Selasa, 28 September 2010

Puisi yang Baik adalah Puisi yang Jujur

Marhalim Zaini
http://www.riaupos.com/

SALAH satu pertanyaan yang sering diajukan kawan-kawan penulis pemula pada saya adalah, “Bagaimana cara menulis puisi yang baik itu, bang?” Kata “baik” di sana, memang membuat saya tidak boleh menjawabnya dengan tergesa-gesa. Sebab, saya harus mendudukkan dulu makna dari kata “baik” itu jika dipakai untuk puisi. Saya kuatir, jika kata “baik” dimaknai untuk menunjukkan sesuatu yang teratur, yang sopan, yang rapi, yang bersih, dan yang sejenisnya, maka menjadi tidak tepat kata “baik” itu diperuntukkan bagi puisi. Kenapa?

Sebagaimana sifat sebuah karya seni, puisi tentu tak bisa dikungkung oleh satu kriteria “baik” dalam makna yang umum. Sebab karya seni selalu “memberontak” dari konvensi-konvensi biasa. Karya seni harus menemukan “bahasa ucap” (ekspresi) yang berbeda dari realitas keseharian. Apalagi puisi, yang memang diberi kebebasan yang luas untuk melakukan “pembongkaran” bahasa. Kalau kriteria “baik” secara umum dipakai, maka ketika Chairil Anwar berteriak lewat puisi, “akulah binatang jalang…” tentu dicap bukan puisi “baik”-lah dia.

Tapi, sebetulnya saya paham arah pertanyaan kawan penulis pemula itu. Dia agaknya kerap dihinggapi rasa bingung ketika dia harus menulis sebuah puisi yang “baik” sehingga dapat diterima di sebuah media massa. Kalau yang diinginkan adalah kriteria “baik” secara teori-teori sastra, maka kita akan sepakat sebuah puisi yang baik adalah: memiliki diksi (pilihan kata) tepat, kuat dan padu dengan menghadirkan metafora-metafora, kaya perbendaharaan kata, luas ruang permaknaannya, dan lain-lain. Itu soal-soal teknis yang memang mesti dilalui oleh seseorang yang akan menulis puisi.

Namun, perlu kita ingat, bahwa puisi lebih bersifat subyektif. Artinya, kekuatan individu si penyairnya dalam menyelami realitas kehidupan dan memberi makna atas realitas itulah yang membuat puisi lebih sublim, lebih mendalam, lebih kokoh. Maka seorang penulis puisi, mau tak mau, harus semaksimal mungkin menghadirkan “kejujuran.” Sebab dengan kejujuran itulah kemudian subyektivitasnya muncul.

Apa yang saya maksud kejujuran di sini adalah, bahwa puisi yang “baik” akan selalu menghadirkan kekuatan perasaan dan pikiran si penyairnya. Kekuatan perasaan dan pikiran itu akan mencuat dari kejujuran si penyairnya dalam mengatakan “sesuatu.” Jika adik-adik hendak mengatakan “sesuatu” itu berupa rasa dan pikiran tentang kesedihan yang teramat mendalam dalam diri, maka tak cukup hanya mengatakan dengan, “Oh, betapa hatiku sedih…” Sebab jika cukup dengan demikian, yang bukan penyair pun akan bisa mengatakan hal yang sama bukan?

Maka yang mesti dilakukan adalah menggali “kejujuran” dari rasa sedih itu. Seberat apakah rasa sedih itu? Sesakit apakah rasa pilu itu? Seperti teriris pisaukah? Seperti ketika kepala terantuk di tembok? Atau sakitnya hanya sekedar seperti ujung jari ditusuk jarum? Nah, metafora-metafora mulai bermain. Semakin baik adik-adik menyusun diksi dengan perumpamaan yang tepat, sehingga dapat mewakili “kesakitan” itu, maka semakin “baik”-lah nilai puisi kita.

Ya, rupanya tak cuma dalam realitas kehidupan yang nyata saja kita harus mengedepankan kejujuran, tapi juga dalam penciptaan karya sastra, khususnya puisi.

Edisi ini, sebuah cerpen berjudul “Selalu Ada Cerita Tentang Abah” karya Jumardi hadir di tengah kita. Cerpen ini memang masih terasa tersendat-sendat bertuturnya. Perlu terus berlatih menyusun narasi, dan memilih kalimat. Setidaknya, kita memang mendapatkan gambaran gigihnya perjuangan dan pengharapan seorang ayah untuk keberhasilan anaknya. Dan, perlu dicari lagi, bagaimana harus mengakhiri cerpen ini dengan baik.

Puisi karya Azmy Al Izzah, berjudul “Untukmu Sahabat” lebih menghadirkan suasana hening pada kita. Makna yang disuguhkan masih permukaan, sehingga belum mendalam. Sementara puisi “Ayah” karya Delvi Adri, lebih bermain metafora. Meski nampak belum padu antara satu bait dengan bait lain, setidaknya kita bisa mengambil satu pesa tentang anak yang kehilangan pegangan.

Yelna Yuristiary, kali ini hadir dengan “Malam di Tapal Batas.” Imaji-imaji mencuat sebagai kekuatan tersendiri. Diksi-diksi yang dinamis memang cukup memberi kesan pergulatan bathin si aku-lirik. Meski, harus terus digali lagi “kejujuran” dalam teks puisi ini. Pujiono Slamet dengan “Rima-rima Duka” cukup kokoh menghadirkan suasana. Diksinya cukup “baik” dan cermat, meski terasa lemah di bait terakhir puisi.

Dua puisi terakhir ada Afriyanti dengan “Bilik Puisi” dan “Bahasa Gitar” karya Faisal. Afri lebih “bercerita” tentang eksistensi puisi itu sendiri. Cukup kuat membangun diksi yang liris. Sebuah puisi pembelaan terhadap puisi. Sementara Faisal, juga menganut puisi liris yang hampir serupa. Hanya saja, terasa masih menggantung akhir dari puisi ini.***

Memasuki Era Maiyah Sejati

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Pengajian Padhang mBulan tanggal 26 Juli 2010 kemarin Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) datang terlambat hingga jam 23:00. Kegelisahan Jama’ah mulai tampak pada setiap wajah. Sebagian sudah tidak serantan dan langsung nyelonong pulang. Sebagian lagi bertahan dengan kegelisahan. Mungkin dalam Jama’ah menyimpulkan hasil ‘rugi’ dalam gambling/ perjudian niatnya, jika Cak Nun tidak datang.

Kita coba total kata ‘rugi’ ini bagi Jama’ah secara psiko-analisis. Pertama: mungkin sejak berangkat dari rumah Jama’ah sudah memasang standar untung rugi jika Cak Nun datang. Dengan modal berangkat jauh-jauh, menyibak jalanan, meluangkan waktu dan tenaga. Ini berarti keberadaan Cak Nun secara verbal masih diletakkan sebagai ‘single power’ dari acuan serap untuk memenuhi kebutuhan Jama’ahnya. Tingkat kebutuhan terhadap Cak Nun sangatlah variatif dan luas cakupannya, idola, kebanggaan, kuwalitas pemikiran, kewibawaan, ingin mendebat, mengukur diri, mencari perhatian khusus, mencari bahan untuk kemudian digunakan berdebat dengan orang lain (bukan Jama’ah), ataupun obsesi diri, atau juga mengintip peluang agar mendapatkan suatu hasil dari tendernya Cak Nun. Dan saya kira masih banyak hal yang Jama’ah sendiri mengetahui dari jendela kaca hati Jama’ah. Kedua: kegagalan Jama’ah dalam memahami, dan menerapkan nilai Ma’iyah. Kegagalan ini bersifat fenomenal, bergantung dari seberapa prosen individu menemukan rumusan atas psikoanalisis pertama. Cak Nun sebagai idola, kebanggaan, artinya, tiap manusia diberi kelebihan berbeda. Salah satu fungsinya adalah agar yang kekurangan dapat terpenuhi dari yang kelebihan. Sebagaimana Rosul, disempurnakan untuk mencukupi kekurangan umatnya. Kekurangan pada umatnya dimaksudkan Tuhan agar manusia tidak sombong, dan hanya Tuhan yang berhak sombong. Kita (Jama’ah) tingkat kekurangannya tergolong berkadar tinggi. Terutama dari segi wawasan, dan rumusan-rumusan hidup yang lebih tepat. Disinilah Jama’ah Ma’iyah menyerap kekurangan dirinya dari sosok Cak Nun. Sudah barang tentu dan alamiyah sekali jika sebagai rasa terima kasih (pada kadar terendah) Jama’ah yembulih dengan membanggakannya. Dengan syarat, Jama’ah Ma’iyah mengerti betul seluk beluk sikap membanggakan itu. Mengenai idola ini, Cak Nun pernah menjelaskan. Idola berasal dari bahasa Inggris, I=saya, dool=boneka. Mengidolakan Cak Nun = menganggap Cak Nun boneka. Dan hal itu bisa meruntuhkan eksistensi Jama’ah dan Cak Nun di hadapan Tuhan.

Sosok kewibawaan dan kebesaran jiwa Cak Nun dalam memahami dirinya sebagai totokromo dihadapan Alloh, dapat anda baca ulang dalam tulisan Cak Nun “Orang-Orang Ma’iyah dan Gerbang Ghaib”, dalam Gerbang Ghaib ini radikal-sufistik Emha terpancar: pilihan moral untuk menentukan yang ‘ia’ dan meninggalkan yang ‘tidak’, meyisir secara jeli hal-hal yang bersifat profan. Padahal maqom keunggulan dibanding yang lain adalah hak Emha untuk menempatinya. Artinya, skala kebesaran Emha adalah kuasa Tuhan. Segala perangkat Emha(jasat dan jiwa) adalah sosok yang di-sewa Tuhan, untuk dititipi ilmunya yang tidak mungkin Alloh sendiri turun ke manusia. Emha adalah sosok yang diranjingi (dirasuki) sifat kesempurnaan Alloh dalam menyikapi kehidupan. Jika Alloh berkenan, dan Alloh ‘nginggati’ sifat-Nya yang dirasukkan ke Emha, maka Emhanya tidak berubah sebagai sosok manusia, tetapi tidak lagi seperti Emha yang selama ini. Gerbang Ghaib adalah sifat Alloh tertepat yang diranjingkan Alloh ke Emha.

Ada ilustrasi misalnya, si Fulan diajak masuk ke dalam bumi oleh Alloh, ditunjukkan lapisan bumi, kekayaan bumi, kesaktian bumi. Kemudian ia diterbangkan menjelajahi jajaran langit. Ia mengetahui keluasan langit, harta kekayaan di langit, kesaktian di langit. Kemudian ia diperkenankan Alloh atas ridlhoNya untuk memilih salah satu yang ditawarkan, dan pasti diwujudkan. Si Fulan ternyata menjawab “kalau memang aku disuruh meminta dan engkau mengabulkan, aku hanya akan meminta: takdir yang sudah engkau tentukan terhadapku, lakukanlah. Aku ikhlas menerimanya walau pahit”. Semacam inilah sifat bijak Alloh yang diranjingkan ke Emha di Gerbang Ghaib.

Cerita di atas ada 2 hal yang kita timbang. Pertama : disuruh Alloh, difasilitasi memilih, tetapi tidak nurut, ini juga tidak bertotokromo terhadap Alloh. Kedua : mengembalikan urusan kepada Alloh, berarti menempati keberadaan manusia sebagai hamba, dan sekaligus memposisikan Tuhan sebagai Tuhan. Pilihan pada tawaran pertama adalah hak, sedang pilihan pada tahap kedua adalah sublimitas-evelatif pemaknaan total.

Pemikiran-pemikiran Emha: Bagi jama’ah yang ‘kutu buku’ sesungguhnya seluruh pemikiran Emha pati ada rujukan kembar dengan para penulis yang sudah ada, baik buku-buku Barat atau Kitab Kuning sekalipun. Yang menarik dari pemikiran Emha adalah Ia mampu menghadirkan bentuk pemikiran dalam buku itu secara luwes, gamblang dan mudah dipahami dalam konteks kekinian. Padahal Emha sendiri dalam kesibukannya tidak mungkin sempat membaca buku. Dan tidak jarang pemikiran baru Emha justru menyempurnakan atau sekaligus menolak ketika atau merevisi pemikiaran pakar pandahulunya.

Yang berbeda antara Emha dan tokoh besar seangkatannya adalah konsistensi peng-amal-an atas keilmuan itu sendiri, yang dilakukan secara intens dan periodik dari segala lapisan zaman. Dan ketika tokoh besar lainnya mandeg kreatifitasnya, Emha tetap langgeng.

Kenapa tokoh lain mandeg? Kenapa juga Emha tetap langgeng? Jawabnya adalah murni keterlibatan Alloh. Emha itu ibarat burung berkwalitas. Dengan sendirinya, sang pemilik akan mengurusi burung itu secara intensif dan menempatkan burung dalam sangkar tertentu.

Selayaknyalah Jama’ah Ma’iyah menyadari hal ini. Emha hanyalah sosok dari sekian anak manusia yang disewa Alloh untuk memancarkan cahaya-Nya, dalam kadar yang lebih terang dibanding kita semua. Seandainya Alloh bertanya “Hai orang-orang Ma’iyah, apa yang kau lakukan setelah Aku tunjukkan cahaya terbaikku yang berupa Emha? Kita harus menjawab!” semampuku, aku akan mensyukurinya dengan cara turut menyebarkan cahaya Mu itu, bukan karena Emha, melainkan karena Alloh. Ma’iyah sejati sesungguhnya bersifat ekspektatif, dimana entitas peradaban baru tidak terwujud semudah membalik telapak tangan, melainkan ada energi power yang terbentuk jauh sebelumnya. Maka ketidakhadiran Emha dalam Forum Ma’iyah ketika berhalangan, bukan masalah signifikan. Jama’ah Ma’iyah tetap bisa berdiskusi untuk mengembangkan sayap-sayap wawasannya. Dengan syarat, jama’ah harus mampu mengosongkan diri dari segala ego kepemilikannya, sehingga ketika berdiskusi mampu menyerap ilmu seremeh apapun dari Jama’ah lain, sekalipun komentar anak kecil.

Otonomi Daerah dan Sastra Lokal

Rachmad Djoko Pradopo
http://www.kr.co.id/

PENGARANG lokal-nasional di daerah Propinsi Jawa Tengah banyak sekali, terutama berpusat di Semarang dan sekitarnya. Di antara sastrawan lokal-nasional yang terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, KH Mustafa Bisri, Darmanto Jt, dan Dorothea Rosa Herliani. Ada seorang sastrawan sebelum kemerdekaan, zaman Balai Pustaka tahun 40-an, adalah Sutomo Djauhar Arifin, karyanya roman Andang Teruna. Ada beberapa antologi bersama di Propinsi Jawa Tengah, pada umumnya berupa antologi puisi. Di antaranya adalah Antologi Puisi Jawa Tengah (1994), editornya Pamuji Ms, Lawang Sewu: Antologi Puisi Semarang (1995), penyuntingnya Hendry TM, Menoreh, 1, 2, 3 merupakan Antologi Puisi Penyair Kedu, penyuntingnya Drs Soetrisman MSc.

Sastrawan Jawa-Indonesia yang belum disebutkan adalah Aryono KD (Jepara-Kudus), Teguh Munawar (Jepara-Kudus), Sumiyoso (Jepara-Kudus), Yudhi Ms, Mukti Sutarman, Timur Suprabawa (Kudus). Mereka yang tersebut, baik menulis sastra Jawa maupun sastra Indonesia. Ada antologi puisi Jawa dari Tegal dengan bahasa Jawa dialek Tegal: dengan editor Lanang Setiawan, 1998. Ruwat Desa untuk Indonesia dengan Ruh Puisi, yang merupakan antologi 21 penyair.

Yang perlu dicatat, corak sastra lokal-nasional itu mengandung latar sosial-budaya lokal (Jawa). Karya Pramoedya Ananta Toer yang bercorak sosial-budaya lokal di antaranya adalah Perburuan dan Bukan Pasar Malam. Dalam kedua novel itu latar tempat dan sosial-budayanya Jawa Blora. Karya-karya NH Dini di antaranya berlatar Semarang, lebih-lebih cerita kenangannya, di antara novelnya yang berlatar budaya Jawa adalah Tirai Menurun berlatar budaya Jawa Semarang, terutama budaya wayang orang.
Roman Sutomo Djauhar Arifin Andang Teruna berlatar budaya Jawa Semarang, terutama budaya wa- yang. Di antara sajak-sajak Darmanto Jt berlatar pandangan hidup orang Jawa. Darmanto Jt dibesarkan di Yogyakarta, sekarang berdomisili di Semarang. Ia dosen Fisipol Undip. Di antara latar sosial budaya Jawa ini tampak dalam sajaknya “Isteri” sebagai berikut.

ISTERI

–isteri mesti digemateni
ia sumber berkah dan rejeki
(Towikromo, Tambran,
Pundong, Bantul)
Isteri sangat penting untuk ngurus kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
mencuci di sumur
mengirim rantang ke sawah
dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri sangat penting untuk kita
Ia sisikan kita
kalau kita pergi kondangan
Ia tetimbangan kita
kalau kita mau jual palawija
Ia teman belakang kita
kalau kita lapar dan mau makan
Ia sigaraning nyawa kita
kalau kita ….
Ia sakti kita!
……..
Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika
mulai melupakannya.
Jadi, waspadalah!
Tetep, madep, manteb
Gemi, nastiti, ngati-ati
Supaya kita mandiri — perkasa dan pinter ngatur hidup
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel,
atau lurah
Seperti Subadra bagi Arjuna
makin jelita ia di antara maru-marunya
Seperti Arimbi bagi Bima
jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang tetuka
Seperti Sawitri bagi Setyawan
Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka
Ah. Ah. Ah
Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai
melupakannya
Hormatilah isterimu
Seperti kau menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu
Makanlah
Karena memang demikian suratannya!

– Towikromo.
(Ki Blaka Suta Bla Bla, 1980: 40-41)

Yang perlu dicatat lagi, selain di tiap ibu kota propinsi ada Dewan Kesenian, sekarang ini, pada umumnya, tiap-tiap kota ada sanggar-sanggar seni, terutama sanggar-sanggar sastra. Pada umumnya di ibu kota propinsi dan kabupaten ada sanggar sastra yang aktif menghimpun para sastrawan di daerahnya untuk mengadakan kegiatan sastra, baik untuk berdiskusi sastra, mengadakan pergelaran seni, maupun mendorong kreativitas penulisan dan penerbitan karyanya bersama-sama. Seperti antologi yang telah dibicarakan di atas adalah karya mereka.

Akan tetapi, tidak semua kota kabupaten mempunyai sanggar sastra, misalnya di kota Klaten, seingat penulis belum ada sanggar sastra, pengarangnya pun yang tercatat cuma dua orang yang tersebut di atas. Hal ini tergantung pada aktivitas para sastrawan dan penggeraknya. Misalnya, di Purworejo beberapa tahun yang lalu ada sanggar sastra KOPISISA, yang dipimpin oleh Soekoso DM, tetapi sekarang tidak aktif. Di Jepara-Kudus ada sanggar sastra yang aktif, begitu juga di Blora, Surakarta, Semarang dan Tegal. Di Sragen ada penyair Sus S Hardjono, salah satu kumpulan sajaknya Tembang Tengah Musim dan sastrawan terkenal Danarto, yang sekarang berdomisili di Jakarta, karyanya kental dengan latar sosial budaya Jawa: Godlob, Berhala dan Gergasi; terutama kumpulan cerpennya Godlob. Akan tetapi, apakah Sragen ada sanggar sastra, penulis tidak tahu.

Dalam kaitannya dengan otonomi daerah itu, sanggar-sanggar sastra seperti tersebut itu perlu diaktifkan untuk mendorong kegiatan para sastrawan dan apresiasi sastra masyarakatnya. Dalam penelitian sastra lokal, sanggar sastra, sastrawan-sastrawan, aktivitas sastranya, dan karya-karya sastranya perlu dicatat dan diteliti sebaik-baiknya. Begitu juga, guru-guru dan dosen sastra sangat perlu untuk menampilkan para sastrawan lokalnya dalam pengajaran dan pendidikan sastra.

Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan sastra lokal secara inti dan garis besarnya saja, agar mendapat perhatian baik masyarakat umum maupun guru-guru dan dosen sastra dalam rangka Otonomi Daerah. Oleh karena itu, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut secara mendalam untuk mengenal dan memahami sastra lokal sebaik-baiknya, baik sastra lokal Jawa maupun sastra lokal-nasional Indonesia.

Daftar Bacaan:
Darmanto Jt 1980 Ki Blakasuta Bla Bla, Semarang: Karya Aksara; 1981 Karto Iya Milang mBoten, Semarang: Karya Aksara; 1984 Golf untuk Rakyat, Yogyakarta: Bentang I Utama.
Darnawi, Soesatyo (ed), 1983 Lintang-lintang Abyor, Semarang; Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
Dojosantosa, 1990 Taman Sastrawan, Semarang: CV Aneka Ilmu.
Hoetomo, Suripan Sadi, 1997 Sosiologi Sastra Jawa, Jakarta: Balai Pustaka; 1996 Tradisi Dari Blora, Semarang: Citra Almamater; 1984 Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980 Surabaya: Sinar Wijaya.
Hutomo, Suripan Sadi dan Setyo Yuwono Sudikan, 1988 Problimatik Sastra Jawa, Surabaya: Jurusan Pendidikan Sastra Jawa.
Handry TM, 1995 Lawang Sewoe: Antologi Puisi Semarang, Multi Massa, Semarang.
Pamuji MS, 1994 Antologi Puisi Jawa Tengah, Semarang: Yayasan Citra Pariwara Budaya.
Setiawan, Lanang (ed) 1998. Ruwat Desa untuk Indonesia dengan Ruh Puisi Tegalan, Tegal: Jurnal Tegal-Tegal.
Soetrisman (ed) 1997, Menoreh 3: Antologi Puisi Kedu, Kedu: Cagar Seni Menoreh.
Widati, Sri; Slamet Riyadi, Tirto Suwondo dkk. Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. Yogyakarta: Kalika Press.

Baik, Tunggu Baru

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Perubahan besar terjadi setelah lengsernya Lurah Arta dari jabatan superpanjang. Ribuan orang-orang pandai berbondong ketika itu, memenuhi pusat Kelurahan Luruh Indon yang porak-poranda karenakan uang yang tidak bersahabat. Rakyat kelaparan. Pejabat kelurahan banyak menimbun bahan makanan.

Kelurahan bertemu pagebluk, banyak orang yang tidak kebagian bagi-bagi uang merencanakan sesuatu. Pemuda-pemudi disatukan. Seperti tahun-tahun lalu, dalam masa perjuangan. Mereka berpakaian Kuning, Merah, Hijau, Abu-Abu sampai pada Kelabu. Memadati jalan-jalan utama. Memenuhi lapangan Luruh Indon sambil berteriak: “Gantung Lurah Arta! Lengserkan Lurah Arta!” sampai membabi, meruntuhkan segala yang ada.

Masa, Kelurahan di ambang kehancuran. Pemuda-Pemudi berpakaian aneka warna seolah ingin berkudeta. Berkumpul, membajiri Kantor Perwakilan Ketoprak Kelurahan. Seperti lalat di atas tumpukan darah. Menggenang air mata, perlawanan, api menjalar dan satu, dua, tiga, empat gugur.

Teriakan pemberontakan yang getir, mengukuhkan semangat kemerdekaan. Kerajaan Lurah Arta, diganyang habis. Sang Lurah terpaksa turun keprabon dan orang-orang dengan bangga menamai momentum: Reformasi Kelurahan. “Kelurahan kita tidak siap dengan revolusi, makanya kita memilih jalur alternatif, reformasi.” Begitu kata seorang ahli politik yang menjadi Bapak Reformasi Kelurahan Luruh Indon.

Hingar-bingar teriakan semakin mengabur. Sampailah hari ini, teriakan itu terdengar layaknya jerit anjing kesakitan yang dilibas kekuasaan mupakat.

Terurai sewaktu malam berjalan dengan dingin dan kabut tebal dipagi harinya. Menghalangi cahaya mentari reformasi yang menelan habis setiap perjuangan, “Ah, mereka hanya ditunggangi!” teriak politisi yang tidak mau disebut namanya.

“Lha, siapa yang menunggangi?” tanya seseorang yang melihat politisi dari depan televisi.

Dhimas Gathuk berjalan. Di atas kepalanya sekarung rumput hijau untuk dua sapinya. Ia melintas di jalan kelurahan. Berjalan sempoyongan, menahan lapar setelah seharian bekerja. Kakinya pun menginjak trotoar Kantor Perwakilan Ketroprak. Mengamati seorang anggota Perwakilan yang cas-cis-cus di depan wartawan. Dhimas Gathuk meletakkan seranjang rumput dan menyongsong pada pemburu berita.

“Ini ada apa?” tanya Dhimas Gathuk pada seorang wartawan yang berdiri di barisan belakang.

“Gagasan gedung baru untuk kantor Perwakilan Ketoprak!” jawab wartawan itu sambil terus mencatat di buku kecilnya.

“Memanganya mau buat kantor baru, Mas Warta?” tanya Dhimas Gathuk sambil menggaruk kakinya.

“Katanya,”

“Lha, yang benar?”

“Ini baru dikonfirmasi. Yah, mereka akan membuat gedung baru. Katanya, gedung yang sekarang, lambang pemerintahan korup.” Wartawan itu terus mencatat tanpa memperhatikan Dhimas Gathuk yang kini menggaruk pantatnya.

“Terus?”

“Ya, katanya kalau masih pakai gedung ini, wajar kalau kinerja Perwakilan Ketoprak tidak baik. Karena gedungnya masih mewarisi pemerintahan korup, jadinya ya seperti masa lalu.”

“Gak ngerti aku, Mas Warta!” Dhimas Gathuk menggaruk pantat dengan lebih keras.

Wartawan itu berhenti menulis. Mengalihkan pandangan pada Dhimas Gathuk dengan tatapan jengkel. Dia merasa kalau petani di sampingnya terlalu cerewet. Lha, dia sendiri yang wartawan tidak secerewet ini, pikirnya.

“Agar kinerja Perwakilan Ketoprak itu menjadi baik dan berkembang, dibutuhkan gedung baru. Sejalan dengan cita-cita reformasi.” Wartawan itu menegaskan dengan pandangan melotot.

“Lha, gedung yang ini mau buat apa?”

Wartawan itu mengangkat bahunya. “Aku juga tidak tahu, Mas!”

“Memangnya kita punya uang untuk gedung baru?” Dhimas Gathuk melontarkan pertanyaan.

“Sudah dianggarkan!”

“Memang perlu gedung baru?”

“Kalau kita meninginkan kinerja yang lebih baik.”

“Ada hubungannya, kinerja dan gedung?” Dhimas Gathuk mengangkat alisnya tinggi-tinggi namun si Wartawan tidak memberikan jawaban apa-apa. “Berarti aku perlu sawah baru. Perlu rumah baru. Perlu kandang baru untuk sapi-sapiku.” Dhimas Gathuk terdiam sejenak. “Tapi bagaimana bisa?”

“Lha kenapa?” Wartawan itu menyahuti tanpa ekspresi.

“Yang dimakan saja tidak ada…” Dhimas Gathuk muram merasakan perutnya yang berdentum kelaparan.

Wartawan itu tersenyum lebar. Buru-buru dia mengangkat tangannya. Si pembicara di depan podium langsung mempersilahkan.

“Masih banyak rakyat miskin, Pak Wakil!” ucap Wartawan itu sambil menganggukkan kepala. “Daripada dana untuk membuat gedung, lebih baik dialokasikan untuk pemberdayaan petani. Seperti dia!” wartawan menunjuk Dhimas Gathuk yang tengah menggaruk pantat.

“Tidak ada hubungannya. Rakyat miskin ya rakyat miskin. Gedung baru ya gedung baru. Tapi terserah rakyat Luruh Indon saja, kok, kalau mereka ingin kinerja Perwakilan yang lebih baik, ya musti ada gedung baru. Kalau menolak gedung baru, rakyat jangan menyalahkan Perwakilan kalau masih saja korup.”

“Nah, itu!” ungkap Wartawan pada Dhimas Gathuk dalam seringai lebar.

Sekonyong-konyong, Dhimas Gathuk kembali pada rumput. Dia menuju rumah. Langsung ke kandang sapi. Dia menjulurkan sabit di tangannya. “Sapi edan, kalau kamu sampai minta kandang baru, awas ya, tak bakar untuk makan seluruh kampung!” Dhimas Gathuk bersunggut masuk rumah. Dan sapi pun lahap menyantap rumput tanpa perduli.

Lengkong – Banjarnegara, 09 September 2010.

Pesta Esok dan Tangis yang Meng-crystal

Gita Pratama
http://www.sastra-indonesia.com/

Aku hanya ingin bercerita tentang pesta tanpa gaun, pendar lampu-lampu kristal ataupun meja penuh hidangan lezat. Pesta yang membuat semua orang tertawa geram dan tangis tertahan. Di tengah kelahiran, ruang lain justru sedang meregang nyawa, mengurai keringat dari bulir-bulir kenangan yang dingin. Malam ini adalah cerita kematian dari tawa yang sunyi. Dari malam yang sepi tentang kepala botak merah darah. Juga kelahiran dari sepi yang riuh, dari malam yang sibuk bercerita tentang penggalan kepala berhias kata-kata.

Di sebuah bangku telah duduk seorang entah laki-laki atau perempuan, hanya kerut kulit keriputnya, menanda jompo. Bibirnya rapat terkatup, tak ada suara hanya tatapan mata nyalang. Mengawasi riang bocah yang sedang merayakan kotak-kotak kayu yang semakin tinggi tersusun. Ia melihatnya, mengingat dulu ketika ia menganyam rotan dijadikan boneka dengan mata bermanik manik kacang kedelai, bibir datar dari benang wol. Dulu ia juga bahagia, terbahak ketika kedua tangannya masih lihai merajut rotan lalu diletakkan dekat bongkah pualam besar. Di dasar goa yang baginya telah tuntas ditaklukkan.

Ini cerita tentang gempita kenangan dan dada-dada yang semakin tinggi ditarik terbang ke langit. Lantas bernyanyi tentang seribu cita-cita menaklukkan malam, lantas diganti dengan semua siang. Hidangan hampir basi karna undangan sibuk Bercengkrama dengan kenangan. Kenangan itu mengasikkan juga mematikan. Mata dijungkir balik menertawai lucunya bayi yang merangkak. Tapi semakin menua usia, mereka lepas, meregang mencari diri sendiri. Tak patut ada yang dipestakan disetiap kelahiran karena kematian itu pasti. Siapa yang rela pada setiap perpisahan, hanya tangis duka yang tertahan. juga kelahiran yang mati sendiri, tawa bahagia yang tersembunyi. Tetap saja kelahiran dan kematian ini bukan milik nyanyian - nyanyian do’a. ini milik esok, bukan milik kenangan kemarin atau lampau.

Di sini semua duduk melingkar, bersila, menatap wajah-wajah maya. yang entah kapan esok pasti pergi lagi. Semakin jauh, melanglang menuju negeri kata-kata, negeri sunyi, negeri berkepala ungu atau juga justru sembunyi di dada-dada yang berisak tangis kematian dan kelahiran.

Surabaya, 5 Juni 2009

Minggu, 26 September 2010

Memetik hikmah dari puisi-puisi transendental, karya Moh. Gufron Chalid

Imron Tohari
http://www.sastra-indonesia.com/

“Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” ( Teeuw ).

Seperti yang dikatakan Teeuw di atas, seperti itulah yang saya temukan pada sajak-sajak Moh. Gufron Chalid yang terkumpul pada 17 sajak pilihan, yang di inbokkan ke saya untuk saya pelajari.

Setelah menelusuri setiap detak nafas sajak-sajak tadi, di sana saya dapat merasakan bagaimana penyair dalam menjalani proses pencarian jalan kebenaran melalui medium sastera.

Sebagai salah satu alat atau media untuk meletupkan rasa dan pemikiran-pemikiran yang diharapkan dapat mempengaruhi pola piker dan atau pola piker baru yang berdampak positip pada pribadi penyair serta penghayat selanjutnya, puisi,sajak, merupakan perwujudan yang tepat dari sekumpulan kata atau kalimat yang merupakan bagian dari yang namanya bahasa (baca: bahasa hati,bahasa piker,bahasa rasa, dll).

Bahwa Puisi sebagai reinkarnasi bahasa/samsara bahasa, pada kelahirannya kembali, tidak terlepas dari proses/ritus suasana baik buruk yang mempengaruhi rasa imajinatip pengkarya ciptanya. Dalam pengertian, melalui puisi penyair berusaha menghidupkan imaji tersembunyi ke dalam tubuh “bahasa”. Tubuh bahasa dari bayangan diri, baik bayangan diri penyairnya maupun bayangan diri penikmat bacanya yang sudah menyatu pada bayangan puisi itu sendiri!, maka jadilah bayangan diantara bayangan; diri membayang pada puisi, puisi membayang pada diri. Dan puisi yang baik, adalah puisi yang ditulis dengan penuh ketulusan, serta tetap mengacu pada estetika moral, sehingga nantinya bisa memberi pencerahan positip dan atau bisa menciptakan pola piker baru yang baik bagi pencipta maupun apresiator yang membacanya.

Bahkan Jhon F Kennedy mantan presiden Amerika yang fonumenal mengkaitkan puisi dengan kehidupan bernegara: “ bila politik bengkok, maka Puisi yang akan meluruskannya”. Dari statemen tersebut, betapa penting dan berpengaruhnya puisi yang baik, tidak hanya dikaitkan dari sudut agama atau keyakinan saja, tapi juga terkait kuat (bila mau menyelaminya) bagi tatanan Bangsa,Negara, dan perbaikan pola piker positip bagi masyarakat dan atau indifidu penghayat.

Latar belakang budaya, pendidikan, pola hidup, kejiwaan, keyakinan, dll, sangat berpengaruh sekali akan hasil perwujudan puisi, baik dalam kapasitas tekstual puisi maupun muatan makna yang tersurat dan atau tersirat pada karya sastra puisi,sajak bersangkutan.

Dan factor-faktor seperti itu juga yang mempengaruhi karya-karya Moh. Ghufron Cholid yang terkumpul pada 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN.” Dimana nuansa transendental (kemenonjolan hal-hal yang bersifat spiritual/kerohanian) sangat menonjol pada setiap karyanya. Tidak perlu heran, karena lingkungan agamis yang kuat dari keluarganya serta atmosfir kehidupan pesantren, secara tidak langsung telah membentuk pola pikernya dalam berkarya cipta.

Seperti yang tertuang pada enam buah puisi Moh.Ghufron Cholid “ Menuju Pelabuhan, Sholat, Pertemuan, Selepas Subuh, Perempuan malam,dan Pengakuan “ yang saya anggap paling kuat dari segi alur, bunyi, pemaknaan, sehingga sangat-sangat menyita perhatian saya selaku penghayat, bila dibandingkan dengan puisi lainnya yang tergabung dalam 17 puisi pilihan “MENUJU PELABUHAN”, yang menurut saya terkesan hanya mengalir biasa saja.

Tajuk puisi ““Menuju Pelabuhan” yang sekaligus dijadikan sebagai puisi pembuka pada 17 kumpulan puisi pilihan Moh.Ghufron Cholid, begitu kental dengan nuansa transendental, betapa aku lirik beserta segala ketidak berdayaannya dalam menghadapi tipu daya pesona dunia nan fana, dengan tiga hal sifat yang senantiasa melekat pada insan Tuhan ( suka berkeluh kesah, tak pernah merasa puas, dan penyakit iri ), di sini aku lirik berusaha melawannya dengan cara mendekatkan diri pada sang pencipta, serta menyadari dengan sepenuh rendah hati, betapa tiada yang patut dia sombongkan di hadapan Illaihi Rabbi, serta berharap mendapat Ijabah dengan cara sujud yang sebenar-benar sujud atas segala kebesaran-Nya.

Dan nuansa seperti itu akan pembaca dapatkan pada Sajak “Menuju Pelabuhan” yang menjadi tajuk dan pembuka pada 17 kumpulan sajak terpilih Moh. Ghufron Cholid, saya petikan bait awal sajak tersebut, di bawah ini :

“Menuju pelabuhan kasihMu
Aku terkepung
Antara riak rindu dan ombak nafsu
Terkadang badai dan topan menerjangku
Aku serupa kapas
Berdansa di samudera lepas
Hilang arah tanpa batas”

Begitu kuatnya unsur transendental yang tersirat pada bait awal sajak tersebut. Dan saya yakin ini semua juga tidak terlepas dari pengaruh budaya hidup Moh.Ghufron Cholid yang sedikit tidak banyak dipengaruhi oleh atmosfir pesantren.

Puisi “Menuju Pelabuhan” ini, langsung mengingatkan saya dari sisi kekerabatan makna pada karya “CERITA BUAT IMANA TAHIRA” buah tangan penyair surealis spiritual Acep Zamzam Noor, yang sajak-sajak liris spiritualnya kebanyakan sering mengajak alam bawah sadar pemghayat untuk masuk ke dunia sufistik dalam mengungkap makna-makna yang bersifat transendental, melalui symbol-symbol alam, benda, cuaca, dll sebagai wujud pencitraan.

Seperti halnya “Menuju Pelabuhan”, Penyair Sepiritual Acep Zamzam Noor yang merupakan asset khasanah sastera tanah air ini, dalam “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, tersirat adanya suatu kekerabatan makna, yakni sama-sama tunduk dan tawaduk atas kebesaran Illaihi, betapa kita insan hanya serupa debu dihadapan Tuhan. Kurang lebih itu inti makna yang sama-sama ingin disampaikan. Mari kita baca dua bait yang saya kutip dari sajak Acep Zamzam Noor “CERITA BUAT IMANA TAHIRA”, di bawah ini :

“Memandang langit
Aku ingat wajah kekuasaan
Merah padam
Sedang menginjak bumi
Seperti kudengar suaraku yang sunyi

Di jalan setapak
Yang disediakan bumi tulus ini
Kata-kataku tumbuh dari udara
Kata-kataku membangun menara tinggi
Namun akhirnya runtuh juga” ( di petik dari sajak Acep Zamzam Noor )

Kekerabatan makna “Menuju Pelabuhan” ini juga bisa kita jumpai pada sajak “Doa” buah karya dari penyair D. Zawawi Imron, di mana pada karya “Doa”, penyair melalui aku lirik, betapa takjub akan kebesaran dan kekuasan Tuhan, dan betapa insan setiap mengingat kebesaranNya, terlihat kerdil tiada daya dibandingkan dengan segala kebesaran-Nya.

“bila kau tampakkan secercah cahaya di senyap malam
rusuh dan gemuruh mengharu biru seluruh tubuh
membangkitkan gelombang lautan rindu
menggebu menyala
dan lagu-Mu yang gemuruh
menyangkarku dalam garden-Mu” ( Dipetik dari sajak “Doa” D. Zawawi Imron ).

Suasana transendental juga akan kita jumpai pada karya “SHALAT” yang ada pada 17 sajak pilihan Moh. Gufron Chalid. Sajak pendek yang hanya satu bait dan terpeta terdiri 3 baris, saya rasa cukup berhasil membawa penghayat untuk masuk ke dalam dunia renung akan pentingnya menjalankan syariat Tuhan dengan sebaik-baiknya iman.
Secara makna, sajak ini mengingatkan saya pada tembang “Tamba Ati” karya Sunan Bonang yang sering saya nyanyikan saat saya masih kecil dan mengaji di mushola di desa saya Malang.

Sekali lagi saya katakana, secara makna, sajak Sholat ini sangat dalam, hanya secara puitika bahasa, karya ini terasa mengalir begitu saja, dalam arti, cengkeraman kuat yang bisa menghisap imaji penghayat kurang terbentuk, hal ini bisa jadi di karenakan puitisasi bahasanya yang terkesan standart ( umum).

Saya tidak membandingkan karya “Sholat” dengan” Tamba Ati” karya Sunan Bonang, namun saya hanya ingin menggambarkan betapa dengan pilihan diksi yang kuat dan susunan yang tepat, walau pendek, tembang “Tamba Ati” tetap mengemakan bunyi yang begitu mengesankan.

Saya petikan sajak “ Shalat “ dan “ Tamba Ati “, yang secara kekerabatan inti makna tidak jauh berbeda; yakni mengajak insan untuk menjalankan Syariat Tuhan dengan setulus-tulusnya ikhlas.

“Tuhan
Kau dan aku
Tak ada tabir rahasia”

Betapa di sini penyair dalam sajak “Sholat” ingin menyampaikan, bilamana kita menjalankan segala perintah-Nya ( Shalat ), ibarat pengantin dan atau bila dalam suatu rumah tangga, suami istri, tiada lagi penyekat untuk senantiasa berdekatan ( dalam koridor tanda kutip ). Sebuah pesan tersirat yang mengingatkan setiap insane ( penghayat ) untuk senantiasa tawaduk dan iklas dalam mendapatkan ijabah dari Tuhan, seperti yang ada pada larik lengkap tembang “ tamba Ati” karya Sunan Bonang dalam syiar islaminya.

“Tombo ati iku lima perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah ngijabahi

Kurang lebih maknanya seperti ini :

Obat hati itu ada lima macamnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan mengamalkan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga menjalin silahturahmi dengan orang saleh ( berilmu ),
Keempat menjalankan ibadah berpuasa, agar bisa memetik hikmah dari penderitaan kaum miskin.
Kelima sering-sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan. “

Jadi secara implisit seperti itulah pesan yang terkandung pada puisi pendek yang hanya 3 baris di luar judul, mempunyai kandungan makna seperti pemaknaan yang ada pada tembang “tamba Ati”, khususnya dalam pencapaian tingkat ijabah Tuhan “Siapa saja yang mampu mengerjakannya,
Insya’ Allah Tuhan dari segala Tuhannya umat akan mengabulkan”.

Terlepas dari kurang kuatnya daya hisap imaji karya, sajak “Sholat” ini patut untuk dibaca sebagai bahan renung agar kita senantiasa ingat dan bisa lebih dekat dengan Tuhan. Amin.

Dan pembaca akan semakin diajak bertilawah hati dalam menangkap pesan-pesan transendental yang ada pada 17 sajak pilihan karya Moh.Ghufron Cholid, yang dengan bahasa lugas dan membumi. Walau dalam kesederhanaan puitisasi bahasa, dan minimnya penggunaan majas metaphora, tapi ketotalan penyair dalam menjiwai setiap gores baris sajaknya, menjadikan sajak-sajak tersebut serasa punya roh untuk bercerita, serta memudahkan setiap pembaca dalam menerjemahkan pesan tekstual sajak dengan mudah. Seperti pada sajak “ SELEPAS SUBUH” yang merupakan bentuk penghormatan dan kekaguman penyair pada gurunya yang telah berpulang ke Rahmattullah, saya kutip penuh , seperti di bawah ini:

SELEPAS SUBUH
Teruntuk guru tercinta Alm. KH. Moh. Tidjani Djauhari

Guru
Selepas subuh
Rumput-rumput bertahlilan
Beburung membaca yasin
Di sekitar nisanmu
Lalu
Kusaksikan pohon-pohon doa semakin lebat daunnya
Lantas
Meneduhi nisanmu
Kemudian
Aku mengerti
Suatu hari nanti
Wajahku berganti nisan
Namun
Aku belum tahu
Apakah nisanku akan seteduh nisanmu
Namun
Aku belum tahu
Jika wajahku telah berganti nisan
Apakah rumput-rumput akan bertahlilan
Dan beburung akan membaca yasin
Semisal yang kusaksikan selepas subuh ini (Al-Amien, 2009)

( andai saja mau sedikit menyentuh tipograpi puitikanya/pemetaan baitnya, saya yakin sajak ini akan kian bernas dan semakin enak dibaca)

Akhir kata, terlepas dari segala plus minus karya sajak ini,tidaklah berlebihan bila saya katakan 17 karya pilihan Moh.Gufron Cholid ini layak untuk dibaca, sebagai salah satu jalan mencari kebenaran melalui pemikiran-pemikirannya yang dia tuangkan dalam sajak bernuansa spiritual.

Memang pembaca tidak akan menemukan permainan-permainan symbol bahasa/majas sekuat dan sekental karya-karya Acep Zamzam Noor dan D. Zawawi Imron pada kumpulan sajak-sajak “ Menuju Pelabuhan “ ini, namun begitu, dalam kelugasan puitisasi bahasa sajaknya, pembaca akan diajak bertilawah pada keteduhan iman yang dalam.

Biodata Penyair :

Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 M dari pasangan KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh. Ia adalah salah seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), selain itu adalah seorang tenaga edukatif di MTs TMI Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465 dan ditengah kesibukannya menjadi ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Pondok Pesantren Al-Amien, ia menjadikan menulis puisi sebagai kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu luang.

Karya-karyanya bisa dibaca di Antologi.Net, Puitika.Net, penulisindonesia.com, www.kopisastra.co.cc dan diberbagai situs online lainnya.

Mengasah Alief (2007),Antologi puisinya yang mendapat kata sambutan positip dari D. Zawawi Imron, KH. Moh. Idris Jauhari, dan Penyair Jerman. Selain itu Antologi Puisi Yaasin (2007), Antologi Puisi Toples (2009), merupakan karya-karyanya yang telah berhasil dia bukukan.

Salam lifespirit! 20 Maret 2010

KISI-KOTA, Kalau Sastrawan Tinggal di Apartemen

Gerson Poyk
http://www.sinarharapan.co.id/

Minggu lalu beberapa sastrawan ibu kota diundang oleh sastrawan (penyair) Leon Agusta dan istri Amerikanya untuk pesta kecil memasuki rumah baru, yaitu sebuah apartemen di depan harian Kompas. Bangunan itu setinggi tiga puluh tingkat.

Mungkin karena pertemuan Leon dengan Maggy di sebuah apartemen bernama Mayflower di Iowa City, maka setelah bertahun-tahun tinggal di kampung-kampung dan di kawasan perumahnn indah tidak membetahkan mereka. Mereka rindu pada apartemen. Maka mereka memilih tingkat tiga, sebuah ruang yang tak terlalu melayang, Atau mungkin karena keamanan lebih terjaga, sebab ada satpam dan mobil yang masuk diperiksa dengan teliti.

Setelah gembira bertemu dengan teman-teman dan kenyang menikmati makan-minum, kami pulang dengan sebuah taksi yang dibayar oleh novelis Hanna Rambe. Beliau mengantar penyair Kirnanto ke Utan Kayu, kemudian taksi berputar ke Thamrin lalu kami berpisah, naik bus ke Depok. Inilah susahnya Jakarta kalau ada acara pertemuan kangen-kangenan dengan teman seniman. Kecuali kalau ada helikopter yang hinggap di atap apartemaen lalu membawa pulang ke Depok, Grogol dan Utan Kayu. Itulah khayalan masa depan.

Kenangan masa lampau tinggal di apartemen Mayflower di Iowa juga indah. Saya menempati tingkat enam. Setiap hari mengetik novel Sang Guru dan beberapa karya lain yang sudah sering dipesan pemerintah (Inpres) dan sudah diskripsikan dan ditesiskan oleh beberapa mahasiswa dalam dan luar negeri untuk memperoleh S1, S2 dan S3.

Mungkin tinggal di apartemen di negeri sendiri agak lebih baik. Karena tidak ada salju, maka orang bisa keluar cari kopi di warung-warung, nongkrong di langit terbuka, buka baju pun boleh. Tinggal di apartemen di musim salju di negeri orang membuat saya diserang penyakit home sick. Tiap seperempat jam di malam hari yang sunyi saya membuka kotak surat. Mau minum kopi ada tetapi kita hanya berhadapan dengan mesin. Taruh koin di mesin, kopi keluar. Ini juga yang membikin sakit. Seorang teman saya, sastrawan terkenal dari Amerika Latin, memukul-mukul mesin itu karena kopi tidak keluar.

Hal ini membuat saya memperoleh inspirasi untuk membual bahwa saya menolong sastrawan itu dengan mundur beberapa langkah ke belakang lalu melompat dan menendang ”warung kopi” bego itu. Maka hancurlah mesin itu. Uang dan kopi berhamburan. ”Pantas, kami orang Indonesia gampang membunuh jutaan orang. Begini caranya!” kata sastrawan itu. Untung cuma fiksi.

Dua Laki-Laki

Teguh Winarsho AS
http://www2.kompas.com/

“IA belum datang!” Rasto mendengus. Malam gelap tanpa bintang dan langit cuma bentangan kain hitam. “Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!” Rasto menyandarkan punggungnya pada tiang listrik. Matanya merah. Sementara jalan di depannya telah sepi sejak satu setangah jam lalu.

Hanya perempuan-perempuan dengan bedak tebal, parfum menyengat, dan tawa melengkingsesekali masih lewat. Rasto mengeluarkan botol minuman dari balik jaket dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.

Waktu bergerak lambat seperto tusukan belati di jantung Rasto. Dan nyamuk-nyamuk itu telah menjadi begitu buas membuat tubuhnya bentol-bentol merah. Membuat kepalanya terasa berat dan sesekali berputar. Membuat darahnya mendidih seperti terbakar. Membuat suasana malam menjadi sangat buruk dan celaka. Mestinya malam ini ia enak-enak di rumah, tidur atau nonton televisi. Tapi sudah hampir tiga jam ia berdiri di pinggir jalan, seperti gelandangan. “Ia belum datang!” Lagi Rasto mendengus, geram. Matanya semakin merah. Nafasnya sengal.

Sebuah mobil patroli tiba-tiba melintas di jalan depan. Rasto merunduk menyembunyikan tubuhnya di balik tiang listrik. Sudah lama ia malas berurusan dengan makhluk-makhluk berseragam itu. Rasto melihat ada dua orang di dalam mobil itu. Seorang bertubuh gemuk dan seorang lagi kepalanya botak. Rasto terus merunduk hingga mpbil itu berlalu dan lenyap ditelan gelap.

“Ia belum…,” Rasto tak sempat meneruskan kalimatnya. Matanya tiba-tiba mengerjap, menyala. Bibirnya mengurai senyum. Di kejauhan tampak sosok manusia tengah berjalan ke arahnya. Rasto dengan cepat bisa mengenali sosok itu. Rasto bahagia. Matanya berkilat-kilat. Sejenak Rasto mengusap pangkal belati di balik jaketnya. Masih tersimpan rapi. Rasto segera menghadang sosok itu. Ia tak punya waktu banyak. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya!

Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Angin malam terasa dingin menyentuh kulitnya, tapi kemarahannya tak mungkin bisa ditunda. Rasto terus berdiri tegak sementara sosok itu kian berjalan mendekat. Perlahan-lahan Rasto meraba belatinya. Ia akan mencabut belati itu pada saat sosok itu berdiri persis di depannya. Ia akan menghujamkan belatinya berkali-kali ke tubuh sosok itu hingga lusa ia akan membaca berita koran tentang seseorang yang terbunuh di pinggir jalan; seorang laki-laki yang tubuhnya rusak oleh tikaman belati! Tapi…. Tapi…. Mendadak rasto beringsut mundur, menggosok-gosok mata. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!

“Ia belum datang!” Rasto mendesah kembali menyandarkan punggungnya pada tiang listrik.
Mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.

Sebuah mobil patroli kembali melintas. Mobil yang sama. Juga orang yang sama. Rasto segera merunduk, menyembunyikan tubuhnya di balik tiang listrik. Tapi, entah, tiba-tiba Rasto mulai menimbang-nimbang kekuatannya untuk melawan dua orang berseragam itu. Ia bosan terus menerus dicekam ketakutan dan harus bersembunyi jika mobil patroli itu melintas di depannya. Itu pekerjaan lain di luar perhitungannya. Ia akan merasa tenang jika tak ada orang yang mengganggu pekerjaannya.

Seperti tahu ada orang bersembunyi di balik tiang listrik, mobil patroli itu berhenti mendadak. Seorang polisi turun menghampiri Rasto. Rasto tak bisa menghindar. Rasto ke luar dari tempat persembunyian, berdiri, sedikit tersenyum, menyambut kedatangan polisi itu. Sesaat Rasto sempat mmeraba pangkal belati di balik jaketnya. Masih tersimpan rapi. Tapi pangkal belati itu kini telah menjadi begitu dingin seperti membangkitkan sesuatu. Sesuatu yang juga dingin dan menegangkan.

Rasto pernah merasakan perasaan semacam itu entah berapa tahun lalu. Rasto akan meraih belati itu pada saat polisi itu menggeledah dirinya. Ia akan menghujamkan belatinya ke perut polisi itu.

Polisi itu menyuruh Rasto mengangkat tangan dan berbalik menghadap tiang listrik. Rasto sempat melihat polisi itu membawa pistol. Tapi Rasto tidak gentar. Ia dengan mudah bisa mengelabui polisi itu dengan mengajak bercakap-cakap atau memberinya beberapa batang rokok, dan pada saat bersamaan, ia akan menghujamkan belatinya ke perut polisi itu. Rasto sudah berbalik sembari mengangkat tangannya. Polisi itu lantas menggeledah dan hanya mendapatkan sebotol minuman yang hampir habis, lalu melemparkannya ke selokan. Rasto lega. Belati itu tersembunyi rapi.

Dengan langkah gagah polisi itu kembali ke mobilnya. Pada saat bersamaan Rasto meraba belatinya. Ia akan menusuk punggung polisi itu dari belakang. Mungkin hanya perlu empat atau lima tusukan dan lusa ia akan membaca berita di koran tentang seorang polisi yang terbunuh di pinggir jalan. Tubuhnya rusak penuh tikaman belati.

Pelan-pelan Rasto mulai mengeluarkan belatinya. Ujung belati itu tampak berkilat-kilat di matanya. Rasto berjalan menyusul polisi itu. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Rasto sadar, ia hanya bisa membunuh satu polisi itu, sementara polisi satu lagi akan menembaknya dari dalam mobil. Cukup satu peluru di batok kepalanya dan ia akan tamat! Rasto tak mau mati konyol sebelum pekerjaannya selesai. Ia biarkan polisi itu masuk ke dalam mobil yang langsung menderu meninggalkan dirinya.

Rasto kembali menyandarkan punggungnya pada tiang listrik. Menatap langit di atas yang belum berubah.

“Ia belum datang….” Untuk kesekian kalinya Rasto melontarkan kalimat sama. Hanya kali ini datar tanpa tekanan. Mungkin juga tanpa emosi. Tapi sesekali ia masih meraba pangkal belati di balik jaketnya. Sesekali pula matanya masih menatap tajam kegelapan.

Tapi waktu enggan berhenti. Waktu terus berlalu dan berlalu hingga pagi tiba dan jalan di depannya menjadi ramai oleh kendaraan dan juga orang-orang yang berjalan tergesa-gesa. Rasto buru-buru meninggalkan tempat itu.
***

“IA belum datang!” rasto mendengus. Geram. Malam remang seperti kuburan tua. “Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!”

Rasto menyandarkan punggungnya pada tiang llistrik. Jalan di depannya telah sepi sejak ia datang. Entah ke mana perempuan-perempuan dengan bedak tebal dan parfum menyengat yang biasa hilir mudik, mencari laki-laki hidung belang.

Rasto mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Ia harus menghemat minuman itu sebelum subuh datang dan segalanya berakhir. Ia tidak tahu apakah akan pulang dengan kebahagiaan atau terkapar di pinggir jalan.

Menit-menit terus berlalu seperti menunggu ajal tiba. Dan dingin udara malam telah membuat kemarahan Rasto yang terpendam sekian malam kembali menganga. Membuat kepalanya berdengung-dengung seperti habis ditimpuk batu. Tapi sudah hampir empat jam ia berdiri di situ.

“Ia belum datang!”

Sebuah mobil patroli polisi melintas pelan di depan Rasto. Rasto heran, mobil patroli itu melintas malam-malam saat orang lain tidur nyenyak.

Rasto segera menjatuhkan tubuhnya di atas tanah, tiarap. Kemarin malam ia gagal menghabisi mahkluk-mahkluk berseragam itu. Rasto melihat ada dua orang di dalam mobil itu. Seorang bertubuh kurus dan seorang lagi mengenakan topi. Rasto terus tiarap hingga mobil itu berlalu dan lenyap ditelan gelap. Rasto kemudian berdiri lagi. Menyandarkan punggungnya pada tiang listrik.

“Ia belum…”

Kalimat itu terputus begitu saja. Secepat kilat Rasto meraba belatinya. Kali ini ia tak mungkin salah. Ia dapat mencium bau tubuh sosok itu. Hidungnya tak mungkin menipu. Rasto menghadang sosok itu. Ia harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya sebelum mobil patroli polisi datang.

Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Kemarahannya sudah tak tertahankan. Sosok itu terus berjalan mendekat.

Perlahan-lahan Rasto meraih belatinya. Ia akan menhujamkan belatinya ke tubuh sosok itu, berkali-kali, hingga darah muncrat ke udara dan lusa ia akan menyaksikan berita di televisi tentang seseorang yang terbunuh di pinggir jalan. Tapi…. Tapi…. Mendadak Rasto gemetar lalu menyimpan belatinya. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!
***

“IA belum datang!” Mata Rasto berkilat. “Baiklah, baiklah, aku akan menunggunya!”

Rasto menyandarkan punggunngnya pada tiang listrik. Mengeluarkan botol minuman dan menenggaknya pelan-pelan. Itu adalah botol terakhir miliknya. Rasto terus menunggu. Tapi menit-menit berlalu hampa. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Malam masih gelap dan sepi seperti malam-malam sebelumnya.

Tapi mendadak mata Rasto menyala. Cepat ia meraih belatinya. Ia akan menusuk sosok itu begitu sampai di depannya. Rasto berdiri tegak menghadang sosok itu. Ia sudah tak sabar lagi. Sosok itu terus berjalan mendekat. Rasto menggenggam belatinya kuat-kuat. Ia akan menusukkan belatinya ke tubuh sosok itu. Berkali-kali. Dan besok pagi-pagi sekali penduduk kota pasti gempar menemukan seorang laki-laki terkapar di pinggir jalan. Tapi mendadak Rasto menggigil. Sosok itu bukan orang yang ditunggunya!
***

RASTO berdiri di pinggir jalan. Gerimis mulai turun. Rasto memperhatikan orang-orang yang berjalan tergesa-gesa di depannya. Beratus-ratus orang lewat di depannya. Tapi orang yang ditunggunya tak kunjung darang. Rasto menelan ludah. Tenggorokannya kering. Tapi ia sudah tak punya minuman lagi. Jaketnya kosong, hanya berisi belati. Sesekali ia meraba pangkal belati itu dan ia merasakan darahnya berkelupuk, mendidih.

“Apakah ia telah menjadi seorang pengecut?!” Rasto geram. Menyandarkan punggungnya padatiang listrik. Perutnya mulai berkerucuk lapar.

Sejak kemarin perutnya memang hanya berisi minuman. Dan malam ini ia benar-benar merasakan kepalanya pening. Tubuhnya menggigil gemetar panas dingin seperti terserang demam. Sementara detik terus beringsut menjadi menit dan menit berputar menjadi jam. Waktu berlalu sia-sia! Tubuh Rasto tiba-tiba rubuh ke tanah hanya beberapa menit setelah sebuah mobil patroli polisi melintas di depannya. Hanya beberapa detik setelah hujan turun deras disertai kilat menyambar-nyambar. Tak ada yang mengetahui keberadaannya. Seorang pun!

Sementara di sebuah sudut jalan lain, tak jauh dari tempat itu, tampak beberapa orang mengerubungi sosok laki-laki yang terkapar di pinggir jalan. Tak ada luka pada tubuh laki-laki itu. Hanya wajahnya mulai pucat membiru. Jelas laki-laki itu belum lama mati. Orang-orang menduga laki-laki itu mati kedinginan. Tapi orang-orang terhenyak setelah mengetahui laki-laki itu menyembunyikan pedang di balik jaketnya.

“Sudah beberapa malam. Ia seperti menunggu seseorang….”
***

Kamis, 16 September 2010

PIJAR KATA NUREL DI TENGAH ALUN ZAMAN

KRT. Suryanto Sastroatmodjo
http://www.sastra-indonesia.com/

“Cinta sangat menentukan kelanjutan proses penyebab atau proses kehidupan subyek. Sebab ketika berada di titik koordinat, kita jelas mendapati karakter diri sebenarnya atau dengan titik seimbang, cermin diri sanggup merasakan getaran kesungguhan dari sang maha Penyebab Cahaya Ilahi: Apakah kita gemetar atau semakin asyik oleh kesejukan Cahaya. Sebelum sampai ke suatu akhir bernama akibat (mati, timbangan pahala)” dikutip dari buku Kajian Budaya Semi (buku pertama Trilogi Kesadaran), bagian Kajian Sebab atas Subyek, Nurel Javissyarqi. Di situ penulis muda, merupakan intan pemikiran dan mutiara-penggagas keadilan ruh dari Lamongan, bicara tentang pemaknaan hayati.

D. Zawawi Imron: Duta Madura untuk Sastra Indonesia Modern

Jamal D. Rahman
Sumber, http://jamaldrahman.wordpress.com/

Dia adalah manusia ajaib dalam khazanah sastra Indonesia. Dari mana datangnya penyair ini? Apa yang bisa menjelaskan bahwa dari Batangbatang, sebuah desa sekitar 20 km sebelah timur kota Sumenep, Madura, lahir seorang penyair penting Indonesia yang sangat produktif, tanpa pendidikan dan pergaulan intelektual yang memadai? Tidak seperti banyak pernyair Indonesia, D. Zawawi Imron tetap memilih tinggal di desa kelahirannya, tempat inspirasi bergumul dengan imajinasi yang kemudian diolahnya menjadi konstruksi estetis yang relatif memukau. Dalam hubungannya dengan kepenyairan Zawawi, yang paling penting dari desa kelahirannya mungkin kekayaan alamnya —kekayaan alam di mata seorang penyair. Sudah barang tentu terdapat hubungan kompleks antara alam desa dengan kepenyairan Zawawi, yang tidak mungkin direduksi menjadi sekedar hubungan kausalitas linear. Tapi apa pun bentuk hubungan itu, desa Batangbatang pastilah memiliki arti penting bagi Zawawi.

Salah satu sisi menarik dari hubungan Batangbatang dengan kepenyairan Zawawi, yang mungkin perlu juga dipertimbangkan dalam melihat kepenyairan pria kelahiran tahun 1946 ini, adalah fakta berikut. Dalam bahasa Madura dan bahasa Indonesia kata batang kebetulan memiliki arti yang sama (Asis Safioedin, S.H., 1977: 56), hanya bentuk jamaknya yang berbeda: tang-batang dalam bahasa Madura; batang-batang dalam bahasa Indonesia. Maka dalam bahasa Madura desa Zawawi itu disebut Tangbatang, dan biasa diindonesiakan menjadi Batangbatang. Karena kesamaan arti tersebut, pada hemat saya tak ada problem etimologis untuk memaknai Batangbatang, desa Zawawi itu, dalam konteks karier Zawawi sendiri sebagai penyair Indonesia.

Setidaknya bagi saya, Batangbatang adalah sebuah nama yang puitis. Tidak mudah menemukan nama desa yang puitis, bahkan sekedar nama desa yang jelas artinya, khusunya di Maduara. Agak mengeherankan bahwa desa Zawawi memiliki nama yang bukan saja jelas artinya, melainkan juga puitis dan imajinatif. Pemberian nama itu seakan-akan penuh perhitungan: ada rasa literer di sana; ada imaji; ada denyut estetis. Yang lebih menarik adalah bahwa nama tersebut merupakan idiom yang sangat akrab dengan alam agraris pedesaan, sebuah kata yang pastilah mengacu pada perbendaharaan desa pada umumnya, dan desa Zawawi pada khususnya. Dengan demikian, Batangbatang bukanlah nama yang asing bagi sebuah desa di pedalaman Maduara itu.

Desa Batangbatang dibagi menjadi dua wilayah, utara dan selatan. Kalau Anda datang ke desa itu dari arah utara, maka setelah melewati desa Batangbatang Daya, Anda akan memasuki wilayah lain desa tersebut dengan nama yang, dilihat dari bahasa Indonesia, lebih puitis lagi: Batangbatang Laut! Nama tersebut terpampang pada papan nama desa di pinggir jalan raya. Lepas dari problem pengindonesiaan nama desa itu, Batangbatang Daya dan lebih-lebih Batangbatang Laut jelas merupakan nama yang sangat puitis, imajinatif, dan asosiatif. Batangatang Laut adalah sebuah nama yang secara puitis mengandung imaji alam daratan dan imaji alam laut, yang nanti terefleksi dalam puisi-puisi D. Zawawi Imron.

Demikianlah Batangbatang seakan sebuah nama yang menyedihkan dirinya bagi kelahiran seorang penyair dan intelektual yang memiliki rasa literer, imaji dan denyut estetis. Nama itu seolah memberikan seluruh bakat, daya artistik dan itelektualnya kepada anak desa terbaiknya, sehingga hanya dengan pendidikan setingkat Sekolah Dasar dan sekitar setahun pendidikan pesantren pun dia mampu lahir sebagai penyair yang diperhitungkan, penulis cerita rakyat Madura, kolonmnis di berbagai media cetak, pembicara dalam forum-forum akademis, dosen di beberapa perguruan tinggi, mubalig, dan pelukis. Semua profesi ini dibangun dari desanya yang tandus nun jauh di ujung timur Pulau Madura. Dia lahir dari keluarga petani miskin pula.
Tapi lebih dari sekedar memberikan seluruh bakat, daya artistik dan intelektual, bagi Zawawi kehidupan desa bahkan membangkitkan vitalitas hidup yang tak habis-habisnya. Desa tempatnya lahir dan besar itulah yang mula-mula menjadi telaga lahir kreativitasnya sebagai penyair. Katanya (D. Zawawi Imron, 1996: 137-138),

Saya dilahirkan di sebuah dusun yang terletak di lembah sebuah bukit, yang di pinggir-pinggir dusunnya masih hutan belukar. Pada pagi hari, saya dapat melihat bagaimana matahari terbit dai celah bukit. Dan jika kebetulan bulan purnama, saya pun dapat menyaksikan bulan muncul dari puncak siwalan. Di hutan itu, masih banyak berkeliaran ayam hutan. Ya, saya lahir di tengah alam yang masih murni, dan indah menurut ukuran saya. Di sebelah selatan rumah, ada telaga kecil, di situlah saya biasa mandi, sambil memperhatikan capung-capung merah, biru, saling berkejaran dan sewaktu-waktu menyentuhkan kakinya ke air. Saya merasakan ini pertunjukan yang sangat mengasyikkan. Saya juga sering membuat perahu-perahu kecil sari ilalang, lalu melayarkannya di atas air itu sambil membayangkan bandar-bandar yang jauh, yang belum pernah saya singgahi, tapi sering disebut kakek. Memang, kakek sering berlayar ke Probolinggo, Tuban, bahkan Banjarmasin. Melayarkan perahu-perahu ilalang ini punya kenikmatan tersendiri. Ini antara lain yang mempengaruhi angan saya tentang kehidupan, baik yang bisa dibayangkan angan, maupun yang tak bisa dibayangkan, tapi itu terasa sangat indah.

Kerap saya memperhatikan ibu ketika duduk mengahadap ke barat sambil membaca sebuah buku dengan suara syahdu sekalipun saya tak mengerti maksudnya. Saya perhatikan, ibu penuh kesungguhan. Setelah agak besar, baru saya tahu bahwa yang dibaca ibu itu Al-Qur’an.

Ada lagu-lagu Madura yang kata-katanya tak seluruhnya saya mengerti saat itu, tapi irama lagunya mampu membuat hati saya tergetar. Ada gamelan Madura yang disebut saronen untuk mengiringi kerapan sapi. Saya lihat jika saronen itu ditabuh, orang-orang yang sedang jalan pun seakan menyesuaikan langkahnya dengan iramanya.

Keindahan seperti itulah yang berpengaruh pada jiwa saya untuk merasakan bahwa hidup itu begitu segarnya sehingga berkenalan dengan alam di sekililing punya andil besar dalam perjalanan kreatif sastra saya di kemudian hari.

II
Orang cenderung tergoda untuk membandingkan puisi-puisi D. Zawawi Imron dengan puisi-puisi Abdul Hadi W.M. karena mereka berasal dari daerah yang sama, di samping karena keduanya sama-sama mangangkat Madura dalam karya mereka. Ketika membicarakan penyair-penyair Indonesia dekade 1970-an yang belum benar-benar menonjol, A. Teeuw mengatakan bahwa Zawawi adalah “seorang penyair dari Madura, dengan mutu sajak-sajaknya yang agak kontroversial dan tak sedikit pun mendekati mutu karya-karya rekan sepulaunya, Abdul Hadi” (A. Teeuw, 1989: 163). Sayangnya, Teeuw tak menunjukan sedikit pun di mana letak kelemahan puisi-puisi Zawawi, sehingga kita pun tak tahu sejauhmana informasi tentang kepenyairan Zawawi sampai kepadanya.

Sudah pasti penilaian itu berdasarkan pada perkembangan kepenyairan Zawawi sampai akhir dekade 1970-an, ketika Teeuw mengemukakan pendapatnya di atas. Tapi sangat mungkin tidak semua karya Zawawi hingga akhir dekade itu ampai ke tangan Teeuw, karena ternyata banyak puisinya baru dimuat dalam kumpulan puisi yang terbit pada dekade berikutnya. Sementara, kepenyairan Zawawi mengalami perkembangan penting dan mendapat publikasi lebih luas justru selepas dekade 1970-an, yaitu dengan terbitnya buku puisi Bulan Tertusuk Lalang (1982), Nenekmoyangku Air Mata (1985), dan Celurit Emas (1986)2

Meskipun demikian, sajak-sajak Zawawi tetap relatif jarang dibicarakan atau dibahas dalam publikasi-publikasi luas dan terbuka, kecuali penelitian-penelitian akademis untuk keperluan tugas-tugas akhir kesarjanan di beberapa universitas, khususnya oleh Subagio Sastrowardoyo khusus untuk Bulan Tertusuk Lalang dan Nenekmoyangku Air Mata (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 208-221). Seraya mengatakan bahwa secara subjektif Subagio menyukai puisi-puisi Zawawi, dia menunjukkan pula keganjilan-keganjilan imajinya, yang menurut Subagio mengurangi tenaga ucap puisi-puisi Zawawi sendiri. Tapi dia segera mengatakan bahwa apa pun wujud puisi-puisi Zawawi, dia tetap mencintainya. Sebab bagaimanapun, bagi Subagio (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 219-220),

D. Zawawi Imron telah mencapai kematangan mengucap dan bersikap. Bahasa puisi bukan soal kata-kata dengan bunyi dan makna denotatif dan konotatifnya belaka, tetapi juga soal angan-angan yang timbul dari konteks kata, serta struktur yang merupakan kebulatan dan kepaduan bicaranya …. Dan Zawawi Imron telah berhasil mencapai pengucapan pribadi yang khas itu ….

III
D. Zawawi Imron adalah “penyair Madura” par excellence. Penyair yang menulis dalam bahasa Indonesia dengan mengangkat khazanah Madura dalam sajak-sajaknya. Yakni penyair yang menjadikan Madura hadir secara amat bermakna dalam khazanah sastra Indonesia. Lahir, tumbuh, dan besar di Madura tentu membuat Zawawi akrab dengan idiom-idiom Madura, sehingga dia bisa memaknainya secara intens dalam sajak. Yang lebih penting adalah bahwa dia tampak melakukan pergulatan batin dan dialog dengan lingkungan terdekatnya: pohon siwalan, lenguh sapi, kalung genta sapi kerapan, saronen (musik tradisional Madura pengiring kerapan sapi), legenda rakyat Madura, kemarau, laut, dan lain-lain.

Dan Madura telah menjadi sumber inspirasi sejak masa-masa paling awal karier kepenyairannya. Pada sajak yang berjudul “Ibu”, misalnya, yang ditulis pada tahun 1966, idiom-idiom Madura relatif kental, dan dengan itulah Zawawi menyatakan cintanya kepada sang ibu. Saya kutip seluruhnya (D. Zawawi Imron, 1999: 3):

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.

Sebagaimana bagi banyak orang, bagi Zawawi ibu adalah segalanya. Yang menarik dari sajak di atas adalah bahwa dalam menyatakan cinta kepada sang ibu, Zawawi menghadirkan suasana yang relatif khas Madura: kesadaran tentang kemarau hingga sumur-sumur kering, kesadaran merantau, kesadaran tentang kekayaan laut, dan kesadaran religius. Semua itu merupakan kesadaran masyarakat Madura terhadap lingkungan alam mereka, baik daratan maupun lautan, yang terstruktur dalam sistem sosial mereka. Demikianlah para petani menyadari tentang kemarau yang di Madura terjadi relatif panjang, rata-rata selama 6 bulan pertahun, sehingga mereka menyadari pula bahaya kekeringan. Para nelayan menyadari tentang kekayaan laut, menyadari pula kemungkinan merantau lewat jalan laut itu. Dan, mereka memiliki kesadaran religius karena kuatnya pengaruh Islam di sana. Tentu saja, kenyataan seperti ini bukanlah monopoli tradisi Madura. Namun, tak bisa disangkal pula bahwa demikianlah realitas sosial-budaya masyarakat Madura.

Madura terasa kental mewarnai puisi-puisi Zawawi terutama yang terkumpul dalam Semerbak Mayang (1977), Madura, Akulah Lautmu (1978), dan Tembang Dusun Siwalan (?) —yang kemudian diterbitkan kembali bersama sejumlah puisi lain dalam Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996). Semua judul antologi tersebut menyiratkan warna lokal Madura. Lebih dari itu, judul antologi puisi terakhir sengaja diambil dari lirik nyanyian tradisional Madura, yang menyiratkan pengakuan penyair bahwa dia secara sadar memang menimba dari sumber-sumber Madura untuk puisi-puisinya dalam buku ini.

Zawawi bahkan bukan saja mengakui Madura sebagai sumber inspirasi puisi-puisinya, melainkan juga “mengankat” atau mengklaim dirinya sebagai laut dan darah Madura itu sendiri. Dia memberi judul kumpulan puisinya Madura, Akulah Lautmu, lalu menulis sebuah sajak berjudul “Madura, Akulah Darahmu”. Klaim yang sepintas terkesan ambisius ini seakan menegaskan bahwa Zawawi adalah duta Madura dalam puisi dan sastra Indonesia modern. Sejauh ini, klaim tersebut mungkin tidak berlebihan, mengingat dialah penyair (Madura) yang paling rajin menggali kekayaan alam Madura —sekali lagi: kekayaan di mata seorang penyair— untuk keperluan saja-sajaknya. Dan melalui dialah Madura hadir secara lebih kaya dan elegan dalam khazanah puisi Indonesia.

Tetapi, kemungkinan itu bukan tanpa konsekuensi, yang tampaknya tidak disadari oleh Zawawi sendiri. Konsekuensi itu adalah bahwa —setidaknya dalam kesan pribadi saya— cinta dan penghormatan Zawawi kepada Madura terasa lebih besar daripada cinta dan penghormatannya kepada sang ibu. Benar bahwa ibu adalah segalanya, namun bagi Zawawi Madura lebih dari segalanya. Hal ini terutama terlihat dari cara Zawawi memposisikan diri (baca: aku-lirik) di hadapan ibu dan Madura, dan cara Zawawi memposisikan ibu dan Madura itu sendiri di hadapan dirinya (baca: aku-lirik). Agar lebih jelas, saya kutip puisi “Madura, Akulah Darahmu” seutuhnya (D. Zawawi Imron, 1996: 98-99):

Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku

di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.

Dalam “Ibu”, aku-lirik jelas memposisikan diri sebagai anak dan memposisikan “engkau” sebagai ibu (… aku tahu/ engkau ibu dan aku anakmu). Aku-lirik juga memposisikan diri sebagai seorang anak yang merasa … hutangku padamu tak kuasa kubayar. Sementara itu, kalau aku merantau lalu datang musim kemarau, sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting, aku-lirik memposisikan ibu sebagai satu-satunya … mataair airmata … yang tetap lancar mengalir. Aku-lirik juga memposisikan ibu sebagai gua pertapaan dan orang … yang meletakkan aku di sini. Bila kasih ibarat samudera, maka lautan teduh akan terasa sempit, dan itu berarti semua kandungan lautan —lokan-lokan, mutiara, kembang laut— adalah bagi aku-lirik sendiri. Paling jauh, bagi aku-lirik, ibu adalah bidadari yang berselendang bianglala.

Bandingkan dengan cara Zawawi (basa: aku-lirik) memposisikan diri di hadapan Madura dan sebaliknya dalam “Madura, Akulah Darahmu”. Di situ, aku-lirik jelas mengambil posisi sebagai anak sulung yang sekaligus anak bungsumu (Madura), bukan sekedar anak dari seorang ibu. Aku-lirik menegaskan, biar berguling di atas duri hati tak kan luka/ meski mengeram di dalam nyeri cinta tak akn layu —satu penegasan bahwa aku-lirik akan memberikan seluruh pengorbanan dan cintanya kepada Madura. Bahkan, aku [adalah] sapi kerapan/ yang lahir dari senyum dan airmatamu. Itu sebabnya cinta dan penghormatan aku-lirik kepada Madura bersifat tegas dan aktif: bila musim labuh hujan tak turun/ kubasuhi kau dengan denyutku/ bila dadamu kerontang/ kubajak kau dengan logamku. Tidak mengherankan kalau puisi itu diakhiri dengan sumpah aku-lirik: madura, akulah darahmu.

Sementara itu, Madura diposisikan sebagai semesta yang teramat luas, lebih luas daripada sekedar gua pertepaan atau samudera: pulau itu menanggung biru langit moyangku, menanggung karat/ emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua. Aku-lirik bahkan berseru, madura, engkaulah tangisku. Sedari awal telah dikemukakan imaji-imaji yang bersifat aktif: di atasmu, bongkohan batu yang biru/ tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dalam puisi “Ibu” aku-lirik memposisikan diri sebagai seorang anak yang cinta dan penuh hormat kepada sang ibu, tapi cinta dan hormat itu bersifat pasif belaka. Ibu pun diposisikan sebagai gua pertapaan, pahlawan, dan bidadari yang berselendang bianglala. Sementara dalam “Madura, Akulah Darahmu”, aku-lirik bukan saja memposisikan diri sebagai seorang anak, melainkan anak sulung sekaligus anak bungsu. Lebih dari itu, seluruh cinta, penghormatan, dan kesediaan aku-lirik berkorban demi Madura bersifat aktif dan tegas. Berbeda juga dengan ibu, Madura diposisikan sebagai tangis sekaligus semesta yang teramat luas, bahkan tak terhingga, menanggung pula beban yang teramat berat: biru langit, emas semesta, sekarat tujuh benua.

Kesimpulan ini mungkin berkaitan dengan pekembangan daya ungkap kepenyairan Zawawi, karena puisi “Ibu” ditulis pada tahun 1966, sedangkan “Madura, Akulah Darahmu” ditulis pada tahun 1980. Tapi di tahun 1980 juga, Zawawi menulis sajak “Kepada Ibu” (D. Zawawi Imron, 1985: 82), yang pada hemat saya justru tidak lebih “matang” dibandingkan “Ibu”, tidak pula mengungkapkan cinta dan penghormatan secara lebih mendalam kepada Ibu.3 Maka melihat sejumlah sajaknya tentang ibu dan Madura, saya cenderung mengatakan bahwa keterlibatan Zawawi dengan kekayaan alam Madura —yang dilakukan secara intens hampir sepanjang kariernya sebagai penyair— membangun tumpukan tak-sadar tertentu tentang Madura, yang tersublimasi dalam sajak. Dengan kata lain, cinta dan penghormatannya terhadap Madura yang amat besar, melebihi cinta dan penghormatannya kepada ibu, merupakan ungkapan tak-sadar dari kekagumannya terhadap kekayaan alam Madura itu sendiri.

IV

Dengan uraian di atas, saya tida bermaksud mengatakan bahwa pesan atau amanat menjadi amat penting dalam sajak-sajak Zawawi. Dia bagaimanapun penyair liris. Dan sebagai penyair liris, Zawawi tentu hanya ingin menyatakan perasaan dan pikirannya yang sebermula adalah sesuatu yang tidak jelas benar, bahkan bagi Zawawi sendiri. Dalam puisi liris, kita seringkali hanya berhadapaan dengan citraan-citraan, bayang-bayang, gambar imajinatif, yang tidak jelas acuan maknanya, tapi suasana tertentu bisa kita rasakan. Suasana itulah yang seringkali memberikan kesegaran pada kita setiap kali membacanya, yakni sesuatu yang tak terkatakan namun amat kita rasakan. Bukankah kita seringkali mengalami perasaan yang tak bisa dikatakan? Misalnya, puisi Zawawi yang berjudul “Dengan Engkau” berikut ini (D. Zawawi Imron, 1985: 29):

kusambut anginmu setelah berhasil melacak jiwaku yang penasaran di
terjal bukit-bukit batu
sementara mawar mengeringkan embun, matahari yang bengis tak kuasa
menyadap cintamu
hanya aku yang bisu, tegak tapi agak ragu pada harum jejakmu.
dan kalau langit bermendung di ujung kemarau, tangis pun adalah lagu
keimanan
senyummu membias di linang hatiku.

Terhadap puisi-puisi liris sejenis ini, yakni puisi yang sulit ditangkap pesan atau amanatnya, Subagio Sastrowardoyo mengajukan pertanyaan (Soebagio Sastrowardoyo 1982: 218):

…apakah itu sajak-sajak yang dengan sengaja tidak memerlukan tafsiran dan cukup dinikmati saja perbauran bayang angan-angannya, ataukah itu sajak-sajak yang gagal membawa makna, dan tinggal puas dengan teka-teki dan rahasia alam surreaslisme, seperti mimpi yang tidak mampu memberi makna?

Subagio cenderung pada kemungkinan kedua. Katanya, “… kita lihat kini bahwa khusus di dalam kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang banyak sajak yang nampaknya gagal mengemukakan maknanya karena penyairnya terlalu larut dalam arus perbauran bayang angan-angannya sendiri” (Subagio Sastrowardoyo, 1989: 221). Sayangnya dia membandingkan puisi liris dengan mimpi, tidak dengan seni lukis surealis atau musik simfoni, yang dia sarankan sebelumnya. Kalau dengan itu puisi liris dia bandingkan, kesimpulannya mungkin sekali akan lain. Bukankah pada lukisan surealis dan orkes simfoni kita juga tak bisa sampai pada amanat, tapi toh kita menangkap perasaan tertentu yang bukan main nikmatnya?

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip dua puisi Zawawi yang lain, yang pada hemat saya menunjukkan kecermatan penyair membangun suasana, citraan, pergumulan perasaan dengan alam, dan khususnya kecermatan dalam mengontrol dan memilih kata-kata. Dengan kecermatan itulah puisi senantiasa memberikan kesegaran bahasa. Tugas puisi dengan demikian tampaknya bukan terutama menyampaikan makna, pesan, atau amanat —semacam kedalaman filsafat atau pemikiran diskursif. Kalau lukisan dan musik tidak bertugas menyampaikan pesan, kenapa puisi harus memikul tugas itu? Bukankah puisi juga karya seni, sebagaimana lukisan dan musik? Maka, marilah kita nikmati dua puisi D. Zawawi Imron berikut tanpa bersusah payah mencari-cari maknanya:

UNDANGAN

Undangan itu telah kudengar lewat suara berburung di ujung malam.
Siapakah yang mengibas-ngibaskan angin ke permukaan darahku?
kelam pun lelah, lalu menyembah di puncak hatiku yang meruncing di atas bukit.
bertengger pagi di bawah bendera kabut, nilai-nilai pun bergeser. Setelah
kertas tua itu menghampar dan aku berdiri di atasnya, bintang-bintang
yang sempat kupungut semalam kini berceceran bersama jejak-jejak
milikku.

Dari tempat yang akan kutuju terdengar bunyi bommu, aku takut
untuk maju karena mulut maut pasti di situ. Tapi anginmu
berhembus kencang hingga aku dibawa terbang. Ternyata di sana
sejukmu sedang kaubagi.

(D. Zawawi Imron, 1985: 84)

SUNGAI KECIL

sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan purwokerto ataukah hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-daun
bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam doaku
sungai kecil, sungai kecil! terangkanlah kepadaku, di manakah negeri
asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani mudah
melintasimu dan akan kubersihkan lubukmu agar para perampok
yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku dan
kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! kau yang jelita
kutembangkan buat kasihku.

(D. Zawawi Imron, 1999: 71).***
————————————————-
1. Sayangnya, ada prolem etimologis di sini, atau tepatnya problem pengindonesian. Desa Batangbatang dibagi menjadi dua wilayah utara dan selatan, yang dalam bahasa Madura disebut Tangbatang Dhaja (= Batangbatang Utara) dan Tangbatang Lao’ (= Batangbatang Selatan). Nama dua wilayah itu diindonesiakan bukan mengikuti terjemahannya dalam bahasa Indonesia, melainkan berdasarkan kedekatan ujarnya antara bahasa Madua dan bahasa Indonesia. Demikianlah dhaja menjadi daya (maka Tangbatang Dhaja menjadi Batangbatang Daya) dan lao’ menjadi laut (maka Tangbatang Lao’ menjadi Batangbatang Laut). Pengindonesian ini kadangkala dirasakan menggelikan bagi orang Madua sendiri. Mereka akan menyebut Batangbatang Daya atau Batangbatang Laut (dalam bahasa Indonesia) sambil tertawa, dengan sedikit rasa malu atau dengan nada merendahkan bahkan mengejek. Namun demikian, dalam administrasi pemerintahan desa, Batangbatang Daya dan Batangbatang Laut tampaknya merupakan nama resmi dua wilayah desa tersebut dalam bahasa Indonesia. Ini terbukti dengan tertulisnya dua nama itu (Batangbatang Daya dan Batangbatang Laut) pada papan nama desa di jalan raya Batangbatang. Dan lagi, sebagaimana di derah-daerah lain, di Madura bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan hingga ke desa-desa.

2. Pada tahun 1987 Nenekmoyangku Air Mata mendapat hadiah Yayasan Buku Utama; pada tahun 1990, Nenekmoyangku Air Mata dan Celurit Emas terpilih sebagai buku pumpulan puisi terbaik oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (kini: Pusat Bahasa), Departemen Pendidikan Nasional RI. Di samping itu, kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang mengilhami film arahan sutradara Garin Nugroho, berjudul Bulan Tertusuk Ilalang (1995). Film ini mendapat sejumlah penghargaan, di antaranya pada Festival Film Nantes, Prancis (November 1995).

3. Sajak “Kepada Ibu” itu selengkapnya adalah sebagai berikut:

sepantun senyum melambaikan tangis sekerat jiwa
dan jerit seluruh mega
kucari pergantungan ke tiang-tiang
dan ranting-ranting di luar jendela
namun tak bisa
bahkan pada secanting tuak tak kutemukan
damai yang dijanjikan pantai kesayangan
bulan termangu di luar pintu
jalanan ramah jauh di dalam hati
di sana langkahku menyiris debu
alankah tak habis-habisnya rindu
pada kata-kata yang mengeram dalam darahku.

Bertemu Sapardi Djoko Damono

Astrikusuma
http://sosbud.kompasiana.com/

Mimpi besar itu terwujud juga akhirnya. Saya berjumpa Sapardi Djoko Damono, alias SDD, alias Si Penyair Hujan.

Salihara pada 7 November 2009 adalah saksi pertemuan kami setelah melewati berbagai upaya. Sore itu SDD baru saja usai memberikan ceramah tentang puisi-puisi Rendra. Sesuai perjanjian kami sebelumnya, saya menemuinya setelah acara selesai.

“Akhirnya ketemu orangnya setelah selama ini cuma ketemu di FB,” kata Pak Sapardi sambil tersenyum saat menjabat tangan saya.

FB, atau Facebook, memang menjadi sarana pertemuan kami di dunia maya, untuk kemudian menjembatani perjumpaan kami di dunia nyata. Kami sering berbalas pesan di FB ketika saya lembur bekerja sampai malam. Saya memperkirakan, pada saat yang sama beliau juga sedang berkarya, karena dari artikel yang baca di Kompas beberapa tahun lalu, saya tahu beliau senang bangun di malam hari untuk menulis. Bertahun lalu, cara berkomunikasi semacam ini dengan penyair pujaan tak pernah terbayangkan. Terimakasih untuk teknologi!

“Sekarang tinggal di Jogja atau Jakarta?” kata Pak Sapardi, lagi. Saya tak menyangka beliau akan bertanya seperti itu. Saya tentunya bukan satu-satunya orang yang berbincang dengan beliau lewat FB, tapi ternyata beliau ingat beberapa hal tentang saya. Saya jawab bahwa saya sekarang tinggal di Jakarta, atas nama pekerjaan. Tidak lebih.

Obrolan lantas berlanjut tentang kota Solo, kota tempat kelahiran kami, hingga tentang buku-buku puisi karya beliau yang diterbitkan ulang untuk memenuhi banyaknya permintaan penggemar. Sebagai informasi, buku-buku tersebut tidak dipasarkan melalui toko buku, tetapi langsung pesan ke penerbit atau pesan melalui Facebook. Selanjutnya cukup transfer uang dan buku akan dikirim sesuai alamat pemesanan. Sekali lagi, terimakasih untuk teknologi!

Perbincangan lewat FB dan pertemuan langsung dengan SDD meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Satu hal yang pasti, beliau adalah penyair yang rendah hati dan tak segan berbagi ilmu. Saya bersyukur bisa mengenalnya dan mengagumi karya-karyanya.

Nama SDD pertama kali muncul dalam hidup saya saat saya duduk di bangku SMA, tentu saja lewat puisi “Aku Ingin” yang terkenal itu. Dari satu puisi itu, saya beranjak untuk mengenal puisi-puisi lain karya beliau. Bukan sebuah hal yang mudah untuk dilakukan karena buku-buku karya beliau sudah sangat jarang dijual di toko buku. Selain itu, perpustakaan sekolah juga tak memiliki koleksi karya SDD.

Menginjak masa kuliah dan bahkan kini saat sudah bekerja, perburuan dan kekaguman saya atas karya SDD terus berlanjut. Saking herannya, seorang kawan pernah bertanya, apa yang membuat saya jatuh cinta pada karya-karya SDD? Saya tak punya jawaban pastinya. Mungkin, karena kata-kata yang dipakai SDD terasa halus, menyentuh, ngelangut, khas, dan tidak pasaran.

Selain itu, sebagai pecinta hujan, saya makin mengagumi SDD karena saya rasa SDD pandai menafsirkan hujan. Puisi-puisinya banyak yang menggunakan kata “hujan”, tak hanya dalam judul tapi juga dalam isinya. Hal itu jadi terasa tak mengherankan karena ketika saya tanyakan kepada beliau apa yang biasa beliau lakukan di malam hari, jawaban beliau adalah “Menghayati hujan”. ..

Jalan Bareng Hamsad Rangkuti

Pipiet Senja
http://sosbud.kompasiana.com/

Hamsad Rangkuti, siapa yang tak mengenalnya? Cerpen-cerpennya dimuat dalam berbagai harian dan majalah, terbitan dalam dan luar negeri. Bahkan beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman, antara lain dimuat dalam New Voice in Southeast Asia Solidarity (1991), Manoa, Pasific Journal of International Writing, University of Hawaii Presss (1991, Beyond The Horison, Short Stories from Contemporary Indonesia, Monash Asia Institute, Jurnal Rima, Review of Indonesia and Malaysia Affairs, University Sydney. Vol. 25,1991. Cerpen-cerpennya juga termuat dalam beberapa antologi cerita pendek mutakhir, antara lain Cerpen-cerpen Indonesia Mutakhir, editor Suratman Markasam, 1991.

Di kalangan sastrawan sosok ini dikenal eksentrik. Ia menikahkan putranya dengan mengundang Menteri Kehutanan RI. Sebagai penghormatan atas hadirnya Menhut, secara pribadi merupakan temannya, ia memberikan emas kawin 500 batang pohon jati unggulan kepada mantunya yang langsung ditanam.

Ini gebrakan Hamsad yang kedua. Saat mantu anaknya yang pertama, ia menyewa Kereta Api Listrik Bogor-Jakarta yang biasa dinaikinya, sebagai tempat akad nikah dan resepsi pernikahan putrinya. Tiga kumpulan cerpennya Lukisan Perkawinan dan Cemara (1982) serta Sampah Bulan Desember di tahun 2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas. Salah satu cerpennya difilmkan oleh mahasiswa IKJ, ia ikut main.

Sebagaimana cerita-cerita yang ditulisnya dalam cerpen yang realis, unik dan kocak dengan mengeksploitasi kehidupan rakyat kecil, demikianlah dalam kehidupan sehari-hari. Dia merupakan sosok seniman Medan yang santun.

Ia pernah bercerita ketika kulit kepalanya melepuh lantaran tersiram air panas. Menjelang pulang malam, dan istrinya memanaskan air untuknya buat mandi.

“Saat itu Abang lagi mikirin bagian akhir cerpen yang lagi abang tulis. Eh, lupa mencampur air panas di ember dengan di kulah. Langsung siram saja ke kepala!”

Ramah, bersuara lembut dan rendah hati, Bang Hamsad akrab dengan kemiskinan dan penderitaan. Di Sumatra Utara, ia dibesarkan sebagai pedagang buah yang hidup di pasar. Menulis cerpen baginya seperti berbohong. Apa yang ditulis sering merupakan khayalannya, mimpinya dan kebohongannya. Hamsad lalu menunjuk proses penciptaaan salah satu contoh cerpen yang menghebohkan: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Tak lulus SMA, tapi pernah menjadi Pemimpin Redaksi majalah Horizon yang disegani penulis se-Tanah Air, Bang Hamsad memiliki keinginan yang sederhana di hari tuanya. Saat memperoleh uang tunai sebesar Rp 70 juta sebagai peraih Anugerah Sastra Khatulistiwa 2003, dia ingin membeli angkot untuk anak-anaknya yang sudah dewasa tapi masih menganggur.

Ayah empat anak tersebut menyadari bahwa saat ini mencari pekerjaan tidaklah mudah. Oleh karena itu ia memilih membeli kendaraan angkot sebagai modal kerja anak-anaknya untuk bisa lebih mandiri. Keinginan ayah 4 anak, kelahiran 7 Mei 1943 ini tak muluk-muluk. Ia mengolah keadaannya dengan kreatif. Dan Hamsad Rangkuti berhasil! (Sumber; Radar Depok)

Suatu petang pada bulan Juli yang cerah, aku dan Bang Hamsad jalan bareng menuju Palembang. Sejak dua hari sebelumnya ia sudah menanyaiku tentang tiketnya. Panitia telah mengurus semuanya, mereka kirim kurir untuk mengantar tiket kami ke rumahku. Mereka pun telah mentransfer ke rekeningku untuk ongkos taksi ke bandara.

Dinihari kuterima lagi pesan singkat bahwa Bang Hamsad akan menunggu di rumahnya di Depok Baru. Jadwalnya di PDS HB.Jassin siang itu sudah dipending, digantikan oleh seorang rekannya; menerima rombongan penikmat sastra dari daerah.

Sebuah rumah mungil di kompleks perumahan tampak sepi. Istri Bang Hamsad belum lama dioperasi, ada tumor ganas di payudaranya. Saat itu ia sedang berada di rumah anaknya di Jakarta.

Aku punya kesempatan untuk turun dari taksi, melihat-lihat suasana di dalam. Beberapa lukisan karya pelukis terkenal “made in” Indonesia, sahabat-sahabat tuan rumah, tampak terpajang dengan megahnya di ruang tamu. Lukisan sosok Hamsad Rangkuti, terkesan sangat sederhana dan nyentrik. Sebuah lukisan kuno yang mengingatkanku akan lukisan Chairil Anwar.

Adakah seniman selalu identik dengan kebersahajaan, kemiskinan, kenyentrikan yang tak masuk akal untuk ukuran manusia normal? Demikian sempat terlintas di benakku. Sejujurnya, kerap aku merasa bukanlah sebagian dari golongan seniman. Tak ada pula pengakuan secara jelas bahwa diriku adalah seorang seniman.

Kemudian kutahu bahwa seorang Hamsad Rangkuti tidaklah sama dengan Chairil Anwar, Gerson Poyk, WS. Rendra, dan seniman hebat serta eksentrik yang pernah dimiliki bangsa ini. Hamsad Rangkuti memiliki imaji liarnya sendiri dan mengusung nilai-nilai Islami.

Tentu saja aku merasa mendapat kehormatan bisa jalan bareng sastrawan sekaliber dia. Bahkan mendampinginya sebagai pembicara dalam suatu forum sastra. Kugali sebanyak mungkin kisah-kisah, pengalaman hidupnya sebagai seorang sastrawan. Ternyata banyak juga kisahnya yang menurutku menginspirasi, mulai dari yang memprihatinkan, membahagiakan, mengharukan hingga menyebalkan dan menggelikan.

“Coba ditulis, Bang, lalu diterbitkan. Sungguh kisah inspirasi yang sarat pembelajaran, sangat berguna untuk generasi muda kita,” usulanku ditanggapi dengan kekehannya yang khas.

Kupikir, ia bukan tidak mau menerbitkan memoarnya, mungkin lebih suka ada yang menuliskan untuknya. Itulah yang membedakannya dengan diriku yang telah menulis beberapa catatan hidupku dengan jari-jemariku sendiri.

Pernah dalam suatu forum yang dihadiri para sastrawan senior, beberapa dari mereka menyudutkanku, menyebutku sebagai; tukang nulis narcis!

Tidak, bantahku, niatan awalku hanya untuk berbagi kisah yang sayang sekali jika dibuang begitu saja di benakku. Aku selalu berharap kisah-kisah yang pernah kulakoni (dibukukan) dapat memberi pembelajaran, dan berbuah hikmah untuk pembaca.

Kalau tidak menulis hendak bagaimanakah lagi caraku mencari nafkah? Keahlian lain, bahkan ijazah SMA pun aku tak punya.

Di pesawat, seketika aku baru menyadari bahwa inilah penerbangan pertamaku setelah diopname cukup lama, melalui begitu banyak situasi yang menyakitkan, diambil darah tiap saat, ditransfusi dan diinfus secara terus-menerus. Itulah perawatan terlama, setelah melahirkan Butet, yang menggoyahku secara fisik, emosi dan psikhis.

Saat terkapar begitu, aku sempat berpikir, mungin sejak ini aku takkan pernah mampu jalan-jalan lagi, keliling Tanah Air yang kucintai dengan segenap hati. Jika Allah berkenan, sungguh tiada yang mampu mengelak, ternyata masih diberi-Nya hamba yang lemah ini waktu dan kesempatan untuk berkarya, menyebar virus menulis.

“Alhamdulillah, ya Robb…. Hamba masih diberi kesempatan jalan-jalan jauh begini,” gumamku membatin, tanpa terasa mataku membasah.

Aku tak pernah mengira, beberapa bulan kemudian, ternyata Allah masih memberiku pula saat-saat yang lebih menguras emosi, enerji bahkan keimanan. Sungguh tak pernah kusangka dan terbayangkan!

Kami dijemput di Bandara Sultan Mahmod 2, Rabu, pukul 19.30. Pesawatnya delay sampai 90 menit. Panitia langsung menggiring kami ke sebuah restoran untuk santap malam. Kenyang makan dengan menu khas Palembang, sop ikan patin, ikan beluga yang asam-asam segar, kami kemudian diajak jalan-jalan, melihat panorama jembatan Ampera di waktu malam.

Suasananya romantis sekali dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip. Mengingatkanku akan tepi sungai Nil di Kairo. Di sini juga ada perahu hias yang dimanfaatkan untuk rumah makan atau kafe. Hanya saja sungai Musi tidak sepanjang dan seluas sungai Nil. Di sini pun tak ada gedung-gedung pencakar langit yang megah serta terang-benderang.

“Ini sumber inspirasi para seniman, ya, Bang?” decakku langsung mengagumi nuansa alam yang terkesan eksotis.

Tampak para pedagang menjajakan jualannya yang diterangi lampu-lampu kecil. Tampak pula beberapa pasangan lelaki-perempuan, entah suami-istri atau baru pacaran di antara keremangan.

“Kalau Abang, mau buat puisi itu diendapkan dululah,” kilah Hamsad Rangkuti, ketika dimintai seorang panitia untuk membuat puisi.

“Ada yang kurang nih, apa coba?” kataku.

“Kurang penerangan memang,” sahut Erhamna mengakui.

Malangnya, kameraku tidak bagus, demikian pula ponselku. Jadi, aku tak bisa jeprat-jepret, mengabadikan jembatan Ampera di waktu malam.

“Semoga masih ada lain kali, ya,” ujarku berharap yang disambut panitia dengan hangat.

Ternyata penerangan yang serba apa adanya itu bukan hanya di kawasan jembatan Ampera, melainkan hampir di seluruh kota empek-empek ini. Bahkan ketika kami melintasi kediaman Gubernur, keremangan itu sama sekali tidak pilih kasih. Kami tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana bentuk kediaman orang nomer satu di Palembang itu.

Panitia mengantar kami ke rumah pribadi Hajjah Asmawati, Kepala Sekolah. Ia sedang menginap di rumah dinas suaminya. Sebuah kediaman yang indah dan nyaman di antara beberapa rumah yang dihuni oleh ibu serta saudara-saudaranya.

Bahna lelahnya aku segera tertidur lelap hingga terdengar azan subuh. Setelah membersihkan diri terasa segar kembali, dan siap untuk apapun. Hehe.

“Walaaah!” seruku dalam hati begitu sampai di tempat acara. Temanya kok besar amat, apa tak salah nih?

Seminar Nasional Menulis Kreatif!

Kulihat panitia sibuk menyiapkan segalanya, termasuk Fauziah dan Erhamna, keduanya selalu mengawal kami sejak tiba di bumi Palembang. Seorang perempuan sebaya menghampiriku saat kubuka laptop, menyiapkan presentasi.

“Ini loh, Teteh, kakakku yang rumahnya dikau inapi semalam,” kata Fauziah.

“Oh, iya…. Bu Kepala Sekolah SMAN 3, ya,” sambutku, kutinggalkan laptop dan menyalaminya.

Beberapa jenak kami bercakap-cakap ringan. Ia menyatakan sangat bangga dan bahagia, karena seorang penulis ngetop berkenan menginap di rumahnya.

“Aduh, Ibu, jangan bilang begitulah. Seharusnya saya yang merasa sangat bahagia, sekaligus terharu. Acara besar begini baru kali inilah saya hadiri di Palembang.”

Terus-terang, risih dan malu hati jika kudengar sanjungan berlebihan.

Kuperhatikan sejenak suasana gedung aula di SMKN I itu. Ini kerja sama dengan SMAN 3, sponsornya ada Indosat dan Penerbit Yudhistira. Pesertanya lebih dari 200, terdiri dari siswa dan guru. Pukul 08.00 pun peserta sudah memenuhi aula. Acara yang serius nian, kurasa.

Pembicara pertama seorang Profesor dari Universitas Sriwijaya. Namanya dengan huruf gede-gede terpajang di backdrop, Pofesor Chuzaimah. Ia sudah sepuh, tapi kecantikannya masih kentara dengan jari jemari lentik dan kuku-kuku terpelihara.

Pembicara kedua; Dra.Sastri Yunizarti Bakry asal Sumbar (tidak hadir karena kongres PMI di Solo). Padahal bukunya Kekuatan Cinta yang sedianya akan dipromosikan dan dibedah. Ia meneleponku, menyatakan penyesalan tak bisa hadir.
Pembicara ketiga, ya, diriku ini yang ijazah SMA pun tidak punya, nginggris belepotan pula. Pembicara keempat abangku senior, sastrawan mumpuni; Hamsad Rangkuti. Sesungguhnya aku merasa tak enak juga, malu hatilah, seharusnya ia pembicara pertama. Hamsad Rangkuti namanya bukan saja sudah nasional melainkan mendunia. Banyak karyanya yang mendapat penghargaan bertaraf internasional. Mungkin panitia tidak mengetahuinya, atau memang sengaja ingin menonjolkan pembicara daerah, entahlah.

“Pssst, Bang, jangan dimakan salaknya. Bagaimana nanti kalau sakit perut?” ujarku kepada Hamsad Rangkuti yang iseng menyomot salak di antara jeruk dan lengkeng yang terhidang di hadapan kami.

“Sudah disajikan, ya, dicicipilah, Dek,” sahutnya kalem dengan gayanya yang khas, nyeniman bangeeettt!

Di meja makan rumah Bu Kepsek kami hanya saling berdiam melihat roti tawar kupas dan selai nanas. Kurasa kami sejenis orang yang, agak bagaimana begitu, ya, dengan sarapan macam itu. Maklumlah, biasa nasi atau bubur ayam, lontong, ops…dari beras-beras juga. Hehe.

Dalam perjalanan di mobilnya Erhamna, Hamsad Rangkuti sempat diledeki oleh Fauziah.

“Maaf, ya, apa Abang nih sudah sisiran dulu? Nanti kita akan jumpa dengan para pejabat Palembang loh, Bang….”

Aku hampir tersedak mendengar gurauannya, tetapi Hamsad Rangkuti tampaknya santai saja menyahut, “Kalau di depan kaca di kamar mandi, umpamanya, cukup kubasahi tanganku, lalu kuusapkan ke rambutku.”

Fauziah mengejarnya dengan kalimat, “Sungguh, tak pake sisir lagi, Bang?”

Hamsad Rangkuti hanya terkekeh kecil. Aku tersenyum maklum. Penampilan si Abang satu ini memang sangat bersahaja, khas seorang seniman sejati. Sungguh jauh dari jas dan pantalon necis yang biasa dipakai oleh para pejabat.

Namun, bukankah kita jangan hanya melihat penampilan luarnya? Lihatlah, segudang karyanya yang mengagumkan. Karya-karyanya itulah yang telah menerbangkannya ke pelosok mancanegara, mendudukkannya di kalangan para petinggi negeri dan dunia. Dikenal, dihargai dan dikagumi oleh masyarakat sastra internasional.
Acara diawali dengan sajian lagu-lagu oleh Nadjib dkk. Nadjib guru olah raga SMAN 3, suaranya bagus, gayanya tak kalah dengan penyanyi profesional. Lagu Palembang di Waktu Malam, Neng Geulis, Ibu-nya Iwan Fals, menggema serta menghangatkan sekitarnya.

Ada laporan panitia kemudian sambutan Bu Hajjah Asma, disusul Kepala Dinas yang berujung diresmikannya acara ini; tok, tok, tooook!

Profesor Chuzaimah bicara tentang kreatif menulis, agaknya sudah terbiasa dengan bahasa presentasi ilmiah di depan mahasiswa civitas akademi. Sebagaimana galibnya seorang profesor, tata bahasanya apik, kadang diselingi bahasa Inggris. Maklumlah, S3-nya saja di Amerika. Intinya menekankan bagaimana pentingnya menulis kreatif dalam bahasa Inggris.

Kucermati suasana aula yang luas itu dan tertib. Tidak, kurasa ini malah terlalu tertib dan senyap, nyaris tak ada (tak berani?) bisik-bisik sekalipun. Belakangan baru kutahu bahwa peserta para guru, duduk di deretan bangku paling depan, kebanyakan adalah murid sang Profesor. Pantaslah!

Tiba giliranku langsung masuk dengan ‘teror virus menulis’, diselipkan kiat-kiat menjadi penulis hebat, sekilas kisah inspirasi dan banyolan khas diriku. Maka, pecahlah suasananya menjadi gelak tawa. Banyak bapak dan ibu guru kulihat tertawa geli, anak-anak SMA pun mengakak waktu mendengar istilah-istilah gaul yang kucomot dari candaanku dengan putriku.

Plong!
Padahal, hatiku sempat kebat-kebit disandingkan dengan Profesor. Sampai diam-diam ku-SMS Butet dan dibalasnya; Beuh, ngapain pake grogi, ngomong aja kayak Mama biasanya. Ocreh, Mom: Semangaaat!

Hamsad Rangkuti, ternyata nian memaparkan materinya, meskipun tanpa laptop dan LCD. Melainkan langsung buka-buka dari buku kumpulan cerpen karyanya yang mendapat award dari Bangkok.

“Ini akan saya bacakan nukilan cerpen; Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.”

Suasana mendadak heboh dan semarak!

Pada sesi dialog interaktif, terlihat sekali para peserta sangat antusias. Mereka banyak bertanya seputar kepenulisan kreatif. Ada dua peserta yang memanfaatkan gilirannya untuk curhatan, bahkan membacakan puisinya. Seorang peserta mengaku ngefans berat Pipiet Senja, mempersembahkan sebuah puisi yang ditulisnya saat itu. Tersanjung sekaligus terharu.

“Sukses, ya Uni,” ujarku kepada Ibu Kepsek saat dimintai komentar usai acara. “Semua buku yang kami bawa laris manis, terima kasih, ya Uni….”

“Kami yang harus berterima kasih sama Teteh dan Bang Hamsad. Ini acara paling menarik yang pernah kami gelar di kota Palembang.”

Kami diajak makan siang di restoran khas Palembang. Sajian wisata kuliner yang hanya kulihat di televisi, siang itu sungguh tersaji di hadapanku. Kami makan lahap dan nikmat sekali. Kembali kucicipi pindang beluga, pindang patin yang segar, nikmatnya!

Terhibur sudah perutku, ini sarapan sekaligus makan siang. Tak terpikirkan bahwa hal seperti ini bisa menimbulkan penyakit baru, bahkan memperparah kondisi perutku; lambung, limpa, kandung empedu dan lain-lainnya itu.

“Ini terlalu singkat waktunya. Kalau latihan 2-3 hari, sekaligus praktek langsung menulis kreatif, tentu lebih efektif dan akan segera tampak hasilnya,” berkata Erhamna.

“Teteh dan Abang, masih maukah datang ke sini nanti kalau ada acara lagi?” tanya rekannya, Fauziah.

Aku melirik Bang Hamsad, kulihat anggukannya, maka aku pun menyertai kesiapannya itu dengan kalimat: “Insya Allah, Dek….”

Petang itu aku kembali ke Jakarta, sementara Bang Hamsad masih akan beberapa hari lagi berada di Palembang. Lagi-lagi pesawatnya delay (aneh, tak pernah minta maaf!) 1,5 jam, ditambah Damri jurusan Pasar Minggu lama sekali datangnya, sehingga aku baru sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam.

Dinihari aku terbangun dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Dadaku sesak sekali, perut serasa diaduk-aduk, panas, sakit, mual…. Muntah-muntah hebat sampai lima hari lamanya!

Setelah berobat ke Dokter spesialis di HGA, rumah sakit swasta dekat rumah, aku baru bisa muncul di kantor.

“Dek, mungkin Teteh akan minta cuti sakit,” kataku kepada Rosi dan Pur.

“Kenapa, Teh, sakit lagi, ya?” tanya keduanya, menatap wajahku dengan cemas.

“Iya nih, Dek…. Hancur-hancuran rasanya badanku ini,” keluhku untuk pertama kalinya, kemudian kusalami keduanya dan pamitan pulang.

Kedatanganku ke kantor waktu itu memang hanya untuk berbagi oleh-oleh Palembang, empek-empek dan kerupuk, sekalian pamitan untuk diopname kembali.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae