Senin, 29 November 2010

Seni, Identitas, dan Wawasan Estetik

Mustafa Ismail
http://www.suarakarya-online.com/

Penyair Sapardi Djoko Damono dalam sebuah sesi kuliah di pascasarjana Intitut Kesenian Jakarta melontarkan sebuah pertanyaan menarik: jika seniman berkarya mengadopsi/ bertolak atau menyerap wawasan estetik dari karya asing apakah bisa disebut karya seni Indonesia? Menurut Sapardi, seniman, secara politik, identik dengan kewarganegaraan tertentu. Seseorang disebut sebagai seniman Indonesia karena ia warga negara Indonesia.

Persoalan identitas memang terus menjadi pembicaraan. Apalagi kini, menjadi tidak jelas lagi mana karya seni Indonesia dan mana yang bukan. Bahkan, menurut Sapardi, sejumlah karya seni yang diakui sebagai karya seni Indonesia pun sebetulnya datang dari luar. Nah, kini, seniman-seniman Indonesia banyak menyerap gagasan dan wawasan seni dari pergaulan dunia, lewat berbagai media. Bahkan, sejumlah seniman Indonesia mendalami seni di luar negeri.

Bertolak dari sana, dalam wilayah seni kontemporer, menjadi tidak ada lagi sekat apakah itu karya seni Indonesia atau bukan. Kita bisa melihat, misalnya, karya tari Eko Supriyanto yang disuguhkan dalam Indonesian Dance Festival di Taman Ismail Marzuki Jakarta pertengahan Juni lalu. Meski ia membawa tradisi Jawa yang kental ke atas pentas, tapi tetap terasa ada suasana “luar” dalam karyanya. Dan seperti kita tahu, Eko memang pernah belajar tari di Amerika Serikat.

Bahkan, karya-karya tradisi pun “diobrak-abrik” untuk kemudian diolah menjadi sesuatu yang disebut kreasi baru. Terkadang, kreasi baru itu hanya penggabungan beberapa tari, bukan memberi unsur-unsur baru pada tari asalnya. Misalnya, tari Saman yang berkembang di Jakarta. Apa yang disebut dan dipahami sebagai tari Saman itu tak lain adalah perpaduan antara tari Saman dan Likok Pulo. Dan kedua tari itu datang dari dua tradisi lokal berbeda. Tari Saman dari Pulo Aceh (Aceh Besar) dan Saman dari Gayo Luwes, Aceh Tenggara.

Kedua tari ini pun rupanya bukan asli karya orang Aceh. Tari Likok Pulo diciptakan oleh seorang ulama yang berasal dari Arab dan tinggal di Pulo Aceh pada 1949.

Tarian ini dimainkan dengan posisi duduk bersimpuh, bahu-membahu. Di tengahnya ada seorang pemain utama yang disebut syeh. Biasanya, mereka diiringi oleh dua orang penabuh rapai yang duduk di belakang atau di sisi kiri/kanan pemain. Para penari hanya menggerakkan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Tari ini mengedepankan keseragaman dan kekompakan gerak.

Sementara tari Saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang ulama yang menyebarkan agama Islam di Aceh, Syeikh Saman. Tak heran jika syair yang digunakan dalam tari ini adalah bahasa Arab dan Aceh. Isi syairnya adalah pesan-pesan dakwah, pantun nasehat, dan percintaan. Jadi melihat persoalan bahasa, yakni bahasa Arab, dan dan sebutan pembawanya adalah Syech serta label sebagai “penyebar Islam”, kuat dugaan bahwa pencipta tari ini adalah ulama asal Arab.

Jadi sangat tepat seperti apa yang dikatakan Sapardi, bahwa lokalitas sendiri sebetulnya tidak murni lokal, tapi terbentuk dari beragam unsur lain, termasuk unsur asing. Nah, rupanya di Jakarta, tari yang disebut sebagai Saman ini berkembang sedemikian rupa dan begitu populer. Tarian ini diajarkan di sekolah-sekolah, bahkan ada festival tari saman tingkat sekolah.

Belum lagi apa yang disebut proses dialektik, yang sangat mungkin Saman ini sendiri “bermigrasi” atau bergeser dari bentuknya yang ada, seberapa pun kecil pergeseran itu. Sebab, seperti kita tahu, proses dialektik selalu terjadi pada produk-produk kesenian dan kebudayaan sebagai sebuah keniscayaan.

Itu dipengaruhi oleh cara pandang, cara ungkap, juga cara memperlakukannya. Tidak hanya terhadap produk “luar” (luar dimaksud bukan asing atau luar negeri, tapi produk budaya di luar lokalitas kreatornya) juga produk lokalnya sendiri. Bahkan, boleh jadi pula anasir-anasir asing ikut memberi nuansa pada tari Saman di Jakarta sebagai pengejawantahan sikap dan persepsi kultural masyarakat urban itu sendiri.

Begitu pula dalam seni rupa. Kita menjadi begitu akrab dengan gaya kubisme, ekspresionisme, realisme, dan sebagainya yang tak lain adalah “produk” luar. Contoh mutakhir adalah ketika pasar seni rupa modern “digempur” oleh gaya-gaya lukisan China dalam beberapa tahun terakhir, sebagian pelukis Indonesia pun dengan serta-merta “tunduk” mengikuti trend itu. Harapannya tentu saja demi merebut kue dari “pasar” seni rupa model China yang lagi boming itu.

Bahkan sejak Raden Saleh pun, tradisi senirupa di Indonesia sudah cukup kuat dipengaruhi oleh tradisi senirupa asing. Raden Saleh sendiri bahkan awalnya dibimbing oleh pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen, yang didatangkan dari Belanda ke Indonesia untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa. Dari situ, ia sudah mulai berbaur dengan wawasan senirupa yang dibawa oleh pelukis itu. Apalagi, kemudian Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis pada 1844 -1851. Tak heran, kalau kemudian karya-karyanya dipengaruhi oleh tokoh romantisme Delacroix.

Ciri romantisme dalam karya-karya Raden Saleh mengungkapan hal yang paradoksal: ia menampilkan keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (relegiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir. Lukisannya menyajikan suasana dramatis yang mencekam, yang direpresentasikan dengan warna kecoklatan dan tanpa warna abu-abu.

Ekspresi semacam ini awalnya dirintis oleh Pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix.Namun rupanya, belakangan, trend perkembangan kesenirupaan kita, terutama dari segi tematik dan model, tidak melulu dipengaruhi oleh “pertukaran” wawasan antara perupa kita dengan perupa luar, tapi lebih dipengaruhi oleh pasar. Mereka mengadopsi tradisi senirupa luar bukan untuk memperkaya pengalaman estetik, tapi lebih pada iming-iming ekonomi. Jadi, bisa dikatakan, trend seni rupa kita adalah mengacu pada pasar, bukan pada pengalaman dan olahan estetik.

Hal serupa terjadi pada budaya pop. Lagu-lagu pop kita adalah produk dari Barat, atau dalam istilah Nyak Ina Raseuki adalah produk mainstream. Kita nyaris tidak menggali karya-karya tradisi kita untuk dijual secara luas. Local culture hampir tidak mendapat tempat dalam arus budaya pop. Sebab memang orientasi budaya pop adalah duit, gaya, dan pemenuhan hasrat snobisme.

Dunia teater juga demikian. Sebagian kelompok teater di Indonesia lebih sibuk mementaskan karya-karya asing ketimbang menggali dari tradisi Indonesia sendiri. Tidak hanya itu, dramaturgi teater kita lebih banyak mengadopsi teater luar. Para pekerja teater kita pun memperluas wawasannya dengan referensi-referensi dan pengetahuan dari luar.

Padahal, kita punya tradisi teater yang cukup kuat. Misalnya, kita punya lenong, teater sampakan, geulanggang labu dari Aceh, dan sebagainya. Ini untuk menyebut beberapa saja model teater lokal. Dari sudut cerita, harusnya kita juga bisa membuat naskah lebih dahsyat dari pada naskah karya Nicolay Gogol, Bertold Brech, Anton P. Chekov, dan sebagainya itu. Sehingga kita tidak “tergantung” pada naskah-naskah mereka, meskipun memang sah-sah saja kita mementaskannya sebagai bagian dari pertukaran wawasan berkesenian.

Tapi kita seperti kehilangan gagasan untuk menjadi diri sendiri, menggali kekayaan budaya kita. Tapi, bisakah karya-karya semacam itu disebut sebagai karya seni Indonesia? Memang serba salah untuk menjawab itu. Dari satu sisi, itu diciptakan oleh seniman Indonesia. Tapi pada sisi lain, unsur-unsur Indonesia tidak cukup kuat di sana. Untuk mudahnya, memang itu bisa sebut sebagai karya seniman Indonesia. Jadi menjadi tidak penting lagi sudut atau wawasan estetik mana yang mempengaruhi sang seniman itu dalam berkarya. Identitas sudah lebur dalam karya itu. ***

* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae