buku. Dia seorang otodidak. Pendidikannya hanya SMP zaman Belanda, tapi dia bisa berbahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Pergaulan para sastrawan pada masa itu tergolong terbatas. Saya juga berkenalan dengan Usmar Ismail di Pusat Kebudayaan. Saya ke sana karena senang mendengarkan musik dan akhirnya berkenalan dengan Cornel Simanjuntak. Dia (Chairil) juga sangat blakblakan, termasuk blakblakan mengkritik, sehingga pernah dia berkelahi dengan H.B. Jassin karena hal itu.

Bukankah pertengkaran itu terjadi pada suatu acara pembacaan sajak di Gedung Kesenian Jakarta pada 1943?

Ya. Waktu itu kami datang sebelum pertunjukan. Chairil marah kepada Jassin karena ia menulis puisi yang tidak disukai Chairil. Padahal, H.B. Jassin suka senewen, apalagi kalau di depan orang banyak. Dia sedang asyik menghafal teks ketika tiba-tiba Chairil menyerangnya dengan kata-kata bahwa Jassin tidak mengerti puisi dan segala macam. Langsung saja Jassin menempeleng Chairil. Saya bisa memahami kejadian itu. Jassin bukannya tidak mengerti sifat Chairil yang blakblakan, tapi dia sendiri sedang menghadapi suasana grogi. Saya cuma bilang kepada Chairil, “Buat apa kau lawan si Jassin itu? Badannya saja lebih besar dari kau.”

Bagaimana persahabatan Anda, Rivai, dan Chairil?

Kami bertiga punya perjanjian tidak akan pernah saling tipu. Suatu saat, dia (Chairil) meminjam mesin tik dari saya. Beberapa lama kemudian, dia datang subuh-subuh ke rumah saya. Katanya, “Kita sudah berjanji tidak akan saling tipu, kan?” Saya mengiyakan. Lalu, dia bilang, “Mesin tiknya telah saya jual.” Dia tidak bekerja apa-apa. Tiap hari ya ke Senen itu, baca buku. Dan buku apa saja yang dia pinjam dari kawannya ya dijual. Barang apa saja yang dia pinjam dari temannya dijual. Dan itu tanpa rasa bersalah. Chairil adalah orang yang hidup 100 persen dari puisi. Akibatnya? Keluarganya harus ikut menanggung gaya hidupnya yang seperti ini.

Misalnya?

Anaknya, yang semata wayang, tidak mengenalnya. Padahal, Chairil sangat mencintai anak itu. Anak itu pernah dia “culik” dari istrinya, tapi dikembalikannya setelah dibujuk-bujuk. Kalau dia sudah tidak pulang tiga hari, saya sering diajak ke rumahnya untuk jadi tameng. “Istriku punya ikan. Kau bisa digorengkan ikan.” Dia betul-betul takut kepada istrinya, lebih-lebih kalau wanita ini sudah berkacak pinggang. Badannya yang besar itu benar-benar menakutkan buat Chairil, yang berbadan kecil dan kurus.

Sebagai teman yang begitu dekat, mengapa Anda tidak ikut mengantarkan dia ke pusara saat ia meninggal pada 1949?

Dia meninggal saat saya sedang di Bogor. Saya baru tahu peristiwa itu dua hari setelah ia dimakamkan. Dia meninggal tepat pada waktunya. Kalau dia hidup, barangkali dia sekarang berada di penjara karena berkali-kali menipu. Dia juga meninggal pada saat puncaknya sebagai penyair. Puisinya sudah selesai dan puncak keindahan itu bisa tersimpan selamanya.

Sajak Chairil yang terakhir adalah Derai-Derai Cemara. Di antaranya, dia menulis, “Hidup hanya menunda kekalahan….” Apakah ini juga gambaran dia “selesai” sebagai penyair?

Dia tidak kehilangan kreativitas menjelang meninggal pada 1949 itu. Tapi, sebagai penyair, dia sudah selesai. Dari omongan dan tulisannya menjelang akhir hayatnya, dia seorang esais yang baik—kendati dia belum jadi esais. Kami bertiga sempat berbicara lama. Waklu itu, Rivai sempat bilang kepadanya, “Lebih baik kau mengalah karena tak ada lagi yang dipertahankan dengan cara apa pun. Mulailah kembali dengan bentuk lain.”

Setelah Chairil meninggal, pertentangan apa yang membuat Anda juga berpisah dengan Rivai Apin?

Rivai itu tidak pernah berubah. Pada 1960-an, ada kutub politik komunis dan antikomunis. Yang “di tengah” itu tidak ada. Saya bilang ke Rivai agar pergi ke Eropa. Prof. Berlin, Ketua Bagian Kebudayaan di Kedutaan Besar Belanda, mengusahakan agar Rivai bisa pergi ke Belanda. Tapi, informasi yang beredar di sana, dia bergaul dengan orang-orang kiri. Akibatnya, ia tidak mendapat izin masuk Belanda.

Toh, dia ke Eropa juga setelah mendapat undangan pergi ke Berlin Timur?

Ya, dia pergi ke sana dan, sesudah itu, tertutuplah dia dengan dunia Barat. Bersamaan dengan itu, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mulai aktif menawarkan bermacam-macam kedudukan, termasuk mengusulkan Rivai Apin menjadi anggota DPRD Jakarta Fraksi PKI. Tapi, bagaimanapun, Rivai tidak pernah berubah.

Maksud Anda?

Dia hampir tidak pernah menulis sewaktu memimpin Zaman Baru (majalah kebudayaan Lekra). Dan dia tidak mau melarikan diri setelah peristiwa G30S karena menganggap itulah konsekuensi dari pilihan berpolitik. Dia mengalami suatu situasi di mana dia sudah akan disingkirkan. Saya mencari dia setelah itu. Dia menunjukkan sajak-sajaknya. Saya mengerti kenapa kalangan komunis tidak bisa menerima sajak-sajaknya.

Pindah ke awal 1960-an. Saat itu, iklim politik kebudayaan diwarnai beberapa polarisasi, antara lain Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia, yang didirikan Asrul Sani dan Djamaludin Malik, yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama). Bagaimana Lesbumi memosisikan diri waktu itu dalam polemik kebudayaan, misalnya?

Politik mulai masuk kebudayaan setelah kehidupan politik macet total, yaitu setelah presiden menjadi presiden seumur hidup dan pemimpin besar revolusi. Di situlah Lekra mulai agresif. Waktu itu, kita mengharap Sitor Situmorang, yang memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), bisa menghadapi Lekra. Nyatanya tidak. Sitor adalah penyair yang hebat tapi seorang politikus picisan. Karena terlalu kenes, dia mudah sekali dimainkan Lekra. Sesudah LKN makin jauh, mulai kita rasakan perlunya lembaga lain.

Tapi bukankah waktu itu Nahdlatul Ulama (NU) sama sekali tidak mau campur soal kebudayaan?

Memang. Tapi kalangan NU kaget setelah Lekra membuat suatu pertunjukan di Pekalongan berjudul Haji Tuan Tanah—sekitar 1964-1965. Mereka mulai menerima bahwa suatu kesenian tidak bisa diabaikan begitu saja. Sesudah itu, keterlibatan golongan pesantren dalam kesenian makin besar. Lesbumi tadinya dibentuk untuk kepentingan politik. Tapi belakangan, setelah keadaan berubah, yang menonjol adalah aspek kebudayaan.

Apa yang Anda rasakan dalam ingar-bingar polarisasi tersebut?

Teror. Itu betul-betul teror. Saat bangun tidur pagi, yang pertama kita baca di koran adalah teror dari pihak mereka, pelarangan, pemecatan. Saya bukan pegawai negeri sehingga tidak bisa dipecat. Tapi Taufiq Ismail, yang pegawai negeri, sangat terpukul dengan pemecatannya sebagai pegawai negeri.

Anda memang bukan pegawai negeri di zaman Sukarno. Tapi Anda menjadi anggota parlemen selama 16 tahun dalam masa Orde Baru. Mengapa bertahan di Senayan hingga 1982, padahal Anda menyebut demokrasi sudah berakhir pada 1971?

Ada semacam solidaritas—jadi bukan karena alasan pragmatis. Terus terang, saya tidak banyak dipengaruhi suasana. Pada 1971, saya masuk Fraksi NU—sebuah sayap yang bisa disebut idealis, yang masih bisa menegakkan semacam kontrol. Pada 1982, saya keluar dari Senayan. Saat itu, semua sarana untuk mengembangkan pemikiran dibunuh—karena dianggap sebagai polemik. Lalu, semuanya bergulir seperti yang sudah kita saksikan: selama 32 tahun, tidak ada pemikiran baru. Tidak ada pemimpin masyarakat yang bisa tumbuh tanpa legalisasi kekuatan militer.

Omong-omong, apa pernah berpraktek sebagai dokter hewan?

Sewaktu berpraktek di kampus dulu. Setelah itu, tidak lagi. Di kampus, saya belajar berpikir sistematis. Itulah keuntungannya. Saya menganggap pendidikan adalah pendidikan pribadi. Saya tidak bisa menjual apa yang ada di diktat. Tapi saya bisa menjual apa yang bisa saya olah sendiri.

Sumber: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/wawancara-asrul-sani-angkatan-45-membebaskan-bahasa-indonesia-majalah-tempo-8-no/178250935563573

Tapol 007: Cerita Tentang Seorang Kawan

Yos Rizal Suriaji, Kurie Suditomo, Evieta Fadjar, LN Idayanie
- Majalah Tempo, 8 Mei 2006

Mereka berbicara tentang seseorang, juga tentang sebuah masa yang jauh.
Oey Hay Djoen datang ke Tempo, Rabu lalu, dengan ditopang sepotong tongkat. Usianya 77 tahun. Tapi suaranya masih lantang-. Ingatannya pada masa lalu masih jernih. Oey a-dalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat dan anggota MPR/DPR GR dari Partai Komunis Indonesia. Ia dikarantina sejak 1969 sampai 1979. Ia menempati Unit 3 Wanayasa. Oey adalah tahanan politik (tapol) berbaju nomor 001.

Wartawan Amarzan Loebis dibuang ke pulau dengan ladang-ladang sagu dan bukit-bukit kayu putih itu pada 1971. Ia menempati Unit 16 dan bernomor 056. Amarzan dipercaya sebagai administratur unit dan dikenal sebagai “Bapak Protokol” lantaran selalu- diminta menjadi pembawa acara.

Mulyono SH ditempatkan di Markas Komando (Mako)- dan dipercaya mengurusi koperasi. Sedangkan Marsudi Sumanto adalah seorang dokter yang tinggal satu barak dengan Mulyono dan bernomor baju 594.

Empat sekawan itu mempercakapkan kisah haru-biru semasa menghuni kamp perbudakan-begitu sebutan- Oey pada Pulau Buru. Juga kisah karib mereka dengan seorang pujangga -begitu Amarzan menyebut-yang baru saja wafat, 30 April lalu. Seorang pengarang- yang telah menerbitkan 50-an buku yang telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa-. Seorang penulis yang dalam beberapa tahun terakhir- dicalonkan sebagai penerima Nobel Sastra. Sang sastrawan itu anggota rombongan pertama tapol yang beranggotakan 500 orang yang dibagi dalam 10 barak. Ia berseberangan tempat tidur dengan Oey di Unit 3 dan bernomor baju 007: Pramoedya Ananta Toer.

Pram bergabung dengan Lekra, sebuah organisa-si ke-budayaan yang punya hubungan erat dengan PKI, pada 1959. Pram kemudian mengasuh ruangan kebudayaan Lentera di harian Bintang Timur, Jakarta, yang berhadap-hadapan dengan para penanda tangan- Manifes Kebudayaan. Ketika ditahan, rumahnya- dirampas, perpustakaannya dijarah dan dibakar, delapan bukunya yang sedang ia tulis dibakar. Gempa politik 1965 telah memelantingkan Pram ke kamp kerja paksa itu. “Sejarah hidup saya adalah sejarah perampasan,” ucap Pram.

Pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, itu pun bertahan di Buru dengan bekerja dan menulis. Sejak pukul 04.00 pagi hingga petang hari, tapol harus bekerja membuka hutan, menjadikannya sawah dan ladang, membangun jaringan irigasi, jalan, membudidayakan berbagai jenis hewan ternak. Hanya enam bulan pertama tapol diberi makan. Selebihnya, kata Amarzan, “Kami menghi-dupi diri sen-diri dan menghidupi serdadu yang menjaga kami.”

Pram, misalnya, aktif bertukang. “Tapi ia sok mengerti bangunan,” ucap Oey seraya tergelak. Perhitungannya sering meleset. Pernah suatu kali, tutur Oey, Pram menyia-nyiakan bahan bangunan dengan- nilai puluhan juta rupiah hanya dalam beberapa minggu.

Pram acap sok pintar. Selain bertukang, Pram menga-ku mengembangkan tanaman mangga dan menanam sendiri tembakau. “Tapi tembakaunya kerasnya minta ampun,” ucap Pram. Ia juga memelihara delapan ayam. “Saya menjual ayam dan telurnya untuk membeli kertas dan rokok,” kata Pram dalam wawancara dengan Tempo pada Me-i 1999.

Kertas-kertas berukuran kuarto itu selain didapat dari menjual telur ke Namlea, ibu kota Pulau Buru, juga diperoleh dari uluran temantemannya. Mulyono menceritakan, ia selalu menyisihkan jatah kertas dan karbon milik tentara yang ada di koperasi yang ia kelola- untuk Pram. Ini tindakan berbahaya.

Hersri Setiawan, kawan lai-n Pram, yang menghabiskan delapan setengah tahun hidupnya di Buru, menuturkan sebuah perubahan pendekatan. Sebelum Panglima Komando Pengamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro berkunjung pada 1973, kertas dan alat tulis menjadi barang terlarang. Munajid, seorang tapol asal Jawa Barat, misalnya, ketahuan membaca surat kabar. Ia pun disiksa sampai mati.

Soemitro membebaskan para tapol seniman untuk berkreasi. Amarzan dan Mulyono pun menyelenggarakan pentas ludruk. Pram ju-ga mendapat privilege me-nulis. Menurut Hersri, kertas yang digunakan Pram adalah kertas bungkus semen yang disumbangkan oleh teman-temannya sesama tapol.

Dari mana Pram mendapatkan mesin ketik? Sastrawan terkenal Prancis, Jean-Paul Sartre, kabarnya menyumbang mesin ketik untuk Pram. Oey mengaku masih menyimpan surat Sartre yang ditujukan kepada pemerintah saat itu dan ditembuskan kepada Pram. Sartre menuntut pembebasan Pram sembari memberi hadiah mesin ketik. Menurut Oey, mesin ketik yang dipakai Pram bukan mesin ketik dari Sartre, tapi sudah diganti mesin lain.

Dari mesin ketik inilah, kata Oey, lahir delapan karya Pram: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Sang Pemula, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik. Sedangkan Max Lane, penerjemah awal buku-buku Pram ke dalam bahasa Inggris, tak memasukkan Sang Pemula, tapi menambahkan Mata Pusaran yang sampai kini naskahnya belum ditemukan.

Naskah-naskah itu diketik rangkap tujuh, satu diserahkan ke penjaga, sisanya diedarkan kepada teman-temannya termasuk Oey, Mulyono, dr Marsudi, dan Amarzan. Kopian naskah diedarkan di 14 unit desa tapol di Pulau Buru.

Meski bebas menulis, Pram tak diperbolehkan mempublikasikan di luar kamp. Ia membangkang dengan cara menyelundupkan melalui seorang pengemudi kapal- yang membawa bahan makanan atau kayu antar-pu-lau di sekitar Pulau Buru. Dari situ, naskahnya diserahkan ke Gereja Katolik di Namlea untuk diselamatkan. “Jadi, naskah itu diselundupkan secara ber-gelombang, dan berbentuk lembaran-lembaran ker-tas. Sewaktu saya keluar dari Pulau Buru, semua ker-tas dirampas oleh Angkatan Darat,” Pram mengungkapkan.

Sekadar ilustrasi, cerita pembangkangan yang sama dilakukan ketika pemerintah melarang Hasta Mitra-yang didirikan oleh Joesoef Isak, Hasyim Rahman, dan Pram-menerbitkan karya-karya Pram. Joesoef menyiasati penerbitan pada hari Jumat karena pada Sabtu dan Minggu, Kejaksaan Agung libur. Jika mereka ditegur, mereka memintanya dalam perintah tertulis, sementara penjualan terus dilanjutkan. Jika pelarangan tertulis telah mereka dapatkan, Hasta Mitra pun menyelundupkan buku-buku Pram ke luar negeri. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, misalnya, diterbitkan dulu di Belanda dan baru diterbitkan di Indonesia saat Pram berusia 70 tahun. “Karena dianggap terlalu berbahaya,” kata Joesoef,

Joesoef adalah tapol yang masuk golongan A. Golongan ini dianggap berbahaya dan direncanakan dibawa ke pengadilan karena cukup bukti. Golongan B golongan berbahaya tapi tidak cukup bukti untuk diseret ke pengadilan. Golongan B dibuang ke Buru. “Saya beruntung, belum sempat diadili sudah ada tekanan internasional kepada Soeharto agar menye-lesaikan masalah tahanan politik,” ucap Joesoef.

Menurut Oey, pada tahun-tahun awal di Buru, Pram belum menuliskan kisah-kisahnya. Ia hanya menuturkannya secara lisan kepada teman-temannya di barak I setiap sore sepulang bekerja. Pram duduk di am-ben dan dikelilingi kawan-kawannya. Mula-mula hanya teman satu barak, tapi semakin hari kisah-kisahnya didengar oleh semakin banyak tapol. Cerita yang ia tuturkan sepenuhnya mengandalkan ingatan, dan- kata Oey, “Persis seperti yang tertulis dalam buku.”

Setiap mengakhiri cerita, Pram meminta komentar dari pendengarnya. Belakangan, “dongeng” Pram dan interaksinya dengan kawan-kawannya itu dike-tahui sebagai cara untuk membangkitkan semangat hidup para tapol.

Pram menceritakan, waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. “Saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil.” Nyai Ontosoroh adalah tokoh dalam novel Bumi Manusia.

Setelah periode “sastra lisan”, Pram menggambar komik, sebelum akhirnya Soemitro memperbolehkannya menulis. Amarzan ingat betul Pram menyusun semacam komik tentang masuknya agama Hindu Hinayana ke Tanah Jawa, Oroh Sanagara namanya. Entah ada di mana naskah itu sekarang.

Amarzan juga ingat suatu kali ia bercerita kepada Pram bahwa kepala adat di Pulau Buru menyimpan buku dari lembaran-lembaran tembaga dan menyim-pannya dalam bumbungan bambu. Buku itu ditulis dalam bahasa yang tak dikenali para tapol. Mendengar cerita itu, secara spontan Pram berseru, “Curi saja! Itu milik nasional.” Ide gila Pram itu tentu saja tak ditanggapi.

Mulyono juga menuturkan Pram kerap mengail ide dari penduduk Buru. Ia antara lain bertemu dengan- beberapa guru sejarah yang ada di sana untuk mencocokkan pengetahuan tentang sejarah Majapahit dan Singasari. Guru-guru itulah yang memasok bahan pada Pram saat menulis Arus Balik dan Arok Dedes.

Sedangkan dalam tetralogi Buru, Pram memperoleh data jauh sebelum ia ditahan di Buru. Ketika mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti) pada 1962-1965, ia memberi tugas kepada setiap mahasiswa untuk mempelajari koran selama satu tahun, lalu membuat naskah kerja. Dari tugas-tugas mahasiswanyalah Pram mendapat sumber-sumber historis. Ia mengingat setiap detail sebelum menuangkannya menjadi “sastra lisan”.

Kehidupan di kamp pengasingan itu digambarkan- Amarzan sebagai kehidupan yang pedih. Tapi, dengan- menulis dan bekerja, kata Marsudi, “Pram mem-beri teladan bagaimana bertahan dalam penderitaan.”

Dokter yang menangani penyakit diabetes Pram itu mencontohkan bagaimana di tanah pembuangan Pram, melalui surat-suratnya, masih memberi sema-ngat pada istri dan anak-anaknya yang ditinggalkan. Marsudi tak tahu apakah surat-surat Pram itu dikirimkan oleh penguasa teritori Buru. Tapi suatu kali ia pernah membaca sebuah surat Pram yang tergeletak di meja seorang jaksa di Buru yang ditujukan kepada Astuti Ananta Toer, anaknya. Isinya tentang ayah Astuti yang pasti akan pulang dan menceri-takan sejumlah perubahan yang akan terjadi jika ia pulang.

Selain menerima surat dari Sartre, Pram juga menerima surat dari Presiden Soeharto, yang sangat ia benci. Tapi uniknya, kata Amarzan, Pram menjawab surat Soeharto itu dalam nada yang santun.

Paradoks ini juga terjadi dalam hubungannya dengan H.B Jassin. Bagi Pram, Jassin adalah guru yang mengajarkan nilai-nilai humanisme universal. Tapi lantaran Jassin tak bereaksi ketika 1,5 juta orang digelandang sebagai tapol, Pram menjauh dari Jassin. Ia bahkan tak mau menengok Jassin ketika sakit.

Surat-menyurat Jassin-Pram, menurut Mujib Hermani dari Penerbit Lentera Dipantara, dapat dibagi menjadi beberapa periode: ketika Pram menganggap Jassin sebagai guru, periode Pram menganggap Jassin sebagai teman, dan periode Pram yang berseberangan dengan Jassin. Yang agak lucu, ada suratme-nyurat keduanya yang menyangkut bisnis. “Pram dan Jassin ternyata pernah mau berbisnis timah. Jassin membawa sampel timah ke Pram, Pram yang mencari pembelinya,” kata Mujib, yang berniat menerbitkan surat-menyurat keduanya.

Kawan lain yang tak terlupakan bagi Pram adalah Ramadhan K.H. Ajip Rosidi, dalam buku Mengenang Ramadhan KH Sebagai Sahabat, menulis Pram yang sangat individualistis menganggap pengarang Priangan Si Jelita itu sebagai sahabat. Salah satu sebabnya, ketika Pram menikah dengan Maemunah Thamrin, Pram tak punya uang di sakunya. Ketika Pram hendak membayar mahar, ia meraba-raba sakunya yang kosong. Ramadhan pun mengambil dompetnya sendiri- sambil berkata, “Ini dompetmu, Pram, tadi terjatuh- di mobil.”

Pram mengakui kejadian itu dalam surat kepada anaknya yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995). Tapi Pram menyebut, ia meraba-raba sa-ku yang tak ada uangnya itu karena harus memba-yar- buku nasihat pernikahan karangan Nazaruddin La-ti-ef.

Kawan lain yang kocak adalah pelukis Djoko Pekik. Ketika bertemu, Djoko menceritakan, mereka saling pamer harta. Sang pelukis yang juga pernah ditahan membanggakan ratusan ternak, mobil Peugeot 206, dan bus bergambar celeng yang diberi judul Pengkhianat Revolusi. Tak mau kalah, Pram membeberkan cerita tentang rumah bertingkat enam miliknya yang dibangun di tengah kebun di Bojong Gede, Bogor. “Ini untuk menunjukkan kemampuan saya kepada Orde Baru,” kata Pram.

“Pamer kekayaan itu adalah bagian dari guyonan kami. Wong dia itu sudah kaya sejak dulu, kok,” kata pelukis Djoko Pekik. Adu pamer itu mungkin akan bertambah seru bila Djoko mengetahui Pram telah menjual hak memfilmkan Bumi Manusia kepada sebuah rumah produksi senilai Rp 1,5 miliar.

Berbagai gambaran Pram itu menunjukkan bahwa sosok yang penuh kontroversi itu punya cerita berwarna. Ia dikecam sekaligus dipuja. Ia dikurung, tapi karyanya terbang bebas. Ia mendapat banyak peng-hargaan internasional, tapi pada saat yang sama miskin- penghargaan di negeri sendiri. Ia membenci, tapi sekaligus santun. Ia menghardik, tapi sekaligus menyapa.

Pram membenci wayang yang mengkultuskan fi-gur, tapi memuja Soekarno. Ia anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, tapi tidak anti terhadap pinjam-an luar negeri. Ia gampang menyadari kesalahan, tapi sekaligus sulit meminta maaf. “Ia manusia biasa yang penuh kekurangan,” kata Oey.

Sebagai manusia biasa pula, Pram di saat sengit mempertahankan ide-idenya bisa tiba-tiba berubah lunak, mengajak bicara soal obat kuat, misalnya. Amarzan menceritakan, suatu kali Pram mendatanginya sembari bertanya, “Ada obat kuat model baru?” Amarzan pun menjawab sekenanya.

Oey pun menuturkan, saat pulang dari Amerika pada 1999 lalu, Pram ternyata juga membawa viagra. Beberapa hari kemudian Pram meneleponnya dan memintanya menjual kembali viagra dari Amerika itu. “Mungkin tak manjur. Maklumlah, Pram kan punya gula darah yang tinggi,” ucap Oey.

Gula darah, penyakit jantung, dan belakangan sakit ginjal menggempur tubuhnya. Sebulan sebelum meninggal, Pram pun mengeluh pada Oey. Ia me-rasa kesepian dan tak pernah lagi dikunjungi kawan-kawannya.

Namun, Pram pergi di tengah puluhan kawan yang menjenguknya. Tak seperti Minke, tokoh dalam tetralogi Buru, yang cuma diantar oleh enam pelayat ke pekuburan Karet, Pram berangkat diantar ratusan pelayat yang hiruk menyanyikan lagu-lagu mars, di Karet. Dalam Rumah Kaca, ia berucap: Semua akan bertemu dalam alam mati, tidak peduli raja tidak peduli budaknya. Betapa sederhananya mati.

Dijumput dari: http://id-id.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/tapol-007-cerita-tentang-seorang-kawan-majalah-tempo-8-mei-2006/198624933526173

Rosihan Anwar dalam Kenangan

Daniel Dhakidae
Kompas, 18 April 2011

Syahdan, suatu sore di Yogyakarta, sekitar Juni atau Juli 1988, saya bertemu Rosihan dalam satu acara. Saya duduk berdampingan dan tanpa mau membuang kesempatan saya langsung minta waktu untuk mewawancarainya. Dia katakan, ”OK nanti kita atur waktu di Jakarta.”

Waktu kami berbicara, di televisi di depan kami, TVRI menayangkan penahbisan imam Katolik di Flores. Persis waktu itu berlangsung adegan prostratio, ketika para calon imam itu merebahkan diri tertelungkup di depan altar sambil mendengarkan litania omnium sanctorum untuk mendapatkan berkat para santo.

Rosihan tertarik dengan adegan itu, lantas mengeluarkan komentar yang sama sekali di luar dugaan saya: ”Daniel, kau begaya pula mau nulis disertasi doktor segala! Lebih baik kau kembali ke Flores sana dan berbaring-baring seperti pastor-pastor itu.”

Nah..., ini dia! Rosihan yang sering saya dengar tentang komentarnya yang nyelekit! Saya tidak bisa jawab dan hanya senyum-senyum tanpa makna.

Sesampai di Jakarta, berkali-kali saya telepon untuk wawancara, tapi selalu gagal karena kesibukannya. Sampai saya kembali ke Cornell Maret 1989, wawancara tak terlaksana. Dengan sedikit ”teror”, akhirnya dia memberi wawancara tertulis yang dikirim ke Cornell.

Rosihan dan pers nasional

Petualangan intelektual ditunjukkan pada tahun 1957 ketika dia dengan tegas mengatakan bahwa ”tidak mungkin ada press magnate” di Indonesia, yaitu bertumbuhnya pers yang besar dalam kesatuan besar dan dalam konglomerasi besar, baik yang terdiri dari usaha serupa maupun gabungan dari berbagai jenis bisnis di luar surat kabar dengan berindukkan suatu perusahaan surat kabar. Namun, dalam hidupnya sendiri yang panjang itu, 89 tahun, dia saksikan sendiri konglomerasi surat kabar bukan saja sebagai pengamat, melainkan juga pelaksana serta merasakan sendiri pahit getir dan juga manis madunya.

Dalam kompetisi yang ganas, Pedoman yang dipimpinnya sejak didirikan pada November 1948 tidak bisa bertahan sebagai bisnis sampai ditutup pada awal 1961 dan Januari 1974. Dia membela dirinya bahwa ”ramalan atau prediksinya” itu berpijak pada suasana tahun 1950-an sehabis perang ketika partai-partai sangat berkuasa untuk menghidupkan dan mematikan pemerintah. Namun, yang terutama adalah hidupnya suasana egalitarian pada masa-masa itu.

Namun, dia juga membela dirinya, yaitu setelah ditutup Soekarno, Pedoman terlalu lambat mendapatkan izin terbit pada masa Orde Baru. Rosihan berdalih, kalau sekiranya tahun 1966 izin terbitnya sudah dikeluarkan, dia akan mampu bersaing.

Menghilangnya Pedoman dari percaturan dunia pers tentu karena berbagai alasan perkembangan ekonomi-politik Indonesia. Dalam refleksi Rosihan tentang dirinya dan Pedoman, dia selalu mengembalikannya pada masalah etika dan etika politik dirinya sendiri dan Pedoman yang dipimpinnya. Di satu sisi dia mengatakan, perkembangan persaingan tak memungkinkan surat kabarnya bertahan. Tapi di sisi lain etos yang berubah jadi soal. Dia mengatakan: ”Tuntutan jurnalistik sudah berbeda. Dahulu pers dan wartawan punya harga diri (self respect) dan berani terhadap penguasa. Sekarang, di zaman Orde Baru, wartawan harus punya aliansi dan koneksi dalam kalangan oknum-oknum pemerintah, selanjutnya ’menjilat’ supaya bisa selamat dan beroperasi terus. Pedoman dan Indonesia Raya tidak mempunyai keterampilan berbuat yang demikian. Jadi, mana bisa bertahan?”

Namun, bila dikembalikan ke etos politik, Rosihan justru menderita karena etos itu juga yang dia lepaskan dalam bentuk konsesi yang dia berikan pada kekuasaan. Dua konsesi pernah diberikannya kepada dua penguasa yang juga menjadi dasar ketiadaannya dalam dua masa yang berbeda. Pada masa Demokrasi Terpimpin dia memberikan konsesi kepada Soekarno dengan menandatangani apa yang disebut ”pernyataan 19 pasal” untuk menerima Manipol-Usdek. Ketika memberikan konsesi politik kepada Soekarno, alasan yang diberikannya, to create the conditions (asli dari Rosihan) untuk demokrasi karena yang lebih penting adalah to be there, to exist (asli dari Rosihan), baru sesudah itu pers bisa berjuang.

Alasan yang sama untuk konsesi kedua yang diberikan kepada Soeharto ketika harus menandatangani pernyataan tertulis untuk menghormati dan menjaga keselamatan keluarga Soeharto, bersama semua pemimpin redaksi lain: yang penting adalah ”hadir”, baru setelah itu berjuang untuk mengembangkan demokrasi. Namun, semuanya membawa krisis hidupnya. Semua koran yang diterbitkannya diberangus tanpa ampun.

Meski demikian, dalam krisis atau bukan, Rosihan tetap Rosihan Anwar ketika dengan kepala batu dia mengatakan: ”No regrets, saya telah melakukannya. Namanya berjuang, kok. Selalu ada risikonya, kan.”

Tragedi dan daya tangkal

Hampir tidak dapat membayangkan psikologi Rosihan setelah gagal mendapatkan imbalan setelah memberikan dua konsesi. Kegagalan pertama bisa diterima, barangkali lebih mudah, karena beban yang ditanggung bersama adalah beban yang mungkin lebih ringan. Pedoman tahun 1960-an adalah Pedoman Rosihan yang menamakan dirinya sebagai ”Sjahririst” dan secara sukarela mendukung cita-cita politik PSI karena dia selalu mengatakan, surat kabarnya bukan surat kabar partai. Dibubarkannya PSI dan dibubarkannya Pedoman menjadi beban yang tertanggung bersama.

Kegagalan konsesi kedua adalah tanggungan Rosihan sendiri, semata-mata, meski masih ”Sjahririst”, tetapi seorang ”Sjahririst” tanpa partai, seperti Rosihan sendiri juga wartawan beken tanpa surat kabar.

Rosihan sadar dan semakin pahit kesadaran itu ketika dikatakannya, lima belas tahun setelah Pedoman ”sirna dari muka bumi” (1974), pada 1989, ”...lokasi tempat Pedoman dicetak (Jakarta Press, Gunung Sahari Ancol 13) dijual kepada seorang pengusaha, lalu di situ didirikannya sebuah kompleks ruko (rumah toko). Pengusaha itu ternyata keponakan Lim Soei Liong....”

Namun, Rosihan adalah Rosihan. Tragedi ditebusnya dengan berbagai cara, sekurang-kurangnya dua cara yang tampak pada penulis ini. Pertama, setelah surat kabarnya disirnakan dari muka bumi, dia ditawari menjadi duta besar di Vietnam oleh Presiden Soeharto. Kali ini Rosihan tidak mau lagi memberikan konsesi ketiga kalinya. Dia menolak tawaran itu.

Saya pikir ditolaknya tawaran menjadi diplomat tidak untuk membalas dendam, tetapi muncul dari political sensibility tentang keseimbangan antara dua profesi. Yang satu adalah jurnalistik yang dipupuk dari kata ke kata, kalimat ke kalimat, hasil dialogia antara dunia nyata dan dunia pikiran dengan kata-kata sebagai jembatan dan sekaligus menjadi dunianya sendiri. Bersama itu ada seluruh risiko yang harus ditanggung—secara politik dan bisnis. Yang lain, dunia diplomatik yang baginya lebih menjadi hadiah, ”pemberian”. Bagi dia, dunia diplomatik penuh tanggung jawab, tetapi tanpa risiko. Yang diperlukan hanya kepatuhan. Arogansinya melarang itu.

Jalan kedua untuk menebus tragedi hidup Rosihan adalah sesuatu yang harus ditanggungnya seumur hidup, mempertahankan dunia miliknya sendiri, yaitu dunia intelektual dan jurnalistik. Semakin dunia itu digelutinya, semakin ia jadi ”milikku sendiri”, milik Rosihan, jemeinig, kata Heidegger. Dia menghabiskan waktunya untuk mempertahankan jemeinigkeit itu dengan mengajar jurnalisme, menjadi juri festival film, dan lain-lain.

Namun, di atas segala-galanya, dia menulis dan menulis, buku dan artikel, sampai titik darah penghabisan.

*)Daniel Dhakidae Pemimpin Redaksi Prisma, Jakarta

Rosihan Anwar Pergi Mendadak

Sabam Siagian
Kompas, 15 April 2011

Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia, meninggal mendadak pada Kamis pagi, 14 April 2011, di Rumah Sakit MMC Jakarta. Tanggal 10 Mei nanti dia akan merayakan ulang tahunnya ke-89.

Meskipun pernah secara guyon saya ucapkan ketika merayakan ulang tahunnya ke-88, 10 Mei 2010, di Hotel Santika Jakarta: ” Old journalists never die, they keep on writing ...”—kita tentunya sadar bahwa umur manusia ada batasnya.

Setelah operasi jantung yang dijalani Bung Rosihan di Rumah Sakit Harapan Kita tanggal 24 Maret lalu, ia secara perlahan berangsur pulih. Hampir setiap hari saya jenguk dia. ”Bagaimana Bung, kata pengantarmu telah selesai?”

Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, Bung Rosihan sempat menyelesaikan naskah yang dia sudah janjikan: menceritakan kisah percintaannya dengan Zuraida Sanawi—istrinya tercinta— ketika tahun-tahun revolusi (1945-1949) dan pernikahan mereka selama berpuluh tahun mengatasi berbagai kesulitan, antara lain diberedelnya koran Pedoman pada tahun 1961 dan untuk selamanya pada 1974.

”Belahan Jiwa”

Pusing juga memikirkan pendekatan apa dan bagaimana yang perlu diterapkan sehingga sambutan saya (untuk buku tersebut) agar tidak sekadar bernada sentimental. Begitu banyak cerita percintaan diterbitkan dalam berbagai bentuk.

Apa yang khas tentang percintaan antara pemuda Rosihan Anwar dan pemudi Zuraida sejak mereka berkenalan pada tahun 1943, ketika mereka sama-sama bekerja di koran Asia Raya di Jakarta? Yang khas adalah setting -nya bahwa hubungan mereka mekar ketika memuncaknya revolusi Indonesia, dan kemudian menikah di Yogyakarta, ibu kota perjuangan, pada 1947. Ida mengungsi di Yogya sebagai penyiar siaran bahasa Inggris, The Voice of Free Indonesia , karena nada suaranya menarik dan paham bahasa Inggris.

Rosihan Anwar di Jakarta sebagai wartawan harian Merdeka . Setiap malam ia setel gelombang radio mendengar siaran dari Yogyakarta dan mendengar suara kekasihnya Zuraida: ”This is the Voice of Free Indonesia.” Adakah cerita yang menandingi tingkat romantika sekaligus bersifat politis seperti cerita Rosihan-Zuraida itu?

Karena itu, dalam kata sambutan pada buku Belahan Jiwa yang akan diterbitkan oleh penerbit Kompas-Gramedia, saya membandingkannya dengan karya besar Boris Pasternak, Doctor Zhivago , suatu cerita cinta kasih penuh derita dalam setting revolusi Rusia yang jauh lebih dahsyat dan lebih mengerikan dibandingkan dengan revolusi Indonesia.

Adalah manusiawi kalau para sahabat Rosihan Anwar mengharapkan bahwa dia masih sempat merayakan ulang tahunnya ke-89 dan masih sempat hadir dalam peluncuran buku Belahan Jiwa . Pasti dia akan puas dan bangga. Bagaimanakah kita akan mengenang Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia ini, yang sampai minggu-minggu terakhir hidupnya masih tetap produktif?

Pertama-tama, agaknya sulit dicari sosok wartawan/redaktur yang memiliki pendidikan yang cocok (sebagai siswa sekolah menengah atas berbahasa Belanda sebelum Jepang menduduki Jawa pada 1942, ia menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis), memori yang kuat, daya pantau yang tajam, pandangan yang kritis mendekati sarkastis, dan kemahiran menulis secara cepat, gaya sederhana dalam bahasa Indonesia yang serba rapi.

Fikri Jufri yang bertahun-tahun jadi pemimpin redaksi mingguan berita Tempo, tahun 1967, pernah bekerja di harian Pedoman dengan Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi. Ia masih ingat betapa Bung Rosihan, setelah agak termenung, menulis tajuk rencana secara nonstop kira-kira dalam 20 menit dengan penutup yang kena sasaran.

Sumber inspirasi

Aspek-aspek apa lagi dari profil Rosihan Anwar yang ingin saya lihat diwarisi generasi muda wartawan Indonesia?

Persatuan Wartawan Indonesia, sebagai keputusan Hari Pers Nasional di Palembang pada 9 Februari 2010, memutuskan untuk menyelenggarakan program singkat kewartawanan di berbagai ibu kota provinsi guna menanggapi keluhan mengenai rendahnya kualitas jurnalistik Indonesia. Saya diminta sebagai pengajar mata pelajaran Hubungan Media dan Pemerintah. Setengah jam terakhir dari alokasi waktu dua kali dua jam, saya sisihkan bicara tentang profil Rosihan Anwar.

Biografi singkat yang telah dipersiapkan dibagi-bagikan. Kemudian saya tekankan aspek-aspek dari profilnya yang perlu diteladani para wartawan muda: cermat mengikuti peristiwa, rekam tanpa emosi berlebihan, jangan kacaukan fakta dan tulis dalam gaya bahasa yang rapi dan padat. ”Dan, kalau kalian memang mau tetap menekuni bidang jurnalistik ini sampai hari tuamu, tetaplah menulis.”

Sekolah Jurnalisme Indonesia dengan program padat selama dua minggu telah diselenggarakan di Palembang (tiga angkatan), Semarang, Bandung, dan Samarinda. Tiap kali saya sajikan profil Rosihan Anwar supaya moga-moga dia jadi panutan dan sumber inspirasi.

Kesetiaan pada profesi kewartawanan dan ketekunan menulis adalah warisan berharga yang ditinggalkan almarhum Rosihan Anwar. Kita yang beruntung sempat mengenalnya wajib meneruskannya kepada generasi muda wartawan Indonesia.
Terima kasih Bung RA atas jasa Anda.

*) Sabam Siagian Redaktur Senior Harian The Jakarta Post

Irama

Hasif Amini
Kompas 1 Agustus 2010

Puisi adalah rangkaian kata-kata yang berirama. Dan satuan irama dalam bahasa adalah metrum. Dengan demikian, terasa aneh tapi nyata: sepanjang sejarahnya sejak awal abad ke-20, puisi Indonesia seperti kurang berurusan—baik bekerja maupun bermain—dengan metrum.

Ini tampaknya berhubungan dengan watak bahasa Indonesia yang tidak memiliki suku kata bertekanan maupun tak bertekanan—unsur dasar pembentukan ritme/irama dalam bahasa. Contoh: dalam bahasa Inggris, kata listen diucapkan dengan tekanan pada suku kata pertama, sedangkan suku kata kedua tanpa tekanan; sementara kata deserve sebaliknya. Adapun kata dengar maupun berhak (selaku padanannya) dalam bahasa kita tak memiliki perincian demikian. Kita boleh memberi tekanan di depan, atau di belakang, atau memberi tekanan pada keduanya, atau tidak sama sekali.

Metrum—pola irama susunan kata—memang bukan sekadar perkara suku kata bertekanan dan tidak, yang menciptakan sepasang ”kaki” (atau lebih) yang ”berjalan” atau ”menari” sepanjang larik dan akhirnya sepanjang puisi. Pola vokal dan konsonan maupun panjang-pendek kata dan larik dalam sebuah puisi tentulah juga memegang peran membentuk irama. Namun, tak adanya unsur ”kaki yang berjalan naik-turun” secara teratur dalam sebuah puisi tetaplah sebuah cerita ketidakhadiran. Paling tidak, absennya ”kaki” yang melangkah berirama itu kerap membuat ihwal ritme/irama dalam puisi Indonesia menjadi agak misterius: kehadirannya bisa dirasakan, tapi tak mudah diuraikan.

Semakin tak mudah ketika puisi telah melepaskan diri dari bentuk-bentuk baku—pantun, talibun, soneta, dan seterusnya—menuju puisi bebas. Puisi bebas adalah puisi yang menghendaki penciptaan ritme tersendiri yang khas bagi setiap karya. Dalam khazanah sastra yang memiliki puisi bermetrum di latar belakang, puisi bebas melepaskan diri dari kerangkeng formula penulisan puisi, tetapi sekaligus telah dirasuki oleh ”hantu-hantu” metrum yang bergentayangan memainkan irama-irama tersembunyi. Dalam khazanah sastra yang tak dikuasai tradisi puisi bermetrum, irama puisi bebas barangkali datang sepenuhnya dari diri si penyair. Dan akhirnya, pencapaian khazanah itu pun bergantung pada kehadiran sejumlah jenius dari waktu ke waktu, yang memetik sejumlah bahan dari khazanah lain dan mengolahnya hingga menjadi milik sendiri.

Atau mungkin kita perlu melihatnya dari arah lain?

Ya, mungkin. Misalnya: bahwa setiap bahasa, dengan latar belakang dan riwayat yang beragam, akhirnya punya watak berbeda-beda dan menghidupi khazanah sastra yang berwatak tersendiri pula. Dengan demikian, takaran-takaran untuk menimbangnya pun jangan-jangan tak bisa disamakan dan mesti diciptakan sesuai keperluan. Mungkin akhirnya setiap karya bergerak dan mendenyutkan irama yang berlain-lainan: ada yang dengan kaki berjalan atau menari, ada yang bersayap dan terbang tinggi, ada yang bersirip dan menyelam dalam, dan seterusnya. Mungkin.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae