Sigit Susanto *
Radikalisme Grass
Menilik karya-karya peraih nobel sastra Jerman tahun 1999, Günter Grass dan sepak terjangnya, hanya terdapat satu kesan kata: radikal. Grass yang hanya sekolah sampai di usia 15 tahun, mengaku menekuni sastra secara otodidak. Usai Perang Dunia II (1948-1952), baru ia melanjutkan sekolah jurusan pahat dan grafis di Akademi Seni Düsseldorf. Sebagai seorang penulis, punya tambahan tiga kegiatan seni lain, yakni pemahat patung, melukis dan grafis. Keempat kegiatan itu dilakukan silih berganti dan saling melengkapi. Ketika ia menggarap novelnya “Genderang Kaleng“ (Die Blechtrommel) yang memakan waktu selama 4 tahun, untuk menambal kebutuhan ekonominya dengan kerja memahat nisan di kuburan.
Günter Grass lahir di Danzig, Polandia pada 16 Oktober 1927. Grass dibesarkan dari keluarga sederhana yang hanya memiliki rumah dengan dua kamar, tanpa kamar mandi pribadi. Grass dan adik perempuannya, Waltraut tidak punya kamar tidur sendiri. Ayahnya seorang pedagang bahan makanan. Ketika partai Nazi (Nationalsozialismus) menang pemilu di Jerman dan Hitler berkuasa, Grass masih berusia 5 tahun. Pada usia 15 tahun, Grass sebagai pembantu pasukan angkatan udara Nazi. Menginjak usia 17 tahun, Grass mendaftar menjadi anggota pelindung pasukan panser. Pada akhirnya Grass ditangkap pasukan Amerika dengan identitas sebagai anggota Waffen-SS.
Karier sebagai penulis mulai moncer setelah ia tinggal di Jerman dan menikahi penari balet asal Swiss, Anna Schwarz pada tahun 1954. Manuskrip “Genderang Kaleng“ ia kerjakan di Paris. Pada usianya yang ke 32, “Genderang Kaleng“ beredar di pasaran. Novel setebal 779 halaman ini menggetarkan sastra Jerman dan mampu melebar ke seluruh dunia. Grass memarodikan kekonyolan perang dengan menghadirkan tokoh manusia cebol Oskar Matzerath. Pengagum Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisyphus) dari Albert Camus ini memasukkan unsur surealis yang langka. Oskar mampu memecahkan kaca atau gelas hanya dengan berteriak keras sambil matanya melotot. Grass menabur humor, di kala pasukan Nazi apel dengan iringan musik drum band, Oskar menyusup di bawah podium, ia menabuh genderang kalengnya dengan irama dansa. Kontan publik di apel militeris itu berubah berdansa. Tak sampai di situ, hobi Oskar ini masuk ke rok perempuan. Termasuk rok calon ibunya sendiri. Grass juga tidak segan-segan menampilkan adegan yang menjijikkan. Si Oskar ini suka kencing di sembarang tempat. Bahkan ia pernah disuruh minum sup dari kencing kawan-kawan sebayanya. Masih yang berbau menjijikkan, ada kepala kuda yang dibuang ke dasar laut dan diambil lagi, di dalamnya kepala kuda yang sudah busuk itu kemasukan banyak belut hidup. Dan muaknya, belut-belut dari kepala kuda busuk itu kelak digoreng untuk sarapan. Bagi penggemar sastra priyayi, harap minggir dengan aroma amis dan menjijikkan ini.
Begitulah Grass. Ia meramu tema-tema perang, paska perang, perpecahan dan penyatuan Jerman, hingga menggerus ke peristiwa politik terkini. Tak hanya tema yang krusial, tapi kekuatan bahasanya sangat puitis. Ia menabrak pertabuan yang berkembang di masyarakat. “Karena saya tidak takut hidup, maka saya masuk SPD“ (Sozialdemokratische Partei Deutschland), ujar Grass mengenai keterlibatannya dalam politik. Ia memosisikan diri sebagai sosok kiri dari partai SPD yang tengah. Tahun 1961, Grass bergabung dengan SPD dan ikut menyemarakkan kampanye SPD untuk memenangkan Willy Brandt pada pemilu di Jerman tahun 1969. Setelah Willy Brandt menjadi kanselir, tak jarang teks pidatonya yang membuatkan Grass. Risikonya, banyak pembacanya tidak senang. Inginnya pembaca, penulis sastra ya hanya berkutat di ranah sastra, tidak ikut terlibat di politik praktis.
Bagi Grass, sastra sebagai instrumen yang lincah untuk menyuarakan politik. “Trilogi Danzig“ yang terdiri atas “Genderang Kaleng“ (Die Blechtrommel), “Kucing dan Tikus“ (Katz und Maus), “Tahun Anjing“ (Hundejahre), selalu mengusung tema politik. Bahkan novelnya yang terbaru tahun 2006 berjudul “Menguliti Bawang“ (Beim Häuten der Zwiebel) juga tetap tema politik tentang pengakuan Grass pernah menjadi anggota pasukan Nazi. Novel ini di Jerman menjadi polemik panjang. Setahun kemudian, 2007 Grass menjawab polemik itu dengan meluncurkan kumpulan puisi berjudul “Agustus yang Tolol“ (Dumme August).
Pada bukunya “Perbincangan dengan Günter Grass“ (Gespräche mit Günter Grass), ia jelaskan, ia menentang dua hal. Pertama, ideologi marxisme dan kedua, agama Kristen. Dikatakan, sudah tahu ajaran marxis tidak bisa mencari solusi kehidupan terkini, juga orang sudah banyak baca kitab Injil, tetap saja tak menjawab kehidupan. Ia pertanyakan, mengapa orang masih saja melakukan? Di sinilah letak radikalisme berpikir Grass. Secara politik, ia ikut garis marxis revisionis, temuan Eduard Bernstein. Memang Bernstein inilah think thank dan orang lama SPD. Antara Sartre dan Camus, Grass lebih condong ke Camus. Ia anggap teori eksistensialisme Camus yang absurd, tetap memberi peluang manusia untuk berusaha, walaupun tanpa harapan. Grass menolak filsafat sejarah dari Hegel. Uniknya menurut Grass, meskipun pengikut Hegel terpecah dua, Hegel sayap kiri dan kanan, tapi mereka tetap mengkaji teori Hegel. Ujung-ujungnya pembentukan negara yang totalitarian.
Sastra Kita
Iwan Simatupang pernah mengajak penulis kita,“Marilah tulis apa yang belum ditulis oleh Heinrich Böll“, pada “Esai-Esai Iwan Simatupang.“ Sudahkah ajakan Iwan dilakukan? Melihat perkembangan sastra kita terkini cukup menyenangkan, namun juga sekaligus mengkhawatirkan. Menyenangkan, karena banyak muncul penulis baru dan muda usia. Di toko buku rak-rak buku sastra bertambah dan tema bervariasi. Selain banyaknya wadah sastra, juga bermunculan taman baca yang dikelola oleh pribadi atau pemerintah untuk umum. Jaringan taman baca ini sampai ke daerah dan desa-desa.
Yang mengkhawatirkan, bagaimana mutu karya sastra kita? Penulis sebesar Iwan Simatupang pun, bahkan yang digelari Bapak Pembaharu Sastra, karyanya tak sampai menembus pasaran Eropa. Dibanding dengan para penulis Amerika Latin, seperti Carlos Fuentes dan Isabel Allende. Karya mereka menyusup dengan deras ke rak-rak toko buku di negara berbahasa Jerman khususnya. Memang standar mutu bukan ditentukan, apakah sebuah karya sudah bisa menyeberang ke benua lain? Tapi jangan lupa, ciri karya klasik modern adalah bahwa karya itu mampu menembus batas wilayah bahasa dan benua, serta baris-baris dalam karya itu sering dikutip orang berulang-ulang bahkan perlahan dijadikan aforisme.
Karya-karya penulis kita yang sudah dialihbahasakan ke bahasa Jerman antara lain dari Pramoedya, Umar Kayam, Romo Mangun, Mochtar Lubis dan Tohari. Belakangan muncul dua novel, “Tarian Bumi“ karya Oka Rusmini dan “Saman“ karya Ayu Utami. Novel-novel ini karena diterbitkan oleh penerbit kecil, maka tak bisa ditemui di rak-rak toko buku.
Perlu disadari politik di Eropa dikuasai oleh partai-partai sosial demokrat yang sering dijuluki partai sosdem. Ideologi politiknya bukan neoliberal konservatif seperti dipelopori oleh Margaret Thatcher, tapi Jalan Ketiga ala Anthony Giddens, gurunya Tony Blair. Jalan Ketiga dianggap sebagai jembatan atau jalan tengah dari kelompok kiri, marxisme dan kelompok kanan, kapitalisme.
Membandingkan para peraih nobel sejak zaman Heinrich Böll (1972), Günter Grass (1999), Imre Kertez (2002), dan Herta Müller (2009), terdapat kesamaan tema, yakni politik. Akibat fasisme Nazi, para penulis sastra meraub sebagai tema-tema yang tiada henti. Meskipun Adorno pernah melarang, membuat setting cerita korban Yahudi, tetap saja memori perang menarik untuk dicatat kembali. Berangkat dari contoh-contoh peraih nobel di atas, sebetulnya Indonesia punya masa-masa perang di zaman revolusi. Indonesia kaya dengan perbendaharaan fasisme Orde Baru. Dari sana ada pembunuhan massal untuk orang-orang PKI, ada aksi penembak misterius, sampai reformasi dan korupsi yang sampai kini masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Sayangnya para penulis kita jarang yang tergiur dengan tema tersebut. Pramoedya menulis tentang tema kolonial dan Orde Baru, karena ia mengalaminya. Demikian Grass pun menulis tema-tema perang dan fasisme Nazi, karena ia mengalami sendiri. “Saman“ muncul mengusung tema reformasi, “Cantik Itu Luka“ membongkar sindikat prostitusi di zaman Jepang, “Tanah Tabu“ memaparkan kerakusan investor asing dan budaya patriarchat. Sekadar contoh saja, ketiga novel di atas berpotensi mengisi kevakuman novel berlatar politik dan kehidupan terkini.
Selebihnya atmosfer sastra kita ditaburi dengan aroma religius dan ideologi. Apa yang dikatakan Tahar Ben Jelloun, novelis Maroko yang domisili di Paris ada benarnya. Ia sebut, karya-karya sastra di negeri-negeri Arab, sesungguhnya sampul luarnya saja yang sastrawi, dalamnya berdakwah. Bertohld Damhäuser dalam wawancara dengan Tempo (27/3/2009) mempertanyakan, ia dengar kalau “Ayat-Ayat Cinta“ layak dinominasikan dapat nobel, karena mengembangkan sastra Islami.
Jika membandingkan peta politik di Eropa yang berhaluan sosdem di atas, sepertinya sebuah ilusi. Selama ini banyak peraih nobel sudah keluar dari lingkaran primordialisme. Sikap religius mereka banyak yang sekuler. Contoh paling jelas pada Orhan Pamuk dan Grass ini. Jika novel sejenis “Ayat-Ayat Cinta“ diharapkan dapat penghargaan, akan lebih bersahaja, sekiranya para raja negeri Timur Tengah juga mengeluarkan award seperti yang dikeluarkan raja Thailand, juga seperti yang dikeluarkan Stalin dulu untuk Pablo Neruda dan para penulis marxist. Dengan begitu peta award akan terbagi tiga, nobel Swedia untuk penulis sosdem, award Rusia untuk penulis marxist dan award negeri Arab untuk penulis Islami. Bukan tidak mungkin akan terjadi silang pemberian award pada penulis yang tidak sesuai ideologi pemberi award. Sayangnya komunis di Rusia sudah ambruk dan award dari negeri Arab tak pernah terdengar. Lepas dari ada award atau pun tidak, yang jelas radikalisme Grass berpotensi bagi penulis di negeri-negeri paska koloni. Seonggok borok penguasa, bagai bangkai yang harus dikuliti.
***
https://nasional.kompas.com/read/2010/01/09/04143936/Radikalisme.Grass.dan.Sastra.Kita
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar