[Khususon Jombang, Wabil khusus Fahrudin Nasrulloh]
Nurel Javissyarqi*
http://sastra-indonesia.com/
Sebelum jauh menelusuri judul di atas, diriku teringat awalkali melangkahkan kaki ke tanah Jombang, tahun 1993. Dari rumah di Lamongan, aku persiapkan niat menimba keilmuan mengeruk ketololan demi semakin menginsyafi kebodohan. Terbayang di kepalaku sosok-sosok insan ampuh pada daerah kan kudiami, para pejuang serta penyebar ajaran Islam; KH. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri, dan tokoh-tokoh masih hidup dikala itu; Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, serta tidak terkecuali budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sampai kini menyetiai lelakunya mengayomi rakyat jelata, masyarakat pedalaman.
Setiap langkah kubaca tanda kan terjadi, kusapa dedaunan terlintas di pinggir jalan; jalur ini kelak laluan sering kulewati. Pun menyimak gemawan sambil merasai apakah pribadiku tergolong dirahmati menggapai cita. Demikian memasuki kota lain, diuntit bayang-bayang masa silam; penjajahan di Bumi Pertiwi juga nasib apakah yang bakal menimpa bangsa ini. Aku lebih suka menyuntuki alam raya, ialah lelembaran catatan yang tiada membohongi. Tentu melewati lelatihan, mengidentifikasi kemungkinan atas periodisasi, sedari sanalah perkiraan tepat searah.
Aku terkagum kualitas anak-anak bangsa yang dilahirkan di bencah tandus berpasir, dataran Jombang serupa Ponorogo yang gersang atau Cirebon bagian selatan. Terus kepalaku menggeliat, mengira-ira jikalau di jaman dulu, ada sebuah gunung besar meletus, lantas tinggal sisa-sisa abunya. Pun tak kurang teringat kabar kudengar semasa sekolah dasar, semisal wilayah berbasis agamis, biasanya berdampingan kaum begundal.
Kontradiksi itu menerbitkan pemahaman, kawasan makmur pemikiran, tentu ada tirakat lahir sejenis kemiskinan, yang ditancapkan unen-unen orang utama; ilmu kan mendekati yang berpayah-payah. Juga benturan hawa religiusitas tak berhembus kuat, jikalau tiada tekanan sedari kebalikannya. Lalu terngiang keramaian pasar, tempat segala keteledoran, yang di sebelahnya, syiar Keilahian ramai berkumandang.
Jombang kota santri, begitu orang-orang menyebutnya. Ini tak bisa dipungkiri, ada puluhan, bahkan ratusan pesantren jika ditelisik dari kecil-kecil sampai yang tersohor namanya. Adanya sekte-sekte atau mazhab ajaran Islam tersebar di sana, semua memakmurkan nalar iman, mengembangkan khasanah spiritual, mensejahterahkan umat demi nada-nada kebersatuan. Para penimbanya tak sekadar tetangga kota; Malang, Sidoarjo, Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, bahkan luar jauh; Kebumen, Jogjakarta, Jepara, Cirebon, Jakarta, Banten &ll, disamping tidak sedikit dari luar kepulauan; Aceh, Padang, Samarinda, Makassar, tak terkeculai dari Irian &st.
Fenomena itu menghantuiku yang kuandaikan kota Mesir, akan ruhaniah pengetahuannya, mencurigai kerahasiaan di dalamnya menyembulkan aroma kesturi. Membaca alam sambil memadukan orang-orangnya, menguap embun fikirku memendarkan teka-teki silang-sengkarut mengurai benang kusut. Pelahan-lahan kuamati amis sungainya, bau menyengat pabrik tebu, nuanse kota nanggung, warga etnis Cina dipastikan penggerak perekonomiannya, ini merata pada pulau Jawa, selain di Kota Gede, Jogjakarta.
Selama tiga tahun kupelajari kota tersebut demi membaca pantulan wewajah serupa, seperti daerah-daerah di pelosok Tanah Air berlabel Kauman, diambil dari kalimah; kumpulan kaum beriman. Di Jombang aku kerap jalan kaki ke dusun-dusun terpencil, memandang perkebunan tembakau, rumput pepadian kurang subur, kuburan Cina yang mewah, suara klenteng bergaung, bioskop, kadang lelah naik becak jika di kota. Orang tuaku sempat membelikanku sepeda, sehingga leluasa menyinahui pernik mistisnya. Keluar-masuk santren, salam sungkem ke setiap kuanggap ampuh, sampai kuyakini tak keliru pilihanku ke Jombang, sebelum ke Jogja menjejaki pengalaman.
Entah terpaksa atau kebetulan, di pesantren aku tak dapati ruang ekspresikan jiwa di bingkai lukisan, yang sebelumnya terbiasa kalau ada perasaan menggejalai badan, langsung mengguratkan cat minyak di kanvas. Maka bersusah payah, kupindahkan gejolak diri dalam tulisan di lelembaran kertas dengan pena. Bacaanku minim karena sering keluyuran, jelas tidak mendukung polaku menggumuli kata, olehnya tulisan awalku potretan semata, belum menghisap perihal membetot jiwa.
Jalan ini dimungkinkan sebab pangasuh pesantren yang aku diami seorang penulis, penyusun kitab, penerjemah bahasa arab, dimana sehari-harinya tiada waktu istirah; membaca, menulis. Selama tiga tahun aku amati, seakan satu jam paling banter dua jam istirah dalam sehari. Hal tersebut membuatku cemburu, sebagai anak muda tentu tertantang melampaui. Dan kucoba membaca tak henti-henti berhari-hari sampai merasakan keadaan mabuk, hingga sang kiai menyindirku; belajar ya belajar, tapi jangan sampai mabuk.
Kesastrawanan Emha Ainun Najib kian santer bergema, kabar penyair sedari Menturo, Jombang, yang tinggal di Jogjakarta itu menghisap seluruh perhatian, apalagi bagi yang tinggal di kota kelahirannya. Yang mana diriku awal menancapkan niat menggeluti sastra. Buku Emha kubaca, nadhoman pelajaran bersyair mulai menghantui, demi aku loloskan dalam khasana Indonesia, serta semua pendukung kemauanku berbelok, tepatnya menyembuhkan sedari minat lukis yang tidak tersalurkan.
Alam pesantren meraup keilmuan Islami berbalutan lokalitas menjelmakan diri se-istilah Islam Jawa. Apakah sejarah, filsafat, ilmu hitung, perbintangan, mantek &ll, sangatlah mewarnai denyutan Jombang. Tidak ketinggalan susastra sebagai sarana berbahasa dalam penyebaran ajarannya pada kitab-kitab kuning atau klasik, menjadi lagu merdu menyusupnya faham-faham diingini sang pengarangnya.
Olehnya tak dapat disangkal, pesantren salah satu gudang susatra tersembunyi, hanya yang ingin mengangkat ke alam lebih umum, khususnya dalam bahasa Indonesia, tentu tidak terbantahkan. Tak diragukan, karya sastra bercorak Islam di bumi Nusantara, tegak bergoyang rindang sepohonan tinggi tegap melambaikan dedaun hijaunya, sebagai perlambang kemakmuran atas pupuk memberkah para pendahulunya.
Di asrama Al-Aziziyah, diriku adik kelas Moammar Emka, penulis buku “Jakarta Undercover” yang tulisannya kukira kurang berfaedah, jika ditengok sisi keberangkatan dirinya meski sempat meledak, kecuali sekadar informasi bagi insan metropolis yang haus hiburan malam. Padahal dikala itu, Emka sangat tekun belajar berpidato kayak Soekarno di depan cermin, ah menjijikkan sampai terjadi baku-hantam karenanya. Sebelah kamar kami, tepatnya dihuni siswa MAN PK, ada murid bernama Fahrudin Nasrulloh yang sama-sama nantinya melanjutkan sekolah di Jogjakarta seangkatan-ku, tapi aku tak mengenalnya. Hanya selepas kuliah, namanya baru berkibar. Demikian benturan watak bersegenap intrik dalam keseharian, membetulkan nasib masing-masing atas alasan sendiri-sendiri.
Asrama itu diasuh KH. A. Aziz Masyhuri, salah satu karyanya “99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara: Riwayat, Perjuangan dan Doa,” Penerbit Kutub, Yogyakarta, 2006. Mungkin atas pantulan keseharian beliau yang kuceritakan di atas, kami bersaing dengan keyakinan serta resiko berlainan. Entah keakrabanku dengan Fahrudin saat kapan, yang teringat sewaktu di Jogja, aku membaca puisi di sanggar Eska, dan kulihat sekelebat bayangnya. Penulis Haris del Hakim asal Lamongan di sana pula, diriku tak mengetahui, ia berkisah di kala keakraban kami berlangsung di kampung halaman, yang bercerita kegembelanku masa itu; lontang-lantung di setiap kampus, tidur di plafon sanggar, mandi di sembarang perguruan tinggi, yang jelas aku menikmatinya.
Agar tak mbelakrak, kembali ke judul semula, tepatnya Fahrudin pulang kampung, pun diriku, dan kami kerap bertemu di Mojokerto. Kegelisahan FN sampai menganggap kota Jombang seperti kuburan, karena dengungan sastrawi berbahasa Indonesia, bukan nadhoman pesantren, sangat minim. Sementara para tokoh kelahiran Jombang banyak berada di luar daerah, entah Jogja, Jakarta pun lainnya. Ia mengutuki nasib tersebut hingga mendekati titik putus-asa, untung teman-temannya masih ada di Jogja, FN bolak-balik menimba kegairahan bersastra demi bumi kelahirannya dan ditanggapi baik Jabbar Abdullah, lantas terbentuk Komunitas Lembah Pring; salah satu wadah yang kini tampak istikomah menampung, menaburkan harum sastrawi Indonesia, sedari tlatah Jombang, banyu santren dinaungi angin bertuah.
Sebenarnya aku kurang nyaman menulis ini, tiada tantangan sekadar mengenang ulang kejadian, namun siapa tahu ada guna di hari kemudian. Selama di Jogja, aku tak menemukan jejak FN, ya dapat dibilang masih untung diriku, pernah direkam surat kabar setempat atas ulasan penulis KRT. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum), penyair Hamdy Salad membahas berdirinya KSTI (Komunitas Sastrawan Tugu Indonesia) yang kugerakkan bersama Y. Wibowo, Akhmad Muhaimin Azzet &ll, sedang penyair Edeng Samsul Maarif asal Cirebon, mengudar terbitnya buku keduaku (yang pertama stensilan bertitel “Sarang Ruh”) kedua berlabel “Balada-balada Takdir Terlalu Dini.”
Pun aku tak mengetahui persis proses kreatif novelis A. Syauqi Sumbawi di kota pelajar itu, baru aku mengenalnya disaat pertemuan sastra di tanah kelahiran kami, Lamongan. Dari jejak kuketahui, FN bukan yang pertama mengobarkan susastra di Jombang, setidaknya alumnus Pesantren Tebuireng, sastrawan Zainal Arifin Thoha (almarhum) sempat mengajakku mengisi acara di Pesantren Tambak Beras, juga kampus Unipdu, lingkungan santren Darul Ulum, Rejoso, Jombang 2004-an. Dan Gus Zainal menemukan bibit unggul sedari santren Tambak Beras, cerpenis Azizah Hefni, yang kini bersuamikan penyair Ahmad Muchlish Amrin.
Sedangkan pecahnya kegelisahan FN dengan terbentuknya Komunitas Lembah Pring baru kemarin tahun 2007-an, ada semacam sistem waktu datangnya betapa lamban, tetapi sangat kuat aromanya di setiap tikungan tajam. Ah, jadi teringat diriku bersama FN mengisi acara di UIN Malang; menyusuri jalan-jalan tanjakan penuh guncangan mawas disaat-saat embrio komunitasnya mematangkan tekad, aku hanya mengamatinya sejarak penciuman.
Kalau membahas sastra lokal sangatlah semarak, gayeng istilah Jogjanya, namun ada hal kurang kusukai, tatkala muncul bayang-bayang senioritas, pengaku-akuan yang kurang penting, terpenting wujud capaiannya; gugusan karya. Di Lamongan sendiri dapat dicatat yang berkarya kian menggeliat, novelis A. Syauqi Sumbawi, Rodli TL, A. Rodli Murtadho, penyair Imamuddin SA &ll. Mereka tergabung dalam Forum Sastra Lamongan, yang kini tak jelas nasibnya, sebagian ke luar kota meneruskan sekolah, ada yang menikah dapat luar daerah, hanya beberapa kali bertemu sapa di dunia maya.
Khususon Jombang, setelah bergulirnya agenda Geladak Sastra pada Komunitas Lembah Pring, dapat dicatat nama-nama selain Fahrudin Nasrulloh, adanya Jabbar Abdullah, Dian Sukarno, Sabrank Suparno, Agus Sulton, Siti Sa’adah, &ll. Kini izinkan diriku membatek ruhaniah geliatnya sebagai penutupnya;
Tak sia-sia bolak-baliknya Networker Kebudayaan Halim HD, sastrawan Fahmi Faqih ke Jombang sekitarnya, mengompori cerpenis Fahrudin Nasrulloh, demi membakar diri dalam api tungku pekuburannya. Kebertemuan tidak rutin tapi dijubeli debat sengit, mematangkan denyut kesusastraan di daerah, menjelma tonggak-tonggak, semoga mampu membentengi pusaran memusat menjadi lebur, tertinggal mensaktikan karya masing-masing. Sebab tiada guna meniupi nama-nama melambung, tapi nyata karyanya kacangan, tak berani dipertanggungjawabkan depan umum, mimbar pengadilan, tidak sekadar tepuk tangan panjang, yang mencipta ketawa terpingkal-pingkal di kesunyian kamar.
FN disokong bacaannya sejak di Denanyar, didukung perpustakaan pribadinya, kukira cukup untuk sementara waktu, sebab rasa haus berbaca tak kan tuntas sebelum memasuki liang lahat. Gejolak pencarian keilmuannya menghipnotis, menularkan minat baca tulis, bagi yang sudah, kian meningkatkan obor kreativitas di tiap ubun-ubun kawan-kawannya menyaksikan tingkah pakolahnya urakan, namun juntrung dalam penulisan. Aku tersenyum saja, kala ia sms padaku mengenai menumbuhkan gairah menerus, saat itu aku curiga semangatnya melemah atau diriku sangking percaya perhatian padanya.
FN yang kini dipandang, kerap diundang acara pertemuan-pertemuan sastra di JaTim, maupun luar daerah, aku kira tak perlu lagi bakar-bakaran semangat, jika masih namanya kebacut. Darinyalah, belantikan sastra Jombang untuk bumi Nusantara mendapati tempat, mulai kerap diperbincangkan, ia telah kubur mitosnya sendiri, yakni Jombang pekuburan.
Sebagai esais tak diragukan lagi, dan sosok peneliti cukup handal mengangkat pernik-pertikaian tradisi, sedari dunia pesantren hingga kesenian ludruk. Beberapa bukunya telah terbit, “Syekh Branjang Abang” Pustaka Pesantren, 2007, “Geger Kiai” Pustaka Pesantren, 2009 &ll. Hampir semuanya berdaya kontemplatif luar biasa, perasan ruang-waktu, jejalan peristiwa diselusupkan tak sekadar dalam, tapi menyusup seakaran pepohon menghisap sumber mata air kedalaman hikmah. Dapat dipastikan hasil-hasil kerjanya memberi sumbangsih penelitian kebudayaan, para penulis mendatang untuk mentafakkuri, jika Bumi Pertiwi masih mendambai nilai-nilai adi luhung.
Penulis muda yang menempa hari-harinya berbaca, senantiasa menggenggam sikap kukuh. Jika sifat ini dipelihara, Tuhan Maha Kuasa pasti mendukung langkahnya. Tidakkah bentuk-bentuk istikomah melebihi seribu karomah, para malaikat tertunduk malu kepadanya, pula orang-orang edan memiliki gelombang netral, dapat dipastikan tersetut dinayanya. Manusia-manusia unggul mampu berbicara yang mengisari sekeliling dirinya, berkah ilmu menancapkan tiang pancang, suatu hari nanti turunannya peroleh limpahannya, sedang keikhlasan menggetarkan tiap-tiap persendian jiwa.
Ia kerap berucap kata; “jangan banyak bacot” &ls, sebagai cermin betapa hari-harinya kenyang dijejali gelisah, demi terus menulis, menuntaskan tekad memakmurkan daerah. Mengenai komunitasnya aku masih melihat, sebab banyak sekali nggelimpang atas hal-hal sepele, tetapi jiwa matang tempaan hidup, realitas nalar dipukuli kepahitan, kan selalu mengobarkan juang, apalagi bangsa Indonesia baru “50% Merdeka,” menjumput istilah dari penyair Heri Latief. Dan ruhani kepatriotikan tanah pedalaman Jombang, masih mewangi, ini tak lebih darah para pahlawan tetap segar mendenyuti nadi anak-anaknya, yang taat memegang bara keadilan.
Jombang, 22 November 2010
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 10 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar