Ratna Indraswari Ibrahim
http://www.jurnalnasional.com/
Hari ini Ferlin berumur dua puluh tahun.
Tidak bisa lagi melanjutkan sekolah, seperti sahabat-sahabatnya se-SMA. Bulan ke mancanegara, Lia masuk ke salah satu perguruan tinggi swasta terbaik di Jakarta. Sedang Ferlin di sini, cuma mencuci baju!
Melihat wajahnya di air yang penuh busa sabun. Buih-buih busa berwarna-warni.
Ferlin meniup buih-buih busa itu.
Dulu, waktu ulang tahun Bulan, teman sekelasnya di SMA, Ferlin (dengan baju yang dipinjamkan oleh Bulan) memasuki ruang sebuah hotel, menikmati makanan dan kue ulang tahun Bulan yang ke-17. Itu memang cuma sekali dirasakan. Suasananya persis seperti sinetron yang sering ditonton. (TV sedang macet. Bapak bilang belum punya uang untuk memperbaiki TV itu).
Dibantingnya baju kerja Bapak, yang satpam hipermart itu. TV menyala, merasuki tubuh Ferlin. Ferlin melihat dirinya dengan baju bagus yang serba-in. Bersama teman-teman mengunjungi acara ulangtahun di kafe, di sana bertemu dengan banyak lelaki yang berparfum mahal. Dia cantik. Oleh karena itu Ferlin bisa ngobrol santai dengan Tomy (pendatang baru dalam sinetron).
Tiba-tiba adik kecilnya bilang, “Mbak, saya mau kencing.” Ferlin melihat adik dengan marah dan menariknya ke kamar mandi. “Lain kali, kalau aku lagi sibuk jangan minta kencing!” Adik mengecilkan tubuh dan melihat kemarahan di mata, Ferlin.
Kembali, Ferlin mencuci baju ini. Dia merasa ada yang menekan perasaannya. Sungguh, Ferlin tidak ingin seperti Bulan, (yang bisa kuliah ke mancanegara) cukup seperti Lia saja, yang bisa kuliah di Jakarta. Yah, dia tidak lebih goblok dari mereka. Lagipula, di cermin, dirinya perempuan yang lampai. Dengan kulit kuning langsat.
Sesungguhnya, Bulan dan Lia sepakat, bahwa untuk penampilan, Ferlin sudah memiliki kulit yang mulus, rambut lurus tergerai dan baju yang in (baik Bulan maupun Lia kadang-kadang memberi dia baju, kalau mereka berdua sudah merasa lemari pakaianya harus diganti isinya). Sungguh, Ferlin selalu berdandan seperti mereka. Kadang, dia selalu bisa membujuk ibunya untuk membeli baju semodel itu. Sekalipun, ibu harus mengurangi uang jajan adik-adiknya. Ferlin selalu punya alasan.
“Ibu kan ingin, aku dapat suami yang kantoran, kalau aku tidak berbaju seperti perempuan moderen, laki-laki mana yang mau denganku? Ibu kan tidak suka aku menikah dengan Tono yang kerjanya tukang ojek itu. Aku juga merasa Tono suka kepadaku, tapi aku tidak bisa bayangkan menikah dengan Tono, yang sehari-hari penuh debu dan bau keringat. Kalau aku jadi istrinya, paling-paling nasibku sama seperti ibu, dengan uang belanja yang pas-pasan. Aku ingin seperti Bulan atau Lia yang punya pacar cakep dan anaknya orang kaya.”
Namun, ibu bilang, “Bapakmu cuma satpam, mereka pasti memilih Bulan dan Lia, bukan kamu yang anaknya orang miskin ini. Yang kaya pasti cari pasangan sama-sama kayanya, meski secantik apa pun kamu.”
Ferlin, tidak sepaham dengan ibunya. Ferlin mencuci selimut yang sudah kusam ini. Dia membanting-bantingkan pada papan cucian dan buih-buih busa bertebaran warna-warni.
Ferlin, memasuki sebuah kafe, bersama seorang lelaki yang menjemputnya tanpa perasaan risih, dari rumahnya yang kusam dan sudah tua. Lagi pula rumahnya berada di sebuah gang sempit di kota ini. “Aku tidak pernah peduli pada rumahmu. Aku lebih suka melihat apa yang ada pada dirimu.”
Ferlin, merasa tersanjung dan semakin yakin, dirinya adalah perempuan cantik, secantik bintang-bintang sinetron, sekalipun tidak dipoles dengan make up dan baju mahal. “Kamu adalah mutiara dalam lumpur. Saya tahu itu”. Ferlin merasa terloncat, dia tidak mau bertanya lagi. Mengapa harus dia yang terpilih. Bayangkan, kafe mahal ini tempat para selebriti biasa berkumpul menghabiskan hari-harinya.
Ketika Ferlin masuk, semuanya seperti terpana. Baik laki-laki maupun perempuan menyapa lelaki itu, sembari menanyakan, siapa dirinya! Seharusnya mereka tahu, Ferlin adalah Putri Lingkungan. Yang kecantikannya tidak kalah dengan para selebriti itu. Kemudian, terdengar suara pintu dibanting, ibunya datang mulai ngomel. “Kamu belum juga selesai mencuci selimut itu. Padahal, aku sudah bekerja selama sepuluh jam untuk kita semua.”
Ferlin, muak mendengarkan itu. Dia harus meneruskan cerita tentang dirinya dengan lelaki itu. Lelaki itu berbisik kepadanya. “Kamu seperti magnet-magnet yang tidak terkalahkan oleh baju bagus, parfum, dan make-up mereka. Aku punya ide, mendandani kamu seperti selebriti dan pasti akan banyak sekali produser menawari kamu untuk peran sinetron mereka yang baru.”
Memang waktu di SMA dulu, guru teaternya bilang, dia punya potensi untuk itu. Tapi untuk mengembangkan bakat, selalu membutuhkan uang, uang, uang!
Dengan sebal, Ferlin menyelesaikan mencuci selimut tua itu. Sebetulnya, dia sudah lama ingin mencampakkan selimut bapaknya. Ferlin kemudian menangis, sekali lagi, Bulan dan Lia yang tidak cantik, harusnya tidak seberuntung itu, karena kalau orang mau jujur Bulan dan Lia tidak secantik dirinya! Sejak kecil setiap orang memuja-mujinya, sebagai perempuan cantik. Banyak tetangganya bilang, “Kamu sebenarnya tidak pantas menjadi anak ibu bapakmu yang miskin dan hidup di gang sempit ini, sebab wajahmu seperti para bintang sinetron.”
Ferlin percaya itu. Oleh karenanya, waktu sekolah dulu, dia tidak terlampau resah, banyak lelaki maupun perempuan yang mau menjadi temannya. Ketika diadakan pemilihan Putri Lingkungan se-SMA (dengan baju yang dipinjamkan oleh Lia), Ferlin bisa ikut serta dan berhasil menjadi juara ketiga dari seluruh SMA di kota ini. Pada waktu itu, semua guru dan teman-temannya memberi selamat. Mereka ikut bangga ketika wajahnya terpampang di koran lokal. Jadi, apakah ini adil, nyatanya sekarang, ( Ferlin yang Putri Lingkungan ) cuma mencuci baju di rumah! Dan malam tadi ibunya bilang, “Sebaiknya kau menggantikan Mbak Tatik, yang ikut suaminya keluar Malang, agar kau mendapat uang dari hasil melinting rokok. Dengan begitu kau bisa membeli baju dan keperluan lainnya, untuk dirimu sendiri. Siapa tahu ada lelaki baik, yang akan menikahimu. Apalagi, usiamu kini sudah 20 tahun, sudah dua tahun kamu menganggur setelah lulus SMA.”
Dia benci mendengar itu, tentu saja akan diterimanya pekerjaan sebagai pramugari dengan senang hati, jika ada yang menawari. Dengan begitu, dia akan terbang dari satu kota ke kota yang lain, punya banyak kesempatan untuk lebih mengenal para lelaki tampan dan kaya.
Tentu saja, dia tidak bisa menceritakan itu kepada siapapun. Sahabatnya, Lia dan Bulan sudah tidak pernah kontak lagi dengannya. Tidak tahu lagi kabarnya, walaupun Bulan dan Lia pernah melanjutkan kontak ini dengan e-mail. Tapi, ibu tidak pernah memberi uang tiga ribu hanya untuk membalas e-mail sahabatnya itu. Menurut Ibu, itu bisa untuk membeli sepotong tempe yang akan dimakan sekeluarga. Ferlin terhenyak. Seharusnya Ibu tidak lagi mempersoalkan sepotong tempe, yang kata Lia, “Kita harus punya akses ke internet, kalau tidak ingin ketinggalan kesempatan kerja dan berkarier.”
Ferlin menyesal, seharusnya kedua orang tuanya mengerti itu. Dia ingin seperti teman-teman SMA-nya dulu. Desakan ibu untuk bekerja di pabrik rokok, sebagai buruh linting, menyakitkannya. Seharusnya, kedua orangtuanya bisa menyekolahkannya. Sungguh mengherankan teman sekelasnya, Nia, yang ekonomi keluarganya, seperti orangtuanya, bisa mengambil D3 bahasa Inggris, entah dengan cara bagaimana. Kalau, bercerita pada ibu tentang Nia, ibu akan menyahutinya dengan marah-marah.
***
Ferlin melihat dari kaca mobil, lampu yang berkedip, gedung-gedung yang indah. Di salah satu gedung itu, dia masuk (butik yang termahal di kota ini) dia menawar sebuah gaun hitam dengan kredit card, yang didapat dari calon suaminya. Gaun hitam itu, semodel seorang bintang sinetron yang sedang menghadiri ulang tahun temannya.
Ferlin melihat ibunya masuk ke kamarnya dengan wajah lega, “Aku sudah katakan pada Bu Mandor, Bu Mandor setuju, kamu menggantikan Tatik. Bu Mandor menganjurkan, mulai besok kamu harus belajar melinting dulu. Kamu harus bersyukur, banyak sekali yang ingin bekerja di sana.”
Ferlin diam saja. Dia melihat dirinya dalam gaun pengantin Eropa, serbaputih dan beberapa anak kecil terpaksa memegang ujung gaunnya yang menyapu lantai. Di sampingnya, bukan Tono atau Bambang, tetapi lelaki (yang bertemu di mal) yang menurut Lia cuma teman. Lia tidak mengatakan lelaki itu pacarnya. Jadi boleh saja, dia masuk sebagai kekasihnya.
Ferlin akhirnya mendapat lima ribu rupiah dari ibu, yang menganggap Ferlin selalu memboroskan uang belanja. Dia ingin sekali mengejar lelaki, yang bersama Lia itu. Dia menelepon ponselnya Lia, dan Lia bilang, “Lelaki itu, teman kerja kakaknya di Jakarta, atau calon suami Mbaknya!”
Pulang ke rumah, Ferlin merasa dihantam, cuciannya kali ini penuh ompol dari adiknya paling kecil. Kalau dia tidak mencuci, adiknya bisa kehabisan celana di musim hujan ini. Ferlin tiba-tiba menangis keras. Dua adiknya segera datang, “Mbak, sampeyan sakit tah?” Ferlin mengusir adiknya dengan batu-batu kecil di sekitar sumur. Apakah, dia sampai mati harus dan hanya berada di seputar sumur untuk mencuci.
Desas-desus sudah lama terdengar, walaupun bertengkar seru dengan orang tuanya (tidak sepakat) Bambang ingin melamar Ferlin, di hari dan bulan yang baik. Itu tentu saja sudah dikatakan kepada Ferlin berulang-ulang. Tapi Ferlin merasa tidak pernah menjadi pacarnya. Kalau dia mau diajak jalan-jalan, sekadar untuk menghilangkan stres dirinya. Ferlin memang paling suka makan bakso. Ferlin mengatakan kepada dirinya sendiri, dia akan menolak kalau orang tua Bambang datang dan melamarnya. Mudah-mudahan, berita ini tidak terdengar oleh ibunya. (Ibu selalu menganggap, Bambang yang tukang mebel itu pantas menjadi suaminya). Padahal Ferlin kan Putri Lingkungan!
Ferlin merasa kalau tidak ada jodohnya lagi di sini, dia harus ke mal supaya bertemu, lelaki yang punya masa depan! Tapi, ibu tidak pernah memberi uang untuk keperluan itu. Ibu selalu tidak paham bahwa semuanya itu perlu uang. Bukankah ibu sendiri pernah mengatakan, untuk mengambil menantu yang baik, kita harus punya modal. Jadi, tidak mungkin memancing kakap dengan cacing, pastinya dengan udang. Tapi ibu cuma ngomong saja. Kalau dimintai uang untuk keperluannya, Ibu selalu marah.
Dan berkata, “Aku dan bapakmu sudah bekerja keras untuk anak-anak dan embahmu. Sudah waktunya kamu bekerja membantu kami, karena tadi siang bapakmu diberhentikan dari pekerjaannya. Sekarang kita semakin miskin.” Kemudian, Ibu menangis sangat keras sekali!
***
Ferlin berada di lift plaza yang baru dibuka. Seorang lelaki menanyakan nama, alamat rumahnya dan Ferlin menjawab dengan malu-malu. Namun lelaki itu tidak pernah menghiraukan jalan menuju rumahnya, bukan daerah tempat orang kaya. Lelaki itu berkata, “Aku akan mengunjungimu. Aku seorang pangeran yang berasal dari negeri yang jauh di seberang sana. Aku sudah lama mencarimu. Orang pintar di negeriku bilang, kita akan bertemu di sini.”
Ferlin tersenyum, dia ingin menceritakan itu kepada orang-orang yang ada di rumahnya. Dan yang ini bukan sebuah mimpi lagi. Lelaki itu datang ke rumahnya mereka bercinta di sebuah tempat yang cantik, berenang di samudra biru tanpa tepi. Ferlin merasa tercekik, namun keindahan mengaliri seluruh urat nadinya. Dan pada suatu hari, ada pesta pernikahan yang megah antara Ferlin dengan lelaki yang datang dari seberang lautan itu.
Suatu kali, setelah beberapa bulan pernikahan, mereka jalan-jalan di plaza, di tempat mereka bertemu untuk pertama kalinya. Lelaki itu berkata, “Marilah kita naik lift seperti ketika kita pertama kali bertemu.” Namun, ketika berada di dalam lift, lelaki itu tidak ada lagi di sebelahnya!
Ferlin, mencuci bajunya, tadi dia cuma mendapat tujuh ribu limaratus rupiah dari hasil melinting rokok hari ini. Yang lima ribu, untuk beli lauk buat makan siang sekeluarga, dan Ibu bilang yang dua ribu limaratus harus diberikan pada bapak untuk beli rokok!
Malang, 7 Januari 2007 s/d 28 Februari 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 27 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar