Selasa, 31 Mei 2011

YANG BERPOLA PIKIR, YANG RAJIN MENYINDIR

Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/

1.
Sindiran boleh saja datang, dari siapapun, dan dari manapun. Namun jelas, bahwa si empunya sindiran adalah mereka yang merasa, dirinya sebagai tokoh yang merasa lebih berkepentingan dalam sesuatu persoalan, sehingga merasa pula berhak mengeluarkan pendapat. Saya teringat akanMultatuli, yang dalam “Max Havelaar”nya memperlihatkan kekuatan pena yang luar biasa, lantaran dia menyindir penguasa kolonial di Hindia Belanda, yang semena-mena itu.

Kontribusi Sastrawan Kalsel di Bidang Bahasa

Mahmud Jauhari Ali
http://tulisanbaru-mahmud.blogspot.com/

Dewasa ini sudah sangat banyak karya sastra yang diciptakan oleh para sastrawan Kalsel. Karya-karya sastra yang diciptakan itu mencakup semua genre sastra. Lihat saja betapa banyaknya puisi-puisi yang dihasilkan oleh penyair-penyair Kalimantan Selatan. Penyair-penyair yang saya maksud itu mencakup penyair senior dari angkatan-angkatan terdahulu dan penyair angkatan terbaru—angkatan 2000—yang tak kalah produktifnya. Sebut saja Hamami Adaby, Arsyad Indradi, dan Micky Hidayat yang merupakan penyair-penyair dari angkatan terdahulu. Sedangkan penyair angkatan 2000 seperti Isoer Luweng dan M. Nahdiansyah Abdi. Semuanya menciptakan puisi dengan bermediakan bahasa.

Begitu pula dengan cerpen, pada saat ini di Kalimantan Selatan dengan mudah kita temukan dan kita baca cerpen-cerpen karya cerpenis Kalimantan Selatan. Cerpen-cerpen itu dapat kita temukan baik dalam bentuk cerpen koran, maupun dalam bentuk buku kumpulan cerpen. Nama-nama yang berkaitan dengan cerpen ini seperti Jamal T. Suryanata, Tajuddin Noor Ganie, dan Zulfaisal Putera yang semuanya kreatif menghasilkan cerpen hingga saat ini dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Selain cerpenis senior di atas, cerpenis dari angkatan 2000 seperti Harie Insani Putera, Hajriansyah, dan Dewi Alfianti juga ikut mewarnai sastra Kalsel dengan karya-karya mereka. Pada intinya, karya-karya sastra yang dihasilkan oleh makhluk seni sastra yang disebut sastrawan ini membutuhkan adanya bahasa dalam hal berimajinasi dan berkreativitas. Inilah yang selama ini menjadi anggapan orang pada umumnya jika berbicara tentang hubungan bahasa dan sastra.

Akan tetapi, pernahkah kita berpikir bahwa sebenarnya bahasa yang menjadi media dalam karya sastra itu juga membutuhkan sastra dalam pelestariannya? Pada bagian awal tadi jelas saya katakan bahwa sastralah yang membutuhkan bahasa sebagai medianya mulai dari proses penciptaannya sampai kepada para penikmatnya (masyarakat pembaca). Dengan kata lain, para sastrawan, seperti penyair, cerpenis, novelis, dan esais harus bermodalkan kecerdasan dan kematangan linguitik (bahasa) untuk dapat berkarya sastra. Hal ini memang benar, tetapi harus ada satu catatan penting bahwa sebenarnya bahasa juga membutuhkan sastra dalam pelestariannya. Inilah hubungan bahasa dan sastra yang sesungguhnya, yakni adanya hubungan timbal-balik yang menguntungkan antara keduanya.

Lebih jelasnya adalah bahwa dengan digunakannya bahasa tertentu dalam karya sastra, berarti bahasa tertentu tersebut juga ikut dilestarikan oleh sastrawan yang bersangkutan. Misalnya bahasa Banjar atau bahasa Indonesia digunakan dalam karya sastra jenis cerpen, berarti bahasa Banjar atau bahasa Indonesia juga ikut dilestarikan oleh para sastrawan melalui cerpen tersebut. Melihat hal ini, sebenarnya para sastrawan Kalimantan Selatan selama ini telah ikut berjuang melestarikan bahasa Banjar dan bahasa Indonesia melalui karya-karya sastra yang mereka ciptakan.

Dapat pula kita katakan penciptaan karya sastra juga sekaligus menjadi pendokumentasian bahasa tertentu. Bahasa-bahasa yang digunakan secara tertulis dalam karya sastra secara otomatis didokumentasikan pula oleh para sastrawan. Sebagai contoh, bahasa Indonesia yang digunakan secara tertulis dalam cerpen berjudul ”Lelaki Pemburu Petir” sekaligus juga didokumentasikan oleh Hajriansyah sebagai pengarangnya dalam cerpen tersebut. Dalam kaitannya dengan hal ini, sastrawan Kalimantan Selatan juga dengan sendirinya memiliki tanggung jawab moral yang tinggi untuk menggunakan bahasa Indonesia dan daerah secara benar guna pelestarian bahasa yang mereka gunakan tersebut.

Hal-hal di atas menjadi bukti bahwa para sastrawan Kalimantan Selatan, baik yang bergerak dalam puisi, prosa piksi, esai, dan drama (teater) telah berkontribusi dalam usaha pelestarian bahasa Banjar dan bahasa Indonesia. Apa pun genre sastra yang diciptakan sastrawan dengan bermediakan bahasa tertentu, secara sadar dapat kita pahami pula bahwa bahasa tertentu yang digunakan itu dilestarikan sastrawan dalam penggunaannya dan juga didokumentasikan sastrawan untuk keperluan pelestariannya pada masa depan.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas tadi, sudah saatnya kita memandang sastra tidak hanya sebagai salah satu bagian dari seni, tetapi juga kita pandang sebagai wujud kontribusi yang bermanfaat di bidang bahasa oleh para sastrawan. Ingatlah selalu bahwa hakikatnya antara bahasa dan sastra memiliki hubungan yang erat, yakni saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) karena keduanya saling membutuhkan. Karena itu pulalah, bahasa dan sastra jangan pula kita pandang sebelah mata. Kita semua harus senantiasa secara maksimal memberikan perhatian terhadap perkembangan bahasa dan sastra di Kalimanan Selatan. Hal ini perlu kita lakukan karena bagaimana pun, bahasa dan sastra merupakan bagian dari bangsa kita. Sebagai warga negara yang baik kita tentu tidak cukup hanya wajib membayar pajak, tetapi kita juga wajib memajukan negara ini. Salah satu usaha memajukan negara ini adalah dengan berusaha memajukan bidang-bidang kehidupan yang menjadi bagian dari negara kita. Bahasa dan sastra adalah termasuk bidang kehidupan yang menjadi bagian dari negara kita yang besar ini. Oleh karena itulah, mari kita memajukan bahasa dan sastra guna memajukan negara yang kita cintai bersama. Bagaimana menurut Anda?

Sabtu, 28 Mei 2011

Jawa Timur Negeri Puisi

Arif Bagus Prasetyo*
http://www.jawapos.com/

Perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur masih didominasi puisi. Jawa Timur masih merupakan provinsi penghasil puisi ketimbang provinsi penghasil prosa. Jika mencari siapa penulis prosa yang menonjol di Jawa Timur hari ini, terlebih yang karyanya menasional, kita tak mungkin berpaling dari sejumlah nama senior seperti Budi Darma, Ratna Indraswari Ibrahim, atau Beni Setia yang juga dikenal sebagai penyair.

Tentu saja tak berarti tidak ada pengarang muda di Jawa Timur yang menekuni penulisan prosa. Buku kumpulan cerpen Pleidooi (2009), misalnya, memuat karya 14 cerpenis muda dari Malang. Kita pun tahu bahwa novel karya penyair-prosais muda Mashuri, Hubbu, memenangi sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta beberapa tahun lalu. Belakangan, penyair terkemuka Mardi Luhung juga muncul sebagai penulis cerpen yang berhasil mencuri perhatian publik sastra nasional. Tapi harus diakui, setelah kemunculan fenomenal Sony Karsono pada paro kedua 1990-an, sedikit sekali prosais muda Jawa Timur yang karyanya diperhitungkan di tingkat nasional. Stefanny Irawan, Fahrudin Nashrulloh, dan Lan Fang termasuk di antara segelintir penulis prosa terkini di Jawa Timur yang namanya bergaung di luar pagar provinsi.

Sebaliknya, dunia kepenulisan puisi di Jawa Timur seolah mengalami musim semi abadi. Generasi penyair baru terus lahir melapisi generasi sebelumnya, dan di setiap lapisan generasi penyair itu selalu ada sejumlah nama yang menyeruak ke permukaan medan sosial sastra di luar lingkup Jawa Timur. Buku Pesta Penyair (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009) memberikan peta mutakhir tentang supremasi puisi di Jawa Timur. Antologi itu memuat puisi karya 55 penyair yang masih hidup di Jawa Timur, mulai D. Zawawi Imron (kelahiran 1945) sampai Eny Rose (kelahiran 1992). Terlihat jelas bahwa supremasi puisi di Jawa Timur dikawal oleh barisan penyair yang mencuat pada abad ke-20 (Akhudiat, Mardi Luhung, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto, Anas Yusuf, Aming Aminoedin, dll), mereka yang muncul pada sekitar pergantian milenium (S. Yoga, Indra Tjahyadi, Timur Budi Raja, W. Haryanto, Mashuri, Deny Tri Aryanti, F. Azis Manna, dll), serta sederet pendatang baru (A. Muttaqin, Umar Fauzi, A. Junianto, Dody Kristanto, Alek Subairi, dll).

Mengapa di Jawa Timur puisi jauh lebih subur daripada prosa? Dua faktor penyebab dapat diajukan. Faktor pertama bersifat objektif. Sejak lama, perkembangan sastra di Jawa Timur tidak saja ditopang oleh ruang kebudayaan di media-massa, tetapi terutama digerakkan oleh berbagai forum dan komunitas sastra yang tersebar di seantero wilayah Jawa Timur. Di antaranya berkat ”militansi” para penyair Jawa Timur dari dulu sampai sekarang, forum baca puisi di provinsi ini selalu lebih giat dan lebih semarak daripada forum baca prosa. Banyak kota di Jawa Timur yang punya komunitas sastra aktif: Surabaya, Mojokerto, Jombang, Banyuwangi, Jember, Malang, Batu, Gresik, Lamongan, Ngawi, Blitar, Bangkalan, Sumenep, dsb. Puisi boleh dibilang sudah mentradisi sebagai ”mata uang” utama yang dipertukarkan di antara anggota komunitas maupun antarkomunitas melalui mimbar-mimbar pembacaan puisi. Medan sosial sastra Indonesia di Jawa Timur selama ini cenderung lebih kondusif bagi pertumbuhan puisi ketimbang prosa.

Faktor kedua berhubungan dengan realitas ma­syarakat Jawa Timur sebagai, mencomot istilah Ben Anderson, ”komunitas anggitan” (imagined community). Ketika berbicara tentang Jawa Timur, orang sering lupa bahwa ”Jawa Timur” itu sesungguhnya tidak benar-benar ada atau minimal belum sepenuhnya ada. Sebuah unit administratif bernama Provinsi Jawa Timur memang ada, tapi kita sebetulnya bisa berdebat mengenai keberadaan Jawa Timur sebagai unit sosiokultural yang nyata.

Di Jawa Timur bahasa Indonesia adalah lingua franca, sarana komunikasi bagi sekumpulan penduduk yang berbeda-beda bahasa, tapi dibayangkan sebagai satu kesatuan ”masyarakat Jawa Timur”. Seseorang yang tumbuh-besar di Surabaya, sehari-hari berbahasa Jawa kasar Suroboyoan dan hanya memakai bahasa Indonesia dalam acara resmi, harus menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang Madura dalam kesempatan formal maupun informal. Dia juga harus berbicara dalam bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan kerabat di Ngawi karena bahasa Jawa egaliter Suroboyoan yang dikuasainya akan terdengar kurang ajar di telinga warga Jawa Timur bagian barat. Bahasa Indonesia menebus diskomunikasi dan miskomunikasi di tengah kemajemukan bahasa-bahasa lokal di Jawa Timur. Dengan kata lain, ”bahasa Jawa Timur” sesungguhnya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang memungkinkan imajinasi tentang sebuah Jawa Timur, suatu mozaik beragam subkultur dan bahasa setempat.

Masalahnya, bahasa Indonesia mengandung endapan kenasionalan yang terlalu pekat untuk menyegel keregionalan Jawa Timur. ”Bahasa Jawa Timur” adalah bahasa Indonesia, tetapi bahasa Indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Kepemilikan itu diabsahkan secara historis oleh memori kolektif tentang sebuah Indonesia yang didefinisikan oleh Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Adapun Jawa Timur boleh dibilang tak punya memori kolektif yang cukup solid untuk mendefinisikan diri, untuk dijadikan pijakan mengucapkan diri secara otentik. Ingatan tentang kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur, misalnya Singasari dan Majapahit, sudah terlalu rangup dan sayup dimangsa waktu, bagaikan puing-puing candi yang berserakan di Trowulan. Karya pujangga keraton Jawa Timur sulit diakses oleh generasi kini. Sementara itu, tak ada bahasa pra-Indonesia yang cukup inklusif untuk membingkai memori kolektif tentang sebuah Jawa Timur. Bingkai memori kolektif tentang sebuah Jawa Timur hanya disediakan oleh bahasa Indonesia, tapi bingkai ini selalu terbetot ke luar, ke arah ”bangsa Indonesia”. Jawa Timur tak punya bahasa, kecuali bahasa Indonesia: bahasa yang menyuarakan dan sekaligus membungkam ”Jawa Timur”, membentuk dan sekaligus menyangkal ”masyarakat Jawa Timur”.

Sangat mungkin, posisi ambigu bahasa Indonesia di Jawa Timur adalah faktor ”bawah-sadar” yang mengakibatkan provinsi ini menjadi lahan subur puisi, ragam sastra yang merayakan ambiguitas makna. Menjelajahi medan ambiguitas makna berarti menyusun korespondensi baru antara hal-ihwal, dan itu berarti menciptakan bahasa. Makna ”Jawa Timur” hanya eksis dalam hubungan komunikasi melalui bahasa Indonesia, tetapi eksistensi Jawa Timur baru betul-betul bermakna apabila ia mampu mengucapkan diri secara otentik, menjadikan bahasa Indonesia sebagai milik sendiri. (*)

*) Kritikus sastra, tinggal di Denpasar

Apa Pentingnya Gaya Bahasa?

Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/

ALHAMDULILLAH laman Mata Kata kembali hadir pada Kamis ke empat, bulan Mei 2011. Kali ini tampil penyair Salamet Muntsani (Bandung), I Putu Gede Pradipta (Bali) dan Restu Ashari Putra (Bandung). Ketiga penyair yang tampil dalam kesempatan kali ini, lepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, telah menunjukkan kemampuannya dalam menulis puisi, dengan tema yang beragam.

Bila kita sungguh-sungguh membaca puisi yang ditulis oleh ketiga penyair tersebut, maka akan segera terlihat bahwa mutu sebuah puisi tidak ditentukan oleh panjang dan pendeknya puisi yang ditulis, akan tetapi sangat ditentukan oleh seberapa jauh masing-masing penyair mampu mengolah bahasa, dalam menulis puisinya itu. Dengan itu, tak aneh kalau banyak kalangan yang mengatakan bahwa yang panjang itu belum tentu memuaskan. Tapi yang pendek, bisa mantap, dan segar. Lihat saja sejumlah puisi Haiku yang ditulis oleh para penyair Jepang pada masa-masa awal kelahirannya itu, memberikan angin segar bagi perkembangan dan pertumbuhan puisi dunia.

Sebelum melangkah ke hal lainnya, saya kembali hendak mengatakan, bagi rekan-rekan yang ingin mengirimkan puisi ke laman Mata Kata, puisi harap dikirim ke matakata@pikiran-rakyat.com disertai foto dan biodata. Sayangnya, sejumlah puisi yang dimuat dalam laman ini, hingga hari ini belum bisa memberikan honorarium sebagaimana media induknya HU Pikiran Rakyat. Lepas dari itu, paling tidak laman ini bisa dijadikan ajang silaturahmi para penyair, disamping sebagai rumah untuk saling memperkaya diri dengan pengetahuan, yang mungkin bisa dipetik dan bermanfaat bagi kehidupan di masa kini maupun di masa mendatang.

Dalam kesempatan ini saya hendak menjawab sebuah surat pendek yang saya terima dari Arlina, yang berbunyi, apa pentingnya gaya bahasa dalam menulis puisi? Dengan tegas pertanyaan tersebut saya jawab, penting. Fungsinya tidak hanya mempertegas, mengkonkretkan, atau memperdalaman makna sebuah teks puisi, tetapi juga memperindah teks puisi itu sendiri. Gaya bahasa yang paling sering digunakan dalam menulis puisi, selain bahasa figuratif adalah pesonifikasi. Namun demikian, tentu saja hal tersebut tidak asal tulis. Sang penyair harus memperhatikan dengan cermat logika kalimat yang ada pada teks puisi yang ditulisnya itu. Almarhum Wing Kardjo mengatakan, harus memperhatikan lingkungan teks yang ada dalam puisi yang ditulisnya itu. Dengan baik, penyair Salamat Muntsani menulis puisinya seperti ini:

Cinta adalah kuburan
yang tak satupun tahu
apa terjadi di dalamnya!

Ketika cinta diandaikan atau disamakan, atau diibaratkan dengan kuburan, maka tak satupun orang yang tahu apa yang terjadi di dalam kuburan. Puisi di atas pendek memang, namun tafsirnya bisa ke mana-mana. Dunia cinta yang bagai kuburan itu, tentunya bukan hanya dunia yang tenang dan damai, tetapi juga boleh jadi merupakan sebuah dunia yang panas.

Pahit atau manis harus diterima orang yang tenggelam dalam cinta, dimabok cinta, atau dikubur cinta. Diksi cinta, kuburan, dan dalamnya itulah yang dimaksud lingkungan teks sebagaimana pernah dikatakan Wing Kardjo ketika ia mencontohkannya dengan sebuah teks yang berbunyi: cintaku kepadamu bagai cuka/ yang menghacurkan tembaga// Hubungan cuka dan tembaga bisa kita mengerti, ketika sifat cuka yang asam itu memang bisa merusak tembaga. Jadi dengan demikian, yang main di situ bukan hanya bagaimana membuat ungkapan dengan bahasa yang indah, tetapi juga memperhatikan dengan cerman bagaimana logika dan daya intelektual bekerja di dalamnya. Dilihat dari sisi semacam ini jelas sudah bahwa menulis puisi itu – sesungguhnya – tidak gampang.

Sehubungan dengan itu pula, jelas sudah jangan remehkan gaya bahasa. Untuk itu ada baiknya kita membaca lagi, apa dan bagaimana gaya bahasa itu dengan baik, yang mungkin hal itu, dulu pernah kita pelajari sewaktu masih sekolah di SLTP atau SMA. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)***

Sajak-sajak Salamet Muntsani
MAKAN MAKNA

Cinta adalah kuburan
yang tak satupun tahu
apa terjadi di dalamnya!



LEWAT SAJAK

Lewat sajak kau memelukku
Lewat sajak kau mencumbuiku
Lewat sajak kau lukis hitamku
Lewat sajak kau kirim cinta untukku

Lewat sajak kau tabur kasihmu
Lewat sajak kau telanjangi aku
Lewat sajak kau belah heningku
Lewat sajak kau lulur rinduku

Lewat sajak kau menyetubuhiku
Lewat sajak kau memanggilku

Lewat sajak aku menjadi kau
Lewat sajak kau menjadi aku!



KAU

Kau tikam hatiku
Aku cium bengismu
Kau hancurkan rumahku
Kubawakan kapak untukmu
Kau butakan mataku
Aku terima cahayamu
Kau ludahi aku
Aku telan ludahmu

Kau tendang aku,
Aku diam!

Salamet Muntsani. Lahir di Sumenep, 11 September 1981. Saat ini kuliah di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tinggal di Jl. A.H. Nasution No. 505 Cibiru-Bandung. No. Kontak: 087822102020
***

Sajak-sajak I Putu Gede Pradipta
TIKUS DAN SEPOTONG KISAH

Tikus itu masuk ke dalam tubuhku. Ia tetaskan
matahari sembilan warna. Beragam rupa beragam
corak. Kukira juga dengan beragam cerita. Meski
tak mengikutkan hujan dan bau tanah yang asing.

Tepat di jantung ia lakukan semuanya. Dibuatnya
darahku panas mengalir. Kini tubuhku sudah api.
Siapa berani? Mari dekati.

Sekali lagi kuberi tahu. Tubuhku api. Siapa berani?
Mari dekati kemari.

Mari setubuhi aku. Makhluk tanpa kelamin. Yang
resah mencari liang yang risau mengejar bayangan
sendiri.

Aku mohon. Pada kalian. Dekati aku!
Agar lekas kurampungkan sepotong kisah ini.

16-4-2011



KEPALA BATU

Gadis itu meluncurkan belati tumpul ke tatapanku.
Setelah kukoyak bagian putih hatinya dengan racun
kata-kata paling biru.

Pisah sudah. Kita mesti berpisah!
Pecahkan etiket hati berwarna merah yang telah rekat
di dada ini. Karena setiap janji selau membenih cermas
menjalarkan risau dan mengudar deret keberpuraan.
Setiap kejujuran kerap ganjil dan tak pernah sekalipun
kasat untuk diterjemahkan.

Tetapi, meski berkali-kali kulontarkan kata pisah. Tetap
keras kemauanmu mengepal erat diriku. Lalu segudang
alasan klasik. Setumpuk alibi kontemporer. Selaksa
rayuan mendayu-dayu.

Di ujung sabar air mata pun tak dapat dibendung.
Tetap kau paksakan aku bersamamu.

2010- 2011

I Putu Gede Pradipta lahir di Denpasar, 18 Desember 1988. Pendidikan terakhir Mahasiswa Pendidikan Biologi (rela berhenti). Kini setia otodidak menulis puisi sesekali cerpen dan catatan kecil. Ebook puisinya bertajuk Sekumpulan Puisi I Gede Putu Pradipta (Evolitera, 2010).Email: putugedepradipta@yahoo.com
***

Sajak-sajak Restu Ashari Putra
MAHA SAMUDERA DESEMBER

akan kukembalikan
desember yang pernah
kau pinjamkan tempo dulu
saat kita menjarah bulan
di tepi pantai
yang arahnya tak tentu
dari selatan ke timur
tak habis habis kita memuja
maha samudera
padahal dada kita lebih lautan
membentang layar, menantang gelombang
sementara kita terus mencatat
badai demi badai yang menabrak
dinding perahu hingga kandas
hingga terhempas

2010



SEHABIS DARI MANGGARAI

mulai malam ini
aku belajar menulis surat
undangan kematian
dan mengirimnya pada rumah,
gubuk-gubuk pinggir jalan,
pada lelaki renta
dan tongkatnya yang tua
mungkin nasib semacam angin malam
yang riuh dan berisik mengepakkan sayapnya
menabrak kaleng,
mengetuk tiang-tiang,
kemudian mengganggu tidur
para sopir di terminal
sedang jarum jam bagai kopi hitam
yang selalu membuat mata
tegang dan terjaga
sementara aku
kembali lagi belajar
mengirim undangan
khusus kepada ibu
yang sedang merebus batu
yang tertawa senyum-senyum
dengan bahagia
memerhatikan anak semata wayangnya
melilitkan tali di lehernya
lalu dengan penuh damai
mereka merayakan
makan malam bersama
tanpa lagu-lagu, tanpa nyanyian
dikelilingi anjing-anjing liar
yang lapar. matanya bengis.
mungkin nasib semacam angin malam
yang menendang kardus-kardus
menerbangkan koran-koran
mengapungkan harapan

2011



PADA SAJAK YANG KESEKIAN

pada sajak yang kesekian
aku baru mengerti
ternyata tubuhku adalah
potongan hujan
yang basah di halaman
rumahmu
dan setiap kali aku datang
aku baru paham
bahwa kau ingin menjaringnya
menjadi sekian kumpulan malam
yang amat pribadi dalam tubuhku
yang tak habis habisnya kaubaca kautelaah
sebelum bulan pudar di tengah kota
dan matamu tenang terpejam
sebagai doa

2010-2011

Restu Ashari Putra lahir di Jakarta, 31 Desember 1985. Bergiat di Komunitas Rumput dan jadi jamaah Majelis Sastra Bandung (MSB). Kini tengah merampungkan studinya di Jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung sambil belajar menulis puisi dan prosa. Puisinya singgah di antologi “Empat Amanat Hujan” (DKJ, 2010) dan cerpennya dalam antologi “Bersama Gerimis” (MSB, 2011). Puisi-puisinya juga dipublish di blog pribadi: www.katarestu.wordpress.com. Tinggal di Jl. Merkuri Utara VIII No.1 Margahayu Raya, Bandung. Alamat surat restu_freedom@yahoo.com, No kontak: 085781660989.*

Rabu, 25 Mei 2011

‘Gerakan Tirani Sastra’ Taufiq Ismail

Binhad Nurrohmat*
Borneonews, 28 Oktober 2007

Akademi Jakarta (AJ) menyelenggarakan diskusi bertopik seputar cakrawala penciptaan dan pemikiran pada Agustus 2007 lalu di TIM, Jakarta, yang mendatangkan pembicara antara lain Yudi Latif dan Karlina Leksono serta dihadiri anggota AJ antara lain Rendra, Nh. Dini, Rosihan Anwar, Ahmad Syafii Maarif, dan Misbach Yusa Biran. Dalam diskusi itu saya mempertanyakan dan menuntut pertanggungjawaban AJ yang menggelar acara Pidato Kebudayaan Akademi Jakarta 2006 oleh Taufiq Ismail yang berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka” di TIM, Jakarta, Desember 2006 silam.

Isi pertanyaan dan tuntutan saya itu relevan dengan topik diskusi itu. Apa maksud dan tujuan isi pidato karangan Taufiq Ismail (TI) itu? Kenapa pidato yang sesak eforia hujatan dan penistaan terhadap karya sastra itu disokong oleh AJ?

Alasan pertanyaan dan tuntutan saya itu adalah isi pidato TI itu bertentangan dengan semangat penciptaan dan apresiasi yang mestinya dihormati dan dijunjung tinggi oleh AJ. Selain itu, isi pidato TI itu berpotensi merangsang terbentuknya opini publik yang menyesatkan serta menggalang dan menggerakkan massa yang terprovokasi pidato penyair Tirani dan Benteng itu.
Tanpa disangka Misbach tiba-tiba menyela dan mengatakan forum diskusi itu bukan tempat mempertanyakan masalah pidato Taufiq itu. Aih, apakah Misbach berani mengatakan itu karena dia anggota AJ? Oke, balas saya kepada Misbach. Lantas, saya bertanya: bila bukan dalam forum diskusi itu, kapan dan di mana saya diperkenankan mempertanyakan masalah pidato TI itu? Misbah bungkam, Nh. Dini dan Rosihan Anwar juga bungkam. Tapi, Rendra segera angkat bicara dan berterima kasih atas pertanyaan dan tuntutan saya itu dan berjanji bakal membawa “masalah” pidato Taufiq itu dalam rapat AJ dan hasil rapat itu akan dikabarkan ke saya. Rendra telah “menyelamatkan” muka AJ dalam diskusi itu.

Akademi Jakarta dan Taufiq Ismail Harus Mohon Maaf!

TI secara tiranik menguasai mimbar “kekuasaan” AJ dan menggenggam erat mikrofonnya untuk mengumandangkan pidato yang bertujuan membumi hangus semangat penciptaan dan apresiasi sastra yang berbeda pandangan dengannya. Ulah pongah petinggi majalah Horison itu terwujud lantaran sukses memanfaatkan kekuasaan AJ, bukan karena kekuatan gagasan intelektual, dan yang tanpa rasa malu secuil pun mengklaim adanya Gerakan Syahwat Merdeka (GSM) di negeri ini dan yang dituduhnya sebagai “maling dan garong genitalia, berserikat dengan alkohol, nikotin dan narkoba, menjadi perantara kriminalitas di masyarakat luas, mencecerkan HIV-AIDS dan aborsi, bersuluh bulan dan matahari “ sebagaimana alenia akhir pidatonya itu.

Berawal dari isi pidato itu, berkecamuklah perseteruan demi perseteruan antar (kelompok) sastrawan serta meruyakkan kedangkalan pikiran nan seram dan menyesatkan melalui tulisan keras membara di koran maupun forum sastra yang riuh suara hujatan dan nistaan. Sungguh, pidato produk tirani TI itu sukses menabuh genderang perang dan menyulut gerakan yang menghujat dan menindas kecenderungan tertentu dalam penciptaan sastra di negeri ini.

Dari mimbar pidato AJ itu kehebohan yang tak perlu dan berbahaya menggelindingkan bola salju percekcokan demi percekcokan dari koran ke koran, dari sms ke sms, dari mulut ke mulut, dari milis ke milis, dari forum ke forum, dari kota ke kota. Hasilnya: pertengkaran demi pertengkaran belaka. Dari hulu beracun, sampai muara pun racun. Efek pidato buruk TI itu memecah belah antar (kelompok) sastrawan dan mencemari kesehatan iklim penciptaan di negeri ini.

Sungguh memprihatinkan, bukan? Tapi, AJ tampak tak mau tahu atau mendengar percekcokan demi percekcokan berbahaya akibat pidato TI itu atau pura-pura tak menyimak belaka. Ah, kura-kura Akademi Jakarta dan Taufiq Ismail dalam perahu.

AJ dan TI harus mohon maaf secara terbuka kepada khalayak atas pidato itu dan semua dampak buruknya, sebab merekalah biang kerok percekcokan antar (kelompok) sastrawan itu. Jika tak mohon maaf, sesungguhnya AJ memberangus sendiri kehormatannya lantaran secara terbuka “mendukung” gerakan tirani sastra TI itu.

Aku Pidato, Maka Aku Ada

TI berhasil menunggangi AJ untuk kepentingan pandangan sastranya serta meminggirkan, menindas, dan mengganyang pandangan sastra yang berbeda dengannya. Jargon orisinil karangan TI yang digemakan melalui mimbar pidato Akademi Jakarta itu maupun tulisannya di media massa, misalnya Gerakan Syahwat Merdeka (GSM), Sastra Mazhab Selangkang (SMS), dan Fiksi Alat Kelamin (FAK) begitu gemilang mencuri dan meracuni opini publik dan jadi senjata massal yang gampang digunakan oleh sejumlah pihak untuk menyerang pengarang dan karya yang diklaim sebagai komponen GSM, SMS, atau FAK.

Sesungguhnya, tanpa dasar teori atau ayat suci pun, menurut akal sehat isi pidato TI itu terbukti ngawur sama sekali, sebab GSM, SMS, dan FAK itu dalam kenyataannya tak ada. GSM, SMS, dan FAK merupakan jargon orisinil karangan TI untuk menista karya sastra belaka. Jargon-jargon itu bentuk kelicikan bahasa intrik TI untuk menghancurkan citra karya sastra menurut opini pribadinya yang sarat kebencian dan permusuhan.

Apa dasar Taufiq mengklaim adanya GSM, SMS, dan FAK dalam sastra? Jika dasarnya adalah erotisme, apakah erotisme merupakan kesalahan dan apakah ukuran erotis atau bukan? Jika dasarnya adalah unsur kecabulan, apa batas kecabulan atau bukan?

Isi pidato TI di mimbar AJ itu sama sekali bukan apresiasi yang sehat lantaran tak proporsional dalam menilai karya sastra. TI tak mendasarkan isi pidatonya pada kenyataan karya sastra dan cara pandang yang adil terhadap karya sastra. Bila pun isi pidato TI itu menghebohkan, diamini, dan direaksi banyak orang, tak lain dan tak bukan karena efek sensasi tong kosong nyaring bunyinya. Ah, agaknya sang penyair Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia itu pemeluk teguh paham “Aku pidato, maka aku ada”. Ah, bikin malu saja!

* Binhad Nurrohmat, Penyair
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/10/esai-gerakan-tirani-sastra-taufiq.html

Sastra (mistik) Puncak Merapi

(Catatan Orang Maiyah Sebagai Relawan Merapi)
Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/

Seberapa maksimalkah kemampuan media, relawan, tim SAR, atau pihak terkait sekali pun dalam pemberitaan hiruk pikuk seputar Merapi? Pertanyaan diatas jika ditarik pendekatan metodologi semisal dari 293 titik pengungsi, ternyata yang didatangi media massa sebagai bahan liputan hanya 2 prosennya saja, tentu akurasi datanya tak memadai untuk dijadikan bahan kaji metodologi keilmuan dalam rangka menentukan ketepatan penyelesaian Merapi tahun tahun mendatang.

Ketidaktepatan team ahli dalam menentukan prediksi penanganan Merapi merupakan rujukan kelemahan sistem keilmuan modern. Contoh: 1. Kenapa pemerintah justru menempatkan pengungsi di kawasan Kali Urang yang justru kawasan itu dilibas awan panas-wedhus gembel? 2. Kenapa lokasi pemakaman massal yang salah satunya adalah jenazah Mbah Maridjan, juga kawasan yang besoknya dilibas wedhus gembel? 3. Data rekam seismograf dengan perlakuan Merapi itu sendiri berlawanan. Ketika temperatur seismograf melunjak fluktuasinya, terbukti tidak mengeluarkan lahar dingin atau awan panas. Tetapi ketika getaran terdiam, justru tiba-tiba menyembur. Inilah bahaya Merapi dibanding gunung me-rapi lain. Dari sinilah terkesan bahwa penanganan musibah letusan Merapi cenderung dipolitisir dan diperdagangkan pakar dan media.

Sejak dulu, penduduk sekitar Merapi tidak pernah mengatakan istilah ‘Merapi meletus’. Melainkan merapi akan memberi rizki berupa pasir dan lahar dingin vulkanologis. Semenjak Merapi ditangani media, barulah muncul istilah letusan yang direduksi dari tata keilmuan modern.

Keterlibatan media tersebut awal pecahnya pertarungan teori modern dengan teori (klasik) mistis di Merapi dalam menangani bencana letusan kali ini. Siapa yang menang? Media menang dengan jumlah omzet pemberitaan, tapi kalah dalam menentukan prediksi kronologisnya. Sebab alternatif yang ditentukan ahli terbukti memperparah keadaan. Sementara mistis (klasik) menang: mampu menghentikan amukan Merapi, tapi kalah dengan jumlah korban.

Keanehan yang muncul pascaletusan Merapi, semisal gugusan awan panas yang menyerupai sosok Petruk dalam cerita wayang Jawa, sosok pria berpakaian Jawa yang tiba-tiba muncul menemui Yati (istri Ponimin / pengganti Mbah Maridjan) yang mengatakan kepada Yati bahwa ia akan mengobrak-abrik keraton Jogjakarta, bagi ilmuwan hanya disejajarkan dengan keunikan alam itu sendiri. Tapi bagi masyarakat merapi merupakan fenomenologi ilmu tersendiri.

Secara mistis, warga Merapi meyakini bahwa Merapi dihuni oleh 5 makluk gaib yaitu: Mbah Petruk, Mbah Gringsing, Mbah Sapu Jagat, Mbah Mangir dan Mbah Jumadil Kubroh. Kelima roh halus itu masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri. Mbah Petruk yang dimaksud bukan Petruk tokoh wayang Jawa. Ia adalah roh sesepuh kerajaan Mataram, yang dalam percaturan Merapi bertugas menguasai awan panas, Mbah Sapu Jagat memegang kendali arah angin, Mbah Gringsing menguasai lahar dingin, Mbah Mangir menguasai debu, Mbah Jumadil Kobroh memeta kawasan.

Pemahaman warga Merapi yang demikian merupakan sikap Humaniora yang dijelaskan Supaat I. Lathief dalam bukunya: Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius (Pustaka Ilalang 2008) sebagai prilaku ‘moral’ manusia dengan alam lingkungannya. Dimana manusia sebagai kesadaran, berhak mengatur, memiliki dan memberi makna pada alam semesta. Sengaja Supaat I. Lathief menyebutnya moral, dan bukan akhlak. Yang menurut paparan Fritz Kahn: social ethic relation without harming each other. Atau, yang menurut istilah Emha Ainun Nadjib warga Merapi tidak menentang mitologi, melainkan melengkapkan keharmonisan ‘cinta’ dengan seluruh komponen Merapi.

Memahami hal di atas, memperjelas pemahaman posisi Mbah Maridjan. Juru kunci Merapi artinya orang yang ajeg menjalin keharmonisan dengan warga sekitar, dengan 5 roh halusnya dan dengan keraton (Hamengku Buwono IX). Ia yang mendekap dan meng-elus-elus Merapi. Maka kematian Mbah Maridjan sebetulnya sujud ke arah Barat, sebab saat wedhus gembel datang, Beliau sedang duduk seusai sholat malam. Setelah diterima Alloh atas baktinya, Mbah Marijan kemudian diputar ke arah Selatan oleh daya luncur awan panas yang mencapai 100 km/jam, sebagai bukti pengabdian ke HB IX.

Keajaiban saat letusan Merapi juga dialami Ponimin sekeluarga. Irrasional, hanya dengan bersembunyi di dalam mukena Yati, Ponimin dan anaknya tidak tertembus awan panas. Padahal daya luncur awan panas mampu menjebol serta melemparkan pohon kelapa sejauh 300 meter. Barulah Ponimin kemudian diajak turun gunung oleh krew relawan Bronto Seno.

Ketika pemerintah menetapkan 17 km batas aman steril, tak banyak nyali relawan yang mengevakuasi. Kecuali hanya berpura-pura naik ke puncak, tapi berhenti di perjalanan. Tetapi team relawan Bronto Seno termasuk Hendrik yang dengan kepiawaiannya menyetir mobil, berani menembus hingga 200 meter dari kawah. Sedangkan Hengki adalah warga sekitar yang jauh hari sebelumnya sudah merakit motor crossnya yang ia desain lengkap dengan mikrofon dan speaker. Kegilaan Hengki, ia berani memacu motornya ke atas saat awan panas meluncur. Seraya berteriak menyerukan turun pada warga dengan speakernya.

Tidak seperti team SAR yang dilengkapi jaringan radio telemetry, team Bronto Seno hanya mendeteksi ulah wedhus gembel (rock avalance) dengan gelembung kesadara rasa. Berkali-kali, ketika mereka me-rasa harus turun, mereka turun. Dan setengah jam kemudian bekas lokasi evakuasi team Bronto Seno ini barulah dilibas wedhus gembel. Untungnya mereka sempat mengabadikan dengan kamera hp tempat-tampat yang beberapa saat kemudian diterjang wedhus gembel. Team Bronto Seno lega setelah guru spiritualnya (Emha) berhasil menegoisasi 5 penghuni roh Merapi. Disaksikan anggota rombongan, sang guru mengatakan! ”Kita turun! Menyiapkan segi finansial selanjutnya. Wedhus gembel sudah masuk ke kandangnya. Mereka bukan Sabdo Palon yang jatah waktunya kedaluwarsa 70 tahun silam pada siklus 500 tahun yang disumpahkan. Mereka juga bukan Mbah Jumadil Kubroh yang dendam pada islam Jawa. Sebab pascalengsernya Majapahit ke Demak, justru Sunan Kalijagalah yang menata. Mereka hanya marah pada Hamengku Buwono X yang tak lagi memangku Jogjakarta, melainkan bernafsu menguasai Indonesia. Mereka marah pada 3 desa disekitar bukit, yang masing-masing berpredikat desa maling, desa free sex dan desa judi. Terbukti tidak ditemukannya seruak ‘takbir’ saat mereka diserang wedhus gembel. Toh nanti masih ada neraka jika mereka belum sadar.” Ungkapan guru spiritual itu dikatakan jauh sebelum Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Kementrian ESDM menyatakan Merapi redah.

Tentu ada yang mendasari keberanian team Bronto Seno. Yaitu mengedepankan hegemoni cinta sebagai pemimpin kesadaran mereka. Team ini memahami bahwa teori Jawa memberlakukan ilmu dan alam sebagai subyek. Memanusiakan alam. Terbukti dengan pemberian nama pada keris semisal Keris Empu Gandring, Kyai Sangkelat,Tumbak Kyai Pleret dll. Sedang Barat, memberlakukan ilmu dan alam hanya sebatas obyek.

(esai liputan Padhang mBulan tanggal 21 Nopember 2010)

*) Penulis lahir di Jombang 24 Maret 1975. Redaktur Bulletin Lincak Sastra. Email: sabrank_bre@yahoo.com

PURITISME DALAM SASTRA INDONESIA

S Yoga
http://terpelanting.wordpress.com/

Sebenarnya sudah lama hal ihwal kelamin menjadi pembicaraan dalam dunia kesenian kita, misal dalam candi-candi, candi Borobudur juga ada hal ihwal berhubungan antara lelaki dan wanita, dalam serat Centhini bahkan digambarkan bagaimana harus bermain, hari apa sesuai wetonnya dan ciri-ciri wanita dengan hal ihwal perempuan, bahkan dalam gua-gua sudah terpancak relief-relief yang bergambar kelamin, perhatikan lingga yang bersimbol penis juga. Ingat pula dalam Kamasutra, Asmorogomo, Ars Amatoria, dari buku (meski ini bukan karya sastra) Sanksekerta, Jawa dan Latin ternyata karangan-karangan itu tidak menunjukkan dan terkesan tuna susila atau pornografi, padahal menguraikan teknik hubungan seks dan seluk beluknya.

Jadi kenapa dalam masyarakat yang tambah modern ini kita jadi uring-uringan tentang hal ihwal perempuan maupun laki-laki, jangan-jangan tambah maju kita justru tambah puritan. Seolah merekalah yang berhak menentukan tata susila yang berlaku. Estetika dalam karya sastra haruslah sesuai dengan moral mereka kalau tidak maka karya tersebut bersifat tuna susila. Karya yang menguar kelamin dianggap sebagai sastra populer, kurang bermutu. Kalau ini terjadi maka terjadilah sikap puritisme dalam sastra Indonesia. Pertanyaan kita mereka itu mewakili kelas apa? Kelas menengah-atas atau kelas bawah yang melihat kemajuan zaman dengan enjoy dan rileks.

Tulisan Imam Cahyono Berharap kepada Perempuan Penulis, Sinar Harapan, 21/12/2003 setali tiga uang denga peristiwa kontra goyang Inulmania beberapa waktu lalu. Seolah kalangan menengah benar-benar ditelanjangi tata susilanya diudal-udal oleh Inul, dan marah-marah karena mereka menganggap apa yang dilakukan Inul itu tidak sopan, berdosa dan harus diberantas. Tapi apa yang terjadi, karena Inul adalah ikon pemberontakan, (bahkan dalam majalah Time, Inul disamakan dengan fenomena Joan Jet) resistensi, dari budaya masyarakat bawah, budaya massa maka Inulmania tetap lestari, khususnya di kalangan bawah, itulah perlawanan budaya yang dilakukan masyarakat bawah menghadapai budaya kelas menengah yang dinilai terlalu kaku, dogmatis dan hanya melegitimasi status quo mereka saja, sebagai pengemban peradaban. Di mana pun kita berada pasti ada sebuah kutub budaya, sejak zaman dulu hingga sekarang, yang satu mengatasnamakan budaya adiluhung yang satu mewakili budaya pinggiran, bawah dan selalu dinilai jelek oleh kalangan menengah-atas. Tapi jangan lupa, melihat Inul bergoyang kita marah-marah dan menyalahkan moralitas yang diusung Inul, padahal diam-diam suami kita asyik mengoleksi vcdnya, bergoyang di diskotek, atau langanan majalah Playboy. Inikah gambaran masyarakat kita yang tertutup tapi ketika ada kesempatan diam-diam berasyik ria. Itulah cermin masyarakat yang munafik dan mau menangnya sendiri. Nilai-nilai estetik seolah merekalah yang memegang dan kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang mereka percayai maka semua karya seni adalah buruk dan tuna susila.

Di dalam sejarah sastra dunia kita telah mengetahui pernah terjadi penindakan pemerintah terhadap pengarang dan karya sastra yang didakwa isinya telah melanggar moral umum. Di Perancis pengarang Gustave Flaubret pernah dipanggil ke muka hakim untuk mempertanggungjawabkan penulisan romannya Madame Bovary yang dianggap tidak sopan. Demikian juga pemerintah Inggris dan Amerika telah melarang terbitnya Ulysses karangan James Joyce dan Lady Chatterley’s Lover karangan D.H. Lawrence yang menguar masalah homoseksual dan lesbian dengan alasan yang sama. Namun demikian seiring berjalannya waktu karya-karya tersebut ternyata medapatkan kedudukan yang terhormat dan menjadi karya klasik, kelas satu.

Jika kita mempermasalahkan karya sastra para pengarang muda yang berjenis kelamin perempuan, Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Dee Lestari, Herlinatiens, Fira Basuki dan masih banyak lagi, yang dianggap karyanya lebih bersifat sesaat dan pupuler karena banyak mempermaikan alat kelamin, tuna susila maka yang perlu pertanyakan siapa sih yang memiliki otoritas dan berhak menentukan kesopanan atau esetika sastra itu? Perlu diketahui bahwasanya ukuran-ukuran tuna susila dalam sastra dari waktu ke waktu senantiasa berubah menurut zamannya. Dulu ketika terbit roman Armjn Pane, Belenggu, pada tahun 1940 tidak sedikit orang merasa tersingung kesadaran susilanya oleh adegan tokoh utama dokter Sukartono yang menghadapi pasien perempuan yang tersingkap kainnya sehingga tampak bagian pahanya. Sekarang karena perkembangan zaman, era globalisasi, bertebaran roman-roman picisan, Nick Carter, tabloid lher di mana-mana, vcd porno marak, adegan ciuman di film tv, sudah biasa, akses internet sangat terbuka, adegan di dalam Belenggu itu boleh dikata sama sekali tidak menjadi perhatian pembaca karena tidak menyinggung kesadaran apa pun, kecuali membangkitkan kesan-kesan yang sentimentil.

Karya sastra yang mengandung pengalaman erotik dengan uraian yang plastis sampai kepada kejadian yang sekecil-kecilnya dapat kita jumpai juga di dalam karya sastra daerah. Barangsiapa yang mempelajari sastra Jawa tentu akan mengenal Gatoloco, karangan yang berisi ajaran mistik Islam Jawa yang sudah tergolong dalam karya-karya klasik, yakni karya-karya yang telah memperoleh kedudukan yang terpadang dan terhormat di tengah-tengah bacaan lain. Mistik di dalam karangan itu diuraikan melalui simbolik seksual. Sekalipun memiliki suasana lokal serta bentuk ekspresi yang lain, karangan itu amat dekat sifarnya dengan puisi mistik India seperti yang terkadung dalam Prem Sagar dan Gita Govinda atau dengan sajak-sajak Arab-Persi seperti yang dikarang oleh Hafiz dan Ibn Hizam yang mempersenyawakan juga persatuan antara Khalik dan makhluk dengan persatuan tubuh antara laki-laki dan perempuan.

Kalau dibaca adegan itu saja dengan tidak memperhatikan keseluruhan cerita, maka berhak kita mengecap pengarang-pengarang itu sebagai pengumbar tuna susila. Demikian juga dengan karya-karya sastra lain bila kita hanya memperhatikan peristiwa hal ihwal kelamin maka karya tersebut bisa bersifat cabul. Tapi karya sastra itu adalah keutuhan dan tak bisa dipisah-pisahkan, motif-motif tokoh-tokohnya untuk melakukan hal-hal tersebut yang perlu ditandai, kenapa tokoh tersebut melakukan hal itu, pengarang ingin melukiskan karakter-sifat macam apa, tinggal pembaca mengambil hikmahnya dari peristiwa tersebut. Misal dalam cerpen Djenar Mahesa Ayu yang berjudul, Aku Menyusu Ayah, ia sedang mendekontruksi patriaki dalam peradaban kita. Jadi tema utamanya adalah kebiasan gender antara laki-laki dan perempuan dan bukanya mengeksploitasi alat kelamin dan sekitarnya, bedakan dengan karangan-karangan roman picisan yang benar-benar mengeksploitasi alat kelamin agar kita benar-benar terangsang dan berdebar-debar, dan ceritanya hanya gerakan-gerakan bersetubuh yang itu-itu juga, kadang kita menjadi muak. Tapi dalam karya-karya pengarang perempuan yang sengaja dikutip Imam Cahyono, hal itu tidak terjadi, para pengarang hanya melukiskan bahkan itu hanya dalam percakapan, keinginan atau kehendak untuk melakukan persetubuhan tanpa detail-detail yang merangsang kita, itu merupakan peristiwa yang memang mestinya terjadi dalam cerita, tanpa hal itu cerita tidak akan terangkat apa yang diinginkan pengarang baik karakter, tema, suasana dan gaya.

Karya sastra seperti yang kita ketahui, setiap karya seni yang berhasil, adalah suatu kesatuan yang organis yang mengandung kepaduan gaya, suasana dan cerita. Kesatuan itu terdukung oleh tema yang pokok. Dari asas estetik ini kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa selama adegan yang menguraikan secara terperinci perbuatan seks merupakan unsur yang organis di dalam kesatuan karya sastra sehingga jika ditiadakan akan mengganggu dan merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita, maka tidak berhaklah kita menunduh karya sastra itu tuna susila atau hanya bersifat populer. Sebaliknya di dalam karya yang bersifat pornografi adegan-adegan seks dapat dihilangkan tanpa mengganggu atupun merusak kepaduan gaya, suasana dan cerita. Ada baiknya tulisan ini kita tutup dengan petikan puisi La Ronde karya Sitor Sitomorong yang terkenal itu karena melukiskan persetubuhan.

Lalu, paha, pualam pahatan
mendukung lekung perut.
Berkisar di pusar, lalu surut
agak ke bawah, ke pusar segala.

Hitam pekat siap menerima
dugaan indah.
Ah, dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan mimpi lelaki !

Ke Belinyu Saja, Melihat Kota Tua Timah

Y. Thendra BP
http://langit-puisi.blogspot.com/

Sementara saya menampik tawaran mengunjungi Pantai Tanjung Bunga, Hutan Wisata TuaTunu, Kuburan Cina Sentosa, Katedral ST. Yosef, Kuburan Akek Bandang, Museum Timah Indonesia, Rumah Eks Residen, Perigi Pasem, Tugu Kemerdekaan, Kerhof, yang ditawarkan oleh dinas Pariwisata Bangka-Belitung lewat buklet bagi peserta Temu Sastrawan Indonesia II yang hendak melancong.

Bukan karena tempat itu tidak menarik, tapi saya ingin sesuatu yang beda. Saya ingin mengunjungi objek wisata yang tidak terpromosikan. Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, tempat seperti itu kadang memiliki pesona yang tersembunyi.

Gayung bersambut! Kebetulan Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Darma Romansah, (Yogyakarta), Nur Zen Hae beserta anak istrinya (Jakarta), Risa Syukria (Siak), dan Dahlia (Palembang), hendak bertandang ke rumah Sunlie Thomas Alexander di Belinyu.

Bersama rombongan peserta Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang (30 Juli-2 Agustus 2009) yang masih belum bergegas pulang ke daerah masing-masing meski event tahunan itu sudah usai, saya menumpangi bus Damri yang disediakan oleh dinas Pariwisata negeri Timah itu.

Selama perjalanan dari Pangkalpinang ke Belinyu, saya pergunakan untuk melihat daerah yang dilintasi dari kaca bus yang melaju dalam angin petang. Beberapa kali saya tertegun, setiap kali melihat bekas-bekas lubang tambang timah yang ditinggalkan dan terbengkalai. Dan pohon-pohon yang tidak seramai laiknya di tepi Lintas Sumatera, berjajar rapat menatap bus yang melintas.

Duh, kegersangan yang menciptakan kesedihan. Tapi saya musti melihatnya. Melihatnya sebagai pelancong yang hanya bisa bertanya “kenapa?” tanpa menemukan jawaban yang memuaskan. Sebab tidak ada guide dalam rombongan kami selama perjalanan di bus itu. Diam-diam, kami seperti bersepakat menjadi guide bagi diri kami sendiri. Seperti sengaja menciptakan pertanyaan-pertanyaan bagi diri kami sendiri dan dijawab oleh diri kami sendiri.

Tak terasa lebih kurang 3 jam, bus itu mengantarkan kami ke kota kecamatan Belinyu. Sebuah kota tua yang didirikan karena pertambangan timah.

Kami disambut deretan bangunan-bangunan tua dan ruko-ruko yang sebagian besar tutup. Padahal baru jam 5 sore. Lagi-lagi saya didera pertanyaan “kenapa?”

Karena tidak tahan, saya pun bertanya kepada Sunlie, “Kenapa ruko-ruko di sini tutup?”

“Di sini orang-orang berdagang cuma sampai jam 4 petang,” jawab Sunlie.

Lalu ia mengajak saya masuk ke rumahnya, menyusul yang lain.

Di depan pintu, saya disambut oleh Mama Sunlie yang berumur sekitar 60-an dan ramah. Ia Menyapa saya dalam bahasa Cina Hakka. Saya cuma bisa memberi senyum, lantaran tidak faham bahasa Hakka itu.

“Mama saya tidak bisa ngomong dengan bahasa Indonesia,” ucap Sunlie.

Di Belinyu sekitar 30 persen penduduknya adalah Cina Hakka.

Dalam sejarah Cina perantauan (Overseas Chinese) ke Asia Tenggara, setidaknya dikenal 5 kelompok besar yang datang dan menetap, yaitu Hokkian,Hakka, Tiochiu atau Hoklo, Kanton, dan Hailam.Kelompok Hokkian dan Tiochiu dikenal sebagai kelompok pedagang, Kanton sebagai kelompok pengrajin dan tukang kayu.

Hakka sebagai pekerja tambang dan perkebunan. Dalam sejarah, Hakka adalah kelompok terakhir yang datang ke Indonesia . Mereka datang berombongan untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang dan perkebunan.

Kedatangan Hakka pertama adalah ke Mandor dan Montrado, pertambangan emas yang dikonsesi oleh Sultan Mempawah dan Sambas, Sekitar awal tahun 1700, mereka didatangkan dalam jumlah besar melalui Serawak.

Ketika tambang timah di Bangka di buka sekitar pertengahan tahun 1700, yang disusul kemudian di Belitung, beratus-ratus orang Hakka dikapalkan ke Bangka. Dan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1800. Rata-rata didatangkan dari Meixien. Mereka datang tanpa membawa istri.

Ketika kontrak habis hanya ada dua pilihan, kembali ke Cina atau menetap di sekitar lokasi tambang. Bagi mereka yang tidak pulang membuka permukiman di Bangka, seperti di Belinyu.

Putusan untuk menetap diikuti dengan mengambil wanita setempat sebagai istri.

Arsitektur permukiman mereka telah berbaur dengan budaya setempat. Namun yang masih terlihat menonjol adalah banyaknya tapekong (tempat pemujaan besar kecil dalam permukiman itu).

Berbagai perayaan besar dalam tradisi Cina masih mereka lakukan. Sembahyang Imlek masih dirayakan dengan ketat, seperti pantangan menyapu pada hari Imlek, saling memberi Angpau, perayaan Cengbeng atau Cingming (perayaan bersih kubur leluhur). Begitu pula dengan Cioko atau sembahyang rebut, masih dilakukan.

Yang tak kalah menarik, di Belinyu memiliki tradisi mengadakan pembakaran Taiseja. Dalam perayaan itu juga disertakan berbagai replika alat transportasi seperi kapal laut, kapal terbang, dan sebagainya. Menurut Sunlie, itu disediakan bagi arwah-arwah orang Cina yang hendak pulang ke negeri leluhur.
Sayangnya, saya tidak datang pada saat perayaan itu berlangsung.

Namun, jalan-jalan melewati rumah-rumah kuno beraksitektur campuran Melayu-Cina-Belanda, pedagang buah-buahan, martabak Bangka, Sate Madura, Warung Pecel Lele, Bakso Solo, Ampera Padang, Otak-otak Bakar, Mpek-mpek, di bawah cahaya bulan malam itu menciptakan nuansa eksotis. Apalagi kelengangan memberikan kedamaian tersendiri. Jauh dari suasana kota metropolis yang hiruk-pikuk.

Kapitan Bongkap, Benteng Kutopanji, Kelenteng Liang San Phak

Merasakan malam pertama di kota Belinyu dengan listrik yang mati hingga subuh. Karena listrik bermasalah. Sebagian jaringan Listrik dilayani PT Timah karena PLN kekurangan jaringan. PLTU Mantung dekat pelabuhan Belinyu, yang pernah dibilang terbesar di Asia Tenggara, sudah lama tidak berfungsi. Pun PLTD di Baturusa, setali tiga uang. Sama saja. PT Timah akhirnya menjadi pemasok listrik tanpa meteran, dengan sistem borongan. Tapi layanannya masih mengecewakan, listriknya sering padam.

“Bangun! Lihat ke bawah,” ujar Raudal membangunkan saya dari tidur.

Dari beranda lantai atas rumah Sunlie, saya melihat ke bawah. Ada bus-bus umum ngetem di depan rumah Sunlie. Bus-bus itu sangat antik. Bodinya terbuat dari kayu yang dilapisi seng. Ada tangga menuju bagasi berpagar besi di atap bus itu. Saya jadi ingat waktu kecil dulu, bus keluaran tahun 1970-an macam itu pernah saya tumpangi bersama Papa dari Padang ke Bukittingi pertengahan tahun 1980-an.

“Sungguh kota tua yang masih menyimpan masa lalunya,” bisik saya pada pagi yang mulai menggeliat bersama pedagang-pedagang yang membuka pintu tokonya.

Pukul 10 pagi, saya beserta rombongan melancong ke luar kota dengan mobil rental kijang Inova. Berdesakan memang, karena mobil itu dinaiki saya, Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Dharma Romansah, Nur Zen Hae beserta anak istrinya, Risa Syukria, Dahlia, Sunlie Thomas Alexander dan tentu saja Pak sopir. Tapi suasana riang bikin yang sempit jadi lapang.

Menempuh jarak 2 kilometer dari pusat kota Belinyu, sampailah kami di Benteng Kutopanji atau Benteng Bongkap, terletak di kampung Kusam.

Kekokohan sisa-sisa bangunan Benteng berwaran hitam keabuan—terbuat dari tanah liat yang dibakar—yang dibangun sekitar 1700 oleh Kapitan Bong atau Bong Khiung Fu , membuat saya terpesona. Meski yang saya jumpai sekarang adalah sisa-sisa dan kisah tentang Kapitan Bongkap, saudagar Cina yang kaya raya dan seorang pelarian politik.

Kami masuk ke dalam benteng, menemukan dua makam dengan arsitektur Cina di bagian paling belakang Benteng itu.

Yang terbesar adalah makam Kapitan Bong bertahun 1700 dan dipugar pada tahun 1973, di belakangnya di atas tebing adalah makam pengawalnya. Namun itu adalah replika makam Kapitan Bong, tapi tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Karena sebenarnya, Kapitan itu meninggal di Malaysia dan Benteng Kutopanji jatuh ke tangan perompak Moro, Filipina.

Kemudian kami singgah ke Kelenteng Liang San Phak yang berdampingan dengan Benteng Kutopanji di sisi barat.

Kelenteng Liang San Phak, sebenarnya merupakan bagian dari Benteng Kutopanji yang juga didirikan oleh Kapitan Bong.

Aroma Hio menyambut kami. Nur Zen Hae, Risa Syukria, Kedung Darma Romansah, dan Dahlia, mencoba bergantian mengadu peruntungan dan ramalan nasib dengan membakar Hio di depan patung Thai Pak Kong (Paman Besar) bernama Liang San Phak dan patung istrinya, yang dibawa langsung oleh Kapitan Bong dari negeri leluhurnya. Patung ini pada tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan Cina, diarak mengelilingi kota Belinyu sebagai prosesi sembahyang rebut.

“Ini Klenteng Dewa Bumi atau Tapekong. Menurut agama Konghucu, Klenteng Tapekong ini untuk tempat bersembahyang dan meminta agar rezeki banyak dan keselamatan,” ujar Fujianto alias Afu (35), salah seorang pengurus Klenteng.

Saya ingin bertanya lebih banyak lagi pada Afu yang ramah itu. Tapi karena waktu yang tidak memungkinkan, perjalanan musti dilanjutkan.

Pha Kak Liang

Setelah melewati jalan tanah berdebu, dan sesekali bertemu pula dengan bekas tambang timah yang ditinggalkan, sampailah kami di gerbang utama Pha Kak Liang yang bernuansa Cina. Makin ke dalam, arsitektur Cina itu makin terasa. Seperti demarga, rumah peristirahatan, gazebo, semuanya berornamen Cina.

Pha Kak Liang adalah sebuah objek wisata tirta yang dibangun di atas bekas tambang timah (kolong). Terletak 10 Kilometer dari kota Belinyu.

Keheningan dan kedamaian begitu terasa di tepi telaga seluas 3,5 hektar yang ditumbuhi pohon cemara dan akasia. Pemiliknya tiga orang etnis Cina bersaudara, dan menjadikannya sebagai villa peristirahatan, yang tetap terbuka untuk umum.

Sayangnya, kurang terawatnya Pha Kak Liang membuat objek wisata degan telaga berisi ribuan ikan emas yang hidup bebas itu tampak sedikit suram. Tapi bagi pecinta suasana sunyi, Pha Kak Liang memberikan itu. Dan semakin lama akan makin terasa. Namun, lagi-lagi perjalanan musti dilanjutkan.

Pantai Penyusuk

“Lihat pohon-pohon yang memeluk batu itu!” ucap Raudal.

Kalimat Raudal yang puitis itu seperti memberi tahu bahwa kami telah memasuki gerbang pantai Penyusuk. Ya, di kiri-kanan jalan memasuki area pantai tampak beberapa batu besar yang di sekilingnya di tumbuhi pohon-pohon.

Hamparan pantai yang landai dan ditumbuhi batu-batu besar menyambut kami. Beberapa perahu nelayan tertambat. Ombaknya tenang karena di depannya ada pulau cukup besar yang menjadi tameng. Sedang pulau kecil di sampingnya, berdiri menara suar yang tampak sebesar pohon nyiur melambai dari tempat saya berdiri.

Amboi! Negeri rayuan pulau kelapa, alangkah eloknya.

Saya tidak sabaran ingin menceburkan diri. Mandi-mandi di laut jadi kanak-kanak ria kembali. Hilang sejenak segan pada usia.

Namun Risa Syukria meminta saya untuk menemani dia mengambil air wudhu. Inilah perkaranya, ternyata kamar mandi umum dikunci. Penjaganya entah kemana.

Memang pantai Penyusuk sepi, jauh dari pedagang yang mata duitan. Akhirnya, kami menemukan berbungkus-bungkus air minum tergeletak ditinggalkan pemiliknya di atas sebuah batu besar.

Jadilah Risa sholat dan saya pun mandi menceburkan diri ke laut menyusul yang lain, yang telah dulu bermain dengan air garam yang jinak itu. Tak lama berselang, Risa pun menyusul.

Cuma Kedung Darma Romansah dan Pak sopir yang tidak mau membasahi tubuhnya dengan air laut di pantai yang tenang itu. Entah kenapa.

Setelah puas mandi-mandi. Main pasir pantai yang putih. Duduk-duduk dari satu batu ke lain batu. Rombongan sastrawan itu memutuskan untuk pulang.

Matahari sudah mulai mendekati ubun-ubun laut, beberapa jam lagi bakal angslup. Cuaca cerah. Tentu saja sunset akan terlihat terlihat sempurna di pantai barat ini. Namun apa hendak dikata, pertemuan matahari dan laut yang menciptakan cahaya emas itu, tak bisa saya saksikan.

Kami pun pulang dengan tubuh yang belum dibilas dari air laut karena penjaga kamar mandi umum itu tidak juga datang.

Sesampai di jalan Depati Amir, saya dan Risa Syukria yang juga reporter TV Siak, memutuskan turun dari mobil. Kami ingin berjalan kaki berdua menuju rumah Sunlie di jalan Sriwijaya yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempat kami turun. Sedang yang lain terus pulang dengan mobil.

Kami turun dari mobil itu bukan karena ngambek, tapi ingin melihat lebih dekat rumah-rumah arsitektur Belanda yang dihuni pegawai timah di bawah gelimang cahaya senja.

Ya, sepanjang jalan Depati Amir itu berjajar bangunan-bangunan lama. Sayang sebagian sudah tidak terawat lagi. Padahal bangunan-bangunan itu merupakan jejak langkah dari perjalanan kota timah itu.
Menurut Ibrahim (52) salah seorang karyawan pertambangan timah yang kami temui di salah rumah kuno itu, dulunya rumah-rumah di kawasan jalan Depati Amir itu adalah kawasan elit yang ditempati oleh pegawai teras atas pertambangan timah. Dibangun pada tahun 1928.

Namun sejak menipisnya cadangan timah di Belinyu, rumah-rumah itu dihuni campur aduk antara karyawan biasa dan pegawai menengah. Bahkan sebagian rumah tidak dihuni lagi dalam kondisi yang mengenaskan, pintu dan jendela yang copot, serta dindingnya kumuh penuh coretan.

“Kota yang aneh. Tidak seperti kota-kota lain yang pernah saya datangi. Selama di sini, belum pernah saya lihat ada ABG nongkrong bersama menghabiskan petang. Bagaimana ya orang-orang hidup dalam kelengangan ini?” ucap Risa, dara rancak asal Minang ini, di jalan menuju ke rumah Sunlie—selepas jalan Depati Amir.

“Kota ini membuat Ngai Oi Ngi!” ujar saya memakai sekerat bahasa Hakka yang saya pelajari dari Sunlie.

“Apa itu Ngai Oi Ngi?” tanya Risa.

“Aku Mencintaimu!”

TEOLOGI PENDIDIKAN:

Upaya Pembebasan Manusia dari Alienasi Peran Kemanusiaannya
Ahmad Syauqi Sumbawi *
http://sastra-indonesia.com/

Pendahuluan

Perbincangan mengenai pendidikan tidak akan pernah mengalami titik akhir, sebab pendidikan merupakan permasalahan besar kemanusiaan yang akan senantiasa actual untuk diperbincangkan pada setiap waktu dan tempat yang tidak sama atau bahkan sama sekali berbeda. Pendidikan dituntut untuk selalu relevan dengan kontinuitas perubahan.

Dalam realitas kehidupan, sebagai kondisi riil pendidikan, dapat dilihat adanya perubahan sosial yang begitu cepat, proses transformasi budaya semakin deras dan dahsyat, juga perkembangan politik global yang tidak stabil, kesenjangan ekonomi yang begitu lebar serta pergeseran nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, mengharuskan pendidikan untuk memfokuskan arahnya pada kondisi sosial kemanusiaan di atas. Hal ini merupakan konsekuensi logis karena pendidikan harus senantiasa toleran dan tunduk pada perubahan normative dan cultural yang terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi yang lebih penting, bahwa pendidikan merupakan lembaga sosial yang berfungsi sebagai sarana pembentukan manusia yang berbudaya dan melakukan proses pembudayaan nilai-nilai.

Dengan demikian, pendidikan dan kebudayaan merupakan dua komponen penting yang saling terkait satu sama lain dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Di satu sisi, pengembangan dan kelestarian kebudayaan berlangsung dalam proses pendidikan dan memerlukan pengelolaan pendidikan. Sementara itu, pengembangan pendidikan juga membutuhkan sistem kebudayaan sebagai akar dan pendukung berlangsungnya pendidikan tersebut. Pengembangan kebudayaan membutuhkan kebebasan kreatif, sedangkan pendidikan memerlukan suatu stabilitas budaya yang mapan.

Hubungan ketergantungan di antara keduanya mengandung pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya, demikian juga sebaliknya. Selanjutnya, kualitas kebudayaan akan menunjukkan kualitas manusia pendukungnya. Keduanya saling berhubungan positif, di mana ketiadaan salah satunya menyebabkan stagnasi dan distorsi dalam banyak aspek.

Berkaitan dengan peran penting pendidikan dalam pembentukan kebudayaan manusia, Islam sebagai sistem ajaran yang komprehensif, tidak luput memberikan perhatian kepada pendidikan. Dalam hal ini, al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai sumber inspirasi universal, yang selalu menyapa perubahan dan dinamika dalam masyarakat, dan secara ideal memberikan solusi-solusi dasar atas segala permasalahan kehidupan manusia.

Pengamatan terhadap situasi dan kondisi sosiologis yang terjadi di masyarakat dewasa ini menunjukkan terjadinya pergeseran nilai pada hampir setiap bidang dan sendi kehidupan manusia, terutama bidang pendidikan. Termasuk juga nilai-nilai budaya yang mulai tercerabut dari akarnya, nilai sosial yang banyak terilhami oleh rembesan atau penetrasi dunia luar, terutama melalui sekulerisasi dan westernisasi.

Dengan berbagai media yang tersaji di segala lokasi beserta informasinya, hal ini dapat memunculkan high risks bagi stabilitas kultural, di mana para generasi muda seringkali mengalami split personality. Kondisi semacam ini tampak pada fenomena di sekolah atau lembaga pendidikan mereka yang selalu disajikan nilai-nilai kebaikan, nilai-nilai kesusilaan, dan sebagainya, namun dalam kehidupan riilnya, mereka banyak menjumpai hal-hal yang sering bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Juga, nilai-nilai ekonomi yang cenderung kepada sistem kapitalis serta pergeseran nilai-nilai kemanusian yang lain. Lebih jauh, proses distorsi nilai seperti ini juga terjadi dalam lembaga pendidikan —tidak terkecuali lembaga pendidikan Islam—. Sementara di sisi yang lain, pendidikan seringkali dipandang sebagai institusi paling strategis untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang telah terdistorsi tadi. Reposisi nilai-nilai kemanusiaan ini mutlak diperlukan sebagai upaya untuk membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya dalam kehidupan.

Berdasarkan uraian di atas, kajian ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut, yaitu pertama, bagaimana pengertian tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan teologi dan pendidikan? Kedua, bagaimana konsep manusia dan konsep pendidikan dalam Islam? Ketiga, bagaimana posisi teologi pendidikan dalam upaya membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya?

Pengertian Teologi dan Pendidikan

1. Pengertian Teologi

Istilah teologi lahir dalam tradisi Kristen. Secara harfiah, teologi berasal dari bahasa Yunani, berarti ilmu ketuhanan. Akan tetapi, pengertian menurut Steenbrink dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan permasalahan tentang ketuhanan, baik wujud, sifat, maupun perbuatan-Nya, yang dalam tradisi Islam disebut ilmu kalam. Dalam hal ini, teologi tidak identik dengan ilmu kalam yang berusaha mempertahankan keyakinan seputar masalah ketuhanan dari serangan-serangan pihak luar dengan menggunakan pendekatan filsafat atau dalil-dalil aqli.

Encyclopedia of Religion and Religions, menyebutkan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam semesta, namun kerapkali diperluas mencakup seluruh bidang agama. Teologi, dengan demikian, memiliki pengertian luas dan identik dengan ilmu agama itu sendiri. Pengertian inilah yang kemudian secara umum dipakai di kalangan Kristen. Dalam diskursus ilmiah, istilah teologi biasanya mempunyai arti khusus, yaitu refleksi orang beriman tentang bagaimana bentuk atau nilai-nilai kualitas iman yang dimilikinya. Menurut Anselmus, teologi adalah iman yang mencari pengertian. Dengan pemaknaan yang hampir sama, Muslim Abdurrahman mengatakan bahwa teologi adalah interpretasi berdasarkan keimanan.

Sedangkan menurut Niko Syukur, teologi adalah pengetahuan adikodrati yang metodis sistematis dan koheren, tentang apa yang diwahyukan Tuhan. Dapat dikatakan bahwa teologi adalah refleksi ilmiah tentang iman. Teologi merupakan ilmu yang “subyektif” yang timbul dari dalam, yang lahir dari jiwa yang beriman dan bertaqwa berdasarkan wahyu. Sementara Eka Darmaputra mengemukakan bahwa teologi adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif, serta eksistensial antara “teks” dan “konteks” antara “kerygma” yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual. Lebih sederhana dapat dikatakan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dapat juga dikatakan, bahwa teologi adalah pengkajian, penghayatan (internalisasi), dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai ketuhanan (iman) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.

2. Pengertian Pendidikan

Istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris “education”, berakar dari bahasa Latin “educare”, yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan. Apabila diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia.

Menurut Mohamad Natsir, pengertian pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Sementara Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 ayat 1 menyebutkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Apabila dikaitkan dengan Islam, pengertian pendidikan antara lain, menurut Dr. Yusuf Qardawi sebagaimana dikutip Azyumardi Azra yaitu pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis pahitnya.

Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih tehnis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam. Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad Saw.

Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, terdapat perbedaan antara pengertian pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Pendidikan secara umum merupakan proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad.

3. Teologi dan Pendidikan

Dalam kalangan Muslim, Islam dipandang sebagai agama universal, di mana tidak hanya berisi ajaran mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia dengan seluruh makhluk di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh tugas penting manusia sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas menghidupkan dan memakmurkan bumi.

Secara sosiologis, dimensi universalitas Islam di atas, dalam tataran kehidupan manusia akan terus menimbulkan ragam pemahaman seiring dengan perbedaan situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Hal ini tidak lain disebabkan bahwa, ketika universalitas diterapkan dalam kehidupan manusia, maka yang kemudian muncul adalah partikularitas, di mana partikularitas ini akan terus berkembang untuk bersesuaian dengan perubahan dan kebutuhan kehidupan manusia. Meskipun demikian, universalitas Islam tetap kekal serta menjadi dasar dan sumber inspirasi dalam seluruh proses kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pendidikan.

Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mengajarkan manusia dengan bahasanya yang lemah lembut, balaghoh yang indah, sehingga al-Qur’an membawa dimensi baru terhadap pendidikan dan berusaha mengajak para ilmuwan untuk menggali maksud kandungannya agar manusia lebih dekat kepada-Nya.

Petunjuk pendidikan dalam al-Qur’an tidak terhimpun dalam kesatuan fragmen, tetapi diungkapkan dalam berbagai ayat dan surat al-Qur’an, sehingga untuk menjelaskannya perlu melalui tema-tema pembahasan yang relevan dan ayat-ayat yang memberikan informasi-informasi pendidikan yang dimaksudkan tersebut.

Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus, yang bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut.

Rasulullah Saw dipandang sukses dalam mendidik masyarakatnya menjadi masyarakat yang berbudi tinggi dan akhlak mulia. Pada mulanya masyarakat Arab adalah masyarakat jahiliyah, sehingga perkataan primitif tidak cukup untuk menggambarkannya, hingga datang Rasulullah Saw yang membawa mereka untuk meninggalkan kejahiliahan tersebut dan mencapai suatu bangsa yang berbudaya dan berkepribadian yang tinggi, bermoral serta memberi pengetahuan.

Al-Qur’an memberi petunjuk atau arah, jalan yang lurus mencapai kebahagiaan bagi manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 16, yaitu :

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”

Muhammad Saw sebagai utusan Allah untuk manusia di bumi ini diberi amanat oleh Allah sebagai penerima wahyu, yang diberi tugas untuk mensucikan dan mengajarkan manusia sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 151. Dalam ayat tersebut, mensucikan diartikan dengan mendidik, sedang mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dan metafisika dan fisika.

Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah, sejalan dengan tujuan penciptaan manusia dalam surat Al-Dzariyat (51) ayat 56, yaitu:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Maksudnya Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepada Allah.

Manusia dan Pendidikan dalam Islam

1. Konsep Manusia dalam Islam

Perspektif dasar Islam terhadap manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Berdasarkan sudut pandang ini pula, filsafat pendidikan Islam memposisikan manusia dan segala aspeknya dalam konteks pendidikan. Dari pemikiran ini, maka perspektif filsafat pendidikan Islam akan berbeda dengan filsafat pendidikan umum, yang konsepnya berasal dari pemikiran para ilmuwan (non muslim) yang umumnya menafikan prinsip perspektif tersebut. Dalam perspektif para ilmuwan ini, manusia cenderung ditempatkan pada posisi yang netral.

Kajian tentang hakikat manusia adalah bagian dari filsafat yang disebut ontologi atau metafisika. Problem yang dihadapi filsafat tentang manusia ini, mengacu pada upaya untuk menjawab pertanyaan tentang hakikat manusia.

Paham materialisme, yang memandang hakikat manusia sebagai unsur materi, agaknya sulit untuk mengakui adanya unsur rohaniah dalam diri manusia. Sesuai dengan prinsip ajarannya, paham ini menganggap manusia sebagai unsur-unsur materialisme-mekanistis yang kompleksitasnya terdiri atas aspek-aspek fisiologis, neurologis, fisika, dan biokimia. Semua unsur tersebut bekerja di bawah satu sistem “organisasi” yang berpusat pada sistem pusat syaraf, yaitu “mind”. Akan tetapi, mind di sini lebih mendekati syaraf yang bersifat neurologis dan bukan psikis.

Sedangkan menurut paham dualisme, bahwa manusia sebagai makhluk adalah integritas antara jasmaniah dan rohaniah. Manusia diposisikan sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk dikembangkan pada kedua unsur tersebut. Adapun upaya pengembangannya dihubungkan dengan berbagai teori kependidikan yang berlandaskan kepada pemikiran filsafat rasional atau produk kemampuan optimal pemikiran murni manusia.

Kedua perspektif di atas, bagaimanapun akan berbeda dengan perspektif ilmuan Muslim yang merumuskan pendapatnya dan dasar ajaran Islam. Seperti al-Farabi (w. 950) dan al-Ghazali (w. 1111) menyatakan bahwa manusia terdiri atas unsur jasad atau badan dan ruh atau jiwa. Dengan jasad, manusia dapat bergerak dan merasa, sedangkan ruh, manusia dapat berpikir, mengetahui dan sebagainya.

Dalam al-Qur’an, manusia disebut dengan berbagai nama sebagai berikut, yaitu al-Basyr, al-Insan, al-Naas, Bani Adam, al-Ins, Abd Allah, dan khalifah Allah. Nama sebutan ini mengacu pada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia. Berkaitan dengan hal itu, maka untuk memahami peran manusia, perlu dipahami konsep yang mengacu kepada sebutan yang dimaksud. Pemahaman tentang peran manusia erat kaitannya dengan sebutan yang disandangnya.

Manusia dalam konsep al-Basyr, dipandang dari segi biologis. Sebagai makhluk biologis berarti manusia terdiri dari unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik material, berupa tubuh kasar atau ragawi. Dalam hal ini, manusia merupakan makhluk jasmaniah yang secara umum terikat kepada kaidah-kaidah umum dari kehidupan makhluk biologis, seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan. Manusia memerlukan makanan dan minuman untuk hidup, dan juga memerlukan pasangan hidup untuk melanjutkan proses pelanjut keturunan.

Penggunaan kata al-Insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam al-Qur’an, mengacu kepada potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Potensi tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun secara mental spiritual. Perkembangan tersebut meliputi kemampuan untuk berbicara, menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu, dengan mengajarkan manusia melalui kalam (baca tulis), dan segala apa yang tidak diketahuinya, kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di alam ruh, dalam bentuk kesaksian. Potensi untuk mengembangkan diri ini (secara positif) memberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaninya. Dengan cara menumbuhkembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal, diharapkan manusia dapat menjadi makhluk ciptaan yang mengabdi kepada Penciptanya, melalui berbagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dimilikinya.

Kosakata al-Naas dalam al-Qur’an, pada umumnya dikaitkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling mengenal di antara mereka. Manusia merupakan makhluk sosial yang secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satuan terkecil (keluarga) hingga ke satuan yang paling besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia. Dalam konteks kehidupan sosial, peran sosial manusia dititikberatkan pada upaya untuk menciptakan keharmonisan hidup dalam masyarakat.

Manusia sebagai Bani Adam, tersebut dalam tujuh tempat dalam al-Qur’an. Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep Bani Adam, manusia diingatkan Allah agar tidak tergoda oleh syaitan, pencegahan dari makan dan minum yang berlebihan serta tata-cara berpakaian yang pantas saat melaksanakan ibadah, bertaqwa dan mengadakan perbaikan, kesaksian manusia kepada Tuhannya, dan peringatan agar manusia tidak terpedaya hingga menyembah syaitan, dengan memberi peringatan kepada manusia mengenai status syaitan sebagai musuh yang nyata. Penjelasan ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia selaku Bani Adam dikaitkan dengan gambaran peran Adam saat awal diciptakan. Pada saat Adam akan diciptakan, para Malaikat seakan mengkhawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan penciptaannya, manusia akan menjadi biang kerusakan dan pertumpahan darah. Hal itu kemudian terbukti bahwa Adam dan istrinya (Hawa), karena kekeliruannya, akhirnya terjebak oleh hasutan syaitan, sehingga Allah mengeluarkan keduanya dari surga sebagai hukuman atas kelalaian yang diperbuat oleh keduanya.

Manusia dalam konsep al-Ins, mengacu pada hakikat penciptaannya. Dalam hal ini al-Qur’an mengemukakan bahwa jin dan manusia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Oleh karena itu, manusia dalam hidupnya diharapkan akan selalu menyadari hakikat dirinya tersebut. Manusia dituntut untuk dapat memerankan dirinya sebagai pengabdi Allah secara konsisten dengan ketaatan total. Ketaatan kepada Allah merupakan peran puncak manusia dalam segala aspek kehidupannya, karena atas dasar dan tujuan tersebut, manusia diciptakan oleh-Nya.

Al-Qur’an juga menyebut manusia dengan Abd Allah, yang berarti abdi atau hamba Allah. Abd Allah, dalam arti dimiliki Allah, mencakup seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak. Kepemilikan Allah terhadap makhluk tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian, Abd Allah tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktifitasnya dalam kehidupan. Di samping itu, manusia disebut Abd Allah juga disetarakan dengan konteks kata tersebut. Kata Abd, juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan kerendahan diri. Ibadah kepada Allah merupakan sikap dan pernyataan kerendahan diri yang paling puncak dan sempurna dari seorang hamba. Kemudian ibadah itu sendiri berupa pengabdian yang hanya diperuntukkan kepada Allah semata.

Konsep selanjutnya tentang manusia adalah khalifah Allah. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa sebelum manusia diciptakan, Allah telah mengemukakan kepada para Malaikat tentang penciptaan seorang khalifah di muka bumi. Untuk mengemban tugas-tugas kekhalifahan itu, manusia dilengkapi Tuhan dengan berbagai potensi, salah satunya bekal pengetahuan.

Berdasarkan konsep-konsep tentang di atas, setidaknya manusia dalam kehidupannya berada dalam peran-peran yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai berikut, yaitu pertama, sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kedua, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan dalam kehidupan sosial. Ketiga, sebagai hamba Allah yang harus mengerti tentang hakikat penciptaan dirinya. Keempat, sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas membangun dan mengelola dunia, sehingga menjadi rahmat bagi semua makhluk-Nya.

2. Konsep Pendidikan dalam Islam

Merujuk kepada informasi al-Qur’an, pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan Islam dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim.

Tarbiyah berasal dari kata Rabba, pada hakikatnya merujuk kepada Allah selaku Murabby (pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata seperti termuat dalam ayat al-Qur’an, yaitu:

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik (rabbayaaniy) aku waktu kecil”. (QS. Al-Israa: 24)

Menurut Syed Naquib Al-Attas, tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara menjaga dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang dan tumbuhan. Sedangkan Samsul Nizar menjelaskan kata tarbiyah mengandung arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan dan memproduksi baik yang mencakup kepada aspek jasmaniah maupun rohaniah.

Kata Rabb di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 169 kali dan dihubungkan pada obyek-obyek yang sangat banyak. Kata Rabb ini juga sering dikaitkan dengan kata alam, sesuatu selain Tuhan. Pengkaitan kata Rabb dengan kata alam tersebut seperti pada surat Al-A’raf ayat 61, yaitu:

“Nuh menjawab: Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan Tuhan (Rabb) semesta alam.”

Pendidikan diistilahkan dengan ta’dib, yang berasal dari kata kerja “addaba”. Kata ta’dib diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Kata ta’dib tidak dijumpai langsung dalam al-Qur’an, tetapi pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktik yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan akhlak. Allah juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya Rasul adalah sebaik-baik contoh teladan bagi kamu sekalian.

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Selanjutnya Rasulullah Saw meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian status orang tua sebagai pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang tua terhadap anak, mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan pendidikan akhlak kepada keluarga dan anak-anak.

Pendidikan disebut dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘alama’ berkonotasi pembelajaran yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan pendidikan ta’lim dipahami sebagai sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik. Proses pembelajaran ta’lim secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam oleh Allah. Adam sebagai cikal bakal dari makhluk berperadaban (manusia) menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari Allah Swt, sedang dirinya (Adam) sama sekali kosong. Sebagaimana tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 32, yaitu:

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”

“Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dari ketiga konsep di atas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’dib dan ta’lim. Ketiga konsep tersebut menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.

Teologi Pendidikan dalam Upaya Pembebasan Manusia dari Alienasi Peran Kemanusiaannya

Rusaknya rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religius, serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan dan hilangnya jati diri budaya bangsa merupakan sebuah kekhawatiran manusia yang paling klimaks dalam kancah global. Namun ironisnya, itulah fenomena yang terjadi dewasa ini. Tatanan kehidupan manusia mengalami perubahan yang mendasar, generasi muda yang mendewakan budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadiannya, dan sebagainya. Permasalahan ini muncul terkait dengan begitu gencar dan sistematisnya ekspansi budaya asing, yang menempatkan sarana informatika sebagai sebuah trend yang paling mutakhir dan paling digandrungi, sehingga setiap celah kehidupan manusia, yang sangat tertutup dan rahasia sekalipun, dapat dimasuki, bahkan diintervensi. Setiap sisi kehidupan sudah dihinggapi oleh apa yang dinamakan globalisasi informatika, yang berimplikasi pada transparansi dan keterbukaan di setiap aspek kehidupan manusia. Dunia telah menjadi big village, di mana apa yang terjadi pada belahan bumi yang sangat jauh, dapat dengan segera didengar dan dilihat beritanya dalam waktu yang singkat. Dengan cepat pula, berita tersebut memberikan dampaknya bagi kehidupan manusia tanpa kecuali, positif maupun negatif.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informatika di atas, menyebabkan jarak-jarak menjadi semakin pendek. Waktu dan masa menjadi lebih efisien dengan begitu mudahnya kita mengadakan hubungan dan komunikasi. Di samping itu, kesibukan dan aktivitas keseharian manusia yang luar biasa, menjadikan hari-hari terasa lebih pendek dari sebelumnya.

Menghadapi kemajuan iptek yang luar biasa itu, respon manusia ternyata masih terbelah, bahkan terkesan mendua. Di satu pihak, manusia merasa senang atas kemajuan iptek yang secara umum memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan manusia. Di lain pihak, nurani kemanusiaannya mengeluh, karena harus beradaptasi dengan situasi baru yang tidak lagi human-centric, melainkan sangat techno-centric.

Dalam situasi dan kondisi yang semakin techno-centric ini, populasi manusia yang memenuhi dunia, tidak lagi secara otonom dikontrol oleh nurani kemanusiaannya, melainkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal yang dominan, terutama sekali iptek. Manusia dalam dunianya yang makro benar-benar menyandarkan hampir segala harapannya kepada hasil iptek, meskipun belum sampai pada taraf yang serius, yakni techno-mania.

Memang, manfaat teknologi pada batas-batas tertentu membantu mempermudah manusia, dan hal ini menjadikan manusia sebagai makhluk dengan keunikan yang ironis. Lawan utamanya bukan lagi bencana alam atau sebangsa binatang buas di hutan-hutan, tetapi hasil kemampuannya sendiri dan manusia sesamanya yang menggunakan kemampuan itu. Dengan kata lain, manusia modern menjadi musuh bagi dirinya sendiri.

Bagaimanapun juga, dengan tidak mengesampingkan manfaat iptek dalam membantu memudahkan kehidupan manusia, iptek juga memberi dampak negatif. Dalam batas-batas tertentu, dampak destruktif iptek itu telah menundukkan manusia menjadi sangat tergantung kepadanya. Manusia tidak lagi mampu mengendalikan hasil buatannya, tetapi sebaliknya, dia didekte oleh perangkat-perangkat canggih hasil produknya sendiri. Manusia pun menjadi robot dari makhluk raksasa bernama iptek buatannya sendiri. Dari perspektif hunamisme, perkembangan iptek seperti demikian sejalan dengan proses dehumanisasi kehidupan. Agar tidak terjadi tragedi demikian, humanisasi technosphere harus menjadi kenyataan.

Permasalahan terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi di atas, masih ditambah lagi dengan krisis kehidupan lainnya, seperti perilaku manusia yang cenderung memperoleh kekayaan material sebanyak mungkin melalui cara apapun sebagai imbas dari semakin kokohnya pandangan hidup yang positivisme-materialistik, euphoria perilaku politik demokratis dan kemunafikan politik yang diwarnai dengan fenomena “politik uang” dan “uang politik” dengan dalih hukum, asas praduga tak bersalah, Lembaga Penegak Hukum yang tidak berdaya memberantas korupsi, dan sebagainya. Munculnya terorisme dan kekejaman perilaku yang dilakukan oleh pihak “lemah” melawan pihak “kuat” akibat perlakuan tidak adil dan otoriter pihak penguasa, dan merebaknya budaya yang berkembang dari pandangan hidup hedonisme-materialistik dengan maraknya pornoisasi kehidupan sosial masyarakat, melalui menjamurnya video porno yang begitu mudah diakses dan gratis, seks bebas, tindakan mesum, pencabulan, dan sebagainya.

Bagaimanapun kompleknya permasalahan dan krisis kemanusiaan di atas, solusi yang terbaik harus senantiasa diusahakan, sekalipun dengan melakukan pendekatan melalui simbol-simbol yang amat rumit dan hanya dapat dilakukan secara gradual mengingat komprehensi tentang konsepsi dasar manusia yang turut menentukan langkah berikutnya. Untuk itu, semestinya, manusia sebagai makhluk yang berketuhanan mulai mencoba mengaktualisasikan dan mengkaji lebih dalam dan concern terhadap sinyal-sinyal konsep antropologis yang ditampilkan al-Qur’an. Dari sini, nilai-nilai etis-religius sebagai norma sentral al-Qur’an tidak hanya melangit, tetapi juga membumi, dalam arti dapat dipergunakan dan dimanfaatkan untuk membangun peradaban umat manusia untuk menjadi lebih baik dan diridlai-Nya.

Ilmu pengetahuan dan teknologi lahir dan berkembang melalui pendidikan —demikian juga dengan permasalahan-permasalahan lain yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan—, maka salah satu terapi terhadap berbagai masalah di atas, tentunya harus dilakukan dengan pendekatan terhadap sisi-sisi pendidikan pula. Oleh karena itu, dalam reorientasi pendidikan ini, pemikiran yang mengedepankan paradigma pendidikan (Islam) yang berwawasan kemanusiaan (humanistik) menjadi sangat penting dan diperlukan.

Pendidikan seringkali dipahami sebagai fenomena individu di satu pihak, dan fenomena sosial-budaya di pihak lain. Sebagai fenomena individual, pendidikan bertolak dari suatu pandangan antropologi dengan pemahaman terhadap manusia sebagai realitas mikrokosmos dengan kepemilikan potensi-potensi dasar —dalam Islam disebut fitrah— yang dapat dikembangkan di masa yang akan datang. Dengan mengacu pada pandangan dasar tersebut, pendidikan difokuskan pada orientasi internal manusia, berupa pengembangan potensi dasar insaniah. Sementara pendidikan sebagai fenomena sosial-budaya, diarahkan pada orientasi eksternal dalam kerangka perkembangan budaya masyarakat, sehingga dalam realitas kehidupannya, manusia mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam tinjauan ini, pendidikan dimaknai sebagai proses kulturisasi (pembudayaan), yakni sosialisasi (pemasyarakatan) nilai-nilai, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan yang berkembang dalam masyarakat.

Dengan cakupan makna strategis pendidikan tersebut, pemikiran yang memberikan acuan konseptual yang tepat tentang manusia, juga peta perkembangan budaya, menjadi sangat penting. Kajian permasalahan manusia dalam hal ini merupakan suatu keharusan filosofis, agar pendidikan mengarah pada pola-pola pengembangan potensi manusia secara humanistik —baik lahir maupun batin—, bukan malah sebaliknya.

Dari telaah teologi-filosofis-antropologis terhadap referensi-referensi tentang manusia terutama referensi-referensi Islam, diperoleh pemahaman bahwa, selain sebagai hasil imajinasi yang sempurna dari Tuhan, manusia dalam kehidupannya berada dalam peran-peran yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai berikut, yaitu pertama, sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kedua, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan dalam kehidupan sosial. Ketiga, sebagai hamba Allah yang harus mengerti tentang hakikat penciptaan dirinya. Keempat, sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas membangun dan mengelola dunia, sehingga menjadi rahmat bagi semua makhluk-Nya.

Berangkat dari kerangka konseptual di atas, serta kesadaran bahwa untuk mengembangkan potensi insaniah serta sosialisasi nilai-nilai, ketrampilan, dan sebagainya, harus melalui kegiatan pendidikan, maka manusia dituntut untuk menyelenggarakan praktik pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (humanistik). Dalam paradigmanya, pendidikan humanistis ini memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang integralistik. Dalam hal ini, manusia harus dipandang sebagai manusia, yaitu sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, manusia harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Sebagai makhluk, batas antara hewan dan malaikat harus dipisahkan dengan tegas, yakni antara memiliki sifat-sifat rendah dengan sifat-sifat kemalaikatan atau sifat malakut (sifat-sifat luhur). Sebagai makhluk dilematik, dia dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam kehidupannya. Sebagai makhluk moral, ia senantiasa bergulat dengan nilai-nilai. Sebagai pribadi, manusia memiliki kekuatan konstruktif dan kekuatan destruktif. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki hak-hak sosial dan harus menunaikan kewajiban-kewajiban sosialnya. Kemudian sebagai hamba Allah, dia juga harus menunaikan kewajiban-kewajiban ubudiyah.

Pendidikan humanistik diharapkan mampu memperkenalkan apresiasinya yang tinggi kepada manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang hakiki, dan juga sebagai khalifah Allah. Dengan demikian, pendidikan humanistik dimaksudkan membentuk insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggungjawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, dia memiliki tanggungjawab moral kepada lingkungannya, berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakatnya.

Dengan berpandangan kepada pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) di atas, maka terdapat harapan besar bahwa nilai-nilai pragmatis ilmu pengetahuan dan teknologi, permasalahan-permasalahan dan krisis kemanusiaan lainnya, tidak akan membunuh kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Lebih lanjut, dengan pendidikan tersebut, dunia manusia diharapkan akan terhindar dari tirani teknologi. Di samping itu, adalah untuk mendorong terciptanya hidup dan kehidupan yang kondusif bagi manusia, serta membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya dalam kehidupan.

Penutup

Berdasarkan uraian dan analisa di atas dapat disimpulkan, antara lain sebagai berikut, yaitu pertama, Islam dipandang sebagai agama universal, di mana tidak hanya berisi ajaran mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya yang berupa ibadah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia dengan seluruh makhluk di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh tugas penting manusia sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas menghidupkan dan memakmurkan bumi. Sebagai dasar ajarannya, al-Qur’an merupakan sumber pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mengajarkan manusia dengan bahasanya yang lemah lembut, balaghoh yang indah, dengan tamsil-tamsil sebagai sarana refleksi manusia, sehingga al-Qur’an membawa dimensi baru terhadap pendidikan dan berusaha mengajak manusia untuk menggali maksud kandungannya agar manusia lebih dekat kepada-Nya. Petunjuk pendidikan dalam al-Qur’an tidak terhimpun dalam kesatuan fragmen, tetapi diungkapkan dalam berbagai ayat dan surat al-Qur’an, sehingga untuk menjelaskannya perlu melalui tema-tema pembahasan yang relevan dan ayat-ayat yang memberikan informasi-informasi pendidikan yang dimaksudkan tersebut.

Kedua, perspektif dasar Islam terhadap manusia adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Akan tetapi dalam kehidupannya, al-Qur’an menyebut manusia dengan berbagai nama sebagai berikut, yaitu al-Basyr, al-Insan, al-Naas, Bani Adam, al-Ins, Abd Allah, dan khalifah Allah, di mana kesemuanya ini mengacu pada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia. Setidaknya manusia dalam kehidupannya berada dalam peran-peran yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai berikut, yaitu sebagai makhluk pribadi atau individu yang perlu untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, baik jasmani maupun rohani. Kemudian, sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk berperan dalam kehidupan sosial. Sebagai hamba Allah yang harus mengerti tentang hakikat penciptaan dirinya. Selanjutnya, sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertugas membangun dan mengelola dunia, sehingga menjadi rahmat bagi semua makhluk-Nya.

Sementara merujuk kepada informasi al-Qur’an, pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan Islam dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim. Dari ketiga konsep di atas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’dib dan ta’lim, yang menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah.

Ketiga, posisi teologi pendidikan (Islam) adalah sebagai dasar reorientasi pendidikan yang mengarah kepada nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena sosial di masyarakat yang menunjukkan begitu kompleksnya permasalahan dan krisis kemanusiaan. Dengan berpandangan kepada pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan (humanistik), maka diharapkan permasalahan-permasalahan dan krisis kemanusiaan dapat diatasi, terlebih lagi, adalah untuk membebaskan manusia dari alienasi peran kemanusiaannya dalam kehidupan. (*)

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saefuddin, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Jakarta: Usaha Enterprise, 1976

Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003

Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu, 1998

——-, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu, 2005

Baharuddin dan Moh. Makin, Pendidikan Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: al-Husna, 1987

Mujib, Abdul, dan Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Agenda Karya, 1993

Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah, Yogyakarta: Sipress, 1993

Natsir, Muhammad, Capita Selekta, Jakarta, Bulan Bintang, 1975

Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001

Sanaji, Kasmiran Wiryo, Filsafat Manusia, Jakarta: Erlangga, 1985

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan: 1994

——-, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1987

Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006

Al-Syaibany, Oemar Mohammad at-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979

Syam, Mohammad Noor, Filsafat Kependidikan dan dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986

Tobroni, Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, Malang: UMM, 2008

*) Penulis tinggal di Jotosanur Rt 2 Rw 3 No.319 Tikung Lamongan.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae