Minggu, 16 Januari 2011

Puisi-Puisi Imamuddin SA

http://sastra-indonesia.com/
DALAM API WAKTU

seperti tembakau hatiku
tak pernah merindukan hujan sabdamu
hanya memuja siraman air
dari tarian kata-katamu

tidakkah kau pastikan
adalah lidah tak berdaya: terbata
membiarkan perut, kaki, tangan,
mata, hidung, telinga
bersaksi sendiri
dalam raga hampa esok hari

basah air mata hanya di tanah
keluh sesal menjadi bah luka

dan tidakkah kau tajamkan mata-matamu
saf para pembual bergolong-golong
mengantri menjadi batu dan kayu
dalam api waktu

adalah dia yang bersaksi
tak pernah bersapa mengenal sendiri

Lamongan, Oktober 2010



PENGANTIN CAHAYA

jantungku adalah dingin puncak
berkerai kabut di ujung lambaian jejak
hatiku adalah sunyi hujan
merajut nafas dalam penghambaan

betapa sulit kulukis keindahan
dingin, kabut, sunyi, awan, hujan
tuhan
yang mendekap perjalananku kali ini

sungguh rumit kueja dengan kata
segala tercurah dalam satu alif
menjadikan aku seperti manggar
tertiup angin yang terjatuh pada kelopak
dan berbuah

betapa sublimnya nafasku
hingga tak pernah kutemu
dalam pengembaraan tidurku
dalam gelap batu

dan sekarang kau biarkan aku
berdiri di puncak ciptamu
merajut langkah waktu
tanpa mengenal panggilanmu
bersama jejak merapi menutup nadi hari

adakah tubuh sekeras ini di wajahmu
menyepakati yang haq
dari telapak takdirmu

maka seperti saat ini
esok restui aku bersila di puncak keabadianmu
menjadi pengantin cahaya arshmu

Bogor, Oktober 2010



TAMAN BUNGA PERSINGGAHAN

sebuah keniscayaan
lebur dalam pandangan
mengisahkan berkas penciptaan
pada titik keagungan

subhanallah
dari mata air langit
setetes kasih membelah biji
menjadi tangkai
menjalar daun
menebar warna
di batas bunga-bunga

masyaallah
taman bunga persinggahan ini
telah bersaksi akan tubuh ringkih
atas sepercik kesetiaan
dalam luka tertahan

“tak kan ada yang terpetik
dari keelokan kembang
hanya keagungan bermain-main
di balik fana jalan:
khuld adalah jawaban”

subhanallah
ada detak sungsang dalam jantungku
ada wajah cahaya masa lalu:
-aku masih mengingatmu-

Bogor, Oktober 2010



KONJUNGSI SEBUAH KERETA

dzikir kepala menjadi maya
menyaksikan berkas hitam
di garis telapak tangan
gaib dalam kesadaran angan

bukankah baru sore tadi
kau rajut benang harapan
pada sepenggala lengan
membuka motif perjalanan

saudaraku, biarkan aku menyapamu
sambutlah dalam hati rindu

ada lukisan bunga
pada kursi kereta
-mawar merah-

ah, tiba-tiba kutangkap dalam kaca
bunga cinta merekah
merahnya menjadi darah:
amis mewangi kamboja

dari kereta menuju kereta
pada rel berbeda
-kereta kencana-

dan perjalanan tidaklah diam
namun kembali pada permulaan
mengenali saudara sebadan
bertanya suatu alamat kediaman

Lamongan, Oktober 2010



KALI MAYA

pada sungai ini kupijak kembali
kaki-kaki angan di tebing kenangan
silam:
-air, ikan, jaring, permainan-

wus wayah tumandang lumrah
wolak-waliking lemah tumomo pasrah

sementara di sisi kiriku
berdiri lelaki tua
tanpa wajah:
-tanpa arah-

mengajakku bermain di kedalaman sungai jiwa
membentang jaring-jaring ketabahan
menangkap ikan-ikan keikhlasan
memilah bening mata air perjalanan

segala yang ada menemukan muara
bangkit dari yang lama
tenggelam dalam kali maya
seperti kalijaga di hening sugainya

Lamongan, Oktober 2010

Puisi-Puisi Dadang Ari Murtono

http://www.suarapembaruan.co.cc/
Paras

'paras mereka mirip,' ucap seorang penyair
tua tentang pasangan yang
berjodoh
dan kita lalu saling mematut
diri, mencari lekuk yang serupa
namun sungguh, mataku terlalu sipit
dibanding matamu,
kulitmu jauh lebih bersih
dari kulitku
dan hidungmu begitu mancung,
begitu manis. bibir kita juga
tampak sangat berbeda
dan begitulah, esok paginya
tak kudapati kau di sebelahku
tak ada lambaian tangan, tak
ada ucap selamat tinggal
hanya firasat runyam tentang
kau yang tak akan kembali
tapi masih kusimpan wangi
rambutmu di rongga dadaku
tahukah kau sejak saat itu
aku punya kegemaran baru:
aku suka memanjangkan rambut
dan memakai anting
sebab dengan itu, ketika berkaca
betapa kuyakin alangkah
mirip paras kita



3 Pinta Kecil

untuk sawah yang kekeringan
ajari aku menahan rindu
seperti kau yang tahan menunggu
tetes-tetes hujan membasahimu
menyegarkan butir-butirmu
juga kandunganmu
untuk pohon mangga
ajari aku bermunajah
agar serupa kau yang begitu tabah
membiarkan codot mencucup basah
dan anak-anak melempar buah
yang sabar seseratnya dulu kauruah
hingga segar dan semakin rekah
untuk kertas puisi
ajari aku rela menerima
sesuatu yang sia-sia
dan tetap memberinya makna
serupa kau yang senantiasa
menyimpan sajak tergesa
yang bukan apa-apa



Hati

hati, barangkali sebuah rumah
yang meski kita miliki
tapi tak seluruh ruangannya
kita kenali
lalu satu per satu orang-orang
datang menempati ruangan
itu, melukis dinding-dindingnya
dengan kenangan, menulis buku
harian di lantainya
dan perlahan kita berkenalan
dengan mereka, menhapal ruang
itu juga tentunya sampai
kita mampu menyebut tiap
benda di dalamnya
kau, yang mengetuk pintu rumah itu
pada sebuah senja yang
basah, memilih ruang yang teramat
besar, paling besar malah
dan kau penuhi tiap sudutnya
dengan mimpi dan harapan
lalu pada senja yang lebih
basah dari kedatanganmu
kau pergi tanpa berkemas
semua yang kausayang, yang
kaurawat baik-baik, kautinggalkan
di sana, berikut sebuah pesan
yang kautempel di pintunya
: lupakan aku
bagaimana aku bisa memiliki
rumah yang utuh jika ada
ruang yang aku lupakan?

Jiwa-jiwa Merpati yang Lara

Endah Wahyuningsih
http://sastra-indonesia.com/

Aku adalah Rosita Angraini,kekasih Roi Pramudya. Sesosok pemuda tampan yang begitu dikagumi oleh kaum wanita namun mempunyai sifat angkuh dan tak pernah mau peduli dengan perasaan orang lain.Sedangkan Saskila adalah kekasih Roi yang dahulu dan kini telah meninggal karena sebuah penantian pahit yang tak bisa ia lalui seorang diri. Tanpa Roi Pramudya. Saskila begitu mengaguminya namun baginya sudah tak ada harapan, karena sifat Roi yang begitu egois, acuh dan tak pernah mau mengerti tentang perasaan orang lain. Tapi Saski tetap setia, selalu berusaha memahami karakter kekasihnya dengan menanti sebuah harapan yang tak jelas. Hingga akhirnya jiwa merpati yang lara itu mulai lemah dan putus asa kemudian memilih mati tenggelam disebuuah lautan.

Disebuah pantai kujumpai Roi seorang diri.kulihat ada sedikit gundah yang tengah mengusik fikirannya. Kuhampiri dia sembari kutepuk pundaknya.memang sudah kuduga bahwa ia akan mengabaikanku dan kenyataan yang terjadi memang seperti itu, ia hanya menenggok sebentar kemudian kembali mengacuhkan keeberadaanku.Masa bodoh bagiku, yang terpenting aku bisa meengungkapkan apa yang tengah menganjal rasaku.

“ Hai Roi “. Sapaku rama namun tak ada jawaban. Hanya menenggok sebentar kearahku lalu kembali acuh. “kurasa kau tengah mengingat Saskila “.

“ Tidak sama sekali “. Jawab Roi senggit.

“ sudah hampir dua tahun Saski meninggalkanmu. Namun tak sekalipun kau datang kemakamnya walau hanya sekedar untuk menyapa bagaimana kabarmu disana Saski ? dia yang selalu menderuh dengan rasa sakit. Menantimu tanpa sebuah kepastian dan akhirnya meninggal. Mengapa kau tak pernah menghargai pengorbanannya. Mungkin sesaat lagi aku juga akan seperti dia “.

Roi menjalani dari sisi dirinya yang buruk. Tak pernah mau peduli dengan derita dan pesona orang lain. Begitu juga dengan pengorbanan Saski yang sangat mencintainya namun tak pernah mendapat balasan baik dari Roi.

“ kenapa kau bicara seperti itu. Sangat tidak penting buatku “.

“ Kau memang tak punya hati Roi. Kau buat begitu banyak wanita terpesona dan mencintaimu, kemudian kau buat mereka menderita lalu mati. Apakah kau tak sadar bahwa aku tak jauh berbeda dari mereka. Aku yakin kau masih mengingat Saski. Bersama siksa yang kuat ia tak pernah bersuara.Hanya tetes air mata yang menandakan sebuah isyarat luka yang begitu dalam namun dia tak pernah membencimu. Apa kau sadar hanya demi cinta. Demi dirimu yang tak pernah mau tau tentang dirinya “.

Begitu panjang lebar kujelaskan tentang masa lalu dan isi hati ini. Tapi nampaknya Roi tetap tak peduli. Aku heran mengapa ia seacuh itu akan penderitaan orang lain. Tak pernah kusangkah bahwa seorang Roi sekeras itu akan sebuah rasa.

“ Kuharap kau diam “. ucap Roi membentak hingga membuatku tersentak.

“ Tapi Roi “.
“ Diam kubilang. Untuk apa kau bicara terus tentang Saski yang sudah mati ? “.

Seketika Rosita tersentak, sangat tidak menyangka kalau Roi akan bicara sekeras itu. Sejenak suasana terasa hening. Hanya terdengar suara debur ombak mengisi ketegangan dan keheningan mereka dan Rosita, karena dia tak berani lagi bicara, akhirnya dia mengambil buku dan bolpen dalam tas lalu menuliskan sebuah kata – kata dan diberikan pada Roi.

Dimana hati nuranimu Roi. Ketika dia hidup dengan harapan yang tak pasti. Sekarang katakan padaku ? mengapa saat hidup, Saskila tak pernah ada artinya dalam dirimu. Katakan juga padaku, mengapa harus ada kematian baru kau akan menghargai pengorbanan dan kesetiaannya. Meski aku sadar,bahwa kau tetap takkan peduli dengan semua yang telah dikorbankan olehnya. Apakah aku akan seperti dia Roi? menjadi merpati kedua yang mati karena cinta hampa.

Kau manusia sombong. Kau selalu berpikir tanpa orang lain kau akan tetap merasa bahagia. Apa yang kau tau dari cinta, apa yang kau mengerti dari kesetiaan serta arti sebuah pengorbanan. Apa kau sadar, aturan dari hati telah membuatmu menjadi manusia yang angkuh dan sombong. Kau tak pernah mau mendengar dan juga tak pernah mau mengerti tentang dia, aku juga orang lain. Kapan akan kau pahami bahwa kau butuh cinta, butuh aku, dia juga orang lain.

Kuakui kau begitu pandai, kau tampan, kaya juga dambaan semua wanita. Tapi untuk apa ? jika kau tak punya hati dan perasaan.kau begitu senang mengorbankan orang lain dan menganggap dirimu paling benar. Omong kosong Roi. Kau bukan laki –laki sejati. Lihatlah, suatu ketika kau akan banyak ditinggalkan oleh orang –orang yang kau sayangi dan disaat itu kau baru akan merasakan, bahwa kau memang butuh mereka.

“ Apa maksudmu ? “. Tanya Roi seusai membaca tulisan dari Rosita.

“ Aku tau kau tak pernah membutuhkanku. Bahkan saat kematian nanti, kau juga pasti takkan menghargaiku. Sungguh kasihan Roi Pramudya, karena kau tak pernah sadar bahwasanya kau akan menjadi orang yang paling menderita “.

“ Aku tak butuh saranmu “. Jawab Roi angkuh
“ sudah kukira bahwa kau akan mengatakan itu. Hatimu terbuat dari batu Roi, percaya suatu ketika kau akan tenggelam bersama kesombonganmu dan tak seorangpun yang akan memperhatikanmu “.

“ Diam…..aku sudah muak dengan saran dan ucapan – ucapanmu “. Sentak Roi hingga membuat Rosita kaget.

“ Heeemmm……kenapa Roi ? kurasa kau memang tak pantas untuk dikagumi, ditakuti dan yang lebih tak pantas adalah untuk dicintai. Jika harus ada kematian dihari esok, maka dari detik ini aku sudah siap. Tapi kau tak perlu bangga Roi Pramudya, karena aku tak pernah butuh kamu untuk menghargai pengorbananku “.

“ kau benar – benar gila. Kenapa kau rela mati demi aku? “.

“ Aku adalah kekasihmu yang tak pernah kau anggap.sekarang kau baru tau aku memang gila. Aku gila karena sebuah penantian yang tak pasti akan datang atau tidak. Tapi perlu kau tau, bahwasanya aku orang gila yang beruntung, karena masih punya hati dan rasa. Punya kepekaan atas penderitaan orang lain dan punya arti sebagai manusia dalam hidup ini.bisakah kau bandingkan dengan dirimu? . semua orang pasti akan mati Roi. Seperti halnya Saskila.tapi kau harus tau, bahwa dia mati ketika ia telah tau apa arti ketika ia hidup dengan cinta dan pengorbanannya.

Rosita segera beranjak meninggalkan Roi seorang diri dengan rasa gundah.Rosita berpikir bahwa ini akan sia – sia karena takkan pernah membuat seorang Roi menjadi jerah dan luluh dari keagkuhanya.

Aku memang kekasihnya, sudah hampir satu tahun aku bersamanya namun selama itu aku tak pernah punya arti dalam dirinya. Tak heran jika Saskila kekasihnya yang dahulu lebih memilih mati dari pada menanti sebuah harapan tanpa kepastian. Berhadapan dengan layar kosong memang sangat menyakitkan namun tak mudah bagiku untuk mengatakan “ aku bisa hidup tanpamu Roi “.

Seketika itu juga aku sudah putus asa. Ingin rasanya kutuliskan garis kematianku sendiri seperti halnya Saskila. Akupun mulai berpikir. Kematianku mungkin akan semakin dekat setelah hari ini. Tapi disaat sepelik itu, ada ruang yang tiba –tiba hadir membantuku menerangkan kembali lentera yang telah redup. Hanya dengan sebuah kata.

“ Aku butuh kamu Rosita “.

Kini kusaksikan sosok api yang telah menjadi air. Hati yang dulu sekeras batu kini telah menjadi selembut kapas. Aku tentu terkejut namun aku senang,karena dengan kekuatan cinta bisa menghadirkan keajaiban. Seorang Roi…..kini dia telah sadar bahwa dalam hidupnya dia butuh cinta, dia butuh aku, dia juga butuh orang lain. Dia butuh kata untuk menjadi mutiara yang bisa membuatnya mengerti akan arti hidup dan sebuah pengorbanan.

“ Hidupku memang telah kalut Rosita dan kini aku telah sadar bahwa aku butuh kamu untuk menjadi air ketika aku menjadi api. Aku juga baru menyadari tak ada kebahagian yang lebih utuh, ketika kita hidup dengan cinta dan bersama orang yang kita cintai untuk menciptakan arti hidup yang kuat. Trimakasih dan maafkan aku Sita “.

Aku hanya mampu tersenyum. Memandangi wajah yang kini telah menjadi cahaya. Aku tak bisa berkata apa – apa. Hanya mampu menatap wajah sayu dengan butiran air mata. Aku juga tak bisa berkata, bahwa aku tak pernah mencintainya.kubiarkan dia bersama arti hidup yang baru ia sadari.bersama cintanya, bersama tawaku dan kebahagiaannya. Bersama cerita baru tentang pengorbanan seorang perempuan yang tak pernah berhenti berharap untuk mendapatkan Roi sepenuhnya. Mendapatkan Roi bersama pengorbanan dan cintanya.
***

*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Nae

Miftah Fadhli
http://www.surabayapost.co.id/

Gerimis itu akhirnya datang juga. Gemilat kilat memancar di langit hitam. Sesaat, pandanganku terpaku pada sosok bayangan yang berkelebat di seberang sana. Menjadi tidak jelas karena interval gerimis yang rapat.

Perlahan ia membuka kaosnya. Kaos putih yang kulihat paling terang sore tadi. Aku bisa melihat gerak meliuk rambutnya yang sengaja dikibas-kibas. Tubuhnya pecah-pecah sebab kaca jendela keruh akibat gerimis yang telah berubah jadi hujan deras. Aku terkesiap ketika tiba-tiba gadis itu membuka jendela kamarnya. Aku langsung tunduk, menutup jendela dan bersembunyi di balik tirai. Kuintip sesekali wajahnya yang berkeredapan dihantam kemilat guntur. Wajahnya menjadi tidak jelas karena rintik hujan menempias di permukaan jendelaku.

Sesaat setelah ia menutup kembali jendelanya, aku melongok keluar. Menyibakkan tirai jendela yang langsung dihempaskan angin ketika kubuka daun jendela. Kutelusuri alur tubuh hitamnya yang terpotong hingga pinggang. Sungguh menawan. Sesekali ia sisir-sisir rambut panjangnya dengan jemari lentiknya. Aku bisa melihat ia sedang menggigit ikat rambut saat memelintir rambutnya. Secara perlahan, ia ikat rambutnya.

Aku kesal ketika ia menghindar dari jendela kamarnya. Ia pasti menuju pintu kamarnya–seperti malam-malam sebelumnya–dan mematikan lampu kamarnya dengan sekejap.

Ah. Nae.

Rasanya malam ini begitu cepat kau mempertunjukkan bayang-bayang tubuhmu itu. Kau tak sadar? Aku harap begitu. Seperti malam-malam sebelumnya. Kembali kudengar lenguh seksimu tepat pukul dua belas malam. Kulongokkan kepala ke jendela, tak ada gerak di kamarmu. Jendela hitam itu tetap hitam. Tak berkelebat membentuk bayang tubuh lelaki seperti yang kuharapkan. Seperti malam-malam sebelumnya. Akhirnya lenguhmu itu berakhir tepat pukul setengah dua.

***

“Kau sudah ketemu tetangga baru kita?” kata ibu ketika meletakkan sepiring nasi goreng dihadapanku.

Aku mengangguk lemas. Ingin kukatakan bahwa gadis itu membuat tidurku tidak nyenyak akhir-akhir ini. Tapi urung kulakukan karena sebelum sempat kukatakan, ibu menyuruhku mampir ke rumahnya. Aku terkejut.

“Untuk apa?” aku berhenti mengunyah. Separuh nasi goreng belum turun ke kerongkonganku. Rasa liat dan lendir bercampur pedasnya masih terkulum di geronggang mulutku. Ibu tak segera menjawab. Ia menyendok nasi goreng ke piringnya–untuk ketiga kalinya–dan menyuapkannya sesendok ke mulutnya. Ibu tersenyum memandangiku. Namun tak langsung menjawab.

Tubuh ibu yang berisi karena banyak makan justru membuatku semakin prihatin. Meski terlihat makmur dengan makan makanan enak setiap hari, aku tahu bahwa kepedihan itu masih bersarang di dadanya. Napasnya sering tersengal-sengal. Aku sering memperingatkannya agar mengecek kesehatannya ke dokter. Tapi ibu selalu menyangkal. Setiap kali kuperhatikan senyum tersungging di bibirnya, aku lekas tahu bahwa senyum itu sekedar untuk menutup-nutupi kesedihan yang telah sekian lama meremas kehidupannya. Ibu malah tertawa. “Kau selalu saja bersembunyi dari perempuan, Ardi.” Kata ibu tiba-tiba.

Sisa nasi goreng yang masih berada di mulutku langsung kutelan. Rasanya menjijikkan. Air liurnya membuat nasi goreng itu seperti bubur.

“Maksud ibu?” tanyaku heran.

“Kemarin ibu sudah mengunjunginya. Anaknya cantik, ramah, dan periang,” tutur ibu. “Apalagi yang kau tunggu. Jodoh sudah di depan mata.” Sambungnya kemudian.

Aku lekas tahu arah pembicaraan ibu. Selama ini ia yang selalu menggenjotku agar cepat menikah. Ia cemas karena status lajang ternyata masih mengurungku di umur dua puluh sembilan. Karenanya ibu sering mengajak anak temannya ke rumah hanya untuk diperkenalkan kepadaku. Seingatku sudah lima gadis yang dibawanya ke rumah. Tapi sampai saat ini aku belum juga memutuskan.

Di umur yang semakin ranum ini sebenarnya, sudah sepantasnya kuakhiri masa lajangku. Aku sadar kehadiranku akan semakin memberatkan ibu. Akan tetapi memilih untuk segera menikah, berarti memilih untuk meninggalkan ibu. Itu artinya ibu bakal kesepian lagi. Sebab menurut adat seorang lelaki harus tinggal di lain tempat (yang jauh-kalau perlu di luar kota) setelah ia menikah. Ah. Bagaimana seharusnya aku memilih? Keduanya sama-sama berakhir tidak membahagiakan. Penderitaannya sudah cukup berat. Jahat jika aku harus menambah penderitaan lagi kepadanya.

Aku memilih tidak menjawab dan menyelesaikan makananku. Kulihat jam, masih pukul tujuh lewat. Kukatakan pada ibu aku harus berangkat kerja. Kugamit dan kucium punggung tangannya yang berbau kesedihan itu. Setelah itu kucium keningnya untuk pada akhirnya kutinggalkan ia sendirian selama berjam-jam (mungkin sampai malam).

Entah kenapa di sepanjang jalan lesat bayang gadis itu bolak-balik muncul di kepalaku. Tawanya yang membahagiakan sekaligus tubuh sintalnya yang menggairahkan–yang kuketahui dari melihat bayang tubuhnya di jendela dan kuintip ketika ia, selalu menyiram bunga setiap sore– seperti berhasil mempengaruhiku hingga tanpa sadar angkutan umum yang kutumpangi sudah melewati kantorku. Kalau bukan karena suara klakson dramtruk yang menderu mungkin lesat-bayang gadis itu tak akan buyar sehingga aku hanya akan duduk diam di dalam angkot yang terus berputar-putar di rute yang sama.

Kuputuskan untuk turun di halte yang tak jauh dari kantorku.

“Pinggir, Bang.” Kataku menyuruh berhenti supir angkot yang sedari tadi mendengarkan pemutar musik dari headset-nya.

Mungkin karena suaraku yang terlampau besar atau bisa jadi ia yang kaget mendengar ceracau suara aneh di antara suara lagunya, ia menginjak pedal rem tiba-tiba. Saat itu aku duduk di depan, di samping supir itu. Tubuhku terdorong ke depan hingga wajahku hampir menempel di kaca. Beberapa penumpang menjerit karena angkot yang tiba-tiba berhenti. Setelah membayar kupalingkan wajah ke bangku halte. Kulihat sosok gadis berambut panjang yang sibuk mengotak-atik handphone-nya. Wajahnya tidak kelihatan karena rambut hitamnya yang menutupi. Secara selintas gadis itu tidak berbeda dengan beberapa gadis yang duduk di sampingnya. Tapi ketika kuperhatikan baik-baik tubuh sintalnya, juga gerak rambut yang mengibas-ngibas, aku segera tahu bahwa dia adalah gadis itu. Gadis yang belum lama pindah di sebelah rumah. Iapun seperti mengenalku karena begitu melihatku ia langsung berdiri dan tersenyum ke arahku.

Dengan yakin kudekati dia dan kujabat tangannya. Halus. Betapa lembut desir permukaan telapak tangannya. Jauh lebih halus dari kapas–setidaknya itu yang kurasakan. Rekah senyumnya membuatku urung untuk cepat-cepat masuk kantor.

“Mas Ardi, ya?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk penuh senyum. Selama ini aku hanya bisa membayangkan wajah gadis itu lewat imaji yang terbentuk dari siluet bayang tubuhnya di jendela dan kini aku melihatnya secara langsung. Ia sangat cantik. Lesung pipitnya menambah kekagumanku pada wajahnya. Ahh…

“Mau ke mana?” tanyaku basa-basi.

“Mau ke tempat kerja, mas.” Jawabnya penuh senyum.

“Kenapa menunggu di sini? Kan bisa langsung naik di depan rumah.” Tambahku seakan ingin menahannya lebih lama.

“Iya. Tadi pas di angkot saya baru sadar kalau dompetnya ketinggalan. Untung ada beberapa lembar uang di kantong. Jadi saya turun di sini sambil nunggu mama mengantar dompetnya.” Jelasnya. Aku mengangguk. Sesaat lamanya aku terdiam. Sejenak kulihat kilatan bening di matanya. Dan sekilas kulihat kilatan merah jambu di mataku yang tercermin di matanya. Ibu, kau benar.

***

Setelah pertemuan itu aku jadi sering mengunjungi rumahnya. Dia tinggal berdua dengan mamanya. Sama sepertiku. Kukatakan padanya bahwa aku bekerja di perusahaan distributor sebagai akuntan.

“Wah, gajinya besar dong mas?”

“Ah, tidak. Cuma perusahaan kecil.”

Ia mengangguk. Rambutnya yang ringan mudah ditepis angin membuat detail-detail bilur rambutnya terekam olehku. Membuatku betah berlama-lama di sini. Tercium bau mawar di seluruh ruang tamunya. Juga bau parfum laki-laki yang sesekali menyambar hidungku.

Diceritakannya bahwa ia dan mamanya telah berkali-kali pindah rumah. Itu dikarenakan ia dan mamanya mencoba menghindar dari laki-laki–ayah tirinya–yang sering kali menyantroni rumahnya. Diceritakannya dengan nada yang amat memilukan, ketika laki-laki itu selalu memukuli mamanya. Bahkan ia jujur di punggungnya terdapat beberapa bekas luka akibat pukulan laki-laki itu.

Sesaat aku sadar bahwa kehidupan kami tak jauh berbeda. Sama-sama memiliki ayah berengsek. Sama-sama mempunyai ibu yang yang hidup dalam kepedihan tiada habis. Aku ingin sekali merangkulnya. Namun tiba-tiba ibunya muncul dari pintu kamar dan langsung duduk, bergabung bersama aku dan gadis itu.

“Nae belum punya pacar lho Mas Ardi.” Terang mamanya Nae.

Aku tersentak. Wanita ini begitu blak-blakan. Ia jarang tersenyum seperti anaknya, namun selalu menyembunyikan mulutnya jika tertawa lepas. Wajahnya tidak kelihatan seperti ibu-ibu kebanyakan. Kuning langsat, tidak banyak keriput, dan untuk ukuran wanita yang habis didera kepahitan seperti dirinya, ia cukup cantik. Tidak seperti ibuku yang wajahnya semakin hari semakin berjerawat. Wanita ini sungguh bersih. Kelihatan lebih muda dari umur sebenarnya. Aku hampir tidak percaya.

“Mama?” Nae salah tingkah. Rona pipinya berubah warna.

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Begitu gugup melihat dua perempuan cantik sedang berhadapan denganku.

Bahkan ketika sampai di kamar, wajah keduanya tak begitu saja lepas dari ingatan. Malah keduanya semakin lekat membayang dalam mataku. Lesat-bayangnya membuatku terjaga hingga malam.

Selepas maghrib tadi, kukatakan pada ibu bahwa aku mulai tertarik padanya. Aku berkeinginan membina hubungan lebih lanjut dengannya. Kukatakan padanya bahwa ia punya daya tarik yang luar biasa. Ia sepertinya menyimpan magnit dalam setiap tubuhnya. Dan aku adalah seonggok besi yang tak bisa berbuat banyak ketika magnit itu mulai menarik.

Kulihat tatapan ibu kepadaku begitu tajam. Matanya berkilat-kilat. Kuhentikan menceritakan pesona gadis itu kepadanya. Wajahnya serius. Lamat-lamat kusaksikan otot-otot wajahnya mengeras, seperti akan membeku. Dingin ketika kusentuh keningnya. Sebelum sempat aku bertanya, ibu langsung melibasku dengan tatapan ngeri sekaligus ucapan getir yang keluar dari mulutnya.

“Tidak. Jangan kau dekati lagi gadis itu, Ardi!”

Ibu langsung nyerocos pergi tanpa memberiku penjelasan. Aku tak habis pikir, kenapa tiba-tiba ibu melarangku berhubungan dengan gadis itu? Padahal sejak awal ia yang menyuruhku untuk mendekatinya. Kenapa tiba-tiba ibu bisa berubah begitu cepat?

***

Tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti perintah ibu. Tapi aku sadar bahwa aku sudah dewasa, bukan anak kecil yang mesti dibatas-batasi seperti itu. Jadi, tak semua perintah ibu kulakukan.

Jika tak bisa bertemu, aku bisa menghubunginya lewat handphone. Setiap malam aku selalu menelepon atau mengiriminya pesan singkat. Bahkan kuberitahu sikap ibu kepadanya lewat pesan singkat yang kukirim. Ia tak segera membalas. Kulihat siluet bayang tubuhnya terpaku di jendela kamarnya. Saat inipun mungkin ia sedang menyaksikan siluet tubuhku sedang mematung di depan jendela kamarku.

Tiba-tiba saja ibu masuk ke kamarku. Langsung kusibak tirai jendela agar ia tak melihatku bersitatap dengan Nae lewat siluet-siluet jendela. Ibu terlihat lelah malam ini. Wajahnya agak pucat. Bibirnya sesekali bergeletar. Malam ini tubuhnya agak kurusan.

Lantas ia duduk di tepi ranjangku.

“Maafkan ibu, Ardi. Bukannya….”

“Tidak apa-apa, ibu. Aku tahu kepedihan ibu masih belum hilang. Aku tahu.” Selaku sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan. Air bening kelihatan meleleh di sudut matanya.

“Ibu sudah tahu….” Ujarnya setelah menahan deru tangis yang hampir keluar.

“Tahu apa, bu?” tanyaku penasaran.

“Gadis itu…. Ia tidak cocok untukmu.” Katanya lambat.

Aku diam. Kata-katanya seperti mengiris-iris. Ada sedikit sesal yang tiba-tiba muncul dalam diriku. Mungkin juga sedikit marah.

“Kenapa? Bukannya ibu yang menyuruhku mendekatinya?”

Ibu justru menangis. Tumpah segala airmata yang coba ia tahan dari tadi. Ia berdiri. Mencoba membendung tangisnya. Ditabah-tabahkannya wajahnya yang keriput.

“Jangan kau dekati gadis itu, dia bukan perempuan baik-baik.” Katanya, sembari merapikan tirai jendela.

Darahku berkesiap. Tak bisa kupercaya ibu mengatakan itu kepadaku. Selama ini ia tak pernah berburuk sangka kepada orang lain. Tapi kenapa ia bisa begitu yakin dengan ucapannya barusan?

Aku marah. Nae begitu cantik, begitu lembut parasnya, juga hatinya. Mana mungkin ia bukan perempuan baik-baik. Berhari-hari aku tak bercakapan dengan ibu. Dan selama berhari-hari itu juga aku mencari bukti. Tentu ibu bukan tanpa alasan mengatakan demikian, benakku.

Selama beberapa malam aku sulit tidur karena suara bagai tertahan yang berasal dari kamar Nae. Aku melongok ke jendela, namun tak ada apapun. Lampu kamarnya dimatikan dan tak ada bayang apapun yang kulihat di sana. Suara itu selalu kudengar tepat pukul dua belas dan selalu berakhir pukul setengah dua, atau dua pagi. Hanya lenguh. Lenguh wanita yang menggebu-gebu.

Keesokan paginya kutanyakan kepada Nae, namun Nae mengaku tak tahu mengenai suara itu. Malamnya aku sengaja menunggu sampai pukul dua belas untuk membuktikan suara itu ada atau tidak. Selama itu tak kudengar suara mencurigakan apapun. Tak kudengar suara deru kendaraan melintas. Hanya derit jangkrik yang tiba-tiba berhenti karena gerimis yang turun tiba-tiba.

Dinginnya malam membuatku tanpa sadar telah terlelap. Kemudian terbangun tepat pukul dua belas ketika suara tertahan itu terdengar. Suaranya agak terdengar samar-samar karena hujan yang begitu deras. Namun aku bisa mendengar betapa suara itu seperti gairah yang meletup-letup. Lenguhan seorang wanita. Aku merinding mendengarnya. Bulu kudukku berdiri tatkala satu suara lagi muncul di antara lenguh menggairahkan itu. Lenguh yang seksi itu.

Hujan bertambah deras. Butiran-butiran air menempias permukaan jendela kamarku. Tak lagi kudengarkan suara lenguh itu. Kulongok jam yang menunjuk angka setengah dua pagi.

Dalam pedih yang terlanjur basah, kututup telingaku ketika mendengar suara tawa seorang perempuan dan laki-laki dari kamar Nae. Tawa yang begitu menggairahkan, namun juga menusuk-nusuk. Aku terlanjur bersalah. Ibu, kau benar!

Tumpatan, 2010.

*) Lahir di Lubukpakam, 29 Februari 1992. Ketertarikannya menulis dimulai sejak SD dengan menulis banyak puisi. Cerpen pertamanya dimuat di koran Waspada Medan yang merupakan cerpen pop. Lelaki berkacamata ini juga pernah menjuarai beberapa lomba kepenulisan seperti Juara III Lomba Menulis Puisi Buletin Asy Syifa UNIMED Medan 2007 dan Juara III Lomba Menulis Esai Remaja DPRD SUMUT 2008. Lelaki yang mengagumi karya-karya Triyanto Triwikromo dan Agus Noor itu, saat ini sedang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan aktif di Teater Sastra IU.
Email: miff.fadh@yahoo.com Facebook : mifadh_lye29@yahoo.co.id

Gegelas

Fikri. MS
http://sastra-indonesia.com/

“Sebenarnya apa yang kau tunggu di sini? Kuperhatikan sejak tadi kau sama sekali tak beranjak pergi hanya berdiri, duduk melipat kaki”

Lelaki itu mendekat.
“Ayolah beritahu aku mungkin ada sesuatu yang dapat kulakukan untukmu!”

Kutinggalkan ia beberapa langkah, mengganti bajuku yang kusam bau keringat, sementara ia masih diam.

“Kau …,tak bisa bicara ya!?” Aku bertambah bingung dengan lawan bicaraku ini.

“Baik kalau begitu, mungkin tenggorokanmu kering, kuambilkan segelas air putih. Tunggu sebentar, dan ingat bicaralah padaku!, Ada apa?”

Segelas air kuletakkan di hadapannya, ia merubah sikap kaki kanannya berganti memangku yang kiri, ia rogoh tas sandangnya mengambil sesuatu. Kupikir sesuatu yang penting, sebatang pena hitam ternyata. Ia mulai melukis tangan kirinya di antara telunjuk dan ibu jari. Lingkar melingkar dari bawah ke atas tak berurut, besar, kecil, lalu sedang tampak dari pandangan samping seperti proyeksi bidang datar. Lingkaran sedang dan kecil terhubung oleh dua garis yang berseberangan lurus ke bawah sedikit lengkung setiap ujungnya, di bagian tengah ia mulai menggoreskan penanya aku tak tahu apa, dan ternyata setangkai mawar setengah mekar berdaun tunggal yang ia gambar. Lingkar paling besar diarsir kasar serupa dengan piring. Aku langsung mengerti, ia menggambar sebuah gelas.

“Ada apa …!!!”

Aku terkejut mendengar ucapannya yang serak berteriak. “Oh … bicara juga akhirnya. Minumlah sedikit saja” Kataku.

“Aku tidak haus, aku tidak lapar, aku tidak sedang menunggu, dan aku sama sekali tidak tahu apa yang kau bicarakan dari tadi!, Kita tidak saling kenal, jadi tak usah sok akrab denganku. Aku tahu kau hanya pura-pura baik kan?. Alismu runcing ke atas.”

Ia menunjukku dengan bibirnya.

“Aku tahu kau bukan orang baik atau suci seperti segelas air putih ini. Pergi sajalah, ini tempatku sejak matamu mulai memperhatikanku.” Suaranya seperti menikamku.

“Hei …, memangnya kau pikir siapa dirimu?! Bicara seenaknya saja, sembarangan. “ Aku menyentak, ia diam.

Suaraku lebih keras menggelegar dan lebih kasar dari ucapanya. Aku sendiri merasa terkejut menghadapi apa yang tengah terjadi.

Sampai pecah gelas di atas meja dan segala perabotan yang lain pun mengalami hal yang sama. Semuanya seakan-akan runtuh dari tempatnya, meja bergetar patah terjungkit, televisi meletus asapnya mengepul memenuhi ruangan. Keadaan menjadi gelap dan bau plastik terbakar.

Tubuhku basah berkeringat dingin, kuraih air minum di atas meja. Nafasku masih memburu terengah. Lampu kamar kunyalakan sambil melepaskan kaos yang lembab, aku masih belum bisa mengingat apa yang baru saja terjadi yang terlintas hanya keasingan yang menyerangku dalam, dalam sekali. Jendela kamar kubuka separuh, angin malam masuk menderu kencang, daun jendela goyah tubuhku bertambah dingin menggigil segera kurapatkan kembali. Kududuki kursi rotan di samping ranjang, meluruskan kaki, kepalaku tengadah memandang langit-langit kamar.

***

“Bang …! Bang David …! Bangun, ada yang cari Bang, tamu!, Perempuan, katanya ada perlu. Bang, Bang …!”

David masih tertidur di kursi rotan, ia tak mendengar panggilan Nikita yang mau berangkat sekolah, hari ini upacara. Suaranya masih memanggil-manggil. Ketukan pintu yang bertambah keras tak juga mampu mengusik tidur Abangnya.

Gadis kecil itu kembali menemui tamu di teras.
“Kak, nanti siang saja kembali, Bang David masih tidur. Tadi malam ndak pulang. Nanti saya sampaikan kalau ada pesan?”

“Tidak usah Dik, terimakasih. Nanti siang saya ke sini lagi. Kamu mau berangkat ke sekolah, bareng?” Ujar tamu itu.

“Ndak usah Kak, dekat sini saja, jalan kaki sebentar sudah sampai”

Perempuan itu berlalu meninggalkan anak kecil berseragam merah putih yang masih berdiri dengan senyumnya yang kecil di ambang pintu.

“ Kenapa belum berangkat? Sudah hampir jam tujuh.”

Nikita menoleh ke belakang, David baru keluar dari kamarnya dengan handuk merah sambil berjalan ke dapur. Adiknya mengikuti.

“Barusan ada tamu cari Bang David, sudah kubangunkan tapi Abang ndak bangun-bangun”

“Siapa,? Kamu ndak Tanya namanya, ada titipan?

“Ndak, aku juga lupa tanyakan namanya. Cuma bilang nanti siang ke sini lagi.”

David tak begitu penasaran siapa yang mencarinya, ia masuk ke kamar mandi, sementara adiknya memasang sepatu.

Dari kamar mandi.

“Kita …! Ibu sudah berangkat?

“Iya, sudah dari tadi. Kata Ibu bawa kipas angin yang di ruang tamu ke tukang service dekat lorong masuk kampong, kalau Abang ndak bisa memperbaikinya!. Aku berangkat ya Bang. Assalamu’alaikum.”

Suara kran yang deras dari kamar mandi merampas seruan Nikita.

David berteriak-teriak mengumpat. Kran bocor, handuk merah yang melilit di pinggangnya basah terkena semprotan air.

Lelaki itu mengumpat geram.”sabar… sabar…” Batinnya.

Di dalam bak mulai terlihat ada keanehan, beberapa gelas bermunculan berwarna-warni tak teratur bertambah banyak semakin jelas. Hampir-hampir memenuhi seluruh bak. Hentakan keras terdengar beberapa kali dari daun pintu di sebelah kanannya padahal tak ada angin yang mendorongnya.

Ia tak begitu yakin dengan keadaan yang tengah terjadi.

Jumlah gelas kian banyak melebihi air yang memenuhinya, kamar mandi banjir airnya sampai keluar dari pembatas di bawah pintu antara dapur dan kamar mandi setinggi mata kaki, kepanikan semakin menjadi-jadi ketika jumlah gelas berlimpahan hingga bagian dasar kamar mandi telah dipenuhi oleh gelas yang bermacam-macam ukuran. Lelaki itu seperti mengalami serangan yang hebat. Ia tak bisa menggerakkan kaki kuatir terinjak. Teriakkannya bias oleh kran yang mengeluarkan suara yang garang.

Bertambah lagi, terus bertambah sudah sampai ke bagian paha, David tak tahu harus berbuat apa, ia terhimpit oleh rapatnya gelas. Air dari kran tiba-tiba berubah warna menjadi merah kental seperti darah luka, tubuhnya pun merah menjijikkan. David semakin bingung. Dan …

“Aaaaaaaakh …! Tolong …tolong … … …! Ki …! Niki … …!”
Tidak ada yang menyahut suaranya. Tak terdengar apa-apa.

Pintu kamar mandi seperti terkunci terhimpit oleh gelas yang sudah hampir ke dada, hanya tangan kiri yang masih menjunjung ke atas mengeras menahan sesak.

Ia masih berusaha sekuat tenaga melawan ancaman yang aneh ini, tetapi semakin ia meronta jumlah gelas bertambah banyak dan suara kran mengerang lebih keras lagi.

Sekarang gelas dan air sudah sampai ke batang lehernya, ia tak bisa bernafas dan bergerak. Serangan gelas dan air seakan-akan ingin membunuhnya secara perlahan. sampai seluruh kamar mandi penuh sesak dan David terkunci di dalamnya, penglihatannya menjadi gelap ia meronta-ronta memecahkan beberapa gelas yang tergesek, semakin kuat ia berontak bertambah banyak jumlah gelas yang pecah, tubuhnya terluka oleh pecahan beling. Ia mengaduh terasa nyeri di bagian perut dan paha sampai akhirnya pasrah tubuhnya lemas.

Saat itu juga ia seperti berpindah ke tempat yang empuk berbaring di atas sofa putih sambil memeluk guling. Baru sekejap ia merasakan suasana yang nyaman, saat itu juga ia kembali lagi berada di tengah himpitan gelas dan cairan merah. Kali ini mulutnya merecacau tak karuan.

“akh …, aaaaaaaaaaakhkhkhkhk … ….za za za ta ta ta ta … ghemmmmm mmmmmmh mh mh mh. Ampu… … … nnnnn … las las las… gelaaaaaaaaaaaaaaaa …ssss!

Tubuhnya bergerak lepas tak terkendali sambil tangannya memutar-mutar, menyikut kesegala arah. Kedua kakinya menerajang kuat tak terkendali dan tiba-tiba menyentuh sisi dipan yang keras ia terjungkal dari kursi rotan, kepalanya membentur kaki meja sesaat ia tak sadarkan diri.

Tergeletak di lantai.

Suasana masih mencekam penuh ancaman, tubuhnya menggeletar kedinginan disergap rasa takut, keringat bercucuran membasahi sekujur tubuh. Ia haus, mencoba bangkit meraih air minum, namun seketika terhenti. Segelas air putih yang diraihnya seperti dalam bayangan buruk yang selalu mengikuti, membuatnya merinding sejadi-jadinya. Ia marah membanting gelas ke lantai melemparkan apa yang ada di sekitarnya seperti menghajar habis-habisan sesosok mahluk gelas yang menghantuinya.

Hal yang menakutkan telah menjebaknya pada kecemasan yang tak tertandingi. Gila, David seperti gila dengan keadaan ini, ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak sadar sedang dalam keadaan yang bagaimana antara sadar atau tidak, ia tak mampu berimajinasi mengalihkan rasa takut yang memburu. Sampai akhirnya dari luar, terdengar seseorang memanggil, awalnya ia tak tahu tetapi telinganya meraba suara yang menyerunya dari luar.

“Bang …, Bang …, Bang Vid!” Ia sadar suara adiknya yang memanggil terburu-buru seperti penting sekali.

David bangkit berjalan terhuyung sambil memeganggi kepalanya yang terasa berat, membuka pintu perlahan. Ia kembali sontak dan bingung ternyata di luar banyak sekali orang yang tidak ia kenali, semuanya berpakaian serba aneh dan masing-masing memegangi gelas beling, salah seorang menggenggam telinga gelas yang sangat besar seukuran badan manusia. Ia banting daun pintu dikuncinya rapat. Nafasnya tak teratur, keringat dingin peluh di dahinya. Dibukanya lagi pintu perlahan ia mengintip. Masih banyak orang di luar. Mereka berpesta, berkejaran, menari-menari-melonjak-lonjak, sebagian ada yang duduk berbicara dengan suara yang sangat keras, mulut mereka mengucapkan kata-kata seperti berteriak. Tiba-tiba pandangannya menangkap seorang perempuan berambut pirang yang di jepit ke belakang seperti ekor kuda, wajah itu tak asing baginya, seorang perempuan yang menggambar gelas di tangan kirinya sendiri. Wajah itu begitu menakutkan, pandangan mereka beradu, saat yang sulit bagi David.

Ia merasa persembunyiannya diketahui oleh perempuan itu. Ia cambuk wajah David dengan alisnya yang tajam, hantaman mata perempuan itu membuat David terjungkal ke dalam kamar. Cepat-cepat Ia menutup rapat pintu, tubuhnya tersandar dan akhirnya jatuh terduduk dengan kaki yang menekuk lalu lurus kedua tangannya pun jatuh ke dasar.

***

Siang hari di rumah, suasana sepi. Nikita belum pulang dari sekolah, Ibu masih di pasar, jam di dinding menunjukkan pukul setengah sebelas pagi waktu yang terlambat untuk berangkat kerja. David belum mandi, ia masih menikmati acara televisi, berulang kali mengganti program tapi tak ada tontonan yang menarik, ia segera mengambil handuk menuju kamar mandi.

Langkahnya tiba-tiba terhenti, bayangan isi kamar mandi kembali menyeruak dalam pikirannya. Ia merasa takut untuk membuka pintu, rasa takut masih menggantung di benaknya.

Hati-hati, perlahan ia mengintip ke dalam kamar mandi, matanya mengamati seisi ruangan seksama.

Bersih tampak biasa tak ada yang aneh hanya air kran yang masih menyisakan tetes-tetes kecil menggelembung lalu jatuh. Jantungnya berdebar ia masuk ragu-rau, sebelum melepas handuk, memastikan terlebih dahulu bahwa tak ada gelas di dalam kamar mandi. Katup kran dibukanya pelan-pelan, air mengucur memenuhi bak mandi. Semuanya terasa baik-baik saja, aman. David segera melepas handuk menggantungnnya di tabir pintu, ia nikmati segarnya air dengan segenap keraguan, sekujur tubuh ia basahi sambil matanya tetap berjaga-jaga di sekitar. Tak begitu lama ia telah selesai dan kembali ke kamar.

Hal yang sama ia lakukan seperti memasuki kamar mandi, debaran jantungnya was-was awas terhadaap sekitar, pintu kamar terbuka ia masuk. Keadaan dalam kamar normal-normal saja tak ada sesuatu yang aneh atau bakal mengancamnya, hanya saja memang terlihat ada gelas di atas meja yang tinggal setengah air putih tersisa. Ia tak mau menatapnya lama-lama, sisa trauma masih menguntit.

Hanya saja hari ini ia bingung apa yang mau diperbuat, jam kerja sudah habis. Seperti biasa jika tak ada kesibukan David hanya di rumah sambil menunggu Ibu dan adiknya pulang.

Ia duduk santai sembari membaca buku di ruang tamu. Terdengar suara pintu di ketuk, ia bergegas menuju ambang, membukanya dan ternyata seorang perempuan berdiri di hadapannya.

“David?”

Perempuan itu menegaskan kalau yang sedang berdiri di hadapannya adalah orang yang ia cari.

Lelaki itu heran bercampur penasaran seperti mengenali wajah tamunya.

“Ada apa Mbak?”

Sesuatu yang dibungkus kantong plastik berwarna hitam diserahkan tamu itu kepadanya. Ia tak cukup mengerti.

“Siapa, ya? Em ……, maksudnya anda siapa dan apa ini …?” David sedikit ragu menerima bungkusan itu.

“Silahkan masuk Mbak”

Tapi perempuan itu menolak “Terima kasih, saya hanya mengantarkan titipan ini saja.”

Perempuan itu berlalu sementara David masih tak mengerti. Bungkusan plastik yang ia terima dengan ragu dibuka sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. Ia masih ragu apa gerangan isi bungkusan ini. Keringat mulai muncul satu persatu berupa butiran-butiran kecil di dahi ia usap dengan lengannya sampai ke dagu.

Mulutnya menghirup udara dalam-dalam pipinya mengembungkempis. Terang saja ia sedikit takut sebab beberapa waktu yang lalu ia baru saja mengalami hal aneh dan menakutkan. Dengan segenap keberanian, perlahan ia buka bungkusan itu.

Seluruh tubuhnya menggeletar saat tahu ternyata isi titipan dari tamu yang tak dikenalinya itu adalah sebuah gelas bening yang berukiran setangkai mawar setengah mekar berdaun tunggal.

Seketika ia kembali teringat dengan peristiwa aneh yang ia alami, wajah perempuan itu melintas lagi berulangkali.

David terhenyak, ia ingat perempuan yang mengantarkan bingkisan ini adalah orang yang membawanya dalam mimpi buruk selama ini.

Gelas.
***

Perjalanan Sakral

Muhammad Al-Mubassyir
Jurnal Jombangana, Nov 2010

Sayup-sayup angin dingin menelusup masuk ke ruang kalbuku, tapi kubiarkan saja, toh kedinginan itu terasa hangat bagiku. Biarlah mulutku sampai kaku sekali pun, nanti kekakuan itu akan berubah menjadi irama indah yang menghiasi perjalananku. Dan juga kubiarkan tanganku berkeringat darah dan nanah demi mengepal butiran-butiran kayu kecil yang di mata banyak orang tidak memiliki nilai filosofi apa-apa.

Entah kenapa perasaanku seperti ini, kayaknya ada sesuatu yang mengganjal pada malam ini yang membuat beda dengan malam-malam lain. Tampaknya para peziarah jauh lebih banyak dari sebelum pukul sebelas tadi, tapi tak apalah yang penting Mbah Hasyim terus hadir di ruang hampaku, Mbah Wahid selalu menemani iring-iringan bibirku dan Gus Dur terus mencoba merajut benang salbut yang terikat erat dengan perasaanku.

Aku tak menghiraukan nyanyian surga yang keluar lantang dari puluhan bahkan ratusan peziarah itu, aku cuma sibuk dengan diriku sendiri yang sedang menyusun irama-irama suci dari nukilan aqwal ulama’ dan ma’tsur dari Rasulullah, sedikit pun tak ada perhatian pada mereka bahkan perasaanku telah menyelam di lautan salju halus yang sesekali salju itu terasa hangat-hangat kuku bagiku dan saat itulah aku merasakan ketenangan yang sangat seakan-akan tak ada keterkaitan lagi dengan dunia ini.

“Owh……” desahku tak lama setelah segelintir peziarah meninggalkan congkop makbaroh.

Tak terasa hampir sepertiga malam aku berada di dasar lautan Tuhan, embun a-ba-ta menghujan membasahi jiwa yang kering kerontang, menyejukkan pikiran yang panas kemarau, melunakkan hati yang keras berkarang. Aku membuka mata pelan-pelan untuk melihat suasana lahir yang agak lama kutinggalkan. Di sana jauh lebih ramai dan padat dari suasana sebelumnya yang hampa, sepi, senyap cuma berempat denganku, owh… tidak. Ampun, aku salah maksudku berlima dengan-Nya. Tapi sangat sulit bagiku untuk menghadirkan-Nya butuh pengorbanan luar dalam, itu pun harus melalui beberapa ujian yang mengusik batinku.

Kelopak mataku rupanya semakin kaku dan nyaris terpejam, hampir tak ada kekuatan lagi untuk menahan kantuk berat yang menderaku. Dengan bacaan yang mulai tadi didominasi oleh hati entah sampai pada bacaan yang mana aku pun tak lagi ingat apa-apa. Aku cuma menemukan alam baru yang berbeda dengan alam di mana aku sampai pada puncak kesadaranku. Alam ini menjerumuskanku ke dalam jurang dan mematikan seluruh saraf kesadaranku sehingga aku terbang melanglang buana yang tak kukenal kemana-mananya.

* * * *

Pantai itu begitu indah. Sayang keindahannya hanya aku nikmati sendiri. Sepanjang mata ini memandang, tak ada lalu lalang seorang pun yang aku tangkap. Hanya deburan ombak di jauh sana yang tak ada habis-habisnya, sungguh lautan yang tak kelihatan puncaknya seakan bertemu dengan kaki langit di depan sana.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuh ini terseret gulungan gelombang hingga pada batas kedalaman yang tak terjangkau. Tubuh ini pasrah mengikuti irama ombak yang tak terelakkan. Jantungku kian cepat memacu darah hingga nyaris melucuti urat-urat nadi kehidupanku. Aku mencoba memasrahkan tubuh ini hingga ujung langit sekali pun tidak apa-apa. Tapi takut, cemas, khawatir dan semua rasa tak mengenakkan tetap saja bergumul dalam dada yang nyaris pecah karena tak mampu menampungnya.

Aku sungguh tak paham dengan keadaanku. Sudah cukup lama tubuh ini terombang-ambing oleh ombak yang tak terhitung ketinggiannya dari permukaan laut, tapi mengapa? Mengapa laut tak kunjung menelanku dalam-dalam hingga aku tidak tersiksa lagi dengan gelombang pasang ini? Owh… ternyata ada sesuatu yang menopangku sehingga aku masih dapat berdiri tegak, surfboard. Ya surfboad, sebuah selancar mungil berwarna putih itulah yang ternyata aku tumpangi. Ombak demi ombak aku lalui dengan dada deg-degan tak ada habis-habisnya. Jantungku berpacu dengan kekuatan kuda seratus kilometer per jam serasa akan terlempar ke samudera sana. Darahku seketika naik puncak saraf. Aku baru sadar bahwa ini bukan permainan selancar biasa namun sebuah perjalanan panjang yang terjal dan berliku layaknya ditempuh oleh kapal atau paling tidak perahu sederhana. Sungguh kejadian di luar nalar manusia.

Aku merasa sudah sampai pada puncak klimaks perjalanan itu. Sepanjang mataku terarah ke seluruh penjuru mata angin tak ada yang kulihat kecuali lautan biru pekat bahkan kecoklatan bercampur mendung. Sungguh lautan jelmaan langit yang tidak ada ujungnya. Namun aku melihat bayangan di belakangku. Entahlah aku tidak tau bayangan siapa itu atau cuma sugestiku saja yang mencoba membayangiku yang jelas bayangan itu terus membuntuti seakan menemaniku menempuh perjalanan sakral tersebut. Dan anehnya lagi yang kurasakan bayangan itu bukan malah meneduhkan tapi menyinari dari kegelapan dan kepekatan laut sampai aku mengakhiri perjalanan.

Aku terkejut waktu aku sadar bahwa ternyata aku tidak sendirian di atas selancar mungil ini. Bayangan tadi menjelma menjadi tiga orang yang berdiri di sampingku di atas satu selancar. Aku tidak dapat memastikan siapa mereka. Aku hanya dapat memastikan perjalanan ini sarat dengan misteri, ekstrem serta menguras tenaga fisik dan mental. Perjalanan ini begitu aneh. Berlayar tanpa sampan, menelusuri lautan tanpa motor penggerak. Selancar ini sedianya berjalan hanya dengan kekuatan Tuhan. Itu saja yang aku yakini.

* * * *

Aku terhentak kaget saat segerombol peziarah mengelilingiku. Dengan suara agak lantang, mereka mampu mengembalikan kesadaranku setelah sekian lama menempuh perjalanan curam. Seketika memoriku tentang alam nyata bersemi kembali di benakku, hanya saja memori itu terisi file baru yang merekam kejadian yang menurutku tidak akan terjadi di alam nyata. Biarlah file itu terhapus dengan sendirinya karena semu dan penuh khayal.

“Subhanallah…..Allahu Akbar…!” teriakku dalam hati menjadi tak karuan. Nafasku tersengal-sengal, urat-uratku menjadi tegang, seluruh tubuhku dibanjiri peluh dan badanku menggigil panas dingin melebihi kegentinganku saat melawan ombak dalam perjalanan itu. Tapi tidak salah lagi, yang kualami saat ini memang benar-benar nyata dan tak ada rekayasa. Kenyataan ini berhubungan dengan mimpiku tadi. Bagaimana tidak, setelah aku melihat di depanku ada maqbarah tiga orang tokoh yang kuanggap pahlawan itu. Ya, pahlawan agama dan bangsa. Kukira pahlawan itu membuatku harus menginstal kembali file rekaman kejadian yang pernah kualami bersama tiga bayangan yang menyinariku selama menempuh perjalanan tak berujung itu.

Maqbarah Hasyim Asy’ari. 2010

Ketika Obor Menyala

Liestyo Ambarwati Khohar
http://sastra-indonesia.com/

Cemloteh ringan tawa anak-anak mengiringi tarian Api diatas obor-obor yang baru saja dinyalakan. Sementara di sudut dan lekuk tiap kampung, gema tabkir terus saja menggema membentuk ritme merasuki jiwa siapa saja pendengarnya.

Lebaran selalu seja melahirkan suasana melankolis dan romantis terhadap Tuhan ataupun kita sesama manusia seperti tahun-tahun sebelumnya aku melewati lebaran di rumah induk. Rumah dimana aku dilahirkan, dibesarkan. Serta ditumbuh dewasakan.

Diruang tengah dengan aroma “Bunga sedap malam” yang merebak dan kue-kue lebaran yang sudah tertata di tiap-tiap meja, aku masih saja suka melihat foto keluarga dengan figora yang kokoh, sehat dan kaca terawat yang terpanjang di ruang tengah. Terlihatlah Alm ayah di foto dengan gagah dan kumis garangnya, dan alm ibu dengan kerudungnya yang anggun dan disebelah kanan kiri mereka adalah aku dan mbakyuku poninten.

Takbir terus saja menggema atmosfer lebaran semakin terasa, dan semakin kuat menerkamku dan membawa ke masa lampau, mau tak mau aku diseretnya ke masa itu. Tentu saja masa itu masih terekam bagus dalam memoriku karena masa itu bagian dari masa yang sekarang ini.

Cerita dari masa itu….
Hujan deras mengguyur kampungku. Aroma tanah basah saling berserobot ingin menusuk – nusuk hidung. Di pendopo depan rumah bercak-bercak bekas tapak sandal basah membuat bau lantai semakin amis. Aku tak tau, Ayah bekerja sebagai apa waktu itu.

Yang kutau, setiap malam banyak orang berkumpul dirumahku, mencatat, menimbang menurunkan sebagian barang dari truk-truk besar. Barang-barang itu adalah gula, beras, tepung dan juga minyak. Ayah hanya berkeliling dan memimpin.

Orang-orang yang sebagian besar adalah warga kampungku sesekali ada beberapa orang asing datang mereka berseragam lengkap dan bersepatu. Orang-orang yang menimbang dan mengangkut barang terlihat gugup dan bingung. Tapi dengan bijaksana dan berwibawa ayah memberi amplop putih pada orang berseragam, setelah itu orang-orang kampung kembali bekerja.

Waktu terus saja berlari tanpa kompromi aktivitas bekerja orang-orang kampung dirumahku semakin rampai bila ayah mengawasi orang-orang kampung bekerja aku seringkali mengekor di belakang ayah. Tapi ibu selalu saja memanggilku menyuruhku mengerjakan ini itu.

Aku tak pernah tau sebagai apa ayahku bekerja pada saat itu, dan tak lama dari itu ayah diangkatlah oleh warga kampung sebagai kepala dusun mendadak ayah dipanggil pak polo tentu saja jabatan baru membuat aktivitas di rumah semakin penuh. Banyak sekali warga kampung berdatangan entah mengurus surat ini ataupun surat itu dan tak lupa di akhir pertemuan dengan ayah mereka menyelipkan amplop atau sekedar meninggalkan sebungkus rokok, merek kesukaan ayah. Semenjak diangkat menjadi “polo” sepertinya orang-orang di kampung semakin ramah saja kepadaku. Aktivitas kerja menimbang, menghitung dan menurunkan barang sekarang hanya diperuntukkan untuk warga kampungku. Selain warga kampungku tidak diperkenankan untuk bekerja. Dan ayah tetap hanya mengawasi mereka dan sesekali mengecek ngecek barang. Di dalam malam yang larut sekali, ayah suka berkumpul dengan beberapa temannya di dalam ruang tengah, mereka menuang air di dalam botol-botol ke dalam gelas – gelas kecil, nyaris kecil sekali gelas-gelas itu. Aku sering melihatnya jikalau tengah malam aku ke kamar mandi rasa penasaran itu terus saja menggerayangiku sebenarnya apa isi dalam botol-botol itu sepertinya ayah sangat menikmatinya. Tetapi pagi-pagi selalu saja si mbok sudah membersihkannya. Seolah semalamnya tak pernah terjadi apa-apa. Aku mengejar kemana larinya botol-botol ternyata bekas botol botol itu di dalam gudang belakang ada sedikit sisa air dibotol itu maka kucoba rasanya woekk…..aku muntah kepahitan di buatnya.

Sampailah suatu sore ayah berbicara dengan ibu dan mbakyuku poninten.Mbak yuku akan dipersunting teman ayah yang suka datang dia bersergam, lengkap dan bersepatu. Poninten, terseduh. Tapi manut tak bisa menolak ayah. Pesta berlanjut dengan meriah seluruh warga berpesta. Setelahnya poninten di boyong pergi keluar dari rumah.

Masih kuingat di pernikahan mbakyu ku poninten usiaku sudah 22 Tahun dimana waktu itu aku sudah mulai mengerti apa sebenarnya pekerjaan Ayah. Setelah mbak yuku diboyong suaminya jadilah aku anak semata wayang di rumah. Tidak seperti poninten aku tidak suka dan sangat tidak suka dengan aturan.

Aturan ayah, ayah sangat membatasi gerak dan bergaulanku dan aku berontak dengan mentah-mentah “mau jadi apa, kamu, bergaul dengan mereka apalagi sampai tengah malam begini kata-kata itu sangat menusuk telinga dan dadaku seperti ditancapkannya ujung pedang yang runcing dan bergeming kata-kata itu di dadaku, ayah mengatakan ibu ketika aku intens. Bergiat disanggar kesenian, ayah sangat tidak menyukainya. Sudah beberapa kali aku bertengkar dengan Ayah karena beda pendapat dengan Ayah, tidak seperti poninten mbak yuku… mulutku ini terus saja meweli jikala ayah marah dan itu membuat ayah semakin naik darah.
Entah darimana ayah mencium bau yang kuciptakan aku memang lagi kasmaran dengan “Mas Adi” pemusik di sanggar seniku.

Waktu aku pulang malam ayah sudah menungguku “mau jadi tukang ngamen, kamu kawin sama Adi”.

Sontak amarahku langsung di ubun-ubun meskipun ayahku, betapa sok sucinya, orang ini, dengan emosional aku mencoba menguak menegaskan bahwa aku ini bukan anak kecil lagi, bila ayah malu melihat anaknya bergaul dengan gelandangan, anakmu ini lebih malu bila mempunyai ayah seorang pencuri dan pemabuk dengan mata menyala ayah mengusirku dari rumah dan dengan bangga dan bagiah aku sebagai anak muda pergi dari rumah.

Tepukan tangan Poninten mbak yuku yang menempati rumah induk membuyarkan lamunanku “kangen ayah sama ibu ya?”
Makanya seringlah kesini…

*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

RENCANA PALING SEMPURNA

Juwairiyah Mawardy
http://www.surabayapost.co.id/

Dia akan menikahiku. Resmi sebagai istri. Tercatat dalam buku nikah yang bisa diperlihatkan pada siapapun. Begitulah janjinya. Semula aku selalu bertanya kapankah itu? Tapi lama-lama aku tak ingin bertanya lagi. Aku hanya perempuan luar pagar. Perempuan kedua. Mungkin saja dalam tingkatan-tingkatan pikirannya, aku bukan hanya nomor dua, melainkan nomor ke sekian puluh dari urusan hidupnya. Yang terpenting adalah urusan politiknya.

Dia hendak maju sebagai calon bupati. Ia katakan akan segera bercerai dengan istri yang belum juga dapat berbuah itu. Aku menunggu. Aku percaya padanya. Seperti ia percaya padaku bahwa aku tak akan membongkar hubungan kami ke publik. Aku menginginkan kesuksesannya terwujud. Seperti aku menginginkan pernikahan agung kami juga terwujud.

Hubungan kami adalah hal yang tak terelakkan. Kami tidak kumpul kebo, melainkan menikah di bawah tangan yang tersembunyi dari tatapan-tatapan mata yang nyata. Sepekan sekali ia akan datang dan menginap di rumahku. Dalam kamar pribadiku, baju-bajunya, beberapa benda miliknya sengaja ditinggal. Bagiku itu sangat berarti. Membuatku merasa menjadi istri seseorang. Meski secara tersembunyi.

Ia tak memiliki anak. Anak-anaknya hanya berupa harta yang berlimpah ruah. Tapi harta hanyalah harta. Tak menjadi ukuran kebahagiaan. Tak menjamin kelengkapan. Anak adalah suatu hal berbeda. Dan ia tak memiliki itu bersama istrinya. Tetapi mungkin akan memilikinya bersamaku, yang tersembunyi ini.

Ia mulai disibukkan oleh rapat-rapat, perjalanan-perjalanan jauh ke luar kota, menyisir titik-titik yang mungkin akan menjadi pendukungnya nanti di hari pemilihan. Belum lagi musim kampanye ini ia sudah semakin sibuk. Gambarnya beredar dalam baliho-baliho, terpampang di ruas-ruas jalan. Aku bangga secara tersembunyi. Seperti pernikahan kami yang rahasia.

Ia mulai jarang datang di hari yang wajib untukku itu. “Maafkan aku, aku belum bisa ke situ. Sabarlah ya?”

Aku hanya mengiyakannya dalam telepon yang dengingnya kubiarkan meski beberapa saat telah ia tutup pembicaraan kami.

“Aku ingin sekali bisa pergi denganmu ke luar kota. Kita akan mencari waktu. Akan aku agendakan,” katanya di kali lain seperti membicarakan jadwal kunjungan ke daerah.

Aku pun hanya mengiyakan. Apakah yang kubisa? Menuntutnya untuk selalu ada? Bukankah sejak awal aku sudah tahu resiko-resiko sejenis ini? Resiko dinomor-sekiankan dari sekian nomor. Ah, tak mengapa. Aku sudah biasa hidup sendiri. Mengatasi semua sendiri. Rumah ini sudah terbiasa hanya ada aku. Bukankah jumlah kedatangannya ke rumahku ini dapat kuhitung seperti halnya tamu?

Akhirnya kami sempat bersama. Ia menginap. Seperti biasa, bercinta bukanlah menu utama kami. Karena yang kami hayati bukanlah percintaan yang panas. Bukan sex. Melainkan kebersamaan. Chemistry. Kecocokan dalam berbicara dan berpikir. Kami makan bersama. Tidur bersama dan bercinta dengan singkat. Ia tak kekurangan kehangatan di rumah. Dan rumahku bukanlah tungku tempatnya memanaskan cinta. Bukan perapian.

“Bolehkah aku bercerita tentang Nalini?” Katanya sambil memeluk bahuku.

Kugenggam tangannya. “Akan kudengarkan.”

“Nalini kini ikut terapi. Katanya ingin punya anak. Aku hanya menuruti keinginannya memeriksakan spermaku. Dan Nalini yang harus terapi, meski aku pun diminta tetap menjaga kondisi…”

“Kalian akan punya anak?” Aku gagal menyimpan getar suaraku.

“Siapa yang bisa meyakinkan? Perkawinan kami sudah hampir dua puluh tahun. Dan baru kali ini Nalini terbuka hati mengajakku memeriksakan diri.”

Aku terdiam. Ia mengusap pipiku. Kulirik rautnya yang letih. Bukan letih karena bercinta tetapi karena banyak pikiran dan rencana-rencana dalam otaknya. Masukkah aku dalam rencana-rencananya itu?

“Aku ingin kita menikah resmi setelah usai kesibukan pilkada ini.”

Entah mengapa hatiku tak hangat lagi mendengar kalimat ajaibnya itu. Nalini sedang terapi. Ia ingin hamil. Nalini pasti punya rencana. Apakah Nalini tahu suaminya punya istana kedua? Rumahku?

“Bagaimana jika Nalini berhasil hamil?” Tanyaku skeptis.

“Kukira tidak akan terjadi. Kami sangat jarang bercinta. Sudah lama tidak. Bukan cuma karena kesibukan. Tapi aku sering enggan karena tak menghasilkan. Lagi pula, anjuran dokter, sekarang justru kami diminta menjarangkan hubungan agar rahimnya siap. Terlalu sering juga tak bagus, kata dokter,” ia menjawil ujung hidungku sambil tertawa.

“Dan dokter akan meminta kalian bercinta di suatu waktu yang tepat ketika rahim Nalini siap, lantas Nalini hamil, dan hilanglah aku dari kehidupanmu…” aku tak tahan dengan gerimis dari mataku. Aku menangis membayangkan itu yang mungkin terjadi.

“Sssshh…tenang, sayang. Jangan membayangkan yang terburuk. Itu tak akan terjadi. Rencana kita-lah yang akan menjadi kenyataan. Aku menang atau kalah dalam pemilihan nanti, aku akan menikahimu secara resmi. Mungkin akan ada gossip sebentar, tapi pasti akan reda sendiri. Sekarang tiap hari gossip berganti. Kita tak akan menjadi santapan banyak bibir sepanjang hari.”

Aku diam saja. Kubiarkan ia mengusap air mataku. Mengapa rasaku begitu nelangsa? Kesedihan semacam ini adalah kepastian bagiku, bukan kemungkinan lagi. Kesedihan adalah sebagian buah dari hubungan kami yang tersembunyi ini. Seharusnya aku tak menangis. Tetapi siapa yang dapat mencegah kehendak air mata untuk terbit sebagai kepedihan? Karena aku pun tak pernah bermimpi untuk menjadi secunder woman.

Ia pulang kembali ke Nalini. Tiba-tiba aku membutuhkan liburan. Yang sendiri dan sunyi. Tapi aku tak dapat pergi tanpa memberitahunya. Tak dapat mematikan handphone tanpa pamit padanya. Ia adalah suamiku. Yang sah secara agama. Kami menikah baik-baik di hadapan Tihan, meski tidak diakui negara.

Aku membatalkan rencana liburanku meski cuma untuk dua hari. Aku ingin pulang ke rumah ibu. Rumah lama yang membuatku seperti anak kembali, murni seperti pagi hari. Tetapi kantor sedang sibuk. Dalam waktu-waktu ini anak-anak akan ujian. Maka meski akhir pekan, pikiranku tersita dengan persiapan itu. Dan dalam ruang pikiran yang lain aku terus menerus menumbuhkan kecemasan. Nalini mungkin akan hamil. Dan aku….

Selama ini aku telah berusaha agar tak membuahkan hasil dari setiap percintaan kami. Tidak, aku tak ikut KB. Ia pun jarang mau memakai kondom. Selalu ada cara lain bukan? Dalam kalutku aku ingin hamil saja agar ia tak meninggalkanku. Tapi siapa yang dapat menjamin aku akan segera hamil dan ia tak akan pergi meninggalkan aku? Hubungan kami penuh spekulasi. Tergantung siapa yang punya spekulasi. Jika aku hamil, aku akan merusak rencana kami, menurutnya. Karena ia tak mau ada data bahwa ia menikahiku karena aku hamil. Pernikahan kami tak seorang pun tahu.

Jika Nalini yang hamil, maka rencana kami berdua untuk menikah resmi akan terhalang. Tidaklah mungkin ia meninggalkan Nalini dalam keadaan hamil, itu akan menimbulkan malapetaka publik padanya. Tidak mungkin pula ia meresmikan poligaminya di awal masa bertugasnya sebagai bupati jika ia menang dalam pemilihan nanti sedang pada saat yang sama istri sah-nya sedang hamil; hal yang ia nanti-nanti sejak dahulu. Dan jika ia menang, meski Nalini tak hamil, bagaimanakah ia akan bercerai dengan Nalini dan menikahiku dengan resmi? Betapa kusutnya benang hidup yang kami jalin ini. Dan di antara segala kekusutan ini aku menempati posisi sebagai yang paling tak mudah diurai. Semata-mata kekusutan.

Suatu malam ia datang tanpa terlebih dahulu memberitahu.

“Aku ingin benar-benar istirahat satu hari ini saja. Aku sedang penat saja. Rapat-rapat itu semakin menampakkan padaku betapa banyaknya mulut yang harus kututup dengan uangku. Sebagian besar mereka mendukungku karena bertaruh dengan uang, berkejaran dengan uang. Dan mereka tahu aku punya banyak uang dan tak akan eman mengeluarkannya demi posisi ini. Sungguh menyebalkan.”

Kuusap peluh di keningnya. Tak biasanya ia mengomel. Biasanya ia pandai menahan diri dan emosinya. Semuanya dihadapi dengan tenang.

“Maafkan aku, aku tak bermaksud menumpahkan kekesalan padamu.”

Aku hanya mengangguk saja. Entah mengapa di hadapannya aku ini begitu patuh, begitu penuh toleransi, dan mengesampingkan rasaku sendiri.

Aku berusaha membuatnya merasa nyaman di dekatku, di rumahku. Bukankah laki-laki yang mencari istana kedua seringkali karena di istananya tak lagi ia temukan tempat untuk melarikan diri dari kekalutan hidup? Dan aku, dengan takdirku ini, menyediakan diri untuk menjadi istana pelarian, tong sampah yang mulia bagi kepengapan-kepengapan.

Sepenuhnya ia beristirahat di rumahku malam itu. Bersantai, tidur, mematikan handphone, menikmati makan malam kesukaannya, bercinta di jelang subuh hingga ia lelap lagi di awal hari. Dan seperti biasa ia akan pergi begitu merasa lebih baik.

“Maafkan aku karena hanya sebentar bersamamu,” ucapnya saat pamit.

Ia memelukku sebelum membuka pintu rumah. Aku tak berkata apa-apa. Hanya membalas pelukannya. Dan berlalulah lagi kecintaanku itu.

Dan kini, saat aku mengandung puteranya, dan ingin mengabarinya, aku justru mendapat kabar darinya bahwa Nalini tengah mengandung. Betapa hebatnya kenyataan kami! Takdir ini memakuku.

Dari polling yang diadakan sebuah media, ia diperkirakan akan memenangkan pemilihan. Aku dapat merasakan kebahagiaannya. Ia mendapatkan calon putera yang sudah lama diimpikannya dan sekaligus akan mendapatkan posisi yang sedang diperjuangkannya sekuat tenaga. Betapa lengkap baginya kenyataan ini.

Dan aku tiba-tiba merasa begitu kecil, begitu tak layak menyeruak di antara semua kenyataan yang membahagiakannya ini. Hilang sudah semangat untuk mengabarkan bahwa aku tengah mengandung calon puteranya. Tetapi aku tak ingin membuang bayi ini. Bayi yang tak bersalah ini. Bayiku tak diciptakan dalam keharaman.

Mungkin Nalini akan menertawakanku sebagai perempuan bodoh. Dan aku tak akan dapat melawan kata-katanya sedikitpun. Aku akan kalah. Akan menjadi orang yang salah. Dan suamiku – suaminya itu – tak akan dapat membelaku. Bukankah aku sudah dilarangnya untuk hamil sementara ini? Sampai semua rencana selesai sempurna?

Mungkin aku akan pergi, ke jauh, ke entah. Membawa serta calon anakku yang hanya akan segaris darah denganku secara hukum. Rencana paling sempurna yang kami susun berdua tak sanggup berhadapan dengan rencana Nalini. Atau rencana Tuhan?

Pulau Madura, November 2010

*) Juwairiyah Mawardy, lahir di Sumenep 25 Juni 1976, pendidikan S1, beralamat Jl. Raya Blajud rt. 004/ 001 Karduluk Pragaan Sumenep, Madura Jawa Timur 69465. Email: neter_kolenang@yahoo.com

PUSARA MASA LALU

M. Luthfi Aziz
http://sastra-indonesia.com/

Prolog:
Entah sihir atau wahyu yang membuatku selalu terbangun dalam mimpiku di siang bolong, di bawah kolong-kolong langit langkahku selalu diikuti gelombang gelisah mengenai sebuah gelisah; aku mengingat dan menyebut namanya, bayangan dirinya menari tepat dimataku tanpa mampu ku mengusirnya, tiba-tiba tangan dan kepalaku bergerak teratur bersama ritmis alam, menari di antara ekstase ketidak sadaran dan ruh yang masih terbawa di alam nyata. Nama, wajah, dan dirinya sempurna berpusara di dalam benakku. Tanpa mampu menolak aku berusaha melawannya yang berujung pada keputusan keputusasaan untuk dapat melepasnya, walau sesaat. Sementara dia mahluk asing berupa bayangan nyata yang selalu menguntit dunia riilku. Kini dia nyata hanya imaji kosong, namun aku masih berjuang untuk menghapusnya dalam kehidupanku, apakah aku bisa?
***

Aku bertemu dengannya dalam sebuah acara pada salah satu dunia imaji ilmiah. Sebuah seminar yang menghadirkan pembicara terkemuka. Oleh panitia aku diminta menjadi salah satu pembicara pada acara yang bergengsi dalam dunia imaji ilmiah itu. Dia hanyalah seorang peserta yang sama dengan peserta lainnya. Namun di mataku memang dia tampak berbeda. Dia memiliki kecantikan yang khas kejawa-jawanan. Gerak-geriknya lembut seperti tari-tarian mistis yang memagnet mataku untuk memandangnya secara mencuri-curi atau terang-terangan tanpa rasa sungkan. Dan rasanya aku pernah mengenalnya.

Dia duduk di deretan paling depan dan tampak sangat antusias mengikuti perjalanan forum. Gaya berbicaranya lembut dan sangat mengikat. Kata-katanya tertata rapi seperti barisan pasukan memiliki kekuatan memaksa untuk menyimaknya. Pertanyaan dan pernyataannya merupakan air deras yang mengalir dan dapat diikuti sampai ke muara.

Bagiku dia adalah gambaran seseorang yang hanya pernah aku temui dalam suatu cerpen. Sebuah cerpen yang membuatku terpesona dengan jalan ceritanya. Di dalam cerpen itu dituliskan cerita tentang perempuan yang memiliki spirit yang sangat tinggi untuk mengetahui dan berbagi tentang dirinya; “keperempuanannya”. Dia selalu memiliki pandangan mata dan pandangan pemikiran yang teduh. Dia memiliki ketinggian kualitas dalam ukuran fisik, namun juga perilakunya juga menyampaikan bahwa dia memiliki karakter yang tinggi. Dan dia memiliki fisik yang tak pernah ku lupa bayangan kelembutannya. Aku adalah lelaki, mahluk kasar yang selalu merindukan kelembutan dari lawan jenisku.

Agar aku tidak hanya cerita tentang kegilaanku kepadanya, sebaiknya aku teruskan ceritaku dengannya. Mungkin anda yang membaca cerita ini perlu perlu tahu bahwa sebelumnya aku mengabaikan sms masuk yang tidak penting ke dalam inbox message-ku. Tetapi kali ini mulai lain. Dia seringkali sms hanya untuk mengingatkan agar aku tidak lupa sarapan, makan siang, makan malam, dan beristirahat jika payah. Bagiku sms seperti ini tiba-tiba menjadi penting, bahkan menjadi urgen dan selalu ku nantikan. Ketika aku berada dalam kalut, suntuk, dan capek, dia selalu dapat menemaniku untuk berdialog walaupun dalam pandanganku bahasanya sangat sederhana dan pandangan yang sederhana pula. Entah kenapa, aku rasa dia tahu aku sering berfikir sesuatu yang rumit sehingga dia memilih yang sederhana untuk “menghadapiku”.

Aku berpikir keras. Jauh hari-hari sebelumnya aku lebih suka menghabiskan hari-hari dengan kesendirian, hanya bergumam melalui catatan-catatan kaki dan buku-buku referensi yang kadang terbawa dalam mimpiku. Mimpi-mimpi Plato, bayang-bayang kebijaksanaan Sokrates, harapan materialism Marxis, sampai harmoni konfusianisme atau filsafat jawa yang juga tidak semuanya dapat kufahami sepenuhnya dengan baik. Aku pun heran bagaimana mereka dapat menciptakan semua imaji itu. Aku menikmati bayangan-bayangan indah dan mimpi-mimpi sempurna para tokoh-tokoh besar persilatan pemikiran itu.

Waktuku habis untuk membaca segala sesuatu yang aku juga tidak sepenuhnya tahu untuk apa semua itu ku baca. Memang ada setitik keyakinan bahwa dengan mengayakan pandangan terhadap dunia, aku akan menjadi lebih bijak menghadapi berbagai peristiwa. Aku menghamburkan waktuku untuk perenungan panjang yang sebelum-sebelumnya menjadi pekerjaan para pemikir, sedangkan rasanya aku hanyalah orang yang dipermainkan oleh pikiranku sendiri. Aku hanya mencoba merangkai hasil pemikiran mereka untuk memandang realitas yang sedang terjadi. Setidaknya itulah kemampuan utamaku sebagai pekerja di dunia imaji ilmiah. Itu pun kata salah seorang teman jauhku. Katanya juga tidak begitu penting kemampuan yang ku miliki itu. Tapi masa bodoh “the show must go on” kata teman dekatku. Dan aku tanpa berfikir panjang mengamini kedua kata itu.

Selebihnya aku habiskan waktuku dengan berbagai perdebatan dan diskusi yang mempertahankan argumentasi-argumentasi akademik dan ilmiah. Media yang kugunakan juga bermacam-macam, dari mailing list, facebook, blog yang kuciptakan secara khusus untuk berbincang-bincang dengan komunitas dunia mayaku, serta pertemuan-pertemuan yang mengambil tema seminar, sarasehan, diskusi ilmiah, dan sebagainya sampai café dan warung lesehan tidak lepas dari kejaran imaji ilmiahku.
***

Berbicara tentang perempuan yang dapat mengisi hatiku sudah lama mati, aku memutuskan tidak memiliki harapan untuk dapat bersanding dengan salah seorang perempuan yang dikategorikan sangat cantik sekalipun, bahkan seandainya Dian Sastra, yang katanya kecantikannya masih khas alami nusantara dan belum terdegradasi dengan unsur-unsur luar dan asing, mau denganku sekalipun, aku berani memastikan bahwa aku tidak akan menerimanya. Itu tidak mungkin, tetapi jika mungkin sekalipun aku akan memilih larut di dalam duniaku sendiri, karena sejujurnya aku masih mengharapkannya.

Masa pubertas – dahulu – sebagai jeda dalam hidupku sebelumnya, memungkinkanku untuk mengalami impian tentang cinta yang indah kepada seorang gadis manis dan pandai dari teman kelasku. “Aku memujamu dalam kata dan doa”. Itulah kalimat yang sangat dia suka dan mengalir keluar dari mulutku. Dia menjadi medan magnet yang selalu ku ikuti, begitu juga dia kepadaku. Aku selalu ingin di mana ada dia, aku selalu berada di sampingnya, begitu juga dengannya seringkali dia “semacam” cemburu jika melihatku dengan gadis lainnya, meskipun dia tahu itu hanya seorang teman, dengan cara membuatnya cemburu aku sering menggodanya.

Waktu itu malam Minggu menjadi akhir pekan yang begitu memesona dalam pandangan kami untuk bersama, di rumahnya, alun-alun kota, atau tempat-tempat lain di mana kami bisa bersama. Berangkat ke sekolah menjadi aktifitas rutinku dengan selalu menjemputnya. Ulang tahun selalu kami rayakan bersama. Valentine, tahun baru dan sebagainya menjadi hari-hari berlalu dengan cepatnya. Sampai akhirnya detik-detik sesudah kelulusan SMA memisahkan kami. Aku melanjutkan study jauh di timur dari kotaku dan dia jauh di barat. Cinta masa pubertas tidak dapat dipertahankan. Dia menyerah pada jarak jauh yang tidak terjangkau. Aku mencoba tetapi sia-sia.

Sesudahnya aku menghabiskan waktuku untuk orientasi studyku, lalu kerjaku part time. Tak ada lagi cerita tentang gadis-gadis yang menjadi bahan pembicaraan kecuali sekedarnya. Tak ada yang bisa menggantikan kedudukannya dalam hatiku. Mungkin benar “first love’s never die”. Meskipun begitu aku tidak lagi memedulikan itu semua. Aku memilih “cuti” sangat lama dari urusan “dunia buaya”. Bagiku mimpiku adalah Allisa yang telah “mati” sejak malam perpisahan itu. Aku telah membunuhnya dengan merayu rasaku untuk melebihi diriku sendiri dari pada perasaanku kepadanya.

Namun keanehan kurasakan berikutnya, tiba-tiba aku benar-benar heran dengan diriku sendiri, tepatnya di medium waktu saat ini “apakah sebenarnya yang terjadi padaku saat ini?”, bibirku bergumam dan aku tidak percaya dengan yang terjadi. Aku tersadar dari lamunanku ketika melihat serakan daun terbang ditiup angin pembawa hujan sebelum akhirnya aku bergegas memunguti baju jemuran yang belum kering karena panas yang tertutup mendung dari pagi.
***

Waktu terus mengejar harapan dan cita-cita manusia. Sementara aku masih tidak bisa atau tidak mau mengatakan rasaku walaupun untuk sekedar jujur pada diriku sendiri. Dia, masih Allisa yang tidak pernah canggung untuk mengganggu jam-jam kesibukanku. Dan aku sadar bahwa aku selalu menanti gangguan darinya, senyumnya yang sekilas berkesan mengejek tapi menjadikannya tampak manis, renyah tawa, lesung pipi, dan bicaranya yang gurih di dengar, sampai seakan-akan dunia tiba-tiba senyap bila dia telah pergi.

Dialah yang kemudian meyakinkanku secara pelan-pelan tentang keindahan yang sebenarnya tidak berada dalam lukisan ataupun yang terlukiskan dalam kata dan bahasa, keindahan sebenarnya ada dalam hati, memenuhi ruang-ruang yang tidak tersentuh materi. Aku sulit memahaminya, setidaknya mengaplikasikan di dalam hati dengan menginstallnya menjadi salah satu soft ware di hati, kemudian mengaplikasikannya dalam program-program kehidupan. Bagiku itu terlalu sulit untuk diakal. Mungkin karena terlalu banyak virus yang menyerang system hatiku. Sedangkan dia sudah sangat akrab dengan dunia ironi materi ini.

Suatu ketika dia mengajakku ke rumahnya sendiri, lingkungannya yang asri dan indah dengan taman bunga yang tertata secara rapi di sebelah depan kanan rumah. Ada air mancur mini yang menghiasi salah satu sisi taman, bunga mawar bermacam warna, melati, kamboja dan dan beberapa bonsai. Di antara unsur-unsur taman yang indah ada terdapat background lukisan dalam bentuk relief panjang yang ironis dengan tampilan yang ada di depannya. Sebuah lukisan tanah kering dan retak serta ranting-ranting kering yang berserakan di sana sini dan berwarna hitam gelap. Ada juga sesosok iblis bercula terbang bersampingan dengan dewi bersayap putih di atas tatanan mendung hitam dan putih. Di ujung paling timur sana ku melihat pohon yang menjulang sampai menyentuh langit biru.

“Inilah keindahan sesudah kita mengetahui apa di balik keindahan di dalam hati kita” katanya sembari menemaniku berdiri memandangi taman dengan paduan relief yang belum pernah ku temui bentuk yang sama sebelumnya. Dia mengatakan bahwa dia sendiri yang menyeting dan membuat taman itu.

“Ini adalah ilham yang ku dapatkan tentang dunia ini, ayo masuk, kamu pasti belum lupa pintunya… dan isinya” kemudian tertawa kecil dan aku pun mengikutinya masuk ke rumah yang dulu pernah akrab denganku.

Dengan suguhan teh hangat sore hari, aku berbincang-bincang dengannya dan bercerita perjalanan hidup masing-masing sesudah lama berpisah. Yang jelas aku dan dia sangat berbahagia bisa bertemu dan bersama lagi. Dia mengenalku dengan baik, begitupun aku kepadanya. Semua yang selama ini tertutupi sedikit demi sedikit terbuka dengan kata-kata yang terurai di antara kami. Ada senyum, tawa, dan ritmis tangisan kecil menyertai cerita-cerita kami. Ternyata dia tak pernah meninggalkanku, itu yang ku tahu, aku ragu, namun aku tak bisa mengambil bukti kebalikannya. Aku senang sekaligus sedih karena akulah yang meninggalkannya.
***

Waktu yang lain sesudah itu dia mengajakku pergi bertamasya alam ke suatu pegunungan yang tidak jauh dari tempat di mana kami tinggal. Sebelumnya aku tak pernah melakukan tamasya alam ke mana pun atau lebih tepatnya aku tak pernah bisa menikmati sepenuhnya pemandangan alam dan menghayatinya sedahsyat cara Allisa memandang keindahan alam.

Ketika kami berdiri di samping jurang, dia kemudian mengambil kamera kecil dari sakunya. Dengan latar pohon kering yang menghitam dan dibelakangnya jurang yang curam serta tembok alam yang menjulang di seberang, dia memintaku untuk mengambil fotonya. Kemudian dia mengambil diri pada posisi dan pose-pose yang variatif, dia selalu dapat mengambil sisi yang berbeda dengan motif yang sama, tembok alam yang terjal menjulang, jurang curam, barisan pohon yang tebal dan menjadi gugusan warna hijau kebiruan dari kejauhan, asap dan mendung tebal yang dapat tak dapat ku bayangkan ketika tiba-tiba runtuh menimpa bumi, sementara kecantikan Allisa yang alami tercetak dalam gambar dengan begitu kontrasnya.

“Keindahan dapat diambil dengan media gambar, tetapi tidak bisa menggantikan sepenuhnya keindahan yang sebenarnya, dia terletak di hati” katanya ketika aku di sampingnya melihat Allisa mengutak-atik foto-foto dari kameranya dalam sebuah notebook.

“Iya, siapa yang tahu di balik keindahan alam pegunungan ini juga menyimpan kengerian yang tak terbayangkan ketika tiba-tiba bergemuruh dan mengeluarkan letusan yang dahsyat”.

“Aku tidak bermaksud membicarakan sisi kemarahan alam, begitu kata orang-orang”
“Lalu maksud kamu, alam memiliki cara untuk berbicara kepada kita semua?”

“Alam adalah diri kita ini, seperti kita merasakan adanya ikatan diri kita terhadap alam, demikian alam juga merasakan memiliki ikatan dengan diri kita”.

Aku benar-benar menikmati keindahan Allisa dengan seluruh latarnya. Dia mempersembahkan senyum dengan mantra yang menjinakkan hasratku terhadap lainnya. Dia menghadirkan kata dan sikap sejuk seperti aliran danau dan aku tenggelam di dalamnya. Segala gerak-geriknya merupakan persembahan tarian alam yang selalu dapat kunikmati hingga ekstase karena demikian indah. Aku rasakan setiap pertemuan kami adalah jeda kebahagiaan yang demikian memesona. Aku dan dia larut ke dalam medium-medium yang ku miliki. Dan setiap perpisahannya menjadi medan magnet yang selalu tarik-menarik karena pesona.
***

Kali ini dia datang dengan mata basah yang menutupi sebagian besar aura cerah di wajahnya. Senyumnya tidak ku lihat, renyah tawanya seperti telah habis, gurih bicaranya seperti melempem, dan lesung pipinya hanya tampak ketika isakan tangisnya menyelingi ucapan-ucapannya. Sementara aku tidak melakukan apa-apa selain hanya mendengarnya sampai tangisnya usai nanti. Sembari dalam hati ku berharap akan mendengar dan melihat lagi cerah auranya sesudah tangisnya nanti. Hanya itu yang ku harapkan tidak lebih, batinku lirih tapi tajam berunjuk rasa besar-besaran melawan suatu keadaan kontras yang tiba-tiba datang.
Sesudah hari itu, waktu itu, aku merasa ada yang benar-benar hilang dari hidupku. Suara kicau burung pagi, kokok ayam jantan dan alarm yang selalu membangunkanku, tak lagi ku dengar, semilir angin, dinginnya embun pagi tidak lagi ku rasa, gerahnya udara siang, dan teriknya matahari, tak mampu membakar kulitku walau semakin menghitam. Dan tiap hari menjadi malam panjang yang membuatku tak bisa bangkit dari tidurku yang melarut dalam mimpi-mimpi tak berujung.

“kamu tampak kering ” kata temanku.
“kamu semakin kurus” kata temanku lainnya .
“kamu kurus kering” kata temanku yang lainnya lagi.
Aku tidak menyangkal. Dan aku pada kenyataannya merasakan semakin melemahnya fungsi-fungsi tubuhku.
“Ayolah kamu makan” kata temanku
“Kamu harus makan agar lekas sembuh” kata temanku lainnya.
“Ayolah kamu yang banyak makan agar lekas sembuh” kata temanku lainnya lagi.

Perhatian yang setulus hati dari beberapa teman dan kerabatku aku abaikan begitu saja. Aku merasa inikah keindahan yang sebenarnya, suatu rasa yang dating melesat-lesat seperti pijar kilat, tidak mampu ku menangkapnya, tak dapat aku mendefinisikannya, begitu cepat dan semakin ku kejar semakin ku merasa kehilangan cahaya yang berkilat-kilat putih berlari di hadapanku.

“Aku telah menikah dan lusa suamiku akan datang, namun aku masih saja berharap bisa bersamamu” kalimat ini yang terakhir ku dengarkan secara sungguh-sungguh dari bibirnya yang seksi.
“Jika kamu tidak ingin lagi menemuiku, percayalah aku akan selalu menemuimu dalam kata hati dan doa untukmu” Mendengar kalimat terakhirnya ini aku hanya diam tanpa ekspresi, aku akan hanya diam sekali lagi jika dia berbicara apa lagi, apa saja, dan apa pun.
***

Kembali waktu kuhabiskan dalam kesendirian, tak ada kebersamaan selain dengan bayang-bayangnya yang menyertai setiap kerdip mata dan keluar-masuknya nafasku. Aku berdiri di sini aku merasakan rindu yang tidak mungkin untuk dapat bertemu dengan empunya. Yang aku butuhkan saat ini hanyalah merindunya. Aku hanyut dalam hasrat ingin bertemu dengannya, tetapi harus bukan untuk mendekapnya atau memegangnya dalam genggaman tanganku.

Di sini di depan pusara semua kenangan yang masih segar terguyur rintik hujan, tanah dan tubuhku basah oleh hasrat untuk selalu menancapkan rasa rinduku atasnya, bukan untuk bersama yang ku rindu dan ku cinta, di akhir ziarahku sebelum meninggalkan hasratku yang satu dan lainnya, seraya memusarakan harapku untuk memenjarakan cinta dan setiaku, aku bergumam “Tuhan aku bersyukur atas cinta dan rindu yang selalu bersemai di dalam hati kemanusiaan”.

Sesampai di rumah aku baca tulisan Allisa pada selembar kertas kecil yang lusuh tergeletak di atas meja, dengan dada berdegup kencang, tubuh tersungkur, air mata berkilang, namun dengan senyum berat dan kesadaran penuh aku baca pelan:

Hujan adalah waktu
Angin adalah waktu
Panas adalah waktu
Terang adalah waktu
Gelap adalah waktu
Rinduku adalah waktu
Dendamku adalah waktu
Perjumpaan kita adalah waktu
Perpisahan kita adalah waktu
Wahai………..
Bagaimanakah dapat membunuh waktu

Sesudahnya aku menutup pintu kamar dan hatiku untuk kenangan yang telah memakan habis waktu masa laluku, aku hanya berhak mengenangnya bersama takdir-takdir usang lainnya.
***

Epilog;
Setiap orang pernah merasakan jatuh cinta dan kesetiaan, atau pengharapan besar dan pengorbanan. Ada yang hanya merasakannya sekali dan berhasil mengejawentahkan semua itu menjadi kenyataan, namun ada juga –mungkin banyak- yang harus menerima kenyataan pahit dan patah hati karena cinta, kesetiaan, dan pengharapan besar, serta pengorbanan berubah menjadi mimpi buruk yang tidak diharapkan. Semuanya sebenarnya jika diresapi hanyalah…….. persoalan waktu yang mengajarkan kepada manusia tentang kehidupan.

*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Hantu Mei

Dadang Ari Murtono
http://www.surabayapost.co.id/

Sampai manakah batas kesetiaan itu barangkali tak ada yang tahu benar. Seperti pula tak ada yang tahu benar sejauh mana batas cinta itu. Kadangkala teramat tak masuk akal. Seperti kisah ini. Kisah tentang gadis yang memutuskan menjadi hantu. Setia menjaga rumah yang oleh orang-orang disebut rumah hantu. Setia menjaga dendam.

Semua dimulai ketika orang-orang mendadak lihai menjarah dan membakar, memperkosa dan membunuh pada suatu mei yang rusuh. Dan keluarga Mei adalah salah satu keluarga yang menjadi korban. Ibu dan kakak perempuannya diperkosa sebelum kemudian dipotong kedua puting payudaranya. Ayah dan kakak laki-lakinya dibunuh dan dibakar setelah sebelumnya dipaksa menyaksikan ibu dan kakak perempuannya diperkosa bergantian dengan brutal. Ia selamat. Mei selamat. Semata karena ayahnya memasukkannya ke dalam lemari kosong yang lama tak terpakai dab teronggok di sudut gudang. Orang-orang itu, pada akhirnya membakar pula rumahnya. Seperti tak menyisakan ada satu pun dari keluarganya yang tersisa. Semuanya mesti menjadi abu. Begitu pula tubuh ibu dan kakak perempuannya yang pingsan setelah diperlakukan seperti itu. Semua mesti menyusul jasad ayah dan kakak laki-lakinya yang telah lebih dulu diabukan hidup-hidup. Namun selalu ada keajaiban. Baru setengah rumah terbakar, hujan turun. Hujan yang ajaib. Hujan yang sasar musim. Hujan deras yang segera berhenti setelah api padam. Hujan yang seakan dikirim semata untuk menyelamatkannya. Menyelamatkannya dari jilatan api yang semestinya tak lama lagi bakal menyentuh gudang. Mengusap lemari sembunyinya. Menjadikan tulang dan daging-dagingnya bara sate yang tak sedap.

Ia ke luar dengan cara merangkak dari lemari sembunyinya. Masih 5 tahun ia waktu itu. Tak banyak yang dapat dipahaminya dari apa yang baru saja terjadi. Ia menangis. Ia menangisi mainan-mainannya yang telah terbakar. Ia menangisi ayah ibunya yang tak juga muncul padahal ia telah keras-keras memanggili mereka. Ia menangisi kakak laki-laki dan kakak perempuannya yang tak juga datang mengajaknya bermain. Ia merasa sendirian. Ia merasa kesepian.

Ia tak mengerti kenapa ayahnya memasukkannya ke lemari gudang. Ia tak mengerti kenapa tak ada satu pun keluarganya yang datang menggendongnya. Ia tak mengerti kenapa mainan-mainannya dibakar begitu rupa. Apakah ia telah berbuat nakal dan ayahnya tengah menghukumnya seperti beberapa waktu yang lalu ayahnya menghukumnya dengan tidak memberi uang saku selama 3 hari hanya karena ia malas berangkat mengaji ke masjid yang berjarak 500 meter dari rumahnya? Tapi ia merasa tak sedikit pun berbuat nakal atau melanggar perintah ayahnya beberapa hari ini.

Sungguh ia merasa tak melakukan sesuatu yang membuat ayahnya tidak suka dan menghukumnya sedemikian rupa. Ia ke masjid untuk mengaji tiap jam 3 sore hingga setengah 5. Ia juga bangun pagi terus untuk membantu ibu menyapu halaman sementara kakak laki-lakinya menyiapkan barang dagangan di toko dan kakak perempuannya membantu ibu menyiapkan sarapan. Sedang ayahnya berbelanja kekurangan-kekurangan barang dagangan ke pasar kecamatan. Setelah semuanya beres, kakak laki-lakinya berangkat sekolah. Kakaknya itu masih kelas 2 SMP. Begitu pula kakak perempuannya yang bersekolah di SMA kecamatan kelas 3. Sebulan lagi, pada akhir juni, kakaknya yang cantik, berkulit putih, bermata sipit dan rajin sholat itu akan menempuh ujian akhir kelulusan. Menurut rencana yang telah disetujui ibu ayahnya, kakaknya itu akan melanjutkan ke jurusan kedokteran universitas yang ada di luar kota. Ia tak ingat nama universitasnya sebab namanya teramat sulit bagi lidahnya yang masih cadel. Keluarganya termasuk keluarga yang berkecukupan. Jadi tak ada masalah tentang biaya besar yang dibutuhkan untuk kuliah di jurusan kedokteran. Toko ayahnya adalah toko paling besar dan lengkap di desa itu. Dan keluarga itu adalah keluarga terkaya di desa itu. Mei sendiri masih TK nol kecil.

Dengan kondisi perekonomian semacam itu, bukanlah hal yang aneh bila ia mempunyai banyak mainan. Bahkan bila dibandingkan dengan keseluruhan mainan kawan-kawannya kampung sepantarannya, mainannya masih lebih banyak. Karena itulah sepulang sekolah ia kerap mengajak kawan-kawannya bermain di rumahnya. Dakon, bongkarpasang, rumah-rumahan, monopoli, ular tangga, boneka-boneka barbie dan masih banyak lagi. Ibunya yang mirip kakak perempuannya itu, cantik dan sipit, selalu saja menyambut tamu-tamu kecil itu dengan suka cita, dengan senyum manis dan kue-kue yang tak kalah manis dengan senyum ibu itu. Begitu pula bila kakak laki-laki atau kakak perempuannya mengajak kawan sekolah mereka menginap di rumah untuk mengerjakan tugas kelompok atau sekadar bermain.

Namun perkara-perkara menyenangkan semacam itu tak bertahan lama. Ketika harga barang-barang terus menanjak dan televisi serta surat kabar terus-terusan mengabarkan bank yang dilikuidasi, demonstrasi dan kerusuhan, situasi berubah dengan cepat. Orang tua kawan-kawannya mulai melarang anak-anak mereka bermain bersamanya atau berkunjung ke rumahnya. Demikian pula kawan-kawan kakak laki-laki dan kakak perempuannya. Tak ada lagi yang menginap. Pada waktu itu ia tak mengerti kenapa kawan-kawan dan tetangga-tetangganya bertingkah aneh seperti itu, seperti mengucilkan keluarganya meskipun ia tak yakin keluarganya telah berbuat salah pada orang-orang itu.

Ia hanya ingat meskipun waktu itu tak paham maksudnya, ayahnya berkata, “satu-satunya alasan kenapa orang-orang memperlakukan kita seperti ini adalah karena kita putih dan sipit. Ayah sendiri juga tak mengerti, sejak kapan kiranya sipit dan putih itu menjadi dosa. Barangkali semenjak beberapa orang menyebarkan isu bahwa kenaikan harga barang-barang itu disebabkan oleh orang-orang semacam kita. Orang-orang yang putih dan sipit. Ayah sama sekali tak percaya dengan isu itu. Orang-orang semacam kita , orang-orang sipit dan putih itu kebanyakan memang berprofesi sebagai pedagang, mulai dagang kelontongan hingga pusat-pusat perbelanjaan raksasa. Tapi,sungguh, bukan mereka yang menaikkan harga-harga sesuka hati. Mereka juga merasa susah dengan kenaikan harga-harga itu. Dengan kondisi seperti ini. Penjualan menurun karena daya beli masyarakat juga turun. Itu berarti keuntungan juga menurun. Persis seperti toko kita itu. Ada banyak hal lain yang menyebabkan harga-harga naik dan krisis parah seperti sekarang ini. Teramat rumit. Dan sungguh itu bukan semata salah orang-orang seperti kita. Namun orang-orang terlanjur mencap kita seperti itu. Itu bukan hal yang baik. Maka tak kita mesti segera bersiap. Bersiap untuk hal paling buruk yang mungkin saja terjadi. Hal-hal yang barangkali tak pernah sanggup kita bayangkan.”

Namun semua berlangsung teramat cepat. Sebegitu cepat hingga mereka tak sempat bersiap. Televisi, radio, dan surat kabar telah tiba-tiba memberitakan hal-hal yang buruk itu. Hal-hal yang ditakutkan ayahnya itu. Perampokan, penjarahan dan pembakaran toko-toko yang dimiliki mereka yang berkulit putih dan bermata sipit seperti keluarganya. Pemerkosaan dan penyiksaan perempuan-perempuan bermata sipit dan berkulit putih seperti keluarganya. Orang-orang yang tiba-tiba dituduh pengrusak perekonomian, orang-orang yang tiba-tiba dijuluki pendatang yang tak tahu diri. Orang-orang yang diharuskan bertanggungjawab terhadap krisis yang tak jelas ini. Orang-orang yang mesti segera dihabisi, dibersihkan dari permukaan tanah negeri ini. Negeri yang sebenarnya juga tanah air, tempat lahir mereka, orang-orang bermata sipit dan berkulit putih, orang-orang seperti keluarganya itu.

Tak butuh waktu lama agar pembersihan itu merambat ke mana-mana. Menjalar ke seluruh negeri dan hinggap pula di kampung mereka. Maka begitulah, orang-orang berbondong-bondong datang ke toko ayahnya. Bukan untuk membeli atau berhutang seperti dulu, melainkan merampok dan menjarah, memperkosa dan menyiksa, membunuh dan membakar. Dan tinggallah ia sendiri yang luput.

Baginya, butuh bertahun-tahun untuk mengerti itu semua. Untuk mengerti bahwa ia kini sebatang kara. Dan selama itu pula ia tidak berani keluar dari reruntuhan sisa bakaran rumah dan toko ayahnya. Ia ketakutan dan buru-buru sembunyi tiap ada orang yang lewat di depan reruntuhan itu. Meski pun waktu itu ia tak mengerti apa dan kenapa hal buruk seperti itu terjadi, namun jauh di bawah alam sadarnya, sesuatu menggerakkan ia untuk sembunyi dan merasa ketakutan. Sesuatu itu barangkali adalah teriakan penuh marah dan umpatan orang-orang yang didengarnya samar-samar dari lemari sembunyinya dulu. Barangkali juga erangan permohonan ampun ayah dan kakak laki-lakinya atau isak kesakitan ibu dan kakak perempuannya.

Seperti biji beringin, sesuatu yang tersemai dengan tidak sengaja di kedalaman alam bawah sadarnya itu terus tumbuh. Terus tumbuh dan tak henti memekarkan tunas daun dan cabangnya. Terus tumbuh menjadi beringin raksasa dengan sulur-sulur akar dahan yang menyeramkan. Terus tumbuh seperti rambutnya yang awut-awutan. Terus tumbuh seperti kuku-kukunya yang kian panjang, tajam dan kotor. Sesuatu itu tumbuh menjadi dendam yang demikian besar seiring dengan pemahamannya tentang apa yang terjadi. Tentang apa-apa yang dalam kenangannya terlihat kian jelas. Kian terang. Kian menyakitkan. Kian membuatnya menangis.

Bertahun-tahun ia bertahan seperti itu. Dendam dan kemarahan sebenarnya yang membuat ia bertahan. Atau kesetiaan pada dendam dan kemarahan itulah. Yang jelas, itu semua pula yang mengajarkan pencernaannya untuk sanggup mencerna jatuhan daun-daun, daging tikus mentah, air selokan, bahkan batu bata dan kereweng untuk menebus lapar dahaganya.

Dan tiap malam ia menangis. Begitu lirih. Dan orang-orang yang lamat mendengar tangisan itu mulai ketakutan. Mereka berpikir tangisan itu adalah ratapan arwah keluarganya yang mereka bantai dulu. Mereka mulai beranggapan rumah itu berhantu. Dan kadang-kadang, ketika anak-anak muda yang dengan sok jagoan ingin menemui hantu itu, mendatangi sumber ratapan itu, ia dengan samar-samar menampakkan diri di kegelapan. Dan anak-anak muda itu akan segera lari terbirit-birit dan menceritakan kepada orang-orang yang lain bahwa hantu itu berambut panjang jelek awut-awutan dan berkuku hampir 30 sentimeter.

Dan orang-orang mulai menjauhi rumah itu. Menjauhi ia yang tetap setia. Bersetia menjaga warisan keluarganya. Bersetia merawat ingatan-ingatan dan kenangan-kenangan tentang keluarganya. Bersetia pada dendam dan amarah sebab diperlakukan teramat tak adil, teramat tak manusiawi.

Kesetiaan itu telah membuatnya menjadi hantu.

Ngidam

Aang Fatihul Islam
http://sastra-indonesia.com/

Ribuan butiran air hujan menetes dari langit, pepohonan mengayun-ayunkan ranting-rantingnya. Dedaunan dan bebatuan menengadah ke atas langit bermunajat pada Sang Pencipta atas apa yang telah terjadi di belahan bumi ini. Lekukan bumi mengendap-endap dalam fatamurgana yang teretas percikan-percikan api neraka yang merayap lewat desiran udara yang begitu menyengat. Burung-burung berkicau riuh dan nampak sumbang tidak seindah dulu lagi seakan ada perubahan atmosfir yang memekikkan kehidupan mereka. Alam seakan muak dengan hiruk pikuk yang melilit bumi dalam keangkuhan dan ketidaksenonohan yang terus terjadi dan terjadi. Desahan alam sudah tidak seindah dulu lagi, kamuflase demi kamuflase telah menutupi keindahan mereka dalam debu-debu kemunafikan dan kecongkakan. Kala itu eksotisme alam seakan hilang dan beruba menjadi nuansa duka.

Aku melihat para dalang memainkan perannya dan banyak wayang yang berparaskan Rahwana mempunyai misi untuk menculik keindahan alam yang kian hari kian redup. Keindahan suatu nilai seakan sudah tergantikan dengan uang. Idealisme kerap menjadi hilang tatkala uang bergelimpangan di mata. Sublimasi kehidupan yang kian pelik terkapar dalam bayang-bayang warna-warni pelangi kehidupan yang warna aslinya sudah pudar. Sang Semar pun tiba-tiba menghilang dan keberadaanya tergantikan oleh para dewa yang suka berperilaku dholim pada para rakyat jelata. Tidak ada lagi dinamisasi di belahan bumi tatkala pemegang pengendali sudah tiada. Nilai-nilai yang diajarkan sang semar mulai redup dan butuh sepercik cahaya yang mampu menuntunnya ke jalan yang indah.

Suara-suara keadilan kerap keluar dari para sosok yang idealis akan tetapi suara-suara itu terdengar hampar dan klise. Tersimpan kebohongan di balik suara-suara itu. Aku berada di tengah-tengah sumber suara-suara itu berasal. Sekonyong-konyong ada suara kecil keluar dari salah satu gerombolan para demonstran itu. “Kalau saja tidak di kasih uang aku tidak mau berteriak-teriak dan berpanas-panasan di nawah terik matahari seperti ini. Biarlah kita terlihat sok idealis yang penting kita dapat uang hahaha, celoteh salah satu dari mereka. Rakyat kecil saja tidak mau mencoblos ketika ada pemilihan wakil rakyat tanpa adanya uang apalagi kita hahaha”.

Siang itu berlalu dan berganti menjadi petang. Kala itu mendung hitam pekat diiringi letupan-letupan cahaya halilintar dan suara ledakan petir yang menyambar bagaikan cemeti raksasa yang disabetkan di atas awang-awang. Seliweran masyarakat Jambangan berlalu lalang mencari kebutuhan mereka sehari-hari. Yanto berjalan menuju pelataran halaman rumah Pak Kasdi dengan menggunakan payung dari kulit pohon pisang.

“Tok…tok….tok…Pak Kasdi….?”
“ya silahkan masuk To (jawab Pak Kasdi)
“ ada yang bisa saya bantu To? (Tanya Pak Kasdi)
“begini Pak istri saya hamil dan ngidam ingin pisang raja apa Bapak ada?” (jawab Yanto). “Oh ya ada To”, “ngomong-ngomong soal ngidam aku juga lagi ngidam To” (kata Pak Kasdi dengan nada agak nyengir)
“Pak Kasdi ngidam apa?” (Tanya Yanto)
“aku ngidam ingin jadi orang kaya apakah kamu bisa bantu?” (sambil berfikir Anto lantas berkata)
“bisa Pak tapi Bapak harus mau korupsi hehe”
“apa itu korupsi To?” (Tanya Pak Kasdi)
“Korupsi itu memakan barang yang bukan haknya”.
“Oh itu ma gampang sudah setiap hari aku memakan barang yang bukan menjadi hakku hahaha” (sambil ketawa cengengesan).

Selang beberapa waktu Yanto minta pamit pada Pak Kasdi dan ingin menindak lanjuti keinginan Pak Kasdi dan juga keinginan Yanto yang sama-sama juga ngidam pingin jadi orang kaya. Hari berikutnya Yanto dan Pak Kasdi bersepakat untuk membikin usaha dan berjualan di “Pasar Korupmaju”. Mereka meminjam modal dari “Bank Sukurjadi”. Mereka meminjam uang sebanyak lima juta untuk modal awal dan supaya usaha mereka cepat berhasil mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya misalnya dengan melakukan ketidak jujuran dan penipuan.

“To beras ini supaya kita dapat keuntungan yang banyak dalam waktu singkat kita apakan ya? (Tanya Pak Kasdi)
“ gampang Pak kita masukin aja batu di dalamnya agar timbangannya bertambah berat, mantap kan ide saya?
“ oh ya pintar juga kamu To, tidak salah aku memilih kamu menjadi partnerku hahaha”.

Tapi lagi-lagi penyakit ngidam turun temurun dari rakyat kecil seperti Anto dan Kasdi yang ngidam ingi jadi orang kaya dengan melakukan ketidak jujuran. Penyakit ngidam pun juga merambah pada Aparat Desa Ngawursari. Ini terlihat ketika Yanto dan Kasdi minta surat keterangan penghasilan dan surat keterangan penduduk Aparat Desa dengan nyantainya ia ngomong pada mereka berdua.

“Kalau kalian ngidam pingin jadi orang kaya aku pun juga sama haha. Maka supaya penyakit ngidam kita berimbang maka kamu harus membayar sejumlah uang buat sumbangan pribadi dompet saya haha.”
“Baiklah Pak kita juga ngerti kok, tali raffia tali sepatu, sesama mafia harus bersatu ha..ha..ha…”.(jawab Yanto dan Kasdi cengengesan)

Keesokan harinya Yanto dan Kasdi berangkat ke pasar dan melanjutkan kemafiaannya dengan korupsi kecil-kecilan bahasa orang kecilnya. Hari demi hari berlalu,Yanto dan Kasdi menjadi saudagar kaya raya dan kebiasaannya makin menjadi-jadi. Setelah mereka kaya mereka pun ngidam lagi pingin menjadi orang atas. Yanto ingin jadi kepala Desa sedangkan kasdi ingin jadi Caleg. Keduanya pun melakukan aksinya lagi dengan memberikan sejumlah uang sogokan pada masyarakat agar mereka dipilih. Ya hari gini masyarakat sudah semakin tidak percaya lagi terhadap wakil rakyat. Yang dipilih ya yang ngasih uang bukan yang Cuma modal kepercayaan, sudah tidak zamannya lagi.

Setelah kurang lebih dua minggu pemilihan pun dilaksanakan baik pemilihan Kades maupun pemilihan Caleg walaupun waktunya tidak sama. Tim sukses pun melancarkan aksinya untuk melakukan advokasi terhadap rakyat kecil yang tidak mengerti apa-apa. Rakyat kecil pun tergiur dengan serbuan uang-uang yang diberikan pada mereka dengan bermodal uang hasil korupsi kecil-kecilan yang waktu demi waktu menjadi modal untuk dapat melakukan korupsi gede-gedehan. Entah ngidam apa lagi yang ada dalam otak mereka berdua? Apakah ngidam yang lebih besar lagi yaitu ingin menjadi orang kaya dengan cara yang lebih professional dengan cara mengeruk uang rakyat setelah mereka jadi wakil rakyat.

“Ya untuk jadi wakil rakyat harus mengeluarkan banyak uang. Jadi wakil rakyat tidak bisa dengan modal dengkul jadi ketika jadi wakil rakyat minimal kembali modal lah, ha…ha…ha…”. (Itulah celoteh mereka ketika berbincang satu sama lain).

Langit senja nampak kebiruan dengan mega mendung mengapung di bawahnya, melayang-layang di angkasa seperti penggambaran kayangan yang ada dalam cerita dewa-dewa. Aku begitu resah dalam suasana yang tidak karuan. Pandanganku terasa begitu gelap dikelilingi hawa panas mengendap-endap dalam atmosfer udara. Aku memberanikan diri secara diam-diam berkelilinhg desa sambil melihat situasi perkembangan politik pemilihan Kades dan juga pemilihan Caleg. Lagi-lagi situasi janggal yang ia temui. Nampak para pengidam jabatan sedang memperjual belikan kekuasaan. Demi kekuasaan dan kedudukan mereka rela mengeluarkan banyak modal untuk mengeruk modal lebih banyak lagi dari rakyat. “Ya itulah penyakit lama para pemimpin kita dari masa ke masa terus di warisi ehm…..” (gerutu hati Slam jengkel).

Setelah pemilihan usai akhirnya Pak Yanto dan Pak Kasdi jadi wakil rakyat juga dan mereka merayakan kekuasaannya dengan mengundang penyanyi dangdut terkenal, pesta pun di gelar di depan rumah sambil mabuk-mabukan. Mereka merasa sukses ngidam menjadi orang kaya yang lebih professional. Bedanya kalau dulu ngidamnya ingin jadi kaya dengan korupsi kecil-kecilan, tapi sekarang bisa korupsi gede-gedehan. Sunnguh pucuk dicita ulam tiba, apa yang mereka inginkan telah terkabul. Mereka merasa puas dengan semua itu. Aku semakin merasa gusar ketika melihat para pemimpin di negeri ini berperilaku seperti para cukong yang mengangkang dan memanfaatkan rakyat kecil yang tidak mengerti realita politik yang begitu kejam dan hitam pekat.

Yang menyedihkan lagi diantara para calon wakil rakyat yang tidak terpilih banyak yang stress, ada yang gila mendadak dengan mencopot pakaian sambil berteriak, ada yang meluapkan kekecewaan mereka pada kenyataan dengan mabuk-mabukan. “Beginikah mentalitas dan moral para pemimpin kita? Sungguh menyebalkan” (gerutuku). Aku pun muak dengan realitas yang begitu buram dan penuh dengan ketidak jelasan. Para penghuni langit lebih suka mencipratkan nanah dan darah ke bumi daripada hujan. Padahal penghuni bumi kekeringan. Yang mereka butuhkan saat ini bukan nanah dan darah tapi siraman air hujan.

Bulan berikutnya Aku berjalan lagi menelusuri kota Subahaya menyaksikan pemilihan Caleg, Wali kota dan juga pemilihan Gubernur setahap demi setahap. Ia perhatikan gerak gerik mereka dari kejauhan tapi nyatanya tidak ada bedanya. Orang-orang yang idealis ketika sudah masuk dalam rantai politik maka idealisme itu akan tergerus arus dan hilang. “Itulah politik kita ketika sudah masuk dalam lingkaran politik maka mau tidak mau harus tunduk pada sistem lama yang sudah mengepidemi kuat atau dibuang dari peredaran. Entah sampai kapan rantai itu dapat di putus untuk mendapatkan rantai baru lewat revolusi” (Hati Slam berbisik tajam).

Keindahan idealisme yang bergema di atas awang-awang tiba-tiba dilululantahkan oleh rantai emas raksasa yang berjalan bersama sistem politik yang begitu kuat. Dinding-dinding pertahanan idealisme runtuh begitu saja tergilas arus. Penyakit ngidam yang mengepidemi kuat secara turun temurun dari dulu sampai sekarang pun menjadi salah satu kekuatan dahsyat yang membantu rantai itu untuk memusnakan keindaan-keindahan itu. Logika pun sudah tergadaikan dengan sistem yang membungkam dalam sangkar emas. Burung-burung sudah enggan keluar dari sangkar emasnya. Karena mereka merasa akan makan apa ketika keluar dari sangkar emas yang di sana mendapatkan fasilitas yang memadai walau pun tidak bebas berfikir.

Sang juragan berkata “wahai burung-burungku keluarlah kalian dari sangkar emas ini, dapatkan kebebasan di alam bebas sana”,
Jawab para burung-burung “jangan tuan kita tidak mau dilepaskan dari sangkar emas ini, lalu kami makan apa di luar sana, banyak binatang buas yang mengincar kami, kami juga takut dengan hembusan badai yang kerap datang dalam kegelapan”.
Tuan itu kembali berkata “di luar sana kamu akan mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya, maka keluarlah kalian mumpung aku belum berubah pikiran”.
Burung-burung itu pun menjawab “Tidak tuan kami lebih suka di dalam sangkar ini, walau pun kami tidak mendapatkan kebebasan yang sesungguhnya, namun fasilitas yng tuan berikan untuk kami.”

Kita lebih senang menjadi burung-burung yang berada di dalam sangkar yang terbuat dari emas. Walau pun terbuat dari emas akan tetapi itu tetap sangkar yang memenjarakan kebebasan kita. Tapi kebanyakan dari kita lebih memilih sangkar emas itu yang penting tetap bisa makan. Yang terpenting bukanlah kebebasan akan tetapi yang bisa menjamin kita untuk makan. Sebuah analogi yang begitu nista tatkala itu bertabrakan dengan alam pikiran kita. Apaka otak yang diberikan Tuhan kepada kita sudah menjadi aksesoris saja ketika realitas bergelimpangan di mana-mana. Ketika realitas tidak sehat ada di sekitar kita. Ketika para penghuni langit berkata “kami punya maksud baik”, maka kita pun harus bertanya “maksud baik tuan untuk siapa?”

Penyakit ngidam sudah mendarah daging mulai dari kelas bawah sampai pada kelas atas. Penyakit ngidam akan terus berjalan dan begitu kuat dikala varian-variannya masih terus lahir dan beranak pinang begitu menjamur. Putaran roda penyakit ngidam yang tidak fair akan terus ada dan sampai kapan itu terjadi semuanya tergantung pada manusia yang menghuni penggalan surga ini. Penggalan surga yang telah tidak kita syukuri keberadaannya sebagai suatu anugerah Tuhan yang sangat bernilai harganya.

Dalam kesendirian tiba-tiba aku mendengar seliweran orang berlalu lalang sambil tertawa berkata “siapa yang ngidam bisa lihat brosur ini. Kita belajar bersama untuk melestarikan ngidam. Kita belajar bersama untuk menjadikan ngidam sebagai kepercayaan kita. Kita jadikan ngidam sebagai sumber pengidupan kita. Ngidam……ngidam…..ngidam….., beli satu dapat seribu manfaat hahaha.” Aku pun lari sekencang-kencangnya menuju tengah hutan untuk menghindari suara yang menyebalkan itu.

Jombang, 04 September 2010
*) dari buku Sehimpun Cerpen Jombang “Hujan Sunyi Banaspati” Dekajo 2010.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae