Minggu, 16 Januari 2011

PUSARA MASA LALU

M. Luthfi Aziz
http://sastra-indonesia.com/

Prolog:
Entah sihir atau wahyu yang membuatku selalu terbangun dalam mimpiku di siang bolong, di bawah kolong-kolong langit langkahku selalu diikuti gelombang gelisah mengenai sebuah gelisah; aku mengingat dan menyebut namanya, bayangan dirinya menari tepat dimataku tanpa mampu ku mengusirnya, tiba-tiba tangan dan kepalaku bergerak teratur bersama ritmis alam, menari di antara ekstase ketidak sadaran dan ruh yang masih terbawa di alam nyata. Nama, wajah, dan dirinya sempurna berpusara di dalam benakku. Tanpa mampu menolak aku berusaha melawannya yang berujung pada keputusan keputusasaan untuk dapat melepasnya, walau sesaat. Sementara dia mahluk asing berupa bayangan nyata yang selalu menguntit dunia riilku. Kini dia nyata hanya imaji kosong, namun aku masih berjuang untuk menghapusnya dalam kehidupanku, apakah aku bisa?
***

Aku bertemu dengannya dalam sebuah acara pada salah satu dunia imaji ilmiah. Sebuah seminar yang menghadirkan pembicara terkemuka. Oleh panitia aku diminta menjadi salah satu pembicara pada acara yang bergengsi dalam dunia imaji ilmiah itu. Dia hanyalah seorang peserta yang sama dengan peserta lainnya. Namun di mataku memang dia tampak berbeda. Dia memiliki kecantikan yang khas kejawa-jawanan. Gerak-geriknya lembut seperti tari-tarian mistis yang memagnet mataku untuk memandangnya secara mencuri-curi atau terang-terangan tanpa rasa sungkan. Dan rasanya aku pernah mengenalnya.

Dia duduk di deretan paling depan dan tampak sangat antusias mengikuti perjalanan forum. Gaya berbicaranya lembut dan sangat mengikat. Kata-katanya tertata rapi seperti barisan pasukan memiliki kekuatan memaksa untuk menyimaknya. Pertanyaan dan pernyataannya merupakan air deras yang mengalir dan dapat diikuti sampai ke muara.

Bagiku dia adalah gambaran seseorang yang hanya pernah aku temui dalam suatu cerpen. Sebuah cerpen yang membuatku terpesona dengan jalan ceritanya. Di dalam cerpen itu dituliskan cerita tentang perempuan yang memiliki spirit yang sangat tinggi untuk mengetahui dan berbagi tentang dirinya; “keperempuanannya”. Dia selalu memiliki pandangan mata dan pandangan pemikiran yang teduh. Dia memiliki ketinggian kualitas dalam ukuran fisik, namun juga perilakunya juga menyampaikan bahwa dia memiliki karakter yang tinggi. Dan dia memiliki fisik yang tak pernah ku lupa bayangan kelembutannya. Aku adalah lelaki, mahluk kasar yang selalu merindukan kelembutan dari lawan jenisku.

Agar aku tidak hanya cerita tentang kegilaanku kepadanya, sebaiknya aku teruskan ceritaku dengannya. Mungkin anda yang membaca cerita ini perlu perlu tahu bahwa sebelumnya aku mengabaikan sms masuk yang tidak penting ke dalam inbox message-ku. Tetapi kali ini mulai lain. Dia seringkali sms hanya untuk mengingatkan agar aku tidak lupa sarapan, makan siang, makan malam, dan beristirahat jika payah. Bagiku sms seperti ini tiba-tiba menjadi penting, bahkan menjadi urgen dan selalu ku nantikan. Ketika aku berada dalam kalut, suntuk, dan capek, dia selalu dapat menemaniku untuk berdialog walaupun dalam pandanganku bahasanya sangat sederhana dan pandangan yang sederhana pula. Entah kenapa, aku rasa dia tahu aku sering berfikir sesuatu yang rumit sehingga dia memilih yang sederhana untuk “menghadapiku”.

Aku berpikir keras. Jauh hari-hari sebelumnya aku lebih suka menghabiskan hari-hari dengan kesendirian, hanya bergumam melalui catatan-catatan kaki dan buku-buku referensi yang kadang terbawa dalam mimpiku. Mimpi-mimpi Plato, bayang-bayang kebijaksanaan Sokrates, harapan materialism Marxis, sampai harmoni konfusianisme atau filsafat jawa yang juga tidak semuanya dapat kufahami sepenuhnya dengan baik. Aku pun heran bagaimana mereka dapat menciptakan semua imaji itu. Aku menikmati bayangan-bayangan indah dan mimpi-mimpi sempurna para tokoh-tokoh besar persilatan pemikiran itu.

Waktuku habis untuk membaca segala sesuatu yang aku juga tidak sepenuhnya tahu untuk apa semua itu ku baca. Memang ada setitik keyakinan bahwa dengan mengayakan pandangan terhadap dunia, aku akan menjadi lebih bijak menghadapi berbagai peristiwa. Aku menghamburkan waktuku untuk perenungan panjang yang sebelum-sebelumnya menjadi pekerjaan para pemikir, sedangkan rasanya aku hanyalah orang yang dipermainkan oleh pikiranku sendiri. Aku hanya mencoba merangkai hasil pemikiran mereka untuk memandang realitas yang sedang terjadi. Setidaknya itulah kemampuan utamaku sebagai pekerja di dunia imaji ilmiah. Itu pun kata salah seorang teman jauhku. Katanya juga tidak begitu penting kemampuan yang ku miliki itu. Tapi masa bodoh “the show must go on” kata teman dekatku. Dan aku tanpa berfikir panjang mengamini kedua kata itu.

Selebihnya aku habiskan waktuku dengan berbagai perdebatan dan diskusi yang mempertahankan argumentasi-argumentasi akademik dan ilmiah. Media yang kugunakan juga bermacam-macam, dari mailing list, facebook, blog yang kuciptakan secara khusus untuk berbincang-bincang dengan komunitas dunia mayaku, serta pertemuan-pertemuan yang mengambil tema seminar, sarasehan, diskusi ilmiah, dan sebagainya sampai café dan warung lesehan tidak lepas dari kejaran imaji ilmiahku.
***

Berbicara tentang perempuan yang dapat mengisi hatiku sudah lama mati, aku memutuskan tidak memiliki harapan untuk dapat bersanding dengan salah seorang perempuan yang dikategorikan sangat cantik sekalipun, bahkan seandainya Dian Sastra, yang katanya kecantikannya masih khas alami nusantara dan belum terdegradasi dengan unsur-unsur luar dan asing, mau denganku sekalipun, aku berani memastikan bahwa aku tidak akan menerimanya. Itu tidak mungkin, tetapi jika mungkin sekalipun aku akan memilih larut di dalam duniaku sendiri, karena sejujurnya aku masih mengharapkannya.

Masa pubertas – dahulu – sebagai jeda dalam hidupku sebelumnya, memungkinkanku untuk mengalami impian tentang cinta yang indah kepada seorang gadis manis dan pandai dari teman kelasku. “Aku memujamu dalam kata dan doa”. Itulah kalimat yang sangat dia suka dan mengalir keluar dari mulutku. Dia menjadi medan magnet yang selalu ku ikuti, begitu juga dia kepadaku. Aku selalu ingin di mana ada dia, aku selalu berada di sampingnya, begitu juga dengannya seringkali dia “semacam” cemburu jika melihatku dengan gadis lainnya, meskipun dia tahu itu hanya seorang teman, dengan cara membuatnya cemburu aku sering menggodanya.

Waktu itu malam Minggu menjadi akhir pekan yang begitu memesona dalam pandangan kami untuk bersama, di rumahnya, alun-alun kota, atau tempat-tempat lain di mana kami bisa bersama. Berangkat ke sekolah menjadi aktifitas rutinku dengan selalu menjemputnya. Ulang tahun selalu kami rayakan bersama. Valentine, tahun baru dan sebagainya menjadi hari-hari berlalu dengan cepatnya. Sampai akhirnya detik-detik sesudah kelulusan SMA memisahkan kami. Aku melanjutkan study jauh di timur dari kotaku dan dia jauh di barat. Cinta masa pubertas tidak dapat dipertahankan. Dia menyerah pada jarak jauh yang tidak terjangkau. Aku mencoba tetapi sia-sia.

Sesudahnya aku menghabiskan waktuku untuk orientasi studyku, lalu kerjaku part time. Tak ada lagi cerita tentang gadis-gadis yang menjadi bahan pembicaraan kecuali sekedarnya. Tak ada yang bisa menggantikan kedudukannya dalam hatiku. Mungkin benar “first love’s never die”. Meskipun begitu aku tidak lagi memedulikan itu semua. Aku memilih “cuti” sangat lama dari urusan “dunia buaya”. Bagiku mimpiku adalah Allisa yang telah “mati” sejak malam perpisahan itu. Aku telah membunuhnya dengan merayu rasaku untuk melebihi diriku sendiri dari pada perasaanku kepadanya.

Namun keanehan kurasakan berikutnya, tiba-tiba aku benar-benar heran dengan diriku sendiri, tepatnya di medium waktu saat ini “apakah sebenarnya yang terjadi padaku saat ini?”, bibirku bergumam dan aku tidak percaya dengan yang terjadi. Aku tersadar dari lamunanku ketika melihat serakan daun terbang ditiup angin pembawa hujan sebelum akhirnya aku bergegas memunguti baju jemuran yang belum kering karena panas yang tertutup mendung dari pagi.
***

Waktu terus mengejar harapan dan cita-cita manusia. Sementara aku masih tidak bisa atau tidak mau mengatakan rasaku walaupun untuk sekedar jujur pada diriku sendiri. Dia, masih Allisa yang tidak pernah canggung untuk mengganggu jam-jam kesibukanku. Dan aku sadar bahwa aku selalu menanti gangguan darinya, senyumnya yang sekilas berkesan mengejek tapi menjadikannya tampak manis, renyah tawa, lesung pipi, dan bicaranya yang gurih di dengar, sampai seakan-akan dunia tiba-tiba senyap bila dia telah pergi.

Dialah yang kemudian meyakinkanku secara pelan-pelan tentang keindahan yang sebenarnya tidak berada dalam lukisan ataupun yang terlukiskan dalam kata dan bahasa, keindahan sebenarnya ada dalam hati, memenuhi ruang-ruang yang tidak tersentuh materi. Aku sulit memahaminya, setidaknya mengaplikasikan di dalam hati dengan menginstallnya menjadi salah satu soft ware di hati, kemudian mengaplikasikannya dalam program-program kehidupan. Bagiku itu terlalu sulit untuk diakal. Mungkin karena terlalu banyak virus yang menyerang system hatiku. Sedangkan dia sudah sangat akrab dengan dunia ironi materi ini.

Suatu ketika dia mengajakku ke rumahnya sendiri, lingkungannya yang asri dan indah dengan taman bunga yang tertata secara rapi di sebelah depan kanan rumah. Ada air mancur mini yang menghiasi salah satu sisi taman, bunga mawar bermacam warna, melati, kamboja dan dan beberapa bonsai. Di antara unsur-unsur taman yang indah ada terdapat background lukisan dalam bentuk relief panjang yang ironis dengan tampilan yang ada di depannya. Sebuah lukisan tanah kering dan retak serta ranting-ranting kering yang berserakan di sana sini dan berwarna hitam gelap. Ada juga sesosok iblis bercula terbang bersampingan dengan dewi bersayap putih di atas tatanan mendung hitam dan putih. Di ujung paling timur sana ku melihat pohon yang menjulang sampai menyentuh langit biru.

“Inilah keindahan sesudah kita mengetahui apa di balik keindahan di dalam hati kita” katanya sembari menemaniku berdiri memandangi taman dengan paduan relief yang belum pernah ku temui bentuk yang sama sebelumnya. Dia mengatakan bahwa dia sendiri yang menyeting dan membuat taman itu.

“Ini adalah ilham yang ku dapatkan tentang dunia ini, ayo masuk, kamu pasti belum lupa pintunya… dan isinya” kemudian tertawa kecil dan aku pun mengikutinya masuk ke rumah yang dulu pernah akrab denganku.

Dengan suguhan teh hangat sore hari, aku berbincang-bincang dengannya dan bercerita perjalanan hidup masing-masing sesudah lama berpisah. Yang jelas aku dan dia sangat berbahagia bisa bertemu dan bersama lagi. Dia mengenalku dengan baik, begitupun aku kepadanya. Semua yang selama ini tertutupi sedikit demi sedikit terbuka dengan kata-kata yang terurai di antara kami. Ada senyum, tawa, dan ritmis tangisan kecil menyertai cerita-cerita kami. Ternyata dia tak pernah meninggalkanku, itu yang ku tahu, aku ragu, namun aku tak bisa mengambil bukti kebalikannya. Aku senang sekaligus sedih karena akulah yang meninggalkannya.
***

Waktu yang lain sesudah itu dia mengajakku pergi bertamasya alam ke suatu pegunungan yang tidak jauh dari tempat di mana kami tinggal. Sebelumnya aku tak pernah melakukan tamasya alam ke mana pun atau lebih tepatnya aku tak pernah bisa menikmati sepenuhnya pemandangan alam dan menghayatinya sedahsyat cara Allisa memandang keindahan alam.

Ketika kami berdiri di samping jurang, dia kemudian mengambil kamera kecil dari sakunya. Dengan latar pohon kering yang menghitam dan dibelakangnya jurang yang curam serta tembok alam yang menjulang di seberang, dia memintaku untuk mengambil fotonya. Kemudian dia mengambil diri pada posisi dan pose-pose yang variatif, dia selalu dapat mengambil sisi yang berbeda dengan motif yang sama, tembok alam yang terjal menjulang, jurang curam, barisan pohon yang tebal dan menjadi gugusan warna hijau kebiruan dari kejauhan, asap dan mendung tebal yang dapat tak dapat ku bayangkan ketika tiba-tiba runtuh menimpa bumi, sementara kecantikan Allisa yang alami tercetak dalam gambar dengan begitu kontrasnya.

“Keindahan dapat diambil dengan media gambar, tetapi tidak bisa menggantikan sepenuhnya keindahan yang sebenarnya, dia terletak di hati” katanya ketika aku di sampingnya melihat Allisa mengutak-atik foto-foto dari kameranya dalam sebuah notebook.

“Iya, siapa yang tahu di balik keindahan alam pegunungan ini juga menyimpan kengerian yang tak terbayangkan ketika tiba-tiba bergemuruh dan mengeluarkan letusan yang dahsyat”.

“Aku tidak bermaksud membicarakan sisi kemarahan alam, begitu kata orang-orang”
“Lalu maksud kamu, alam memiliki cara untuk berbicara kepada kita semua?”

“Alam adalah diri kita ini, seperti kita merasakan adanya ikatan diri kita terhadap alam, demikian alam juga merasakan memiliki ikatan dengan diri kita”.

Aku benar-benar menikmati keindahan Allisa dengan seluruh latarnya. Dia mempersembahkan senyum dengan mantra yang menjinakkan hasratku terhadap lainnya. Dia menghadirkan kata dan sikap sejuk seperti aliran danau dan aku tenggelam di dalamnya. Segala gerak-geriknya merupakan persembahan tarian alam yang selalu dapat kunikmati hingga ekstase karena demikian indah. Aku rasakan setiap pertemuan kami adalah jeda kebahagiaan yang demikian memesona. Aku dan dia larut ke dalam medium-medium yang ku miliki. Dan setiap perpisahannya menjadi medan magnet yang selalu tarik-menarik karena pesona.
***

Kali ini dia datang dengan mata basah yang menutupi sebagian besar aura cerah di wajahnya. Senyumnya tidak ku lihat, renyah tawanya seperti telah habis, gurih bicaranya seperti melempem, dan lesung pipinya hanya tampak ketika isakan tangisnya menyelingi ucapan-ucapannya. Sementara aku tidak melakukan apa-apa selain hanya mendengarnya sampai tangisnya usai nanti. Sembari dalam hati ku berharap akan mendengar dan melihat lagi cerah auranya sesudah tangisnya nanti. Hanya itu yang ku harapkan tidak lebih, batinku lirih tapi tajam berunjuk rasa besar-besaran melawan suatu keadaan kontras yang tiba-tiba datang.
Sesudah hari itu, waktu itu, aku merasa ada yang benar-benar hilang dari hidupku. Suara kicau burung pagi, kokok ayam jantan dan alarm yang selalu membangunkanku, tak lagi ku dengar, semilir angin, dinginnya embun pagi tidak lagi ku rasa, gerahnya udara siang, dan teriknya matahari, tak mampu membakar kulitku walau semakin menghitam. Dan tiap hari menjadi malam panjang yang membuatku tak bisa bangkit dari tidurku yang melarut dalam mimpi-mimpi tak berujung.

“kamu tampak kering ” kata temanku.
“kamu semakin kurus” kata temanku lainnya .
“kamu kurus kering” kata temanku yang lainnya lagi.
Aku tidak menyangkal. Dan aku pada kenyataannya merasakan semakin melemahnya fungsi-fungsi tubuhku.
“Ayolah kamu makan” kata temanku
“Kamu harus makan agar lekas sembuh” kata temanku lainnya.
“Ayolah kamu yang banyak makan agar lekas sembuh” kata temanku lainnya lagi.

Perhatian yang setulus hati dari beberapa teman dan kerabatku aku abaikan begitu saja. Aku merasa inikah keindahan yang sebenarnya, suatu rasa yang dating melesat-lesat seperti pijar kilat, tidak mampu ku menangkapnya, tak dapat aku mendefinisikannya, begitu cepat dan semakin ku kejar semakin ku merasa kehilangan cahaya yang berkilat-kilat putih berlari di hadapanku.

“Aku telah menikah dan lusa suamiku akan datang, namun aku masih saja berharap bisa bersamamu” kalimat ini yang terakhir ku dengarkan secara sungguh-sungguh dari bibirnya yang seksi.
“Jika kamu tidak ingin lagi menemuiku, percayalah aku akan selalu menemuimu dalam kata hati dan doa untukmu” Mendengar kalimat terakhirnya ini aku hanya diam tanpa ekspresi, aku akan hanya diam sekali lagi jika dia berbicara apa lagi, apa saja, dan apa pun.
***

Kembali waktu kuhabiskan dalam kesendirian, tak ada kebersamaan selain dengan bayang-bayangnya yang menyertai setiap kerdip mata dan keluar-masuknya nafasku. Aku berdiri di sini aku merasakan rindu yang tidak mungkin untuk dapat bertemu dengan empunya. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah merindunya. Aku hanyut dalam hasrat ingin bertemu dengannya, tetapi harus bukan untuk mendekapnya atau memegangnya dalam genggaman tanganku.

Di sini di depan pusara semua kenangan yang masih segar terguyur rintik hujan, tanah dan tubuhku basah oleh hasrat untuk selalu menancapkan rasa rinduku atasnya, bukan untuk bersama yang ku rindu dan ku cinta, di akhir ziarahku sebelum meninggalkan hasratku yang satu dan lainnya, seraya memusarakan harapku untuk memenjarakan cinta dan setiaku, aku bergumam “Tuhan aku bersyukur atas cinta dan rindu yang selalu bersemai di dalam hati kemanusiaan”.

Sesampai di rumah aku baca tulisan Allisa pada selembar kertas kecil yang lusuh tergeletak di atas meja, dengan dada berdegup kencang, tubuh tersungkur, air mata berkilang, namun dengan senyum berat dan kesadaran penuh aku baca pelan:

Hujan adalah waktu
Angin adalah waktu
Panas adalah waktu
Terang adalah waktu
Gelap adalah waktu
Rinduku adalah waktu
Dendamku adalah waktu
Perjumpaan kita adalah waktu
Perpisahan kita adalah waktu
Wahai………..
Bagaimanakah dapat membunuh waktu

Sesudahnya aku menutup pintu kamar dan hatiku untuk kenangan yang telah memakan habis waktu masa laluku, aku hanya berhak mengenangnya bersama takdir-takdir usang lainnya.
***

Epilog;
Setiap orang pernah merasakan jatuh cinta dan kesetiaan, atau pengharapan besar dan pengorbanan. Ada yang hanya merasakannya sekali dan berhasil mengejawentahkan semua itu menjadi kenyataan, namun ada juga –mungkin banyak- yang harus menerima kenyataan pahit dan patah hati karena cinta, kesetiaan, dan pengharapan besar, serta pengorbanan berubah menjadi mimpi buruk yang tidak diharapkan. Semuanya sebenarnya jika diresapi hanyalah…….. persoalan waktu yang mengajarkan kepada manusia tentang kehidupan.

*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae