Senin, 30 Agustus 2010

Rokok

Salman Rusydie Anwar
http://www.sastra-indonesia.com/

Siang itu, aku terkapar kepanasan di beranda rumah. Kurangnya pepohonan di sekitar halaman membuat suasana rumahku tetap terasa gerah meski saat itu aku bertelanjang dada. Belum lagi posisi rumah yang berada tepat di pinggir jalan besar yang setiap hari tak pernah sepi dari bisingnya suara kendaraan. Rasanya begitu muak bertahan lama tinggal di rumah itu. Tapi untuk pindah ke daerah lain yang lebih sejuk juga tak mungkin. Harga tanah sekarang ini mahal sekali dan hal itu jelas tak akan terbeli oleh penghasilanku yang cuma sebagai penjual asongan rokok, yang berkeliling di dalam pasar dan terminal angkot.

Aku hampir terlelap ketika seberkas cahaya berwarna kebiru-biruan tiba-tiba meluncur dari atas langit dan langsung jatuh tepat di samping kepalaku. Tapi aku tidak kaget. Sudah dua tahun terakhir ini aku sering mengalami hal-hal seperti itu. Dan itu pasti Kiai Majnun. Sosok yang dianggap orang sebagai manusia sakti karena dapat terbang dan mengubah wujudnya menjadi seberkas cahaya berwarna biru.

Entah apa yang ia kagumi dari diriku. Ia selalu berkata kalau dia merasa nyaman denganku. Mungkin karena hanya aku yang tidak terlalu membesar-besarkan kesaktiannya diantara orang lain yang bahkan menganggapnya seperti malaikat. Aku anggap kemampuannya yang bisa mengubah diri menjadi seberkas cahaya, dan juga kemampuannya bisa terbang dan mendatangi sebuah tempat dalam sekejap mata hanya masalah biasa.

“Itu hanya sebagian kecil dari anugerah Tuhan yang diberikan kepada sampeyan. Jadi tidak usah berlagak di depan saya,” kataku pada saat pertama kali berkenalan. Dan sejak saat itu pula ia kerap mendatangiku kapan saja ia suka, dan dimana saja aku berada. Meski awalnya aku merasa kesal, namun akhirnya aku menikmatinya juga. Apalagi ia selalu mengeluarkan humor-humor, tingkah laku dan pernyataan-pernyataan geli yang kadang sulit dicerna orang. Itu sebabnya aku panggil dia Kiai Majnun. Kiai gila. Begitu kira-kira artinya.

“Aduh, Kiaii… Ada apa lagi sih. Kok datang siang-siang begini?”

“Kenapa. Kamu tidak suka aku datang?”

“Bukan begitu. Saya ini lagi suntuk, capek dan mau istirahat.”

“Ya sudah, istirahat saja. Aku juga mau numpang istirahat, kok.”

Kiai Majnun merebahkan tubuhnya di samping tubuhku. Sejenak ia terdiam dan akupun sengaja tak mau mengajaknya bercakap-cakap seperti biasanya kami lakukan. Tapi dasar Kiai Majnun, dia seperti tak betah di kepung sunyi. Kalau dia tahu aku belum tidur, pasti ada saja yang mau diomongkan. Bahkan meski aku sudah tidur, tidak jarang pula dibangunkan.

“Le, kamu belum tidur kan?”

“Memang ada apa, Kiai. Saya memang mau tidur dan tolong kiai jangan ganggu saya dulu.”

“Tadi bilang kamu suntuk. Makanya aku ajak kamu ngobrol.”

“Nanti saja deh, ngomongnya Kiai. Sekarang ini waktunya tidak memungkinkan.”

“Wah…kamu ini gimana toh. Justru kalau diomongkan nanti aku takut keburu lupa dan omongannya menjadi tidak kontekstual lagi.”

“Setiap omongan kiai, buat saya, selalu kontekstual. Kiai mau ngomong di mushalla, di masjid, di lapangan sepak bola, di teminal angkot dan bahkan di kamar mandi pun tetap saya anggap kontekstual. Jadi, tahan dulu omongan kiai untuk dibicarakan nanti sehabis saya bangun tidur.”

Aku menutup wajah dengan baju yang tadi dilepas. Lalu berpura-pura terlelap meski sebenarnya hal itu tidak bisa aku lakukan karena Kiai Majnun yang grusak-grusuk balik kiri, balik kanan seperti kardus yang ditimpa angin besar. Aku bersabar dalam keadaan seperti itu. Ingin rasanya menghardik sosok Kiai Majnun ini. Tetapi tidak tega. Takut dia marah, tersinggung dan akhirnya tak mau datang lagi menjumpaiku. Padahal, diam-diam, aku pun merasa enjoy dengan beliau.

“Le, tak baik tidur dalam keadaan suntuk. Kamu pasti mimpi jelek. Atau kalau tidak, tidurmu tak bakalan nyenyak. Jadi tenangkan dulu pikiranmu. Bebaskan dari kesuntukan, dan setelah itu baru tidur. Saya jamin pasti nyenyak.”

“Memang Kiai tahu apa, kenapa saya suntuk?”

“Paling-paling masalah hutang itu lagi. Iya, kan?”

“Ini lebih dari sekadar hutang Kiai,” jawabku setengah kesal.

“Sebentar kutebak,” kata Kiai Majnun sambil memejamkan kedua matanya seperti orang yang sedang meramal.

“Ohh….pasti,” katanya lagi tiba-tiba.

“Pasti apa?”

“Pasti soal rencanamu yang mau menikah lagi dengan Zainab, kan. Hehehe…” kali ini Kiai Majnun terkekeh-kekah. Tubuhnya terguncang-guncang menahan tawa.

“Salah, Kiai. Salah. Masalah yang membuat saya suntuk ini sepertinya tidak memungkinkan bagi saya untuk meneruskan niat itu. Sudahlah. Lupakan Zaenab, Fathimah, Desy Ratnasari….”

“Oohhh… kenapa ada Desy Ratnasari. Katanya cuma Zaenab sama Fatimah pilihannya?”

“Aduh, Kiaii…. . Sudahlah. Kesuntukan saya ini tidak ada hubungannya dengan perempuan dan hutang itu. Titik.”

“Lha, ya terus apa?”

“Rokok,” jawabku ketus.

“Rokok. Memang kenapa dengan rokok? Kamu habis modal dan tak bisa berjualan rokok lagi? Ngomong, dong.”

Aku menghela napas dalam-dalam. Menenteramkan kesuntukan yang sudah bercampur aduk dengan rasa jengkel, mengkel, marah dan rasa ingin memelintir mulut Kiai yang satu ini.

“Bukan itu, Kiai. Bukan itu. Tapi sekarang saya tidak mungkin lagi berjualan rokok karena rokok sudah diharamkan.”

“Hussyy…,” Kiai Majnun terbelalak seperti tidak percaya. Wajar saja dia bersikap begitu. Soalnya dia perokok tangguh yang dapat menghabiskan dua puluh batang dalam sehari.

“Ini benar, Kiai. Kalau tidak, ndak mungkin saya suntuk dan uring-uringan begini.”

“Memang siapa yang mengharamkan? Pemerintah?” tanyanya penasaran.

“Itu tidak penting Kiai tahu. Yang penting sekarang, Kiai harus memberi penjelasan kepada saya mengenai masalah yang satu ini.”

“Lho, kenapa saya yang harus kena getahnya?”

“Memang begitu maunya saya…”

Kiai Majnun hanya geleng-geleng kepala mendengar tekananku. Namun ia masih sempat cengar-cengir saja meski ditekan-tekan seperti itu. Wajahnya selalu menunjukkan kalau ia tak bisa ditekan, diintervensi dan dipengaruhi oleh apa pun yang ada di luar dirinya.

“Sekarang aku ingin tanya satu hal sama kamu. Sejak ada pengharaman rokok seperti itu, apa rokokmu tidak laku sama sekali?” tanya Kiai Majnun.

“Itulah anehnya, Kiai. Malah asongan rokok saya tetap laris seperti biasanya dan bahkan lebih laris dari hari-hari sebelumnya,” jawabku ganti bersemangat.

“Kenapa kamu anggap aneh?”

“Ya. Padahal kan sudah diharamkan. Logikanya, kalau sudah haram orang kan mestinya takut. Tapi kenapa ini masih laris dan tambah laris saja asongan saya.”

“Jadi itu menurutmu fenomena yang aneh?”

“Jelas aneh, Kiai. Tapi kenapa tanya-tanya itu segala sih?”
Kiai Majnun kembali tertawa terkekeh-kekeh.

“Le, larangan itu juga tidak kalah anehnya buatku. Hehehe…..,” tubuh Kiai Majnun terguncang-guncang lagi.

“Aneh bagaimana, Kiai. Yang mengeluarkan putusan haram itu orang-orang hebat lho. Bahkan mungkin Kiai sendiri dapat dikalahkan dengan mudah seandainya diajak berdebat oleh mereka.”

“Ah, sudahlah. Aku memang mungkin kalah kalau diajak berdebat. Tapi intinya larangan itu aneh. Titik.”

“Makanya tolong Kiai jelaskan. Kenapa aneh?”

“Ya, tapi tolong ambilkan dulu aku sebatang. Mulutku lagi masam ini.”

Aku tak berkutik. Dengan malas aku bangkit untuk mengambilkan rokok untuknya. Tak hanya itu, aku juga menyalakannya biar dia bisa langsung menghisapnya. Kiai Majnun menerima rokok itu dengan girang dan menghisapnya dalam-dalam.

“Kau tahu, kenapa aku tadi katakan kalau larangan pengharaman itu aneh?”

“Tidak, Kiai.”

“Karena menurutku, itu kurang substansial. Bagaimana mungkin rokok diharamkan kalau pabriknya tetap dibiarkan jalan dan memberikan pemasukan pajak berlipat-lipat pada negara. Kamu tahu, berapa triliun negara menerima pemasukan dari perusahaan rokok itu?”

“Saya tidak tahu, Kiai. Memang berapa?”

“Makanya saya tanya kamu, siapa tahu kamu tahu. Ah… malah kamu sama gendengnya seperti aku. Pantas saja kamu jadi tukang asongan. Kalau pintar dikit, kamu pasti diajak rapat untuk membahas haramnya rokok.”

Aku biarkan saja Kiai Majnun mengata-ngataiku seenaknya. Memang begitulah yang sering dia lakukan selama ini terhadapku dan anehnya aku tetap menyukainya.

“Terus. Terus?”

“Terus apanya?”

“Soal yang aneh-aneh itu tadi.”

“Oh. Ya jelas larangan itu aneh. Harusnya yang diharamkan itu pabriknya. Haram memproduksi rokok.

Kalau itu berhasil, saya jamin para perokok akan berhenti dengan sendirinya. Kecuali mereka berani ngulak ke Amerika langsung.”

“Sebentar, Kiai. Dulu Kiai pernah berkata bahwa semua yang diciptakan Tuhan itu memiliki manfaat. Kalau sawi, kangkung, bayam, itu jelas bisa dibuat sayur. Dan saya juga berpikir, kalau daun tembakau ini manfaatnya agar bisa dibuat rokok. Tapi kalau sekarang diharamkan, berarti daun tembakau itu sudah tidak ada manfaatnya lagi dong, Kiai. Mungkin Tuhan perlu membinasakan benih tanaman yang bernama tembakau itu dari sejarah manusia.”

“Kalau begitu, silahkan kamu bilang sendiri sama Tuhan.”

“Maksudku bukan itu, Kiai. Artinya, kalau rokok itu diharamkan, lantas daun tembakau itu mau dimanfaatkan untuk apa?”

“Mungkin sewaktu-waktu kita coba jadikan sayur saja.”

“Ayolah, Kiai. Saya ini serius.”

“Aku juga serius. Kamu ini enak saja. Aku ini tidak tahu, selain dibuat rokok, manfaat daun tembakau itu bisa dibuat apa lagi. Makanya aku bilang kalau sewaktu-waktu kita coba nyayur dengan memakai daun tembakau. Pasti rasanya lebih legit.”

“Ah, Kiai ini sudah mulai ngawur.”

“Sama ngawurnya dengan keluarnya larangan itu kan?”

“Huss…., jangan bilang-bilang begitu, Kiai. Kalau sampai kedengaran, Kiai bakal tahu akibatnya. Kiai bakal kena pasal…”

“Pasal apa,” potong Kiai Majnun tiba-tiba. “Kalau mau bicara pasal, aku hapal di luar kepala. Aku kasih contoh ya, kalau ada seorang pengendara motor yang tidak memiliki SIM dan ditangkap polisi, maka negara akan memberi sanksi dengan pasal 20.000. Itu baru SIM. Kalau dia juga tidak bawa STNK, maka ia akan dikenai pasal 40.000. Bagaimana, sudah jelas kan, kalau aku tahu benar soal pasal-pasal hukum?”

“Sudah. Sudah, Kiai. Makin lama Kiai makin ngawur saja. Nanti omongan Kiai benar-benar didengar orang lho.”

“Kalau begitu aku pergi saja.”

“Oh, itu lebih baik, Kiai. Saya juga sudah ngantuk. Mau tidur.”

“Eh…tapi aku kasih satu bungkus lagi lah. Nanti aku bayar.”

Ah, benar-benar gila Kiai yang satu ini.

Kebumen, 20 Maret 2010.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae