Heteronormatifitas dan Falosentrisme dalam Novel Ayu Utami
Katrin Bandel
http://www.facebook.com/group.php?gid=38840078585
Beberapa waktu yang lalu saya sempat berdebat dengan seorang kawan mengenai karya Ayu Utami. Setelah membaca beberapa tulisan saya yang mengkritik karya itu dan mempertanyakan politik sastra seputarnya, kawan saya tersebut dapat memahami pandangan saya. Tapi meskipun demikian, baginya novel Ayu Utami tetap memiliki sebuah kelebihan: Menurut pengamatannya, novel Saman merupakan karya pertama yang dengan cukup tepat merepresentasikan gaya hidup kelompok masyarakat tertentu, yaitu gaya hidup yang dipilih sebagian perempuan kelas menengah perkotaan di Indonesia (terutama Jakarta). “Memang seperti itulah gaya hidup dan pergaulan sebagian kerabat dan kenalan saya di Jakarta”, jelas kawan saya itu dengan merujuk pada deskripsi kehidupan keempat tokoh perempuan muda dalam novel Saman dan Larung. “Baru dalam novel Ayu Utami saya menemukan representasi realitas yang saya kenal tersebut.”
Mungkin penilaian kawan saya tersebut ada benarnya. Tidak banyak novel yang menggambarkan kehidupan perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelum terbitnya Saman (1998), apalagi dengan fokus perilaku seks. Menurut pandangan saya, pada dasarnya gaya hidup perempuan kelas menengah bukan tema yang tidak menarik atau tidak relevan sebagai tema utama sebuah novel Indonesia. Namun ada hal yang bagi saya terasa sangat mengganggu pada novel Saman/Larung dan wacana seputarnya. Baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, novel Ayu Utami tersebut umumnya tidak diperkenalkan dan dibicarakan sekadar sebagai representasi gaya hidup sekelompok perempuan perkotaan (yaitu kelompok masyarakat yang relatif kecil). Karya Ayu Utami kerapkali diperkenalkan sebagai karya feminis yang dengan berani dan subversif menyuarakan perlawanan baik terhadap tabu seputar seksualitas maupun terhadap rejim Orde Baru. Disamping itu, bahasa dan gaya tulisnya konon mengandung pembaharuan yang mengagumkan.
Sejauh ini saya belum pernah membaca pembahasan yang dapat menerangkan secara argumentatif mengapa karya Ayu Utami dapat disebut feminis atau pembaharuan bahasa dan gaya tulis apa yang dilakukannya. Tulisan yang saya baca sering begitu saja mengasumsikan kelebihan-kelebihan tersebut. Dalam pembahasan berikut saya ingin menjelaskan mengapa penilaian tersebut, khususnya penilaian bahwa karya Ayu Utami adalah karya feminis, merupakan penilaian yang salah dan menyesatkan. Disamping itu saya ingin menunjukkan bahwa kesan yang menyesatkan tersebut bukanlah hal yang bisa dilepaskan dari tanggung jawab Ayu Utami dan komunitasnya. Baik dalam novelnya, maupun dalam sebuah esei seputar proses kreatifnya, Ayu Utami sendiri dengan cukup jelas menyampaikan harapannya agar novelnya dibaca sebagai karya feminis dan sebagai pembaharuan gaya tulis. Pesan serupa juga disampaikan dalam sebuah tulisan yang mengawali resepsi novel Ayu Utami di luar Indonesia, yaitu tulisan Goenawan Mohamad berjudul “Ayu Utami – The Body Is Heard” dalam buku 2000 Prince Claus Awards.
Saya sudah cukup sering menulis dan berbicara tentang Ayu Utami dan Komunitas Utan Kayu. Masih perlukah pembahasan itu diperpanjang? Bukankah masih banyak karya sastra lain yang lebih menarik dibahas?
Bagi saya, Ayu Utami tetap relevan dibahas bukan karena karyanya luar biasa menarik atau karena tidak ada karya lain yang pantas dibahas, tapi karena sampai saat ini penilaian menyesatkan yang saya sebut di atas tetap memiliki pengaruh yang cukup besar. Tidak jarang saya menjumpai orang yang secara spontan menghubungkan feminisme dengan Ayu Utami, kadang-kadang bahkan sambil menyamakan feminisme dengan pembebasan seksual atau dengan seks bebas. Definisi feminisme yang keliru tersebut cukup merugikan menurut pandangan saya karena menimbulkan kesan seakan-akan “maju” atau “terbelakang”nya seorang perempuan tergantung terutama pada perilaku seksualnya. Disamping itu, di dunia sastra dan kritik sastra (termasuk dunia akademis) pun pandangan tentang kelebihan-kelebihan karya Ayu Utami tetap kuat. Hal itu bukan hanya menguntungkan Ayu Utami dan komunitasnya secara finansial dan dari segi reputasi, tapi juga mempengaruhi penilaian terhadap karya sastra lain.
***
Pada bulan Maret-April 2008 sebuah esei saya yang berjudul “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” diterbitkan di koran Republika. Esei tersebut menimbulkan perdebatan yang cukup sengit di sebuah mailing list, yaitu mailing list jurnalperempuan@yahoogroups.com. Di sini saya tidak bermaksud melanjutkan perdebatan tersebut secara keseluruhan, tapi saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk secara khusus membahas salah satu teks yang memiliki peran penting dalam wacana seputar representasi Ayu Utami dan karyanya di Eropa. Teks tersebut adalah tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard” oleh Goenawan Mohamad yang dimuat di buku 2000 Prince Claus Awards.
Buku yang diterbitkan dalam rangka merayakan dan mendokumentasikan pemberian penghargaan Prince Claus kepada ke-11 pemenang (satu pemenang utama dan 10 pemenang lainnya, di antaranya Ayu Utami) pada tahun 2000 tersebut tidak dijual secara bebas, juga tidak dapat diakses lewat internet. Karena keterbatasan akses itu, dalam esei “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” saya terpaksa hanya menggunakan beberapa bagian dari teks tersebut, yaitu bagian yang sempat dikutip oleh penulis lain. Namun saat ini buku 2000 Prince Claus Awards sudah berhasil saya dapatkan. Maka kesempatan ini akan saya manfaatkan untuk membahas teks tersebut secara lebih menyeluruh.
Tulisan Goenawan tersebut relatif pendek (2 halaman), tidak jauh berbeda daripada tulisan-tulisan lain dalam buku itu (kecuali tulisan tentang pemenang utama). Novel Saman (yaitu satu-satunya karya fiksi Ayu Utami yang sudah terbit pada saat itu) hanya dibahas secara amat singkat di akhir tulisan tersebut. Selain itu Goenawan merujuk pada beberapa esei Ayu Utami, namun tidak menyebut judulnya dan di mana esei tersebut diterbitkan. Oleh karena itu, pembacaan Goenawan terhadap esei tersebut sulit dinilai. Referensi lengkap juga tidak disebut untuk buku bawah tanah tentang Suharto (“a readable booklet on Suharto’s business empire”) yang konon ditulis Ayu Utami. Yang pasti, penyebutan tulisan-tulisan tersebut menimbulkan kesan bahwa Ayu Utami sudah cukup lama aktif di dunia penulisan pada saat dirinya menerima Prince Claus Award. Hal itu berseberangan dengan kenyataan bahwa Ayu Utami tidak dikenal di dunia sastra Indonesia sebelum novel Saman memenangkan sayembara roman DKJ pada tahun 1998.
Fokus utama tulisan Goenawan Mohamad adalah posisi Ayu Utami di masa Orde Baru, khusunya hubungannya dengan kekuasaan. Goenawan menggambarkan Ayu Utami sebagai penulis muda yang aktif dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru. Sebagian besar dari tulisan Goenawan yang pendek itu menggambarkan keterlibatan Ayu Utami di AJI dan ISAI . Sejauh mana deskripsi tersebut tepat dan sesuai dengan kenyataan, sulit saya nilai. Yang pasti, representasi Ayu Utami sebagai disiden politis tersebut kemudian dikutip dan direproduksi oleh beberapa penulis dan institusi di Eropa.
Secara khusus, Goenawan Mohamad kemudian berfokus pada persoalan bahasa dalam kaitannya dengan kekuasaan dan dengan tubuh perempuan. Sayang sekali pembahasan tersebut bersifat sangat abstrak dan umum, sehingga sulit dipahami secara konkret apa yang dimaksudkan oleh Goenawan. Menurut pandangannya, di bawah rejim Orde Baru dimana kata-kata sering “dikorbankan” (“words [...] became victims of sacrifice”), manusia selalu terancam “kehilangan diri” dalam menggunakan bahasa (“The speaker [...] loses his selfhood.”) Ayu Utami, begitu penjelasan Goenawan selanjutnya, menggeluti dunia penulisan agar tidak kehilangan diri (“Not to lose her selfhood, that is what pushes Ayu further into writing.”). Mengenai cara Ayu Utami melakukan hal itu Goenawan Mohamad mengatakan:
“For a writer, however, there was a risk that the first casualty of such a confrontation would be his or her own relation with words. She or he could be drawn into imitating the regime’s practice – i.e. treating language as a mere sequence of messages. Ayu was one of the very few Indonesian writers who resisted the prevailing trend. The literary is political only when it stays ‘literary’, meaning that it is free from what she calls ‘functional language’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)
(Yang dimaksudkan dengan “confrontation” di kalimat pertama adalah konfrontasi dengan rejim Orde Baru.)
Argumentasi tersebut terkesan ganjil bagi saya. Mengapa Goenawan berpendapat bahwa rejim Orde Baru menggunakan bahasa “sekadar sebagai rangkaian pesan”? Bukankah justru sebaliknya, yaitu rejim Orde Baru dengan sengaja dan terencana menggunakan bahasa sebagai alat ideologis, dalam arti bahwa bahasa Orde Baru sering sama sekali tidak menyampaikan sebuah pesan secara apa adanya? Bukankah misalnya kata “pembangunan” sering bermakna penggusuran dan korupsi, “persatuan dan kesatuan” bermakna kekerasan dan pembungkaman, dan sebagainya? Bukankah bahasa Orde Baru penuh eufemisme (misalnya istilah seperti “lembaga pemasyarakatan”) dan kebohongan (misalnya pemalsuan sejarah seputar peristiwa 65)?
Menurut pengamatan saya, tulisan yang menjadi ancaman bagi rejim Orde Baru justru tulisan yang menggambarkan realitas sehari-hari di Indonesia secara apa adanya. Maka tidak mengherankan bahwa karya sastra yang dilarang atau disensor umumnya karya realis yang menyampaikan secara terbuka apa yang umumnya disembunyikan dalam wacana publik. Contohnya adalah karya Pramoedya Ananta Toer dan puisi Wiji Thukul, juga trilogi Ahmad Tohari yang sempat disensor.
Sebelum menyampaikan argumen di atas seputar bahasa yang digunakan Ayu Utami, Goenawan Mohamad menyebut usahanya bersama kawan-kawan (termasuk Ayu Utami) untuk “tidak membiarkan rejim meraih kemenangan total dalam perang informasi” (“not to give the regime the pleasure of getting a total victory in the information war”). Perang informasi itulah yang kemudian, menurut argumentasi Goenawan dalam kutipan di atas, mengandung risiko bagi penulis. Saya dapat menerima argumen Goenawan Mohamad bahwa ideologi yang dominan, dalam hal ini ideologi Orde Baru, sulit ditolak. Ideologi dominan umumnya hadir dalam kegiatan dan bahasa sehari-hari tanpa kita sadari. Mengambil jarak dan membangun sikap kritis terhadap ideologi itu adalah pekerjaan yang cukup berat.
Namum lompatan argumentasi seputar gaya tulis Ayu Utami sulit saya ikuti. Goenawan tidak menjelaskan apa yang dimaksudkannya dengan sastra yang “tetap ‘sastrawi’” dan “bebas dari ‘bahasa fungsional’”. Disamping itu, kalau memang gaya bahasa Ayu Utami memiliki kelebihan tertentu yang membuatnya lebih subversif atau lebih ampuh dalam perlawanan terhadap rejim Orde Baru, seharusnya hal itu dijelaskan, bukan sekadar diasumsikan. Dan saya tidak menemukan penjelasan semacam itu dalam tulisan Goenawan Mohamad tersebut.
Karena itu, menurut pandangan saya, pernyataan bahwa Ayu Utami merupakan “salah satu dari sangat sedikit penulis Indonesia yang melawan kecenderungan umum” adalah pernyataan yang sangat berlebihan. Bukankah banyak penulis, mungkin bahkan sebagian besar sastrawan Indonesia, bersikap kritis pada rejim Orde Baru – terutama sekali pada tahun-tahun terakhir rejim tersebut? Dan bukankah dalam situasi dimana kebebasan berpendapat sangat terbatas, banyak penulis memilih untuk tidak menyampaikan kritik mereka bukan sebagai protes yang lantang dan apa adanya, tapi mencari gaya dan cara penyampaian yang berbeda? Dalam hal apakah gaya tulis Ayu Utami begitu khas sehingga pantas disebut “melawan kecenderungan umum”?
Lebih jauh lagi, Goenawan Mohamad kemudian menghubungkan persoalan perlawanan terhadap rejim Orde Baru dan persoalan bahasa Ayu Utami yang konon menjadi terobosan baru tersebut dengan keperempuanan Ayu Utami:
“For this reason, I believe, she wrote a novel that uses words differently; making a paradigm of, as she puts it in an essay, kudangan. Kudangan is a moment when a Javanese mother, holding and touching her baby joyously and excitedly, sings words that carry nonverbal signification and sensuousness. In Ayu Utami’s highly acclaimed novel, ‘Saman’, one can feel the sensuous materiality of the words in its syntaxes. My impression is that her experience as a woman in today’s Indonesia has urged her to reinstall the presence of the body in language, as if insisting, to paraphrase Hélène Cixous’s slogan of 1974, that her body ‘must be heard’.” (Goenawan Mohamad 2000, hlm. 81)
Feminis Perancis Hélène Cixous terkenal terutama karena tulisan-tulisannya mengenai écriture féminine, “penulisan feminin”. Salah satu esei Cixous seputar tema tersebut yang paling sering disebut adalah “Le rire de la Méduse” (“The Laugh of the Medusa”, 1975 ). Dari esei itulah Goenawan mengutip pandangan Cixous mengenai tubuh dan bahasa.
Écriture feminine merupakan konsep yang cukup rumit dan sulit dipahami. Menurut Cixous dan beberapa pemikir pascastrukturalis lainnya, bahasa yang umumnya kita gunakan adalah bahasa yang maskulin dan logosentris, atau “phallogosentris”. Kebiasaan berbahasa yang dominan membuat kita berbicara/menulis seakan-akan kebenaran bersifat tunggal dan bisa diekspresikan secara linear, berjarak (objektif) dan terstuktur. Écriture féminine adalah usaha untuk mencari dan mengembangkan bahasa yang berbeda, yaitu bahasa yang mampu mengakomodasi dorongan-dorongan bawah sadar, yang tidak mengharuskan rasio menguasai atau menindas tubuh, dan yang lebih menghormati pluralitas dan ambiguitas. Seperti apakah “bahasa feminin” tersebut? Sudah adakah penulis yang berhasil menciptakannya? Sampai saat ini pertanyaan tersebut tetap terbuka.
Maka pernyataan Goenawan Mohamad tentang bahasa Ayu Utami di atas merupakan klaim yang luar biasa! Menurut pandangan Goenawan, Ayu Utami terdorong untuk “menghadirkan kembali tubuh dalam bahasa” (“reinstall the presence of the body in language”), sesuai dengan harapan Cixous agar perempuan membuat “membuat tubuhnya didengar”. Lebih jauh lagi, di mata Goenawan, Ayu Utami bukan hanya berusaha menciptakan bahasa baru yang diimpikan Cixous tersebut tapi dia benar-benar sudah berhasil menciptakannya! Paling tidak itu yang disampaikan oleh judul tulisan Goenawan, yaitu “The Body Is Heard” – tubuh bukan lagi mesti didengar, tapi sudah didengar!
Klaim tersebut sangat berlebihan menurut pandangan saya, terutama karena Goenawan Mohamad sama sekali tidak memberikan argumentasi yang lebih mendetil ketimbang sekadar asumsi-asumsi abstrak dan sulit diikuti dalam alinea yang saya kutip di atas. Apa yang dimaksudkan dengan “sensuous materiality of the words in its syntaxes” yang konon bisa dirasakan dalam novel Saman? Dengan cara apakah Ayu Utami menghadirkan tubuh dalam bahasa?
Seperti apa sebetulnya bahasa yang digunakan Ayu Utami dalam novel Saman? Ayu Utami sering memakai kata atau ekspresi yang kurang lazim digunakan (misalnya “selarit matahari”, “ceruk jalan” , dsb.), atau yang bahkan sama sekali tidak biasa digunakan dalam bahasa Indonesia (misalnya “bujet” ). Dia sering menggunakan perbandingan yang unik atau ganjil, misalnya “pucat bagai cicak” atau “wajahnya padam seperti api sumbu yang ditangkupkan stoples bening” . Disamping itu, dalam novel tersebut kita sering menemukan kalimat-kalimat “berfilsafat” yang terkesan abstrak atau “puitis”, tapi tidak begitu jelas maksudnya (paling tidak bagi saya), misalnya: “Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Ia mengisi sesuatu yang tidak kosong. Tapi yang terjadi di sini adalah asmara, yang mengosongkan sesuatu yang semula ceper. Dengan rindu. Belum tentu nafsu.”
Itukah écriture féminine? Ciri khas apa yang membuat bahasa Ayu Utami tersebut “lebih perempuan” daripada bahasa penulis lain? Dan di manakah perlawanan terhadap rejim Orde Baru yang konon hadir dalam bahasa Ayu Utami?
Tulisan Goenawan tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang saya temukan di situ hanya asumsi dan renungan abstrak yang tidak dipertanggungjawabkan lewat argumentasi dan bukti.
***
Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bicarakan di atas hanya secara sekilas saja menyebut tema seksualitas dalam karya Ayu Utami. Fokusnya adalah representasi Ayu Utami sebagai peserta aktif dalam perjuangan melawan rejim Orde Baru. Mungkin fokus semacam itu dianggapnya lebih cocok dalam memperkenalkan Ayu Utami di luar negeri dan mempertanggungjawabkan pemberian Prince Claus Award.
Namun di Indonesia unsur yang paling banyak disebut seputar kedua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung (2001), adalah “keterbukaan baru” dalam representasi seksualitas. Pada bagian-bagian novel yang menceritakan keempat tokoh perempuan Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, seks menjadi tema utama. Perilaku seksual yang diceritakan hampir sepenuhnya bertentangan dengan norma masyarakat (Indonesia), dalam arti bahwa yang diceritakan bukanlah hubungan heteroseksual yang disahkan oleh surat nikah. Shakuntala mempunyai kecenderungan biseksual, Laila jatuh cinta pada seorang laki-laki yang sudah menikah, namun akhirnya berhubungan seks dengan Shakuntala, Yasmin menghianati suaminya dengan sekaligus “memurtadkan” seorang pastor, lalu mewujudkan fantasi sadomasokisnya dengan bekas pastor tersebut, dan Cok gemar berganti-ganti pasangan. Kiranya tidak salah kalau kita menyimpulkan bahwa dalam kedua novel tersebut seksualitas direpresentasikan dengan cara yang provokatif.
Namun representasi seksualitas tersebut bukan hanya bersifat provokatif, tapi juga dengan sangat jelas dihubungkan dengan persoalan gender dan dengan feminisme. Seperti yang dikemukakan antara lain oleh Kris Budiman dalam bukunya Pelacur dan Pengantin Adalah Saya (2005), perlawanan terhadap ideologi patriarki alias falosentrisme terungkap dengan cukup eksplisit pada beberapa bagian kedua novel Ayu Utami tersebut. Khususnya, stereotipe perempuan sebagai pihak yang pasif di hadapan laki-laki yang aktif digugat antara lain dalam deskripsi hubungan seksual dimana vagina digambarkan sebagai bunga karnivora yang menjebak dan menghisap “binatang yang [...] bodoh, dan tak bertulang belakang” alias penis. Deskripsi itu bersama beberapa bagian novel yang lain menurut Kris Budiman “menunjukkan bahwa modus relasi seksual perempuan vis-a-vis laki-laki sebetulnya bukanlah intrusi atau secara pasif ‘di-coblos’, melainkan secara aktif mengkonsumsi, ‘meng-hisap’” .
Representasi perilaku dan orientasi seksual yang demikian beragam dan gugatan terhadap stereotipe perempuan yang pasif dengan mudah dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa novel Ayu Utami jauh dari nilai heteronormatif dan falosentris, atau bahwa Ayu berhasil menciptakan representasi seksualitas yang berbeda (“lebih perempuan”) daripada yang kita kenal selama ini (di Indonesia). Saman dan Larung hadir sebagai novel yang jelas-jelas minta dibaca sebagai novel feminis.
Feminisme macam apakah itu? Tampak dengan cukup jelas bahwa Ayu Utami terpengaruh oleh teori yang sama atau sejalan dengan yang dikutip Goenawan Mohamad dalam tulisannya yang saya bahas di atas. Ide-ide yang diungkapkan dalam kedua novel itu tampaknya sengaja disesuaikan dengan teori-teori feminisme Perancis (feminisme pascastruktural), paling tidak secara permukaan. Seperti yang sudah saya bicarakan secara sekilas di atas, menurut pemikiran Cixous dan pemikir lain yang “sealiran” (terutama Luce Irigaray), cara berpikir yang dominan dalam masyarakat modern (Barat) bersifat maskulin atau falosentris. Cirinya antara lain kepercayaan pada kebenaran yang tunggal, hierarki yang kaku dan pandangan humanis tentang individu yang bebas dan mandiri. Bagi pemikir tersebut, femininitas menjadi semacam konsep alternatif yang dipertentangkan dengan maskulinitas yang dominan itu - sebuah sikap hidup yang dinilai lebih positif.
Salah satu adegan novel Ayu Utami yang tampaknya terpengaruh oleh konsep-konsep tersebut adalah bagian novel Larung dimana Shakuntala membandingkan sikap hidupnya sendiri dengan sikap hidup abangnya. Penggambaran sifat si abang itu merupakan semacam karikatur maskulinitas dalam pemahamannya yang paling negatif: Si abang selalu berusaha membuktikan diri, “mencoba segala hal hingga maksimal” , khususnya dalam dua wilayah yang “khas laki-laki”, yaitu kemampuan berereksi dan kebolehan membawa sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Mengenai latihan ereksi abangnya, dengan nada sedikit mengejek Shakuntala mengatakan: “ia bisa menyuruh-nyuruh bagian-bagian tubuhnya seperti seorang komandan memerintah batalyon dan kompi” . Perbandingan dengan dunia militer itu pun tentu merupakan unsur konstruksi maskulinitas yang sangat sesuai dengan stereotipe negatif yang ingin dibangkitkan di sini. Disamping itu, si abang memiliki kepercayaan pada akal/rasio yang amat berlebihan, yakin “bahwa akal akan menaklukkan badan” , dan dia bahkan “tak mau percaya bahwa ada otot sadar dan otot tak sadar. Semua otot adalah sadar, ia bersikeras” . Berkat latihannya, dengan kekuatan akal (yaitu dengan mengulang-ulang kata “ngaceng”) dia dapat memerintah alat vitalnya untuk berdiri. Pendek kata, tokoh abang Shakuntala tampil sebagai wujud atau lambang falosentrisme par excellence. Dan penilaian yang ingin disampaikan terhadap sikap hidup semacam ini pun tampak dengan amat jelas. Karena begitu berlebihan, sifatnya terkesan konyol, dan akhirnya bahkan membawa celaka: Si abang meninggal disebabkan sebuah kecelakaan lalulintas ketika dia mencoba merealisasikan ambisinya untuk mengelingi pulau Jawa “dengan kecepatan puncak” di atas sepeda motornya.
Berseberangan dengan sikap abangnya, bagi Shakuntala “keputusan-keputusanku diperintah oleh dorongan tubuh untuk menari. Sebab bagiku menari adalah menjadi. [...] Tubuhku hanya ingin menjadi. Tapi apa salahnya menjadi tidak genap?” . Dalam sebuah esei berjudul “Membantah mantra, membantah subjek” di jurnal Kalam (edisi 12, 1998) Ayu Utami secara langsung menghubungkan sikap tokoh Shakuntala dalam novel Saman dengan sikapnya sendiri sebagai pengarang. Di bagian lain dari esei yang sama Ayu mengatakan: “Mengarang, bagi saya, adalah kesediaan melibatkan, meleburkan diri, dan menerima kemungkinan-kemungkinan yang tak direncanakan” – sangat mirip dengan ungkapan Shakuntala di atas. Dengan pilihannya untuk “menjadi tidak genap” (seperti novel Ayu yang diterbitkan sebagai “fragmen”), biseksualitasnya, dan pemberontakannya terhadap nilai-nilai patriarkal, Shakuntala menjadi semacam tokoh perempuan ideal yang sekaligus melambangkan “filsafat posmo” yang dipilih Ayu sebagai kredo kepengarangannya.
Seperti yang dilakukan Goenawan Mohamad dalam tulisan “Ayu Utami – The Body Is Heard”, Ayu Utami sendiri pun mempersoalkan gaya tulisnya dan menggambarkan gaya tulis tersebut sebagai pilihan yang istimewa dan baru. Dalam eseinya, Ayu menceritakan betapa dia “sengaja” memilih menulis “novel polifonik” dengan “diksi yang berbeda bagi masing-masing Aku”. Namun dia juga mengaku bahwa “novel itu tidak sepenuhnya menurut padaku”, kadang-kadang cerita berkembang di luar rencananya sendiri.
Pengakuan tersebut tentu sama sekali bukan sesuatu yang luar biasa. Bahwa dalam proses menulis ada hal-hal yang dengan sadar diatur dan diciptakan, dan ada pula hal yang timbul begitu saja tanpa sengaja, merupakan pengalaman yang pasti dikenal hampir setiap penulis. Yang terkesan sedikit ganjil bagi saya adalah penilaian yang secara implisit terkandung dalam ungkapan Ayu tentang pengalaman mengarangnya tersebut. Bukan saja dengan sangat percaya diri dia menilai novelnya sendiri sebagai “novel polifonik” (yang berarti memuji diri sendiri sebagai “pembaharu”, pembawa gaya tulis yang masih belum lumrah di Indonesia), juga ceritanya mengenai perkembangan alur novel yang di luar rencana semula terkesan amat tidak kritis. Menurut pengakuannya, pada titik tertentu tokoh-tokoh novelnya seakan-akan mulai memiliki hidup dan kemauannya sendiri, sehingga sebagai pengarang dia “terpaksa” “takluk [p]ada ciptaannya”. Meskipun menggunakan kata “terpaksa”, cukup jelas bahwa dia tidak menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang negatif. Malah timbul kesan bahwa dia sangat membanggakannya. Sepertinya dia merasa tidak perlu bersikap kritis terhadap bagian teks yang muncul “di luar rencana” itu, seakan-akan apa yang mengalir dari tangannya bersumber pada semacam “jenius” di kedalaman dirinya yang tak perlu diragukan. Padahal dalam esei yang sama, bahkan pada alinea yang sama, dia merujuk pada pemikiran Roland Barthes tentang matinya sang Pengarang!
Saya tidak percaya pada “jenius” semacam itu. Namun saya yakin bahwa dalam setiap teks pasti ada hal-hal yang disampaikan secara eksplisit, dan ada yang ikut tersampaikan dengan tersembunyi atau tanpa sengaja. Dan menurut pengalaman saya, hubungan antara kedua jenis “isi teks” itu sering penuh ambivalensi. Misalnya dalam sebuah novel dengan pesan yang jelas, mungkin saja kita menemukan bagian yang secara agak tersembunyi justru berlawanan dengan pesan tersebut. Ambivalensi semacam itu biasanya sangat menarik disoroti dan diteliti, dan itulah yang ingin saya lakukan dalam pembahasan saya terhadap novel Ayu Utami.
Dalam hal representasi seksualitas, novel Ayu Utami memiliki pesan yang cukup eksplisit, yaitu apa yang sudah saya sebut di atas: membicarakan seks dengan keterbukaan yang provokatif, memprotes stereotipe pasif perempuan, menolak falosentrisme pada umumnya, mengakui orientasi seksual yang plural. Namun ambivalensi tak terlalu sulit dicari. Berikut ini saya akan mengemukakan beberapa hal yang justru bertentangan dengan pesan eksplisit tersebut.
Dalam representasi hubungan homoseksual antar-perempuan (lesbianisme), novel Saman/Larung ternyata justru mereproduksi stereotipe yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan, khususnya lesbian. Tokoh Laila digambarkan sebagai seorang perempuan yang sama sekali tidak memiliki kecenderungan menjadi seorang lesbian. Dia heteroseksual 100%. Namun pada saat sedang patah hati karena dikecewakan oleh pacarnya, dia tidak menolak ketika didekati secara seksual oleh Shakuntala. Hubungan seks antara kedua perempuan itu pun terjadilah. Stereotipe yang direproduksi di sini adalah anggapan bahwa perempuan cenderung menjadi lesbian karena dikecewakan oleh laki-laki! Disamping itu, sebuah prasangka yang sering kita dengar dari orang awam tampaknya justru terbukti benar di sini, yaitu kekhawatiran bahwa lesbianisme dapat “menular” sehingga berbahayalah bagi perempuan “normal” (baca: heteroseksual) seperti Laila untuk bergaul dengan orang seperti Shakuntala.
Alasan Shakuntala mengajak Laila bercinta adalah untuk mengajari kawannya itu mengenal tubuhnya sendiri. Menurut penilaian Shakuntala, Laila belum pernah mengalami orgasme, dan keadaan itu tidak boleh dibiarkan berlangsung lebih lama. Argumentasi ini terasa janggal bagi saya: bukankah untuk mengenal tubuhnya sendiri dan mengalami orgasme seorang perempuan tidak mesti berhubungan seks, apalagi melakukan hubungan seks yang tidak sesuai dengan orientasi seksualnya sendiri? Kalau Laila memang begitu lugu atau kaku sehingga dia tidak berinisiatif untuk mengeksplorasi tubuhnya sendiri, bukankah cukup kalau Shakuntala menyarankan padanya untuk mencoba masturbasi, seperti yang misalnya dilakukan tokoh Lara pada Mei dalam situasi yang serupa dalam novel Tujuh Musim Setahun karya Clara Ng ?
Meskipun hampir seluruh kisah keempat sahabat Shakuntala, Laila, Cok dan Yasmin itu berkisar pada pengalaman seksual mereka, masturbasi hampir tidak pernah disebut, paling tidak masturbasi yang dilakukan perempuan. Misalnya pada bagian akhir Saman yang terdiri dari email Yasmin dan Saman, Saman memberitahukan bahwa dia masturbasi, dan Yasmin membalas bahwa dia membayangkan Saman pada saat dia melakukan hubungan seks dengan suaminya – hanya tokoh laki-laki yang melakukan masturbasi!
Absennya masturbasi tersebut dapat dihubungkan dengan sebuah gejala lain yang terdapat pada representasi kenikmatan seksual dan orgasme perempuan dalam novel Saman/Larung. Dalam buku hariannya, tokoh Cok menceritakan pengalamannya ketika sebagai murid SMA dia mulai melakukan hubungan seks. Karena tidak mau kehilangan keperawanannya, pada awalnya hubungan dengan pacarnya berbentuk tindakan sang pacar merangsang alat kelaminnya dengan menggosokkannya pada payudara Cok dan seks anal. “Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? Enak di dia nggak enak di gue”, begitu kesimpulan Cok mengenai pengalaman itu, dan dia pun memutuskan untuk berhenti menjaga keperawanannya . Di sini timbul kesan bahwa dalam hubungan heteroseksual, perempuan hanya dapat merasa nikmat dan mencapai orgasme apabila terjadi koitus (penetrasi penis ke dalam vagina), sedangkan laki-laki mempunyai alternatif lain untuk mencapai orgasme. Hal yang sama terjadi pada Laila saat dia berhubungan seks dengan pacarnya Sihar tanpa terjadinya penetrasi. Di sini pun Sihar mencapai orgasme, sedangkan Laila tidak .
Tentu saja kisah pengalaman seksual semacam itu dapat dikatakan cukup realistis sebab mungkin saja laki-laki, dalam hal ini pacar Cok dan Sihar, hanya mementingkan kenikmatannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan seksual pasangannya. Namun peristiwa hubungan seks yang kurang memuaskan itu sama sekali tidak dihubungkan dengan sebuah kelalaian, dalam arti bahwa seharusnya si gadis pun dirangsang, misalnya dengan jari atau mulut, sehingga tanpa terjadinya koitus pun dia dapat mencapai orgasme. Seperti juga masturbasi, praktek seks di luar koitus menjadi monopoli laki-laki.
Dalam sebuah email pada Saman, Yasmin menulis: “Orgasme dengan penis bukan sesuatu yang mutlak.” . Kalimat ini tampaknya berlawanan dengan apa yang saya kemukakan di atas. Apakah ini merupakan kalimat pembuka untuk bercerita tentang masturbasi atau tentang praktek seksual lain yang memberi kenikmatan pada perempuan tanpa terjadinya koitus, misalnya seks oral? Ternyata tidak. Yasmin melanjutkan emailnya: “Aku selalu orgasme jika membayangkan kamu. Aku orgasme karena keseluruhanmu.” Ternyata sekadar rayuan gombal untuk meredakan rasa rendah diri Saman karena tak mampu membuat Yasmin mencapai orgasme. Paling tidak, kata “orgasme” dalam konteks ini bisa dipahami sekedar sebagai ungkapan metaforis, bukan sebagai kata untuk menyebut pencapaian puncak seksual secara fisik.
Lalu bagaimana dengan hubungan seks yang terjadi antara Shakuntala dengan Laila? Jelaslah di sini tidak terjadi koitus, dan praktek seksual yang saya sebut sebagai monopoli laki-laki dalam hubungan heteroseksual di atas mestilah digunakan oleh kedua perempuan itu. Namun justru adegan itu diceritakan dengan sangat singkat dan kabur. Dengan “kesopanan” yang terasa janggal dalam sebuah karya yang begitu “terbuka” mengenai seks di bagian-bagian lain, narasi diputuskan pada saat Shakuntala membuka baju dan mulai berdekatan dengan Laila . Narasi kemudian malah dilanjutkan dengan cerita metaforis mengenai vagina sebagai bunga karnivora yang sudah saya sebut di atas, yaitu cerita yang justru mempersoalkan hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki! Hanya kalimat terakhir yang, mungkin, dapat dibaca sebagai semacam keterangan mengenai apa yang terjadi antara Shakuntala dan Laila: “Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin” . Apa perlunya “pengaburan” semacam itu? Mengapa misalnya cara abang Shakuntala melatih ereksinya diceritakan dengan begitu gamblang, sedangkan untuk mendeskripsikan rangsangan pada klitoris saja diperlukan metafora aneh yang kurang mengena tentang “angin” yang menggetarkannya?!
Bahwa cerita tentang bunga karnivora ditempatkan pada adegan itu bukanlah sebuah anakronisme. Setelah Shakuntala memutuskan bahwa Laila perlu diberi “pelajaran seks” sebelum menemui Sihar lagi, dia melanjutkan: “Setelah itu kamu [Laila] boleh pergi: Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora …” Artinya, lewat hubungan seks antar-perempuan Shakuntala bermaksud mengajari Laila mengenai hakekat hubungan seks “secara umum”, dan yang dimaksudkan dengan seks “secara umum” itu adalah hubungan heteroseksual. Heteronormatifitas yang tampak sangat jelas dalam adegan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Laila tertarik pada sisi maskulin dalam diri Shakuntala, dan pada saat hubungan seks dimulai, Laila “tak tahu lagi siapa dia. Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar” . Hubungan homoseksual di sini sekadar semacam variasi dari heterosexual matrix.
Seperti yang sudah diutarakan di atas, metafora bunga karnivora dapat dipahami (dan tampaknya dimaksudkan) sebagai gugatan terhadap stereotipe kepasrahan perempuan. Perempuan yang sering diibaratkan bunga yang madunya diisap kumbang, yaitu sebagai pihak yang pasif, di sini disulap menjadi pihak yang aktif sebagai bunga penghisap “cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga di balik kelopak-kelopaknya yang hangat”. Tapi di sisi lain, di sini pun sekali lagi ejakulasi laki-laki menjadi pusat segala kenikmatan: “Otot-ototnya yang kuat [...] akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina.” . Vagina yang haus akan sperma – itukah representasi seks versi perempuan, versi yang tidak falosentris? Dilihat dari segi biologis, representasi tersebut bisa dikatakan tidak sesuai dengan anatomi tubuh dan fungsi seksual perempuan. Dalam merasakan kenikmatan seksual dan mencapai orgasme ketika berhubungan seks, bagi seorang perempuan semprotan sperma ke dalam vagina jelas tidak terlalu berpengaruh, atau mungkin bahkan bisa dikatakan tidak berarti sama sekali. Misalnya kalau si laki-laki belum/tidak berejakulasi atau berejakulasi ke dalam kondom, hal itu tentu tidak menjadi halangan bagi pasangan perempuannya untuk mencapai orgasme.
Yang terasa mengganggu pada gambaran sterotipikal tentang perempuan sebagai bunga dan laki-laki sebagai kumbang antara lain adalah implikasi yang timbul karena gambaran itu diambil dari alam. Bunga sudah secara alami diam di tempat, dan kumbang sudah secara alami berpindah dari satu bunga ke bunga lain. Jadi dalam penggunaan pengupamaan semacam itu terdapat asumsi bahwa sifat pasif pada perempuan dan sifat aktif serta tidak setia pada laki-laki pun merupakan sifat alami (kodrati). Ayu Utami mengganti bunga yang pasif itu dengan jenis bunga yang ganas dan aktif namun cerita mengenai “kehausan” bunga itu akan cairan kembali membawa kita pada persoalan kodrat. Bukankah akhirnya kontraksi otot vagina (yang terjadi ketika perempuan mengalami orgasme) terkesan sebagai semacam “naluri alam” untuk menghisap sperma, dalam arti bahwa orgasme perempuan terjadi bukanlah demi kenikmatan, tapi demi masuknya sperma ke dalam rahim, atau dengan kata lain: demi kelanjutan umat manusia?
Dari sebuah novel yang mengangkat seksualitas perempuan sebagai salah satu tema utamanya saya tentu saja mengharapkan perhatian terhadap beberapa persoalan dasar yang menjadi ciri khas pengalaman seksual perempuan. Salah satunya adalah kenyataan bahwa perempuan dapat melakukan hubungan seks, dan bisa hamil karenanya, tanpa menikmatinya dan tanpa mencapai orgasme. Cerita mengenai vagina sebagai bunga karnivora menghubungkan kenikmatan/orgasme perempuan dengan ejakulasi laki-laki. Tapi bukankah setiap perempuan menyadari bahwa tanpa “diperas” sekalipun, “binatang bodoh tak bertulang belakang” itu tetap akan memuntahkan cairannya! Dengan kata lain, pengibaratan vagina sebagai bunga karnivora hanyalah sekedar sebuah permainan imaji yang tidak sesuai dengan realitas pengalaman perempuan.
Representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung berpusat pada hubungan heteroseksual, khususnya pada koitus. Kecenderungan itu bahkan dapat ditemukan pada representasi tingkah laku seksual yang jauh menyimpang dari norma, yaitu hubungan sadomasokis Yasmin dengan Saman. Dilihat secara sekilas, di sini sekali lagi kita menemukan pemberontakan atau pemutarbalikan terhadap relasi kekuasaan laki-laki-perempuan yang normatif: Yasmin mengambil peran sebagai penyiksa, Saman sebagai korban. Kutipan berikut ini adalah deskripsi Yasmin tentang pengalaman itu dalam sebuah suratnya kepada Saman:
“Kamu biarkan aku mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia menginterogasi mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu, atau membiarkan kamu tak memperolehnya, membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harafiah.” (Larung, hlm. 157)
Meskipun permainan seks yang digambarkan di sini jauh dari imaji normatif tentang persetubuhan, sekali lagi pusatnya adalah koitus. Dan siksaan yang diceritakan dengan paling rinci dan jelas adalah penundaan atau pencegahan orgasme Saman, sehingga timbul kesan bahwa coitus interuptus menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi seorang laki-laki. Penderitaan itu terkesan jauh lebih hebat daripada misalnya penderitaan Laila atau Cok yang terangsang dan birahi, namun tidak mencapai orgasme dalam permainan seks, seperti yang sudah saya sebut di atas. Ternyata dalam hubungan seks yang didominasi oleh seorang perempuan ini pun koitus digambarkan sebagai satu-satunya cara berhubungan seks, dan orgasme laki-laki menjadi pusat perhatian. Apakah Yasmin mencapai orgasme, sama sekali tidak dipersoalkan!
Disamping Shakuntala, Laila, Yasmin dan Cok, masih ada seorang tokoh perempuan lain yang tingkah laku seksualnya dipersoalkan dengan cukup rinci. Tokoh yang saya maksudkan adalah Upi, seorang gadis cacat mental yang diberi perhatian khusus oleh Romo Wis (Saman). Upi menjadi tokoh yang cukup penting bagi representasi seksualitas dalam novel Saman/Larung. Karena cacat mental, Upi digambarkan sebagai semacam wujud seksualitas yang tidak terkekang, yang “alami”. Bahwa birahi Upi dipahami terutama sebagai persoalan alam atau persoalan biologis, terlihat misalnya pada deskripsi Upi sebagai gadis “yang mentalnya tersendat namun fisik dan estrogen dan progesteronnya tumbuh matang” (Saman, hal. 76-77), juga pada keterangan ibu Upi bahwa sang gadis biasanya mengalami semacam masa birahi, yaitu dia menjadi beringas kira-kira seminggu sebelum haid.
Representasi seksualitas yang “alami” tersebut dalam beberapa hal tidak jauh dari seksualitas tokoh perempuan yang lain. Upi mencari kepuasan seksual secara aktif dan agresif seperti Cok dan Shakuntala, dan dia menggabungkan pemuasan birahi dengan tindakan penyiksaan seperti Yasmin, yaitu penyiksaan terhadap binatang. Namun ada hal yang khas pada representasi seksualitas Upi: gadis itulah satu-satunya tokoh perempuan yang diceritakan beronani. Masturbasi dilakukannya dengan cara menggosokkan selangkangannya pada pohon, tiang listrik, pagar atau sudut tembok , dan selain itu dia gemar “memperkosa” binatang. Tidak diterangkan dengan rinci apa yang dimaksudkan dengan “memperkosa” di sini, hanya satu kasus yang digambarkan dengan jelas, yaitu “ia mengempit seekor bebek di pangkal pahanya sambil mencekik leher binatang itu” .
Seksualitas Upi awalnya digambarkan seperti berikut:
“Gadis itu terkenal di kota ini karena satu hal. Dia biasa berkeliaran di jalan-jalan dan menggosok-gosokkan selangkangannya pada benda-benda [...] seperti binatang yang merancap. Tentu saja beberapa laki-laki iseng pernah memanfaatkan tubuhnya. Konon, anak perempuan ini menikmatinya juga. Karena itu, kata orang-orang, dia selalu saja kembali ke kota ini, mencari laki-laki atau tiang listrik” (Saman, hlm. 68).
Di sini timbul kesan bahwa pada awalnya Upi tidak birahi pada laki-laki, tingkah laku seksualnya berfokus pada tubuhnya sendiri. Seks baginya bukan interaksi dengan orang lain, melainkan stimulasi tubuhnya sendiri yang memberi kenikmatan. Segala macam rangsangan psikologis yang biasanya sangat berpengaruh dalam perilaku seksual manusia yang sehat mental, tampaknya tak begitu penting baginya. Seksualitasnya sepenuhnya persoalan tubuh. Dan hubungan seks dengan laki-laki yang kemudian terjadi atas inisiatif para laki-laki yang birahi, dinikmatinya bukan karena sifat hubungan pribadinya dengan laki-laki itu tetapi semata-mata karena rangsangan seksual yang diterimanya.
Tapi interpretasi dan intervensi yang kemudian dilakukan Romo Wis sangat jauh dari gambaran awal tentang seksualitas Upi tersebut. Karena kelakuan Upi kadang-kadang agresif dan membahayakan orang lain, keluarganya menguncinya dalam sebuah bilik. Wis pun tidak mampu mencari solusi lain – pengobatan di rumah sakit terlalu mahal – tapi dia memutuskan untuk meringankan penderitaan Upi dengan membuatkan “penjara” yang lebih luas dan bersih untuknya. Dalam pembuatan tempat tinggal Upi itu, kebutuhan seksual Upi juga diperhatikan. Wis mengenal tingkah laku seksual Upi (kutipan di atas adalah cerita seseorang padanya), dan dia sendiri pun sempat dikagetkan oleh pendekatan seksual Upi: Upi tiba-tiba meraba kemaluannya . Sebagai “solusi”, tempat tinggal Upi yang baru dilengkapinya dengan sebuah patung yang dipresentasikannya pada Upi dengan kata-kata berikut: “Upi! Kenalkan, ini pacarmu! Namanya Totem. Totem Phallus. Kau boleh masturbasi dengan dia. Dia laki-laki yang baik dan setia.” . Kalau pada awalnya masturbasi digambarkan sebagai perilaku seksual Upi yang utama, sedang seks dengan laki-laki hanya kebetulan dikenalnya, maka dalam ucapan Wis ini kita temukan asumsi bahwa seksualitas Upi adalah birahi pada laki-laki.
Masturbasi mengalami degradasi, dalam arti: masturbasi hanya menjadi pengganti seks yang “sungguhan”, yaitu seks dengan seorang laki-laki. Anehnya, meskipun konon dibuat untuk keperluan masturbasi, patung itu tidak dilengkapi alat kelamin! Artinya, yang dibuatkan Wis adalah simbol laki-laki atau simbol phallus, bukan alat yang secara teknis pantas digunakan sebagai alat masturbasi. Atau mungkin Upi diharapkan menggosokkan selangkangannya pada patung yang terbuat dari batang pohon itu seperti sebelumnya dia menggosokkannya pada benda lain – hanya saja batang pohon itu kini telah disulap menjadi “laki-laki”. Mungkinkah batang pohon itu akan mampu memberikan kenikmatan yang lebih pada Upi hanya karena sudah dijadikan simbol “laki-laki baik dan setia”?
Seksualitas Upi yang pada awalnya digambarkan sebagai semacam hasrat primitif untuk memperoleh kenikmatan dengan merangsang alat kelamin, diarahkan dan dipersempit menjadi hasrat heteroseksual. Penggunaan kata “phallus” dan “totem” bisa dipahami sebagai rujukan pada psikoanalisis dan pada totemisme, kepercayaan kuno yang sering diasosiasikan dengan “manusia primitif”. Karena kedua kata itu digunakan sebagai nama patung laki-laki yang diharapkan menjadi objek birahi Upi, pesan yang tersampaikan adalah bahwa hasrat heteroseksual-lah yang paling wajar, alami dan asli. Keterpusatan psikoanalisis pada penis atau phallus yang banyak dikritik feminis di sini diulangi tanpa sifat kritis sama sekali, phallus malah dijadikan totem, pusat pemujaan!
Memang pembuatan patung “Totem Phallus” itu dan pemahaman seksualitas Upi yang terkandung di dalamnya diceritakan sebagai buah pikiran dan perbuatan Romo Wis. Namun karena dalam novel “polifon” ini tidak terdapat suara lain yang menyoroti peristiwa itu dari perspektif lain, itulah satu-satunya versi yang tersampaikan. Bahwa interpretasi Wis terhadap seksualitas Upi merupakan penyempitan, sama sekali tidak dipersoalkan, sehingga saya rasa tidak terlalu mengada-ada kalau kita menganggap penyempitan itu tidak disadari penulis.
***
Kembali pada persoalan ambivalensi yang saya sebut di atas. Saya telah memperlihatkan bahwa dalam novel Saman/Larung disamping pesan-pesan eksplisit dan provokatif yang menentang falosentrisme (menempatkan perempuan sebagai pihak yang aktif, dan mengakui berbagai macam orientasi seksual) pada banyak adegan yang membicarakan seksualitas justru terdapat kecenderungan falosentis dan heteronormatif. Tentu adanya ambivalensi semacam itu tidak bisa begitu saja dijadikan indikator kegagalan sebuah karya. Ambivalensi merupakan hal yang lumrah, dan kita akan sulit mencari karya sastra yang bebas darinya.
Dalam eseinya yang sudah saya kutip di atas, Ayu mengatakan: “Saya berharap kritikus yang mencoba mendekati novel Saman dengan mencari subjek tunggal dan utuh pengarangnya akan kecewa. Sebab bukan itu sikap saya terhadap karya”. Bukankah menolak keutuhan dan ketunggalan subjek berarti membuka diri untuk menerima segala ambivalensi dan pertentangan dalam diri dan dalam karya dengan sadar dan lapang dada? Seorang perempuan bisa saja menggabungkan feminisme dan falosentrisme dalam dirinya, misalnya dengan memperjuangkan kebebasan perempuan, tapi sekaligus justru merindukan laki-laki yang dominan. Ambivalensi semacam itu adalah bagian dari kehidupan, konsekuensi dari kenyataan bahwa hidup manusia tidak sepenuhnya dapat dikuasai oleh akal seperti abang Shakuntala memerintah alat kelaminnya. Sebagai kritikus saya kecewa pada karya Ayu Utami justru karena ambivalensi yang seharusnya dipeluk dengan sadar dalam sebuah karya yang konon tanpa subjek tunggal dan utuh itu, ternyata kurang diolah.
Saya tidak menemukan indikasi bahwa ambivalensi dalam representasi seksualitas di novel Saman/Larung merupakan ambivalensi yang disadari. Karena itu, mungkin lebih tepat kalau pesan eksplisit mengenai seksualitas yang terdapat dalam novel itu kita sebut sebagai sebuah pretensi. Kritik terhadap falosentrisme hanya terjadi di permukaan, atau dengan kata lain, kritik itu dengan sengaja dimasukkan dalam beberapa adegan. Di level yang lain, yang justru jauh lebih penting secara tekstual, novel Ayu justru sangat falosentris.
***
Apakah keluhan saya seputar representasi seksualitas dalam novel Ayu Utami tidak terlalu mengada-ada? Bukankah seperti yang saya katakan di atas, gaya hidup perempuan kelas menengah perkotaan Indonesia sebelumnya belum banyak diangkat sebagai tema novel, khususnya dengan fokus terhadap kehidupan seksual? Bukankah usaha untuk menggali tema tersebut dan untuk meninggalkan tabu seputar seksualitas, pantas dihargai?
Saya rasa kritik saya tidak mengada-ada. Bukan sayalah yang menciptakan ekspektasi yang berlebihan terhadap karya Ayu Utami, yaitu bahwa karya tersebut merupakan karya feminis yang subversif dan penuh terobosan baru. Ekspektasi tersebut dengan sengaja ditimbulkan oleh novel itu sendiri dan oleh tulisan-tulisan di seputarnya, termasuk tulisan Goenawan Mohamad yang saya bahas di awal esei ini. Maka sudah sewajarnya kalau tidak terpenuhinya ekspektasi tersebut saya keluhkan dan pemujaan yang berlebihan saya kritik.***
Daftar Pustaka
Ayu Utami, Saman, Jakarta 1998.
—, “Membantah mantra, membantah subjek” Kalam edisi 12, 1998.
—, Larung, Jakarta 2001.
Bandel, Katrin, “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa”, Republika 23 Maret, 30 Maret dan 6 April 2008.
Clara Ng, Tujuh Musim Setahun, Jakarta 2002
Kris Budiman, Pelacur dan Pengantin Adalah Saya, Yogyakarta 2005.
Goenawan Mohamad, “Ayu Utami – The Body Is Heard”, 2000 Prince Claus Awards, The Hague 2000, hlm. 78-81.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar