I Made Prabaswara
http://www.balipost.co.id/
DI MANAKAH ruang bagi anak-anak dalam bangun peradaban yang dominan ditentukan manusia dewasa usia? Pertanyaan begini dipastikan tiada seberapa mengusik kalangan politisi negara maupun daerah yang kini berasyik-masyuk riuh-rendah dengan suksesi gubernur hingga pemilu, lanjut mengincar-incar kursi puncak kepresidenan buat peneguhan kuasa. Tak perlu heran bila Hari Anak Nasional 23 Juli nanti bakal lewat sepi-sepi saja, kalah gaung dengung tinimbang perdebatan egosentris kader–nonkader balon pemimpin tanpa standar kriteria jelas, kecuali kepentingan pribadi dan kelompok.
Tarik-ulur kepentingan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang baru, ribut-ribut protes para orangtua siswa baru terkait hasil penyaringan masuk sekolah, kegiatan orientasi di sekolah-sekolah bagi siswa baru –sebentar lagi menyusul mahasiswa baru di perguruan-perguruan tinggi berbiaya mahal– sama sekali tidak dipahami sebagai masalah mendasar, karena pendidikan anak-anak tidak kunjung dipahami sebagai penentu keunggulan peradaban masa depan negeri. Di negeri “bertradisi” suksesi kepemimpinan berdendam kesumat berdarah-darah ini, pendidikan anak-anak negeri yang seharus-harusnya diletakkan di hulu justru dihanyut-hanyutkan menjadi nomor ke-sekian di hilir. Maka, di manakah ruang bagi anak-anak dalam bangun peradaban masa depan negeri yang belum usai dirajam konflik demi konflik ini? Meskipun tiada mewariskan lembaga sekolahan formal berijasah, namun tradisi Bali lampau memberi gambaran, konsep, dan pemahaman amat benderang: betapa mutlak posisi anak-anak dalam penentuan peradaban dan alam semesta masa depan. Justru karena sebagai penentu masa depan itu, maka anak-anak mesti direbut diselamatkan nun jauh ke hulu: bukan cuma sebatas masa batita (bawah tiga tahun) balita (bawah lima tahun) prasekolah, melainkan jauh ke sebelum masa lahir, terutama untuk pengaliran genetika perwatakan nan kuat dan berkecerdasan. Dalam visi ini menjadi jelas terang: hanya generasi manusia berperwatakan kukuh dan berkecerdasan andal menjaga merawat kelangsungan tatanan hukum alam semesta.
Tugas membentuk watak kuat dan kecerdasan tangguh anak ber-putra sasana, karena itu, bukan semata tugas kewajiban hidup para orangtua, tapi lebih daripada itu adalah tugas kesemestaan. Itu berarti, dapat menyumbangkan anak ber-putra sasana menjadi kebahagiaan utama hidup para orangtua, karena dengan begitu sejatinya si orangtua telah turut menyerahkan “saham” kemuliaan bagi sang Hidup dan alam semestaraya ini. Sebaliknya, andai sang orangtua lalai membentuk anak ber-putra sasana, maka itulah kegagalan dan kesalahan terbesarnya terhadap sang Hidup sekaligus alam semestaraya, karena anak lemah watak dan tiada berkecerdasan ini sangat potensial akan berlaku destruktif bagi sang Hidup maupun alam semestaraya seisinya.
Pada simpul itulah renungan filsof Kuan Tsu menemu relevansi dan urgensinya manakala dia mengingatkan, “Bila Anda hanya memprihatinkan keadaan setahun ke depan, cukuplah Anda taburkan benih. Jika Anda memprihatinkan keadaan sepuluh tahun mendatang, tanamlah sebatang pohon. Namun jika Anda memprihatinkan keadaan seratus tahun mendatang, berikanlah pendidikan yang benar kepada rakyat.”
Seratus tahun ke depan itulah panjang usia yang senantiasa dimohonkan para maharsi agung berpencerahan berkesadaran menyemesta dalam tradisi Veda, yang di Bali dibahasakan sebagai momentum siklus seabad: Ekadasa Rudra. Ini momentum tepat dan berkewajiban untuk dilakukan penataan ulang tatanan sosial, budaya, ekonomi, ekologi, hingga tradisi berkeagamaan oleh anak-anak generasi zaman masa depan. Anak-anak, karena itu, adalah energi peradaban masa depan yang mesti disiapkan dengan matang justru agar si anak zaman ini dapat mengendalikan perubahan dan menentukan peradaban masa depan dengan benar gemilang, bukan justru malah dikoyak-moyakkan perubahan liar tiada terkendali karena tidak berakar kukuh.
Untuk pematangan dan pengukuhan akar itulah maka anak-anak direbut sejak dalam kandungan, prenatal, bukan cuma prasekolah, dengan pengkalbuan sastra-gending sebagai representasi nada-nada semestaraya. Tahapan proses pematangan dan kematangan itu dimulai nun di hulu sejak pemilihan pasangan calon ayah-ibu, lalu hari-hari perintiman suami-istri, magedong-gedongan setelah janin berindera lengkap sempurna dalam guagarba sang ibu, penciptaan suasana lingkungan nan tenang, tiada riuh berisik. Lalu berlanjut sampai bayi lahir dengan tradisi dapetan penyambutan penuh syukur dengan rangkaian penanda momentum-momentum peralihan usia perkembangan syaraf-syaraf motorik (dari usia tanggal tali pusar, 42 hari abulan pitung dina, 105 hari telu bulan, 210 satu oton/satu semester, 630 hari telung oton/tiga semester), kognitif-afektif-psikis maupun ragawi (menek kelih, menek bajang).
Pada tahapan bayi hingga kanak-kanak usia 10 tahun itulah menjadi titik paling peka penempaan watak dan kecerdasan si anak zaman masa depan, sehingga pengkalbuan kepekaan rasa hati lewat gending rare menjadi penting —belakangan ilmiah medis Barat membuktikan urgensi dan relevansi efek musik Mozart pada pematangan watak dan kecerdasan anak. Dalan visi dan persepsi domestik Bali, gending di situ justru dipersamakan dengan sekar, bunga, dalam metafora maknawi kesegaran, keharuman, kemekaran, dan semacamnya, sebagaimana dapat disusuri dari persamaan istilah gending rare dengan sekar rare.
Dalam metafora sekar itu, rare (kanak-kanak) jadinya, adalah kemekaran harapan masa depan, seperti juga Kahlil Gibran memetaforakan sang anak layaknya anak panah yang melesat cemerlang ke masa depan, menjadi milik sang Hidup, bukan milikmu orangtua. Dalam konvensi keberaksaraan dan kebersastraan Bali lampau, sekar, puspa, bunga, menjadi simbolik kesegaran, keharuman, kesejatian, ketulusan, kemuliaan, bahkan juga kesuci-murnian sekaligus denyut tiada henti Sang Mahahidup Nan Tak Pernah Layu (puspa tan alum). Dalam imaji itulah rare diberikan pemahaman pemaknaan yang sublim, dari fisikal-ragawi sampai abstraksi kesemestaan, sebagaimana dimaksudkan kanda pat rare yang bertransformasi tiada henti dari fisik-ragawi catursanak berwadag air ketuban (yeh nyom), ari-ari, talenta, dan darah berlanjut ke bajang papah, bajang colong, bajang regek, dan bajang pusuh, hingga abstraksi-konsepsional energi meruang-mewaktu anta, preta, kala, dan dengen, dan seterusnya.
Proses pertumbuhan pematangan anak, karena itu, bukanlah tugas parsial, sebagian-sebagian, sepotong-sepotong, melainkan total-utuh sebagai holistic human building (HHB) ragawi-mental-psikis-rohani terus-menerus, dengan tetap mengapresiasi keunikan masing-masing anak. Dalam formula kakawin Nitisastra: balita hingga 10 tahun itu layaknya dewa-raja, sehingga patut dituruti maunya dengan sabar, telaten, mengikuti proses menjadikan mereka sesuai potensi uniknya. Ini adalah masa anak menikmati dunia bermain dengan sungguh-sungguh, pemekaran kreativitas, sehingga anak sepatutnya dibiarkan menjelajah alternatif ke ranah-ranah ruang baru, layaknya Marcopollo berlayar menemu daratan benua baru.
Usia 10 tahun, menjelang remaja, barulah anak mulai diajari aksara, dalam arti menimbang-nimbang pengertian baik-buruk, benar-salah, sehingga sang anak mesti dikendalikan dengan benar. Usia 16 tahun saatnya sang anak dijadikan sahabat karib, dididik dengan keteladanan, nayeng gita, karena saat itu sang anak sudah mulai bisa bersikap. Tahapan pola ajar dan pola asuh versi Nitisastra ini jelas mengedepankan keholistikan sekaligus keunikan sang anak lewat pertimbangan matang sisi organ ragawi, kognisi, afeksi, psikologi, kapasitas otak dan hati.
Tapi, ketika kini peran orangtua sebagai guru pertama kerap digantikan, dicuri, atau malah sengaja direlakan diserahkan dengan mudah pada media-media massal berkeseragaman, seperti televisi, selain guru-guru taman bermain, sekolah taman kanak-kanak, kerap dengan pengingkaran terhadap naluri alamiah bermain sang anak, pematangan itu tidak terelakkan justru dipercepat, tanpa pematangan holistik-utuh sang catursanak. Di Bali, itu menjadi kian gamang rapuh manakala proses yang semula bertahap dalam lingkup keluarga dari tanah natah umah, ke sosialisasi meluas natar dan wantilan pura serta kalangan bale banjar secara tiba-tiba dipotong tajam membabi-buta: tanah umah tanpa natah, natar dan wantilan pura kian sibuk dijadikan arena tajen, dan kalangan bale banjar yang berkeramik mengkilap pun disewakan sebagai tempat parkir kendaraan, pusat perdagangan, dan semacamnya, bukan buat penempaan pengakaran dan pemekaran kecerdasan budi anak. Padahal, media-media dan ruang-ruang sosialisasi dan pemekaran pencerdasan baru budi anak belum lagi diciptakan holistik-utuh.
Di mana ruang-ruang anak Bali baru berkesempatan mengalih generasi dalam peradaban masa depan, manakala siklus ngenteg linggih sebagai simbolik alih generasi saban 30 tahun itu pun tiada lagi beraturan? Peluang otonomi daerah yang memberi ruang seluas-luasnya bagi muatan lokal dalam kurikulum pendidikan di sekolah, apa mau dikata, kini baru “sukses” meriuhkan protes orangtua siswa anak sekolah, bukan menuai Marcopollo-Marcopollo yang berani menjelajah ke ranah-ranah ruang baru, seperti diteladankan putra-putri tradisi utama generasi Lempad, Tjokot, Gede Manik, Ketut Maria, Pan Wandres, Kyang Gliduh. Di tengah perseteruan internal Bali akut sejak abad ke-17 dan kian kuatnya arus penyeragaman Bali di segala sisi dan dimensi seabad terakhir, betapa penting arti ruang jelajah alternatif kreatif itu, sesungguhnya.
Ruang-ruang alternatif itulah sangat dipelitkan di Bali kini, dengan mantra melenakan “ajeg Bali”. Padahal, realitas senyata-nyatanya yang terjadi justru adalah ajeng Bali, karena kebanyakan orang tidak jejeg, mengabaikan anak-anak sebagai pemilik sah peradaban masa depan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar