Selasa, 19 Oktober 2010

Ruang Anak-anak Peradaban Masa Depan

I Made Prabaswara
http://www.balipost.co.id/

DI MANAKAH ruang bagi anak-anak dalam bangun peradaban yang dominan ditentukan manusia dewasa usia? Pertanyaan begini dipastikan tiada seberapa mengusik kalangan politisi negara maupun daerah yang kini berasyik-masyuk riuh-rendah dengan suksesi gubernur hingga pemilu, lanjut mengincar-incar kursi puncak kepresidenan buat peneguhan kuasa. Tak perlu heran bila Hari Anak Nasional 23 Juli nanti bakal lewat sepi-sepi saja, kalah gaung dengung tinimbang perdebatan egosentris kader–nonkader balon pemimpin tanpa standar kriteria jelas, kecuali kepentingan pribadi dan kelompok.

Tarik-ulur kepentingan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru, ribut-ribut protes para orangtua siswa baru terkait hasil penyaringan masuk sekolah, kegiatan orientasi di sekolah-sekolah bagi siswa baru –sebentar lagi menyusul mahasiswa baru di perguruan-perguruan tinggi berbiaya mahal– sama sekali tidak dipahami sebagai masalah mendasar, karena pendidikan anak-anak tidak kunjung dipahami sebagai penentu keunggulan peradaban masa depan negeri. Di negeri “bertradisi” suksesi kepemimpinan berdendam kesumat berdarah-darah ini, pendidikan anak-anak negeri yang seharus-harusnya diletakkan di hulu justru dihanyut-hanyutkan menjadi nomor ke-sekian di hilir. Maka, di manakah ruang bagi anak-anak dalam bangun peradaban masa depan negeri yang belum usai dirajam konflik demi konflik ini? Meskipun tiada mewariskan lembaga sekolahan formal berijasah, namun tradisi Bali lampau memberi gambaran, konsep, dan pemahaman amat benderang: betapa mutlak posisi anak-anak dalam penentuan peradaban dan alam semesta masa depan. Justru karena sebagai penentu masa depan itu, maka anak-anak mesti direbut diselamatkan nun jauh ke hulu: bukan cuma sebatas masa batita (bawah tiga tahun) balita (bawah lima tahun) prasekolah, melainkan jauh ke sebelum masa lahir, terutama untuk pengaliran genetika perwatakan nan kuat dan berkecerdasan. Dalam visi ini menjadi jelas terang: hanya generasi manusia berperwatakan kukuh dan berkecerdasan andal menjaga merawat kelangsungan tatanan hukum alam semesta.

Tugas membentuk watak kuat dan kecerdasan tangguh anak ber-putra sasana, karena itu, bukan semata tugas kewajiban hidup para orangtua, tapi lebih daripada itu adalah tugas kesemestaan. Itu berarti, dapat menyumbangkan anak ber-putra sasana menjadi kebahagiaan utama hidup para orangtua, karena dengan begitu sejatinya si orangtua telah turut menyerahkan “saham” kemuliaan bagi sang Hidup dan alam semestaraya ini. Sebaliknya, andai sang orangtua lalai membentuk anak ber-putra sasana, maka itulah kegagalan dan kesalahan terbesarnya terhadap sang Hidup sekaligus alam semestaraya, karena anak lemah watak dan tiada berkecerdasan ini sangat potensial akan berlaku destruktif bagi sang Hidup maupun alam semestaraya seisinya.

Pada simpul itulah renungan filsof Kuan Tsu menemu relevansi dan urgensinya manakala dia mengingatkan, “Bila Anda hanya memprihatinkan keadaan setahun ke depan, cukuplah Anda taburkan benih. Jika Anda memprihatinkan keadaan sepuluh tahun mendatang, tanamlah sebatang pohon. Namun jika Anda memprihatinkan keadaan seratus tahun mendatang, berikanlah pendidikan yang benar kepada rakyat.”

Seratus tahun ke depan itulah panjang usia yang senantiasa dimohonkan para maharsi agung berpencerahan berkesadaran menyemesta dalam tradisi Veda, yang di Bali dibahasakan sebagai momentum siklus seabad: Ekadasa Rudra. Ini momentum tepat dan berkewajiban untuk dilakukan penataan ulang tatanan sosial, budaya, ekonomi, ekologi, hingga tradisi berkeagamaan oleh anak-anak generasi zaman masa depan. Anak-anak, karena itu, adalah energi peradaban masa depan yang mesti disiapkan dengan matang justru agar si anak zaman ini dapat mengendalikan perubahan dan menentukan peradaban masa depan dengan benar gemilang, bukan justru malah dikoyak-moyakkan perubahan liar tiada terkendali karena tidak berakar kukuh.

Untuk pematangan dan pengukuhan akar itulah maka anak-anak direbut sejak dalam kandungan, prenatal, bukan cuma prasekolah, dengan pengkalbuan sastra-gending sebagai representasi nada-nada semestaraya. Tahapan proses pematangan dan kematangan itu dimulai nun di hulu sejak pemilihan pasangan calon ayah-ibu, lalu hari-hari perintiman suami-istri, magedong-gedongan setelah janin berindera lengkap sempurna dalam guagarba sang ibu, penciptaan suasana lingkungan nan tenang, tiada riuh berisik. Lalu berlanjut sampai bayi lahir dengan tradisi dapetan penyambutan penuh syukur dengan rangkaian penanda momentum-momentum peralihan usia perkembangan syaraf-syaraf motorik (dari usia tanggal tali pusar, 42 hari abulan pitung dina, 105 hari telu bulan, 210 satu oton/satu semester, 630 hari telung oton/tiga semester), kognitif-afektif-psikis maupun ragawi (menek kelih, menek bajang).

Pada tahapan bayi hingga kanak-kanak usia 10 tahun itulah menjadi titik paling peka penempaan watak dan kecerdasan si anak zaman masa depan, sehingga pengkalbuan kepekaan rasa hati lewat gending rare menjadi penting —belakangan ilmiah medis Barat membuktikan urgensi dan relevansi efek musik Mozart pada pematangan watak dan kecerdasan anak. Dalan visi dan persepsi domestik Bali, gending di situ justru dipersamakan dengan sekar, bunga, dalam metafora maknawi kesegaran, keharuman, kemekaran, dan semacamnya, sebagaimana dapat disusuri dari persamaan istilah gending rare dengan sekar rare.

Dalam metafora sekar itu, rare (kanak-kanak) jadinya, adalah kemekaran harapan masa depan, seperti juga Kahlil Gibran memetaforakan sang anak layaknya anak panah yang melesat cemerlang ke masa depan, menjadi milik sang Hidup, bukan milikmu orangtua. Dalam konvensi keberaksaraan dan kebersastraan Bali lampau, sekar, puspa, bunga, menjadi simbolik kesegaran, keharuman, kesejatian, ketulusan, kemuliaan, bahkan juga kesuci-murnian sekaligus denyut tiada henti Sang Mahahidup Nan Tak Pernah Layu (puspa tan alum). Dalam imaji itulah rare diberikan pemahaman pemaknaan yang sublim, dari fisikal-ragawi sampai abstraksi kesemestaan, sebagaimana dimaksudkan kanda pat rare yang bertransformasi tiada henti dari fisik-ragawi catursanak berwadag air ketuban (yeh nyom), ari-ari, talenta, dan darah berlanjut ke bajang papah, bajang colong, bajang regek, dan bajang pusuh, hingga abstraksi-konsepsional energi meruang-mewaktu anta, preta, kala, dan dengen, dan seterusnya.

Proses pertumbuhan pematangan anak, karena itu, bukanlah tugas parsial, sebagian-sebagian, sepotong-sepotong, melainkan total-utuh sebagai holistic human building (HHB) ragawi-mental-psikis-rohani terus-menerus, dengan tetap mengapresiasi keunikan masing-masing anak. Dalam formula kakawin Nitisastra: balita hingga 10 tahun itu layaknya dewa-raja, sehingga patut dituruti maunya dengan sabar, telaten, mengikuti proses menjadikan mereka sesuai potensi uniknya. Ini adalah masa anak menikmati dunia bermain dengan sungguh-sungguh, pemekaran kreativitas, sehingga anak sepatutnya dibiarkan menjelajah alternatif ke ranah-ranah ruang baru, layaknya Marcopollo berlayar menemu daratan benua baru.

Usia 10 tahun, menjelang remaja, barulah anak mulai diajari aksara, dalam arti menimbang-nimbang pengertian baik-buruk, benar-salah, sehingga sang anak mesti dikendalikan dengan benar. Usia 16 tahun saatnya sang anak dijadikan sahabat karib, dididik dengan keteladanan, nayeng gita, karena saat itu sang anak sudah mulai bisa bersikap. Tahapan pola ajar dan pola asuh versi Nitisastra ini jelas mengedepankan keholistikan sekaligus keunikan sang anak lewat pertimbangan matang sisi organ ragawi, kognisi, afeksi, psikologi, kapasitas otak dan hati.

Tapi, ketika kini peran orangtua sebagai guru pertama kerap digantikan, dicuri, atau malah sengaja direlakan diserahkan dengan mudah pada media-media massal berkeseragaman, seperti televisi, selain guru-guru taman bermain, sekolah taman kanak-kanak, kerap dengan pengingkaran terhadap naluri alamiah bermain sang anak, pematangan itu tidak terelakkan justru dipercepat, tanpa pematangan holistik-utuh sang catursanak. Di Bali, itu menjadi kian gamang rapuh manakala proses yang semula bertahap dalam lingkup keluarga dari tanah natah umah, ke sosialisasi meluas natar dan wantilan pura serta kalangan bale banjar secara tiba-tiba dipotong tajam membabi-buta: tanah umah tanpa natah, natar dan wantilan pura kian sibuk dijadikan arena tajen, dan kalangan bale banjar yang berkeramik mengkilap pun disewakan sebagai tempat parkir kendaraan, pusat perdagangan, dan semacamnya, bukan buat penempaan pengakaran dan pemekaran kecerdasan budi anak. Padahal, media-media dan ruang-ruang sosialisasi dan pemekaran pencerdasan baru budi anak belum lagi diciptakan holistik-utuh.

Di mana ruang-ruang anak Bali baru berkesempatan mengalih generasi dalam peradaban masa depan, manakala siklus ngenteg linggih sebagai simbolik alih generasi saban 30 tahun itu pun tiada lagi beraturan? Peluang otonomi daerah yang memberi ruang seluas-luasnya bagi muatan lokal dalam kurikulum pendidikan di sekolah, apa mau dikata, kini baru “sukses” meriuhkan protes orangtua siswa anak sekolah, bukan menuai Marcopollo-Marcopollo yang berani menjelajah ke ranah-ranah ruang baru, seperti diteladankan putra-putri tradisi utama generasi Lempad, Tjokot, Gede Manik, Ketut Maria, Pan Wandres, Kyang Gliduh. Di tengah perseteruan internal Bali akut sejak abad ke-17 dan kian kuatnya arus penyeragaman Bali di segala sisi dan dimensi seabad terakhir, betapa penting arti ruang jelajah alternatif kreatif itu, sesungguhnya.

Ruang-ruang alternatif itulah sangat dipelitkan di Bali kini, dengan mantra melenakan “ajeg Bali”. Padahal, realitas senyata-nyatanya yang terjadi justru adalah ajeng Bali, karena kebanyakan orang tidak jejeg, mengabaikan anak-anak sebagai pemilik sah peradaban masa depan.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae