Selasa, 04 Mei 2010

HIKAYAT KERIS GANDRING DAN TERBUNUHNYA TUNGGUL AMETUNG

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=467

Malam suram, tiada hadir secerca bintang pun wajah molek bulan. Ken Angrok dengan tubuh kesatria menunggangi kuda hitam, menembus alam tanpa bayangan. Menderu terjang tiada keraguan, seringkikan binatang. Menakut-nakuti kawanan srigala yang biasa bertengger di bukit kapur tua.

Hanya dedaun buta saksi geraknya. Dan angin dingin senafasan tersengal nafsu Angrok. Lewat sentakan kencang, menghabiskan malam panggang tanpa percakapan di tengah perjalanan. Bathin menggerutu nalarnya mendidih. Menguap sekabut pegunungan merapi yang mengepul seasap tobong terbakar.

Sampailah di jalanan pesisir lautan diam, batuan karang terinjang bersimpan dendam. Langkahnya terus maju menerjang, hadirkan nasibnya demi dapati ketentuan. Betapa darahnya bergolak serupa pemuda lajang tercuri hatinya, ditawan bingkai kalbu seorang wanita. Ia masih dihantui wajah cantik yang telah diperistri takdir jahannam.

Telah jauh dari tapal batas kota, pula tinggalkan bencah pasir memasuki gapura dusun. Teramat sunyi, darahnya tambah naik melampaui batas kerinduan sepi. Yang beterbangan setarikan awan-gemawan dijelmakan hujan amarah. Ia hentikan langkah kudanya di depan pendapa Empu Gandring. Sedang rumput-rumput bunga mengitari, awalnya penuh damai.

Tersentak kedatangan sang penakluk. Dengan kaki tegap turun dari kuda tanpa sungkan membuang segan, Angrok menghadap Pu Gandring. Sang Empu sudah tahu gelagat alam kurang sedap. Yang dikabarkan kembang prabusetmata atas sederet alisnya, seperti kumis kucing mengincar mangsa.
Ki Empu mencium musibah kan menimpa, pada dirinya juga pemuda tanggung yang datang tanpa sungkem.

Tapi benarkah demikian? Mari diteruskan mengikuti rekamanku kala terjaga. Ini sentakan telak menyadarkan. Bukan alur juntrung menghempas, tapi hakikat hikayat melampaui logika penembusan sejarah. Tanpa kesopanan Angrok berucap:

Buatkan aku sebilah keris terbaik kesaktiannya. Carikan batu granit demi mutu tempaan dalam, sebelum besi baja kau semat dikulitnya. Ciptakan luk tujuh, itu bilangan hari kisah kejayaan dunia. Gagangnya carikan kayu cendana yang tumbuh di tengah malam purnama. Jangan lupa rendam dengan kembang tujuh rupa, disamping taburan garam dari samudera Hindia.

Aku berharap keris tersebut tiada menandingi, setiap orang melihatnya terkesima hingga kaki-kakinya membatu setelah kesemutan. Perhatikan juga jangan lama. Setengah tahun cukup kukira. Rampung tidak aku kemari mengambilnya. Jikalau tak menurut, tentu sudah hafal siapa diriku, dan yang akan kuperbuat demi kemanusiaan kelak. Maka persiapkan keharusanmu, sebelum kunamai pengecut yang mempecundangi bakat luhur abadi.

Ki Empu minta tambahan waktu. Sebab dengan masa sesingkat itu, sebilah keris ampuh belumlah utuh. Namun perbincangan bertelingakan satu. Angrok tetap bersikeras ditepati. Dialog tidak imbang, mencederai telinga pun menjulingkan mata. Takdir berubah cepat. Angrok tinggalkan perkara tidak mudah bagi Empu juga dirinya. Yang teridam hanyalah dendam merebut Ken Dedes ke dalam pelukan.

Angrok dapat dibilang kurang gagah dibanding Tunggul Ametung. Tapi ketampanannya sanggup menyedot gravitasi para wanita, bagi memandang teriris hatinya. Semangatnya membara, menuntut keinginan jauh melampaui orang-orang sejaman.

Dengan raut kusam, Ki Empu melihat punggung Angrok tinggalkan pendapa. Seolah baru disergap malaikat maut dari segala arah, atas todongan gairah terus membuncah. Lalu Ki Empu bersemedi, menata bathiniah demi sebilah keris sakti gagasan pemuda brandal.

Siapa pembuat keris, apa benar Empu Gandring? Setiap pesanan khusus ialah sang pemesan penciptanya. Empu hanya menampilkan energi pemesan, diselusupkan dalam sebuah karya.

Denting batuan granit setempaan kekukuhan niat Angrok merebut Dedes. Olesan minyak di lempengan baja, cermin kejernihan Angrok menangkap situasi, mensiasati nasibnya menaiki gelanggang pergolakan. Setiap luk keris putaran berfikirnya Angrok dalam menyikapi tragedi jiwa, bertumpuk rindu mendendam.

Ki Empu hanyalah tangan panjangnya. Sebab tanpa keris, Ametung pun mati atas semangat Angrok. Dan perintah pembuatan senjata, sekadar penghormatan kepada keduanya. Angroklah penciptanya. Ki Empu hanya menyulap gairah Angrok menjelma lempengan bermutu sebanding sama menyala.

Siang hari, Pu Gandring mencari tetumbuhan ramuan ke hutan, malamnya melanjutkan ritual. Meliriti besi baja mengolesi minyak ajaib serta bermeditasi demi sempurna. Sebuah karya Angrok yang takkan pudar riwayatnya di tlatah Jawa Dwipa.

Di lain tempat Angrok menggalang kekuatan kudeta, agar disetujui khalayak. Para menteri ketakutan bagai tikus kali. Pengawal Ametung dianggapnya anjing-anjing lapar, sekali lempar daging memuji tuan. Angrok, insan faham meramu kesempitan berkesempatan, membalik ciut menjelma kelapangan. Selalu menilik gejala alam diri pula luaran.

Lama sudah setubuhi laguan hayat dianggapnya berdaya mengukuhkan, yang sudi menghisap makna perjalanan. Pemilik watak keras bukanlah karang, tetapi ombak melukis dinding terjal. Kesadaran bayu langkahnya. Hingga pemerhati sepak terjangnya mencemasi masa membadai tak terkendali.

Ia musikus keheningan bathin, pelukis aliran darahnya, penyair disetiap tarian lidahnya. Namun apa daya, keindahan seni mengalir di tubuhnya berasal rindu dendam paling purba. Laksana pemahat tak mapan menjadi tentara, berkesempatan terbaik mencium darah pesaingnya. Seorang ditakdirkan selalu sukses dalam suksesi. Semua jalur dilalui tertunduk nasib besarnya.

Angrok, sang revolusioner tanpa pengetahuan, referensinya tragedi sekitar dan tak diambil kecuali menggasak lebih; bibir merona, mata gemerlap, alis melengkung sepohonan bukit barisan, janggut lancip ke bawah ngarai disiram hujan. Haus percumbuannya segeraian cemara bercampur bau fajar.

Setiap malam, menghitung kalender di balik jendela remang. Sebilah keris setubuh cantik cahaya Ken Dedes, yang matanya sendu jikalau lama tak dikunjungi berkasih sayang. Enam bulan sudah menanti waktu panggilan hasrat. Di senjakala hari terakhir Pu Gandring meliritkan keris naas. Angrok menaiki kuda jantan bersuara deru mendebu beterbangan, awan-gemawan mengawasinya ketakutan.

Mengendarai kerinduan membukit pendendam akan waktu-waktu diperhitungkan. Langit makin legam, kala kalender tua tersobek hari kebangkitan. Melalui pohonan waru berkulit temali pecut, randu-randu sekapuk mayit. Melintasi pepohonan jati menegasi jati diri dan atas trembesi di bathinya membesi.

Ribuan jarak rumput terinjak, disapunya ilalang berangin juang. Batu-batu tangga kesaksian, telaga dilihatnya memalingkan air muka. Angin dingin berhembus jinakkan nyali tetumbuhan sekitar pendapa. Ki Empu gemetaran mendapati firasat pahit menjemputnya pulang, ke negeri sangat asing dari pesawahan.

Kesahajaannya runtuh atas perasaan berkecamuk tanpa tahu gerangan kan terjadi. Teringatlah siang-malam melilit keris demi pemuda deladapan menggapai keyakinan. Dan sebelum rampung menghafal raut Angrok. Turunlah sedari kuda takdir. Dehem keras seguntur menakuti langit, kilatan matanya selaksa petir menyambar ke sudut-sudut terpencil.

Sampailah suara Angrok ke telinga; wahai Ki Empu perkasa, penyimpan kearifan pendahulu utama, di manakah kerisku? Aku telah menunggu hingga membatu tekatku, penantianku menimbulkan kesurupan setiap kali mengingat.
Terngiang harapanku sejarah anak manusia tanpa penghulu, menghujam meminta seorang pujaanku. Nilai terkandung abadikan dirimu dalam catatan waktu. Bersyukurlah kuberi tugas, tak semua orang kuperintah selain yang mulia.
Itu keagunganmu, aku tak pernah mengangkat tinggi penghormatan sebelumnya. Maka di manakah hakku?

Sabar duru anak muda; kata Pu Gandring. Keris yang kau pesan itu belum kulambari asmak kepurnaan. Apa jadinya tanggung sekawanan mendung keraguan, kan mendatangkan petaka. Namun Angrok gelap mata, direbutnya keris dari tangan Gandring atas nafsu membara. Sang Empu bersikukuh memegangi.

Angrok lantang berkata; Hai Ki Empu, keris itu jiwaku. Kau tak mungkin bisa menciptanya tanpa semangatku. Itu bukan hakmu dan kewajibanmu memberikan padaku. Kau telah kuberi kebesaran mencipta apa maumu, namun kenapa sekarang angkuh. Adakah kau cemburu atas keris itu, dimana sebagai penjelmaan kepribadianku?

Kala Pu Gandring mendengar ocehan Angrok, terlena sebocah dirayu janji gula-gula. Tidak disia-siakan merebut paksa. Tapi Empu bukan sembarang orang, gesit menampilkan halau serbuan. Bertarung pun jadi. Keduanya berebut keris jati diri. Takdir telah digariskan, hari dimana Angrok membunuh. Maka segenap dinaya Gandring hanya pertahanan mencapai titik lelah. Sedang perburuan Angrok sudah tertandakan langit paling malam, pun kedalaman lautan sangat kejam.

Dalam sekarat melaknat; Angrok. Aku telah kau tikam keris itu, maka kau dan ketujuh anak turunmu, kelak binasa dengan keris itu juga. Angrok menyesali tindakannya terlalu gegabah, mencipta takdir lain dan kutukan menjadi kenyataan esok. Bukan lantaran kesaktian Gandring, tetapi sesal menghantui Angrok dibawahnya pulang terlaksana. Rasa bersalah, ialah maut bersimpan perasaan was-was gentayangan.

Angrok menemui Ken Dedes di puri. Tanpa sepengetahuan keduanya, Tunggul Ametung menyaksikan mereka saling berkasih rindu, menghabiskan waktu menjelang senja ungu. Ametung mengawasi serupa kelinci mengendap-endap. Senja larut mengumpulkan kesumatnya, tetapi tak mau menumpahkan saat itu juga. Lantas malam pun terjadi.

Malam kamis kliwon Ametung terjaga, mondar-mandir di ruang tengah. Menggaruk kepala bukan apa, serasa ada yang mau hilang darinya. Dedes tertidur pulas mengimpi hari esok bersua kembali, dengan Angrok pujaannya di puri. Malam itu Ametung tak melihat wajah istrinya, Dedes pun tak hawatir sama sekali. Seanak hilang menemui kejelasan pada raut Angrok, ialah kembang mendapati angin segar gerimis.

Ametung masih berlalu-lalang tak memasuki bilik Ken Dedes. Geramnya merencanakan pertarungan jantan, antar dirinya dengan pemuda keparat, Angrok. Dasar alur cerita telah ditentukan, Ametung tersirap ilmu megananda sang penggagas sejarah gemilang Shingosari. Tidak dapat menahan kantuk memberat, tetap tak beranjak ke pembaringan. Seolah tiada gampang menyirapnya meski sekejap.

Tapi sial, angin pagi menyergapnya dari segala penjuru. Terkantuk lelap di ruang tengah di atas kursi kuasanya. Angrok, yang menguntit sejak dari puri menyaksikan gerak-geriknya sudah mencium sedap maut. Darah Ametung telah diraup angin gerilya. Dengan leluasa, Angrok menancapkan keris Gandring atas hasratnya. Menusukkan ke uluh hati Ametung, sampai malaikat maut tak segan mencabut nyawa.

Segala endapan menerima ganjaran, yang tanggung menemui kejelasan, rindu bertemu ciuman merah. Akhirnya, penguasa tanpa diragukan takut peniruan waktu-waktu busuk, membakarnya dengan hasrat menyala. Memuji lawan sisi terang, menghargai sebagai kehormatan. Empu Gandring tanpa Ken Angrok tak kan dikenang.

Jawa, Malang – Lamongan.
Dasar tulisan dari buku “Penulisan Sejarah Jawa,” karangan C.C Berg, yang diterjemahan S. Gunawan, terbitan Bhratara Jakarta 1974.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae