Jumat, 10 Desember 2010

Radikalisme Günter Grass dan Sastra Kita

Sigit Susanto *

Radikalisme Grass

Menilik karya-karya peraih nobel sastra Jerman tahun 1999, Günter Grass dan sepak terjangnya, hanya terdapat satu kesan kata: radikal. Grass yang hanya sekolah sampai di usia 15 tahun, mengaku menekuni sastra secara otodidak. Usai Perang Dunia II (1948-1952), baru ia melanjutkan sekolah jurusan pahat dan grafis di Akademi Seni Düsseldorf. Sebagai seorang penulis, punya tambahan tiga kegiatan seni lain, yakni pemahat patung, melukis dan grafis. Keempat kegiatan itu dilakukan silih berganti dan saling melengkapi. Ketika ia menggarap novelnya “Genderang Kaleng“ (Die Blechtrommel) yang memakan waktu selama 4 tahun, untuk menambal kebutuhan ekonominya dengan kerja memahat nisan di kuburan.

Günter Grass lahir di Danzig, Polandia pada 16 Oktober 1927. Grass dibesarkan dari keluarga sederhana yang hanya memiliki rumah dengan dua kamar, tanpa kamar mandi pribadi. Grass dan adik perempuannya, Waltraut tidak punya kamar tidur sendiri. Ayahnya seorang pedagang bahan makanan. Ketika partai Nazi (Nationalsozialismus) menang pemilu di Jerman dan Hitler berkuasa, Grass masih berusia 5 tahun. Pada usia 15 tahun, Grass sebagai pembantu pasukan angkatan udara Nazi. Menginjak usia 17 tahun, Grass mendaftar menjadi anggota pelindung pasukan panser. Pada akhirnya Grass ditangkap pasukan Amerika dengan identitas sebagai anggota Waffen-SS.

Karier sebagai penulis mulai moncer setelah ia tinggal di Jerman dan menikahi penari balet asal Swiss, Anna Schwarz pada tahun 1954. Manuskrip “Genderang Kaleng“ ia kerjakan di Paris. Pada usianya yang ke 32, “Genderang Kaleng“ beredar di pasaran. Novel setebal 779 halaman ini menggetarkan sastra Jerman dan mampu melebar ke seluruh dunia. Grass memarodikan kekonyolan perang dengan menghadirkan tokoh manusia cebol Oskar Matzerath. Pengagum Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisyphus) dari Albert Camus ini memasukkan unsur surealis yang langka. Oskar mampu memecahkan kaca atau gelas hanya dengan berteriak keras sambil matanya melotot. Grass menabur humor, di kala pasukan Nazi apel dengan iringan musik drum band, Oskar menyusup di bawah podium, ia menabuh genderang kalengnya dengan irama dansa. Kontan publik di apel militeris itu berubah berdansa. Tak sampai di situ, hobi Oskar ini masuk ke rok perempuan. Termasuk rok calon ibunya sendiri. Grass juga tidak segan-segan menampilkan adegan yang menjijikkan. Si Oskar ini suka kencing di sembarang tempat. Bahkan ia pernah disuruh minum sup dari kencing kawan-kawan sebayanya. Masih yang berbau menjijikkan, ada kepala kuda yang dibuang ke dasar laut dan diambil lagi, di dalamnya kepala kuda yang sudah busuk itu kemasukan banyak belut hidup. Dan muaknya, belut-belut dari kepala kuda busuk itu kelak digoreng untuk sarapan. Bagi penggemar sastra priyayi, harap minggir dengan aroma amis dan menjijikkan ini.

Begitulah Grass. Ia meramu tema-tema perang, paska perang, perpecahan dan penyatuan Jerman, hingga menggerus ke peristiwa politik terkini. Tak hanya tema yang krusial, tapi kekuatan bahasanya sangat puitis. Ia menabrak pertabuan yang berkembang di masyarakat. “Karena saya tidak takut hidup, maka saya masuk SPD“ (Sozialdemokratische Partei Deutschland), ujar Grass mengenai keterlibatannya dalam politik. Ia memosisikan diri sebagai sosok kiri dari partai SPD yang tengah. Tahun 1961, Grass bergabung dengan SPD dan ikut menyemarakkan kampanye SPD untuk memenangkan Willy Brandt pada pemilu di Jerman tahun 1969. Setelah Willy Brandt menjadi kanselir, tak jarang teks pidatonya yang membuatkan Grass. Risikonya, banyak pembacanya tidak senang. Inginnya pembaca, penulis sastra ya hanya berkutat di ranah sastra, tidak ikut terlibat di politik praktis.

Bagi Grass, sastra sebagai instrumen yang lincah untuk menyuarakan politik. “Trilogi Danzig“ yang terdiri atas “Genderang Kaleng“ (Die Blechtrommel), “Kucing dan Tikus“ (Katz und Maus), “Tahun Anjing“ (Hundejahre), selalu mengusung tema politik. Bahkan novelnya yang terbaru tahun 2006 berjudul “Menguliti Bawang“ (Beim Häuten der Zwiebel) juga tetap tema politik tentang pengakuan Grass pernah menjadi anggota pasukan Nazi. Novel ini di Jerman menjadi polemik panjang. Setahun kemudian, 2007 Grass menjawab polemik itu dengan meluncurkan kumpulan puisi berjudul “Agustus yang Tolol“ (Dumme August).

Pada bukunya “Perbincangan dengan Günter Grass“ (Gespräche mit Günter Grass), ia jelaskan, ia menentang dua hal. Pertama, ideologi marxisme dan kedua, agama Kristen. Dikatakan, sudah tahu ajaran marxis tidak bisa mencari solusi kehidupan terkini, juga orang sudah banyak baca kitab Injil, tetap saja tak menjawab kehidupan. Ia pertanyakan, mengapa orang masih saja melakukan? Di sinilah letak radikalisme berpikir Grass. Secara politik, ia ikut garis marxis revisionis, temuan Eduard Bernstein. Memang Bernstein inilah think thank dan orang lama SPD. Antara Sartre dan Camus, Grass lebih condong ke Camus. Ia anggap teori eksistensialisme Camus yang absurd, tetap memberi peluang manusia untuk berusaha, walaupun tanpa harapan. Grass menolak filsafat sejarah dari Hegel. Uniknya menurut Grass, meskipun pengikut Hegel terpecah dua, Hegel sayap kiri dan kanan, tapi mereka tetap mengkaji teori Hegel. Ujung-ujungnya pembentukan negara yang totalitarian.

Sastra Kita

Iwan Simatupang pernah mengajak penulis kita,“Marilah tulis apa yang belum ditulis oleh Heinrich Böll“, pada “Esai-Esai Iwan Simatupang.“ Sudahkah ajakan Iwan dilakukan? Melihat perkembangan sastra kita terkini cukup menyenangkan, namun juga sekaligus mengkhawatirkan. Menyenangkan, karena banyak muncul penulis baru dan muda usia. Di toko buku rak-rak buku sastra bertambah dan tema bervariasi. Selain banyaknya wadah sastra, juga bermunculan taman baca yang dikelola oleh pribadi atau pemerintah untuk umum. Jaringan taman baca ini sampai ke daerah dan desa-desa.

Yang mengkhawatirkan, bagaimana mutu karya sastra kita? Penulis sebesar Iwan Simatupang pun, bahkan yang digelari Bapak Pembaharu Sastra, karyanya tak sampai menembus pasaran Eropa. Dibanding dengan para penulis Amerika Latin, seperti Carlos Fuentes dan Isabel Allende. Karya mereka menyusup dengan deras ke rak-rak toko buku di negara berbahasa Jerman khususnya. Memang standar mutu bukan ditentukan, apakah sebuah karya sudah bisa menyeberang ke benua lain? Tapi jangan lupa, ciri karya klasik modern adalah bahwa karya itu mampu menembus batas wilayah bahasa dan benua, serta baris-baris dalam karya itu sering dikutip orang berulang-ulang bahkan perlahan dijadikan aforisme.

Karya-karya penulis kita yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Jerman antara lain dari Pramoedya, Umar Kayam, Romo Mangun, Mochtar Lubis dan Tohari. Belakangan muncul dua novel, “Tarian Bumi“ karya Oka Rusmini dan “Saman“ karya Ayu Utami. Novel-novel ini karena diterbitkan oleh penerbit kecil, maka tak bisa ditemui di rak-rak toko buku.

Perlu disadari politik di Eropa dikuasai oleh partai-partai sosial demokrat yang sering dijuluki partai sosdem. Ideologi politiknya bukan neoliberal konservatif seperti dipelopori oleh Margaret Thatcher, tapi Jalan Ketiga ala Anthony Giddens, gurunya Tony Blair. Jalan Ketiga dianggap sebagai jembatan atau jalan tengah dari kelompok kiri, marxisme dan kelompok kanan, kapitalisme.

Membandingkan para peraih nobel sejak zaman Heinrich Böll (1972), Günter Grass (1999), Imre Kertez (2002), dan Herta Müller (2009), terdapat kesamaan tema, yakni politik. Akibat fasisme Nazi, para penulis sastra meraub sebagai tema-tema yang tiada henti. Meskipun Adorno pernah melarang, membuat setting cerita korban Yahudi, tetap saja memori perang menarik untuk dicatat kembali. Berangkat dari contoh-contoh peraih nobel di atas, sebetulnya Indonesia punya masa-masa perang di zaman revolusi. Indonesia kaya dengan perbendaharaan fasisme Orde Baru. Dari sana ada pembunuhan massal untuk orang-orang PKI, ada aksi penembak misterius, sampai reformasi dan korupsi yang sampai kini masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Sayangnya para penulis kita jarang yang tergiur dengan tema tersebut. Pramoedya menulis tentang tema kolonial dan Orde Baru, karena ia mengalaminya. Demikian Grass pun menulis tema-tema perang dan fasisme Nazi, karena ia mengalami sendiri. “Saman“ muncul mengusung tema reformasi, “Cantik Itu Luka“ membongkar sindikat prostitusi di zaman Jepang, “Tanah Tabu“ memaparkan kerakusan investor asing dan budaya patriarchat. Sekadar contoh saja, ketiga novel di atas berpotensi mengisi kevakuman novel berlatar politik dan kehidupan terkini.

Selebihnya atmosfer sastra kita ditaburi dengan aroma religius dan ideologi. Apa yang dikatakan Tahar Ben Jelloun, novelis Maroko yang domisili di Paris ada benarnya. Ia sebut, karya-karya sastra di negeri-negeri Arab, sesungguhnya sampul luarnya saja yang sastrawi, dalamnya berdakwah. Bertohld Damhäuser dalam wawancara dengan Tempo (27/3/2009) mempertanyakan, ia dengar kalau “Ayat-Ayat Cinta“ layak dinominasikan dapat nobel, karena mengembangkan sastra Islami.

Jika membandingkan peta politik di Eropa yang berhaluan sosdem di atas, sepertinya sebuah ilusi. Selama ini banyak peraih nobel sudah keluar dari lingkaran primordialisme. Sikap religius mereka banyak yang sekuler. Contoh paling jelas pada Orhan Pamuk dan Grass ini. Jika novel sejenis “Ayat-Ayat Cinta“ diharapkan dapat penghargaan, akan lebih bersahaja, sekiranya para raja negeri Timur Tengah juga mengeluarkan award seperti yang dikeluarkan raja Thailand, juga seperti yang dikeluarkan Stalin dulu untuk Pablo Neruda dan para penulis marxist. Dengan begitu peta award akan terbagi tiga, nobel Swedia untuk penulis sosdem, award Rusia untuk penulis marxist dan award negeri Arab untuk penulis Islami. Bukan tidak mungkin akan terjadi silang pemberian award pada penulis yang tidak sesuai ideologi pemberi award. Sayangnya komunis di Rusia sudah ambruk dan award dari negeri Arab tak pernah terdengar. Lepas dari ada award atau pun tidak, yang jelas radikalisme Grass berpotensi bagi penulis di negeri-negeri paska koloni. Seonggok borok penguasa, bagai bangkai yang harus dikuliti.
***


https://nasional.kompas.com/read/2010/01/09/04143936/Radikalisme.Grass.dan.Sastra.Kita

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae