Pipiet Senja
http://sosbud.kompasiana.com/
Hamsad Rangkuti, siapa yang tak mengenalnya? Cerpen-cerpennya dimuat dalam berbagai harian dan majalah, terbitan dalam dan luar negeri. Bahkan beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman, antara lain dimuat dalam New Voice in Southeast Asia Solidarity (1991), Manoa, Pasific Journal of International Writing, University of Hawaii Presss (1991, Beyond The Horison, Short Stories from Contemporary Indonesia, Monash Asia Institute, Jurnal Rima, Review of Indonesia and Malaysia Affairs, University Sydney. Vol. 25,1991. Cerpen-cerpennya juga termuat dalam beberapa antologi cerita pendek mutakhir, antara lain Cerpen-cerpen Indonesia Mutakhir, editor Suratman Markasam, 1991.
Di kalangan sastrawan sosok ini dikenal eksentrik. Ia menikahkan putranya dengan mengundang Menteri Kehutanan RI. Sebagai penghormatan atas hadirnya Menhut, secara pribadi merupakan temannya, ia memberikan emas kawin 500 batang pohon jati unggulan kepada mantunya yang langsung ditanam.
Ini gebrakan Hamsad yang kedua. Saat mantu anaknya yang pertama, ia menyewa Kereta Api Listrik Bogor-Jakarta yang biasa dinaikinya, sebagai tempat akad nikah dan resepsi pernikahan putrinya. Tiga kumpulan cerpennya Lukisan Perkawinan dan Cemara (1982) serta Sampah Bulan Desember di tahun 2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas. Salah satu cerpennya difilmkan oleh mahasiswa IKJ, ia ikut main.
Sebagaimana cerita-cerita yang ditulisnya dalam cerpen yang realis, unik dan kocak dengan mengeksploitasi kehidupan rakyat kecil, demikianlah dalam kehidupan sehari-hari. Dia merupakan sosok seniman Medan yang santun.
Ia pernah bercerita ketika kulit kepalanya melepuh lantaran tersiram air panas. Menjelang pulang malam, dan istrinya memanaskan air untuknya buat mandi.
“Saat itu Abang lagi mikirin bagian akhir cerpen yang lagi abang tulis. Eh, lupa mencampur air panas di ember dengan di kulah. Langsung siram saja ke kepala!”
Ramah, bersuara lembut dan rendah hati, Bang Hamsad akrab dengan kemiskinan dan penderitaan. Di Sumatra Utara, ia dibesarkan sebagai pedagang buah yang hidup di pasar. Menulis cerpen baginya seperti berbohong. Apa yang ditulis sering merupakan khayalannya, mimpinya dan kebohongannya. Hamsad lalu menunjuk proses penciptaaan salah satu contoh cerpen yang menghebohkan: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.
Tak lulus SMA, tapi pernah menjadi Pemimpin Redaksi majalah Horizon yang disegani penulis se-Tanah Air, Bang Hamsad memiliki keinginan yang sederhana di hari tuanya. Saat memperoleh uang tunai sebesar Rp 70 juta sebagai peraih Anugerah Sastra Khatulistiwa 2003, dia ingin membeli angkot untuk anak-anaknya yang sudah dewasa tapi masih menganggur.
Ayah empat anak tersebut menyadari bahwa saat ini mencari pekerjaan tidaklah mudah. Oleh karena itu ia memilih membeli kendaraan angkot sebagai modal kerja anak-anaknya untuk bisa lebih mandiri. Keinginan ayah 4 anak, kelahiran 7 Mei 1943 ini tak muluk-muluk. Ia mengolah keadaannya dengan kreatif. Dan Hamsad Rangkuti berhasil! (Sumber; Radar Depok)
Suatu petang pada bulan Juli yang cerah, aku dan Bang Hamsad jalan bareng menuju Palembang. Sejak dua hari sebelumnya ia sudah menanyaiku tentang tiketnya. Panitia telah mengurus semuanya, mereka kirim kurir untuk mengantar tiket kami ke rumahku. Mereka pun telah mentransfer ke rekeningku untuk ongkos taksi ke bandara.
Dinihari kuterima lagi pesan singkat bahwa Bang Hamsad akan menunggu di rumahnya di Depok Baru. Jadwalnya di PDS HB.Jassin siang itu sudah dipending, digantikan oleh seorang rekannya; menerima rombongan penikmat sastra dari daerah.
Sebuah rumah mungil di kompleks perumahan tampak sepi. Istri Bang Hamsad belum lama dioperasi, ada tumor ganas di payudaranya. Saat itu ia sedang berada di rumah anaknya di Jakarta.
Aku punya kesempatan untuk turun dari taksi, melihat-lihat suasana di dalam. Beberapa lukisan karya pelukis terkenal “made in” Indonesia, sahabat-sahabat tuan rumah, tampak terpajang dengan megahnya di ruang tamu. Lukisan sosok Hamsad Rangkuti, terkesan sangat sederhana dan nyentrik. Sebuah lukisan kuno yang mengingatkanku akan lukisan Chairil Anwar.
Adakah seniman selalu identik dengan kebersahajaan, kemiskinan, kenyentrikan yang tak masuk akal untuk ukuran manusia normal? Demikian sempat terlintas di benakku. Sejujurnya, kerap aku merasa bukanlah sebagian dari golongan seniman. Tak ada pula pengakuan secara jelas bahwa diriku adalah seorang seniman.
Kemudian kutahu bahwa seorang Hamsad Rangkuti tidaklah sama dengan Chairil Anwar, Gerson Poyk, WS. Rendra, dan seniman hebat serta eksentrik yang pernah dimiliki bangsa ini. Hamsad Rangkuti memiliki imaji liarnya sendiri dan mengusung nilai-nilai Islami.
Tentu saja aku merasa mendapat kehormatan bisa jalan bareng sastrawan sekaliber dia. Bahkan mendampinginya sebagai pembicara dalam suatu forum sastra. Kugali sebanyak mungkin kisah-kisah, pengalaman hidupnya sebagai seorang sastrawan. Ternyata banyak juga kisahnya yang menurutku menginspirasi, mulai dari yang memprihatinkan, membahagiakan, mengharukan hingga menyebalkan dan menggelikan.
“Coba ditulis, Bang, lalu diterbitkan. Sungguh kisah inspirasi yang sarat pembelajaran, sangat berguna untuk generasi muda kita,” usulanku ditanggapi dengan kekehannya yang khas.
Kupikir, ia bukan tidak mau menerbitkan memoarnya, mungkin lebih suka ada yang menuliskan untuknya. Itulah yang membedakannya dengan diriku yang telah menulis beberapa catatan hidupku dengan jari-jemariku sendiri.
Pernah dalam suatu forum yang dihadiri para sastrawan senior, beberapa dari mereka menyudutkanku, menyebutku sebagai; tukang nulis narcis!
Tidak, bantahku, niatan awalku hanya untuk berbagi kisah yang sayang sekali jika dibuang begitu saja di benakku. Aku selalu berharap kisah-kisah yang pernah kulakoni (dibukukan) dapat memberi pembelajaran, dan berbuah hikmah untuk pembaca.
Kalau tidak menulis hendak bagaimanakah lagi caraku mencari nafkah? Keahlian lain, bahkan ijazah SMA pun aku tak punya.
Di pesawat, seketika aku baru menyadari bahwa inilah penerbangan pertamaku setelah diopname cukup lama, melalui begitu banyak situasi yang menyakitkan, diambil darah tiap saat, ditransfusi dan diinfus secara terus-menerus. Itulah perawatan terlama, setelah melahirkan Butet, yang menggoyahku secara fisik, emosi dan psikhis.
Saat terkapar begitu, aku sempat berpikir, mungin sejak ini aku takkan pernah mampu jalan-jalan lagi, keliling Tanah Air yang kucintai dengan segenap hati. Jika Allah berkenan, sungguh tiada yang mampu mengelak, ternyata masih diberi-Nya hamba yang lemah ini waktu dan kesempatan untuk berkarya, menyebar virus menulis.
“Alhamdulillah, ya Robb…. Hamba masih diberi kesempatan jalan-jalan jauh begini,” gumamku membatin, tanpa terasa mataku membasah.
Aku tak pernah mengira, beberapa bulan kemudian, ternyata Allah masih memberiku pula saat-saat yang lebih menguras emosi, enerji bahkan keimanan. Sungguh tak pernah kusangka dan terbayangkan!
Kami dijemput di Bandara Sultan Mahmod 2, Rabu, pukul 19.30. Pesawatnya delay sampai 90 menit. Panitia langsung menggiring kami ke sebuah restoran untuk santap malam. Kenyang makan dengan menu khas Palembang, sop ikan patin, ikan beluga yang asam-asam segar, kami kemudian diajak jalan-jalan, melihat panorama jembatan Ampera di waktu malam.
Suasananya romantis sekali dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip. Mengingatkanku akan tepi sungai Nil di Kairo. Di sini juga ada perahu hias yang dimanfaatkan untuk rumah makan atau kafe. Hanya saja sungai Musi tidak sepanjang dan seluas sungai Nil. Di sini pun tak ada gedung-gedung pencakar langit yang megah serta terang-benderang.
“Ini sumber inspirasi para seniman, ya, Bang?” decakku langsung mengagumi nuansa alam yang terkesan eksotis.
Tampak para pedagang menjajakan jualannya yang diterangi lampu-lampu kecil. Tampak pula beberapa pasangan lelaki-perempuan, entah suami-istri atau baru pacaran di antara keremangan.
“Kalau Abang, mau buat puisi itu diendapkan dululah,” kilah Hamsad Rangkuti, ketika dimintai seorang panitia untuk membuat puisi.
“Ada yang kurang nih, apa coba?” kataku.
“Kurang penerangan memang,” sahut Erhamna mengakui.
Malangnya, kameraku tidak bagus, demikian pula ponselku. Jadi, aku tak bisa jeprat-jepret, mengabadikan jembatan Ampera di waktu malam.
“Semoga masih ada lain kali, ya,” ujarku berharap yang disambut panitia dengan hangat.
Ternyata penerangan yang serba apa adanya itu bukan hanya di kawasan jembatan Ampera, melainkan hampir di seluruh kota empek-empek ini. Bahkan ketika kami melintasi kediaman Gubernur, keremangan itu sama sekali tidak pilih kasih. Kami tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana bentuk kediaman orang nomer satu di Palembang itu.
Panitia mengantar kami ke rumah pribadi Hajjah Asmawati, Kepala Sekolah. Ia sedang menginap di rumah dinas suaminya. Sebuah kediaman yang indah dan nyaman di antara beberapa rumah yang dihuni oleh ibu serta saudara-saudaranya.
Bahna lelahnya aku segera tertidur lelap hingga terdengar azan subuh. Setelah membersihkan diri terasa segar kembali, dan siap untuk apapun. Hehe.
“Walaaah!” seruku dalam hati begitu sampai di tempat acara. Temanya kok besar amat, apa tak salah nih?
Seminar Nasional Menulis Kreatif!
Kulihat panitia sibuk menyiapkan segalanya, termasuk Fauziah dan Erhamna, keduanya selalu mengawal kami sejak tiba di bumi Palembang. Seorang perempuan sebaya menghampiriku saat kubuka laptop, menyiapkan presentasi.
“Ini loh, Teteh, kakakku yang rumahnya dikau inapi semalam,” kata Fauziah.
“Oh, iya…. Bu Kepala Sekolah SMAN 3, ya,” sambutku, kutinggalkan laptop dan menyalaminya.
Beberapa jenak kami bercakap-cakap ringan. Ia menyatakan sangat bangga dan bahagia, karena seorang penulis ngetop berkenan menginap di rumahnya.
“Aduh, Ibu, jangan bilang begitulah. Seharusnya saya yang merasa sangat bahagia, sekaligus terharu. Acara besar begini baru kali inilah saya hadiri di Palembang.”
Terus-terang, risih dan malu hati jika kudengar sanjungan berlebihan.
Kuperhatikan sejenak suasana gedung aula di SMKN I itu. Ini kerja sama dengan SMAN 3, sponsornya ada Indosat dan Penerbit Yudhistira. Pesertanya lebih dari 200, terdiri dari siswa dan guru. Pukul 08.00 pun peserta sudah memenuhi aula. Acara yang serius nian, kurasa.
Pembicara pertama seorang Profesor dari Universitas Sriwijaya. Namanya dengan huruf gede-gede terpajang di backdrop, Pofesor Chuzaimah. Ia sudah sepuh, tapi kecantikannya masih kentara dengan jari jemari lentik dan kuku-kuku terpelihara.
Pembicara kedua; Dra.Sastri Yunizarti Bakry asal Sumbar (tidak hadir karena kongres PMI di Solo). Padahal bukunya Kekuatan Cinta yang sedianya akan dipromosikan dan dibedah. Ia meneleponku, menyatakan penyesalan tak bisa hadir.
Pembicara ketiga, ya, diriku ini yang ijazah SMA pun tidak punya, nginggris belepotan pula. Pembicara keempat abangku senior, sastrawan mumpuni; Hamsad Rangkuti. Sesungguhnya aku merasa tak enak juga, malu hatilah, seharusnya ia pembicara pertama. Hamsad Rangkuti namanya bukan saja sudah nasional melainkan mendunia. Banyak karyanya yang mendapat penghargaan bertaraf internasional. Mungkin panitia tidak mengetahuinya, atau memang sengaja ingin menonjolkan pembicara daerah, entahlah.
“Pssst, Bang, jangan dimakan salaknya. Bagaimana nanti kalau sakit perut?” ujarku kepada Hamsad Rangkuti yang iseng menyomot salak di antara jeruk dan lengkeng yang terhidang di hadapan kami.
“Sudah disajikan, ya, dicicipilah, Dek,” sahutnya kalem dengan gayanya yang khas, nyeniman bangeeettt!
Di meja makan rumah Bu Kepsek kami hanya saling berdiam melihat roti tawar kupas dan selai nanas. Kurasa kami sejenis orang yang, agak bagaimana begitu, ya, dengan sarapan macam itu. Maklumlah, biasa nasi atau bubur ayam, lontong, ops…dari beras-beras juga. Hehe.
Dalam perjalanan di mobilnya Erhamna, Hamsad Rangkuti sempat diledeki oleh Fauziah.
“Maaf, ya, apa Abang nih sudah sisiran dulu? Nanti kita akan jumpa dengan para pejabat Palembang loh, Bang….”
Aku hampir tersedak mendengar gurauannya, tetapi Hamsad Rangkuti tampaknya santai saja menyahut, “Kalau di depan kaca di kamar mandi, umpamanya, cukup kubasahi tanganku, lalu kuusapkan ke rambutku.”
Fauziah mengejarnya dengan kalimat, “Sungguh, tak pake sisir lagi, Bang?”
Hamsad Rangkuti hanya terkekeh kecil. Aku tersenyum maklum. Penampilan si Abang satu ini memang sangat bersahaja, khas seorang seniman sejati. Sungguh jauh dari jas dan pantalon necis yang biasa dipakai oleh para pejabat.
Namun, bukankah kita jangan hanya melihat penampilan luarnya? Lihatlah, segudang karyanya yang mengagumkan. Karya-karyanya itulah yang telah menerbangkannya ke pelosok mancanegara, mendudukkannya di kalangan para petinggi negeri dan dunia. Dikenal, dihargai dan dikagumi oleh masyarakat sastra internasional.
Acara diawali dengan sajian lagu-lagu oleh Nadjib dkk. Nadjib guru olah raga SMAN 3, suaranya bagus, gayanya tak kalah dengan penyanyi profesional. Lagu Palembang di Waktu Malam, Neng Geulis, Ibu-nya Iwan Fals, menggema serta menghangatkan sekitarnya.
Ada laporan panitia kemudian sambutan Bu Hajjah Asma, disusul Kepala Dinas yang berujung diresmikannya acara ini; tok, tok, tooook!
Profesor Chuzaimah bicara tentang kreatif menulis, agaknya sudah terbiasa dengan bahasa presentasi ilmiah di depan mahasiswa civitas akademi. Sebagaimana galibnya seorang profesor, tata bahasanya apik, kadang diselingi bahasa Inggris. Maklumlah, S3-nya saja di Amerika. Intinya menekankan bagaimana pentingnya menulis kreatif dalam bahasa Inggris.
Kucermati suasana aula yang luas itu dan tertib. Tidak, kurasa ini malah terlalu tertib dan senyap, nyaris tak ada (tak berani?) bisik-bisik sekalipun. Belakangan baru kutahu bahwa peserta para guru, duduk di deretan bangku paling depan, kebanyakan adalah murid sang Profesor. Pantaslah!
Tiba giliranku langsung masuk dengan ‘teror virus menulis’, diselipkan kiat-kiat menjadi penulis hebat, sekilas kisah inspirasi dan banyolan khas diriku. Maka, pecahlah suasananya menjadi gelak tawa. Banyak bapak dan ibu guru kulihat tertawa geli, anak-anak SMA pun mengakak waktu mendengar istilah-istilah gaul yang kucomot dari candaanku dengan putriku.
Plong!
Padahal, hatiku sempat kebat-kebit disandingkan dengan Profesor. Sampai diam-diam ku-SMS Butet dan dibalasnya; Beuh, ngapain pake grogi, ngomong aja kayak Mama biasanya. Ocreh, Mom: Semangaaat!
Hamsad Rangkuti, ternyata nian memaparkan materinya, meskipun tanpa laptop dan LCD. Melainkan langsung buka-buka dari buku kumpulan cerpen karyanya yang mendapat award dari Bangkok.
“Ini akan saya bacakan nukilan cerpen; Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.”
Suasana mendadak heboh dan semarak!
Pada sesi dialog interaktif, terlihat sekali para peserta sangat antusias. Mereka banyak bertanya seputar kepenulisan kreatif. Ada dua peserta yang memanfaatkan gilirannya untuk curhatan, bahkan membacakan puisinya. Seorang peserta mengaku ngefans berat Pipiet Senja, mempersembahkan sebuah puisi yang ditulisnya saat itu. Tersanjung sekaligus terharu.
“Sukses, ya Uni,” ujarku kepada Ibu Kepsek saat dimintai komentar usai acara. “Semua buku yang kami bawa laris manis, terima kasih, ya Uni….”
“Kami yang harus berterima kasih sama Teteh dan Bang Hamsad. Ini acara paling menarik yang pernah kami gelar di kota Palembang.”
Kami diajak makan siang di restoran khas Palembang. Sajian wisata kuliner yang hanya kulihat di televisi, siang itu sungguh tersaji di hadapanku. Kami makan lahap dan nikmat sekali. Kembali kucicipi pindang beluga, pindang patin yang segar, nikmatnya!
Terhibur sudah perutku, ini sarapan sekaligus makan siang. Tak terpikirkan bahwa hal seperti ini bisa menimbulkan penyakit baru, bahkan memperparah kondisi perutku; lambung, limpa, kandung empedu dan lain-lainnya itu.
“Ini terlalu singkat waktunya. Kalau latihan 2-3 hari, sekaligus praktek langsung menulis kreatif, tentu lebih efektif dan akan segera tampak hasilnya,” berkata Erhamna.
“Teteh dan Abang, masih maukah datang ke sini nanti kalau ada acara lagi?” tanya rekannya, Fauziah.
Aku melirik Bang Hamsad, kulihat anggukannya, maka aku pun menyertai kesiapannya itu dengan kalimat: “Insya Allah, Dek….”
Petang itu aku kembali ke Jakarta, sementara Bang Hamsad masih akan beberapa hari lagi berada di Palembang. Lagi-lagi pesawatnya delay (aneh, tak pernah minta maaf!) 1,5 jam, ditambah Damri jurusan Pasar Minggu lama sekali datangnya, sehingga aku baru sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam.
Dinihari aku terbangun dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Dadaku sesak sekali, perut serasa diaduk-aduk, panas, sakit, mual…. Muntah-muntah hebat sampai lima hari lamanya!
Setelah berobat ke Dokter spesialis di HGA, rumah sakit swasta dekat rumah, aku baru bisa muncul di kantor.
“Dek, mungkin Teteh akan minta cuti sakit,” kataku kepada Rosi dan Pur.
“Kenapa, Teh, sakit lagi, ya?” tanya keduanya, menatap wajahku dengan cemas.
“Iya nih, Dek…. Hancur-hancuran rasanya badanku ini,” keluhku untuk pertama kalinya, kemudian kusalami keduanya dan pamitan pulang.
Kedatanganku ke kantor waktu itu memang hanya untuk berbagi oleh-oleh Palembang, empek-empek dan kerupuk, sekalian pamitan untuk diopname kembali.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar