Minggu, 20 Maret 2011

MELQUIADES ITU BERNAMA PAMAN RIFKI

Dwicipta
http://sastra-indonesia.com/

“…Suatu hari nanti aku akan menulis buku dan aku akan memakai namamu untuk tokoh utamanya.”
“Sebuah buku seperti Pertev dan Peter?” aku bertanya, jantungku berdegup.
“Bukan, bukan buku bergambar, melainkan sebuah buku yang di dalamnya aku menuturkan ceritamu.” [Kehidupan Baru, hal 422]

Osman mengenang percakapannya dengan paman Rifki itu di ujung usahanya dalam mengetahui teka-teki di balik berbagai peristiwa yang telah dialaminya. Ia telah terpukau oleh sebuah buku yang dibacanya, melakukan perjalanan demi perjalanan dengan bus, mengalami dan menyaksikan berbagai kecelakaan demi mendapatkan impiannya akan kehidupan baru seperti yang dijanjikan oleh buku itu. Adakah kemungkinan bahwa ia dan hidupnya adalah ciptaan paman Rifki, orang yang di kemudian hari diketahuinya sebagai penulis buku itu?

Novel Kehidupan Baru karya Orhan Pamuk ini membuka kemungkinan pembacaan semacam itu. Untuk memuluskan skenario itu, penulisan sebuah buku yang didedikasikan bagi Osman kecil –anak cerdas teman sejawatnya di Perkeretaapian Negara– yang kelak mewujud dalam bentuk novel yang juga berjudul Kehidupan Baru, Paman Rifki ‘membunuh’ dirinya dalam novel karangannya, meskipun hampir di sepanjang novel tersebut kita merasakan kehadirannya yang terus-menerus, membayangi kehidupan Osman dari awal hingga akhir cerita. Pamuk tak berhenti hanya sampai di situ. Karyanya yang luar biasa ini seolah-olah mengembangkan lebih jauh kemungkinan-kemungkinan bercerita baru, yang kita sebut model bercerita posmodern, dengan mengeluarkan tokoh utama, Osman, dari dunia rekaan paman Rifki layaknya para keluarga Buendia dalam Seratus Tahun Kesunyian-nya Marquez merespons segala tulisan Melquiades, mengikuti dan mengomentari skenario yang telah dibuat paman Rifki untuknya.

Walaupun di akhir cerita sang tokoh tunduk pada desain besar yang telah membentuknya, namun ada fakta yang tak bisa dipungkiri di sepanjang novel ini dimana sang tokoh seperti melakukan suatu tanggapan berkesinambungan akan sosok penulis bukunya. Hasilnya adalah jalinan cerita memukau yang menggambarkan ketegangan antara kemandirian yang berusaha direbut oleh sang tokoh dan desain besar yang telah membentuknya. Pengarang yang semula ditempatkan sebagai pemegang otoritas tunggal atas tokoh-tokohnya kini harus menyerahkan sebagian otoritas itu pada tokoh-tokohnya tersebut. Ada humor segar nan intelek dalam hubungan antara tokoh dan pengarang dalam novel ini.

Pembacaan pertama

Marilah terlebih dahulu kita menelusuri alur konvensional dalam novel Kehidupan Baru karya Orhan Pamuk ini, yang memakai baju cerita detektif, sebelum melihat salah satu varian pembacaan dari sekian kemungkinan varian pembacaan yang bisa dilakukan.

Osman adalah seorang mahasiswa jurusan teknik yang tinggal bersama ibunya yang sudah menjanda. Ketika berada di kampus dan sedang memandang seorang teman perempuannya, Janan, ia terpikat pada sebuah buku misterius yang ada di tangan perempuan itu. Selagi penasaran dengan isi buku itu, dalam perjalanan pulang ke rumah dengan melewati lapak penjualan buku bekas, ia melihat buku yang semula ada dalam genggaman tangan Janan itu di sebuah lapak. Sebagai usaha untuk memikat Janan sekaligus penasaran akan isi buku yang dipegang oleh perempuan itu, ia membeli, dan membaca buku yang menjanjikan sebuah kehidupan baru bagi siapapun yang membacanya itu. Di kampus, ketika bertemu kembali dengan Janan yang telah ditemani Mehmet, Osman diberitahu bahaya yang mengancam bila membaca buku itu.

Akibat membaca buku itu, dan usahanya menemukan Janan yang dianggap menjadi belahan jiwanya, Osman meninggalkan kehidupannya di Istanbul bersama ibunya maupun pendidikannya di Universitas. Selama berbulan-bulan ia melakukan banyak perjalanan, naik turun bus yang membawanya ke berbagai tempat di pedalaman Anatolia itu sebelum akhirnya bertemu dengan Janan dan melakukan perjalanan bersama dengan perempuan yang ia cintai itu. Dalam perjalanan tersebut mereka mengalami dan melihat banyak kecelakaan lalu lintas. Kadangkala mereka menemukan diri mereka dalam suatu keadaan letih antara tertidur dan terjaga, suatu keadaan yang membuat Osman berhasrat untuk meninggal dalam suatu tabrakan maut.

Titik balik dari perjalanan panjang kedua orang itu adalah ketika mereka sampai di Tempat kediaman Dr. Fine (barangkali lebih tepat dengan nama Turki yang dipakai Pamuk dalam versi bahasa Turki-nya, Dr. Narin) dimana setelah ia meninggalkan Janan selama seminggu dan kembali ke kediaman Dr. Narin perempuan yang ia cintai telah lenyap entah kemana. Di kediaman Dr. Narin ini, Osman dan Janan mendapatkan sebuah fakta bahwa Mehmet, teman sekampus mereka yang lebih dahulu membaca buku dan mencari Kehidupan Baru yang dijanjikan oleh buku itu, adalah anak dari Dr. Narin yang kabur dari rumah. Nama aslinya adalah Nahit. Naluri Osman mengatakan bahwa Mehmet, anak Dr. Narin dengan nama asli Nahit, masih hidup dengan kemungkinan kembali berganti nama –sebuah kemungkinan yang menemukan kebenarannya yang mengagetkan karena nama baru Mehmet alias Nahit itu adalah Osman, persis seperti namanya sendiri.

Dan tak lain tak bukan, bahaya akibat membaca buku itu berasal dari Dr. Narin. Dr. Narin, yang percaya bahwa anaknya minggat dari rumah karena membaca buku ini. Ia berusaha menghancurkan semua cetakan buku ini dan berusaha menghabisi siapapun yang membacanya lewat para mata-matanya yang memakai nama alias seperti Movado, Zenith, Seiko, Serkisof –semuanya nama merk jam. Salah satu korban pembunuhan ini adalah Paman Rifki, yang merupakan pengarang buku Kehidupan Baru yang sangat mengilhami Osman dalam pencarian sebuah dunia dan kehidupan baru.

Dirundung asmara tak berkesudahan dan tanpa kepastian pada Janan, meskipun ia ditinggalkan oleh perempuan itu yang menikah dengan seorang dokter dan pindah ke Jerman, Osman memutuskan pulang ke rumah dan menikah dan hidup kembali seperti biasanya. Pada suatu waktu, panggilan pada kehidupan baru kembali merasukinya, membuatnya kembali bepergian. Kepergiannya kali ini secara mengejutkan membuatnya bertemu dengan Mehmet yang telah berganti nama menjadi Osman –persis seperti namanya sendiri. Setelah percakapan panjang dengan Mehmet yang telah berganti nama menjadi Osman itu ia membunuhnya di dalam gedung bioskop. Kembali ke dalam bus dan berniat pulang kembali menemui istri dan anaknya, ia meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas dan jiwanya melayang ke dalam suatu Kehidupan Baru.

Pembacaan kedua

Jika kita mengikuti dengan seksama detil-detil yang menyempurnakan alur konvensional yang menciptakan pembacaan pertama tadi, secara mengejutkan kita akan menemukan kemungkinan pembacaan lain yang lebih menarik. Inilah yang mungkin membentuk pembacaan kedua dimana bentuk penceritaan yang konvensional dibongkar sedemikian rupa oleh Pamuk sehingga menciptakan spektrum penafsiran yang tak tunggal.

Argumen bahwa Osman adalah karakter rekaan Paman Rifki boleh jadi sebuah pembacaan kedua yang menarik dan logis. Dari kenangan Osman akan masa kecilnya, ketika pada suatu hari ia dan ayahnya berkunjung ke paman Rifki dan ditanyai berbagai nama stasiun di semenanjung Anatolia itu, dan kutipan yang ada di awal tulisan ini, nampak jelas jikalau sosok Melquiades telah menjelmakan diri pada diri paman Rifki. Kesadaran akan peran besar paman Rifki sebagai salah satu penentu jalan hidupnya baru disadari Osman dalam dialognya dengan Mehmet sebelum ia membunuh lelaki yang telah mengganti namanya dengan nama yang persis sama dengannya itu, ketika ia dan Mehmet sekedar iseng-iseng membuat generalisasi pada topik situasi mereka.

“Sebenarnya, segalanya sangat sederhana. Seorang lelaki tua fanatik yang menulis untuk majalah kereta api dan memandang hina perjalanan serta kecelakaan bus telah menulis buku yang terilhami oleh komik anak-anak goresan penanya sendiri. Lalu beberapa tahun kemudian pemuda optimistis seperti kami yang telah membaca komik tersebut dimasa kecil kebetulan membaca buku itu dan percaya bahwa seluruh hidup kami telah berubah total…” [Kehidupan Baru, hal 361].

Pegawai perkeretaapian negara ini, yang menulis seluruh kisah hidup Osman, selain menulis artikel di majalah Rail untuk para penggemar kereta api memang juga menulis dan membuat ilustrasi untuk serial komik anak-anak berjudul “Petualangan Mingguan Untuk Anak-anak” dan membuat komik berjudul Pertev dan Peter serta Kamus Berkunjung ke Amerika [hal 23-24]. Lewat gaya humornya yang khas, Pamuk menempatkan Osman pada posisi mengolok-olok otoritas besar paman Rifki selaku pencipta dirinya, yaitu pada momen ia dan Mehmet sedang membuat generalisasi pada situasi yang mereka alami, ketika Osman menyadari bahwa tempat pertemuan kembali mereka berdua adalah di Viran bag, kota kecil indah yang dan juga nama stasiun yang dulu gagal diingatnya sebelum ia mengunyah Karamel bermerk Kehidupan Baru pemberian Bibi Ratibe.

“…Kau tahu,” ujarku, dengan mengucapkan setiap suku kata dan menatap wajahnya, “berkali-kali aku menangap kesan bahwa buku itu adalah tentang diriku, bahwa ceritanya adalah cerita diriku…” [hal. 362]

Penelanjangan diri Osman tidak hanya berhenti pada diterimanya kesan bahwa dirinya adalah ciptaan paman Rifki. Setelah membunuh Mehmet atau Nahit, ia kembali ke Istambul, menjalani kehidupan baru dengan menikahi anak perempuan tetangganya. Sampai pada suatu malam, ketika sedang berjalan tanpa arah yang jelas, kedua kakinya membawa Osman ke rumah paman Rifki. Ia menelusuri asal-usul lebih detil penciptaan buku itu, yang juga merupakan penciptaan dirinya, dengan meneliti secara seksama tiga puluh tiga buku yang ada di rak buku Paman Rifki. Ia memperhatikan bahwa beberapa adegan dalam Kehidupan Baru, beberapa ungkapan dan fantasinya, diilhami oleh bahan-bahan dari buku itu atau dicomot begitu saja dari buku-buku-buku tersebut [hal. 407].

Dan barangkali inilah puncak dari olok-olok Pamuk pada superioritas pengarang atas tokoh-tokoh rekaannya dengan cara membuat si pengarang justru sebagai pihak yang dibedah secara seksama oleh tokohnya: “…saat aku membandingkan beragam fantasi dan ungkapan dalam bacaanku, aku menemukan bisikan-bisikan tersandikan di sela-sela teks yang dari sini aku dapat melacak rahasia mereka… Bangga atas kompleksitas jaringan keterkaitan yang kubuat, aku bekerja dengan penuh kesabaran seperti seseorang yang menggali sumur dengan sebatang jarum, dalam upaya untuk menebus sedemikian hal yang kuabaikan dalam hidup…” [Hal 411]

Secara indah Pamuk merangkai penggambaran malaikat dalam karangan paman Rifki dalam wilayah fiksional dan intertekstual. Pada wilayah fiksional, Osman mengenang pada gambar malaikat pada pembungkus Karamel yang bernama Kehidupan Baru yang sangat ia sukai di masa kecilnya, sebuah penggambaran yang setelah ia telusuri kepada orang yang membuatnya ternyata diilhami dari artis cantik Marlene Dietrich dari Jerman yang bermain dalam film Der Balue Engel yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Heinrich Mann. Penggambaran malaikat secara fiksional ini kemudian dipadukan secara referensial dengan gambaran malaikat-nya Rilke –yang juga berasal dari Jerman- dalam Duino Elegies. Dalam suratnya pada Lou Salome, Rilke mengatakan bahwa malaikat dalam Duino Elegies bukanlah malaikat yang berasal dari surganya orang Kristen, namun lebih mendekati malaikat-malaikat dalam surga kaum Islam.

Puisi Dalam Prosa dan Permainan Semiotika

Membaca novel ini, kita menemukan sebuah prosa yang digarap dengan ekspresi bahasa puitik yang memikat, terutama di bagian awal cerita. Dalam suatu wawancara, Pamuk mengakui intensinya pada penghadiran sebentuk prosa puitik semacam ini, dimana sumber ilham lahirnya novel Kehidupan Baru ini adalah karya-karya para penulis romantik Jerman.

“Prosa yang dilahirkan para penulis romantik Jerman memiliki suatu tarikan yang kuat dengan kematian; mereka mencari yang absolut dan berharap menciptakan sebuah ‘puisi’ yang jauh menjangkau pencarian ini hingga ke suatu platform non eksisten. Inilah buku –Kehidupan Baru- yang ditulis dengan harapan-harapan tersebut.” [The Other Colors: Selected essays and a story, hal. 147]

Maka sejak dari awal kalimat dalam novel ini, meskipun tidak menguasai seluruh novel melainkan hanya di bagian-bagian tertentu, ekspresi bahasa yang puitik ini telah menjerat perhatian kita. Seperti Gabriel Garcia Marquez, nampaknya Pamuk menyadari arti pentingnya yang besar dari kalimat pembuka novel yang memikat dan langsung menyergap perhatian pembaca, sehingga dibukalah novelnya itu dengan sebuah kalimat yang menghentak: “Suatu hari, aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun berubah.” Memasuki bagian kedua novel ini, pembaca novel langsung disergap dengan sebuah kalimat lain yang membuat mereka terperangah: “Hari berikutnya aku jatuh cinta.” Jika di bagian pertama aspek puitik ini terjalin lewat sebuah perenungan mendalam akan efek sebuah buku dalam diri si tokoh, di bagian kedua kedua kita disuguhi sebuah penggambaran yang betul-betul puitik tentang pengalaman jatuh cinta Osman pada Janan, keresahannya dalam menanggung beban cinta dalam dadanya dan sebuah kehidupan baru yang terus menerus memanggilnya untuk mendekat. Semua hal ini memadat ketika Osman menempelkan keningnya di kaca jendela ruang Universitas, tempat dimana Janan menciumnya, sembari menatap butiran salju yang turun.

“Aku mengamati serpihan salju yang jatuh dalam deraian lembut hujan salju, yang berlengah-lengah tak pasti pada suatu titik mengejar serpihan salju lain, tak mampu membuat keputusan, ketika angin ringan bertiup dan menyapunya. Dan sesekali, sekeping serpihan salju lain meliuk di udara kemudian diam sesaat, lantas seakan telah berubah pikiran, ia lalu berbalik dan perlahan-lahan menuju angkasa…” [Hal. 47]

Hasrat untuk menciptakan sebuah “puisi” dalam prosa seperti pada karya-karya pengarang romantik Jerman ini tercermin kuat di dua bagian ini di samping pada penggambaran Pamuk akan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas, perjalanan-perjalanan bus tanpa henti yang dilakukan Osman, dan kepiluannya untuk menemukan kembali Janan sebelum diakhiri secara memikat pada momen-momen akhir novel ini, ketika fajar merekah di ufuk timur dan Osman melihat wujud malaikat seperti yang digambarkan dalam buku yang dibacanya serta ‘pintu’ kehidupan baru yang telah terbuka untuknya. Maka seiramalah apa yang telah disuguhkan oleh Pamuk dalam novelnya ini dengan apa yang ia nyatakan di bawah ini:

“Ketika sedang menuliskan novel ini, aku memutuskan menjadi seorang penyair. Maksudku, aku memutuskan bertindak secara parsial dengan intuisi-intuisiku dansecara parsiap seolah-olah seseorang sedang berbisik padaku. Dalam kenyataannya, saya tidak memaksudkannya untuk keseluruhan novel ini, namun hanya beberapa bagiannya. Bagian-bagian dimana kecelakaan lalu lintas dideskripsikan, dan dimana sang protagonis jatuh cinta dan berkelanan sendirian. Pada bagian-bagian ini aku menuliskannya tanpa rencana atau program. Sebagaimana mereka mungkin bicara, dewi Musae berkata padaku “hei!” dan kemudian dengan mudah aku menuliskannya seperti itu.”

Ekspresi bahasa yang puitik ini bertumpang tindih dengan peristiwa-peristiwa surealistik yang dialami tokoh-tokohnya. Maka tidak mengherankan jika kita mendapatkan kesan dari keseluruhan alur cerita ini bahwa yang riil dan yang surreal terus bergandengan dalam novel. Perjalanan-perjalanan dengan bus ke wilayah-wilayah pedalaman Turki dan kecelakaan-kecelekaaan lalu lintas yang realistik dalam novel ini dipadukan dengan respons Osman dan Janan yang kerapkali fantastik dan tak terduga-duga. Dalam suatu kecelakaan, misalnya, ketika keningnya berdarah, Osman merasakan suatu ekstase berdiri di ambang batas kehidupan lamanya dan kehidupan baru yang sedang dicarinya. Ia merasakan alangkah sudah dekatnya ia dengan malaikat yang telah digambarkan dalam buku yang telah ia baca. Ketika perjalanan Osman mengantarkannya pada Dr. Narin yang kemudian diketahui melakukan spionase dan pembunuhan terhadap pembaca buku Kehidupan Baru karangan paman Rifki lewat mata-matanya, sekali lagi, kita dihadapkan pada sesuatu yang riil dan fantastik sekaligus. Sekalipun Pamuk telah menata detil-detil cerita ini dengan sangat rapi, pembaca akan sulit memahami, misalnya, pergantian nama Mehmet sebanyak tiga kali –dari awalnya Nahit, kemudian berganti menjadi Mehmet, sebelum akhirnya berganti lagi menjadi Osman, persis seperti nama tokoh utama-, kenapa Janan meninggalkan Osman yang tengah mempelajari arsip-arsip di kediaman Dr. Narin, dan kenapa Osman meninggalkan pencariannya akan kehidupan baru setelah ditinggalkan Janan.

Hal lain yang sangat menarik perhatian dari novel ini adalah permainan semiotik memikat yang disuguhkan Pamuk. Lihatlah judul Kehidupan Baru-nya yang memiliki banyak hubungan rumit. Judul Kehidupan Baru ini pertama-tama menunjuk pada buku yang ditulis oleh Orhan Pamuk, dan kemudian mengacu pula pada buku yang dikatakan ditulis oleh Paman Rifki dalam novel Pamuk. Judul buku ini mengingatkan kita pada La Vita Nuova karya Dante, karena Paman Rifki —dan sebagai konsekuensinya Orhan Pamuk— menyebutnya sebagai sumber inspirasi: sebuah buku yang menjanjikan kehidupan baru bagi pembacanya—yang dinarasikan oleh seseorang yang mengenang bahwa dulu ia biasa melahap Karamel Kehidupan Baru. Di sinilah kita bisa melihat Kehidupan Baru sebagai sebuah penanda dengan tetanda ganda. Salah satu dari tetanda itu adalah La Vita Nuova karya Dante, sementara tetanda yang lain adalah kehidupan baru yang dituliskan dalam kasus yang lebih rendah yang kita harapkan hidup secara faktual. Namun Pamuk dengan piawai membuat tetanda ini kerapkali berubah, bahkan saling menggantikan.

Sebuah hubungan semiotik serupa bisa dilihat dalam citra malaikat yang ditemukan dalam pembungkus Karamel Kehidupan Baru. Pemilik pabrik karamel Kehidupan Baru ini, Sureyya, begitu menggandrungi Marlene Dietrich, artis yang berperan sebagai seorang perempuan bak malaikat yang dicintai oleh Professor Unrat dalam film Der Blaue Engel. Dari sinilah kemudian citra malaikat dalam pembungkus karamel itu muncul. Citra malaikat dalam Kehidupan Baru karya paman Rifki, dan secara otomatis mengacu pada Kehidupan Baru karya Pamuk, juga bisa ditarik benangnya pada penggambaran malaikat dalam Duino Elegies karya Rilke selain pada literatur-literatur timur seperti Kunci Kebijaksanaan karya Ibnu Arabi. Pamuk mengkombinasikan citra malaikat yang suci ini dengan citra-citra malaikat yang lain sehingga menciptakan suatu paradoks. Permainan semiotik inilah yang membuat karya Pamuk ini mengusung suatu unsur posmodern dalam cerita.

Kehidupan Baru: Alegori tentang Turki

Banyak kritikus yang menilai bahwa novel Kehidupan Baru ini adalah sebuah alegori tentang Turki yang terbangun dengan baik. Di luar Istanbul yang sekuler dan modern, terdapat daerah-daerah pinggiran atau pedalaman yang kumuh dan miskin dan tengah berjuang mencapai tujuannya di tengah serangan gencar globalisasi. Karamel Kehidupan Baru hanyalah sebuah kiasan dari semakin tergusur dan matinya produk-produk lokal dan bisnis kecil akibat membanjirnya produk-produk dari luar Turki. Mereka, produk-produk dan bisnis kecil lokal, tak mampu berkompetisi dengan kekuatan besar kapitalisme Barat yang tidak hanya melanda Turki namun juga seluruh dunia. Dari cerita Dr. Narin pada Osman kita tahu bagaimana yoghurt dingin tradisional atau serbet Ceri masam telah digantikan oleh Coca Cola, terpinggirkannya lem damar lokal oleh lem UHU yang lisensinya di bawah merk dagang berlambang burung hantu kecil manis dari Jerman, dan lenyapnya sabun lempung oleh membanjirnya sabun merk Lux. Gambaran penuh kemurungan ini memunculkan dugaan adanya konspirasi besar untuk menghancurkan Turki sekaligus mengakibatkan kemarahan yang mewujud dalam fundamentalisme agama dan konservatisme yang buruk.

Akibat Westernisasi yang dijalankan sejak era Kemal Ataturk, Turki menjadi sebuah bangsa yang penuh kontradiksi. Ia ingin menjadi bagian dari Uni Eropa guna memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi, namun di sisi lain negeri ini masih menindas kebebasan ekspresi dan menutup pintu pada opini-opini yang kritis pada pemerintah dan kebijakan-kebijakannya. Pamuk membawa kita pada gambaran Westernisasi yang menegangkan dan penuh konflik di Turki ini secara literer, salah satunya, lewat kenangan Osman akan komik Pertev dan Peter dan Pahlawan-Pahlawan Kereta Api yang ia baca pada masa kanak-kanak, dan kemudian ia baca ulang dalam ruang arsip Dr. Narin. Namun yang paling menonjol, dan ini yang menjadi salah satu bagian utama novel Kehidupan Baru yang sangat indah, adalah curahan literer Pamuk untuk mengkritik kebebasan ekspresi di Turki lewat tindakan spionase, dokumentasi dan pembunuhan terhadap siapapun yang membaca buku Kehidupan Baru karya paman Rifki.

Penutup

Novel Kehidupan Baru ditulis oleh Pamuk ketika ia telah mengerjakan separuh dari novel My Name is Red –Namaku Merah Kirmizi. Selesai ditulis pada tahun 1994, bersama penerbitnya di Turki, Pamuk meluncurkannya dengan suatu kampanye iklan yang tak jamak. Mereka memasang papan-papan reklame di Istanbul yang bertuliskan kalimat pertama dalam novel itu: “Suatu hari, aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun berubah.” Saat itu, strategi pemasaran novel yang dilakukannya adalah sesuatu yang baru dalam sistem literer Turki. Namun pembaca merespons-nya dengan baik sehingga novel Kehidupan Baru menjadi buku yang terjual paling cepat dalam sejarah literer Turki –satu menit per buku dalam pekan raya buku di Istanbul.

Para pengulas buku dan kritikus pun sibuk dengan novel ini. Oleh sebagian kritikus, novel ini dianggap terlalu terpusat pada kehidupannya sendiri –Pamuk adalah bekas mahasiswa Teknik Arsitektur yang meninggalkan studinya untuk bisa berkarir penuh sebagai penulis, serebral, dan sulit. Namun para penulis terkenal seperti Salman Rushdie dan John Updike, membandingkan novel Pamuk dengan karya-karya Marcel Proust, Jorge Luis Borges, Gabriel Garcia Marquez dan Franz Kafka. Pamuk sendiri mengakui pengaruh Kafka yang besar dalam novel ini, terutama kecenderungan tokoh utama yang terserap pada dunianya sendiri.

Namun dalam terjemahan bahasa Inggrisnya yang digarap oleh Guneli Gun –penerjemah yang juga mengalihbahasakan novel Pamuk yang berjudul Black Book, novel ini cukup kontroversial dan mendapatkan dua tanggapan yang bertolak belakang di dua negara yang berbeda. Para kritikus di Inggris menganggap kualitas terjemahan Guneli Gun ini buruk sehingga novel ini mendapatkan penghargaan sebagai novel terjemahan terburuk tahun itu, sementara publik Amerika memuji tinggi terjemahan novel ini.

Terlepas dari kontroversi itu, kejeniusan Pamuk terletak pada kemampuannya untuk mengganggu konvensi-konvensi pembacaan kita. Jika bagi sebagian orang novel ini dianggap susah, namun bagi kritikus yang teliti, alih-alih terganggu, novel ini justru menyuguhkan padanya berbagai model pembacaan yang menarik. Dan yang paling utama, novel ini telah mewariskan pada kita suatu capaian literer luar biasa dimana kita bisa belajar darinya untuk melahirkan karya-karya yang lebih baik. Membaca novel ini kita seperti Osman ketika membaca buku yang mengubah seluruh hidupnya: “sudut pandang kita diubah oleh novel ini, dan novel ini diubah oleh sudut pandang kita.”

Sokawangi, Desember 2008
Untuk Ibuku tersayang

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae