SYEKH SITI JENAR
Pergumulan Islam-Jawa
Penulis : Abdul Munir Mulkan
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Peresensi: Dr. Simuh *
http://majalah.tempointeraktif.com/
Syekh Siti Jenar karya Abdul Munir Mulkan menarik dicermati karena beberapa hal. Buku setebal 353 halaman yang dilengkapi dengan salinan teks asli dan terjemahan bahasa Indonesia ini ditulis oleh Abdul Munir Mulkan, yang dikenal sebagai dosen IAIN Sunan Kalijaga yang bukan hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga menggeluti ilmu-ilmu sosial. Karena itu, dalam karyanya ini, Munir Mulkan mendekati karya sastra Jawa dari sudut ilmu sosial-politik. Atas dasar alur cerita dalam karya sastra itu, Munir Mulkan dapat menyingkap adanya oposisi dari kelompok Syekh Siti Jenar beserta murid-muridnya terhadap penguasa kerajaan dan Kesultanan Demak yang didukung oleh Wali Sanga.
Dalam buku ini, Syekh Siti Jenar didudukkan sebagai pengikut Kerajaan Majapahit yang mbalela. Dari alur cerita, Munir Mulkan dapat membuka satu aspek karya-karya satra. Namun, perlu diingat bahwa karya sastra bukan ilmu sejarah. Karena itu, perlu dicermati pula aspek-aspek lain yang cukup kompleks dalam kritik sastra, misalnya aspek kebahasaan.
Pada garis besarnya, bahasa Jawa berkembang dari bahasa Jawa kuna, dan bahasa itu kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman perkembangan Kerajaan Majapahit hingga Kesultanan Demak, pada abad ke-16, bahasa Jawa kuna kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman Mataram, bahasa itu kemudian berkembang menjadi bahasa Jawa baru, yang amat halus dan bersifat feodal dengan stratifikasi bahasa ngoko, kromo, dan kromo inggil. Bahasa Jawa menjadi semakin feodal terutama sesudah kekuasaan sosial-politik kesultanan-kesultanan Mataram dirampas penjajah Belanda.
Sebagai kompensasinya, para priayi Jawa hanya bisa menekuni untuk mengembangkan bahasa dan sastra budaya Jawa baru, yang makin diperhalus dan dicanggihkan dengan menyadap dan menjawakan unsur-unsur agama Islam, terutama filsafat moral dan kebatinan dari ajaran sufismenya. Sastra budaya Jawa baru demikian berkembangnya dan mencapai puncak kehalusan dan kecanggihannya pada zaman Surakarta. Ini merupakan awal krida sastrawan-sastrawan dan pujangga-pujangga istana Surakarta dan Yogyakarta. Pencapaian sastra budaya Jawa untuk mencapai puncak kehalusan ini kemudian diikuti oleh zaman pengaruh budaya Barat, suatu budaya rasional ilmiah yang berwatak dinamis, dan bukan lagi budaya mistik dan mitologi. Makin membanjirnya pengaruh Barat terutama ditandai sesudah peristiwa politik etis. Inilah saat penjajah Belanda mulai membuka sekolah model Barat, yang terkenal sebagai sekolah umum, yakni yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan bukan sekolah agama. Perkembangan seterusnya adalah sesudah peristiwa Sumpah Pemuda, yang mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, menyebabkan perkembangan sastra budaya Jawa mengalami kiamat dan kemunduran yang tragis.
Ditinjau dari segi bahasa, cerita tentang Siti Jenar dan dongeng-dongeng tentang Wali Sanga atau wali tanah Jawa bisa dikategorikan sebagai cerita berbahasa Jawa baru yang halus. Para peninjau sastra Jawa umumnya berkesimpulan, munculnya cerita tentang Wali Sanga dalam serat-serat babad, seperti halnya Babad Demak dan Babad Tanah Jawa, diperkirakan pada abad ke-17 Masehi, yakni zaman Mataram. Karena itu, para sastrawannya tidak mengalami dan tidak menyaksikan proses peralihan dari zaman Majapahit ke zaman Demak. Sayangnya, masyarakat Jawa pada umumnya dan para santri khususnya belum bisa membedakan antara sejarah dan serat babad, yang berupa cerita rekaan para sastrawan Jawa seperti halnya cerita dalam serat-serat babad dan dalam serat suluk Jawa. Mereka masih saja percaya bahwa pengislaman di Jawa ini bisa disulap atas jasa sembilan orang wali. Anehnya, serat-serat babad seperti Babad Demak menceritakan bahwa wali-wali dari pesantren, misalnya Sunan Bonang, Sunan Drajat, diimani oleh wali kejawen, yaitu Sunan Kalijaga. Mengapa demikian? Sebab, dalam Serat Babad Demak, misalnya, dikisahkan bahwa sesudah Masjid Demak dibangun, adalah Sunan Kalijaga yang mendapat anugerah baju Ontrokusumo dari langit, yaitu wahyu untuk menjadi imam para wali tanah Jawa.
Para sastrawan Jawa menyebut peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak sebagai peralihan zaman, yakni dari zaman “Kabudan” ke zaman Islam. Pada zaman Kabudan, seorang satria yang bertapa lazimnya mendapat petunjuk atau wahyu dari Batara Nerada, sementara pada zaman Islam, adalah Sunan Kalijaga yang menjadi pemberi wahyu para satria yang bertapa.
Jadi, Sunan Kalijaga difungsikan sebagai pimpinan para wali tanah Jawa. Itulah strategi kebudayaan yang dicanangkan oleh para pujangga ilmu kejawen dalam upaya menjalin keserasian hubungan antara lingkungan budaya Istana Mataram, yang ditegakkan atas fondasi sastra budaya warisan kejawen, dan lingkungan sastra budaya pesantren. Itu pula kelihaian para cendekiawan Istana Mataram dalam mengotak-atik strategi sastra budaya untuk membangun jembatan budaya guna menutup jurang perbedaan, agar perbedaan antara lingkungan budaya kejawen lama dan lingkungan budaya pesantren tidak menajam.
Maklum, pada zaman Kesultanan Mataram masa itu hingga zaman penjajahan Belanda, para cendekiawan pengolah sastra budaya adalah para priayi Jawa di lingkungan istana. Para kiai pesantren, sebagai guru-guru tarekat (sufi), tidak memikirkan atau tidak mampu mengotak-atik pembinaan strategi kebudayaan dan tidak butuh memikirkan masalah-masalah sosial-politik.
Hal ini wajar lantaran para priayi Jawa-lah yang masa itu berkepentingan untuk menjembatani jurang perbedaan antara lingkungan budaya pesantren dan kejawen, demi stabilitas kekuasaan kerajaan dan kesatuan dan perdamaian antara masyarakat pesantren dan kejawen. Maka, untuk menunjukkan keunggulan dan kecanggihan warisan sastra budaya kejawen yang halus inilah diciptakan cerita-cerita tentang Wali Sanga seperti Syekh Siti Jenar, Serat Gatholoco, Serat Darmogandhul, Suluk Lebe Lonthang, Serat Wedhatama, Centhini, dan lain-lain. Dongeng Syekh Siti Jenar berkisah dengan gamblang tentang kelebihan dan kehalusan tasawuf kejawen, yang menganut paham manunggaling kawula-Gusti seperti halnya al-Hallaj, dibandingkan dengan tasawuf pesantren yang dianut kedelapan wali lainnya, yang masih terikat lekat pada syariat.
Dalam cerita Siti Jenar ini ditunjukkan, ilmu dan tingkatan makrifat Syekh Siti Jenar lebih sempurna dan benar karena sewaktu leher Siti Jenar dipenggal, keluar darah yang putih. Tampaknya ini kemudian diartikan bahwa Siti Jenar putih hatinya dan benar. Pada zaman Mataram hingga zaman penjajahan, paham tasawuf Siti Jenar menjadi pegangan keislaman para priayi dan raja-raja Jawa. Dalam masa penjajahan, tidak ada raja Jawa dari Mataram yang berani berhaji atau menjadi muslim yang taat. Sebab, masa itu, Islam jadi lambang antipenjajahan dan pendukung setiap pemberontakan. Hal itu wajar karena para kiai pesantren didukung para santri yang taat, sehingga para priayi yang sakit hati dan memberontak melawan Belanda menggunakan atribut Islam, seperti Pangeran Diponegoro dengan sorbannya.
Cerita Syekh Siti Jenar ternyata mengilhami para sastrawan lain untuk menyusun cerita yang mirip penghukuman mati Siti Jenar ini. Hal ini bisa dibaca dalam disertasi S. Soebardi yang berjudul The Book of Cabolek. Inilah petikan serat Cabolek karya pujangga Yasadipura:
Paman payo ucapena / kojah ereh tanah jawi /apa ana kuna-kuna / panjenenganing nrepati /Demak Pajang Mantawis / nglahirken ngelmu Kak kukum /Mas Ketib Anom turnya / Pamirseng kawula ngalit /inggih angger wonten sami anyapisan //Kang kukum ing Giripura / Seh Siti Jenar ing nguni /kukum inggih saking pedhang / Alam Pademak ing nguni /
kukumipun binasmi / pan inggih Pangeran Panggung /
Dene duk alam Pajang / Ki Bebeluk dipun-warih /sami denten traping api lawan toya //
Dene karaton Mantaram / Panembahan senapati /lan Panembahan Karapyak / dereng wonten kang marengi /Nunten kang wayah wayah gusti /anjenengan Sultan Agung /wonten kukum satunggal / angrusak sarak anenggih /mila duka Sultan Mukhamad Mantaram //Linabuh wonten Tunjungbang / wong saking mancanegari /pandhusunan Wirasaba / dhukuh ing Wanamarteki /mantunipun Kiyahi / Bayipanurta pukulun /Lakine Tambang Raras / gustine nyai Centhini /abubuka warana Seh Among Raga //
…….
Ketib Anom aturira / Sunan kang sumare Tegil /Mangkurat Paku Buwana / dereng wonten kang nglampahi /mung Kaji Mutamakin / inggih ajeng sisinahu /Gumer ingkang miyarsa / sadaya sami ningali /Ki Cabolek kang pinandeng ing ngakathah //
Ringkasan kisah serat itu adalah: Haji Mutamakin dari Desa Cabolek, Karesidenan Pati, dihadapkan dalam sidang para ulama. Ia dituduh karena mengaku sama dengan Tuhan sesudah mendalami Serat Dewaruci. Sidang ini dipimpin oleh Damang Urawan dan Ketib Anom dan diselenggarakan di Pagelaran Istana Kartasura. Dalam sidang ini, Demang Urawan bertanya kepada Ketib Anom, apakah pada masa lalu para sultan di Jawa juga menghadapi masalah adanya orang yang dihukum karena dipersalahkan mengaku sama dengan Tuhan dan meninggalkan syariat. Ketib Anom menjawab, kerajaan-kerajaan Jawa zaman Islam selalu menghadapi masalah ini satu kali setiap periode. Ketib Anom menjelaskan, pada zaman kasunanan di Giripura, adalah Syekh Siti Jenar yang dihukum pancung dengan pedang lantaran dipersalahkan mengaku sama (manunggal) dengan Tuhan. Pada masa Kesultanan Demak, adalah Sunan (Pangeran) Panggung yang dihukum bakar (dibakar hidup-hidup) lantaran mengaku sama dengan Tuhan, sedangkan dalam Kesultanan Pajang, Ki Bebeluk dihukum mati dengan jalan ditenggelamkan di dalam air.
Syahdan, pada zaman Mataram, pada masa pemerintahan Sultan Agung, tersebutlah Amongraga, yang mengaku sama dengan Tuhan. Maka, Sultan Agung sangat marah dan Amongraga ditenggelamkan di laut Tunjungbang. Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Mangkurat di Kartasura, Haji Mutamakin ingin mencoba menyiarkan ajaran seperti Syekh Siti Jenar, tapi kemudian bertobat sehingga dibebaskan dari hukuman.
Dalam menghadapi dan menganalisis kandungan sastra Islam kejawen seperti halnya Serat Syekh Siti Jenar, Serat Cabolek, Centhini, dan serat-serat suluk Jawa pada umumnya, kita bersikap cermat dan hati-hati. Mengapa? Sebab, para “dhalang” (sastrawan) penulis cerita Siti Jenar, cerita Haji Mutamakin dalam Serat Cabolek ataupun Centhini, cerita Amir Hamzah dalam serat-serat Menak Jayeng Rana umumnya adalah para pujangga atau sastrawan Jawa di lingkungan Istana Mataram. Disertasi S. Soebardi menjelaskan bahwa Serat Cabolek ditulis oleh Yasadipura I, seorang pujangga Istana Mataram, yang semula beribu kota di Kartasura dan kemudian berpindah ke Surakarta (Solo). Kelemahan analisis Abdul Munir Mulkan dalam Bab I Pasal 2 dan 3 adalah karena dia hanya mencantumkan alur cerita dalam teks yang tersurat. Sementara itu, dalam kritik sastra, kita masih perlu menyingkap siapa “dhalang” penulis cerita itu, dan kapan kira-kira Serat Syekh Siti Jenar ditulis, dan lingkup suasana bagaimana yang ditulisnya. Jadi, masih banyak misteri yang harus dikuaknya. Ditinjau dari segi kehalusan sastra bahasanya, Serat Siti Jenar termasuk dalam lingkungan bahasa Jawa baru, yang berkembang pada zaman Mataram. Atau, bahkan para penulisnya jelas orang Solo dan Yogyakarta. Apalagi, tembang Macapat yang dipakai memang berkembang pada zaman Mataram hingga masa pembaruan dan pengislaman sastra Jawa kuna ke dalam sastra Jawa baru. Inilah masa yang oleh Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Jawa disebut zaman Surakarta awal. Jadi, kalau dilacak dari kehalusan bahasanya, Serat Syekh Siti Jenar ditulis pada zaman Mataram.
Karena itu pula, bisa diperkirakan, penulis yang mengotak-atik munculnya cerita Siti Jenar tentu tidak menghayati zaman peralihan dari Majapahit ke Demak. Hal ini berarti Serat Siti Jenar, seperti halnya cerita-cerita Wali Sanga dalam serat-serat babad, adalah cerita rekaan para sastrawan Jawa, bukan karya para kiai di pesantren.
Jadi, cerita para wali, termasuk di dalamnya Siti Jenar, tak bisa dianggap sebagai buku sejarah. Para pujangga Jawa hingga zaman Ranggawarsita, yang dijuluki sebagai pujangga penutup, belum punya rasa kesejahteraan dan belum menguasai ilmu sejarah. Masa itu, mistik dan mitologi masih dominan sehingga jika pembaca menganalisis, alur cerita yang hidup adalah sebuah kisah yang beroposisi terhadap Kerajaan Demak. Sedangkan jika pembaca mampu membaca yang tersirat, cerita itu lebih menyiratkan keunggulan paham manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar, Syekh Amongraga, Syekh Bebeluk, dan Pangeran Panggung, yang dianut lingkungan budaya Islam-kejawen di Mataram, daripada tasawuf pesantren yang ketat terikat pada syariat.
Walaupun alur cerita yang tersurat dalam Siti Jenar dan cerita Wali Sanga pada umumnya menggambarkan pergulatan dalam peralihan dari kerajaan Hindu-kejawen Majapahit ke Kesultanan Demak, bila dicermati, sindiran yang tersirat menggambarkan pergulatan antara paham tasawuf pesantren dan kejawen pada zaman Mataram hingga masa penjajahan Belanda. Paham tasawuf manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar menggambarkan paham yang diunggulkan oleh para priayi kejawen, dan berpusat di lingkungan Istana Mataram, sedangkan tasawuf para wali delapan atau wali sembilan dalam buku Abdul Munir Mulkan mewakili tasawuf pesantren.
Pihak kejawen memandang paham Siti Jenar, walaupun dipersalahkan dan dihukum mati, sebagai ajaran tasawuf yang lebih sempurna dan lebih unggul. Hal itu tampak jelas disiratkan dalam dialog antara Sunan Kudus, sebagai utusan pihak wali pesantren, dan Ki Ageng Pengging, sebagai murid setia Syekh Siti Jenar. Paham keislaman para priayi Jawa pada zaman penjajahan Belanda tergambar jelas dalam Wedhatama karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV.
Sikap keagamaan dalam Wedhatama menggambarkan sikap para raja dan priayi Jawa semenjak zaman Hindu kejawen hingga zaman Islam sebelum masa kemerdekaan. Bagi para priayi Jawa, yang nomor satu adalah nilai kekuasaan (kedudukan). Adapun agama adalah nomor dua dan dijadikan pendukung kekuasaan politik.
Hal ini tampak dalam sejarah semenjak Raja Erlangga hingga Kerajaan Majapahit, ketika demi stabilitas negara, mereka menyatakan menganut agama rangkap, yakni Siwa-Buddha. Dua agama yang di negeri asalnya bermusuhan itu di Jawa bisa disinkretisasi. Maka, dalam menghadapi ajaran mistik Hindu-Buddha dan mistik Islam, para priayi Jawa memilih paham seperti Syekh Siti Jenar, yakni paham yang cenderung ke arah panteisme atau manunggaling kawula-Gusti. Mengapa? Sebab, paham manunggaling kawula-Gusti ini mempunyai beberapa ciri istimewa, di antaranya pemahaman paham panteisme yang bisa disebarkan konsep God king, yakni menyembah raja berarti menyembah Tuhan juga. Jadi, paham Syekh Siti Jenar bisa dijadikan dukungan bagi kekuasaan politik kerajaan-kerajaan Jawa. Maka, wajar bahwa dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa semenjak zaman pengaruh Hindu-Buddha hingga zaman kejawen, paham mistik yang panteistis atau paham Siti Jenarlah yang dikembangkan para raja-raja Jawa. Hal ini bisa dipahami dari disertasi Zoetmulder tentang satra suluk Jawa yang diterjemahkan Dick Hartoko dengan judul Manunggaling Kawula-Gusti. Dan dari kenyataan ini, orang yang mau menjelajahi sastra Jawa zaman Islam akan mudah mengerti mengapa dalam hal ajaran ketuhanan, para pujangga Jawa lebih memilih menyadap dan mengembangkan paham wujudiyah atau martabat tujuh dari sastra sufi Melayu Aceh, sementara dalam hal filsafat kejiwaan dan ajaran moral, mereka menyadap ajaran tasawuf al-Ghazali dari pesantren Jawa.
Membahas buku Syekh Siti Jenar karya Munir Mulkan ini memang sangat mengasyikkan karena buku ini mewakili keunikan sikap para satrawan Jawa dalam mempertahankan warisan tradisi budaya lama dalam perumahan baru, yaitu perumahan Islam. Ternyata, untuk sementara waktu, mereka berhasil menyusun bentuk kompromi yang cukup unik yang melahirkan bentuk keislaman baru yang dinamai Islam-kejawen. Dalam buku Syekh Siti Jenar ini, Islam-kejawen dihadapkan dengan bentuk Islam sufi, yang berkembang dalam masyarakat pesantren. Keunikan Islam sufi adalah ajaran mistik yang dikembangkan dalam perumahan Islam. Maka, lahirlah bentuk baru yang unik pula, yaitu Islam-sufi. Di samping itu, pada abad ke-20, sebuah bentuk Islam baru di Jawa telah lahir, yakni Islam reformasi, yang diwakili oleh golongan Muhammadiyah. Islam reformasi ialah gerakan Islam yang ingin mengembalikan ke Islam sunni yang asli, atas dasar pedoman Alquran dan Sunah. Dalam Islam suni, Islam dipandang sebagai way of life yang khusus sehingga tidak bisa dikompromikan dengan tradisi kejawen dan ajaran mistik yang bertentangan dengan way of life Islam. Maka, pergulatan tiga bentuk keislaman ini menjadi bahan penelitian yang sangat penting.
*) Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar