Salman Rusydie Anwar
http://www.sastra-indonesia.com/
Siang itu, aku terkapar kepanasan di beranda rumah. Kurangnya pepohonan di sekitar halaman membuat suasana rumahku tetap terasa gerah meski saat itu aku bertelanjang dada. Belum lagi posisi rumah yang berada tepat di pinggir jalan besar yang setiap hari tak pernah sepi dari bisingnya suara kendaraan. Rasanya begitu muak bertahan lama tinggal di rumah itu. Tapi untuk pindah ke daerah lain yang lebih sejuk juga tak mungkin. Harga tanah sekarang ini mahal sekali dan hal itu jelas tak akan terbeli oleh penghasilanku yang cuma sebagai penjual asongan rokok, yang berkeliling di dalam pasar dan terminal angkot.
Aku hampir terlelap ketika seberkas cahaya berwarna kebiru-biruan tiba-tiba meluncur dari atas langit dan langsung jatuh tepat di samping kepalaku. Tapi aku tidak kaget. Sudah dua tahun terakhir ini aku sering mengalami hal-hal seperti itu. Dan itu pasti Kiai Majnun. Sosok yang dianggap orang sebagai manusia sakti karena dapat terbang dan mengubah wujudnya menjadi seberkas cahaya berwarna biru.
Entah apa yang ia kagumi dari diriku. Ia selalu berkata kalau dia merasa nyaman denganku. Mungkin karena hanya aku yang tidak terlalu membesar-besarkan kesaktiannya diantara orang lain yang bahkan menganggapnya seperti malaikat. Aku anggap kemampuannya yang bisa mengubah diri menjadi seberkas cahaya, dan juga kemampuannya bisa terbang dan mendatangi sebuah tempat dalam sekejap mata hanya masalah biasa.
“Itu hanya sebagian kecil dari anugerah Tuhan yang diberikan kepada sampeyan. Jadi tidak usah berlagak di depan saya,” kataku pada saat pertama kali berkenalan. Dan sejak saat itu pula ia kerap mendatangiku kapan saja ia suka, dan dimana saja aku berada. Meski awalnya aku merasa kesal, namun akhirnya aku menikmatinya juga. Apalagi ia selalu mengeluarkan humor-humor, tingkah laku dan pernyataan-pernyataan geli yang kadang sulit dicerna orang. Itu sebabnya aku panggil dia Kiai Majnun. Kiai gila. Begitu kira-kira artinya.
“Aduh, Kiaii… Ada apa lagi sih. Kok datang siang-siang begini?”
“Kenapa. Kamu tidak suka aku datang?”
“Bukan begitu. Saya ini lagi suntuk, capek dan mau istirahat.”
“Ya sudah, istirahat saja. Aku juga mau numpang istirahat, kok.”
Kiai Majnun merebahkan tubuhnya di samping tubuhku. Sejenak ia terdiam dan akupun sengaja tak mau mengajaknya bercakap-cakap seperti biasanya kami lakukan. Tapi dasar Kiai Majnun, dia seperti tak betah di kepung sunyi. Kalau dia tahu aku belum tidur, pasti ada saja yang mau diomongkan. Bahkan meski aku sudah tidur, tidak jarang pula dibangunkan.
“Le, kamu belum tidur kan?”
“Memang ada apa, Kiai. Saya memang mau tidur dan tolong kiai jangan ganggu saya dulu.”
“Tadi bilang kamu suntuk. Makanya aku ajak kamu ngobrol.”
“Nanti saja deh, ngomongnya Kiai. Sekarang ini waktunya tidak memungkinkan.”
“Wah…kamu ini gimana toh. Justru kalau diomongkan nanti aku takut keburu lupa dan omongannya menjadi tidak kontekstual lagi.”
“Setiap omongan kiai, buat saya, selalu kontekstual. Kiai mau ngomong di mushalla, di masjid, di lapangan sepak bola, di teminal angkot dan bahkan di kamar mandi pun tetap saya anggap kontekstual. Jadi, tahan dulu omongan kiai untuk dibicarakan nanti sehabis saya bangun tidur.”
Aku menutup wajah dengan baju yang tadi dilepas. Lalu berpura-pura terlelap meski sebenarnya hal itu tidak bisa aku lakukan karena Kiai Majnun yang grusak-grusuk balik kiri, balik kanan seperti kardus yang ditimpa angin besar. Aku bersabar dalam keadaan seperti itu. Ingin rasanya menghardik sosok Kiai Majnun ini. Tetapi tidak tega. Takut dia marah, tersinggung dan akhirnya tak mau datang lagi menjumpaiku. Padahal, diam-diam, aku pun merasa enjoy dengan beliau.
“Le, tak baik tidur dalam keadaan suntuk. Kamu pasti mimpi jelek. Atau kalau tidak, tidurmu tak bakalan nyenyak. Jadi tenangkan dulu pikiranmu. Bebaskan dari kesuntukan, dan setelah itu baru tidur. Saya jamin pasti nyenyak.”
“Memang Kiai tahu apa, kenapa saya suntuk?”
“Paling-paling masalah hutang itu lagi. Iya, kan?”
“Ini lebih dari sekadar hutang Kiai,” jawabku setengah kesal.
“Sebentar kutebak,” kata Kiai Majnun sambil memejamkan kedua matanya seperti orang yang sedang meramal.
“Ohh….pasti,” katanya lagi tiba-tiba.
“Pasti apa?”
“Pasti soal rencanamu yang mau menikah lagi dengan Zainab, kan. Hehehe…” kali ini Kiai Majnun terkekeh-kekah. Tubuhnya terguncang-guncang menahan tawa.
“Salah, Kiai. Salah. Masalah yang membuat saya suntuk ini sepertinya tidak memungkinkan bagi saya untuk meneruskan niat itu. Sudahlah. Lupakan Zaenab, Fathimah, Desy Ratnasari….”
“Oohhh… kenapa ada Desy Ratnasari. Katanya cuma Zaenab sama Fatimah pilihannya?”
“Aduh, Kiaii…. . Sudahlah. Kesuntukan saya ini tidak ada hubungannya dengan perempuan dan hutang itu. Titik.”
“Lha, ya terus apa?”
“Rokok,” jawabku ketus.
“Rokok. Memang kenapa dengan rokok? Kamu habis modal dan tak bisa berjualan rokok lagi? Ngomong, dong.”
Aku menghela napas dalam-dalam. Menenteramkan kesuntukan yang sudah bercampur aduk dengan rasa jengkel, mengkel, marah dan rasa ingin memelintir mulut Kiai yang satu ini.
“Bukan itu, Kiai. Bukan itu. Tapi sekarang saya tidak mungkin lagi berjualan rokok karena rokok sudah diharamkan.”
“Hussyy…,” Kiai Majnun terbelalak seperti tidak percaya. Wajar saja dia bersikap begitu. Soalnya dia perokok tangguh yang dapat menghabiskan dua puluh batang dalam sehari.
“Ini benar, Kiai. Kalau tidak, ndak mungkin saya suntuk dan uring-uringan begini.”
“Memang siapa yang mengharamkan? Pemerintah?” tanyanya penasaran.
“Itu tidak penting Kiai tahu. Yang penting sekarang, Kiai harus memberi penjelasan kepada saya mengenai masalah yang satu ini.”
“Lho, kenapa saya yang harus kena getahnya?”
“Memang begitu maunya saya…”
Kiai Majnun hanya geleng-geleng kepala mendengar tekananku. Namun ia masih sempat cengar-cengir saja meski ditekan-tekan seperti itu. Wajahnya selalu menunjukkan kalau ia tak bisa ditekan, diintervensi dan dipengaruhi oleh apa pun yang ada di luar dirinya.
“Sekarang aku ingin tanya satu hal sama kamu. Sejak ada pengharaman rokok seperti itu, apa rokokmu tidak laku sama sekali?” tanya Kiai Majnun.
“Itulah anehnya, Kiai. Malah asongan rokok saya tetap laris seperti biasanya dan bahkan lebih laris dari hari-hari sebelumnya,” jawabku ganti bersemangat.
“Kenapa kamu anggap aneh?”
“Ya. Padahal kan sudah diharamkan. Logikanya, kalau sudah haram orang kan mestinya takut. Tapi kenapa ini masih laris dan tambah laris saja asongan saya.”
“Jadi itu menurutmu fenomena yang aneh?”
“Jelas aneh, Kiai. Tapi kenapa tanya-tanya itu segala sih?”
Kiai Majnun kembali tertawa terkekeh-kekeh.
“Le, larangan itu juga tidak kalah anehnya buatku. Hehehe…..,” tubuh Kiai Majnun terguncang-guncang lagi.
“Aneh bagaimana, Kiai. Yang mengeluarkan putusan haram itu orang-orang hebat lho. Bahkan mungkin Kiai sendiri dapat dikalahkan dengan mudah seandainya diajak berdebat oleh mereka.”
“Ah, sudahlah. Aku memang mungkin kalah kalau diajak berdebat. Tapi intinya larangan itu aneh. Titik.”
“Makanya tolong Kiai jelaskan. Kenapa aneh?”
“Ya, tapi tolong ambilkan dulu aku sebatang. Mulutku lagi masam ini.”
Aku tak berkutik. Dengan malas aku bangkit untuk mengambilkan rokok untuknya. Tak hanya itu, aku juga menyalakannya biar dia bisa langsung menghisapnya. Kiai Majnun menerima rokok itu dengan girang dan menghisapnya dalam-dalam.
“Kau tahu, kenapa aku tadi katakan kalau larangan pengharaman itu aneh?”
“Tidak, Kiai.”
“Karena menurutku, itu kurang substansial. Bagaimana mungkin rokok diharamkan kalau pabriknya tetap dibiarkan jalan dan memberikan pemasukan pajak berlipat-lipat pada negara. Kamu tahu, berapa triliun negara menerima pemasukan dari perusahaan rokok itu?”
“Saya tidak tahu, Kiai. Memang berapa?”
“Makanya saya tanya kamu, siapa tahu kamu tahu. Ah… malah kamu sama gendengnya seperti aku. Pantas saja kamu jadi tukang asongan. Kalau pintar dikit, kamu pasti diajak rapat untuk membahas haramnya rokok.”
Aku biarkan saja Kiai Majnun mengata-ngataiku seenaknya. Memang begitulah yang sering dia lakukan selama ini terhadapku dan anehnya aku tetap menyukainya.
“Terus. Terus?”
“Terus apanya?”
“Soal yang aneh-aneh itu tadi.”
“Oh. Ya jelas larangan itu aneh. Harusnya yang diharamkan itu pabriknya. Haram memproduksi rokok.
Kalau itu berhasil, saya jamin para perokok akan berhenti dengan sendirinya. Kecuali mereka berani ngulak ke Amerika langsung.”
“Sebentar, Kiai. Dulu Kiai pernah berkata bahwa semua yang diciptakan Tuhan itu memiliki manfaat. Kalau sawi, kangkung, bayam, itu jelas bisa dibuat sayur. Dan saya juga berpikir, kalau daun tembakau ini manfaatnya agar bisa dibuat rokok. Tapi kalau sekarang diharamkan, berarti daun tembakau itu sudah tidak ada manfaatnya lagi dong, Kiai. Mungkin Tuhan perlu membinasakan benih tanaman yang bernama tembakau itu dari sejarah manusia.”
“Kalau begitu, silahkan kamu bilang sendiri sama Tuhan.”
“Maksudku bukan itu, Kiai. Artinya, kalau rokok itu diharamkan, lantas daun tembakau itu mau dimanfaatkan untuk apa?”
“Mungkin sewaktu-waktu kita coba jadikan sayur saja.”
“Ayolah, Kiai. Saya ini serius.”
“Aku juga serius. Kamu ini enak saja. Aku ini tidak tahu, selain dibuat rokok, manfaat daun tembakau itu bisa dibuat apa lagi. Makanya aku bilang kalau sewaktu-waktu kita coba nyayur dengan memakai daun tembakau. Pasti rasanya lebih legit.”
“Ah, Kiai ini sudah mulai ngawur.”
“Sama ngawurnya dengan keluarnya larangan itu kan?”
“Huss…., jangan bilang-bilang begitu, Kiai. Kalau sampai kedengaran, Kiai bakal tahu akibatnya. Kiai bakal kena pasal…”
“Pasal apa,” potong Kiai Majnun tiba-tiba. “Kalau mau bicara pasal, aku hapal di luar kepala. Aku kasih contoh ya, kalau ada seorang pengendara motor yang tidak memiliki SIM dan ditangkap polisi, maka negara akan memberi sanksi dengan pasal 20.000. Itu baru SIM. Kalau dia juga tidak bawa STNK, maka ia akan dikenai pasal 40.000. Bagaimana, sudah jelas kan, kalau aku tahu benar soal pasal-pasal hukum?”
“Sudah. Sudah, Kiai. Makin lama Kiai makin ngawur saja. Nanti omongan Kiai benar-benar didengar orang lho.”
“Kalau begitu aku pergi saja.”
“Oh, itu lebih baik, Kiai. Saya juga sudah ngantuk. Mau tidur.”
“Eh…tapi aku kasih satu bungkus lagi lah. Nanti aku bayar.”
Ah, benar-benar gila Kiai yang satu ini.
Kebumen, 20 Maret 2010.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 30 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar