Saut Situmorang
http://www.sastra-indonesia.com/
Dalam dunia sastra Indonesia banyak pengarang sangat yakin bahwa apa yang mereka sebut sebagai “substansi” sastra, yang konon universal, bebas-nilai (apolitis), dan abadi, itu memang ada dan merupakan satu-satunya faktor penentu baik-tidaknya, berhasil-tidaknya, sebuah karya sastra menjadi sebuah karya sastra. Contoh yang paling sering saya alami adalah menerima pernyataan “Buktikanlah dengan karya!” setiap kali saya berusaha mendongeng tentang pentingnya menyadari politik sastra yang mempengaruhi sastra di manapun terutama di Indonesia, seolah-olah apa saja karya yang mereka produksi memang secara otomatis sudah sangat penting nilainya bagi sejarah sastra. Ada sementara dari para pengarang romantik ini memakai istilah lain untuk maksud yang sama, yaitu “sublim”. Sebuah puisi yang menjadi, misalnya, adalah sebuah puisi yang “sublim”, kata mereka. Tapi para pengarang bakat alam yang romantik ini selalu lupa untuk mengelaborasi arti dari istilah pseudo-filosofis tsb, atau paling tidak menunjukkan contoh karya-karya sastra mana yang “sublim” itu dan kenapa karya-karya itu “sublim”.
Bagi para pengarang yang tidak berbakat alam – jumlah mereka sangat sedikit di Indonesia – istilah “kanon sastra” tentu bukan merupakan sebuah istilah eksotis-filosofis kayak “substansi” sastra atau sastra “sublim”. Kanon adalah sekelompok karya yang, minimal, selalu ada dalam kurikulum pengajaran sastra di sekolah dan perguruan tinggi. Sebuah karya yang bisa masuk jadi anggota kanon sastra tentu saja akan terangkat reputasi sastranya, dan pengarangnya, dalam hierarki kelas “kedahsyatan” artistik dalam sejarah sastra. Dan bisa dipastikan akan terus menerus dicetak-ulang sekaligus dibahas-ulang dalam skripsi, tesis dan disertasi.
Tentu saja semua pengarang ingin semua karyanya bisa masuk dalam kanon sastra, paling tidak sebuah bukunya. Tapi kenyataannya cuma segelintir saja pengarang yang bernasib mujur begini. Ketidakmujuran nasib banyak pengarang dalam peristiwa kanonisasi sastra inilah yang menimbulkan pertanyaan: Kok karya S Takdir Alisjahbana bisa masuk kanon sementara cerita silat Kho Ping Hoo nggak? Kenapa puisi Goenawan Mohamad, bukan Saut Situmorang? Apakah karena puisi Goenawan Mohamad “sublim” tapi Saut Situmorang cuma bermain-main dengan intertekstualitas dan tidak tertarik pada “kedalaman” simbolisme pasemon puitis?
Apa sebenarnya yang menjadi “kriteria” dalam seleksi kanon (canon formation)? Apakah “substansi” sastra atau “sublimitas” sastra seperti yang diyakini para pengarang bakat alam yang romantik itu? Apakah estetika satu-satunya standar dalam menilai mutu karya? Kalau benar, lantas apakah “estetika” itu? Adakah karya sastra yang an sich benar-benar “dahsyat” dan “universal”? Apakah karya sastra itu memang otonom, bebas nilai, tidak tergantung pada hal-hal di luar dirinya untuk menentukan baik-buruk mutunya? Atau ada hal-hal lain di luar teks karya – mulai dari komentar para “pengamat” sampai ekspose di media massa atas sosok sang pengarang – yang menjadi faktor dominan dalam terpilih-tidaknya sebuah karya sastra menjadi anggota kanon sastra?
Pertanyaan-pertanyaan cerewet seperti ini sudah waktunya diumumkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia karena kondisi sastra Indonesia saat ini sudah mencapai titik dekadensi yang mengkhawatirkan. Absennya tradisi kritik sastra yang kuat dan mapan seperti dalam sastra-sastra nasional di peradaban Barat telah mengakibatkan apa yang saya sebut sebagai “anarkisme interpretasi dan evaluasi” merajalela dalam sastra Indonesia dimana orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kualifikasi atau latar belakang pendidikan akademis ilmu sastra merasa tidak ada persoalan sama sekali untuk mempublikasikan komentar-komentar mereka yang mereka klaim sendiri sebagai “kritik sastra”, walau komentar-komentar mereka tsb tidak memiliki prosedur interpretasi dan evaluasi yang menjadi ciri-khas kritik sastra di mana-mana. Akses media-massa cetak seperti koran nasional terbitan Jakarta yang relatif mudah, misalnya, membuat komentar-komentar para pseudo-kritikus ini mendominasi lalulintas “opini publik” tentang sastra dan berakibat terjadinya distorsi-arti tentang apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan “kritik(us) sastra”. Akibatnya terjadilah penciptaan kanon sastra dalam sastra kontemporer Indonesia yang sama sekali tidak merefleksikan realitas sebenarnya dari apa yang kita kenal sebagai Sastra Indonesia itu.
***
Istilah “kanon”, atau “canon” dalam bahasa Inggrisnya, berasal dari kata bahasa Junani Kuno, yaitu kanon, yang berarti sebuah “buluh” atau sebuah “tongkat” yang dipakai sebagai alat pengukur. Istilah ini di kemudian hari memiliki makna tambahan yaitu “peraturan” atau “hukum” dan makna ini yang akhirnya menjadi makna utamanya dalam bahasa-bahasa modern Eropa. Dalam konteks kritik sastra, istilah “kanon” menjadi sebuah istilah penting setelah dipakai di abad 4 M dalam merujuk ke daftar teks atau pengarang, khususnya buku-buku yang akhirnya menjadi kitab suci agama Kristen yaitu Alkitab atau Bibel dan para theolog awal agama tsb. Di sini istilah “kanon” memiliki arti sebagai sebuah prinsip seleksi atas pengarang-pengarang tertentu mana atau teks-teks tertentu mana yang dianggap lebih pantas untuk dilestarikan dibanding yang lainnya. Teks-teks dan pengarang-pengarang yang gagal masuk kanon Bibel tsb (disebut “apokrifa” dalam tradisi Kristen) tidak berhasil karena alasan dogma: para pemimpin agama Kristen awal harus memutuskan “ajaran-ajaran” mana yang harus diajarkan kepada para pengikutnya. Para pembuat kanon Bibel di awal berkembangnya agama Kristen ini tidak begitu peduli dengan “keindahan” teks-teks yang mereka pilih atau sifat universalitasnya. Yang paling penting bagi mereka adalah bahwa teks-teks tsb “sesuai” dengan standar komunitas mereka, atau dengan “peraturan/hukum” mereka. Tujuan utama mereka lebih kepada memisahkan mana yang ortodoks dan mana yang bidah.
Dalam konteks sastra banyak kritikus sastra di luar Indonesia yakin bahwa seleksi atas karya-karya sastra untuk “kanonisasi” – yaitu karya-karya yang disebut sebagai karya “klasik” itu – terjadi sama seperti pada kanon Bibel. Para kritikus ini yakin bahwa di balik pretensi “objektivitas” penilaian mutu karya terdapat sebuah agenda politik terselubung, yaitu eksklusi atas banyak kelompok dari representasi dalam kanon sastra. Sebuah contoh yang paling sering disebutkan adalah fakta lebih sedikitnya jumlah sastrawan (jenis kelamin) perempuan dalam kanon sastra. Atau begitu sedikitnya jumlah pengarang non-Eropa (bukan kulit putih) dalam kanon sastra berbahasa Inggris, misalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang selalu diajukan adalah apakah karya para sastrawan yang tidak masuk kanon sastra ini – sastrawan perempuan dan sastrawan bukan kulit putih – memang lebih rendah mutunya dibanding karya-karya kanon? Bagaimana menentukan tinggi-rendahnya “mutu” sastra? Apa itu “mutu” sastra?
***
Di sastra Indonesia persoalan “mutu” sebuah karya sastra selalu dikaitkan dengan sifat “universal” yang dianggap dimiliki oleh sebuah karya yang “bermutu”. Sebuah karya yang dianggap “bermutu” tinggi pasti juga akan “universal” pengakuan atas “mutu” yang dimilikinya itu. Perbedaan konteks budaya dan waktu/zaman, misalnya, dianggap tidak berlaku atas sebuah karya yang “bermutu”. “Mutu” sebuah karya berbanding lurus dengan “universalitas” pengakuan atasnya, demikianlah keyakinan kebanyakan sastrawan Indonesia. “Mutu” itu sendiri sangat diyakini sudah inheren dimiliki oleh setiap karya sastra yang dianggap “berhasil”. Inilah sebenarnya yang dimaksudkan para pengarang bakat alam yang romantik itu sebagai “substansi” atau “sublimitas” karya sastra.
Kalau memang benar “substansi” sastra itu ada dan keberadaannya tidak dipengaruhi sama sekali oleh faktor-faktor dari luar teks sastra, maka bagaimana, misalnya, menjelaskan tentang “kegagalan” para sastrawan dunia seperti Maxim Gorky, Vladimir Mayakovsky, James Joyce, DH Lawrence, Virginia Woolf, Ezra Pound, Bertolt Brecht, George Orwell, Paul Eluard, Jorge Luis Borges… sampai Pramoedya Ananta Toer untuk “memenangkan” Hadiah Nobel Sastra, hadiah sastra paling bergengsi di planet ini? Apakah “substansi” karya sastra mereka lebih buruk “sublimitas”nya dibanding para sastrawan pemenang Nobel Sastra? Atau seperti yang pernah dipertanyakan oleh sastrawan Eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, waktu menolak menerima Hadiah Nobel Sastra 1964 yang “dimenangkan”nya: Dari semua pemenang Hadiah Nobel Sastra asal Uni Soviet dulu, kenapa sastrawan yang menentang Partai Komunis Uni Soviet yang lebih banyak mendapat Hadiah Nobel Sastra? (Kasus Sartre sendiri unik. Sebenarnya yang seharusnya mendapat Hadiah Nobel Sastra untuk tahun 1964 itu adalah penyair Komunis asal Chile, Pablo Neruda. Tapi “status” Neruda sebagai anggota Komite Sentral Partai Komunis Chile dan bahwa Neruda pada tahun 1953 dianugrahi Hadiah Stalin untuk puisinya telah membuat badan intelijen Amerika Serikat CIA panas-dingin dan melalui lembaga “kebudayaan” yang dibentuknya pada 1950 dalam Perang Dingin melawan Uni Soviet, yaitu “Congress for Cultural Freedom”, telah berhasil mempengaruhi Panitia Nobel untuk tidak memilih Neruda tahun 1964 itu. Ironisnya, Sartre yang “dimenangkan” Panitia Nobel justru menolak menerima Hadiah Nobelnya! (lihat: Who Paid the Piper? The CIA and the Cultural Cold War (Granta Books, 2000) karya Frances Stonor Saunders.)
Di dunia ini intelektual manakah yang belum pernah mengenal penyair cum dramawan Inggris bernama William Shakespeare? Walaupun belum tentu pernah membaca karya aslinya, setiap orang yang menganggap dirinya “berbudaya” pasti paling tidak akan mengaku pernah mendengar nama sastrawan yang hidup di paroh kedua abad 16 Inggris ini. Justru di sinilah persoalannya. Karya-karya Shakespeare tidak dibaca luas tapi keuniversalan namanya fenomenal. Mungkin Shakespeare adalah contoh dari sastra yang punya “substansi” dan “sublim” itu. Tapi benarkah karya-karya Shakespeare yang terbaik sekalipun memang secara “estetika” sempurna tidak bercacat?
Ternyata munculnya apa yang dikenal sebagai Teori Sastra Pascakolonial sebagai akibat terbitnya buku Orientalism (1978) karya pengarang kelahiran Palestina, Edward Said, telah menyebabkan terjadinya “pembacaan-ulang” atas para sastrawan kanon Barat termasuk Shakespeare. Dan hasilnya: Shakespeare adalah seorang sastrawan rasis dalam karya-karyanya yang tokoh-tokohnya “berkulit berwarna”, seperti The Merchant of Venice (1596), Othello (1604), dan The Tempest (1611).
Hal yang sama terjadi juga atas Joseph Conrad, yang dianggap salah seorang novelis terbesar Inggris. Karya-karya bekas pelaut kelahiran Polandia ini banyak mengambil setting cerita di negeri-negeri yang pernah dia singgahi seperti Afrika, Indonesia dan Amerika Latin. Sebuah novel pendeknya yang dianggap salah satu novel terdahsyat dalam bahasa Inggris yaitu Heart of Darkness (1902) yang bersetting di pedalaman Afrika di tepi Sungai Kongo dicaci-maki dengan keras oleh novelis besar Afrika Chinua Achebe sebagai sebuah novel jelek karena sangat rasisnya dalam menggambarkan orang kulit hitam Afrika. Beberapa novel lain Conrad seperti Almayer’s Folly (1895) dan Lord Jim (1900) mengambil latar-cerita di Kalimantan dan Jawa periode kolonialisme Belanda. Tentu akan menarik sekali untuk mengetahui bagaimana reaksi pembaca kontemporer Indonesia asal Kalimantan dan Jawa dalam menanggapi penggambaran orang-orang lokal kedua daerah tsb dalam kedua novel Conrad itu.
Di Indonesia sendiri kita juga memiliki banyak contoh dari terjadinya apa yang saya sebut sebagai politik kanonisasi sastra ini. Seperti nama William Shakespeare di dunia internasional, di Indonesia siapakah intelektual kita yang tidak pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer! Bagi mereka yang serius membaca karya sastra Indonesia akan mengerti bahwa dari keseluruhan fiksi yang pernah ditulis dan dipublikasikan oleh Pram (ataupun oleh para novelis Indonesia lainnya) maka seri-novel yang dihasilkannya selama menjalani hukuman-tanpa-pengadilan rejim Orde Baru di Pulau Buru yang terkenal dengan nama Tetralogi Buru itu (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) merupakan karya terbaik Pram dan salah satu karya terbaik fiksi dalam sejarah sastra Indonesia. Justru karena Tetralogi Buru inilah nama Pram berkali-kali masuk dalam nominasi pemenang Hadiah Nobel Sastra. Tapi apa yang terjadi dengan seri-novel ini di Indonesia sendiri? Kita semua tahu karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Tetralogi Buru dilarang di Indonesia! Selama rejim militer Suharto berkuasa, siapa saja yang ketahuan memiliki satu saja dari keempat novel Pram ini pasti akan ditangkap dan dimasukkan penjara (dan disiksa lagi!) sebagai seorang subversif atau pengkhianat bangsa dan negara!
Setelah rejim Suharto jatuh dan tidak berkuasa lagi, publikasi dan pemilikan atas Tetralogi Buru tidak lagi mengakibatkan penangkapan dan pemenjaraan tapi larangan atasnya tetap berlaku. Larangan yang masih terus berjalan itu adalah larangan untuk mempelajarinya secara formal di sekolah dan perguruan tinggi.
Kalau kita tanya apa sebenarnya alasan yang membuat Tetralogi Buru harus dilarang padahal keempat novel itu merupakan sebuah gugatan kritis seorang sastrawan Indonesia atas (sejarah) kolonialisme Belanda di Indonesia, maka jawaban klise yang terus menerus didaur-ulang/direproduksi oleh penguasa Republik ini adalah bahwa pengarangnya seorang Komunis! Kalau kita tanya lagi apa bukti Pram itu seorang Komunis, maka jawabannya… tidak ada jawaban! (Kita, misalnya, masih belum bertanya soal apa sebenarnya “kesalahan” Komunis dalam sejarah Indonesia! Atau, apa sebenarnya Komunis itu sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengannya dilarang di negeri komunal dan gotong royong ini.) Dari Kasus Pram ini kita bisa melihat betapa eksistensi sebuah teks sastra sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar teks baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya.
Contoh lain adalah reputasi majalah sastra Horison selama masih dengan sangat aktif dieditori oleh HB Jassin, tokoh legendaris yang dianggap sebagai Paus Sastra Indonesia itu. Bagi para sastrawan Indonesia yang masih waras otaknya pada periode yang saya maksudkan (terutama pada tahun 1970an), apalagi yang baru mulai menulis sastra, dimuatnya karya di Horison bisa dikatakan setara dengan memenangkan Hadiah Nobel Sastra bagi sastrawan dunia. Sebuah pencapaian “artistik/estetik” yang paling tinggi! Sebuah pengakuan/pembaptisan legitimasi gelar kesastrawanan! Makanya pemberian gelar mentereng “Paus Sastra Indonesia” tadi kepada Jassin! Selera HB Jassin menentukan “bermutu-tidaknya” karya sastra Indonesia pada zamannya. Bisa dikatakan HB Jassin bukan cuma “Paus Sastra Indonesia” tapi justru Sastra Indonesia itu sendiri! Tak ada “sastra(wan)” Indonesia di luar HB Jassin! Hanya mereka yang menulis novel pop, cerpen pop dan lirik lagu pop saja yang tidak peduli pada keangkeran nama Horison dan HB Jassinnya.
Karena “eksperimentasi bentuk” merupakan “estetika” kaum Humanis Universal, kaum Manikebuis, yang direpresentasikan oleh sosok Jassin ini, maka hanya karya-karya apolitis yang eksperimental secara formal/bentuk (walau isinya biasa-biasa saja malah cenderung konservatif) yang menjadi kanon sastra Indonesia, seperti fiksi Danarto, Putu Wijaya dan Budi Darma atau puisi Sutardji Calzoum Bachri. Karena dunia teater Indonesia sangat dipengaruhi sastra Indonesia, maka efek Jassinisne ini juga merebak ke teater Indonesia dan jadi kanon teater pulalah para sastrawan Horison seperti Putu Wijaya dan Arifin C Noor.
Maka sepilah sastra kita, atau sangat minimlah sastra kita dari karya-karya yang tidak peduli pada eksperimen bentuk, yaitu karya-karya yang mementingkan isi, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan sosial-politik masyarakatnya.
Maka tidak kenallah kebanyakan dari kita karya-karya para pengarang Lekra, para pengarang yang berbeda “estetika”, berbeda “ideologi” sastra dari para pengarang Horison, para pengarang Manikebuis di atas.
Maka rendahlah penilaian kita atas karya-karya yang Lekrais, karya-karya yang mementingkan isi ketimbang eksperimen bentuk, karya-karya yang “terlibat” dengan persoalan kontemporer masyarakatnya, karya-karya yang realis.
Selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa, berpolitik adalah kata haram dalam segala kegiatan masyarakat, termasuk dalam kegiatan sastra kita. Seni haram berpolitik, karena akan mengingatkan pada periode Polemik Lekra-Manikebu. Karena “politik bukan lagi panglima kehidupan” termasuk kehidupan sastra, maka a-politik alias anti-politik sekarang menjadi panglima. Dalam konteks teks sastra, bermain-main dengan eksperimen bentuk merupakan perwujudan paling ideal, paling tinggi, dari konsep seni a-politis ini. Ketimbang melakukan “seni untuk kehidupan” maka sastrawan Indonesia yang menjadi sastrawan Horison, yang menjadi kanon sastra, memilih ideologi berkesenian “seni untuk seni”, art for art’s sake, l’art pour l’art. Dalam kata lain, “Estetisisme adalah Panglima”. Cirinya: Sastra (seni) adalah yang paling adiluhung nilainya di antara semua produk manusia, karena otonom mandiri dan tidak mempunyai relevansi (moral dan praktikal) dan referensi di luar dirinya sendiri. Kesempurnaan bentuk adalah segalanya.
Fetishisme atau pemberhalaan pada (eksperimen) bentuk inilah yang menyebabkan Dami N Toda dengan sangat terkenal membaptis Sutardji Calzoum Bachri sebagai setara dengan Chairil Anwar dalam kebesarannya (pencapaian artistiknya), yaitu dengan membuat pernyataan metaforis “kalau Chairil adalah mata kanan, maka Sutardji adalah mata kiri puisi Indonesia”. (Saut Situmorang mungkin cuma jerawat puisi Indonesia!) Makanya dianggap tidak sedahsyat pencapaian puisi-mantra Sutardjilah pencapaian epik Rendra dalam Blues untuk Bonnie yang dipublikasikannya dalam periode yang sama dengan sajak-sajak Sutardji.
Inilah “tradisi” kritik sastra Indonesia selama rejim militer Orde Baru Suharto berkuasa. Selama rejim sastra apolitis Horison Manikebuis berkuasa. Inilah zaman keemasan ideologi estetisisme dalam sejarah sastra Indonesia. Inilah ideologi politik kanonisasi sastra Indonesia.
Dan efeknya masih terus dengan kuat mencengkram isi kepala para sastrawan Indonesia sampai detik ini!
Buktinya adalah keyakinan para sastrawan bakat alam kita seperti yang saya singgung di awal esei saya ini: bahwa sastra itu otonom, bebas nilai, hanya tergantung pada “substansi”nya saja untuk menjadi baik atau buruk, dan universal.
Seperti yang sudah saya buktikan di atas, politik kanonisasi sastra kita selama berkuasanya rejim sastra Horison Manikebuis tidak seobjektif, senetral seperti yang disiratkan ideologi estetisisme para sastrawan bakat alam di atas. Politik seleksi sangat mempengaruhi diakui-tidaknya sebuah karya sastra sebagai karya yang berhasil atau bermutu. Eksperimentasi bentuk sebagai standar selera utama rejim sastra Horison Manikebuis telah mengakibatkan hilangnya pluralitas “estetika” dan mendominasinya sastra non-realis apolitis dalam sastra kontemporer kita.
Makanya mendominasilah saat ini apa yang oleh media massa Jakarta disebut sebagai “Sastrawangi”. Sastra yang ditulis oleh perempuan-perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa tsb dan yang cuma bicara tentang apa-apa saja yang dilakukan oleh para perempuan muda yang konon juga cantik menurut media massa. Seksualitas, konon, adalah isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan muda yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi. Seksualitas dalam prosa para Sastrawangi ini bahkan diklaim merupakan aksi pembebasan dari penindasan yang dialami perempuan Indonesia yang terkutuk hidup dalam masyarakat patriarkal bernama Indonesia!
Tubuh adalah Jalan Keselamatan Perempuan Indonesia, menurut para Sastrawangi ini. Makanya berseTubuh melululah mereka dalam prosa mereka! BerseTubuh adalah Pembebasan! Perempuan adalah sama di mana-mana, universal, teriak mereka. Karena itulah seksualitas yang konon merupakan persoalan perempuan muda di kota-kota besar Indonesia adalah juga persoalan perempuan (muda dan tua) di mana-mana termasuk di desa-desa. Tubuh, seksualitas dan perempuan adalah satu bagi para Sastrawangi ini. Seperti teks sastra para Estetis, para Horison Manikebuis, dan para bakat alamis, maka bagi para Sastrawangi tidak ada hal lain di luar Tritunggal “Tubuh-Seksualitas-Perempuan”. Tidak ada persoalan kemiskinan perempuan, tidak ada persoalan pendidikan perempuan yang rendah, tidak ada persoalan jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, bahkan tidak ada persoalan tubuh perempuan yang jelek gembrot berjerawat bagi para Sastrawangi yang konon cantik menurut media massa ini. Aku ngeseks maka aku ada, begitulah kira-kira kredo mereka!
Non-realisme prosa para Sastrawangi ini dapat kita lihat dari betapa sempitnya (dunia) “perempuan” diartikan dalam teks mereka. Betapa sunyinya teks mereka dari para perempuan “biasa” yang tiap hari kita temui di pasar ikan sayur mayur becek berlumpur, di toko-toko kelas bawah, di pabrik-pabrik, di dapur rumah-rumah gedongan kelas menengah ke atas, di sekolah-sekolah menengah di kota-kota kecil dan pedesaan… Siapakah yang paling “perempuan” antara para Sastrawangi dan para perempuan (muda dan tua) “biasa” yang menjadi tetangga rumah kita (the women next door)?
Apolitisme prosa para Sastrawangi ini, ironisnya, malah dianggap sangat politis oleh para sastrawan laki-laki tua Horison Manikebuis! Justru para apolitis tua, para Patriark inilah yang pertama-tama mengklaim betapa “sadar politik jender” para Sastrawangi tsb! Cuma karena para Sastrawangi ini berani buka-bukaan dalam prosa mereka, juga dengan pakaian mereka!
Makanya tidak dianggap “artistik” atau “bermutu” atau “dahsyat” karya sastra para perempuan muda lain, yang mungkin bahkan jauh lebih “cantik” dan muda dibanding kaum Sastrawangi tsb, yang menolak untuk buka-bukaan dalam fiksi mereka, dengan pakaian mereka, yang memilih untuk menulis tentang kehidupan Islami misalnya. Pernahkah kita membaca ada “kritikus” sastra membahas fiksi para pengarang perempuan Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Begitu jelekkah fiksi mereka? Kenapa jelek? Apa ukuran yang dipakai untuk menjelekkannya?
Kalau fiksi para perempuan muda Forum Lingkar Pena dinilai dengan standar buka-bukaan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya, tentu saja jelek amat hasil karya kelompok Forum Lingkar Pena itu. Tapi bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau standar “estetika” Forum Lingkar Pena yang jadi kriteria penilaian prosa Ayu dan Djenar dkk? Apakah lucu membayangkan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu memakai jilbab? Kok bisa lucu? Apa yang menyebabkan timbulnya rasa lucu yang lebih bersifat mengejek jilbab itu? Apakah jilbab bukan simbol “perempuan” dibanding bunga Kantong Semar yang bernama laki-laki itu atau Rafflesia yang bau itu?
Internalisasi ideologi “seni untuk seni”, seni yang apolitis, seni Horison Manikebuis, seni Humanisme Universal, telah begitu kuat dalam diri mayoritas sastrawan, dan juga pembaca sastra, kontemporer Indonesia. Makanya terasa wajarlah, normallah ideologi tsb bagi kita. Seniman tidak perlu berpolitik, tapi berkaryalah! Seolah-olah “berkarya” itupun bukan sebuah sikap politik. Tak ada faktor di luar teks sastra yang mempengaruhi baik-buruknya mutu teks, demikianlah keyakinan umum dalam Sastra Indonesia.
Politik sastra juga dilakukan oleh koran Kompas dengan seri-antologi Cerpen Pilihan Kompas dan kelompok Teater Utan Kayu (TUK). Penerbitan tahunan seri-antologi Kompas tsb telah berhasil membentuk opini publik sastra yang positif atasnya. Saat ini seri-antologi tsb sudah berhasil masuk dalam kanon cerpen Indonesia dan para cerpenisnya pun sudah dianggap cerpenis “bermutu” Indonesia. Dua faktor yang paling mempengaruhi interpretasi dan resepsi atas seri-antologi tsb adalah pertama, reputasi Kompas sendiri sebagai koran nasional yang paling besar oplahnya dan paling banyak dibaca kaum intelektual kota besar kita. Faktor jurnalistiknya sebagai koran kaum intelektual nasional tidak bisa tidak diperhitungkan. Kedua adalah strategi pemakaian (Kritik) Kata Pengantar dan Kata Penutup yang rata-rata ditulis oleh nama-nama yang dianggap “otoritas” sastra Indonesia. Keberadaan Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh para otoritas sastra tsb telah mempengaruhi bagaimana pembacanya harus membaca seri-antologi itu. “Kesastraan” (literariness) dari seri-antologi itu terjamin sudah oleh keberadaan tulisan para otoritas sastra tsb.
TUK adalah satu-satunya kelompok “Teater” di sastra kontemporer kita yang paling serius berambisi untuk mendominasi dunia sastra kita. Bukanlah sebuah kebetulan belaka bahwa embrio kelompok Teater yang tidak pernah mementaskan produksi teater ini lahir setelah memudarnya zaman keemasan majalah Horison (dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta), setelah pecahnya Kelompok Horison Manikebuis menjadi Kelompok Goenawan Mohamad dan Mochtar Lubis dkk. Kita tentu masih ingat bahwa Kelompok Goenawan Mohamad sempat menerbitkan satu edisi majalah Horison versi mereka sebelum akhirnya memulai penerbitan majalah Kalam yang kemudian menjadi ikon TUK itu. “Kemenangan” dan publikasi novel salah seorang anggota TUK, Ayu Utami, Saman, merupakan peristiwa bersejarah pertama dalam politik sastra TUK. “Kemenangan” naskah “fragmen” novel ini sendiri di sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998 masih bisa dipersoalkan “kebenaran”nya. Lalu, manipulasi komentar Pramoedya Ananta Toer di sampul belakang novel yang diterbitkan itu, yang menjadi seolah-olah memuji tinggi novel tsb. Terakhir “kemenangan” Ayu Utami – “karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam masyarakatnya” seperti tertulis di halaman belakang novelnya Larung – atas Prince Claus Award di Belanda pada tahun 2000 padahal terjemahan bahasa Belanda (atau bahasa lainnya) novel satu-satunya yang pernah ditulisnya saat itu, Saman, belum ada, sehingga sangat masuk akal kalau menimbulkan pertanyaan bagaimana para juri Prince Claus Award “tahu” tentang kehebatan novel tsb. Siapakah yang menjadi “narasumber” kehebatan novel tsb? Kalau komentar pengarang sekaliber Pram saja tidak malu-malu mereka manipulasi di dalam negeri sendiri, bagaimana di luar negeri sana lagi?!
Politik sastra TUK makin dipercanggih dengan berhasilnya TUK “memindahkan” festival (lebih tepat disebut expo sastra kolonial) bernama Winternachten di Den Haag, Belanda ke Indonesia yang akhirnya diganti namanya menjadi Utan Kayu International Literary Biennale. Promosi tentang “internasionalisme” acara baca-sastra mereka ini ternyata ampuh dalam mempesona kebanyakan sastrawan muda Indonesia yang, bisa dipahami, berambisi besar untuk cepat-cepat go international. Seandainya saja para pengarang muda kita ini tidak begitu buta akan peta sastra internasional kontemporer yang sebenarnya tentu mereka tidak akan begitu saja terpedaya dengan klaim “internasional” pada nama acara sastra TUK ini dan sadar bahwa yang “internasional” hanyalah nama dan asal pesertanya saja. Di luar itu, tak ada yang “internasional” di acara Utan Kayu International Literary Biennale.
Seperti pada kasus Cerpen Pilihan Kompas, Biennale Sastra TUK pun akhirnya dianggap menjadi jalan menuju kanon sastra Indonesia. Seperti yang dengan penuh percaya diri pernah diungkapkan Direkturnya, Sitok Srengenge, bahwa sastrawan Indonesia baru dianggap sebagai sastrawan Indonesia setelah diundang dalam acara sastra TUK semacam Biennalenya yang “internasional” itu. Kita memang dianggap sangat kampungan pergaulan kita oleh Sitok Srengenge sampai legitimasi kita sebagai Sastrawan Indonesia pun harus berijasah “TUK” dulu baru sah diakui.
Politik sastra TUK tidak berhenti hanya pada penyelenggaraan Biennale Sastra yang merupakan legitimasi kesastraan sastrawan Indonesia (bagi para sastrawan “internasional”nya itu tentu saja, dan sebaliknya) seperti yang dinyatakan Sitok Srengenge di atas tapi juga meluas ke penguasaan media massa yang punya posisi penting dalam percaturan sastra kontemporer kita. Kompas pun akhirnya berhasil dirangkul melalui Hasif Amini yang menggantikan Sutardji Calzoum Bachri sebagai redaktur rubrik puisinya. Kita tentu saja bisa bertanya: Kok Hasif Amini? Apa kredensial orang ini dalam hal puisi padahal dia tidak dikenal sebagai penyair ataupun sastrawan malah? Seperti Sutardji, dia bukan wartawan Kompas, tapi “diundang” dari luar. Fakta inilah yang membuat kita berhak mempertanyakan alasan pemilihan Hasif Amini yang orang TUK itu dibanding orang lain dan fakta bahwa reputasi jurnalistik Kompas akan sangat mempengaruhi resepsi pembaca atas puisi-puisi yang dimuat tiap Minggu, seperti pada kasus cerpen Kompas.
Politik kanonisasi sastra TUK memiliki dua wajah. Di dalam Indonesia, TUK berusaha membentuk jaringan ideologis dimana pusat pengaruh legitimasi identitas kesastrawanan pengarang Indonesia ada di tangannya, disadari atau tidak oleh sastrawan yang terjaring di dalamnya. Biennale Sastra TUK, posisi Hasif Amini di Kompas Minggu sampai keterlibatan TUK dalam seleksi siapa sastrawan lokal yang pantas ikut acara Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali merupakan prakteknya. Sementara ke luar Indonesia, TUK berusaha menciptakan identitas-diri sebagai satu-satunya institusi sastra(wan) yang paling representatif mewakili sastra(wan) Indonesia, demi berbagai maksud dan tujuan. Pembentukan jaringan pengaruh atau politik kanonisasi sastra di dalam Indonesia sangat penting artinya bagi strategi “hubungan internasional” TUK ini.
Sekarang timbul pertanyaan: Kenapa TUK harus melakukan semua ini? Apakah demi tujuan luhur untuk (di dalam Indonesia) mengangkat mutu dan (di luar Indonesia) derajat sastra(wan) Indonesia? Sejarah yang akan membuktikan saya benar atau salah.
Pada umumnya politik kanonisasi sastra diyakini lebih banyak dipengaruhi oleh politik kekuasaan demi kepentingan ideologis, politis dan nilai-nilai ketimbang sekedar karena kedahsyatan artistik karya. Pada saat yang sama politik kanonisasi sastra juga membuktikan betapa naifnya, betapa ahistorisnya, betapa tidak membuminya, para sastrawan yang masih yakin bahwa teks sastra adalah segalanya, bahwa tidak ada apa-apa di luar teks sastra, apalagi yang bisa mempengaruhi eksistensinya, bahwa “substansi” sastra adalah ukuran karya sastra, karena “substansi” sastra adalah “estetika” sastra yang “sublim”, sastra yang menjadi itu.
Marilah kita mulai belajar dewasa dalam bersastra.
Jogja, Oktober 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar