Selasa, 30 November 2010

SEKITAR KEPENGARANGAN NOVELIS M.D. ATMAJA

Antara Dukun, Sabung Ayam dan Pembunuh Di Istana Negara
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Prolog

Sewaktu koleksi bukuku hanya beberapa, kebanyakan fotokopian, aku membacanya setiap kata seperti bebijian emas berharga. Dengan suntuk serasa menggali sumber mata air dari tanah-tanah gersang. Berulang demi temukan ketepatan makna, lantas kugoyang nilai-nilai terkandung hingga pengertiannya berubah setiap harinya. Dan kudapati jiwa pengarangnya, meski guratan tersebut hasil terjemahan.

Perkiraanku melayang menyentuh uap kemungkinan terdekat menjauhi taksiran sebelumnya. Tapi biasanya, berpulang menyetiai pandangan semula, awal betapa diriku digedor kesaksian penulisnya. Aku baca kata-kata bebutiran pasir terhampar di bencah pesisir emas. Harapanku mereguk nikmat tandas, timbul haus mencekik tenggorokan bathin belia, manakala menapaki pengetahuan yang selalu baru sedenyut perasaanku kini.

Lambat-laun bacaanku bertambah, membeli buku-buku terbitan baru. Suatu hari, aku borong yang seolah tak mungkin terbaca seluruh dalam kepenuhan hidupku, itu membuat ketagihan. Selanjutnya aku selektif mengisi waktu dalam membaca, hanya tertentu sampai tuntas. Ada pula kubaca berulang kali, padahal yang berderet di rak adanya belum aku pelototin. Kadang beli buku, perlunya menyimak beberapa bab darinya.

Di sana jiwaku bertarung, membaca buku menyinauhi peredaran alam perubahan, mengelilingi gerak hidup dalam kehidupan. Menghirup bunga di taman atau mencium keharuman sebuah karangan. Kerap aku sandarkan pelbagai temuan realitas pribadi, berkeseluruhan sadar pula sepunggungnya. Berolah rasa tajamkan arah mencari titik penghampiran, serupa hakim menentukan hukuman, digoda di sisi hasrat ingin peroleh keindahan. Aku seperti mereka hadir di buku-buku memiliki perkiraan sendiri, sudut tekan berlainan. Usaha purnakan pribadi menjelajah, mengeruk berharap kelak dapati sembada.

Sembari menahan kantuk di sembarang siang menyerang. Aku teringat kawan Fahrudin Nasrulloh pernah berkata; “Buku yang terbaca merupakan takdir tersendiri.” Aku kira tidak berlebihan, kita sering dipertemukan ruang-waktu papasan, bertolak sedari tak teringinkan. Ini kentara bagi pemburu buku keluaran lama, pencari dituntun hawa lembut bersesuaian; misal membenci tokoh berinisial A, dapat dimungkinkan susah mencari karangannya. Tapi betapa menggemari sosok B, akan mudah perolah karya-karyanya di toko buku loakan, ini bersanding erat berhincit dekap di balik pahit kesumat.

Tidak keliru ujaran tempo dulu; “tak usah membenci guru, nanti berimbas ketakmanfaatan yang terperoleh darinya.” Cukup tidak sejalan, bukan tersinggung ke hati dalam pelajaran. Sebanding kemisterian kalbu merambahi yang berkisaran di lelingkup hayat dilakoni. Letak nantinya tertancam, atau mengawang selembaran kabut menyepuh kulitan ruh keilmuan di atas gunung bacaan.

Terus terang aku suka dapati undangan pembicara, dua jenis kesukaan aku temukan. Pada belakang namaku tertulis penyair atau sastrawan, padahal jika kutulis sendiri paling banter pengelana, mentok pengelola penerbitan, karena kadang berbagi menerbitkan karya kawan pun hasil cipta sendiri. Kedua, seolah yang kuugemi memberkah, tidak jauh laku sehari-hari dalam kepenulisan, membedah karangan lain.

Antara Dukun

Dalam keadaan tertentu aku kerap sebandingkan sosok penyair dengan dukun kampung. Kehebatan sang dukun tanpa menyebutkan diri, mereka percayai, tanpa lewati iklan juga tiada plakat depan rumahnya tertera paranormal. Dari sana aku tergelitik, alangkah indah tanpa katakan identitas, tetangga kampung sebelah, hingga desa-desa jauh mengetahuinya.

Aku kira jenis kekalahan tersendiri, membuka kursus atau lembaga karate, tetapi masih menancapkan plakat di pekarangannya. Sedangkan sang dukun bersegenap kemampuan berolah kanuragan; bathinnya diasah, raga-jiwanya ditempa menerus ke titik kepekaan tertentu mencapai gelombang informasi, yang tidak terdengar orang-orang awam.

Demikian mengobati, memecah batu-batu permasalahan, sering tak nyambung nalar. Namun khasiatnya melebihi diagnosa, logika ahli bedah, psikolog, pula melampaui sejarawan, jikalau tiada istilah mengacau akan hal-hal belum terketahui. Ia unggul dipelbagai bidang dan masih membawa bentuk pantangan; tidak menyebutkan dirinya dukun, hanya mengaku membantu, menolong semacamnya.

Sabung Ayam

Aku yang dulu sempat menggemari sabung ayam sampai ke luar kota menjajal kesaktiannya, ke Tuban, Pare, Kediri. Di Jogja, tidak luput tanding ke pelosok Kulon Progo daerah Garongan. Penyabung di sisi tertentu serupa dukun, keampuhannya kerap dijegal pendatang baru. Dan, penulis awal menerbitkan buku seperti pemilik ayam jago siap bertanding ke mana pun, demi membuktikan pada gelanggang digeluti, apakah benar jantan atau keok di pertarungan. Para kyai kampung yang pelihara jago, biasanya semasa muda suka mengadu ayam, mungkin ini terdukung hikayat jawara yang gemar beradu ayam. Dan, imajiku tumbuh di sana seharum semerbak sekembang melati di tengah-tengah taman pondokan.

Sastrawan mula keluarkan buku, biasanya muncul kejiwaan cukup menimba keilmuan pada sementara waktu. Mencoba bersegenap kemampuan dipunyai, sedangkan ajang bedah buku sejenis adu ayam di gelanggang. Ini keharusan selepas dilatih tiap hari, diberi makan terbaik tak seperti ayam biasa dikasih dedak, bebijian jagung semata. Namun disaji potongan daging kecil-kecil, tetesan anggur, diurut, disematkan nama, rerupa kemanjaan lain, yang dihajatkan tumbuh beringas. Pagi dimandikan air hangat segar, malam hari ditaruhnya di kandang layak, pertumbuhan jalu-nya dirawat teratur, demi sabetannya kelak mematikan lawan dengan telak.

Ayam bermental unggul, tak kan berteriak keok sampai ajal menjemput di pertandingan. Ini bisa dihitung jari, mungkin dari keturunan ayam jantan jawara atau dilambari asmak ampuh dalam tubuhnya. Setiap pejantan punya kharisma masing-masing, hanya orang tertentu yang mampu mengangkat fitrohnya sebagai aduan tangguh.

Aku perkenalkan M.D. Atmaja

Sebelumnya aku ucapkan terimakasih kepada mbak Jeng Titik Weber yang perkenalkanku padanya. Kami bertemu di angkringan dekat alun-alun utara Jogja, ngobrol kesana kemari seawal jumpa, yang sedurungnya lewat facebook saja. Berbincang soal pergeseran masa percepatan laju pertumbuhan kota gudeg, pun saling berkisah tetapak hayat kami jalani masing-masing, dan mbak Titik menceritakan pertemuannya atas sastrawan Pramoedya Ananta Toer semasa ia kuliah di luar negeri. Lantas membumbung pengetahuan di antara kami meresapi kehangatan akrab.

Dari sana, aku petik sikap teguh kepengarangan M.D. Atmaja. Terlintas seakan diriku sewaktu membukukan Balada, lantas dikenal “Balada-Balada Takdir Terlalu Dini,” yang sempat dibedah di Purna Budaya Yogyakarta 2001, atas sastrawan Iman Budi Santosa, Suryanto Sastroatmodjo (almarhum). Aku kira pengarang Atmaja kini merasai hawa bangga, layak sebangsanya, apalagi penerbitan buku perdananya sejerih ikhtiar murni. Beranjak sedari semangat membara, tak jauh memikirkan untung-rugi, ini sungguh bernilai nantinya, jika dikukuhkan niat sampai tutup usia.

Kenekatan tak lama menimbang, menggerus ragu menumpas was-was ketakutan dianggap sepeleh, kumprung sekelaminnya. Keberanian tersebut sangat berarti dalam negara kurang menghargai pemikiran anak bangsanya, tidak memberi ruang-waktu bagi jemari memegang pena bersuara lantang. Yang malah memakmurkan orang-orang bersenjata, duduk layak di kursi jabatannya di atas jeritan angka kemiskinan.

Di hadapanku, M.D. Atmaja. Getol menggembleng nasibnya berolah kata membawa nikmat bathin sekecup kasih informasi hayat, demi kesaksian hidup dimuka bumi pertiwi. Atas novel bertitel “Pembunuh Di Istana Negara” dan novel-nevelnya lebih lanjut. Aku dengar, ia sudah persiapkan tujuh novel di genggeman tangannya. “Aku kira, ini modal cukup untuk idealis disementara waktu;” kataku saat itu. Yang kini kita bedah, bersama pemerhati seni budaya Robin Al Kautsar beserta networker kebudayaan Halim HD, dalam acara Geladak Sastra #5 Komunitas Lembah Pring Jombang, dalam Padepokan Selo Aji (kediaman Ribut Sumiyono, Pematung batu di Trowulan) Jl. Raya Jati Sumber 11, Jatisumber, Watesumpak, Trowulan, Mojokerto, 23 Juli 2001, ba’dah Sholat Jum’at.

Tatkala mengantari “Kantring Genjer-genjer,” novel karya Teguh Winarsho AS, 2007, aku pernah mengutarakan; “…sebuah novel semacam kamus filsafat hidup, yang di dalamnya terkadung segala muatan keilmuan.” Kini aku tambahkan: Bentuk-bentuk penceritaan pun membutuhkan langgam, demi membantu pembaca menggambarkan suasana kepada kata-kata yang dihadirkan. Ini alam psikologi bekerja kepada perenungan terdalam, kesuntukan mencipta melodi dari setiap barisnya menentukan wewarna ruang dilukiskan. Tekstur jiwa, persetubuhan makna, wewujud pengendapan lain diharapkan ke dasar kefitrohan teks yang dihasrati kesana.

Teknik dapat dipelajari di mana saja, dunia konflik bisa diramu sebanyak pengetahuan terbaca, tapi seringkali luput tatkala tergesa-gesa, hingga bangunan tercanangkan kurang jenak meski duduk di tempat nyaman. Maka kesabaran dituntut, ketekunan hening diajukan, agar tidak sekadar lintasan cerita, rangkaian peristiwa yang kurang membuka kalbu pembaca. Alunan nada-nada tuturan yang diungkapkan, betapa membentuk dunia lain bagi penyimak menjelajahi. Olehnya ketenangan emosi membukakan cakrawala yang tak tersentuh kata, namun mampu diwakili penghampiran puitika di sekitarnya. Di sana terbaca mentah atau matangnya pengarang dalam meleburkan diri ke dunia. Gugusan itu pantulan menyikapi pesona hayati, maka jenjang usia menentukan, mematangkan situasi yang digambarkan karya. Selamat untuk yang terus menggelora.

“Sastra Kelamin” dan Ideologi Kelas

Amien Wangsitalaja
Republika, 18 Nov 2007

Polemik tentang “sastra kelamin” (dalam tanda kutip) sebetulnya sudah mengemuka pada awal era 2000-an. Namun, polemik tersebut sekarang mengemuka lagi. Polemik di media cetak setidaknya tersaji di dua media cetak nasional, Republika dan Jawa Pos. Rerata polemik mengaitkannya dengan persoalan moralitas versus kebebasan kreatif dan kemudian ada yang menggiringnya ke persoalan agama.

Mungkinkah ada sisi lain dari fenomena gelontoran karya-karya sastra yang mengusung wacana kebebasan dengan modus operandi berupa eksplorasi tema seks tersebut? Ataukah jangan-jangan yang terjadi sebetulnya bukanlah pertarungan segi moral (ideologi spiritual), tetapi pertarungan segi lain yang kental berkaitan dengan persoalan suprastruktural (ideologi material)?

Saya tiba-tiba teringat kepada sebuah acara jumpa pengarang dan diskusi buku Fira Basuki di kafe Soda Longue, Yogyakarta, awal 2004 lalu. Yang menarik adalah ungkapan Fira Basuki yang kira-kira bunyinya, “Orang boleh pilih pizza atau gado-gado. Saya menyajikan pizza, jika Anda tetap memilih gado-gado itu terserah….”

Komentar itu mengandaikan adanya sebuah ideologi kelas atau politik identitas yang sedang diusung oleh Fira. Fira mengklaim bahwa ia adalah penyaji pizza sementara yang lain sematalah penyaji gado-gado, bahwa novel-novelnya (juga novel-novel lain sejenis) berkelas pizza sementara karya sastra lain berkelas gado-gado.

Jika diandaikan Fira dapat mewakili kalangan wanita penulis yang suka bereksperimen dengan “kelamin” di dalam karyanya, maka kita tidak bisa menganggap fenomena sastra wanita yang mengekspose imaji seks sebagai sekedar sebuah fenomena di dalam keuniversalan sastra atau kebebasan berkarya. Kita harus mampu membaca fenomena “sastra yang mengutak-atik kelamin” sebagai sebuah gerakan kelas dan politik identitas.

Identitas yang hendak diangkat oleh mereka adalah identitas kelas the have borjuasi kota dengan budaya materialisme seksualnya. Aroganisme kelas tertampakkan dari bahasa Fira yang menamakan sastranya sebagai “pizza”. Politik identitas itu muncul dari implikasi pernyataan bahwa Fira tetap akan menyajikan “pizza” meskipun Anda masih tergolong di dalam kelas penyuka “gado-gado”.

Kehadiran “sastra pizza” (sebutlah demikian untuk menyebut sastra para wanita kelas borjuasi ini) menunjukkan bahwa telah terjadi sebuah kontestasi kuasa di dalam medan komunikasi sastra kita. Di dalam kontestasi ini, oleh dukungan kapitalisme media, kaum “sastra pizza” yang mula-mula merumuskan dirinya sebagai the other, kemudian justru menjadi dominan. Dengan didukung kekuatan kapital yang besar dan simbiose mutualisme dengan industri media massa itu, “sastra pizza” hendak menghegemonikan “ideologi estetika kelas” mereka. Inilah politik identitas.

Karena itulah, saya menganggap wajar jika kemudian muncul beberapa pendapat yang mengusulkan untuk “melawan” materialisme seksual dari “sastra pizza” itu. Sebuah kewajaran bahkan mungkin keharusan jika kesadaran kelas dilawan dengan kesadaran kelas, politik identitas dihadapi dengan politik identitas. Jika kelas “sastra pizza” telah melakukan gerakan missie demi menjadi hegemonik, kelas “sastra gado-gado” terpancing untuk berkhotbah menyelamatkan intelektualitas bangsa dari gerogotan ide-ide materialisme seksual.

Saya termasuk yang tidak mudah percaya bahwa yang hendak diperjuangkan oleh “sastra pizza” itu adalah semangat feminisme dalam arti penyelamatan harkat dan derajat perempuan di depan laki-laki. Saya lebih merasakan bahwa “sastra pizza” sekedar berdagang “feminisme” dan “kebebasan berekspresi”, menggunakan isu-isu feminisme dan kebebasan berekspresi untuk capaian-capaian material.

Jadi, menurut saya politik identitas yang mereka usung bukanlah feminisme melainkan materialisme. Ide-ide yang hendak mereka usung adalah ide-ide kapitalisme-borjuasi dengan filsafat moral yang nihilistik.

Saya seperasaan dengan mereka yang berpendapat bahwa kesemarakan vulgarisme dalam “sastra pizza” itu justru kian memosisikan kaum wanita sebagai komunitas (atau obyek) yang dilecehkan. Dalam “sastra pizza” itu wanita “ditelanjangi” untuk sekedar mendemonstrasikan betapa kaum (penulis) wanita berkuasa atas makna diskursif tubuhnya sendiri. Jangan-jangan nanti kaum laki-laki justru akan menganggap bahwa wanita hanya lihai mengeksplorasi ketubuhan semata. Jangan-jangan pula nanti penulis wanita hanya dianggap mampu mengeksplorasi “tubuh teks” tanpa pernah bisa menggali kedewasaan dan spiritualitas dari “jiwa teks”.

Tentu saja, jika kaum proletar “sastra gado-gado” hendak melawan kaum borjuasi “sastra pizza”, mereka memerlukan kesabaran, ketabahan, dan kekerjakerasan karena “sastra pizza” ini dimotori oleh kaum wanita dari kelas borjuasi dengan dukungan penuh dari kekuatan modal dan industri media. Selain itu, mereka telah menembak langsung ke jantung selera pasar karena ideologi mereka memang kapitalisme.

Sastra serius selalu saja gelagapan ketika harus terlibat di dalam pertarungan pasar. Namun, bukan berarti bahwa sastra serius sama sekali tidak bisa bertahan menghadapi gelontoran sastra pop-snob. Hal inilah yang memunculkan pemikiran bahwa semangat proletar kaum “gado-gado” bisa selalu digelorakan untuk menghadapi penjajahan dan hegemoni wacana yang dilakukan oleh kelas borjuasi kaum “pizza”.

Hanya saja, kritik saya pada mereka yang memerangi sastra snob tersebut adalah mereka terkadang berhenti hanya sebatas menghujat saja. Bagaimana pun, kaum borjuasi pengusung “sastra pizza” tersebut patut diakui memiliki kelebihan dalam hal produktivitas berkarya. Mereka juga memiliki tingkat eksplorasi estetika yang menggemaskan. Dengan demikian, menandingi mereka adalah bukan dengan menghujatnya.

Perang wacana sudah tidak produktif lagi dilakukan. Berhentilah saling menghujat. Biarlah semua pihak bekerja dan bergerak. Lawan kerja dengan kerja, lawan gerakan dengan gerakan. Gelontorkan karya-karya yang sebisa mungkin lebih menggemaskan dan bermutu dibandingkan dengan karya-karya kelas borjuasi tersebut dan luaskan penyampaian karya-karya kaum proletar sampai ke desa-desa. Barangkali karya-karya penulis borjuasi itu sedang berjaya di kota-kota kita, tapi belum tentu ia sudah merambah ke desa-desa, karena itu desa-desa harus disupport dengan karya-karya nonpenulis borjuasi. Insyaallah, “desa akan mengepung kota”.

Model gerakan Forum Lingkar Pena (FLP) cukup pas. FLP bisa memiliki organ-organ yang menjangkau sampai ke desa-desa bahkan pedalaman. Hanya saja, diperlukan gerakan serupa dengan perangkat dan modus operandi yang berbeda, komunitas dengan semangat serupa tapi mengusung karya universal yang tidak hanya membidik segolongan spesifik pembaca dan tidak berparadigma hitam putih dalam mendedah persoalan.

Hayo, siapa berani bekerja siapa berani bergerak? Siapa berani tak hanya saling menghujat sahaja? Berdoalah.***

Amien Wangsitalaja
Penyair.

Percikan Tasawuf dalam Perawan Mencuri Tuhan

Miziansyah J.
Minggu Pagi, Minggu kedua Januari 2006

Dorongan dan minat untuk mengekspos seperangkat puisi sufi ke dalam satu antologi ternyata bukan cuma hura-hura penyair, tapi betul-betul kesucian niat tanpa mengharap pernik-pernik yang bersifat riya.

Begitulah halnya yang terjadi dengan Amien Wangsitalaja, penyair kelahiran Wonogiri, 19 Maret 1972, yang sekarang tinggal di Samarinda, yang telah merampungkan antologi Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2004) yang memuat 73 puisi sufinya. Motivasi Amien memang didasari oleh ketulusan yang ikhlas tanpa pretensi yang profan.

Menulis puisi sufi, bagi setiap yang mampu, adalah suatu keharusan bukan sesuatu yang musykil. Namun, tidak setiap orang mampu melahirkan puisi dengan bobot ilahiyat yang patut. Bila seseorang mengungkap sesuatu tanpa didasari oleh pancaran sikap jujur dan benar, bobot yang dikandung hanya semata hipokrit.

Gambaran kesucian dari sikap penyair dalam Perawan Mencuri Tuhan dapat terlihat, misalnya, pada puisi “Sajak Sufi 1”, “Sajak Sufi 2”, dan “Sajak Sufi 3”. Ketiga puisi tersebut memiliki ending dengan motif yang sama yang menyatakan minat tentang pengeksposan puisi sufi. Ketiga puisi diakhiri oleh kuplet yang sama bunyinya: karena itu / sebab pekerti, bolehkah aku / menulis sajak sufi?

Secara vulgar penyair telah menunjukkan suatu kesimpulan dalam hal motivasi penulisan puisi, yaitu suatu keharusan dan keputusan dari tingkah dan amal penyair yang murni, yang akhirnya melahirkan tanda tanya besar yang bersifat retorik bolehkah menulis sajak sufi. Tanda tanya tidak memerlukan jawaban karena jawabannya tergambar pada premis yang sudah muncul pada kuplet sebelumnya sebagai kausalitas dari kesucian dan kemurnian.

Kuplet pertama dan kedua “Sajak Sufi 1” mengungkapkan betapa ikhlasnya pengejawantahan tingkah dan amal, termasuk ibadah mahdhah. Dikatakan dalam kuplet pertama: tak harus kau tahu / syahadatku qaim / shalatku daim / shiyamku lazim / hajiku naim dan dalam kuplet kedua: tak harus kaupandu / judi aku tak / mabuk aku tak / zina aku tak / korupsi aku tak.

Sikap ikhlas terungkap dalam baris tak harus kau tahu yang menafikan ketakaburan dan keriyaan. Selain itu, pernyataan vulgar menolak segala tingkah kemunkaran diawali dengan tak harus kaupandu menunjukkan suatu jaminan intensitas yang cukup meyakinkan.

Pada puisi yang berjudul “Sajak Sufi 2” penyair mengungkapkan kesederhanaan dalam beramal, seperti dikatakannya: aku pun / beramal secara wajar / tak harus besar-besar. Kemudian, pada “Sajak Sufi 3” dikatakan: kepada perampok dan ahli tenung / aku memang tak berkata langsung / tapi kudidik kawan-kawan / tentang cara-cara membela badan, menampakkan performen subjektif dalam menyikapi kejahatan, yang tidak konfrontatif (berkata langsung) tapi lebih memilih memperkuat diri (membela badan).

Antologi yang memuat 73 judul puisi ini memiliki tipografi yang mirip, yaitu sebentuk puisi alit yang terdiri dari satuan gramatika yang tersusun dari frasa-frasa tanpa banyak “sayap”. Dengan kesederhanaan gramatikalnya (dan susunan sintaksis yang normatif dan wajar), kontekstualisasi puisi tidak memerlukan upaya kontemplasi yang terlalu rumit.

Dalam antologi Perawan Mencuri Tuhan ini tema-tema sosial berjalin berkelindan dengan panduan semangat religius. Artinya, puisi-puisi berdimensi sosial itu diungkapkan dengan perspektif profetik. Kita lihat misal pada puisi berjudul “Intelektual dan Sejarah”: sempatkan dirimu / untuk memikirkan negeri ini / sebagaimana engkau memikirkan budi dan hati // (kulihat / engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati) // dan sebagaimana / engkau meragukan negeri ini / negeri ini pun / meragukan tulisanmu.

Tercabik-cabiknya kemapanan faktual sejarah menyebabkan bablasnya orientasi nilai sehingga orang-orang merasa ragu terhadap suatu kebenaran. Penyair menyeru kepada kaum intelektual dan sejarahwan untuk sedapat mungkin turut memikirkan suasana negeri yang terlanjur morat-marit. Agaknya tidak gampang karena ada semacam keraguan terhadap signifikasi nilai akibat sistem kelola sejak dari peletakan batu atau pemasangan prasasti yang diaduk dalam ranah kekuasaan. Maka, sikap syak wasangka terhadap nilai dan akurasi sejarah terus berkembang menuju suasana ketakpastian dan tidak mustahil menimbulkan kesalingcurigaan di antara elemen masyarakat (engkau mulai menulis / sebuku epos atau sebait puisi / tentang keraguanmu / kepada negeri ini / dan keraguan negeri ini / kepada budi dan hati). Maka, yang sangat diperlukan dalam hal ini adalah penanganan serta adanya sikap kejujuran bagi kaum intelektual dan sejarahwan.

Aspek sosial lain yang sarat dengan penggarapan sudut pandang kenabian (profetik) di antaranya adalah puisi yang berbicara tentang banjir, berjudul “Air”: aku melihat: / sehabis kota tertimpa banjir / beberapa kita sibuk merumuskan bencana / beberapa kita sibuk merias berita // (beberapa meraka yang paling tertimpa / tak sempat menakar duka) // aku tahu: / nuh tidak pernah / merekayasa air bah.

Potret yang klasik jika terjadi banjir adalah orang hanya sibuk “merumuskan” bencana, hanya membuat pengukuran maksimum/minimum untuk dijadikan laporan rutin. Tidak ada usaha ke arah penanggulangan lebih lanjut. Inilah yang disindir oleh penyair.

Penyair kemudian mengajak menoleh kepada potret Nuh a.s. Bagi Nuh, sebuah bencana adalah sebuah misteri. Hikmah dari bencana adalah ujian tentang sempurna atau tidaknya aqidah seseorang atau suatu kaum.

Peristiwa banjir terbesar dalam sejarah peradaban manusia adalah di zaman Nabi Nuh. Sebelum terjadinya peristiwa itu Nuh diperintah melalui wahyu untuk membuat bahtera demi menyelamatkan sebagian makhluq hidup (berjenis-jenis binatang buas, binatang jinak, tetumbuhan, dan manusia yang memiliki aqidah dan beriman kepada Nabi Nuh.

Peristiwa penyelamatan melalui bahtera ini sekaligus penyeleksian umat yang beriman serta terciptanya suatu lingkungan kesejahteraan yang damai di antara sesama makhluq yang terangkut bahtera. Mereka yang ikut bahtera adalah mereka yang tidak memiliki sikap menantang dan sombong. Sementara itu, anak Nuh sendiri, yang selalu menantang dan menolak ajakan penyelamatan karena mengingkari aqidah akhirnya tenggelam.

Puisi yang lain, berjudul “Banjir 1” berbunyi: nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu / nuh / aku bukan anakmu. Barangkali, redundansi seruan ini merupakan ungkapan supernatural yang mungkin menyelamatkan, minimal meringankan cobaan yang menimpa. Kita bukan anak nuh, maka kita memohon untuk bisa selamat.

“Banjir 2” berbunyi: dua syeikh berbincang // “tahukan tuan korelasi / antara bencana banjir dengan politik / dengan ekonomi?” // “hamba tak tahu. yang kutahu korelasi / antara bencana banjir / dengan keakraban sesama / dengan kejahatan sesama”. Puisi ini merefleksikan bahwa secara hukum kausalitas, peristiwa bencana memang memiliki suatu penyebabnya, kadang dari kesengajaan atau kelalaian.

Sementara itu, “Banjir 3” juga memiliki koherensi dengan “Banjir 2”, yaitu masing-masingnya mengungkapkan tentang kausalitas. Banjir lebih bisa dipahami sebagai kesengajaan yang memang dikehendaki seperti halnya kesengajaan aristokrat “menghendaki” suatu negara: kutahu / banjir ada yang membuat / seperti kata aristokrat / negara aku yang membuat.

Masih soal musibah, puisi “Api 1” berkisah tentang kebakaran. Kebakaran juga bisa terjadi karena disengaja atau tanpa disengaja. Namun, setelah terjadi kebakaran, akibat yang ditimbulkannya selalu negatif, yaitu beralihtangannya hak milik. Biasanya, dengan alasan “penertiban”, kepemilikan hak dipaksa untuk diputihkan ke tangan pemerintah (cara mudah merampas tanah / adalah membakar pasar / atau menghanguskan rumah).

“Api 2” juga mengintrodusir tentang pemusnahan. “Api 2” mengungkapkan peristiwa kebakaran di suatu senja di sebuah koloni. Puisi itu menyiratkan bahwa masa ini sering terjadi “penggusuran” terhadap sekelompok orang atau koloni yang muncul dari sikap kemanusiaan yang usang yang menyulutkan rasa dendam. Ini adalah dampak negatif dari kepentingan politik dan ideologi pembangunan: senja / api membakar sirap / atap rumah penduduk koloni // hati orang bising / oleh pembangunan / dan kemanusiaan yang usang / berseloroh dendam.

Puisi “Perawan Mencuri Tuhan” (yang juga dijadikan sebagai judul buku) adalah puisi renungan sufistik. Perawan adalah pengibaratan dari jiwa muda perjaka dengan alam pandangan realitas. Ketika perawan merasakan perangkat iderawi ketuhanan, ia justru bersembunyi dari pengawasan inderawi manusia. Ia memiliki kekhawatiran, seperti orang perahu yang hanya seorang dalam kesendirian daya dan karya tanpa tergantung pada siapa pun, lepas dari segala bentuh ma’unah supernatural apa pun.

Yang tertangkap dari puisi ini adalah jiwa kembara tanpa menggantungkan harap kepada siapa pun, tanpa rasa rindu, cinta, kasih, perlindungan, dan lain-lain karena ia tengah “mencuri tuhan”.

ada perawan bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
takutnya serupa orang perahu
yang sedang berlayar sendiri

ia perawan yang bersembunyi
di balik meja dan almari kayu
agar ibu tidak melihatnya
agar bapak tidak melihatnya
agar kakak tidak melihatnya
agar adik tidak melihatnya
agar semua tidak melihatnya
: ia tengah mencuri tuhan mereka

***
Miziansyah J. (almarhum), Penyair, guru agama di SDN 033 Samarinda, Kaltim
Alamat: d.a. SDN 033 Sungai Kapih, Samarinda Ilir, Samarinda 75011

Kisah Si Dul Anak Lamongan

Ahmad Fatoni
http://bestari.umm.ac.id/

“…….Aku benar-benar tersadar bahwa telah lama sekali meninggalkan kampung halamanku. Aku rindu dusunku…..aku rindu gunung menjulang…..aku rindu desir angin pesisir…..aku harus pulang untuk membayar semua kerinduanku ini. Aku selalu ingat Bapak dan Emak. Aku merindukan mereka. Karena merekalah aku bisa seperti ini. Karena kerja keras mereka aku bisa melihat isi dunia…….” (Sang Penakluk Ombak, halaman 314)

Penggalan cerita di atas seolah mampu mewakili pesan dari novel Sang Penakluk Ombak karya Pradana Boy ZTF yang menyindir orang Indonesia yang hidup berhasil di luar negeri, lalu tidak mau kembali ke negerinya sendiri. Justru si Dul, tokoh utama dalam novel ini, meski menjabat diplomat karir dan kerap melanglang buana, hatinya tetap tinggal di kampung halamannya. Pesona alam pedesaan dan ingatan tentang pengorbanan kedua orangtuanya telah mengurung si Dul dalam tempurung kenangan yang tak terlupakan.

Tapi apakah selamanya hidup si Dul hanya berisi hal-hal indah saja? Coba simak kisah demi kisah dalam novel ini. Dari judulnya saja, pembaca akan segera menebak betapa kehidupan si Dul penuh terjangan ombak. Tak jarang ombak itu menghempaskannya ke alam derita. Ombak di sini bisa bermakna kutukan. Tapi ombak juga bisa berarti perlawanan melawan ketidakberdayaan.

Novel ini diawali dari kisah masa kecil si Dul, seorang anak dusun terpencil di Lamongan Jawa Timur, yang acap mengalami hinaan hanya karena terlahir dari keluarga miskin. Sekian kali ia terpaksa gigit jari sebab tidak mampu memasuki sekolah atau fakultas yang diinginkan. Si Dul bisanya meratap pilu, menatap kawan-kawannya yang menikmati sekolah unggulan atau jurusan favorit. Sementara si Dul kecil harus terdampar di sekolah renta yang akrab dengan cemoohan. Masa kuliah pun ia lalui di jurusan Studi Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang, oleh teman-temannya dari jurusan lain, diejek sebagai “jurusan akhirat” karena SPP-nya yang murah meriah.

Sejak kuliah di “jurusan akhirat” itulah si Dul menemukan bakatnya dalam dunia tulis-menulis. Beberapa kali si Dul menjuarai lomba karya tulis ilmiah, baik di tingkat kampus maupun tingkat nasional. Kebiasaan menulis surat ke orang tua, termasuk surat ekstra mesra ke pacarnya, kelak juga mengantarkan si Dul menjadi penulis andal yang cukup diperhitungkan berbagai media cetak di tanah air.

Novel ini pun mengeksplorasi sisi percintaan. Meski tema cinta sudah umum ditulis dalam karya-karya novel, namun Mas Boy, demikian sapaan akrabnya, mampu mengemas tema tersebut menjadi unik. Mas Boy membebaskan cinta dari perangkap penuturan yang merendahkan dan memuja seksualitas layaknya sebuah spiritualitas yang harus diagung-agungkan. Pembaca juga akan dikejutkan oleh akhir cerita yang mengharu-biru dan menguras airmata.

Pada bab-bab terakhir, misalnya, Mas Boy menyuguhkan romansa percintaan antara si Dul dan seorang gadis, juga asal Lamongan, bernama Lafra Kardia. Lafra dilukiskan sebagai gadis kemayu khas Jawa. Menariknya, Mas Boy mengembangkan imajinasi jalinan asmara dua pasang insan itu dalam balutan mitos. Tuah Tanjung Kodok di pesisir utara Lamongan yang pernah menjadi saksi kebersamaan mereka, dipercaya mengandaskan segalanya. Terbukti Lafra tak berdaya menghadapi paksaan orangtuanya ketika dicalonkan dengan laki-laki lain. Kabar pencalonan itu datang tepat di hari wisuda si Dul. Kontan saja, momen wisuda yang harusnya membuat hati si Dul berbunga-bunga, hancur berkeping-keping.

Namun, ganasnya ombak kehidupan tidak lantas menguras habis energi si Dul dalam kekecewaan. Bak karang di laut, semangat si Dul semakin kokoh di tengah gempuran ombak derita. Akan tetapi, seperti ombak pula, si Dul tidak pernah lelah mengayuh cita dan mengais asa. Walaupun hidup dalam serba keterbatasan si Dul senantiasa mendobrak keterbatasan itu menjadi peluang yang menganga. Baginya, di dunia ini tidak ada yang mustahil untuk diubah kecuali perubahan itu sendiri.

Meski tampak ada modifikasi di sana-sini, kisah dalam novel ini seolah menggambarkan perjalanan hidup penulisnya. Banyak hal yang sulit dipisahkan dari pengalaman Mas Boy sendiri yang memang asli BangLaDes alias Bangsa Lamongan nDeso. Dengan latar budaya pesisir, pantai yang gemulai, dan pernik-pernik cinta berselimut mitos, sajian Mas Boy dalam novel perdananya ini cukup menggugah semangat kita agar tetap tegar menghadapi bengisnya ombak dunia dan sadisnya laut kehidupan.

*) Penggiat Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM

Judul Buku : Sang Penakluk Ombak
Penulis : Pradana Boy ZTF
Penerbit : Resist Literacy, Malang
Cetakan : I, Februari 2010
Tebal : 322 halaman
Peresensi : Ahmad Fatoni

Sajak-Sajak Akhmad Muhaimin Azzet

http://sastra-indonesia.com/
Kembali Merindu

berjalan kembali di kotamu siapa membentak
sepanjang jalan tawaran begitu memabukkan
anak-anak juga menembakkan kegalauan

kembali merindu aku pada kotamu yang dulu
keramahan menyerbak sewangi bunga seroja
di manakah kutemukan telaga untuk berwudlu

Bumidamai, Yogyakarta.



Sepertinya Cinta

sepertinya cinta kini kita alirkan
tidak menuju laut kedalaman atau telaga
:sungai limbah dan bahkan selokan kehitaman

sepertinya cinta hanyalah omong kosong belaka
ketika kedamaian, berubah curiga dan dendam
:saudaraku kapan kita berpelukan sesungguhnya

sepertinya cinta bukanlah sekedar perjanjian
sebagaimana dulu mengalir di setiap dada
:padahal sama tanah dan darah kemanusiaan kita

Bumidamai, Yogyakarta.



Denting Malam

seperti serenada saja padahal doa penuh luka
malamku berdenting mengadukan perih bergetar
kapankah kegelapan terburai sayat pertikaian

bersama angin melolongkan lapar sepanjang kelam
bukan persoalan perut, tapi lagu-lagu kemarahan
kapankah dingin malam kita berselimut-bercinta

Bumidamai, Yogyakarta.



Sebelum Senja

ada angin yang mendongakkan kepala
begitu pongah menepuk-nepuk usia
sebelum senja kenapa lupa kelahiran

ada kelahiran sebagaimana kematian
tapi senja akan datang kapan saja
mestinya persiapan berbekal pulang

Bumidamai, Yogyakarta.

Sajak-Sajak Imron Tohari

http://sastra-indonesia.com/
Tembang Kasmaran

Saat cinta hembuskan wangi
Langkah kaki ringan berseri
Merenda mimpi bersama bidadari
Hasrat asmara laksana api

Jiwa o terbuai jiwa
Terbang melayang melaung kenang
Pada hati tiada bimbang
Selarik nama pun terucap mesra

Dirimu o! dirimu kekasih
Bila tiba masa di! nanti
Kugandeng tanganmu meniti pe!langi
Bersulang o! bersulang, hilang pedih

Kujaga sayang tak! selayang pandang

( 2009 )



Melaung Lesap

berdiri di tepi pantai
menatap ombak bergulung sendiri
membentur karang air tercerai
berdegap-degap* rinai teruntai

di hampar pasir pasir
mematik syahdu di relung hati
rencam* tergurat segala memori

tentang, ku
tentang, mu

di hampar pasir

untuk terkasih
ada menunggu…

( 2009 )

*berdegap-degap : berdebar-debar keras

*rencam , merencam : tidak nyata atau
tidak jelas kelihatan; mengaburkan mata
(krn terlampau banyak atau halus-halus
sekali)



Kidung Kasmaran

Sudah jauh di rantau asa
Jauh pula sanak saudara
Nyinyir kecut rindu segala
Pada kekasih di belah samudra

Tidak guna kupikir murung
Bertambah umur entah berkurang
Biar masam berkerut kening
Kutepis resah gundah kugantung

Selepas hujan kucumbu suria
Ku ajak dara menari bianglala
O cinta,sebentar waktu kupastikan ada
Dua jiwa menyatu raga

Merindu rindu kasih di pulau
Berharap harap pada sang kala
Kalungkan doa sepenuh segala

: Aih dara…
harapku membuncah hingga Nirwana

( 2009 )



Bersamamu

Aku berjalan di taman bidadari
kudengar segala riang bernyanyi
dengan lembut kuhampiri dirimu
sepenuh harap kugandeng tanganmu

Oi,kutatap mesra merona pipimu
berlapis senyum tersipu malu
suka suka berlatar pelangi
indah nian,o,warna warni

Bagai bunga musim semi
merekah harum di taman hati
segala duka pergi menepi
kala sejoli riang menari

Duhai Tuhan pemantik mimpi
betapa hidup kian berarti
kala jiwa menyatu ada,
memindai makna indahnya syurga.

( 2008 rev 2009 )



Kidung pelangi

Di pinggir telaga
lama kita duduk berdua
awan pun cerah berseri
tapi tidak dengan lengkung pelangi

Kamu bilang
warna-warni itu telah menghilang

Ah, kamu salah mengerti, jelita
lihat di atas sana…
seperti semasa kita kecil dulu
biar tanpa lengkung pelangi, langit tetap biru

Duh jelita
tidak semua alam dengan kidung yang sama
namun begitu kemarikan tanganmu

: Untukmu
kan lukis indah pelangi di pucuk-pucuk rindu

( 2009 )



Melarung Resah

Rimbun belukar beronak onak
duri mencuat sisakan guratan
darah menetes di tubuh rentan
ku-pacu jantung, tetap berdetak

Biar setan riuh bersulang
pantang diri berkata serah
semampang nafas belum terbelah
pasti ku-gulat aral melintang

Apatah arti dawai harpa
bila tak denting di bianglala
apatah guna kucumbu duka
bila asa penuh segala

Ini akal, ini pikiran
belukar beronak kubakar abu

( 2009 )



Tadabur Cinta

Banyak sudah pedih kurasa
Terjal berliku ujian Cinta
Dalam kumbangan madu cekat
Gejolak asmara terkungkung sekat

O malam, malam suram bulan bertudung
Kutulis sajak di mural jantung
Kuseduh hikmah segala coba
Menadaburkan cinta berkalam surga

Kini, saat kembali mengingatmu
Dalam kedalaman Istiqomah nurani
Hangat air mata tiada lagi pilu

: Karena jiwaku tlah berkhalwat

( 2010 )

tadabur Ar v, me•na•da•bur•kan v merenungkan: di samping membaca Alquran, Anda juga harus ~ makna-maknanya
berkhalwat v 1 mengasingkan diri di tempat yg sunyi untuk bertafakur, beribadah, dsb

RELASI GAGASAN – RASA – BAHASA DALAM “ TABIR HUJAN”

Tengsoe Tjahjono
http://www.facebook.com/note.php?note_id=498070716264

aku menyelam dalam semesta pikiran

Kukira hanya tumpukan kepala dan jantung
para pencari jalan
(Imam Maarif – Pencarianku)

Tiba-tiba saja aku harus berhadapan dengan sebuah antologi puisi “Tabir Hujan”. Ada 11 penyair hadir dengan karya-karya mereka yaitu: Akhmad Fatoni, Aguk Irawan MN, Denny Mizhar, Imamuddin SA, Isnaini KH, Muhammad Aris, Muhajir Arifin, Saiful Anam Assyaibani (Javed Paul Syatha), Ahmad Syauqi Sumbawi, Umar Fauzi Ballah, dan Imam Maarif. Maka seperti sajak yang ditulis Imam Maarif: aku (pun) menyelam dalam semesta pikiran.

Andai 11 penyair itu benda langit yang bertebaran di luas galaksi, mau tak mau aku harus mampu memahami karakter mereka masing-masing, agar mampu menjelajahi makna yang tersimpan pada rahasia semesta pikiran mereka. Andai puisi-puisi itu adalah tabir hujan, maka aku harus mampu menafsirkan setiap tetes air yang tercurah dari kerumunan awan pikiran mereka. Dan, jujur itu tidaklah mudah.

Mempertanyakan Bahasa

Dalam puisi sebenarnya bahasa bukanlah alat, bukanlah sarana komunikasi; puisi bukan sekadar seni bahasa. Konsekuensinya puisi bukan sekadar permainan bahasa, bukan sekadar wacana indah, bukan sekadar produk dari kelihaian bersilat kata atau kalimat. Dalam puisi, gagasan atau pemikiran amat penting kehadirannya. Gagasan berkolaborasi dengan rasa, melahirkan teks puisi dengan keliatan tertentu. Gagasan, rasa, dan bahasa di tangan seorang penyair bukanlah entitas yang saling berdiri sendiri. Tak mungkin kita bertanya mana yang lebih dahulu: gagasan, rasa, atau bahasa, karena ketiganya hadir dan lahir secara bersama-sama.

Ada beberapa penyair dalam antologi ini yang memandang gagasan, rasa, dan bahasa, sebagai satu kesatuan yang padu, yang masing-masing tak ada yang mendahulu atau mengemudian. Kita ambil contoh karya mereka berikut ini.

Icha menangis, Ma
melihat sajaknya dibawa sirip ikan
di pinggiran pulau tak terbentang
berlompatan di kolam garam
padahal dulunya itu ladang
tembakau, tempat bapaknya menjemur
kata-kata dan kehidupan

(Umar Fauzi Ballah – Dermaga 2)

dua cerca pagi
dua gelas kopi
dua catatan perihal getirnya pencarian

–kau bertanya kabarnya tuhan—

aku pernah melihatnya
rebahan di samping bayi
bertingkah lucu sekali …
si mungil itu,
terpingkal kegirangan

(Muhajir Arifin – Tuhan dan Si Mungil Bayi –)

lewat garis-garis ritmis dari sepotong tangan tua
berdaki dan kisut-mengkerut
tersembul kisah gadis belia

tangga merah dengan undak-undakan sorak
menentang lurus dan tembus ke udara
ke arah ribuan tombak
ke jalan-jalan berliku-onak
gandeng tubuhnya
papah kaki kecilnya

(Muhammad Aris – Kisah Gadis Belia — )

Dari contoh tiga penggalan puisi di atas terbaca jelas kesatuan gagasan—rasa – bahasa. Dalam “Dermaga 2” Umar Fauzi Ballah melihat fakta perubahan ladang tembakau menjadi kolam garam yang berdampak lenyapnya ‘sajak’ Icha, seorang bocah, dibawa sirip ikan. Ada rasa ‘empati’ pada diri penyair mengamati kejadian itu yang diungkapkan dengan amat sederhana: Icha menangis, Ma. Mengapa kalimat begitu lugas lahir dalam puisi itu? Ya, dalam dimensi anak-anak, berbahasa itu mengungkapkan secara jujur apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan. Dalam konteks mengedepankan pesan moral Umar Fauzi pun diundang untuk memakai teks seperti itu. Naluri bahasanya pun bergerak lugas, jujur, dan terbuka.

Hal senada juga dilakukan Muhajir Arifin dalam “Tuhan dan Si Mungil Bayi”. Baris “kau bertanya kabarnya tuhan” merupakan baris yang merupakan sentral teks ini. Pertanyaan sederhana namun sebenarnya memiliki kandunganmakna amat filosofis. Bisa jadi jika diperluas kalimat itu akan berbunyi: kau bertanya kabarnya tuhan karena dunia begini kacau kenapa tuhan tak kunjung turun tangan. Tentu tak mudah menjawab pertanyaan tersebut karena jawabannya akan berupa teks yang bisa jadi abstrak. Namun Muhajir menjawabnya dengan amat cerdas: aku pernah melihatnya/ rebahan di samping bayi/ bertingkah lucu sekali …/ si mungil itu,/ terpingkal kegirangan. Metafora yang amat pas untuk konkretisasi gagasan abstrak. Tuhan rebahan di samping bayi, Tuhan berada di sisi pribadi-pribadi yang polos, jujur, terbuka, dan apa adanya. Tuhan hadir di dalam diri orang-orang yang hidup tidak dalam kepura-puraan, keculasan, dan kejahatan. Artinya, menanyakan kabar Tuhan dalam situasi seperti saat ini, berarti menanyakan kabar kepada setiap kita: masihkah kita peduli.

Dalam “Kisah Gadis Belia” Muhammad Aris meletakkan “gadis belia” sebagai konkretisasi dari gagasan abstrak tentang suatu peristiwa atau entitas atau fenomena. Artinya, saat Aris melihat fakta sejarah dari “gadis belia” yang membayang justru cermin terbuka peristiwa-peristiwa lain yang memiliki kesamaan semantik atau semiotik. Maka, jangan terkejut, jika teks yang muncul terkesan amat simbolik, kontemplatif, dan reflektif. Pilihan bahasa seperti itu tidak terlepas dari usaha Aris untuk mengajak pembaca melakukan refleksi atas peristiwa atau pengalaman hidup yang memiliki kemiripan dengan teks hidup “gadis belia”.

Di samping karya ketiga penyair di atas, penyair Imam Maarif, Denny Mizhar, Immamuddin SA, Isnaini KH, dan Javed Paul Syatha beberapa puisinya telah secara apik dibangun dengan mempertimbangkan kesatuan gagasan – rasa – bahasa.

Mempertanyakan Gagasan

Gagasan dalam sastra amatlah penting. Namun, relasi gagasan – rasa – bahasa bukanlah relasi yang mendudukkan mereka masing-masing tersebut sebagai unsur yang saling berdiri sendiri. Gagasan bukanlah entitas yang berada di luar rasa atau bahasa, begitu pula sebaliknya. Mereka sungguh-sungguh tiga yang satu, satu yang tiga.

Gagasan dan rasa apa yang muncul saat penyair menafsirkan peristiwa lumpur lapindo misalnya. Mungkin ada perasaan geram, marah atau empati; mungkin ada gagasan siapa sesungguhnya yang harus peduli terhadap peristiwa memilukan itu, masih perlukah berdoa, dan sebagainya. Persoalannnya adalah bagaimana teks puisi itu harus ditulis. Bacalah penggalan puisi berikut ini.

Empat tahun sudah, hanya ada sayupsayup kudengar dengus katakata gantirugi, pelan dan

pelan, namun dengan menyusutnya waktu, katakata itu tak terdengar lagi.Bahkan katakata

itu berubah jadi api yang menghanguskan. Kau dengarkanlah kini pepohonan juga

menahan getar panas bumi itu sampai akarakarnya. Ladangladang memuntahkan perih

atas lukanya. Sementara para penjarah itu bebas tertawa, dimanamana dan kapansaja.

Leher mereka kembali terjerat dasi dengan harga triliuanan rupiah. O siapa yang mau peduli

dengan nasib bangsa ini?

(Aguk Irawan MN – Empat Tahun Lapindo –)

lampu-lampu botol menyala
surut
angin mendesah
sumbu-sumbu repah

(Muhajir Arifin – Semalam di Tanggul Porong –)

Aguk Irawan dalam puisinya di atas terbaca jelas begitu kuat keinginannya untuk mengekspresikan gagasan. Bahasa pun dihadirkan sebagai alat untuk mengkomunikasikan gagasan tersebut kepada pembaca. Akibatnya sebagai sebuah totalitas karya, puisi tersebut tidak mengajak pembaca berdialog ke dalam sebuah ruang publik dalam pusinya. Pembaca tidak diundang untuk melakukan tafsir atas puisi yang ditulisnya, karena gagasan menjadi milik penuh penyair. Bisa jadi kekuatan puisi ini terletak pada keinginan penyair mengedepankan gagasan.

Muhajir Arifin yang mengangkat peristiwa yang sama yaitu peristiwa Lapindo melakukan tafsir terhadap teks alam atau peristiwa lebih dahulu sebelum diekspresikannya ke dalam puisi. Akhirnya ia mampu menangkap esensi atau hakikat, bukan yang harafiah disadari oleh indranya. Erich Kahler berpendapat bahwa “Art is human activity which explores, and hereby creates, new reality in a suprarational, visional manner and presents it symbolically or metaphorically, as a microcosmic whole signifying a macrocosmic whole.” Sebuah karya seni, termasuk karya sastra pada hakikatnya adalah kreasi seniman setelah bersentuhan dengan peristiwa-peristiwa, melahirkan sebuah realita baru yang bisa jadi suprarasional yang disajikan secara simbolik dan metaforik, sebuah jagad kecil yang mengejewantahkan jagad besar secara utuh.

Simak lagi kedua penggalan puisi berikut ini.

kau letakkan batu kesejajaran
membangun musium peradaban
antarkepercayaan
antargolongan
antartrah keturunan
kau bisikkan sebait kebebasan
dalam hati
dalam pikiran
dalam ucapan
dalam dalam
walau hanya sejenak kau bertahan
di puncak kekhalifahan
dan kini, hanya prasasti langkahmu tersisa di jantungku
menjadi cermin batin yang tak retak terbentur prahara laku

(Imamuddin SA – Seratus Hari dalam Kegaiban –)

kepada malam yang menyimpan gelap
aku akan pulang dari menyusur arus waktu
mendayung perahu pada muara akhirmu
pelayaran tak berujung
tak bertepi

(Javed Paul Syatha – Pada Muara Akhirmu –)

Kedua puisi di atas ini sama-sama diilhami oleh kehidupan Gus Dur, Sang Bapa Bangsa. Bedanya puisi Imamuddin SA tidak ada jarak estetika antara teks dan realita, sedangkan puisi Javed Paul Syatha mengandung jarak estetika antara teks puisi dengan realitas Gus Dur. Puisi Imamuddin lebih mengedepankan kekuatan gagasan, puisi Javed membangun sebuah simbolisasi dan metaforikal. Dalam puisinya Imamuddin seakan menjadi pengajar yang sedang berceramah kepada pembacanya, sedangkan Javed lebih mengajak pembaca untuk berdiskusi bersama memecahkan satu rahasia hidup yang serba samar.

Begitulah kesan subjektifku terhadap puisi-puisi yang terkumpul pada Tabir Hujan ini. Tak mungkin rasanya membahas seluruh penyair dan puisi-puisi di tempat serba terbatas. Hanya yang perlu aku tegaskan adalah bahwa kerja kepenyairan adalah proses yang tidak pernah selesai. Sesungguhnya penyair tidak memiliki halte untuk sungguh-sungguh beristirahat. Dia hanya berhenti sebentar lalu jalan kembali. Dalam proses bisa jadi seorang penyair menemukan materi-materi baru dengan cara berucap yang baru. Itu sah saja. Itulah dinamika itu. Aku pun yang sudah 52 tahun ini masih terus berproses, dan tidak pernah puas berhenti pada halte tertentu. Teruslah menulis, teruslah berproses.

Malang-Surabaya, 10-19 Oktober 2010

Senin, 29 November 2010

Mortalitas dalam Immortalitas

Agus B. Harianto
http://sastra-indonesia.com/

Kita selalu disuguhi dengan dua kata antonim tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Mortalitas yag berasal dari kata berbahasa Inggris “mortality”, adalah ihwal yang pada akhirnya mati oleh berbagai faktor. Sedang imortalitas (immortality) berarti suatu kondisi keabadian. Atau, sesuatu yang dapat menjadi abadi.

Al-qur’an adalah salah satu contoh karya imortalitas yang diwariskan kepada umat islam, bahkan kepada seluruh umat manusia. Dalam bidang kebahasaan, sejarah telah menyebutkan keindahan bahasa yang ada di dalamnya. Berbagai upaya dilakukan umat manusia untuk membongkar rahasia di dalamnya. Tetapi, semua itu harus kembali pada esensi yang termaktub, bahwa ia bukanlah hasil kreasi manusia.

Di kehidupan ini, sangatlah tepat mengkaji kandungan makna dari warisan leluhur pembawa ajaran kedamaian. Baik itu mengkaji maupun mengaji. Mengajinya dengan ilmu bahasa dalam membacanya, seperti yang dilakukan khalayak umum di dunia. Ataupun, mengkajinya menggunakan kacamata keilmuan yang telah dan akan ada. Kesemua usaha yang dilakukan manusia tersebut tidak pernah mempengaruhi kehakikian dari mahakarya dunia tersebut.

Kalimat-kalimat indah dan penuh makna mendalam, berisikan ajaran-ajaran kebenaran yang menjadi panduan kehidupan, telah menarik perhatian dunia untuk meneliti sekaligus mengekspos dan mengeksplorasinya. Tidak ketinggalan pula sarjana-sarjana muslim, mereka juga berusaha menjelaskan kebakuan Al-qur’an dengan spesialisasi keilmuan mereka. Sehingga bermunculan tafsir-tafsir Qur’an yang beragam, dan semuanya adalah benar dari kacamata masing-masing. Dan, semuanya tidak akan berubah meski seseorang menafikannya ataupun tidak.

Usaha-usaha yang dilakukan umat manusia dalam mempelajari dan mengeksplorasi Al-Qur’an, baik itu dari teks maupun konteksnya secara langsung atau dari tafsir-tafsir yang diketengahkan oleh sarjana-sarjana muslim terdahulu, bukanlah kebakuan tersendiri dari penginterpretasian mahakarya dunia tersebut. Sesuai perkembangan jaman, akan bermunculan interpretasi-interpretasi lain dari sebelumnya yang bisa menggantikan ataupun menyempurnakan tafsir terdahulu. Dan ini pun seharusnya tidak terlepas dari orisinalitas sebuah tafsir dan interpretasi yang termanifestasi ke dalam kehidupan. Meski kesemua itu belumlah cukup untuk mengungkap esensi yang ada dalam mahakarya dunia tersebut.

Terlepas dari pertanyaan usaha penerjemahan, baik secara batini atupun lahiriah, baik bermanfaat ataupun tidak bagi sebagian kalangan atau individu yang lainnya, ikhtiar yang dilakukan oleh berbagai sarjana dari berbagai bidang keilmuan patutlah dihargai. Kembali pada varietas keilmuan, mereka telah susah payah berupaya menjelaskan kandungan isi Qur’an dengan spesialisasi keilmuan mereka masing-masing. Dan, apakah ini sudah mutlak benar? Pertanyan ini akan terjawab jikalau kita mampu menelusuri tafsir tersebut menggunakan bidang kelimuan yang digunakan. Meski hal itu, pada akhirnya, belum tentu mutlak benar sehingga tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat beberapa kalangan dari suatu keilmuan yang sama.

Secara logika, jikalau dari satu keilmuan saja dapat memungkinkan perbedaan tafsir dan pendapat, maka besar kemungkinannya jika hal itu ditelusuri dari bidang keilmuan yang berbeda. Maka tak ayal lagi, muncullah berbagai ragam dalam pengaplikasian interpretasi Qur’an tersebut.

Karya Sastra dan Mahakarya Sastra Dunia

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwasannya Al-Qur’an adalah mahakarya abadi yang mengandung unsur bahasa. Bahasa yang sangat indah berjuta makna inilah yang mengundang umat manusia untuk mengungkapkannya. Lantaran berbagai macam unsur terdapat di dalamnya, patutlah jika ia disebut sebagai mahakarya dunia. Hal itu akan terasa wajar jika kita mengembalikan pemahaman kita terhadap pencipta mahakarya tersebut.

Dalam literatur Islam, usaha penafsiran Qur’an telah didahului oleh penerima wahyu itu sendiri, yang tidak lain Nabi Muhammad, baik secara perilaku maupun penjelasan. Sehingga melahirkan pula mortalitas yang langgeng dalam imortalitas yang lain. Oleh sebab itu, hal ini berlanjut dengan interpretasi-interpretasi yang lain.

Usaha-usaha itu tak lepas dari niat mulia sang interpretator. Mereka ingin membenahi moralitas umat dari kacamata dirinya. Tolak ukur yang digunakan merupakan penyempitan itu sendiri. Menggunakan spesifikasi keilmuan yang dibidanginya, mereka merajut kata demi kata untuk pengeksplorasian. Sehingga tak ayal, di kemudian hari menuai sanjungan dan protes.

Sedangkan karya sastra adalah masterpiece dari anak manusia. Ini dapat mencakup berbagai bidang, style, dll. Pengolahan pemikiran, memungkinkan hal ini ada. Seperti halnya yang dirintis oleh Descartes, filosof dari Perancis, yang mendeklarasikan “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir maka aku ada).

Dengan adanya jargon tersebut, eksistensi manusia diakui dari pemikirannya. Sejauh mana manusia itu berpikir akan terlihat dari hasil pemikirannya. Pengekspresian dan pengeksplorasian pemikiran anak manusia ini dapat memberikan penambahan tolak ukur suatu pemnbenahan ataupun tidak. Dengan catatan, ekspresi itu sendiri berangkat dari tujuan awal si peng-ekspresi, apakah terilhami untuk mengeluarkan unek-uneknya bagi dirinya sendiri ataukah bagi khalayak. Sebagian besar, hal ini bermula “dari diri sendiri, dan untuk diri sendiri.”

Kini giliran interpretator dan pembaca mengambilalih peranan. Sebaik apa kualitas ekspresi pemikiran mewarnai benak anak manusia. Tentu saja, hal itu tak lepas dari keilmuan yang dimiliki mereka. Interpretator (kritikus; pen.) mengeksploitasi dan mengeksplorasi sebuah karya sastra – yang tak lepas dari spesifikasi keilmuannya – memberitahukan kepada pembaca, kelebihan dan kekurangan sebuah karya sastra.

Sedangkan, pembaca, baik yang mempunyai spesifikasi keilmuan sama dengan interpretator ataupun tidak, akan sangat berterimakasih dengan usaha yang dilakukan interpretator. Terlepas pada suatu waktu, adanya pembaca yang memiliki spesifikasi keilmuan berbeda, akan menangkap interpretasi yang telah terungkapkan dengan pandangan sebelah mata. Maka, dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya, interpretator lain berusaha mengungkapkan sebuah karya tersebut dengan spesialisasinya.

Diakui ataupun tidak, interpretator lain ini telah mengawali interpretasiannya dengan titiktolak sebuah atau beberapa interpretasi yang telah ada. Hal-hal kecil ataupun besar yang diungkapkannya, pasti lah berbeda dari kacamata sebelumnya. Dan, pada akhirnya, sebuah karya sastra telah melahirkan beraneka ragam kacamata.

Jika kita kembali pada imortalitas Qur’an, lahirnya kacamata-kacamata dari sebuah karya sastra adalah mutlak adanya, karena spesifikasi keilmuan beraneka ragam. Pertanyaannya adalah sebaik apa sebuah karya sastra dapat menjelma ke-imortalitas-an. Hal ini tak akan terlepas dari anggapan dan spesialisasi keilmuan dari pembaca sendiri. Orang-orang yang merasakan faedah dan pengarusan dari karya sastra lah yang dapat memberikan penilaian tersebut. Lantas, kesepadanan sebuah karya sastra dengan mahakarya abadi dunia? Ataukah, imortalitas Qur’an masih patut dipertanyakan dengan filosofis bahwasannya yang abadi hanyalah Allah, sedang ciptaannya adalah mortal? Wallahu a’lam bisshowab.

Mencari sastra yang berpijak di …

PERDEBATAN SASTRA KONTEKSTUAL
Susunan: Ariel Heryanto
Penerbit: CV Rajawali, Jakarta,
1985, 501 halaman
Peresensi: Sapardi Djoko Damono
http://majalah.tempointeraktif.com/

ARIEF Budiman adalah seorang tokoh yang unik dalam dunia pemikiran kesusastraan di Indonesia. Pada akhir 1960-an, ia menerbitkan gagasan mengenai metode kritik sastra, yang dinamakannya Ganzheit, yang kemudian melibatkan beberapa pihak dalam serangkaian diskusi dan pembicaraan. Ada yang “mendukung”, ada yang “menolak” gagasan tersebut, tapi rangkaian pembicaraan itu memberikan gambaran mengenai adanya “aliran-aliran” dalam kritik sastra kita, yakni yang umumnya dikenal sebagai Ganzheit dan “Rawamangun”.

Sekitar satu generasi kemudian, kembali Arief menyodorkan gagasan yang menarik perhatian, yakni mengenai sastra kontekstual. Lebih dari gagasannya mengenai metode Ganzheit, sastra kontekstual ini dalam waktu singkat telah mengundang komentar banyak pihak. Orang tentu bisa saja membayangkan rangkaian komentar itu sebagai sesuatu yang berlangsung seru, dan, karena itu, menyebutnya sebagai “perdebatan”.

Nah, buku yang disunting Ariel Heryanto ini merupakan bunga rampai yang dimaksudkan sebagai rekaman “perdebatan” tersebut. Yang dikumpulkannya mencakup makalah, karangan di berbagai media massa, wawancara, dan berita.

Kalau sewaktu melontarkan gagasan mengenai Ganzheit, Arief disaudarakan dengan Goenawan Mohamad, maka dalam sastra kontekstual ini ia dianggap sekubu dengan Ariel Heryanto. Tentu ada bedanya: Goenawan tidak pernah secara bersemangat membicarakan gagasan itu, apalagi berniat mengumpulkan komentar dan pembicaraan tentang Ganzheit, sementara Ariel dengan semangat tinggi menawarkan gagasan tersebut, dan salah satu wujud tawarannya adalah bunga rampai ini.

Ariel punya andil dalam penyusunan gagasan ini, karena itu merasa berkewajiban secara aktif menyebarluaskannya. Perdebatan Sastra Kontekstual ini dibagi menjadi delapan bagian. Bagian kesatu merupakan pendahuluan, yang disusun Ariel Heryanto. Karangan sepanjang sekitar 30 halaman itu berusaha memaparkan lahirnya gagasan sastra kontekstual, yang lahir kira-kira pada akhir 1984, yakni ketika berlangsung Sarasehan Kesenian di Solo.

Dalam pendahuluan ini disinggung Ariel bahwa pada sarasehan itu, sebenarnya Arief tidak mempergunakan istilah tersebut – istilah itu dipergunakan Ariel. Yang menarik, kata Ariel, istilah sastra kontekstual yang dipakainya tidak persis sama dengan yang kemudian menyebar luas atas jasa Arief Budiman.

Menurut editor, ada tiga faktor penting yang memungkinkan meriah dan larisnya perdebatan sastra kontekstual selama belahan pertama tahun 1985, yakni momen historis, penampilan seorang Arief, dan dukungan media massa.

Bagian kedua berisi sebuah tulisan Ariel dan tiga buah karangan Arief, yang oleh editor digolongkan sebagai umpan pertama perdebatan “sastra kontekstual”. Bagian ini boleh dianggap sebagai landasan bagi rangkaian pembicaraan selanjutnya – di antara karangan Arief terdapat makalah untuk Sarasehan Seni di Solo, 1984, Catatan Kebudayaan Horison yang berjudul “Mencari Sastra yang Berpijak di Bumi: Sastra Kontekstual”, Januari 1985.

Bagian ketiga digolongkan sebagai umpan kedua, berisi tiga karangan, sebuah oleh Arief dan dua buah lagi dan Ariel. Bagian ini boleh digolongkan sebagai semacam lanjutan pemikiran Arief dan Ariel. Bagian keempat merupakan sejumlah laporan atau berita yang dimuat di beberapa media massa cetak mengenai gagasan “sastra kontekstual”.

Bagian kelima berisi beberapa tanggapan terhadap gagasan umpan yang dimuat dalam bagian pertama dan kedua. Dalam bagian ini dimuat karangan Umar Kayam, “Sastra Kontekstual yang Bagaimana?”, yang merupakan tanggapan terhadap gagasan Arief dalam Sarasehan di Solo, dan “Catatan Kebudayaan” Horison. Di samping itu, terdapat juga karangan-karangan lain, di antaranya dari Hendrik Berybe, Afrizal Malna, dan Veven Sp. Wardhana.

Bagian keenam berisi karangan Arief, yang berjudul “Sastra Kontekstual – Sebuah Penjelasan”, sebuah uraian mengenai gagasan yang telah menimbulkan beberapa salah paham itu, dan “Sastra Kontekstual: Menjawab Kayam”, yang merupakan jawaban atas “kesalahpahaman” Kayam. Pada bagian ini, Ariel juga berusaha menjelaskan gagasannya lebih lanjut.

Bagian ketujuh berupa rangkaian karangan Arief dan Ariel sebelum ramai-ramai sastra kontekstual ini. Antara lain, dimuat karangan Arief “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni, yang pernah menghasilkan serangkaian pembicaraan itu.

Bagian kedelapan berisi tiga tulisan yang digolongkan sebagai tulisan pendorong, yakni karangan Goenawan Mohamad, “Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Mutakhir” karangan Rendra, “Sastra dan Masyarakat”, dan tulisan Emha Ainun Nadjib, “Sastra Independen”. Dari jenis karangan yang dimuat dalam bunga rampai ini terkesan bahwa masalah yang ingin dijangkau editor terlampau luas.

Akibatnya, pembaca sulit memusatkan perhatian pada pokok masalah yang ingin ditawarkannya. Hal ini mungkin disengaja, karena editor mungkin beranggapan masalah sastra kontekstual memang luas jangkauannya. Tetapi mungkin juga hal itu disebabkan editor sebenarnya tidak tahu betul apa yang ingin disodorkannya, sehubungan dengan gagasannya sendiri, dan gagasan Arief, yang kemudian dikenal sebagai “sastra kontekstual”.

Menurut editor ada perbedaan antara ia dan Arief mengenai gagasan ini. Bainya, “satra kontekstual” terutama berarti pemahaman atas kesusastraan dengan meninjau kaitan mutlak kesusastraan itu pada konteks sosial historisnya. Sedangkan Arief, katanya, beranggapan bahwa sastra semacam itu adalah karya sastra yang sesuai dengan konteks sosial-historis masyarakat di sekeliling tempat terciptanya karya sastra itu.

Sebenarnya, Arief merumuskan gagasannya itu dengan berbagai cara. Toh rumusan tersebut tetap saja bisa menimbulkan salah tafsir dan salah paham. Dan justru itulah yang menghasilkan “perdebatan” ini. Begitu rumitnya pemahaman, dan begitu khawatirnya terhadap salah tafsir, sehingga salah seorang penanggap, Nadjib Kertapati Z., menulis “pemahaman yang sekaligus panutan saya ini bagi Arief bahkan mungkin merupakan kesalahpahaman baru”.

Perdebatan mengenai sastra kontekstual ini digambarkan editor sebagai “meriah dan laris”. Itu bisa dimaklumi karena dalam pelbagai pembicaraan muncul sejumlah istilah, yang seolah-olah tak henti-hentinya kita bicarakan: Barat, kiri, universal, borjuis, elite, keindahan, dan sebagainya. Kata-kata itu punya konotasi yang beragam dalam benak kita, dan merupakan landasan bagus untuk “perdebatan”. Tidak heran dalam serangkaian pembicaraan tersebut muncul pula ejekan, sindiran, dan bahkan caci maki. Mungkin sekali tentang suatu istilah yang- memiliki pengertian berbeda bagi masing-masing pihak.

Dalam pendahuluannya, Ariel membuat pengandaian: “seandainya seorang Arief Budiman tidak hadir dalam Sarasehan Kesenian 1984, dan tidak mempersoalkan sama sekali pembicaraan dan sarasehan itu, akan terlahirkah perdebatan seperti ‘sastra kontekstual’?” Ariel menjawab, mungkin ada. Kita mungkin menjawab, mungkin tidak ada. Tapi, yang sangat menonjol dalam “perdebatan” ini adalah sosok Arief, yang sewaktu Sarasehan di Solo membuat apologi, “terus terang dalam sastra dan seni pada umumnya saya lebih berperan sebagai pengamat dari jauh. Karena bidang perhatian saya, seperti yang Anda ketahui, sekarang ini lebih banyak pada permasalahan politik dan ekonomi.”

Toh, Arief merasa gembira berada di tengah-tengah sastrawan dan seniman karena, katanya, memperoleh “sesuatu yang tidak saya peroleh dari kesibukan-kesibukan saya dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah sosial ekonomi.” Dalam sebuah wawancaranya, Arief juga menunjukkan semacam apologi. Katanya, “Sebenarnya saya akan tinggalkan kesenian. Agak kesal juga, karena saya mesti menjadi juru bicara sastra kontekstual yang sesungguhnya orang harus lebih banyak bertanya kepada Ariel Heryanto, yang lebih mumpuni di bidang itu.”

Tetapi, meminjam istilah Kayam, Arief punya “pengikut”, tidak sedikit yang tertarik mengikuti gagasan-gagasannya, meskipun – seperti yang tampak dalam bunga rampai ini – tidak jarang mereka itu sebenarnya tidak betul-betul memahaminya. Jadi, meskipun Arief sudah ingin meninggalkan kesenian untuk lebih tekun melakukan diskusi tentang masalah sosial ekonomi, tak banyak orang yang “menuntut”-nya sebagai pemandu di bidang kesusastraan. Dengan demikian, setiap gagasan Arief diterima, lalu disebarluaskan dengan cepat.

17 Mei 1986

Mengasong Sastra di Kemacetan Jalanan

R. Sugiarti
http://www.sinarharapan.co.id/

seekor kucing kurus menggondol ikan asin
lauk makanku malam ini hap kuambil sebilah pisau Akan kubunuh kucing itu
meong…
eh..dia tak lari meong…
malah memandangku tajam dengan matanya
meong…
tanganku yang memegang pisau bergetar
aku melihat diriku pada kucing ini
akhirnya kami berbagi kuberi dia kepalanya dan aku badannya
akhirnya kami makan bersama tentu saja dari piring yang berbeda
(puisi seorang pengamen puisi di bus kota yang dibawakan dengan sangat atraktif. Konon puisi ini diciptakan oleh sang pembaca dengan teman-temannya)

Bermula karena uang, kota-kota besar selalu mempunyai dinamika yang tinggi. Pergerakan manusia yang ada di dalamnya begitu mobil. Akibatnya, banyak peluang dipaksa tercipta.

Setiap sudut yang tercecer dimanfaatkan dengan bermacam kreativitas, meski terkadang naif. Sisi kosong trotoar, halte, bawah jembatan layang jalan tol, taman kota, dan banyak ruang kosong lainnya menjelma lahan bisnis yang terus berkembang pesat. Bis kota pun bertambah fungsi sebagai kotak sumbangan berjalan yang banyak diincar pemburu belas iba.

Pengasong, pengemis, panitia pembangunan rumah ibadah, pengelola panti asuhan dan lembaga sosial lainnya, orang yang terkena bencana, semisal kebakaran dan sakit, napi insaf, mahasiswa kekurangan dana, dan seniman jalanan, berebut menggaet iba bahkan tak jarang menggertak dan memaksa mereka yang dianggap berlebih.

Perkembangan Pengamen

Padahal perambah awal bis kota, semula hanyalah pengamen atau pemusik jalanan. Memang, musik jalanan sudah dikenal dan berkembang sejak abad pertengahan, terutama di Eropa. Pada saat musik Eropa berkembang pesat lewat penyebaran agama Kristen.

Kendati bentuk musik yang dikembangkan lewat gereja itu adalah berdasarkan dasar-dasar pengetahuan musik Yunani, lewat gereja bentuk dasar itu dikembangkan selaras dengan perkembangan seni drama, seni rupa dan sastra. Bentuk musik yang dikembangkan lewat gereja itu, akhirnya dikenal sebagai liturgi (latin: doa dalam bentuk nyanyian)

Di luar gereja, muncul jenis musik yang agak liar dan mempunyai tema yang luas yang oleh kalangan gereja disebut sebagai musik duniawi. Musik ini berkembang, umumnya dibawa oleh para musafir atau pengelana. Mereka menggunakan alat musik sederhana dan praktis, biasanya alat musik berdawai semacam gitar.

Musikus pengembara berjalan dari satu tempat ke tempat lain, mengelilingi negeri sambil bernyanyi. Mereka mendapatkan upah atau imbalan dari para penikmat musiknya. Di Prancis, mereka disebut ”troubadour”, dan di Jerman, ”minnesaenger”. Sampai saat ini, budaya semacam itu masih banyak dilakukan kaum Gypsi yang berada di daerah Spanyol.

Di Indonesia sendiri, masuknya budaya musik dibawa bangsa Portugis, dan budaya mengamen sudah ada sejak abad ketiga belas, saat kejayaan kerajaan Kediri atau Kahuripan. Saat itu, sudah dikenal rombongan kesenian musik berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dan menghibur lewat syair atau pantun yang berisi dongeng Panji.

Mereka akrab dengan sebutan ”dalang kentrung”. Keberadaan mereka terkadang dianggap sakral oleh masyarakat yang dilewatinya karena apa yang mereka lantunkan tidak sekadar hiburan, tetapi terkadang merupakan nasihat, isyarat, bahkan ramalan masa depan dari situasi yang terjadi.

Berbeda dengan pemusik jalanan di masa sejarah, pengamen zaman sekarang lebih banyak terorientasi pada kesulitan ekonomi semata. Nilai kesakralan yang semula dimiliki pengamen pendahulu semakin mengabur.

Jangankan bisa dianggap sakral untuk bisa dikatakan estetik pun tak banyak pengamen yang memenuhinya. Mereka tak lagi melakukannya secara profesional.

Dengan alat musik seadanya, bahkan sekadar tepuk tangan dan suara yang fals mereka berani unjuk suara. Citra pengamen berubah menjadi sekadar strategi mencari uang di tengah keterdesakan, mekipun kreativitas lagu dan cara mengamen yang mereka bawakan semakin berkembang.

Mengamen Sastra

Yang menarik, pengamen yang semula hanya memainkan lagu-lagu populis dan lagu khas mereka sendiri, mulai berani memusikalisasi puisi. Memang tentang musikalisasi puisi ini masih ada beberapa pendapat yang berbeda.

Pertama, pendapat bahwa musikalisasi puisi adalah membacakan puisi dengan diiringi oleh musik. Jadi musik di sini sebagai background saja, tak lebih. Mulai banyak pengamen yang melakukan ini.

Pun pendapat kedua bahwa musikalisasi puisi adalah puisi yang dimusikkan. Artinya, ada semacam kreativitas yang digulirkan sehingga pencipta musikalisasi puisi harus mempunyai kemampuan yang lebih dalam memosisikan gagasan antara puisi dengan musik yang akan dikolaborasikan mampu tercipta di kalangan pengamen. Ada beberapa pengamen yang mampu membawa puisi-puisi sastrawan terkenal maupun karya mereka sendiri dalam kreativitas yang cukup mengesankan.

Yang tak begitu bisa kita lihat pada fenomena pengamen ini adalah pendapat ketiga, bahwa musikalisasi puisi adalah musik yang diilhami oleh puisi. Artinya, di sini puisi hadir secara konkret, akan tetapi bermetamorfosis menjadi sebuah alunan musik. Kita tak bisa tahu apakah ada pengamen yang melakukan ini.

Bagaimanapun juga puisi yang telah bermetamorfosis menjadi alunan musik tak gampang lagi kita kenali apakah diilhami oleh puisi ataukah tidak, kecuali mereka mengatakannya sendiri. Seperti halnya Dewa, Padi, atau KLA Project yang jelas-jelas menyatakan bahwa lagu-lagu mereka diilhami oleh puisi-puisi Kahlil Gibran dan Jalalludin Rumi.

Tak berhenti pada musikalisasi puisi, pengamen dalam bis kota semakin berani mendekati dunia sastra. Mereka mulai berani membawakan puisi tanpa musik. Sekadar membacakan tanpa iringan musik. Terkadang cukup dengan ekspresi teatris yang lumayan inovatif, seperti yang penulis lihat ketika seorang pengamen membawakan sajak ”Ikan Asin, Kucing, dan Aku” di atas.

Untung Rugi

Kini, mengamen puisi, mengasong sastra pada sesak bis kota semakin marak. Manfaat dan kerugian pun mulai tercipta, meskipun mungkin selambat bis kota tua yang bertahan di panasnya kemacetan Jakarta.

Lahir bentuk baru sastra-sastra asongan. Sastra asongan dijajakan pengamen di sela-sela keringat penumpang, diual tanpa harga paten. Cukup recehan sisa tarif bis atau semahal nilai iba yang ada di kantong hati. Tak perlu tawar-menawar. Cuma sedikit ancaman jika preman yang menjajakan.

Di satu sisi, tercipta sebuah bentuk sosialisasi sastra yang cukup efektif. Sebuah sistem sosilisasi sastra yang efisien, ramah, dan murah. Ranah sastra terdesak kesibukan hidup terpaksa hadir di sela-selanya. Menyeruak tanpa bisa ditolak. Tak perlu menumpang pada media edisi mingguan, atau pusat-pusat kesenian dan kebudayaan yang jauh dari jangkauan.

Sastra asongan selalu mampu hadir selama bis kota masih dibutuhkan. Tentu saja selama pengamen tidak dikejar-kejar petugas ketertiban umum.

Sayangnya kualitas sastra asongan masih jauh dari standar. Sastra yang seharusnya mampu menjadi hiburan di tengah kesuntukan, katarsis di tengah kegalauan, bahkan otokritik di tengah kelalaian, malah terlempar sebagai keluh kesah keputusasaan, jerit ketidakberdayaan, bahkan gangguan di tengah kelelahan.

Bukannya menjadi media pengenal dan pengakrab, pengamen sastra justru semakin menjauhkan sastra yang sudah tersisih dari masyarakat yang dikejar kesibukan mencari uang. Bisa-bisa muncul suatu image, ”sastra identik dengan kemiskinan”. Meskipun pada kenyataannya, Rendra, Putu Wijaya, Ayu Utami, Dewi Lestari, Sapardi Djoko Damono, dan banyak sastrawan lainnya tak bisa dibilang miskin.

Negatif ataupun positif, sastra asongan telah lahir. Kita terlambat untuk sekadar mengaborsinya. Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana sastra asongan ini mampu membawa dampak-dampak yang positif bagi perkembangan sastra.

Tentunya perlu kepedulian dari banyak pihak. Sastrawan-sastrawan sukarelawan yang mau meluangkan waktunya membantu pengasong-pengasong sastra itu, agar mampu menjajakan sastra dengan kualitas maksimal.

Dengan begitu, sastra asongan mampu menjadi katalis kembalinya kedekatan sastra pada masyarakatnya. Sastra asongan tak lagi identik dengan kemiskinan.

Dan kita bisa membiarkan, Arnold Bennet yang menulis dalam buku hariannya, merasa menyesal dengan penyataan: ”pekerjaan seorang sastrawan hanyalah untuk memuaskan diri sendiri, untuk mencari pujian serta penghargaan. Tetapi, saya tidak mempedulikan semua itu. Saya akan menjadi penilai karya-karya sendiri.

Benar atau salah, saya akan tetap puas sebagai sastrawan. Saya tidak akan disukai kalau saya tidak berhasil mendapatkan uang banyak”. Karena sastra asongan mampu disukai, meskipun hanya berhasil mendapatkan uang recehan.

Penulis adalah peminat dan pemerhati budaya, pelanggan setia bus-bus kota di Jakarta.

Sastra Daerah di Panggung Festival

Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Hingga kini, kita masih mewarisi begitu banyak sastra (di) daerah, yang tersebar dari Aceh hingga Jayapura, Yogyakarta hingga Sulawesi Utara. Sastra-sastra daerah tersebut mengendap di dasar memori kolektif suku-suku setempat, dalam bentuknya yang tradisional, seperti puisi (pantun, geguritan, parikan), prosa (cerita rakyat, dongeng, hikayat, legenda). Di dalam sastra-sastra daerah tersebut terkandung nilai-nilai kearifan lokal, yang tidak jarang dimensinya universal.

Masalahnya, tidak gampang mengemas kekayaan sastra daerah tersebut menjadi sebuah pertunjukan yang menarik. Dalam arti, tetap menonjolkan unsur sastranya. Tapi, itu ternyata tidak mudah. Mau contoh? Mari kita simak Festival Kesenian Nasional Sastra Nusantara di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir Juni 2007, yang digelar oleh Direktorat Kesenian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) RI.

Sebanyak 20 provinsi yang tampil di tiga tempat Aula Gubernuran, Taman Budaya dan pelabuhan Ampenanpada umumnya begitu kerepotan dalam mencari formula yang pas, antara sastra sebagai isi, dengan teater, musik dan visual sebagai bungkusnya. Belum lagi minimnya peralatan tata cahaya dan tata suara, maka kerepotan itu semakin terasa lengkap.

Pertunjukan dari NTB, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta, Sumatra Selatan dan Bengkulu, termasuk yang mampu tampil menarik. Berpijak pada cepung, seni tutur yang bersumber dari lontar monyeh, delapan penutur dua di antaranya memainkan instrumen suling dan rebab duduk bersila mengenakan pakaian tradisi mirip Bali, di depan bentangan layar putih. Layar ini berfungsi ganda, kadang sebagai latar belakang, kadang untuk media visualisasi: menayangkan siluet Putri Raden Ayu Winduradin yang digandrungi seorang pemuda bernama Raden Mantri.

Walaupun penonton tidak tahu arti kata perkata bahasa daerah yang mereka tembangkan, lakon Kasmaran itu tetap bisa dinikmati dengan bantuan permainan gerak tubuh para pemain, baik hanya dengan duduk saja, atau dua penari yang memperagakannya. Dengan durasi penampilan sekitar 20 menit, Komang Kantun, selaku sutradara, mampu membangun suasana pertunjukan dengan orkestrasi vokal yang memikat.

Kalau NTB hanya berpijak pada seni tutur cepung, maka duta seni dari DIY berpijak pada banyak seni tradisi Jawa, mulai dari mantra, geguritan (puisi), tembang, dongeng, dolanan, hingga ketoprak lesung. Altiyanto, sebagai sutradara merangkap pemain, dengan cerdas menggunakan semua itu untuk menuturkan dongeng mistis Kidung Pangruwat Bulan Kepangan yang di dalamnya menggambarkan keceriaan di bulan purnama, berubah menjadi bencana karena gerhana. Panggung yang dihiasi sapu lidi (kadang juga untuk alat musik), lesung dengan alunya, menegaskan sebuah dunia (Jawa) yang penuh simbol. Termasuk visualisasi bulan dengan genjring yang disorot lampu dari atas.

DKI Jakarta menyajikan Jantuksalah satu episode dalam pagelaran topeng Betawi dengan dialog para pemain yang diselingi pantun. Meski digarap baru, antara lain dengan menghadirkan dua pasang jantuk tua muda, dan tetap mempersoalkan ikan peda, jejak tradisinya masih terasa. Penggunaan kotak yang multi fungsi (untuk meja makan, menyimpan topeng, dan kostum), ditambah berdandan langsung di panggung sembari cerita terus mengalir, adalah satu siasat yang jitu, ketika waktu tampil dibatasi kurang dari setengah jam. Ini semua, merupakan kematangan duta seni Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Provinsi Bengkulu menampilkan monolog teater tutur Serekamun, yang berpijak pada cerita rakyat asal usul kayu mengkudu. Tiga penabuh musik di atas panggung, yang seorang merangkap sebagai dalang/penutur. Sedangkan pelakonnya ada di depan panggung, dan bebas bergerak ke arah penonton. Dengan properti sapu lidi, tikar, piring kaleng dan cangkir, sang pelakon yang mempunyai kekuatan akting bagus, melibatkan penonton, sehingga pertunjukan menjadi sangat komunikatif. Panggung Ampenan malam itu sumingrah, penuh gelak tawa anak-anak, remaja hingga orang tua.

Dari ranah tradisi lisan tampil Sumatra Selatan dengan kisah Bujang Jalihem, dengan penutur Cik Manan yang sudah tua, dengan pendengaran tidak beres lagi. Kali ini ia didampingi beberapa pemain muda, memainkan alat musik dan bersilat. Panggung dilengkapi layar putih, untuk memantulkan bayangan mereka bermain silat. Penampilan ini sekaligus dapat dijadikan contoh, bagi sebuah model revitalisasi tradisi lisan.

Penampilan Jawa Timur dan Jawa Barat sesungguhnya menarik dari segi pertunjukan. Namun keduanya sekaligus dapat dijadikan contoh, bagaimana pertunjukan tersebut menenggelamkan sastranya sendiri. Jawa Timur dengan Mbarang Kentrung-nya terlampau ingin mengatakan banyak hal, termasuk bencana lumpur Lapindo. Sedangkan Jawa Barat yang menampilkan Dewi Siti Samboja yang berpijak pada cerita rakyat Pajajaran tenggelam oleh tari-tarian dan verbalisasi pembunuhan dengan senjata tajam.

Memang, soal ukuran sering menjadi perdebatan. Bahkan, di kalangan pengamat sendiri Nano Riantiarno, Sapardi Djoko Damono, Pudentia, Korrie Layun Rampan, Heddy Sri Ahimsa Putra memiliki pandangan berbeda-beda. Itu pula yang membuat bingung peserta: mana yang harus didengar. Nano, pentolan Teater Koma, tentu saja mengedepankan pertunjukannya. Karena itu, ketika sastra dipertunjukkan, mau tidak mau harus patuh pada hukum-hukum pemanggungan.

Bagi Sapardi, sastranya harus tetap dominan. Tapi penampilannya harus laras dengan zaman sekarang, supaya bisa dinikmati oleh penonton masa kini atau sejaman. Namun setelah terjadi perdebatan dalam sarasehan, para pengamat dan peserta dari berbagai provinsi akhirnya sepakat bahwa dalam mementaskan sastra daerah diperlukan keseimbangan antara isi (sastra) dan bentuk (kemasan).

Kesepakatan lain adalah mengenai bahasa. Ketika mementaskan sastra daerah, tidak usah berfikir (bahasa) Indonesia. Dalam arti biarkan murni dalam bahasa aslinya. Jika ingin penonton mengerti, dapat ditambahkan teks bahasa Indonesia, baik di layar atau dalam buku. Di sinilah perlunya dukungan teknologi. Tak kurang Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Mukhlis PaEni, merasa kecewa ketika melihat pertunjukan dari Jawa Timur berbahasa Indonesia. “Kenapa tidak Jawa Timuran saja. Meskipun saya orang Sulawesi Selatan, saya suka dengan bahasa Jawa Timuran,” ujarnya.

Memang, seperti diakui salah seorang kontingen Jawa Barat, penggunaan bahasa Indonesia ada semacam kebutuhan sekaligus pertimbangan ingin menjangkau publik yang lebih luas. “Kalau kami tampil dengan pantun Sunda saja, tanpa bahasa Indonesia, tentu saudara-saudara kami yang bukan Sunda tidak mengerti,” ujarnya.

Nah, kini menjadi tantangan bagi para seniman Indonesia, mampukah mementaskah sastra daerah dengan menarik, dan bisa diapresiasi oleh saudara-saudaranya dari daerah lain? (berbagai sumber)

Cacatan Lomba Resensi Buku Sastra

dalam Rangka Bulan Bahasa di Kota Malang
Denny Mizhar*
http://sastra-indonesia.com/

Sehabis mengantarkan murid-murid saya ikut lomba yang diadakan perkumpulan guru bahasa dan sastra Indonesia SMA/SMK/MA se-kota Malang pada hari selasa tanggal 2 November 2010. Acara tersebut di buka oleh sekertaris Diknas Kota Malang, dengan mengatakan pentingnya lomba dan mempertahankan bahasa Indonesia. Sehabis itu kepala sekolah SMAK Albertus juga memberikan pidatonya tentang pentingnya bahasa sebagi identitas, karena pada akhir-kahir ini banyaknya pengrusakan pada bahasa Indonesia.

Melihat Puisi dari Industri Buku Yogyakarta

Hasta Indriyana*
Kompas Yogya, 1 Okt 2009

Seorang kawan penulis, yang kebetulan berkecimpung di dunia penerbitan, melontarkan keresahan seusai menyaksikan pameran buku di Jogja Expo Center, beberapa waktu berselang. Katanya, di antara ribuan buku yang ada, ia tidak mendapatkan satu buku puisi pun di semua stan yang diikuti puluhan penerbit. Ia menyayangkan karena sangat menunggu buku yang isinya puisi karya sejumlah penyair.

Betapa banal tabiat penerbit buku kita, komentarnya sambil memercayai omongan seorang negarawan Amerika bahwa puisi bisa meluruskan keadilan yang dibengkokkan. Saya pun kemudian mencoba melihat hal itu dengan sudut pandang berbeda. Menurut saya, ia telah menempatkan buku puisi sebagai produk yang selalu dibutuhkan pembaca. Katakanlah, ia adalah pencinta buku puisi, sebagaimana penggemar JK Rowling ketika menunggu-nunggu Harry Potter terbit.

Pemikiran saya malah berkebalikan. Buku puisi tercetak bukan karena pembaca menginginkan, tapi karena penyair (produsen) berusaha menerbitkan (meng-ada-kan). Kalau nantinya buku puisi terdistribusi dengan baik, ada ulasan atau kritikan di media massa, mengalami cetak ulang, bahkan mendapatkan award, itu lain soal. Menurut saya sebatas itu saja. Hal tersebut pernah disinggung Sapardi Djoko Damono dalam sebuah tulisannya di majalah Prisma tahun 1988, dan saya (sampai saat ini masih) mengimani hukum pasar tersebut.

Harga yang harus dibayar ketika menerbitkan buku puisi adalah kerugian secara material. Sebuah produksi buku dengan ketebalan 100 halaman sejumlah 1.000 eksemplar rata-rata menghabiskan duit Rp 5 juta. Selama ini, buku puisi laku di bawah 500 eksemplar. Jika harga buku dipatok Rp 30.000 dan penerbit mendapatkan 25 persen dari harga buku, maka taruhlah dengan laku 500 eksemplar, penerbit rugi Rp 1,25 juta. Penerbit Akar Indonesia yang berkiblat pada buku-buku sastra menyiasati perilaku pasar dan distributor dengan cara berdagang dari satu acara ke acara lain dan melalui jaringan komunitas di berbagai wilayah Indonesia (dari Aceh hingga Kupang).

Lain halnya dengan sistem penjualan yang diterapkan penerbit Omah Sore yang juga khusus menerbitkan buku-buku sastra. Omah Sore mencoba lewat jalur POD (print on demand). Penerbit mengiklankan buku-buku sastra melalui internet dan pesan pendek.

Ada dua hal yang bisa diurai atas fenomena di atas. Pertama, karena kita hidup di sebuah negara yang masyarakatnya rabun membaca, atau belum melek puisi. Di zaman digital yang segalanya mengalami percepatan, semua mesti dibeli dan dilahap. Semua terasa lebih enak dikonsumsi melalui media audiovisual (non-aksara). Membaca dan menulis sebagai konsekuensi dari “berpuisi” tentu dianggap sepele (bawang kosong), dianggap rumit, membuang waktu, dan tidak menghasilkan secara material. Mursal Esten menuliskan, masyarakat sastra Indonesia hanya 0,01 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sastra menjadi elitis, minoritas, dan dipinggirkan. Wajar jika banyak orang bertanya, “Mengapa puisi susah dimengerti?” Soalnya mereka rabun aksara sehingga puisi tampak “gelap dan pekat”.

Kedua, puisi dan industri merupakan dua hal yang saling ngungkuri, bertolak belakang. Puisi adalah jalan sunyi untuk memahami nilai kemanusiaan. Industri adalah arus hiruk-pikuk yang tabiatnya mereduksi nilai kemanusiaan. Dalam dunia industri, kaum modal kapital pintar mengondisikan komoditas menjadi sebuah kebutuhan. Masyarakat luas dibius brand dan image menjadi sekelompok konsumen yang patuh dan rajin membeli produknya. Misalnya, masyarakat Gunung Kidul (sampai bisa) menyebut segala merek sepeda motor dengan “honda”, tapi tidak demikian dengan buku sastra, khususnya puisi.

Puisi yang berdiri di jagat industri buku, saya analogikan, masuk dalam mutiara Jawa: ana ning ora ana, ada tapi tidak ada atau dianggap tidak ada tapi sebenarnya ada. Secara umum, produksi buku puisi 0,1 persen dari seluruh buku yang diproduksi penerbit. Penerbit di Yogyakarta yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) sejumlah 50 penerbit, sementara di luar Ikapi sekitar 15 penerbit. Masing-masing memproduksi minimal dua eksemplar tiap bulannya. Kita pun akan mendapatkan sejumlah angka mencengangkan (1,5 buku puisi) di antara 1.560 judul buku per tahunnya.

Maka, bagi kawan saya dan siapa pun “konsumen loyal” buku puisi, kita mesti bersabar dan menahan. Kita harus “puasa puisi” di tengah hidup seperti ini. Rasanya masih sangat lama buku puisi mencapai brand and ikon: “Belanja, pasti buku”, atau bahkan, “Shopping, ya puisi!”

Jalan sunyi

Puisi adalah jalan sunyi untuk memahami nilai kemanusiaan. Disebut jalan sunyi karena dalam proses penciptaannya melalui masa pengendapan (inkubasi), perenungan dan pemikiran, rekreasi, dan transformasi ke dalam wujud teks. Proses itu sendiri terkadang sangat soliter.

Sementara itu, industri selalu membombardir masyarakat dengan produk material dan mental kebergantungan. Industri pada akhirnya hanya memberikan kekayaan kepada segelintir orang. Puisi melahirkan manusia merdeka yang bebas dari kebergantungan (sebagai lawan kapitalisme).

Menunggu-nunggu buku puisi terbit sambil menuding kesalahan pihak tertentu tentu bukan sebuah kearifan. Penyair yang asyik dengan dunia metafora dan dirinya sendiri menjauhkan puisi dari masyarakat; kritikus sastra yang mandul adalah kambing hitam kemandekan sastra; penerbit yang “asal untung banyak” dan menafikan kualitas akan memperburuk dunia keaksaraan; pemerintah yang tidak memerhatikan serius akan melemahkan “pendidikan buku”; dan banyak lagi yang bisa dituding keliru.

Yogyakarta adalah kiblat buku dan sastra Indonesia. Telah banyak penulis dan sastrawan menggodok ilmunya di “kawah pendidikan” ini. Di kemudian hari pasca-1998, meledak penerbit “alternatif” yang jumlahnya mencapai seratusan. Lambat laun, industri buku dibelit keinginan memperkaya diri dan kejar setoran. Buku-buku copy-paste dan model “cepat saji” makin menimbun rak-rak toko buku dan luber di setiap pameran.

Sangat disayangkan, karena saatnya nanti, buku semakin tak bermutu. Sah apabila kawan saya tidak mendapatkan buku puisi, tidak menemukan “sepi” dan kemanusiaan di tengah hiruk-pikuk industri buku. Maka, tak ada kata lain selain menghibur diri bahwa kitab suci saja jarang dibaca, apalagi buku puisi!

HASTA INDRIYANA Penyair Kelahiran Gunung Kidul, DI Yogyakarta

Horison pulang ke balai budaya

Liston P. Siregar
majalah.tempointeraktif.com

TERNYATA Horison baru hanya berumur satu edisi. Tiga hari setelah acara peluncurannya di Perpustakaan Nasional, Jakarta, majalah sastra itu harus kembali ke pengasuhnya yang lama. Rapat Yayasan Indonesia, pemegang SIUPP Horison, Rabu 14 Juli lalu secara sepihak membatalkan kerja sama dengan pengelola baru, PT Grafiti Pers.

Seni, Identitas, dan Wawasan Estetik

Mustafa Ismail
http://www.suarakarya-online.com/

Penyair Sapardi Djoko Damono dalam sebuah sesi kuliah di pascasarjana Intitut Kesenian Jakarta melontarkan sebuah pertanyaan menarik: jika seniman berkarya mengadopsi/ bertolak atau menyerap wawasan estetik dari karya asing apakah bisa disebut karya seni Indonesia? Menurut Sapardi, seniman, secara politik, identik dengan kewarganegaraan tertentu. Seseorang disebut sebagai seniman Indonesia karena ia warga negara Indonesia.

Persoalan identitas memang terus menjadi pembicaraan. Apalagi kini, menjadi tidak jelas lagi mana karya seni Indonesia dan mana yang bukan. Bahkan, menurut Sapardi, sejumlah karya seni yang diakui sebagai karya seni Indonesia pun sebetulnya datang dari luar. Nah, kini, seniman-seniman Indonesia banyak menyerap gagasan dan wawasan seni dari pergaulan dunia, lewat berbagai media. Bahkan, sejumlah seniman Indonesia mendalami seni di luar negeri.

Bertolak dari sana, dalam wilayah seni kontemporer, menjadi tidak ada lagi sekat apakah itu karya seni Indonesia atau bukan. Kita bisa melihat, misalnya, karya tari Eko Supriyanto yang disuguhkan dalam Indonesian Dance Festival di Taman Ismail Marzuki Jakarta pertengahan Juni lalu. Meski ia membawa tradisi Jawa yang kental ke atas pentas, tapi tetap terasa ada suasana “luar” dalam karyanya. Dan seperti kita tahu, Eko memang pernah belajar tari di Amerika Serikat.

Bahkan, karya-karya tradisi pun “diobrak-abrik” untuk kemudian diolah menjadi sesuatu yang disebut kreasi baru. Terkadang, kreasi baru itu hanya penggabungan beberapa tari, bukan memberi unsur-unsur baru pada tari asalnya. Misalnya, tari Saman yang berkembang di Jakarta. Apa yang disebut dan dipahami sebagai tari Saman itu tak lain adalah perpaduan antara tari Saman dan Likok Pulo. Dan kedua tari itu datang dari dua tradisi lokal berbeda. Tari Saman dari Pulo Aceh (Aceh Besar) dan Saman dari Gayo Luwes, Aceh Tenggara.

Kedua tari ini pun rupanya bukan asli karya orang Aceh. Tari Likok Pulo diciptakan oleh seorang ulama yang berasal dari Arab dan tinggal di Pulo Aceh pada 1949.

Tarian ini dimainkan dengan posisi duduk bersimpuh, bahu-membahu. Di tengahnya ada seorang pemain utama yang disebut syeh. Biasanya, mereka diiringi oleh dua orang penabuh rapai yang duduk di belakang atau di sisi kiri/kanan pemain. Para penari hanya menggerakkan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Tari ini mengedepankan keseragaman dan kekompakan gerak.

Sementara tari Saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang ulama yang menyebarkan agama Islam di Aceh, Syeikh Saman. Tak heran jika syair yang digunakan dalam tari ini adalah bahasa Arab dan Aceh. Isi syairnya adalah pesan-pesan dakwah, pantun nasehat, dan percintaan. Jadi melihat persoalan bahasa, yakni bahasa Arab, dan dan sebutan pembawanya adalah Syech serta label sebagai “penyebar Islam”, kuat dugaan bahwa pencipta tari ini adalah ulama asal Arab.

Jadi sangat tepat seperti apa yang dikatakan Sapardi, bahwa lokalitas sendiri sebetulnya tidak murni lokal, tapi terbentuk dari beragam unsur lain, termasuk unsur asing. Nah, rupanya di Jakarta, tari yang disebut sebagai Saman ini berkembang sedemikian rupa dan begitu populer. Tarian ini diajarkan di sekolah-sekolah, bahkan ada festival tari saman tingkat sekolah.

Belum lagi apa yang disebut proses dialektik, yang sangat mungkin Saman ini sendiri “bermigrasi” atau bergeser dari bentuknya yang ada, seberapa pun kecil pergeseran itu. Sebab, seperti kita tahu, proses dialektik selalu terjadi pada produk-produk kesenian dan kebudayaan sebagai sebuah keniscayaan.

Itu dipengaruhi oleh cara pandang, cara ungkap, juga cara memperlakukannya. Tidak hanya terhadap produk “luar” (luar dimaksud bukan asing atau luar negeri, tapi produk budaya di luar lokalitas kreatornya) juga produk lokalnya sendiri. Bahkan, boleh jadi pula anasir-anasir asing ikut memberi nuansa pada tari Saman di Jakarta sebagai pengejawantahan sikap dan persepsi kultural masyarakat urban itu sendiri.

Begitu pula dalam seni rupa. Kita menjadi begitu akrab dengan gaya kubisme, ekspresionisme, realisme, dan sebagainya yang tak lain adalah “produk” luar. Contoh mutakhir adalah ketika pasar seni rupa modern “digempur” oleh gaya-gaya lukisan China dalam beberapa tahun terakhir, sebagian pelukis Indonesia pun dengan serta-merta “tunduk” mengikuti trend itu. Harapannya tentu saja demi merebut kue dari “pasar” seni rupa model China yang lagi boming itu.

Bahkan sejak Raden Saleh pun, tradisi senirupa di Indonesia sudah cukup kuat dipengaruhi oleh tradisi senirupa asing. Raden Saleh sendiri bahkan awalnya dibimbing oleh pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen, yang didatangkan dari Belanda ke Indonesia untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa. Dari situ, ia sudah mulai berbaur dengan wawasan senirupa yang dibawa oleh pelukis itu. Apalagi, kemudian Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis pada 1844 -1851. Tak heran, kalau kemudian karya-karyanya dipengaruhi oleh tokoh romantisme Delacroix.

Ciri romantisme dalam karya-karya Raden Saleh mengungkapan hal yang paradoksal: ia menampilkan keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (relegiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir. Lukisannya menyajikan suasana dramatis yang mencekam, yang direpresentasikan dengan warna kecoklatan dan tanpa warna abu-abu.

Ekspresi semacam ini awalnya dirintis oleh Pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix.Namun rupanya, belakangan, trend perkembangan kesenirupaan kita, terutama dari segi tematik dan model, tidak melulu dipengaruhi oleh “pertukaran” wawasan antara perupa kita dengan perupa luar, tapi lebih dipengaruhi oleh pasar. Mereka mengadopsi tradisi senirupa luar bukan untuk memperkaya pengalaman estetik, tapi lebih pada iming-iming ekonomi. Jadi, bisa dikatakan, trend seni rupa kita adalah mengacu pada pasar, bukan pada pengalaman dan olahan estetik.

Hal serupa terjadi pada budaya pop. Lagu-lagu pop kita adalah produk dari Barat, atau dalam istilah Nyak Ina Raseuki adalah produk mainstream. Kita nyaris tidak menggali karya-karya tradisi kita untuk dijual secara luas. Local culture hampir tidak mendapat tempat dalam arus budaya pop. Sebab memang orientasi budaya pop adalah duit, gaya, dan pemenuhan hasrat snobisme.

Dunia teater juga demikian. Sebagian kelompok teater di Indonesia lebih sibuk mementaskan karya-karya asing ketimbang menggali dari tradisi Indonesia sendiri. Tidak hanya itu, dramaturgi teater kita lebih banyak mengadopsi teater luar. Para pekerja teater kita pun memperluas wawasannya dengan referensi-referensi dan pengetahuan dari luar.

Padahal, kita punya tradisi teater yang cukup kuat. Misalnya, kita punya lenong, teater sampakan, geulanggang labu dari Aceh, dan sebagainya. Ini untuk menyebut beberapa saja model teater lokal. Dari sudut cerita, harusnya kita juga bisa membuat naskah lebih dahsyat dari pada naskah karya Nicolay Gogol, Bertold Brech, Anton P. Chekov, dan sebagainya itu. Sehingga kita tidak “tergantung” pada naskah-naskah mereka, meskipun memang sah-sah saja kita mementaskannya sebagai bagian dari pertukaran wawasan berkesenian.

Tapi kita seperti kehilangan gagasan untuk menjadi diri sendiri, menggali kekayaan budaya kita. Tapi, bisakah karya-karya semacam itu disebut sebagai karya seni Indonesia? Memang serba salah untuk menjawab itu. Dari satu sisi, itu diciptakan oleh seniman Indonesia. Tapi pada sisi lain, unsur-unsur Indonesia tidak cukup kuat di sana. Untuk mudahnya, memang itu bisa sebut sebagai karya seniman Indonesia. Jadi menjadi tidak penting lagi sudut atau wawasan estetik mana yang mempengaruhi sang seniman itu dalam berkarya. Identitas sudah lebur dalam karya itu. ***

* Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.

Seratus tentang jawa, BUNGA RAMPAI SASTRA JAWA MUTAKHIR

BUNGA RAMPAI SASTRA JAWA MUTAKHIR
Oleh: J.J. Ras
Penerbit: PT Grafiti Pers, 1985, 441 halaman
JUDUL asli buku ini adalah Javanese Literature since Independence,
diterbitkan di Negeri Belanda pada 1979.
Peresensi: Sapardi Djoko Damono
http://majalah.tempointeraktif.com/

Bunga rampai ini diawali dengan pendahuluan sepanjang 30 halaman – di dalamnya penyusun mencoba memberi gambaran mengenai peran sastra dalam masyarakat Jawa dan perkembangan sastra Jawa modern. Dan, pada buku ini, pengertian “mutakhir” dibatasi “since Independence”. “Pengantar” dan “Pendahuluan”, yang aslinya disusun dalam bahasa Inggris, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan seperti juga dalam edisi aslinya, karya sastra yang dikumpulkan dibiarkan tetap dalam bahasa Jawa tanpa terjemahan.

Yang mendasari pengumpulan karya sastra modern ini adalah pendapat penyusun bahwa sebuah karya sastra adalah “karya seni dalam kata-kata”. Dari pendapat itu bisa diharapkan pengertian sastra yang longgar. Dan kenyataannya memang bunga rampai ini mencakup “genre-genre modern, seperti novel, cerita pendek, puisi, drama, dan juga genre-genre yang lebih tradisional, baik tertulis maupun lisan, misalnya puisi dalam tembang macapat, dan naskah-naskah wayang kulit, wayang wong, ketoprak, ludruk, dan kentrung.”

Demikianlah, dalam buku ini kita bisa mendapatkan lirik lagu Suwe Ora Jamu, cuplikan novel Hardjowirogo, cerita pendek Arswendo Atmowiloto, sajak Poer Adhie Prawoto, lirik keroncong Lela Ledhung, teks ludruk, teks ketoprak, saduran bebas drama Ibsen Hedda Gabler, dan teks wayang kulit. Bahkan berdampingan dengan karya rekaan itu terdapat juga artikel tentang perkembangan ketoprak di Yogyakarta.

Luasnya isi bunga rampai ini tentunya sesuai dengan pandangan Ras, yang tersurat dalam pengantarnya, yakni bahwa bunga rampai yang benar-benar reprensentatif adalah yang dengan cermat mencerminkan setiap segi kehidupan sastra. Karena beberapa hal, ia mengakui hal itu sukar dilaksanakan. Kesukaran itu, terutama disebabkan longgarnya pengertian sastra yang diyakininya.

Di dalam “Pendahuluan”, Ras berusaha memberi gambaran mengenai tempat dan peran sastra (Jawa) dalam masyarakat Jawa. Sambil menekankan pentingnya sosiologi sastra sebagai bidang penelitian tersendiri, Ras menjelaskan bahwa sastra adalah gejala yang bersisi ganda – di dalamnya konsumen harus juga diberi perhatian yang layak. Ras berpendapat, “Kita tidak akan bisa sepenuhnya memahami seorang pengarang bila tidak mau ikut menjadi anggota sidang pembacanya, artinya bersatu dengan masyarakat yang diarah oleh pengarang itu.”

Dalam konteks produsen-konsumen itulah sastra Jawa modern merupakan obyek telaah yang menarik. Peningkatan jumlah penduduk, dan semakin banyaknya orang Jawa yang melek huruf, merupakan dua faktor yang telah mengakibatkan adanya perubahan masyarakat yang sangat besar. Ras berpendapat, pengaruh Barat telah memunculkan genre-genre baru yang bentuk dan isinya sangat berbeda dari karya-karya sebelumnya, dan hasil pengaruh itu merupakan sastra tulis.

Sementara itu, bentuk-bentuk sastra lisan ternyata masih hidup di tengah masyarakat – bentuk-bentuk itu sejak dahulu menjadi milik kalangan tak-terpelajar. Menurut Ras, akibatnya di Jawa, sastra bagi kebanyakan orang masih merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk didengarkan, dan bukan untuk dibaca. Meluasnya pendidikan bagi rakyat banyak menyebabkan meluasnya pengertian bahwa membaca berkaitan dengan belajar atau mencari informasi dan tidak berkaitan dengan hiburan.

Bacaan, terutama yang prosa, cenderung dianggap berurusan dengan pendidikan karena sastra selalu diartikan karya klasik, yang adiluhung. Ras juga berpendapat bahwa sesudah kemerdekaan, terasa semakin kuat gelombang sastra jenis baru, yakni yang ditulis dalam bahasa Indonesia – di antara penulisnya tentu terdapat orang-orang Jawa. Sastra ini ditujukan bagi suatu elite, jumlahnya relatif kecil, yang terutama tinggal di kota-kota besar. Sedangkan sebagian besar orang Jawa kebetulan tinggal di pedesaan dan bagian-bagian kota yang bukan elite.

Secara tersirat dikatakannya bahwa sastra bagi yang bukan elite itu adalah sastra lisan, seperti yang dikisahkan semalam suntuk di desa-desa dalam bentuk kentrung, ludruk, wayang kulit, dan ketoprak. Sampai kini bentuk-bentuk tersebut belum mendapat perhatian semestinya dari pengamat sastra modern.

Juga, dalam pengantarnya, penyusun melukiskan kebangkitan sastra Jawa modern, dan boleh dikatakan pandangannya sama sekali bertumpu pada Balai Pustaka. Ia menandaskan bahwa kecenderungan didaktif dan moral penerbit pemerintah kolonial telah merusakkan kebanyakan buku, yang diterbitkannya sebelum 1920, yakni tahun terbitnya Serat Riyanta, sebuah novel Jawa karya R. Soelardi. Sejak itu, jelas sekali sumbangan Balai Pustaka dalam perkembangan sastra Jawa modern.

Dalam penjelasannya mengenai sastra Jawa mutakhir, yakni yang melatar-belakangi bunga rampai ini, Ras bersandar pada beberapa sumber terutama penelitian Suripan Sadi Hutomo dan Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada – lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Bunga rampai ini, yang memuat lebih dari seratus karangan pelbagai genre, setidaknya menunjukkan bahwa sastra Jawa modern itu ada, dan masih ditulis dan dilisankan sampai kini. Tapi ada beberapa catatan perlu disampaikan, yang mungkin bisa dipertimbangkan untuk penerbitan selanjutnya. Terutama mengenai ejaan bahasa Jawa.

Dalam sepatah sambutannya, Soedarsono, kepala lembaga Javanologi, menyinggung manfaat bunga rampai ini untuk “menambah bahan bacaan bagi murid-murid sekolah menengah”. Sebaiknya, pada edisi kedua ejaannya sama sekali disesuaikan dengan EYD bahasa Jawa.

Selain itu, ada beberapa hal yang kurang akurat. Penyebutan Penyair Toto Sudarto Bachtiar sebagai pendukung sastra Indonesia-Jawa rasanya kurang tepat karena Toto lebih dekat ke Sunda. Pemuatan cerpen Soebagijo I.N., berjudul Nyuwun Pamit Kyai, pantas dipertimbangkan kembali mengingat pemuatan pertamanya pada Maret 1945, jadi sebelum Independence.

Dalam pengantarnya, penyusun menekankan pentingnya sosiologi sastra, sedangkan pada beberapa teks tidak dicantumkan waktu terbitan pertama secara jelas. Sajak Aku Paragane karya Rachmadi K., misalnya diberi catatan “terbitan pertama antara 1954 dan 1967″. Meskipun jarak waktunya hanya 13 tahun, masa itu mencakup dua suasana sosial politik yang berbeda, yang bisa saja menentukan penafsiran pembaca atas sajak tersebut.

Pilihan dalam bunga rampai ini tentu bergantung pada “selera” penyusun, tapi setidaknya ada satu hal yang boleh ditanyakan. Kalau ketoprak, ludruk, wayang purwa, dan saduran drama Ibsen disertakan, mengapa dagelan Mataram dan Srimulat tidak? Ditinjau dari pelbagai segi, keduanya sangat pantas diikutsertakan.

Ras, yang dalam pendahuluannya menyayangkan kecil-nya perhatian terhadap sastra lisan, ternyata juga menekankan perhatiannya pada sastra tulis. Patut pula dipertanyakan pernyataan tentang sekian puluh juta orang Jawa yang tinggal di pedesaan dan bagian-bagian kota yang nonelite dalam hubungannya dengan sastra Indonesia (dalam arti luas) dan sastra Jawa. Apakah sastra Indonesia belum menjadi milik sebagian mereka itu? Apakah sastra Jawa benar-benar masih bisa dihayatinya?

Kendati demikian, bunga rampai ini merupakan usaha baik untuk menunjang usaha-usaha penelitian mengenai perkembangan dan kedudukan sastra Jawa dalam masyarakat, di samping, sesuai dengan sambutan Soedarsono, “merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi pengajaran bahasa dan sastra Jawa di sekolah-sekolah menengah sampai di perguruan tinggi”.

Hanya saja, pertanyaan bisa timbul: mengapa pendahuluan buku ini di terjemahkan ke bahasa Indonesia, dan bukan bahasa Jawa? Toh pembacanya harus sudah memahami bahasa Jawa dengan baik.

28 September 1985

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae