Senin, 30 Agustus 2010

Hang Tuah

Puji Santosa
http://www.sastra-indonesia.com/

Hang Tuah merupakan cerita rakyat Melayu yang sudah ditulis menjadi hikayat dan puisi Indonesia modern oleh Amir Hamzah. Kisah Hang Tuah terjadi seputar abad XV hingga Abad XVII. Beberapa pakar sastra berbeda-beda mengkategorikan kisah Hang Tuah. Menurut Werndly (1736) Hikayat Hang Tuah adalah satu cerita tentang raja-raja Melayu. Roolvink menganggap kisah Hang Tuah sebagai karya sastra sejarah yang terdiri atas dongeng dan historis. Sementara itu, Valentijn (1726), E. Netscher (1854), Overbeck (1922), Hooykaas (1947), dan A. Teeuw (1960) menyetujui bahwa kisah Hang Tuah adalah sebuah roman yang melukiskan perbuatan pelakonnya menurut watak dan isi jiwa masing-masing. Liaw Yock Fang (1991) menyetujui pendapat John Crawfurd (1811) bahwa kisah Hang Tuah sebagai roman sejarah (historical romance), sebab Hang Tuah sebenarnya seorang tokoh sejarah yang dapat dilihat dari buku Sejarah Melayu.

Dalam buku Sejarah Melayu itu dikisahkan bahwa Hang Tuah berasal dari keluarga yang biasa saja. Akan tetapi, atas keberanian dan kegagahannya berperang melawan musuh, akhirnya Hang Tuah menjadi seorang pahlawan yang terkenal di Tanah Melayu. Ditambah pula bahwa Hang Tuah begitu taat dan setianya kepada raja yang tidak ada bandingnya. Pengabdian Hang Tuah kepada Raja Melayu yang begitu tulus itu membuat nama Hang Tuah semakin termasyhur di seluruh Nusantara. Hang Tuah menjadi teladan bagi orang-orang kebanyakan yang ingin mencapai derajat dan pangkat tinggi dalam negeri, yakni dari rakyat biasa hingga sebagai laksamana (panglima perang angkatan laut). Lama-kelamaan, kisah Hang Tuah itu hidup di masyarakat Melayu menjadi sebuah dongeng dengan menghilangkan sifat-sifat tercelanya, seperti sombong, takabur, loba, angkara, dan tamak. Hal inilah yang mendorong Prof. Dr. Sulastin Sutrisno (1979) dari Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membuat disertasi doktor tentang Hikayat Hang Tuah: Analisis Struktur dan Fungsi (terbit tahun 1983 oleh Gadjah Mada University Press).

Hikayat Hang Tuah dimulai dari turunnya raja-raja keinderaan di bukit Siguntang. Sang Maniaka menjadi raja di Bintan. Hang Tuah pindah dariSungai Duyung ke Bintan. Sewaktu masih muda Hang Tuah dan kawan-kawannya mampumengalahkan para perompak (bajak laut), bahkan dia dapat membunuh ular CintaMani. Kemudian Hang Tuah dan kawan-kawannya mengabdi kepada raja Bintan. Padasuatu hari raja Bintan kedatangan Patih Krama Wijaya dari Jawa dan Wira Nantayadari Daha yang disambutnya dengan meriah. Bahkan, Wira Nantaya pada saat itudiberi gelar “Ratu Melayu”.

Selanjutnya, Raja Bintan berpindah ke Melaka dan mendirikan istana di sana. Pada suatu saat, Raja Melaka meminang Tun Teja, anak gadis dari Bendahara Indrapura. Namun, pinangan raja ini ditolak. Raja tidak putus asa, kemudian mengirim utusan ke Jawa untuk meminang putri Raja Majapahit. Pinangan diterima, tetapi Raja Melaka sendiri yang harus datang ke Majapahit menjemput putri pinangan. Hang Tuah ikut serta rombongan Raja Melaka datang ke Majapahit. Sesampainya di Majpahit, berkali-kali Hang Tuah diuji nyali keberanian dan kegagahannya melawan orang-orang Jawa. Batara Majapahir akhirnya berkenan memberi anugerah gelar Laksamana kepada Hang Tuah atas keperkasaannya. Di Jawa ini pun Hang Tuah sempat berguru kepada seorang pertapa untuk belajar ilmu kebatinan dan kanuragan. Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit, Raja Malaka pun kembali ke negerinya dengan dikawal oleh Hang Tuah dan kawan-kawannya.

Pada suatu ketika Hang Tuah difitnah telah melakukanperbuatan serong dengan seorang dayang istana. Raja Melaka murka kepada HangTuah dan menjatuhkan hukuman mati. Namun, Hang Tuah diselematkan oleh bendaharaistana dan dilarikan ke Indrapura. Di Indrapura Hang Tuah menculik Tun Tejaputri Bendahara Indrapura yang pernah disunting Raja Melaka tetapi ditolak.Hang Tuah berhasil membawa Tun Teja ke Melaka dan mempersembahkannya kepadaRaja Melaka. Atas persembahan putri itu Raja Melaka berkenan di hati danmengampuni Hang Tuah. Megat Panji Alam dari Trengganu, tunangan Tun Teja, maumelabrak ke Melaka atas diculiknya tunangannya oleh Hang Tuah. Akan tetapi,baru sampai di Indrapura sudah dapat dikalahkan oleh Hang Tuah dankawan-kawannya.

Dalam hikayat Hang Tuah ini banyak diceritakan akan kehebatan dan ketangguhan Hang Tuah menghadapi berbagai halangan dan tantangan. Satu persatu semua persoalan yang dihadapi Hang Tuah dapat diatasinya dengan baik, termasuk melawan orang-orang Portugis yang hendak menguasai Melaka. Dalam hikayat Hang Tuah ini tokoh Hang Tuah tidak mati, bahkan dapat menjadi raja orang Batak. Namun, dalam puisi “Hang Tuah” karya Ami Hamzah yang terkumpul dalam buku Buah Rindu (1941) tokoh Hang Tuah gugur melawan bala tentara Portugis dan jasadnya dilarung di lautan Selat Melaka.

Sajak “HangTuah” karya Amir Hamzah tersebut sebagai berikut.

HANG TUAH

Bayu berpuput alun digulung
Bayu direbut buih dibubung

Selat Melaka ombaknya memecah
Pukul-memukul belah-membelah

Bahtera ditepuk buritan dilanda
Penjajab dihantuk haluan ditunda

Camar terbang riuh suara
Alkamar hilang menyelam segara

Armada Peringgi lari bersusun
Melaka negeri hendak diruntun

Galyas dan pusta tinggi dan kukuh
Pantas dan angkara ranggi dan angkuh

Melaka! Laksana kehilangan bapa
Randa! Sibuk mencari cenderamata!

“Hang Tuah! Hang Tuah! Di mana dia?
Panggilkan aku Kesuma Perwira!”

Tuanku Sultan Melaka, maharaja bintan!
Dengarkan kata Bentara Kanan.

“Tun Tuah, di Majapahit nama termasyhur,
badannya sakit rasakan hancur!”

Wah, alahlah rupanya negara Melaka
Karena Laksamana ditimpa mara.

Tetapi engkau wahai Kesturi
Kujadikan suluh, mampukah diri?

Hujan rintik membasahi bumi
Guruh mendayu menyedihkan hati.

Keluarlah suluh menyusun pantai
Angkatan Portugal hajat diintai

Cucuk diserang ditikam seligi
Sauh terbang dilempari sekali

Lela dipasang gemuruh suara
Rasakan terbang ruh dan nyawa

Suluh Melaka jumlah kecil
Undur segera mana yang tampil

“Tuanku, armada peringgi sudahlah dekat
Kita keluar dengan cepat.

Hang Tuah coba lihati
Apakah ‘afiat rasanya diri?”

Laksamana, Hang Tuah mendengar berita
Armada Peringgi duduk di kuala

Minta didirikan dengan segera
Hendak berjalan ke hadapan raja

Negeri Melaka hidup kembali
Buklanlah itu Laksamana sendiri

Laksamana, cahaya Melaka, bunga Pahlawan
Kemala setia maralah Tuan.

Tuanku, jadikan patik tolak bala
Turunkan angkatan dengan segera.

Genderang perang disurunya palu
Memanggil imbang iramanya tentu.

Keluarlah Laksamana mahkota ratu
Tinggallah Melaka di dalam ragu….

Marya! Marya! Tempik peringgi
Lela pun meletup berganti-berganti

Terang cuaca berganti kelam
Bujang Melaka sukma di selat!

Amuk-beramuk buru-memburu
Tusuk-menusuk laru-meluru

Lela rentaka berputar-putar
Cahaya senjata bersinar-sinar

Laksamana mengamuk di atas pusta
Yu menyambar umpamanya nyata….

Hijau segara bertukar warna
Silau senjata pengantar nyawa.

Hang Tuah empat berkawan
Serangnya hebat tiada tertahan.

Cucuk Peringgi menarik layar
Induk dicari tempat berhindar.

Angkatan besar maju segera
Mendapatkan payar ratu Melaka.

Perang ramai berlipat ganda
Pencalang berai tempat ke segala.

Dan Gurbenur memasang lela
Umpama guntur di terang cuaca

Peluru terbang menuju bahtera
Laksamana dijulang ke dalam segara….

(Amir Hamzah, 2000. Padamu Jua. Jakarta: Grasindo, hlm. 7-11)

Menjaga Tranformasi Keilmuan

Judul Buku : Aku Menulis Maka Aku Ada
Penulis : KH. Zainal Arifin Thoha
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Edisi : Maret 2009
Tebal : xviii + 182 Halaman
Peresensi : MG. Sungatno *
cawanaksara.blogspot.com

Cerita Rakyat di Jombang Menuggu Ajal;

Sebuah Mutiara Yang Terlupakan
Aang Fatihul Islam
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Ijo dan abang itulah dua kronim yang selalu melekat pada kota Jombang, sebuah perpaduan antara golongan santri dan abangan. Jombang adalah sebuah analogi miniatur kecil pluralisme yang terwakili dua akronim ijo dan abang. Jombang walaupun hanya kota kecil, tetapi di dalamnya tersimpan banyak hal menarik. Ini yang menyebabkan kota jombang selalu menarik untuk dikaji. Jombang tiada henti-hentinya menjadi sorotan, mulai sebutan kota santri, kota kelahiran Riyan sang jagal, kota kelahiran Ponari Sang dukun cilik, kota budaya, sastra dan sebagainya. Sejarah mencatat kota ini banyak melahirkan para pelopor yang menebarkan benih-benih pluralisme, sastra dan juga budaya baik di Jombang sendiri maupun di luar Jombang sampai di hampir seluruh pelosok tanah air. Dari sabang sampai merauke siapa yang tidak kenal Jombang, bahkan Negara tetanggapun juga sudah akrab dengan nama Jombang. Karena sejarah mencatat tokoh-tokoh yang punya peran vital di Indonesia dan di luar negeri, banyak yang berasal dari Jombang.

Dalam kancah pergulatan sastra dan budaya di Jombang, ternyata masih banyak hal yang seringkali kita lupakan. Maka dengan bermunculannya para pemerhati sastra dan budaya di Jombang, merupakan nafas segar bagi pemertahanan budaya dan sastra yang mulai lunglai. Di Jombang sebenarnya banyak hal yang bisa kita gali, mulai dari varian budaya yang berserakan, misalnya: kesenian topeng, tari, besutan dan masih banyak lagi. Sastra yang bertebaran dimana-mana misalnya dapat kita lihat para penggiat sastra yang tergabung dalam komunitas Lembah Pring yang juga kerap mengadakan Gladak Sastra yang penuh inspiratif, dan komunitas-komunitas sastra yang selalu berusaha untuk tetap mempertahankan eksistensi dunia sastra di Jombang. Para penelusur sejarah, penggiat sastra dan budaya yang bermunculan, merupakan harapan baru bagi tumbuh-kembangnya peradaban sejarah, budaya dan sastra di Jombang pada khusunya. Namun kita semua perlu memberikan sumbangsih pemikiran demi keberlangsungan kekayaan sastra dan budaya di Jombang yang mulai menggeliat.

Dalam hal ini, penulis mencoba untuk mengungkap hal yang masih terlupakan yaitu dalam Gerbong Sastra, dalam hal ini adalah cerita rakyat yang biasa disebut dengan sastra lisan atau seringkali di sebut ‘folklor’ yang ada di Jombang. Ketika ditelusuri ternyata tidak banyak masyarakat Jombang yang masih memelihara kelestarian cerita rakyat, misalnya tidak banyak masyarakat Jombang yang faham betul tentang cerita rakyat di Jombang dan ini juga ditopang dengan kurangnya perhatian instansi terkait. Faktor lain adalah keberadaan cerita rakyat juga sudah tergantikan media visual dan audio visual seperti radio dan televisi yang menyebabkan berkurangnya cerita rakyat yang masih diberikan pada anak-anaknya seperti yang dilakukan pada waktu dulu sebelum media visual dan audio visual muncul di tengah-tengah kita. Hal ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Jombang, tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Suripan Sadi Hotomo (1991:1) tokoh pemerhati sastra lisan, mengatakan bahwa “di Indonesia perhatian terhadap sastra yang tidak tertulis (sastra lisan) memang kurang sekali dibanding sastra tulis”. Karena sifat sastra lisan adalah dari mulut ketelinga lalu ke mulut (dari mulut ke mulut), maka penulis khawatir ketika orang-orang yang tahu dan faham tentang sastra lisan sudah tidak ada lagi, maka sastra lisan yang ada di Jombang ini akan punah seiring dengan perjalanan waktu. Padahal keberadaannya merupakan mutiara yang sangat berharga bagi keberlangsungan kantung sastra dan budaya di Jombang.

Sebenarnya ada banyak cerita rakyat yang ada di Jombang namun sayangnya belum terbukukan, antara lain cerita Putri Tunggorono dan Maesosuro, Kebokicak Dapur Kejambon, Dung Cinet, Dung Mangu, Dung Budeng, Palemahan Mojokrapak, Sambong Santren, Banjardowo, Topeng Jatiduwur dan sebagainya. Walaupun ada sebagian yang sudah ditulis, akan tetapi hanya sebagian kecil saja. Jadi bisa dikatakan bahwa masih banyak cerita-cerita rakyat lain yang belum terlacak dan terbukukan. Kemudian ketika membincangkan tentang budaya di Jombang, ternyata banyak hal yang kita tahu mulai dari Besutan, Jaran dor, Tari Remo, Reog dan sebagainya. Ada sekitar 23 kekayaan budaya yang ada di Jombang. Nah, sekarang kalau kita menengok sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat yang ada di Jombang, Faktor usia pun tidak menjamin orang tersebut tahu benar cerita rakyat yang ada di Jombang dengan fasih Bahkan mereka tidak tahu sama sekali. Ini merupakan sebuah keprihatinan tersendiri, kalau sampai orang-orang yang faham cerita rakyat di Jombang sudah habis maka apa yang akan terjadi nanti, otomatis kantung-kantung sastra lisan di Jombang akan punah. Tentunya kita tidak ingi itu terjadi bukan?

Karya sastra merupakan mutiara yang sangat berharga, karenanya di dalamnya baik sastra tulis maupun lisan banyak hal berharga dapat kita temukan: nilai budaya, ajaran moral, falsafah kehidupan, sejarah, psikologi, realisme sosial dan sebagainya yang kesemuanya itu tercermin dalam karya sastra atau sering di sebut sebagai mimesis. Mimesis merupakan realita yang ada di masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Mimesis ini dapat kita temui pada buku “Tentang Sastra” karya Lexemburg (1991: 15). Mimesis mulai ada sejak zaman filsuf Plato dan muridnya Aristoteles. Sepengetahuan saya, penelitian sastra lisan ini juga belum banyak dilakukan, apalagi di Jombang. Hal ini mungkin juga ditopang dari sulitnya untuk mendapatkannya karena tidak banyak yang memeliharanya. Maka karya sastra sebenarnya juga merupakan media pembelajaran yang cukup efektif dalam melakukan silaturrahmi wacana, walaupun tidak bertemu dengan penulisnya langsung kalau sastra tulis maupun penceritera berupa sastra lisan.

Dari uraian permasalahan di atas, cerita rakyat di Jombang sebagai mutiara yang terlupakan seharusnya akan lebih arif dan bijaksana ketika para pemerhati sastra dan budaya di Jombang dan juga pemerintah segera menyikapinya dengan cara mengambil langkah kongkrit dan reliable, misalnya dengan mengakomodir kantung-kantung sastra lisan di Jombang yang masih berserakan, kemudian segera membukukannya. Pembukuan cerita rakyat di Jombang akan te-realisasi ketika ada kerjasama dari berbagai pihak untuk segera melacak dan mendapatkan data cerita rakyat di Jombang dengan cara wawancara dan mencatatnya kemudian mengumpulkannya menjadi satu, untuk kemudian dijadikan sebuah kumpulan (antologi) cerita rakyat di Jombang. Supaya kekhawatiran yang selama ini menghantui kita akan segera berakhir. Untuk penyikapan yang lebih bijaksana saya serahkan sepenuhnya kepada semua pihak yang masih peduli dengan nafas sastra dan budaya di Jombang, kota yang penuh dengan mutiara. Apakah akan membiarkan mutiara itu hilang tergerus arus begitu saja, ataukah segera menyikapinya dengan arif dan bijaksana? Semuanya terserah kita, karena nasib keberlangsungan hidup sastra lisan di Jombang ada di tangan kita. Semoga keberlangsungan sastra lisan di Jombang pada khususnya dan Indonesia pada umumnya segera bisa diselamatkan dari keter-ancaman kepunahan. Amin.

Dimuat Radar Mojokerto-Jombang 22 Agustus 2010.

Pagar Emas

A Rodhi Murtadho
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Pagar di depan rumah mulai berkarat. Entah sejak kapan karatan itu mulai menyelimuti besi pagar. Daun yang ada di atasnya selalu saja bergerak. Sejak kapan daun itu berada di sana. Aku tak tahu pasti. Setahun yang lalu, seingatku, belum ada daun yang berada di atas pagar. Selalu saja aku bertanya dalam hati. Daun itukah yang menyebabkan pagar berkarat? Aku semakin bingung dengan pertanyaan yang muncul dalam benakku.

Aku mulai menyentuh pagar. Megingat kembali pemasangan pagar. Besi yang berkilat dan terbaluri cat warna hitam. Dan semua itu aku kerjakan sendiri.

“Pak sedang apa?” Tanya istriku sambil menggendong Rani, anak kami.

Aku mau menjawab. Apa yang sebenarnya kulakukan dan kupikirkan saat itu. Tapi aku ingat Rani, anak perempuanku, yang berada dalam gendongannya. Ingat kebutuhan susunya yang akhir bulan ini belum terpenuhi. Paling tidak, akhir bulan ini, aku harus membeli susunya.

“Tidak apa-apa, hanya menikmati udara segar.” Jawabku.

Terlihat mimik makin bertanya-tanya pada raut istriku. Ia mengalihkan pandangan pada Rani. Mungkin ia tahu kesedihanku. Seorang suami yang tidak bisa bekerja penuh untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Mungkin hanya kebutuhan untuk sehari-hari saja. Untuk makan, bayar air, dan bayar listrik sebagai kewajiban masyarakat kota.

Aku makin tertekan akhir-akhir ini. Kebutuhan keluarga makin bertambah. Gaji yang aku terima tetap. Rani hadir sebagai anugerah sekaligus idaman bagi kami. Aku sebagai kepala keluarga merasa tak mampu dan kadang juga rendah diri. Namun tekad yang aku genggam, bahwa kebutuhan anakku, Rani, mengenai gizinya harus terpenuhi. Namun bagaimana caranya. Aku semakin bingung memikirkannya.

“Ayo masuk pak, mulai dingin di luar. Hari mulai malam soalnya.”

“Ya, bu. Sebentar lagi. Kamu saja duluan, nanti aku menyusul.” Elakku.

“Sudahlah pak, ayo masuk!”

Entah apa yang ada dalam benak istriku. Seakan ia tahu kepedihan yang aku rasakan. Mengerti tentang keadaanku yang mulai tua. Hanya menggantungkan diri pada perusahaan yang hanya menggajiku tetap meski telah bekerja puluhan tahun di sana.

“Baiklah bu.” Aku mulai menurut.

Entah apa yang terjadi ketika aku melangkahkan kaki menuju rumah, aku selalu memikirkan pagar yang aku lihat, yang aku sentuh, dan memang karatan.

“Kapan aku bisa menggantinya?” tanyaku lirih pada diriku sendiri.

Terdengar tangis Rani yang baru saja dibaringkan istriku di ranjang. Suaranya amat keras. Tak seperti biasanya ia menangis begitu keras. Kalau ia ngompol atau lapar suara tangisnya tak sekeras ini. Aku hafal tangisnya. Kami mulai dilanda rasa kecemasan.

“Pak, badan Rani kok panas ya?” kata istriku sambil menyentuh jidat dan tubuh Rani. “Padahal tadi, ketika saya gendong badannya tak sepanas ini.”

Entah apalagi ini. Kecemasanku sebagai kepala rumah tangga semakin meningkat. Aku terus saja merasakannya bahkan mimik mukaku mulai berubah.

“Apa perlu kita bawa Rani ke dokter pak?” Tanya istriku.

Mimik mukaku makin tak dapat disembunyikan lagi. Istriku mulai menyadari hal itu. Ia pun kelihatan ikut cemas merasakan apa yang aku rasakan.

“Dikompres saja dulu. Mungkin besok suhu panasnya kembali normal.”

“Ya, Pak.” Kata istriku yang selama ini menurut kepadaku.

Kompres ternyata tak mampu menurunkan panas Rani. Bahkan suara tangsisnya tampak semakin keras. Padahal hari sudah mulai malam. Kami mulai kebingungan dan semakin cemas.

“Pak, Rani mencret!” kata istriku.

Tengah malam yang gulita membuat aku semakin merasa khawatir kepada anugerah yang Tuhan berikan kepada kami. Namun aku tak bisa mengelak lagi pada tanggung jawabku sebagai kepala keluarga.

“Istriku, kamu sudah tahu keadaanku, keadaan uang kita. Menurutmu apa yang harus kita lakukan? Tak ada sanak famili di sini. Dan tetangga di sini sangat individual. Apa yang harus kita lakukan pada Rani?”

“Kita bawa saja ke dokter pak. Meski kita seminggu atau bahkan sebulan kalau perlu kita puasa demi kesembuhan Rani.”

“Baiklah kalau begitu. Kita bawa Rani ke dokter sekarang.”

“Ya pak. Tapi aku bersihkan dulu kotoran ini.” Sambil menunjuk pada pantat Rani yang memang blepotan dengan mencretnya.

Tapi istriku lama sekali di kamar mandi. Ia seperti bermain air di dalam kamar mandi. Begitu juga dengan Rani yang tak henti-hentinya menangis dan semakin menggaung suaranya di kamar mandi. Membuat suara tangisnya semakin keras.

“Ada apa istriku?”

“Rani tidak bisa berhenti mencretnya.”

Kepanikan yang muncul dari tadi bertambah dalam diri ini. Degup jantung mulai cepat. Berdendang tak beraturan. Semakin cepat.

“Lho kok berhenti ya pak.”

“Coba kau bawa dia ke kamar tidur, aku panggilkan saja dokternya ke sini.”

Aku mulai melangkahkan kaki keluar rumah. Sampai di pintu depan kubuka pintu. Istriku berteriak. Detak jantung seperti ada yang menukul. Berdentang. Layaknya gong yang dipukul.

“Pak ke sini, cepat!” Teriak istriku.

Aku langsung saja mempercepat langkah. Kecemasan semakin terasa bahkan terasa akan mencabut nyawa ini. Namun yang kulihat dalam kamar, istriku tersenyum. Hal inilah yang membuatku kaget dan sekaligus heran. Hal ini juga yang memicuku untuk marah.

“Pak, Rani mencret Emas.”

“Apa?”

“Ya, pak. Rani mencret emas. Coba bapak lihat sendiri.”

Aku mulai melangkah mendekatkan diriku pada mereka. Kulihat pantat Rani yang penuh dengan warna kuning bercahaya memantulkan sinar lampu kamar.

“Ya, bu. Lantas apa yang harus kita lakukan. Bagaimana kita harus memeriksakan Rani ke dokter.”

“Tak usah pak. Jangan-jangan dokter mendiagnosa dan menyatakan Rani sakit. Kemudian menyuruh Rani harus rawat inap. Terus nanti emas yang dikeluarkan Rani pasti diambil dokter atau suster yang merawatnya dan membaginya dengan teman-temanya. Kita bagaimana? Kita harus membayar ongkos rumah sakit terus kita juga tidak kebagian emas yang dikeluarkan Rani.”

Benar juga apa yang dikatakan istriku. Hal inilah yang membuatku untuk sependapat dengannya. Kebutuhan keluarga yang makin hari makin naik seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan Rani.

“Lantas apa yang akan kita lakukan dengan emas yang dikeluarkan Rani? Apa harus kita jual? Jual kemana? orang pasti mencurigai kita.” Kataku.

“Ya ke tukang emas yang ada di pasar. Aku pernah melihat mereka membeli emas berupa anting walau hanya sebelah. Mereka pasti mau kalau membeli emas yang dikeluarkan Rani, pak”

Emas yang dikeluarkan Rani akhirnya kami jual ke penjual emas yang ada di pasar. Walau membeli dengan harga separuh dari harga emas pasaran, kami merelakan begitu saja. Yang ada dalam pikiran kami, emas itu tidak kami cari hanya menunggu dari pantat Rani. Yang tentu saja tanpa susah payah mendapatkannya.

Ekonomi keluarga semakin membaik dari hari ke hari. Kewajiban sebagai masyarakat kota terpenuhi dengan baik. Susu Rani juga tercukupi dengan baik dan tidak telat. Semua dihasilkan dari mencret Rani. Aku mulai melirik pagar yang sebulan lalu aku lihat dan memang berkarat di bawah daun mangga. Ada pemandangan ganjil di sana. Daun yang berada di atasnya ternyata hilang. Entah terbang ke mana? Atau jatuh di mana? Di bawah pohon itu tidak ada satu pun daun yang gugur. Aku semakin bingung lagi ketika aku mendekatkan diriku ke pagar.

“Kemana juga karatannya?” tanyaku lirih dalam hati.

Aku mulai menyentuh pagar yang aku yakini memang berkarat. Sekarang tidak lagi berkarat. Kemana lunturnya karatan itu? Sementara di bawah juga bersih. Tak ada bekas karatan yang jatuh. Aku mulai bingung.

“Pak sedang apa?” Istriku memanggil.

Bagaimana aku mengutarakan keganjilan yang aku dapatkan ini. Sementara sebulan lalu saja aku tidak mengutarakan kalau ada daun di atas pagar dan pagarnya berkarat. Aku tidak bisa menyembunyikan kegelisahan dalam hatiku. Mimik muka yang terpasang juga mudah sekali dianalisa oleh istriku.

“Tidak bu.” Jawabku.

“Kok kelihatannya bingung, ada apa?”

Sore yang semakin dingin. Angin yang berhembus juga semakin tak kenal kompromi. Walau begitu tak ada daun mangga yang jatuh satu pun. Aku menjadi semakin bingung. Pagar yang berwarna kusam pun mulai mengkilat lagi diterpa angin.

Suara tangis Rani yang semakin keras. Biasanya dia akan mencret emas. Dan memang itulah yang kami tunggu. Kami segera berlari ke dalam kamar dimana Rani dibaringkan. Dan seperti yang kami sangka. Segumpal emas yang bekilau ada di sana. Tepat di bawah pantatnya. Namun yang membuat kami terheran. Mengapa suhu badannya tak kunjung turun. Apa ini sebagai akibat Rani mencret emas.

“Cepat kau simpan bu, besok saja kita jual ke pasar.”

“Ya, pak.”

Istriku mulai mengambil segumpal emas yang ada di pantat Rani. Menyimpan dengan baik di tas plastik warna hitam. ia nampak begitu gembira dengan apa yang ia dapat kali ini. Segumpal emas, mungkin setengah kilo. Tak seperti biasanya mungkin hanya sekitar satu ons saja.

“Kita bisa kaya pak!”

“Ya, bu.”

“Kita bisa ganti rumah, dan segala macam perabot.”

“Ya, bu.”

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi pada istriku. Memang dia adalah seorang istri. Seorang prempuan yang biasanya memang butuh kemanjaan dari harta yang melimpah. Kini ia dapat dari Rani, anak kami. Senyum dan tawa yang menghias bibir kami sebulan menjadi kelu ketika Rani menghentikan tangisnya mendadak setelah istriku mengambil segumpal emas yang ada di pantatnya. Mendadak dan sangat mendadak sekali. Dan itulah yang membuat bibir kami yang sebelumnya penuh dengan senyum dan tawa manis sekarang jadi kelu dan beku.

Sidoarjo, 20 Januari 2006

Mimpi Pak Tumpul

M.D. Atmaja
http://www.sastra-indonesia.com/

Sehabis subuh berlalu, Pak Tumpul bangun tidur dengan mata yang hampir keluar dari kelopaknya. Nafasnya pun terenggah-engah. Keringat sebesar kedelai menggantung di mukanya. Bintik-bintik seperti jerawat yang juga membasahi keningnya yang botak. Pak Tumpul mengelus kucir belakang yang terasa gatal. Dia masih duduk di tempat tidurnya ketika mendapati istrinya telah selesai mandi.

“Aku bermimpi, Bu!” ucap Pak Tumpul pada istrinya yang berlilitkan handuk.

“Ah, mimpi apa, Pak? Bukan kah setiap hari Bapak mimpi?” sahut istrinya ringan.

“Ini sesuatu yang penting, Bu. Menyangkut masalah tata pemerintahan di Kelurahan kita ini. Datang seperti wahyu yang menerangi hatiku.” Ucap Pak Tumpul bersemangat dengan sorot mata berbinar seperti lampu sorot yang membelah gelap mencari codot.

“Mau terjadi kekacauan, Pak?” tanya istrinya yang sambil memandangi Pak Tumpul melalui kaca riasnya. “Akan ada manipulasi politik dan kekisruhan lagi? Wah, harga-harga akan naik, Pak. Lebih baik kita sekarang mulai menimbun saja. Biar nanti tidak kebingungan.”

Pak tumpul menarik kepalanya ke belakang. Dia kaget dengan tanggapan istrinya yang dingin namun ada benarnya juga. Tapi, Pak Tumpul menggelengkan kepala.

“Iya, Bu, hanya saja bukan masalah itu. Ini mengenai Pak Lurah Beye.”

“Pak Lurah Beye akan dijatuhkan, Pak? Wah, kalau seperti itu kita bisa ikut jatuh, Pak. Bapak musti cepat bertindak agar Pak Lurah Beye tidak jatuh. Bagaimana pun juga, Bapak ini salah satu orang kepercayaan Beliau. Anak Emas Pak Lurah Beye. Posisi yang menjanjikan, lho, Pak. Jadi jangan sampai kehilangan kesempatan baik di bulan baik ini.”

“Ah, kamu ini, Bu.” sahut Pak Tumpul dengan pipi memerah. “Aku ini memang anak emas Pak Lurah Beye. Mimpi aku tadi, bukan masalah Pak Lurah Beye yang akan dilengserkan. Tapi Pak Lurah Beye yang musti dibela agar tahun 2014 bisa mencalonkan diri lagi. Soalnya, Pak Lurah Beye itu pemimpin yang langka.”

“Jadi harus dibudi-dayakan, Pak?”

“Hus! Ngawur kamu, Bu. Kalau Pak Lurah Beye tetap bisa memerintah keluruhan Luruh Indon ini, kita akan mencapai kejayaan. Akan mengalahkan keluruahan-kelurahan lain. Bahkan, Amerika itu bisa kita ungguli.”

“Nah, bagus. Kita juga bisa ikut unggul.”

“Tapi bagaimana caranya, Bu?”

“Bapak melaporkan saja ke Pak Lurah Beye. Perihal mimpi Bapak itu. Siapa tahu nanti Pak Lurah Beye berkenan. Kan di Luruh Indon ini segalanya bisa diatur. Selama semua dapat jatahnya.”

“Ehm,,”

“Bapak juga anggota Perwakilan Ketropak Kelurahan. Dari sana Bapak bisa merubah semua aturan yang melarang pencalonan Pak Lurah Beye.”

Pak Tumpul menganguk-anggukkan kepala. Dia merasa kalau kata-kata istrinya ada benarnya. Karena bagaimana pun juga, menurut Pak Tumpul, sebagai anak emas, harus membela kewibawaan Bapaknya. Pak Tumpul langsung pergi. Tanpa mandi. Tanpa gosok gigi. Tanpa juga ganti. Langsung meluncur ke rumah Pak Lurah Beye dengan baju tidurnya.

Sesampainya di rumah Pak Lurah Beye yang dijaga puluhan PKPL atau Pasukan Khusus Pengawal Lurah, Pak Tumpul langsung menemui Pak Lurah Beye yang tengah minum kopi dan menonton berita pagi. Di ruangan itu, Pak Tumpul mulai menjelaskan bagaimana kronologis atas mimpi yang telah dia dapatkan. Pak Tumpul juga tidak lupa menjelaskan apa saja yang dia makan sebelum tidur, sewaktu tidur dan persenggamaan dengan sang istri pun tidak terlewatkan. Sampai, setelah kelelahan, Pak Tumpul tertidur dan mendapatkan mimpi itu.

Pak Lurah Beye hanya tersenyum lebar. Pipinya yang gemuk itu ditarik dengan ringan. Beliau mengangguk-anggukkan kepala saja.

“Bagaimana, Pak Lurah, kalau saya membuat konsperensi pers?” tanya pak Tumpul sementara Pak Lurah Beye tidak menjawab apa pun. Hanya mengangguk-anggukkan kepala seperti biasanya. “Bisa, Pak?” tanya Pak Tumpul menegaskan namun hanya anggukkan kepala yang di dapat.

Tidak memakan waktu lama. Pak Tumpul pun langsung melesat kembali. Tanpa mandi. Tanpa gosok gigi. Namun sudah ganti dan menyisir kucirnya dengan rapi. Dia membuat konsperensi pers di depan puluhan wartawan yang menunggu kejenakaan dan kekonyolan si Pak Tumpul.

“Ah, terima kasih, kawan-kawan sudah berkenan berkumpul di sini. Mari silahkan duduk.” Pak Tumpul kemudian duduk bersila. “Semalam, sehabis melakukan tugas rutin yang banyak, saya itu kelelahan dan terjatuh ke dalam tidur. Di dalam tidur yang singkat itu, saya bermimpi. Bertemu cahaya merah dan putih yang berkelebat di halaman Istana Kelurahan. Uh, cahaya yang indah.”

“Terus bagaimana, Pak?” tanya seorang Wartawan dari media televisi yang rencananya sedang akan di boikot karena pemiliknya terkena kasus banjir lumpur.

“Sebentar, Mas Wartawan ini pasti tidak sabaran.” Sahut Pak Tumpul dalam seringai sambil mengelus-elus kucirnya yang mirip ekor kuda. “Cahaya merah dan putih itu mengajak saya berdiskusi soal keadaan kelurahan Luruh Indon kita ini.”

“Kelurahan yang carut-marut ya, Pak?” sahut seorang wartawan yang entah berlogo apa.

“Iya. Karena alasan itu, roh merah dan putih menemui saya di dalam mimpi. Roh itu tahu kalau saya adalah seorang warga kelurahan yang baik.”

“Berpesan apa, Pak?”

“Bahwa Pak Lurah Beye seorang pemimpin yang tepat untuk memimpin kita. Beliau adalah Bapak yang bertanggung jawab kepada anak dan istrinya.”

“Kalau pada rakyat, Pak?” tanya seorang wartawan.

“Ya itu tergantung teks dan konteksnya. Akan panjang lebar kalau kita bahas sekarang.”

“Lanjutkan, Pak!” sahut seorang wartawan dari belakang jauh.

“Lebih cepat lebih baik, Pak!” sahut yang lain lagi.

“Ya, saya lanjutkan ya? Roh merah putih ini, meminta pada saya untuk menyampaikan keinginan roh atas kepemimpinan yang baik kepada rakyat. Bahwa Bapak Lurah Beye adalah Lurah yang paling tepat dari calon-calon yang ada pada nantinya. Karena itu lah, Pak Lurah Beye, perintah roh merah putih dalam mimpi saya, musti mendapatkan kesempatan untuk terus mencalonkan diri di Pilihan Lurah tahun 2014 nanti, dan seterusnya, dan seterusnya!”

“Itu bukannya sudah di atur, kalau seorang Lurah hanya boleh menjadi Lurah selama 2 periode? Akan melanggar hukum, Pak!”

“Ah, kata siapa? Semuanya kan bisa diatur.”

“Kalau nanti Pak Lurah Beye naik keprabon kelurahan untuk ketiga kalinya, bukankah itu sebagai langkah untuk meng-kera-jakan kelurahan kita ini, Pak. Akan terjadi proses hegemono, eh hegemoni kepemimpanan dan citra kekuasaan yang berakibat buruk.” Ungkap seorang wartawan.

“Apa Pak Lurah Beye bermaksud menjadi raja baru di keluarahan kita ini, Pak?”

“Ini kan pesan roh merah dan putih di halaman Istana Kelurahan yang dititipkan pada saya.” Sahut Pak Tumpul.

Pertanyaan demi pertanyaan terus saja mengalir sampai jauh. Baru saja 5 menit sudah menyebar ke seluruh pelosok kelurahan. Para politisi di seberang lain, saling melemparkan paradigma. Apa yang baru saja diungkapkan Pak Tumpul menuai kontraversi yang panas. sampai di lain tempat, Pak Lurah Beye mengutus juru bicara kelurahan untuk menyampaikan pada wartawan bahwa kabar itu, sama sekali tidak diketahui oleh Pak Lurah Beye sendiri.

Kita kembali ke konsperensi pers-nya pak Tumpul. Para wartawan hanya mendapatkan jawaban-jawaban tidak masuk akal dari salah satu Perwakilan Kethoprak Kelurahan itu. Jawaban-jawaban yang konyol terus Pak Tumpul lontarkan untuk menjelaskan maksudnya.

“Ada kemungkinan Pak, kalau setelah tahun 2014 tidak akan ada lagi pemilu?” tanya seorang wartawan.

“Lha, terus bagaimana memilih Lurahnya?” pak Tumpul berbalik bertanya.

“Ya, diwariskan saja dari Pak Lurah Beye ke anaknya itu. Kan juga sudah disiapkan!” sahut wartawan dalam tawa sinis dan marah.

“Yah… bisa juga seperti itu. Ya.. bisa juga seperti itu.”

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 22 Agustus 2010.

Rokok

Salman Rusydie Anwar
http://www.sastra-indonesia.com/

Siang itu, aku terkapar kepanasan di beranda rumah. Kurangnya pepohonan di sekitar halaman membuat suasana rumahku tetap terasa gerah meski saat itu aku bertelanjang dada. Belum lagi posisi rumah yang berada tepat di pinggir jalan besar yang setiap hari tak pernah sepi dari bisingnya suara kendaraan. Rasanya begitu muak bertahan lama tinggal di rumah itu. Tapi untuk pindah ke daerah lain yang lebih sejuk juga tak mungkin. Harga tanah sekarang ini mahal sekali dan hal itu jelas tak akan terbeli oleh penghasilanku yang cuma sebagai penjual asongan rokok, yang berkeliling di dalam pasar dan terminal angkot.

Aku hampir terlelap ketika seberkas cahaya berwarna kebiru-biruan tiba-tiba meluncur dari atas langit dan langsung jatuh tepat di samping kepalaku. Tapi aku tidak kaget. Sudah dua tahun terakhir ini aku sering mengalami hal-hal seperti itu. Dan itu pasti Kiai Majnun. Sosok yang dianggap orang sebagai manusia sakti karena dapat terbang dan mengubah wujudnya menjadi seberkas cahaya berwarna biru.

Entah apa yang ia kagumi dari diriku. Ia selalu berkata kalau dia merasa nyaman denganku. Mungkin karena hanya aku yang tidak terlalu membesar-besarkan kesaktiannya diantara orang lain yang bahkan menganggapnya seperti malaikat. Aku anggap kemampuannya yang bisa mengubah diri menjadi seberkas cahaya, dan juga kemampuannya bisa terbang dan mendatangi sebuah tempat dalam sekejap mata hanya masalah biasa.

“Itu hanya sebagian kecil dari anugerah Tuhan yang diberikan kepada sampeyan. Jadi tidak usah berlagak di depan saya,” kataku pada saat pertama kali berkenalan. Dan sejak saat itu pula ia kerap mendatangiku kapan saja ia suka, dan dimana saja aku berada. Meski awalnya aku merasa kesal, namun akhirnya aku menikmatinya juga. Apalagi ia selalu mengeluarkan humor-humor, tingkah laku dan pernyataan-pernyataan geli yang kadang sulit dicerna orang. Itu sebabnya aku panggil dia Kiai Majnun. Kiai gila. Begitu kira-kira artinya.

“Aduh, Kiaii… Ada apa lagi sih. Kok datang siang-siang begini?”

“Kenapa. Kamu tidak suka aku datang?”

“Bukan begitu. Saya ini lagi suntuk, capek dan mau istirahat.”

“Ya sudah, istirahat saja. Aku juga mau numpang istirahat, kok.”

Kiai Majnun merebahkan tubuhnya di samping tubuhku. Sejenak ia terdiam dan akupun sengaja tak mau mengajaknya bercakap-cakap seperti biasanya kami lakukan. Tapi dasar Kiai Majnun, dia seperti tak betah di kepung sunyi. Kalau dia tahu aku belum tidur, pasti ada saja yang mau diomongkan. Bahkan meski aku sudah tidur, tidak jarang pula dibangunkan.

“Le, kamu belum tidur kan?”

“Memang ada apa, Kiai. Saya memang mau tidur dan tolong kiai jangan ganggu saya dulu.”

“Tadi bilang kamu suntuk. Makanya aku ajak kamu ngobrol.”

“Nanti saja deh, ngomongnya Kiai. Sekarang ini waktunya tidak memungkinkan.”

“Wah…kamu ini gimana toh. Justru kalau diomongkan nanti aku takut keburu lupa dan omongannya menjadi tidak kontekstual lagi.”

“Setiap omongan kiai, buat saya, selalu kontekstual. Kiai mau ngomong di mushalla, di masjid, di lapangan sepak bola, di teminal angkot dan bahkan di kamar mandi pun tetap saya anggap kontekstual. Jadi, tahan dulu omongan kiai untuk dibicarakan nanti sehabis saya bangun tidur.”

Aku menutup wajah dengan baju yang tadi dilepas. Lalu berpura-pura terlelap meski sebenarnya hal itu tidak bisa aku lakukan karena Kiai Majnun yang grusak-grusuk balik kiri, balik kanan seperti kardus yang ditimpa angin besar. Aku bersabar dalam keadaan seperti itu. Ingin rasanya menghardik sosok Kiai Majnun ini. Tetapi tidak tega. Takut dia marah, tersinggung dan akhirnya tak mau datang lagi menjumpaiku. Padahal, diam-diam, aku pun merasa enjoy dengan beliau.

“Le, tak baik tidur dalam keadaan suntuk. Kamu pasti mimpi jelek. Atau kalau tidak, tidurmu tak bakalan nyenyak. Jadi tenangkan dulu pikiranmu. Bebaskan dari kesuntukan, dan setelah itu baru tidur. Saya jamin pasti nyenyak.”

“Memang Kiai tahu apa, kenapa saya suntuk?”

“Paling-paling masalah hutang itu lagi. Iya, kan?”

“Ini lebih dari sekadar hutang Kiai,” jawabku setengah kesal.

“Sebentar kutebak,” kata Kiai Majnun sambil memejamkan kedua matanya seperti orang yang sedang meramal.

“Ohh….pasti,” katanya lagi tiba-tiba.

“Pasti apa?”

“Pasti soal rencanamu yang mau menikah lagi dengan Zainab, kan. Hehehe…” kali ini Kiai Majnun terkekeh-kekah. Tubuhnya terguncang-guncang menahan tawa.

“Salah, Kiai. Salah. Masalah yang membuat saya suntuk ini sepertinya tidak memungkinkan bagi saya untuk meneruskan niat itu. Sudahlah. Lupakan Zaenab, Fathimah, Desy Ratnasari….”

“Oohhh… kenapa ada Desy Ratnasari. Katanya cuma Zaenab sama Fatimah pilihannya?”

“Aduh, Kiaii…. . Sudahlah. Kesuntukan saya ini tidak ada hubungannya dengan perempuan dan hutang itu. Titik.”

“Lha, ya terus apa?”

“Rokok,” jawabku ketus.

“Rokok. Memang kenapa dengan rokok? Kamu habis modal dan tak bisa berjualan rokok lagi? Ngomong, dong.”

Aku menghela napas dalam-dalam. Menenteramkan kesuntukan yang sudah bercampur aduk dengan rasa jengkel, mengkel, marah dan rasa ingin memelintir mulut Kiai yang satu ini.

“Bukan itu, Kiai. Bukan itu. Tapi sekarang saya tidak mungkin lagi berjualan rokok karena rokok sudah diharamkan.”

“Hussyy…,” Kiai Majnun terbelalak seperti tidak percaya. Wajar saja dia bersikap begitu. Soalnya dia perokok tangguh yang dapat menghabiskan dua puluh batang dalam sehari.

“Ini benar, Kiai. Kalau tidak, ndak mungkin saya suntuk dan uring-uringan begini.”

“Memang siapa yang mengharamkan? Pemerintah?” tanyanya penasaran.

“Itu tidak penting Kiai tahu. Yang penting sekarang, Kiai harus memberi penjelasan kepada saya mengenai masalah yang satu ini.”

“Lho, kenapa saya yang harus kena getahnya?”

“Memang begitu maunya saya…”

Kiai Majnun hanya geleng-geleng kepala mendengar tekananku. Namun ia masih sempat cengar-cengir saja meski ditekan-tekan seperti itu. Wajahnya selalu menunjukkan kalau ia tak bisa ditekan, diintervensi dan dipengaruhi oleh apa pun yang ada di luar dirinya.

“Sekarang aku ingin tanya satu hal sama kamu. Sejak ada pengharaman rokok seperti itu, apa rokokmu tidak laku sama sekali?” tanya Kiai Majnun.

“Itulah anehnya, Kiai. Malah asongan rokok saya tetap laris seperti biasanya dan bahkan lebih laris dari hari-hari sebelumnya,” jawabku ganti bersemangat.

“Kenapa kamu anggap aneh?”

“Ya. Padahal kan sudah diharamkan. Logikanya, kalau sudah haram orang kan mestinya takut. Tapi kenapa ini masih laris dan tambah laris saja asongan saya.”

“Jadi itu menurutmu fenomena yang aneh?”

“Jelas aneh, Kiai. Tapi kenapa tanya-tanya itu segala sih?”
Kiai Majnun kembali tertawa terkekeh-kekeh.

“Le, larangan itu juga tidak kalah anehnya buatku. Hehehe…..,” tubuh Kiai Majnun terguncang-guncang lagi.

“Aneh bagaimana, Kiai. Yang mengeluarkan putusan haram itu orang-orang hebat lho. Bahkan mungkin Kiai sendiri dapat dikalahkan dengan mudah seandainya diajak berdebat oleh mereka.”

“Ah, sudahlah. Aku memang mungkin kalah kalau diajak berdebat. Tapi intinya larangan itu aneh. Titik.”

“Makanya tolong Kiai jelaskan. Kenapa aneh?”

“Ya, tapi tolong ambilkan dulu aku sebatang. Mulutku lagi masam ini.”

Aku tak berkutik. Dengan malas aku bangkit untuk mengambilkan rokok untuknya. Tak hanya itu, aku juga menyalakannya biar dia bisa langsung menghisapnya. Kiai Majnun menerima rokok itu dengan girang dan menghisapnya dalam-dalam.

“Kau tahu, kenapa aku tadi katakan kalau larangan pengharaman itu aneh?”

“Tidak, Kiai.”

“Karena menurutku, itu kurang substansial. Bagaimana mungkin rokok diharamkan kalau pabriknya tetap dibiarkan jalan dan memberikan pemasukan pajak berlipat-lipat pada negara. Kamu tahu, berapa triliun negara menerima pemasukan dari perusahaan rokok itu?”

“Saya tidak tahu, Kiai. Memang berapa?”

“Makanya saya tanya kamu, siapa tahu kamu tahu. Ah… malah kamu sama gendengnya seperti aku. Pantas saja kamu jadi tukang asongan. Kalau pintar dikit, kamu pasti diajak rapat untuk membahas haramnya rokok.”

Aku biarkan saja Kiai Majnun mengata-ngataiku seenaknya. Memang begitulah yang sering dia lakukan selama ini terhadapku dan anehnya aku tetap menyukainya.

“Terus. Terus?”

“Terus apanya?”

“Soal yang aneh-aneh itu tadi.”

“Oh. Ya jelas larangan itu aneh. Harusnya yang diharamkan itu pabriknya. Haram memproduksi rokok.

Kalau itu berhasil, saya jamin para perokok akan berhenti dengan sendirinya. Kecuali mereka berani ngulak ke Amerika langsung.”

“Sebentar, Kiai. Dulu Kiai pernah berkata bahwa semua yang diciptakan Tuhan itu memiliki manfaat. Kalau sawi, kangkung, bayam, itu jelas bisa dibuat sayur. Dan saya juga berpikir, kalau daun tembakau ini manfaatnya agar bisa dibuat rokok. Tapi kalau sekarang diharamkan, berarti daun tembakau itu sudah tidak ada manfaatnya lagi dong, Kiai. Mungkin Tuhan perlu membinasakan benih tanaman yang bernama tembakau itu dari sejarah manusia.”

“Kalau begitu, silahkan kamu bilang sendiri sama Tuhan.”

“Maksudku bukan itu, Kiai. Artinya, kalau rokok itu diharamkan, lantas daun tembakau itu mau dimanfaatkan untuk apa?”

“Mungkin sewaktu-waktu kita coba jadikan sayur saja.”

“Ayolah, Kiai. Saya ini serius.”

“Aku juga serius. Kamu ini enak saja. Aku ini tidak tahu, selain dibuat rokok, manfaat daun tembakau itu bisa dibuat apa lagi. Makanya aku bilang kalau sewaktu-waktu kita coba nyayur dengan memakai daun tembakau. Pasti rasanya lebih legit.”

“Ah, Kiai ini sudah mulai ngawur.”

“Sama ngawurnya dengan keluarnya larangan itu kan?”

“Huss…., jangan bilang-bilang begitu, Kiai. Kalau sampai kedengaran, Kiai bakal tahu akibatnya. Kiai bakal kena pasal…”

“Pasal apa,” potong Kiai Majnun tiba-tiba. “Kalau mau bicara pasal, aku hapal di luar kepala. Aku kasih contoh ya, kalau ada seorang pengendara motor yang tidak memiliki SIM dan ditangkap polisi, maka negara akan memberi sanksi dengan pasal 20.000. Itu baru SIM. Kalau dia juga tidak bawa STNK, maka ia akan dikenai pasal 40.000. Bagaimana, sudah jelas kan, kalau aku tahu benar soal pasal-pasal hukum?”

“Sudah. Sudah, Kiai. Makin lama Kiai makin ngawur saja. Nanti omongan Kiai benar-benar didengar orang lho.”

“Kalau begitu aku pergi saja.”

“Oh, itu lebih baik, Kiai. Saya juga sudah ngantuk. Mau tidur.”

“Eh…tapi aku kasih satu bungkus lagi lah. Nanti aku bayar.”

Ah, benar-benar gila Kiai yang satu ini.

Kebumen, 20 Maret 2010.

MALA: TETRALOGI DANGDUT, PUTU WIJAYA

Judul : MALA : Tetralogi Dangdut 2
Penulis : Putu Wijaya
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : april 2008
Editor : Kenedi Nurhan
Tebal : viii+336
Dimensi : 14×21cm
ISBN : 978-979-709-360-0
Harga : Rp.54.000
Peresensi : Diana A.V. Sasa
http://indonesasa.wordpress.com/

MALA akhirnya bersedia mengakui bahwa dia adalah pelaku mutilasi pada korban yang diakui sebagai Midori, bintang film panas sekaligus sahabatnya itu. Sahabat yang telah menyeretnya pada sebuah konspirasi politik yang tidak dikehendakinya.

Pengakuan itu dilakukan MALA dengan jaminan bahwa NORA, istri yang kekasihnya tidak akan dibunuh. Cintanya pada NORA yang lugu dan sederhana itu ternyata mampu membuatnya bersedia mengorbankan hal-hal terpenting dalam hidupnya.

Selama MALA berada dalam penjara, kantor media tempatnya bekerja telah mengalami perubahan besar. Gedungnya sudah tak lagi tua dan kumuh. Berubah menjadi gedung menjulang tinggi. Adam, yang mengaku sebagai sahabatnya, yang juga sekaligus menyeretnya masuk penjara, menjadi salah satu jajaran pimpinan bersama Budi, wartawan yang dulu menulis tentang Midori dan menyudutkannya. Saras, wartawan yang dulu sering bertengkar dengan Budi, atas nama cinta akhirnya menyerah pada pelukan Budi dan menjadi istrinya, mereka dianugrahi dua orang anak. Saras,Budi, yang dulu begitu idealis itu telah berubah menjadi manusia yang silau pada kemewahan dan kemapanan. Adam menguasai mereka dengan materi hingga mereka kehilangan nalar kritisnya. Semua menjadi nisbi.
“Dan kita mau saja dikuasai karena kita tergantung…hidup enak ini telah membuat kita menjadi lemah dan lembek”(48)

Kantor kecil itu ternyata penuh konspirasi besar, sarat akan kekuasaan. Adam begitu licin dan licik memainkan peran. Skenario disusun dan dimainkannya dengan indah, halus dan lembut. MALA sengaja disingkirkan karena dianggap menggalang gerakan makar di kantor dengan mempekerjakan orang-orang yang ‘tidak bersih lingkungan’.

“Waktu itu kita dihadapkan kepada dua pilihan. Membela satu orang yang tidak bersalah, tapi menghancurkan hidup ratusan orang yang bergantung pada perusahaan. Atau manunda,sambil mencari waktu yang tepat untuk mengembalikan kebenaran pada kebenaran dan keadilan pada keadilan. Sebab kalau waktunya tidak tepat, kebenaran dan keailan hanya akan menjadi teori indah yang tak berguna. “ (45)

Pimpinannya bertekuk lutut pada seseorang yang ditelepon selalu berkata “dari pada demikien…. Bla bla bla Diusahaken bla bla bla…” Adam menurut karena punya ambisi ingin jadi presiden. Untuk itu dia harus dicalonkan partai. Partai mau menerima asal Adam menguntungkan partai. Untuk mewujudkan itu, medianya harus ‘bersih’.

Sementara MALA semakin dilupakan setelah bertahun-tahun kasusnya berlalu. Media tak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang ‘penting’. Tak ada lagi yang terlalu peduli tentang kebenaran bahwa MALA benar membunuh atau tidak. Tak ada lagi yang ingin tahu siapa sebenarnya pembunuh Midori, atau benarkah itu mayat Midori. Berita tentang kebebasannya pun hanya mengisi kolom kecil disudut Koran, kalah dengan head line berita KAKEK MEMPERKOSA CUCUNYA KETIKA LAGI SHALAT. Kebenaran bisa menjadi begitu salah dan begitu benar ditangan pers. Pers mempunya kuasa yang begitu besar untuk menentukan sebuah kebenaran. Pers mempunyai control utama pada apa yang akan diperhatikan orang dan apa yang akan diabaikan. Dan Adam memainkannya dengan mulus. “Apakah artinya kebenaran kalau bertahun tahun menghilang. Apakah ini akan kembali benar dalam kehidupan sekarang yang sudah sangat berbeda. …” (31) “Sebuah berita kecil lewat dan tidak ada orang yang peduli. Padahal dalam berita itu ada lorong untuk membaca kebenaran. “(39)

MALA tak lagi mempedulikan apakah dia masih penting atau tidak bagi teman-teman dan orang lain. Yang penting baginya setelah bebas adalah menemukan kembali NORA dan mencintainya, memberinya belaian, kecupan, percintaan yang selama ini hanya ada dalam hayalnya. Dia akhirnya sadar bahwa NORA adalah sebagian dari hatinya.

“ Hanya kamulah yang masih kumiliki sekarang, karena semua orang tak ada di tempatnya ketika aku memerlukan . Hanya kamulah yang masih terus menjadi titik yang tak bergerak, tempatku memandang. Hanya kamulah rumahku, tempat aku rindu dan kembali, meskipun kamu mungkin tak setuju. Aku mencintaimu,NORA,”

Sayang NORA tak pernah tau isi surat itu, dia hanya bisa membaca namanya disurat itu, dan itu saja cukup untuk membuatnya berbunga-bunga. Hal sepele yang tak perlu repot untuk membuatnya bahagia. Menemukan namanya ditulis MALA dalam suratnya, tak peduli apa isinya. NORA pun mencintai MALA,menunggunya bebas, menanti percintaan dengannya, dan terus menunggu MALA bergerak mendekatinya. Tapi yang didapatinya adalah MALA pergi dengan meninggalkan sebuah buku catatan. Buku yang berisi tumpahan kecintaan, kerinduan, dan kekecewaannya pada NORA.

MALA merasa hidupnya tercabik dan terlempar begitu jauh. Dia merasa pengorbanannya sia-sia. Dia pertaruhkan hidupnya, karirnya, masa depannya untuk mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, hanya demi kecintaannya pada NORA. Tapi yang didapatinya adalah pengkhianatan(menurut anggapan MALA). NORA menikah dan bercinta dengan orang lain, sementara dia menahan seluruh hasratnya dan berharap NORA hanya akan menjadi miliknya satu-satunya seutuhnya.

NORA tak mengerti mengapa MALA pergi, dia merasa tidak melakukan apa-apa. Dia hanya bergerak sebagaimana tubuhnya mengalir. Dia bicara dengan bahasanya, bukan bahasa MALA. Dia masih menunggu dengan setia, membeiarkan dirinya tetap perawan, dan berharap MALA akan kembali. Tapi MALA tak pernah kembali. Selamanya.

Kamis, 19 Agustus 2010

Umbu dan Puisi Indonesia Modern

F Rahardi
http://kompas-cetak/

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan
berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
(Taufiq Ismail, Beri Daku Sumba, 1970)

Siapakah Umbu? Hingga penyair Taufiq Ismail, menyebut nama itu dalam salah satu puisinya? Umbu, nama lengkapnya Umbu Landu Paranggi, adalah sosok misterius. Ia selalu menghindar dari publisitas. Tetapi dialah sumber energi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan puisi Indonesia modern, sejak tahun 1960-an sampai sekarang. “Saya bisa menjadi seperti sekarang ini karena didikan Umbu.” Komentar demikian sangat sering saya dengar langsung dari penyair yang sedang naik daun.

Tahun 1970-an, Yogyakarta adalah kota yang paling banyak melahirkan penyair. Redaktur Majalah Horison, yang ketika itu berkantor di Balai Budaya, selalu kebanjiran kiriman puisi dari Yogyakarta. Pada akhir tahun 1960 dan awal 1970-an, di kota gudeg memang bermukim Penyair Kirjomulyo, Rendra, Darmanto Yatman, dan Sapardi Djoko Damono. Tetapi lahirnya nama-nama, seperti Korie Layun Rampan, Linus Suryadi, dan Emha Ainun Najib, lebih disebabkan oleh kehadiran Umbu. Meskipun dia tidak pernah sekali pun mengklaim hal seperti ini.

Tahun 1975, banyak penyair seangkatan tiga nama itu muncul ke permukaan sastra Indonesia dari Yogyakarta. Pada tahun 1975 itu, tiba-tiba Umbu menghilang. Beberapa teman mengatakan, ia pulang kampung ke Waikabubak di Sumba Barat. Tetapi kemudian ketahuan ia bermukim di Denpasar, Bali. Sekarang, Bali dari Pulau Dewata ini banyak bermunculan penyair berbakat. Banyak di antara nama itu yang kemudian hadir sebagai penyair papan atas Indonesia. Nama yang menonjol, antara lain Oka Rusmini dan Warih Wisatsana.

Dalam perkembangan puisi modern Indonesia sekarang ini; Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta kalah dengan Denpasar. Bahkan dengan Tanjungkarang pun, Jakarta tertinggal jauh. Perkembangan kepenyairan yang mengejutkan di Bali, salah satunya adalah karena kehadiran Umbu. Meski kali ini pun ia tetap misterius. Bahkan jauh lebih misterius dibanding ketika ia masih bermukim di Yogyakarta dulu.

Memprihatinkan

Perkembangan puisi modern Indonesia, selama satu dekade terakhir ini sebenarnya sangat memprihatinkan. Paling tidak jika dibandingkan dengan perkembangan cerpen dan novel. Artinya, dalam sepuluh tahun terakhir, banyak cerpen dan novel bermutu ditulis. Tetapi tidak ada puisi bagus. Peristiwa dahsyat Mei 1998 ternyata juga tidak melahirkan apa-apa. Bahkan tsunami pun hanya melahirkan banyak “puisi proyek”. Di tengah kondisi puisi Indonesia modern yang loyo ini, Umbu tetap konsisten dengan perannya seperti ketika bermukim di Yogyakarta dulu.

Selain kalah dengan cerpenis dan novelis, penyair Indonesia dekade 1990 dan 2000-an sekarang ini juga kalah jauh dibanding dengan penyair dekade sebelumnya (1970 dan 1980-an). Paling tidak, tahun 1970 dan 1980-an banyak kejutan yang antara lain dibuat Sutardji Calzoum Bachri. Setelah itu khazanah puisi modern Indonesia datar-datar saja dan tetap didominasi nama- nama lama. Mulai dari Sitor Situmorang, Ramadhan KH yang baru saja meninggal, Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.

Para penyair itu kelahiran tahun 1930 dan 1940-an. Sitor bahkan kelahiran 1924. Mereka yang lahir sekitar tahun 1950-an, sebagian besar merupakan “didikan Umbu di Yogyakarta”. Mereka ini banyak yang gugur di tengah jalan. Ada yang meninggal dalam arti sebenarnya, seperti Linus Suryadi dan Hamid Jabar. Tetapi banyak yang kehabisan energi lalu kapok jadi penyair. Ada yang jadi praktisi hukum, politisi, wartawan. Ada pula yang bingung memilih identitas, ada yang menjadi “bapak rumah tangga”.

Generasi kelahiran 1950-an yang masih hidup dan relatif menonjol tinggal Afrizal Malna yang tetap konsisten sebagai penyair, Korie Layun Rampan sebagai kritikus sastra dan Emha sebagai seleb. Generasi yang lahir tahun 1960-an, 1970-an, dan 1980-an, kebanyakan kurang bunyi karena mereka tidak sepenuh hati berprofesi sebagai penyair. Di sinilah kita bisa sangat hormat pada totalitas Umbu, yang tetap gigih memberi motivasi kepada para calon penyair. Padahal sudah ketahuan bahwa profesi penyair tidak menjanjikan apa-apa secara finansial.

Pelopor PSK

Umbu Landu Paranggi sudah mulai menulis puisi, esai, dan artikel di Yogyakarta sejak tahun 1950-an. Tetapi puisinya tidak pernah menonjol dan menarik perhatian para kritikus. Perannya dalam perkembangan puisi Indonesia modern, justru penting ketika tahun 1968 ia mendirikan Persada Studi Klub (PSK). Kelompok ini didirikannya bersama penyair Suwarna Pragolapati, Iman Budi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara.

PSK yang punya rubrik puisi di Mingguan Pelopor ini, segera menarik minat generasi muda. Ketika itu di Yogyakarta juga sudah terbit majalah Semangat (remaja) dan Basis (budaya), yang juga memuat puisi. Ruang puisi Basis ketika itu diasuh oleh penyair Sapardi Djoko Damono. Rendra yang baru saja pulang dari AS dan mendirikan Bengkel Teater juga sangat mewarnai kehidupan berkesenian di Yogya. Akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, Yogyakarta benar-benar merupakan “lahan persemaian penyair”.

Tahun-tahun itu, Indonesia memang baru dalam suasana eforia karena terbebas dari kekangan pemerintahan Soekarno. Sementara pemerintahan Soeharto masih belum otoriter. Ketika itulah Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Majalah Horison lahir. Dibanding TIM dan Horison, PSK-nya Umbu sangat kecil. Tetapi totalitas terhadap profesi yang dicontohkan Umbu, sungguh luarbiasa. Hingga ia pun memperoleh julukan sebagai “Presiden Penyair Malioboro”.

Memang sulit untuk merumuskan peran Umbu dalam perkembangan puisi Indonesia modern. Meskipun peran itu ada dan sangat besar. Kesulitan demikian, kurang lebih sama apabila kita harus menjelaskan “makna” sebuah puisi. Meskipun kekuatan puisi itu jelas bisa kita rasakan. Umbu, kelahiran Waikabubak 10 Agustus 1943, sekarang berusia 63 tahun. Ia tetap total dalam memberi inspirasi kepada para penyair muda, bahkan juga penyair tua seperti Taufiq Ismail.

*) Penyair, Wartawan.

Jejak Nashar di Pulau Dewata

Rofiqi Hasan
http://majalah.tempointeraktif.com/

HAMSAD Rangkuti tertegun memandang sketsa lukisan pastel di hadapannya: sebuah kursi tua tampak teronggok bersebelahan dengan vas bunga. Penulis cerpen kawakan itu langsung mengingatnya sebagai kursi di Balai Budaya, tempat tidur guru dan sahabatnya, Nashar, pada 1970-an, saat sedang menjalani laku bohemian. Di kursi itu pula Nashar sering asyik menulis atau melukis.

Tetapi 15 tahun sudah Nashar meninggalkan Hamsad, teman-temannya yang lain, dan publik seni rupa. Malam itu, Senin pekan lalu, adalah awal sebuah peringatan untuk mengenang jejaknya. T-Art Space, satu galeri di Ubud, Bali, memamerkan sketsa-sketsa Nashar, khususnya saat pelukis kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, 3 Oktober 1928 itu tinggal di Bali pada akhir 1950-an.

Selama ini sketsa itu-sekitar 40 lembar-disimpan oleh Anwar, anak Nashar yang mengikuti jejak sang ayah menjadi perupa dan tinggal di Ubud. Bertajuk Nashar in Bali, penggagas pameran yang berlangsung 13-30 April itu memilih sketsa karena Nashar termasuk yang tegas menyatakan coretan-coretannya setara dengan lukisan. “Jadi, bukan sekadar satu langkah sebelum menghasilkan karya,” kata Made Astika, pemilik galeri.

Di Bali, Nashar berusaha menangkap obyek umum: pemandangan alam, aneka upacara, serta suasana di kampung-kampung. Tapi, menurut Arif B. Prasetyo, kurator pameran, babi yang banyak dipelihara warga Pulau Dewata di tempat-tempat kotor dan berlumpur justru memiliki tempat khusus dalam pikiran Nashar. Berkali-kali dia mencoba mengangkat binatang itu dalam berbagai gaya, dari close-up hingga yang seutuhnya.

Menulis dalam Nashar oleh Nashar (2002), Nashar menyebut keunikan babi adalah pada bentuknya yang tak seimbang. Empat kaki kecil menopang badan gemuk, besar, dan berat, menurut dia, merupakan bukti keseimbangan alam di luar konsep harmoni dalam pikiran. “Penemuan itu kujadikan patokan selama melukis di Bali,” tulis Nashar.

Saat itu Nashar belum mendeklarasikan kredo “Tiga Non” yang terkenal itu. Tapi benih-benihnya mulai tersemaikan. Baru pada 1975 ia merumuskan dan menyatakan secara terbuka prinsip “Nonkonsep, Nonestetik, dan Nonteknik”. Menurut dia, intuisi dan gairah jauh lebih penting untuk mewujudkan diri. Coretan sketsa atau lukisan di atas kanvas selayaknya dinikmati dengan rasa belaka.

Apa yang didapat Nashar dari pengembaraan di Bali, menurut dramawan Putu Wijaya, bukanlah obyek fisik. Sementara perupa lainnya, terutama seniman Barat seperti Walter Spies, Arie Smith, Antonio Blanco, terpesona pada keindahan alam, pura, tarian, dan sejenisnya, Nashar justru menemukan cara orang Bali menghayati kehidupan-cara yang digerakkan oleh rasa dan bukan oleh aturan-aturan seperti tecermin dalam ungkapan “Desa Kala Patra” (setiap tempat punya aturan rasanya sendiri). Hal ini nyaris bertolak belakang dengan latar belakang budaya Pariaman, yang penuh aturan seperti terlihat dalam pantun dan petatah-petitih.

Penemuan itu dimungkinkan oleh pergaulannya selama di Bali. Di Ubud, awalnya dia mengontrak rumah bekas kediaman Walter Spies. Ketika kesulitan keuangan mendera dan bahkan sampai membuatnya tak bisa makan, Nashar diterima oleh satu keluarga di Panestanan, Ubud. Di situ ia menjadi warga banjar dan terlibat dalam banyak kegiatan tradisional. Ia pun terpesona dengan berbagai acara yang sepertinya tanpa tujuan dan pengorganisasian namun menimbulkan kesan yang harmonis.

Putu, yang hadir pada malam pembukaan pameran bersama penyair W.S. Rendra dan sejumlah sahabat Nashar lainnya, merasakan sikap itulah yang memudahkan dirinya menjalani pergaulan kreatif dengan Nashar. Ceritanya, sepulang dari Amerika pada 1975, Putu kesulitan menghidupkan kelompok teaternya. Setiap kali latihan, yang dilakukan di Bali Budaya, hanya beberapa orang yang hadir, dan selalu berganti-ganti. Padahal, untuk mementaskan suatu naskah, mereka membutuhkan aktor serta alur cerita yang sudah ditentukan.

Jengkel oleh keadaan itu, Putu mengambil langkah drastis: memindahkan latihan ke lapangan, dengan penerangan lampu skuter miliknya. Latihan berjalan tanpa naskah, kerangka cerita, dan pembagian peran. Mereka dibebaskan untuk bergerak dan membuat interpretasi sendiri atas suatu keadaan. Sering satu gerakan menghasilkan respons yang tak terduga dari pemain yang lain.

Setelah sebulan berjalan barulah Putu menyadari kehadiran seseorang yang terus mengamati mereka. Ia adalah Nashar. “Sekalian saja saya ajak untuk bermain dan memberikan masukan,” kata Putu. Atas usul Nashar, akhirnya Putu berani merancang pementasan yang awalnya diberi tema “Lo”. Ini merupakan kata untuk menandai keheranan setiap pemain terhadap gerakan lawan mainnya. Sukses besar. Aksi teater itu pun berlanjut dengan pementasan Entah dan Nol.

Bagi Nashar, kejadian itu memberikan kesan mendalam. Kebingungan akan ritme atau irama dalam lukisan terjawab oleh penemuannya atas ritme dalam proses teater. Dia juga merasa fokus bukan lagi hal penting karena harmonisasi memiliki “irama dalam”-nya sendiri. “Itu diakuinya sebagai penyebab peralihan dari gaya figuratif ke nonfiguratif,” ujar Putu. Bentuk-bentuk tak lagi dilihat dari perwujudan yang kasatmata, tapi dari energi dan jiwa yang kemudian disimbolkan dalam garis, sapuan, dan warna.

Temuan itu bahkan mengilhami caranya mengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Dia menerapkan sistem sanggar, menolak adanya sekat antara dosen dan mahasiswa hanya karena birokrasi akademis. “Yang terpenting adalah proses menjadi seniman sejati,” kata pelukis Syahnagra Ismail, yang sempat mencicipi metode itu. Belakangan LPKJ melarang cara itu dan Nashar mengundurkan diri dari posisinya.

Sedemikian dahsyatkah Bali bagi Nashar? Perupa Sri Warso Wahono meragukannya. Menurut dia, sketsa dan lukisan Nashar sangatlah konseptual dan secara akademis selalu mempertimbangkan harmonisasi karakter, garis, bidang, dan warna. Pengungkapan “Tiga Non”, menurut Sri yang menemani Nashar hingga di akhir hayatnya, hanyalah strategi perlawanan atas hegemoni di dunia seni rupa, situasi yang sempat menjadikan Nashar sebagai korban pada awal kariernya. Ketika itu pelukis senior Sudjojono, yang menjadi barometer seni rupa pada 1950-an, menolak keinginannya untuk menjadi murid.

Dalam percakapan pribadi, Nashar selalu enggan mengungkapkan maksud kredonya itu. Suatu kali Hamsad pernah menanyakannya, tapi Nashar mengelak. “Lebih baik kau belajar tenaga dalam supaya bisa terbang saat Balai Budaya kebanjiran,” Hamsad menirukan kata-kata Nashar.

Nashar memang pribadi yang selalu gelisah. Rendra mengenangnya dengan larik-larik ini dalam sebuah puisi: Inilah Saatnya/Melepas sepatu yang penuh kisah/Meletakkan ransel yang penuh masalah/Dan mandi mengusir rasa gerah/Menenangkan jiwa yang gelisah.

Rofiqi Hasan (Ubud)

Rabu, 18 Agustus 2010

HANTU JIWA IMAN BUDHI SANTOSA

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Iman Budi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. pendidikan formalnya: S. Pb. M. A. 4 th Yogyakarta (1968) dan Akademi Farming (1983). Ia pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dam Disbun Prop. Dati I Jateng (1975-1987). Pada tahun 1969 bersama Umbu Landu Paringgi Cs mendirikan Persada Studi Klub (PSK) komunitas penyair muda di Malioboro. Ia menulis sastra dalam dwi bahasa, yaitu Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya kerap mengisi antologi-antologi puisi maupun cerpen di antaranya: antologi puisi Tugi (1986), Tonggak 3 (1987), Zamrud Katulistiwa (1997), Embun Tajalli (2000) dan lain-lain. Cerpenya dalam antologi Lukisan Matahari (1993), Liong Tembang Prapatan (2000), dan lain-lain. Sejak tahun 2004 ia menjadi anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta (DKKY) seksi bahasa dan sastra Jawa.

Setiap ujaran bahasa merupakan tanda dari objek yang ditandainya. Tanda-tanda tersebut pada dasarnya memiliki makna, baik hanya sebatas ikon maupun indeks, bahkan bisa jadi itu merupakan simbol. Makna yang dihasilkan ikon biasanya hanya bersifat tersurat, sedangkan makna yang ditimbulkan indeks dan simbol itu bersifat tersirat. Indeks dan simbol maknanya bersifat konotatif.

Puisi Iman Budhi Santosa yang berjudul Potretmu, Potretku, Potret Kita Nanti. mengandung makna yang begitu dalam akan realitas kehidupan yang dijalani oleh setiap manusia. Penyair seolah memberikan gambaran dan alarem kepada setiap manusia akan perjalanan hidupnya. Ia memperingatkan bahwa yang mesti ditakuti oleh setiap orang dalam hidupnya bukanlah kematian, melainkan masa tua. Ituah hantu jiwa yang eksistensinya perlu diwaspadai oleh setiap orang.

Sungguh bukan maut yang menakutkan // tapi tua terpuruk sendirian (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)

Kata terpuruk dalam baris kedua puisi di atas menggabarkan bagaimana suatu kondisi seseorang yang berada dalam kesusahpayahan. Kata itu memiliki konotasi makna yang lebih kuat dan mendalam akan gambaran pribadi seseorang yang begitu menyedihkan dan begitu payah. Kata terpuruk tersebut dapat merujuk pada derajat dan martabat. Seseorang hargadirinya digambarkan telah hilang. Ia berada dalam kehinaan.

Masa itu sebagaimana gambaran penyair, terjadi saat diri telah renta dan sudah tidak ada lagi orang yang berkenan menemani. Sanak, saudara, teman, bahkan keluarga sudah tidak ada di sisi lagi. Hal itu belum cukup, yang lebih tragis lagi adalah saat tubuh dalam keadaan sakit. Tubuh sudah tidak berdaya dan telah diserang benih-benih penyakit. Saat-saat itulah yang sungguh memrihatinkan bagi setiap orang. Itulah potret manusia ke depan yang harus diwaspadai keberadaannya

Dimakan batuk dan kembali ingusan // dijaga tongkat, sapu pengusir lalat // menunggu suapan sanak kerabat (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)

Ini adalah gambaran realitas yang terjadi di masa tua. Penyair begitu jeli dalam mengungkapkannya. Penyakit yang kerap menghinggapi usia-usia lanjut adalah penyakit batuk dan flu. Lebih dari itu, kata kembali ingusan bahkan tidak sekedar menyaran pada penyakit flu. Kata itu dapat menjadi simbol bagi keadaan saat masa kanak-kanak, di mana mereka kerap ingusan meski tidak terkena flu. Kata tersebut memiliki makna konotasi bahwa seseorang yang telah lanjut usia itu pola pikir dan perilakunya seolah-olah kembali pada masa kanak-kanaknya. Ia menjadi bersikap lebih manja dan ingin perhatian yang lebih dari kerabat dan keluarganya. Tapi bagaimana jika realitas berbicara lain, ketika lanjut usia seseorang tidak ada yang memberi perhatian dan kasih sayang yang lebih kepadanya? Ia tidak ada lagi yang memenuhi kebutuhannya, baik makan, minum, maupun yang lain. Sungguh, betapa terpuruknya ia.

Keadaan itu belum melihat dari sisi fisiknya. Di usia tua, tenaga dan kekuatan seseorang telah menurun derastis. Jangankan untuk mengangkat beban, berdiri tegak saja sudah tidak mampu. Ia harus ditopang dengan tongkat penyangga. Kondisi semacam inilah, bagi masyarakat jawa kerap memberi julukan kepada mereka sebagai sapu gerang (sapu pengusir lalat). Sapu yang sudah tidak dapat difungsikan lagi untuk membersihkan tumpukan sampah. Itulah simbol dalam kehidupan masyarakat bagi mereka yang tengah measuk pada kriteria lanjut usia. Ia sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi tenaganya. Yang dapat dilakukanya hanyalah sebatas mengusur lalat saja.

Biasanya, ketika sanak-saudara dan keluarga sudah tidak ada di sisi dan tidak mendampingi mereka yang tengah lanjut usia, harapan satu-satunya hanyalah kerabat dan teman sejawat. Tidak adanya keluarga dan famili yang menemani mereka, kemungkinan disebabkan faktor-faktor tertentu, seperti meninggal dunia dan berada di tempat jauh. Itu biasanya yang kerap terjadi.

Puisi ini juga mengandung isyarah pengingat untuk mereka yang berada di kejauhan yang sekian lama tengah meninggalkan keluarganya. Apalagi keluarga yang telah lanjut usia, misalkan; orang tua, kakek, nenek, dan lain-lain. Alangkah mulianya mereka yang berkenan mengikat kembali tali silaturrahmi keluarga. Membawa mereka yang tengah lanjut usia keluar dari kesendirian dan keterpurukan usia.

Selai itu, puisi tersebut memberi isyarat bagi para lanjut usia, jika terjadi demikian, janganlah berharap sesuatu yang lebih akan kehadiran teman sejawat. Bisa jadi mereka telah wafat terlebih dahulu. Biasanya saat-saat semacam itu, mereka kerap mengenang masa lalu yang indah yang tengah dilewati bersama, entah dengan sanak,-saudara, kerabat, keluarga, maupun teman-teman sejawat. Kini kenagan hanya tinggal kenangan yang tidak mungking diulang kembali di masa depan. Oleh sebab itu, untuk menghadapi kondisi semacam itu, seseorang tidak perlu memberikan harapan kebahagiaan yang berlebihan. Apalagi sampai membongkar kembali kenangan indah masa lalunya. Yang mereka butuhkan hanya satu, yaitu pendekatan diri kepada tuhan. Ajaklah mereka untuk banyak mengingat Tuhan, sebab tujuan mereka yang lanjut usia hanya satu, yaitu menjemput kematian yang ada di depan mata dan hanya tinggal sejengkal saja.

Jangan bertanya teman sejawat kemana // sebab lama telah mendahului
Jangan menyapa dengan salam bahagia // karena cita-citanya satu semata. Mati! (Dunia Semata Wayang, bait 2 dan 3, hal 34).

Kata mendahului maknanya berkonotasi pada kata mati. Orientasinya adalah keadaan jiwa yang telah kembali pada pemiliknya, yaitu Tuhan. Teman sejawat di sini digambarkan telah terlebih dahulu kembali pada alam keabadian. Ia telah masuk pada alam kehidupan setelah kematian untuk mempertanggungjawabkan diri di hadapan Tuhan atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Jadi, keberadaan teman sejawat tidak perlu diharapkan lagi. Kondisinya pun pasti sama sebab keterkaitan usia, bahkan bisa jadi ia telah wafat terlebih dahulu.

Fenomena yang tidak dapat dipungkiri dalam realitas kehidupan manusia adalah adanya harapan dalam pribadinya. Ini dimulai dari masa kanak-kanak bahkan jika seorang bayi telah diketahui kehendaknya, ia pasti memiliki kehendak yang sama, yaitu ingin lekas besar dan bercinta. Kehendak inilah yang menyugesti seorang anak untuk selalu mengejarnya. Pada dasarnya mereka selalu dibayang-bayangi dengan fantasi yang indah dan membahagiakan saat beranjak besar, dewasa, dan bertaut dengan cinta. Mereka akan terobsesi dengan kegagahan, ketampanan dan kecantikan atas diri sendiri, sehingga mereka dengan mudah menggaet hati lawan jenisnya untuk masuk dalam dunia percintaan. Dunia yang secara imajinatif digambarkan sebagai dunia yang selalu diselimuti dengan keindahan dan kebahagiaan oleh para remaja.

Besar dan bercinta, dulu // anak suka mengejar dan mengecapnya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).

Itulah fenomena yang terjadi dalam perkembangan fase seorang anak hingga usia remaja. Apa yang terjadi saat fase tersebut telah terlewati dan mereka telah masuk pada dunia setenga baya? Orientasi kehidupan mereka telah burubah lagi. Dulu yang selalu mendambakan dan mengejar-ngejar cinta kini telah beralih pada pekerjaan. Mereka berfokus pada dunia kerja dan bagaimana cara mempertahankan hidupnya serta keluarganya. Fokusnya adalah mencari nafkah bagi keluarganya, mencukupi kehidupan sehar-hari, dan membesarkan keturunannya.

Berbeda lagi saat menjelang usia lanjut melingkupi kehidupanya. Mereka dengan sendirinya akan terbersit benih-benih ketakutan dalam hatinya. Mereka takut akan kecantikan dan ketampanannya memudar. Kulit menjadi keriput. Tulang-tulang renta tak berdaya. Ingatan mulai melemah. Potret semacam inilah yang mesti diwaspadai dalam kehidupan mendatang bagi setiap orang. Apalagi kerabat dan keluarga tiada lagi menjadi pendamping yang setia.

Begitu senja merebut, takut // cantik tampan tercerabut // badan jiwa lelah menuntut bicara (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).

Ungkapan yang menyimbolkan usia tua atau lanjut terdapat pada kata senja. Kata ini menunjukan keberadaan hari yang hedak berganti; siang menjadi malam. Ini berkonotasi pada pergantian hidup di dunia menuju kehidupan akhirat sudah semakin dekat. Kehidupan seseorang telah dekat dengan kematian dan akan menuju kehidupannya yang baru. Keadaan semacam itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Kematian akan segera tiba, namun masih menjadi misteri kedatangannya. Ingin rasanya untuk mengakhiri hidup, tapi tidak menemukan jalan kematian yang wajar dan diridhai Tuhan

ingin pamit justru lupa alasannya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34)

Presiden Bogambola

Fahrudin Nasrulloh
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Ayo, kita bebaskan iblis dan setan
Agar jelas mana surga mana neraka
Tanpa dunia di tengahnya!

Kita seakan dibikin bahlul dan geregetan menonton kondisi kisruh KPK-POLRI yang hinggi kini makin memanas. Mafia peradilan, makelar kasus, dan koruptor di mana-mana. Seperti puting-beliung Menggasak siapa saja. Skandal Bank Century sungguh menghantui. Hingga, si Amin, nasabahnya, stress lalu bunuh diri. Lama-lama orang-orang yang terlibat di dalamnya bagai monster. Memangsa saudara sendiri. Negeri ini bak “pabrik aib”, “sampah kebejatan” dan gudangnya anjing-anjing politik yang kerjanya nyolong dan saling menjilat. Tak ubahnya mafioso Michael Corleone dalam The Godfather yang kuasa membeli jabatan kehormatan “Mobilionare” di kepausan Vatikan. Everything is money and gun will finished everything, begitulah yang tersirat di film besutan Francis Ford Coppola dan Mario Puzzo ini. Jadi, demi segala persoalan di negeri ini, apa kira-kira yang dipikirkan Presiden kita?

Jadi pada siapa rakyat berharap penyelesaian semua itu? Pada Presiden? Pada MUI? Pada penegak hukum? Tampaknya tidak ada jaminan. Jika benar-benar serius, apa yang dilakukan SBY dalam 100 hari pemerintahannya? Solusi hanya andai-andai. Ngambang dan lamban. Ya, inilah “Dunia Bogambola” kita: dunia yang buntu, mampat, mentok, no way to run, no way to out. Bayangkan, jika selokan Anda mampat. Sampah menumpuk, menyumbat. Kadang karena bangkai tikus atau kucing kudisan. Baunya minta ampun. Bikin pening dan muntah-muntah. Bau banger, amis, dan rasa jijik juga adalah yang kita tonton tiap hari di TV. Drama politik yang mendebarkan. Santapan sinetron politik yang lebih aduhai, bikin ngiler, belingsatan, lebih menggairahkan plus kepingkal-pingkal ketimbang adegan Aming di film Perjaka Terakhir. Di balik semua keruwetan negeri ini, apa yang selalu digelisahkan Presiden kita?

Sajak Sosiawan Leak “Dunia Bogambola” yang ditulisnya pada 2000 tidak diniatkan menggambarkan kemampatan akut seseorang. Tapi sebagai sindiran, ia menonjok siapa pun. Karena dirinya sendiri juga pernah merasakan kebuntuan sebagai seniman, dan terhentak untuk mencari jalan keluar dengan berseru: Ayo, kita bebaskan iblis dan setan. Tapi toh iblis dan setan telah menguasai babi-babi politik yang sebenarnya tahu perbedaan mana jalan yang menuntun ke surga maupun ke neraka. Mengerti mana halal mana haram. Baik dan buruk. Nista dan bajik. Meski orang-orang Indonesia mayoritas muslim. Ya, puisi Leak cuma kata-kata yang tak mampu seperti celeng hutan menyeruduk kaum koruptor. Puisi bukan Izrail yang dengan seucap geram dapat menggencet nyawa si durja. Puisi juga bukan tank yang seketika bisa melindas ketidakadilan.

Namun, jika dihayati benar, puisi dapat berfungsi sebagai peniup kesadaran. Corong berisi angin kearifan, kendati tak semua orang bisa menangkapnya. Apapun bisa terudar atasnya. Bentuknya bisa kesadaran kolektif yang menggedor kebobrokan yang terjadi di negeri ini. Mengintrusi alam batin rakyat. Yang sekian lama disia-siakan. Dipecundangi. Ditilap. Digelapkan kesejahteraannya. Reformasi 1998 adalah bukti pemicu gerakan perlawanan rakyat dan pemuda. “Suara rakyat adalah suara Tuhan”, menemukan momentumnya saat itu. Apakah sengkarut hukum yang didramatisir saat ini bakal meledakkan aksi sosial yang besar? Entahlah. Imajinasi tidak bisa diremehkan. Imajinasi akan “suara Tuhan” sebagai kebenaran yang diangankan dalam konteks psiko-sosiologi menyimpan “daya bangkit” sendiri. Ia dapat jadi hulu-ledak atas nama perlawanan rakyat. Apa pula yang akan diperbuat sang Presiden jika hal itu terjadi?

Krisis kepemimpinan saat ini di ujung ambang. Masyarakat tak lagi percaya. Mereka hanya punya harapan. Mungkin yang tersisa impen-impen kosong. Boleh jadi banyak yang kecewa atas terpilihnya SBY, juga menteri-menteri pilihannya. Setidaknya untuk saat-saat pelik akhir-akhir ini. Tepisan berulang-ulang SBY soal keterlibatan sejumlah tim suksesnya yang diduga menerima aliran dana dari Bank Century untuk kampanye kian mengasapi kebingungan masyarakat. Prasangka pahit dan menyudutkan ini sangat memukul SBY hingga ia perlu bersumpah “Demi Allah” atas tuduhan pengucuran dana tersebut.

Pemerintahan yang bersih dan tata hukum yang steril dari anjing-anjing politikus busuk adalah harapan kita semua. Tak ada yang berharap negara ini mengalami krisis yang menghebat. Sejarah mencatat betapa Jerman, Italia dan Jepang hancur habis-habisan setelah Perang Dunia II, lalu bisa pulih, membangun kembali kejayaan mereka. Raden Patah di Demak juga demikian. Ia bisa memulihkan situasi centang-perenang dan hiruk huru-hara di masa Wikrama Wardana. Di masa selanjutnya, pemerintahan Raden Patah juga mengalami kegoncangan yang luar biasa akibat lahirnya sosok Panembahan Senopati yang menancapkan kekuatan baru di tlatah Mataram.

SBY dan pemerintahannya tidak diperhadapkan pada situasi genting demikian. Hanya yang perlu diingat bagaimana ia mamandang dan menempatkan “rasio” kedaulatan rakyat. Artinya, tujuan SBY dipilih adalah agar cita-cita dan harapan rakyat terwujud. Bukan menambah beban penderitaan. Pasti, rakyat tak menghendaki kekuatan Presiden yang misalnya, absolut, fasis, tiranik, atau lebih kuat menancapkan partai politik tunggal demi kelanggengan kekuasaannya. Buku Membela Masa Depan karya WS Rendra menyebutnya sebagai “Politik Daulat Tuanku”. Inilah praktek yang dilakukan Niccolo Macheavelli di zaman renaissance Eropa di Florenzo, Italia. Ia mendasarkan pemikirannya bahwa stabilitas politik hanya bisa diciptakan oleh seorang penguasa yang secara mutlak menguasai dana dan serdadu dalam negara. Para pemimpin kesohor dunia melakoni teori ini seperti Napoleon, Stalin, Hitler, dan Mussolini. Inilah yang kita khawatirkan terjadi di negeri ini, meski agak mustahil.

Justru “Daulat Hukum” yang sekarang dirongrong, dilanda krisis. Dilecehkan cukong-cukong, dan Anda bisa terkaget-kaget sendiri bagaimana rekaman si Anggodo yang mencatut banyak pihak menyebar menjelma gosip sengak bahkan fitnah. Kewibawaan hukum di sana dimainkan. Ditertawakan. Ditunggangi. Yang fakta disulap jadi fiksi. Yang fiksi direka-rancang sedetil mungkin supaya jadi fakta yang benar-benar dapat dibuktikan. Kita tak lagi tahu mana penegak hukum yang jujur dan bersih dengan penegak hukum yang kotor dan jago bersilat manipulasi. Terasa benar di rekaman itu, si penegak hukum diperintah-perintah dengan cibiran mengece. Jika sudah begitu, sebagaimana kesan Mahfud MD (ketua Mahkamah Konstitusi yang dihadirkan beberapa waktu lalu di acara Kick Andy): para penegak hukum ini seperti “binatang” yang bisa seenak udelnya disuruh-suruh seperti budak. Nah, bagimana Presiden mengatasi semua sengkarut di lembaga hukum Indonesia ini?

Saya tidak berharap, Presiden kita adalah Presiden Bogambola: yang pikiran dan kerjanya tidak fokus karena digrujug banyak persoalan sehingga jadi buntu, mampat, dan mentok. Kita tunggu, dengan debar dan gatal, episode sandiwara politik selanjutnya!

SSSSST, ADA PEMBUNUH CINTA DI ISTANA!

Robin Al Kautsar
http://www.sastra-indonesia.com/

“Ji, di dalam cerita peperangan dan penderitaan yang paling kejam sekalipun, di sana ada kisah cintanya. Sedangkan drama kehidupanmu begitu hambar.”
(PDN, hal 143)

”Pembunuh di Istana Negara” karya Dhian Hari M.D. Atmaja pada dasarnya mencoba mengangkat tema politik. Suatu tema yang cukup jarang diangkat akhir-akhir ini, di mana tema seks begitu mendominasi. Oleh karena itu tema ini mengingatkan saya bahwa sebagian sastrawan kita dulu begitu berpretensi melukisan kecenderungan-kecenderungan utama masyarakat yang berpusat pada negara seperti “Grota Azura” karya Sutan Takdir Alisyahbana atau bahkan pada “Nyali” karya Putu Wijaya. Kebetulan kedua karya tersebut tidak begitu disambut secara luas. Mungkinkah karenanya tema politik akhirnya dihindari oleh banyak pengarang?

Ini memang novel politik. Banyak gagasan politik dibicarakan di situ. Walaupun demikian pengarang memberikan porsi yang cukup besar bagi pembicaraan cinta dan adegan percintaan. Apakah pengarang tidak begitu percaya diri untuk fokus pada tema yang diusungnya? Atau bahkan mungkin pengarang begitu terpengaruh oleh resep Hollywood dimana setiap pahlawan pasti akan dipertemukan dengan pahlawin, kemudian keduanya bercinta dan berzina terang-terangan, apapun temanya. Cuma bedanya kalau Hollywood mengakhiri ceritanya dengan happy ending dan Dhian mengakhirinya dengan tragedi. Mari kita simak dialog berikut ini:

“Aku sungguh ingin membantu!”, jawab Agung dengan pasti
“Kalau kamu sungguh ingin membantu, ajak aku masuk ke dalam dan cumbui aku. Buai aku dalam kasih sayangmu yang seperti lautan madu.”, Ucap Rina menggoda
………………………………………………………………………………………………………………………….
Ia hanya bisa memeluk Rina dengan erat……………………………………………………………….
Air mata terbendung untuk kali ini dalam nafas yang memburu, dan kesedihanpun terbungkam begitu jauh.

Tampaknya pengarang begitu obsesif dengan adegan percintaan, sampai-sampai realitas adegan di rumah kos di tengah masyarakat ditabrak begitu saja. Ini penting dibicarakan mengingat novel adalah genre sastra yang paling mimesis.

Bagi saya Kapten Agung Sutomo adalah tokoh sentral novel ini dan konflik yang terjadi adalah dia dengan dirinya sendiri, setelah menilai situasi sosial politik di sekitar, lebih-lebih dia ikut merasakan pahitnya kehidupan orang tua Rina dipecundangi oleh praktek-praktek aparat negara, meskipun dia sendiri berada di .pusat kekuasaan. Ide-ide revolusi mencuat dalam dialognya bersama Oka:
“Jadi revolusi tidak bisa menjadi jalan keluar demi membangun negara humanis, Mas?”, tanya Agung setelah mendengar ketidakpercayaan Oka pada jalan revolusi. Dan posisi pengarang memang termasuk yang tidak percaya pada revolusi, meskipun deskripsinya tentang apa itu revolusi dan apa itu negara humanis sangat tidak memadai. Pandangan pengarang yang disampaikan lewat Oka seperti: “Revolusi akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Mengacaukan sistem ekonomi, politik, keamanan dan aspek kenegaraan yang lain.” Dengan alasan: “ Dalam setiap prahara dan perubahan rakyat selalu menjadi korban”. Pandangan seperti ini sangat naif dan sering dibangun oleh pihak yang anti perubahan untuk menjadi bahasa dan nina bobok rakyat. Tidak mengapa pengarang tidak percaya pada revolusi, tetapi daya jelajah dan luasan penglihatannya untuk mengenali dan mengeksplorasi bagian krusial ini harusnya melampaui bahasa rakyat jelata (baca: tidak memiliki kesadaran politik).

Membicarakan revolusi tanpa mengeksplorasi pemikiran Marx akan sangat dangkal dan ahistoris. Mungkinkah ada reaksi tanpa ada aksi? Mungkinkah perubahan akan terjadi tanpa adanya kegelisahan masyarakat yang meluas? Sayang sekali Wiku Sapta Seloka, Wayang dan Aji Saka yang pernah menjadi aktivis kampus tak dapat memerankan fungsi jembatan antara kegelisahan masayarakat akar rumput dengan diskursus revolusi (dalam bahasa akademis) yang antara lain dikembangkan oleh Marx. Oleh karena itu tidak aneh kalau pusat agen perubahan sosial hanyalah Presiden, yang dalam negara modern sebenarnya jauh lebih ringkih dari yang dipikirkan awam.

Tetapi ini novel, bukan paparan ilmiah! Betul sekali. Tetapi mengangkat tema besar seperti itu punya resiko tersendiri. Ketika pengarang tidak parcaya pada kekuatan kata semata ia meminta bantuan gambar yang bernama diagram hirarkis terbalik. Padahal diagram tersebut tidak memperkaya novel untuk lebih menggugah atau memperjelas. Tidak jelek memasang diagram asal telah terinternalisasi dalam kemurnian ruang ilham. Namun memang tidak mudah menaklukkan medium seni. Keinginan Iwan Simatupang untuk menciptakan novel tanpa tokoh tanpa plot tidak pernah terealisasikan, karena kemungkinan besar hasilnya bukan novel tapi buku sosiologi atau psikologi.

Penokohan dalam novel ini walaupun kurang kuat karakterisasinya dapat digambarkan sebagai Agung sebagai protagonis dan antagonis di bagian inti dan selebihnya yang menggunakan nama imajiner ( Wiku Sapta Seloka, Wayang dan Aji Saka ) sebagai wakil dari kehidupan pengarang di bagian plasma. Sedang tentang kehadiran Gadis dan Rina hanyalah instrumen untuk adegan percintaan yang menjadi kredo pengarang di atas. Dengan demikian walaupun pengarang berada pada posisi pihak ketiga yang serba tahu, dia telah sekuat tenaga untuk sebagai pengamat yang netral. Tentu saja dia tidak banyak tahu, sehingga deskripsi tentang istana yang rumit tak dapat ditampilkan sebagai bagian ketegangan ketika protagonis dan antagonis mengalami konflik yang amat sangat hebat.

Ketegangan yang terjadi pada klimaks sungguh singkat dan mentah. Bagaimanapun novel ini adalah novel konvensional, dimana kepiawaian pengarang sangat diuji untuk menciptakan tanda tanya besar yang membuat pembaca menahan nafas dan akan marah kalau bacaannya disela orang lain. Terusnya bagaimana? Selamatkah tokoh utamanya? Sayang sekali klimaks segera beralih menjadi anti klimaks. Dan penyelesaiannya mudah ditebak, pengarang mengokohkan kembali siap anti-revolusinya. Apakah pengarang seorang pemuda konservatif alias jumud?

Membaca novel ini alurnya terasa lambat dan bertele-tele. Apalagi dialognya tampak anakronistik dan tidak lincah, sehingga realitas yang nyaris digenggamnya kembali luput tak terpaut. “Contoh: Ada waktunya mas waktu untuk kita berdua. Lagipula Aji sudah lama tidak ke sini. Lebih baik kalian pergi hanya berdua’ Meluncur ke dinginnya aspal tempat kalian mengais-ngais sesuatu. Atau hanya untuk sekedar mengenang masalalu saja.” Mungkinkah ini kata-kata istri yang telah kita kenal tiap hari?” Rasa-rasanya ini seperti istri dalam sebuah sandiwara teater Dardanella.

Begitulah novel politik. Resiko menggarap novel politik sangat besar, karena pengarang harus mengolah dari bahan-bahan yang tidak murni. Bahasa yang ia pergunakan telah dibebani oleh wacana yang telah tertentu dan menyejarah yang pengarang harus menguasainya terlebih dahulu.

Tugu Gang I, Blok B, No.2, Jombang

KIAT UNIK MENULIS ALA MAMAN S. MAHAYANA

Sutejo
Ponorogo Pos

Tujuh tahun berkenalan dengan seseorang adalah waktu yang pendek jika jarak membentang, tetapi jadi waktu yang panjang kala hati tertali dalam hubungan guru-murid. Begitulah, barangkali hal menarik yang dapat penulis petik ketika mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi, mendorong etos untuk berbuat, dan tak jarang “memberi” pujian. Begitulah selalu. Tetapi tidak jarang, lelaki itu langsung memberikan kritik ketika ada kekurangan yang menurutnya adalah kelemahan.

‘Sastra Pragmatik’ dan Orientasi Penciptaan

Bagian terakhir dari dua tulisan
Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Dalam konteks peran sosial sastra, ‘kaum sastra kontekstual’ meyakini bahwa karya-karya besar seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower), dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan masyarakat pembacanya masing-masing. Max Havelar menginspirasi ‘gerakan politik etis’ di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris, dan Uncle Tom Cabin menginspirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat.

Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan, seperti terasa pada kutipan sajak Kerawang-Bekasi berikut ini:

Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.

Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino, sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mosye Dayan bahkan menganggap bahwa sebuah sajak patriotik penyair Palestina lebih berbahaya daripada satu kompi pasukan komando.

Kenyataannya, garakan Intifada banyak dikobarkan oleh sajak-sajak patriotik para penyair Palestina yang ditulis pada tembok-tempok dan beredar di bawah tanah. Dan, semangat untuk merdeka, untuk bebas dari penindasan kaum Zionis, itulah yang tidak mungkin dipadamkan oleh tentara Israel. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ”jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.”

Di dalam khasanah sastra Islam, sajak-sajak Mohammad Iqbal juga disebut-sebut ikut mendorong proses rekonstruksi pemikiran Islam. Sedangkan sajak-sajak Jalaluddin Rumi, dan Hamzah Fansuri, ikut mendorong proses rekonseptualisasi ajaran tasawuf. Bahkan, menjadi sumber rujukan penting para peneliti tasawuf, seperti Annemarie Schimmer, mengingat fungsi puisi sebagai sarana pengajaran dan ekspresi penghayatan sufistik para tokohnya.

Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses perubahan sosial. Tokoh-tokoh seperti Taufiq Ismail, Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Najib juga meyakini bahwa karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu agen perubahan. Dan, di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar sebagai agen perubahan sosial guna membawa

Kesadaran yang juga penting untuk dimiliki oleh cendekiawan adalah kesadaran sejarah dan rasa kebangsaan (nasionalisme). Membaca karya sastra yang berdimensi sejarah dan mengaitkannya dengan masalah kebangsaan dapat ikut menumbuhkan kesadaran tersebut. Dengan membaca karya sastra yang berdimensi sejarah, kita juga dapat melihat evolusi ataupun perubahan visi kebangsaan di mana karya sastra ikut mengalami evolusi tematik yang seirama.

Pada masa Mohammad Yamin, misalnya, masalah kebangsaan yang dihadapi adalah bagaimana menyadarkan dan kemudian membangkitkan rasa kebangsaan masyarakat. Maka yang lahir adalah sajak-sajak cinta tanah air yang romantik, karena ketika itu memiliki tanah air yang merdeka masih sebatas ‘impian’. Sajak menjadi salah satu media bagi kalangan pergerakan nasional untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya memiliki satu bangsa yang merdeka.

Di tataran filsafat dan kebudayaan, Sutan Takdir Ali Syahbana dan Ki Hajar Dewantara kemudian mengentalkan rasa kebangsaan itu melalui proses kristalisasi konsep budaya bangsa. Tidak hanya melalui sajak-sajaknya Takdir mencoba meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa, tapi juga melalui sebuah polemik yang sangat terkenal — Polemik Kebudayaan — yang hingga kini masih menjadi rujukan bagi banyak pemikir budaya dalam meninjau ulang dan mencari arah terbaik kebudayaan bangsa ke depan.

Pada medio awal dasawarsa 1940-an, Chairil Anwar menangkap semangat kemerdekaan yang mengkristal sejak masa kebangkitan pergerakan nasional itu ke dalam sajak-sajak heroik dan penuh etos pemberontakan. Dengan semangat ‘binatang jalang’ ia melahirkan sajak-sajak yang tidak hanya membawa pemberontakan estetik, tapi juga memompa semangat pemberontakan terhadap penjajah Belanda untuk mencapai kemerdekaan.

Evolusi sastra Chairil Anwar — yang di dalamnya menyimpan evolusi rasa kebangsaan — adalah evolusi yang sudah sampai pada tahap pembebasan. Kesadaran akan rasa kebangsaan telah mengkristal begitu keras, hingga tinggal menunggu saatnya untuk diledakkan. Bentuk ledakannya adalah pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta yang siap dibela sampai titik darah terakhir.

Pasca-kemerdekaan sastra seperti kehilangan momentum untuk berbicara tentang patriotisme, nasionalisme dan pemupukan rasa kebangsaan. Dari sinilah kemudian Taufiq Ismail menerjemahkan perannya pada pembangunan bangsa melalui sajak-sajak kesaksian sejarah di seputar pergeseran kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Peran ini pula yang secara lebih kritis dan tajam diambil oleh Rendra dengan sajak-sajak kritik sosialnya dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi (1980). Namun, jika rasa nasionalisme dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta dan kepedulian pada nasib bangsa, maka karya-karya Taufiq dan Rendra dapat dimasukkan ke dalamnya.

Sastra Indonesia kontemporer dewasa ini banyak diwarnai kecenderungan (mainstream) sastra seksual, feminis, dan bahkan masokis. Memang tampak juga kecenderungan lain, seperti maraknya fiksi Islami dan masih bersambungnya benang merah sastra religius dan sufistik, serta tetap hidupnya sastra humanisme universal, tetapi wacana sastra lebih banyak diwarnai persoalan-persoalan sastra yang bersikap memberontak dan bersemangat pembebasan nilai (liberalisasi).

Meskipun begitu, tidak berarti karya sastra tidak dapat lagi ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Bagaimanapun, seperti pernah ditegaskan oleh Umar Kayam, karya sastra adalah refleksi dari realitas kehidupan di sekitarnya. Dan, karena itu, bagaimanapun isi dan corak estetiknya, adalah tantangan bagi kaum cendekiawan untuk memahami dan merenungkan realitas itu, guna menyikapinya secara tepat.

*) Sastrawan dan wartawan Republika.

‘Sastra Pragmatik’ dan Orientasi Penciptaan

Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Ahmadun Yosi Herfanda
http://www.infoanda.com/Republika

Judul asli tulisan ini adalah Sastra dan Peningkatan Kualitas Kecendekiaan, sebuah judul yang mengandaikan bahwa sastra dapat menjadi sumber nilai, sumber inspirasi, dan sumber pengetahuan untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya. Itu adalah pengandaian yang berpijak pada pendekatan yang pragmatik tentang sastra, bahwa karya sastra ditulis bukan hanya untuk tujuan literer (estetik) tapi juga tujuan yang bersifat pragmatik atau non-literer.

Kalangan pragmatik yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya berkeyanikan bahwa karya sastra dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan mereka..

Lebih dari itu, kalangan pragmatik bahkan meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial bukannya tidak mungkin akan dapat digerakkan..

Dalam pemahaman seperti itu, intelektual sosialis seperti Arief Budiman dan Ariel Heryanto (misalnya melalui buku Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985), meyakini pentingnya sastra terlibat (sastra kontekstual) sebagai wujud kepedulian sastrawan pada persoalan-persoalan sosial-politik di sekitarnya, dan agar kesastraan tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri..

Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan (meminjam istilah Umar Kayam), tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif..

Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra. Karena itulah, Taufiq Ismail tak henti-hentinya menganjurkan agar masyarakat terpelajar banyak membaca karya sastra, setidaknya sejak mereka di bangku SLTA. Karena itu pula, Taufiq mendorong agar sistem pengajaran sastra di sekolah diubah, supaya siswa lebih banyak membaca karya sastra. Tidak seperti sekarang, yang menurutnya, ”pengajaran sastra dengan nol buku.”.

Keyakinan atas fungsi sastra seperti itu pula yang mendorong Taufiq, belakangan ini, banyak menulis ’sajak pencerahan’. Misalnya, sajak-sajak tentang bahaya rokok dan narkoba, seperti dibacakannya pada peringatan Hari Anti Narkoba Internasional di plasa Gedung Pemuda, Senayan, Jakarta, pada 24 Juni 2006, yang diadakan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Kutipan sajak Tuhan Sembilan Senti berikut ini menegaskan keyakin. an Taufiq terhadap manfaat sastra sebagai media pencerahan:

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir. Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan? Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaiith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok. Jadi, ini PR untuk para ulama. Tapi, jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya dimakruh-makruhkan saja. Jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruang ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai batuk-batuk….

Meyakini kebermaknaan dan peran sastra dalam proses perubahan sosial sebenarnya tidak terlalu berlebihan, meskipun tidak semua sastrawan mempercayainya (Sapardi Djoko Damono, misalnya, menganggap karya sastra hanyalah ‘lebah tanpa sengat’). Apalagi, sekadar meyakini manfaat sastra untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya, tidaklah terlalu naif.

Jika keyakinan non-literer tersebut dirujukkan kepada pemikiran MH Abrams (dalam A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, first edition, 1981) tentang orientasi sastra (orientasi penciptaan), pandangan pragmatik itu sesuai dengan ‘orientasi kedua’ yang memandang karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.

Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.

Pada ‘orientasi kedua’ Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial, seperti novel Max Havelar karya Multatuli dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia.

Orientasi kedua itu pula sebenarnya yang menjadi tujuan penciptaan karya sastra di kalangan kaum sosialis dengan konsep realisme sosialnya. Tetapi kemudian, pada perkembangannya yang ekstrem, seperti tampak pada para sastrawan Lekra, sastra hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan ideologi, politik, dan kekuasaan. Ini memang ‘jebakan’ yang paling berbahaya dari orientasi yang terlampau pragmatis. Pencapaian prestasi estetik tidak lagi menjadi tujuan, sebab sastra sekadar sebagai alat politik, dan politik itulah sang panglima yang harus diabdi oleh sastra untuk tujuan kekuasaan.

Tanpa bermaksud mensejajarkan agama dengan ideologi kaum Marxis, penciptaan karya sastra untuk tujuan dakwah — seperti dipraktekkan oleh para penulis Forum Lingkar Pena (FLP) dengan gerakan yang sering disebut sebagai ‘gerakan fiksi Islami’ — sebenarnya juga berada pada jalur orientasi yang pragmatis tersebut. Indikasi yang ekstrem dari ‘gerakan fiksi Islami’ adalah cenderung dikesampingkannya tujuan dan prestasi estetik, dengan sikap yang sangat ‘hitam-putih’ dalam mendekati persoalan-persoalan kehidupan yang diangkat ke dalam karya. Nilai-nilai agama diformulasikan secara sangat formalistik dan tujuan-tujuan non-literer (dakwah) cenderung ditempatkan sebagai yang utama.

Orientasi yang terlampau pragmatis, baik dalam konteks sastra dakwah maupun sastra ideologi, memang sah-sah saja. Tetapi, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa orientasi yang terlampau pragmatis akan menyebabkan pertumbuhan sastra menjadi pincang, karena prestasi-prestasi estetiknya akan cenderung tertinggal. Ini sangat tampak, baik pada karya-karya sastra kaum sosialis maupun gerakan sastra dakwah. Itu pula, antara lain, kenapa karya-karya fiksi Islami yang dewasa ini marak di Tanah Air tidak cukup mengundang perhatian dari kalangan kritisi maupun akademisi sastra.

Guna menghindari jebakan orientasi yang terlampau pragmatis itu, diperlukan keseimbangan antara orientasi pragmatis dan orientasi estetik dalam proses penciptaan, agar karya sastra yang lahir tidak hanya bermakna secara tematik tapi juga unggul estetikanya. Bagaimanapun, karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang secara estetik mampu menggetarkan rasa keindahan dan secara tematik mampu mencerahkan nurani pembacanya.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya.

Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.

Karya sastra juga memiliki efek pencerahan yang tidak jauh berbeda, ketika sang pengarang (penyair) memanfaatkan alam sebagai simbol pemikirannya, seperti misalnya dilakukan Abdul Hadi WM dalam sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat, yang mengkristalkan konsep tasawuf dan menyadarkan kedekatan mahkluk dengan Tuhannya, sekaligus sebuah kesaksian (syahadat) sang penyair bahwa ia adalah ‘arah’ pada angin (titah) Tuhan:

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai api dan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai angin dan arahnya
Aku arah pada anginmu

Begitu juga ketika karya sastra diorientasikan sebagai pancaran perasaan dan pikiran sastrawannya. Ketika pikiran sastrawannya adalah sikap kritis terhadap keadaan di sekitarnya, maka tanpa disengaja karya sastranya akan memiliki kekuatan pencerahan. Dan, ketika perasaan yang diekspresikan sang penyair adalah perasaan cinta, kasih sayang, pada sesama, maka perasaan itu akan menjadi kekuatan sugestif untuk memancarkan perasaan cinta dan kasih sayang pembaca pada sesama.

Dengan demikian, sebenarnya, tidak semua karya sastra yang memiliki kekuatan pencerah dan menjadi sumber inspirasi perubahan sosial adalah ’sastra Marxis’ atau realisme sosialis. Tetapi, ia adalah karya sastra yang lahir dari sikap peduli terhadap pentingnya peningkatan kualitas hati nurani dan intelektualitas pembacanya dan sikap kritis terhadap lingkungannya. Hati nurani dan intelektualitas pada dasarnya adalah inti kecendekiaan seseorang. Dari sisi ini pula karya sastra diyakini dapat ikut meningkatkan kecendekiaan pembacanya.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae