Catatan Kecil atas Berbagai Gagasan Besar
Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
“Kunci kemajuan sebuah bangsa terletak pada pendidikan” (Fukuzawa Yukichi (1835—1901), Bapak Pendidikan Modern Jepang)
Membaca sebuah buku antologi, boleh jadi kita merasa laksana dibawa masuk ke sebuah lanskap yang penuh panorama. Dari sana, tema-tema yang beragam seperti hendak saling menyerbu dan memaksa kita (pembaca) melakukan pilihan-pilihan. Jika keberagaman tema yang dihadirkan itu mengesankan berbagai gagasan yang fragmentaris, maka tugas pembaca kemudian mencoba mencari benang merahnya. Mencoba pula menemukan pesan keseluruhan yang hendak disampaikannya. Bagaimana hubungan dan keterkaitan antara tema yang satu dan tema yang lain. Bagaimana pula masing-masing tema itu menyatakan diri dan menyampaikan pesan sponsornya. Apakah ada pesan holistik atau ideologis yang melatarbelakangi dan melatardepani keseluruhan tulisan-tulisan itu.
Dalam hal itulah, buku antologi kerapkali menghadirkan dua hal yang seperti berjalan sendiri-sendiri. Di satu pihak, pembaca disodori oleh tema yang beraneka ragam yang tentu saja memberi hal, wawasan, atau bahkan masalah baru. Jika disikapi secara arif, niscaya ia menjadi penting untuk meluaskan cakrawala pengetahuan kita. Tetapi, di lain pihak, ia cenderung diminati oleh pembaca yang merasa mempunyai kepentingan dengan satu atau beberapa tema saja dari sejumlah tulisan yang ada di sana. Akibatnya, tulisan lain yang tidak menjadi minatnya, cenderung diabaikan. Di sinilah kita (pembaca) dituntut kearifannya untuk membuka diri dan menyikapi buku antologi yang bersangkutan secara proporsional. Kita harus senantiasa siap menerima gagasan apapun, meski mungkin kita belum menemukan kepentingan dan manfaatnya secara langsung.
Demikianlah, menghadapi buku antologi Pendidikan dalam Semangat Otonomi Daerah (atau judul lain yang lebih provokatif) ini pun, eloklah kita melihatnya dalam perspektif mengusung semangat hendak menempatkan dunia pendidikan sebagai ujung tombak pembangunan nilai-nilai dan karakter suatu komunitas. Pendidikan sesungguhnya bukanlah sekadar transfer ilmu pengetahuan dari pendidik ke anak didik, melainkan juga sebuah proses pembentukan karakter, sikap, dan nilai-nilai. Ada optimisme yang tidak dapat ditutupi atas terjadinya perubahan sosial-politik yang terjadi di negeri ini. Sebuah optimisme yang didasari oleh kesadaran menempatkan dunia pendidikan sebagai basis pembangunan bangsa. Hanya dengan menempatkan dunia pendidikan itulah, niscaya bangsa ini akan bangkit kembali dari keterpurukan.
Bukankah hal itu pula yang dilakukan Jepang ketika negerinya hancur akibat kekalahan dalam Perang Dunia II. Apa yang dikatakan Kaisar Jepang waktu itu sesaat setelah melihat negaranya hancur akibat dua bom atom yang dijatuhkan di sana? “Di manakah para guru dan tinggal tersisa berapa banyak lagi guru yang masih hidup?” Sebuah pertanyaan retoris dari seorang kaisar yang sekaligus menunjukkan betapa pentingnya peranan guru (baca: dunia pendidikan). Melalui dunia pendidikan, Jepang kemudian membangun kembali negerinya hingga menjadi bangsa yang secara ekonomi dapat menempatkan diri menjadi kekuatan yang disegani di dunia. Jepang tidak perlu lagi membangun kembali kebesaran militernya, karena yang diperlukan adalah memperkuat basis SDM-nya melalui pembangunan di bidang pendidikan.
Menempatkan dunia pendidikan sebagai ujung tombak itulah yang justru tidak dilakukan para pemimpin bangsa Indonesia. Jika selepas merdeka sampai pada pemerintahan Orde Lama kehidupan politik begitu pentingnya, maka pada masa Orde Baru, politik diperlakukan sebagai “barang haram”. Masyarakat tidak diberi peluang yang lebih luas untuk mengembangkan kehidupan politik. Politik menjadi semacam kamuflase untuk menutupi usaha melanggengkan kekuasaan.
Sementara itu, pembangunan ekonomi melalui utang luar negeri yang menggunung dan bertumpuk-tumpuk, seperti sebuah jawaban Sim Salabim yang seketika dapat mengangkat martabat bangsa ini menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera. Memang kemudian terjadi kemakmuran dan kesejahteraan. Tetapi itu hanya dirasakan segelintir orang. Ada kemajuan yang selalu dapat diukur secara fisikal. Gedung-gedung menjulang dan mobil berderet-deret. Pembangunan ekonomi telah berdampak menceburkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang konsumtif. Keberhasilan seseorang selalu ditentukan oleh seberapa banyak ia berhasil mengeruk uang, memamerkan kekayaan fisik. Akibatnya luar biasa. Pembangunan yang menghasilkan kekayaan psikis, pencerahan intelektual, keagungan moral, dan harga diri yang menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran, tidak mendapat tempat yang sepatutnya. Dunia pendidikan dibiarkan carut-marut. Dunia pendidikan seperti sengaja dibiarkan menggelinding, terbentur-bentur dalam lingkaran masalah yang tidak berujung pangkal. Dunia pendidikan menjelma menjadi benang kusut yang ruwet dan penuh virus.
Dalam situasi seperti itu, status sosial guru di tengah masyarakat cukuplah dibujuk-rayu dan dihibur melalui slogan: “Pahlawan tanpa tanda jasa!” Guru sebagai bagian dari agen ilmu pengetahuan, sebagai pembawa pesan-pesan kemanusiaan dan kebudayaan, dan sebagai perintis perubahan, dibiarkan hidup dengan penghasilan serba kekurangan. Guru yang bertugas memberikan pencerahan, menyampaikan ilmu pengetahuan kepada anak didik, diperlakukan sebagai sebagai sapi perahan dengan penghasilan yang buruk. Akibat perlakuan itu, profesi guru seperti tiada arti, tiada guna. Pada gilirannya, ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang juga tidak berguna, karena tidak secara langsung dapat menghasilkan uang yang berlimpah. Masyarakat pun kemudian cenderung berorientasi pada materi, uang atau segala sesuatu yang bersifat fisik, daripada ilmu pengetahuan. Padahal, menuntut ilmu adalah kewajiban umat manusia, begitu pesan setiap agama kepada umatnya. “Pengetahuan adalah kunci keberhasilan hidup dan tidak seorang pun boleh mengabaikannya,” begitulah Fukuzawa Yukichi menyampaikan pesannya lebih dari seabad yang lalu.
Setelah rezim yang penuh kamuflase itu tumbang, euforia politik seperti sebuah sihir yang membius berbagai aspek kehidupan dalam bidang-bidang lainnya, termasuk di dalamnya dunia pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) masih saja tergoda berkutat dalam persoalan perubahan kurikulum dan harapan ideal Ujian Akhir Nasional (UAN) yang sebenarnya malah mendatangkan musibah bagi guru-guru di daerah. Gonta-ganti kurikulum seperti sebuah permainan yang mengasyikkan elite penentu kebijakan, tetapi malapetaka bagi para guru lantaran tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas mereka sebagai ujung tombak dunia pendidikan. Oleh karena itu, ketika diberlakukan Otonomi Daerah, kebijakan-kebijakan Diknas yang tak membumi bagi daerah-daerah mestilah disikapi sebagai sebuah tantangan dan sekaligus peluang. Maka, diberlakukannya otonomi daerah yang secara praktis mengubah sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik, tidak hanya memungkinkan pemerintah daerah lebih leluasa mengatur berbagai rencana membangun daerahnya sendiri, melainkan juga sebagai sebuah kepercayaan bagi pemerintah daerah untuk mengangkat martabat dan harkat masyarakat di daerahnya tidak lagi terbelakang, baik secara ekonomi, maupun pendidikan: dua bidang yang harus menjadi prioritas utama.
Sebuah komunitas atau bangsa secara keseluruhan yang mempunyai harta kekayaan berlimpah, tetapi miskin ilmu, terbelakang, dan bodoh, hanya akan menjadi bulan-bulanan penipuan bangsa lain. Itulah yang dilakukan bangsa Belanda terhadap bangsa kita selama berabad-abad. Yang tersisa sebagai warisan bagi generasi berikutnya adalah sikap rendah diri, inferior, dan mental kacung. Sikap dan mental yang seperti itu, terus terpelihara dengan baik, lantaran tidak ada usaha untuk menempatkan dunia pendidikan sebagai basis, pondasi pembangunan bangsa. Justru melalui pendidikan itulah, sikap dan mental buruk yang seperti itu, akan terkikis secara meyakinkan. Jika ada kesadaran yang seperti itu, maka langkah yang tidak dapat diabaikan adalah memperkuat basis peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pembangunan dunia pendidikan.
Bagaimanapun juga, keberlimpahan sumber daya alam hanya mungkin dapat mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan umat manusia jika manusia itu sendiri mempu mengelolanya secara baik dan benar. Di sinilah perhatian pada SDM menjadi sangat sentral dan strategis. Ia boleh dikatakan merupakan investasi atau saham untuk masa depan. Ia akan menjadi harta warisan yang luar biasa berharganya lantaran ia telah menempatkan dirinya sebagai khalifah di bumi. Salah satu bidang yang bertanggung jawab atas peningkatan SDM ini tidak lain adalah dunia pendidikan. Buku ini, sungguh seperti hendak mewartakan itu. Tanggung jawab dunia akademik atas masyarakat di sekitarnya, atau bahkan masyarakat bangsa ini. Semangat itulah yang tampak mendasari gagasan-gagasan yang menyeruak dalam berbagai tulisan dalam buku antologi ini. Serangkaian gagasan atau pemikiran penting dalam buku ini, sungguh relevan dalam konteks menempatkan pelaksanaan otonomi daerah sebagai sebuah peluang dan tantangan.
***
Ada sepuluh tulisan yang terhimpun dalam buku antologi ini, dan sebagian besar memusatkan perhatian pada dunia pendidikan. Dari sudut itu, kita (pembaca) disuguhi berbagai gagasan yang cerdas mengenai peluang-peluang yang mungkin dijalankan sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Dari sudut yang lain, ia seperti menawarkan sebuah dialog untuk membincangkan lebih lanjut mengenai dunia pendidikan dan kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Tulisan Asnawi Syarbini, “Politik Pendidikan Indonesia” mencoba mengungkapkan sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan yang membentuk sebuah sistem pendidikan Indonesia. Bagaimana mekanisme pelaksanaannya ketika diberlakukan otonomi daerah? Meski belum begitu jelas, langkah-langkah konkret yang bagaimana yang harus dilakukan dalam pelaksanaan sistem pendidikan Indonesia, Syarbini coba menawarkan pendidikan dalam peranannya sebagai bagian integral dari visi politik yang dijalankan pemerintah. Gagasan itu memang ideal jika pemerintah –siapapun yang berkuasa kelak—menjalankan politik dengan basis pendidikan. Dengan begitu, pendidikan ditempatkan dalam arti yang seluas-luasnya dan dapat memasuki berbagai bidang dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan sebagai basis peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia tentu saja akan bermuara pada apa yang disebut profesionalisme. Dengan demikian, penghargaan pada profesi, keahlian, dan prestasi, akan menempatkan profesi apapun dalam proporsi yang sejajar, setara, dan sama penting dalam sistem besar kehidupan sebuah bangsa. Tidak ada satu profesi yang dipandang lebih penting atau lebih rendah dari profesi lain. Yang menjadi ukuran adalah prestasi dan kinerja orang per orang dalam profesinya, dan bukan institusi atau organisasi profesinya. Seorang perajin atau nelayan yang berdedikasi pada profesinya, bertindak profesional dalam menjalankan pekerjaannya, akan lebih bermakna bagi masyarakat dibandingkan dokter atau pengusaha yang bekerja tidak profesional. Dalam pengertian politik pendidikan, pendidikan (di Indonesia) mestinya tidak hanya bertujuan menjadikan seseorang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan, tetapi juga menumbuhkan loyalitas dan pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan demikian, pendidikan dibangun dan dijalankan semata-mata untuk kemajuan negara dan mengangkat harkat dan martabat bangsa.
Tulisan Anwar Syarbini sebagai sebuah gagasan yang coba menawarkan politik pendidikan dalam tata pemerintahan kita, tentu saja dapat dianggap merupakan sumbangan penting, meskipun sesungguhnya belum begitu jelas, bagaimana implementasi dalam dunia pendidikan kita. Demikian juga, keterjebakan Syarbini untuk memaparkan berbagai konsep pendidikan telah menyeretnya pada kelalaian membuat analisis kritis, bagaimana politik pendidikan dijalankan pemerintah selama ini. Meskipun demikian, pemerintah kiranya memang patut memikirkan adanya politik pendidikan yang jelas yang memang diarahkan untuk memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara
Dalam tulisan Sudadio, “Pendidikan di Era Otonomi Daerah” pembicaraan mengenai “politik pendidikan” tampak lebih fokus mengingat ia membatasi diri pada pelaksanaannya dengan otonomi daerah. Dalam kaitan itu, pembicaraan Sudadio dapat lebih leluasa mengungkapkan pentingnya mutu pendidikan, termasuk pengertian, kriteria, syarat, serta alat ukur untuk membuat kualifikasi mutu pendidikan. Jadi, pada hakikatnya ia hendak menekankan, bagaimana meningkatkan mutu pendidikan ketika suatu daerah mulai melaksanakan otonomi daerah. Meskipun perbicangannya cenderung konseptual dan bermain dalam tataran teoretis, setidaknya kita disuguhi berbagai pemikiran mengenai langkah-langkah teoretis, bagaimana seharusnya usaha meningkatkan mutu pendidikan.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah? Tidak begitu jelas, bagaimana langkah-langkah konkret dan strategis, bagaimana operasionalisasi upaya meningkatkan mutu pendidikan di satu wilayah tertentu. Justru di situlah, kita seolah-olah “diajak” untuk juga memikirkan, bagaimana dunia pendidikan harus dibangun, bagaimana meningkatkan mutunya, dan bagaimana pula membuat semacam parameter sebagai alat ukur dalam menentukan kualifikasi sebuah institusi menyelenggarakan pendidikan.
Tulisan Muhyi Mohas dengan titik perhatian otonomi daerah, mengungkapkan sejumlah peluang yang dapat dimasuki dalam usaha membangun dunia pendidikan. Deskripsinya tentang manfaat penyelenggaraan otonomi daerah menyodorkan optimisme, bahwa desentralisasi memberi peluang yang begitu luas bagi daerah mengembangkan diri, menggali berbagai potensi, dan tentu saja mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan skala prioritas. Dengan itu, peranan pemerintah daerah menjadi sangat menentukan untuk melakukan restorasi bagi daerahnya sendiri. Tetapi, jika yang diprioritaskan hanya pembangunan fisik, maka ia akan tergelincir dan masyarakat dijerumuskan kepada pola berpikir yang mengukur segala sesuatu berdasarkan pencapaian material; konsumtif dan materistik. Maka, pembangunan pendidikan sebagai dasar, basis peningkatan kualitas SDM mestinya menjadi prioritas utama.
Muhyi Mohas ternyata melihatnya dari perspektif lain. Paling tidak, ada tiga bidang yang disoroti secara ringkas, yaitu pembangunan pendidikan, hukum dan ekonomi. Namun ketika pembicaraannya memasuki wilayah pembangunan hukum, ia seperti kehabisan napas, dan segera menutup perbincangannya tanpa ada kejelasan, bagaimana pembangunan hukum harus dilakukan. Meskipun demikian, uraiannya mengenai sejumlah peluang dan sekaligus tantangan diberlakukannya desentralisasi, cukup alasan bagi kita untuk optimis bahwa otonomi daerah (desentralisasi) akan membawa pengaruh positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat, jika pemerintah daerah menjalankan peranan, fungsi dan tanggung jawabnya yang berpihak kepada kemaslahatan masyarakat.
Sementara itu, tulisan Aris Suhadi, “Mazhab Sejarah, Pembentukan Hukum, dan Otonomi Daerah” seperti memaksakan diri agar pembicaraan mengenai mazhab sejarah (dalam ilmu hukum), ada hubungannya dengan otonomi daerah. Memang ada beberapa contoh kasus mengenai pengaruh mazhab sejarah dalam pembentukan hukum nasional maupun hukum adat. Tetapi contoh tersebut terkesan seperti kasusistis, dan tidak cukup representatif untuk mengatakan betapa besarnya pengaruh mazhab sejarah dalam pembentukan hukum nasional dan hukum adat (di Indonesia). Akibatnya, di satu pihak, Suhadi seperti hendak mengungkap panjang lebar mengenai ihwal mazhab sejarah dalam bidang hukum secara meyakinkan, di pihak lain, ia tidak cukup meyakinkan menyodorkan beberapa kasus sebagai bukti adanya pengaruh aliran itu dalam pembentukan hukum di Indonesia.
Yang justru cukup menarik dari tulisan Aris Suhadi adalah uraiannya mengenai mazhab sejarah hukum. Menarik lantaran ia cukup mendalam membicarakannya. Sampai di situ, sesungguhnya tulisan itu menyampaikan wawasan yang relatif luas. Tetapi, kesimpulannya yang dihubungkan dengan otonomi daerah, terkesan tiba-tiba saja muncul dan seperti ada kesengajaan harus diadakan dan dikait-kaitkan begitu saja.
Dua tulisan yang berkaitan dengan muatan lokal disampaikan Yoyo Mulyana “Pengembangan Kompetensi Dasar Bahasa Daerah Banten” dan Syafrizal “Bahasa Inggris sebagai Muatan Lokal Sekolah Dasar”. Kedua tulisan itu tentu saja penting mengingat konteksnya dalam pelaksanaan otonomi daerah. Jika tulisan Mulyana berorientasi pada bahasa setempat (lokal) yang di banyak kasus di berbagai daerah, cenderung diabaikan, maka tulisan Syafrizal berorientasi pada upaya mengantisipasi dan sekaligus menyiapkan SDM agar berperan aktif dalam proses globalisasi.
Mengenai keberadaan bahasa daerah, bagaimanapun juga, keberadaannya harus dipertahankan mengingat fungsinya sebagai alat komunikasi lokal. Di samping itu, ia juga merupakan alat refleksi kultural. Dengan demikian, pemahaman bahasa daerah dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk memahami kebudayaannya. Di sinilah sosialisasi kebijakan pemerintah daerah akan lebih mudah diterima masyarakat jika dilakukan melalui pendekatan kultural. Maka, melalui bahasa daerah itulah salah satu sarana yang efektif bagi pemerintah daerah untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan yang akan dijalankannya. Oleh karena itu, pengajaran bahasa daerah menempati kedudukan yang cukup penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kaitan itu, perlu kiranya dipikirkan penyusunan kamus bahasa daerah Banten sebagai salah satu usaha mempertahankan bahasa daerah itu.
Bahasa Inggris sebagai muatan lokal di sekolah, di banyak daerah sesungguhnya sudah dilaksanakan sejak beberapa tahun belakangan ini. Tulisan Syafrizal sangat boleh jadi merupakan masukan yang mestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah.
Selain masalah muatan lokal di sekolah yang mesti dipikirkan kemanfaatannya dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, juga patut dicatat keberadaan pesantren-pesantren yang bertebaran di wilayah Banten. Tulisan Nandang Faturohman yang mencatat sebagian kecil keberadaan pesantren di wilayah Banten, boleh dikatakan memberi informasi berharga mengingat usahanya yang mencoba membuat klasifikasi antara pesantren tradisional dan pesantren modern (terpadu). Sejumlah karakteristik yang dikemukakannya menunjukkan betapa arus modernisme mulai memasuki wilayah dunia pesantren yang sebelumnya cenderung eksklusif. Bagi pemerintah daerah, keberadaan pasantren-pesantren itu sesungguhnya juga aset pendidikan, karena dari sanalah diharapkan SDM yang menjunjung tinggi moralitas dan ketakwaan, di samping kualitas yang andal, dapat dilahirkan.
Tiga tulisan berikutnya boleh jadi seperti tidak ada hubungannya dengan otonomi daerah. Tentu saja ketiganya masih ada kaitannya dengan itu, meskipun konteksnya dapat diperluas memasuki wilayah kepentingan nasional. Tulisan Wan Anwar “Pendekar Akademis di Jalan Raya Sastra Indonesia, misalnya, dapat disikapi sebagai sebuah bentuk evaluasi atas mundurnya peranan kritikus sastra di Indonesia. Meskipun ia melakukan semacam simplifikasi atas problem di tingkat fakultas (sastra) sebagai problem mata kuliah, yang seolah-olah harus melahirkan kritikus (sastra), setidak-tidaknya gagasannya dapat kita tempatkan sebagai ekspresi dari pengharapan yang begitu besar kepada institusi itu. Agak mengherankan, Wan Anwar kurang dapat mencermati pengembangan ilmu di institusi-institusi seperti itu. Di sana ada usaha untuk mengembangkan ilmu sebagai ilmu dan ilmu sebagai keterampilan yang dapat bermanfaat secara praktis.
Dikotomi yang dilakukan Anwar yang secara tegas membedakan kalangan akademis dengan praktisi, tentu saja tidak relevan mengingat wilayah dan kerangka berpikir keduanya berbeda satu sama lain. Para sarjana yang bekerja di lingkungan akademis, misalnya, “terpaksa” harus berkutat dengan cara pandang ilmiah yang sering tak sejalan dengan tuntutan masyarakat. Di sisi yang lain, kaum praktisi –yang diisitilahkan sebagai pendekar di jalan raya— tentu saja harus berpikir untuk kepentingan yang praktis mengingat sasarannya masyarakat luas. Jadi, sarjana (pendidikan) sastra, tidak harus menjadi kritikus, mengingat ia dididik untuk menjadi seseorang yang dapat berpikir kritis, komprehensif, objektif, dan argumentatif. Oleh karena itu, bolehlah ia menjadi pegawai negeri, guru, pegawai bank, wartawan, atau apapun, termasuk kritikus (sastra). Dengan begitu, profesi sebagai kritikus hanya salah satu saja. Ia ibarat sebuah sekrup dari mesin raksasa yang bernama kehidupan.
Meskipun demikian, catatan kritis yang dilakukan Wan Anwar tentu saja penting dan relevan dalam hubungannya dengan otonomi daerah. Ia menyadarkan kita bahwa idealnya, seorang sarjana yang bekerja di lingkungan dunia akademis, hendaknya tidak menjadi jago kandang di lingkungannya sendiri. Ia jangan sekadar cemerlang di menara gading. Ia harus juga mampu mengaplikasikan ilmua untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, gagasan-gagasannya juga harus dapat dipahami dan diterima masyarakat luas. Setidak-tidaknya, gagasan Wan Anwar menggambarkan sebuah problem kultural yang juga terjadi di dalam dunia pendidikan kita.
Dua tulisan lainnya, “Gaya Kepemimpinan” (Romli Ardie) dan “Peranan Supervisi dalam Pendidikan” (Suherman), seperti dua tulisan yang saling melengkapi, komplementer. Romli Ardie lebih mencermati pentingnya gaya kepemimpinan dan kecerdasan emosional bagi seseorang yang diberi kepercayaan mengelola institusi pendidikan. Boleh dikatakan, Ardie seperti memberi semacam panduan yang baik, bagaimana seseorang menjadi manajer dalam institusi pendidikan. Sebuah uraian yang niscaya dapat dimanfaatkan bagi siapa pun yang ingin atau sedang menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.
Dalam wilayah yang lebih khusus, terutama yang menyangkut bidang studi, peranan supervisi, pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan seorang pemimpin. Ia harus terus-menerus melakukan komunikasi dengan guru bidang-bidang studi agar pengajaran di dalam kelas dan kualifikasi guru menjalankan tugasnya dapat berjalan dengan baik dan optimal. Sebuah sumbangan pemikiran yang sangat baik bagi usaha peningkatan kualitas guru dan pengajaran di sekolah.
***
Uraian ringkas mengenai ke-10 tulisan tadi, tentu saja sangat tidak memadai jika dibandingkan dengan kualitas tulisan-tulisan itu sendiri. Dalam hal ini, ada banyak gagasan dan pemikiran yang dapat ditindaklanjuti, baik untuk kepentingan memberi masukan bagi pemerintah daerah, maupun untuk kepentingan pengembangan dunia pendidikan itu sendiri. Di situlah, kontribusi –meminjam istilah Wan Anwar— “pendekar akademis” tidak sekadar sebagai “jago kandang” melainkan mencoba pula menawarkannya ke wilayah yang lebih luas: masyarakat! Apapun tanggapan masyarakat, tentu saja patut diperhatikan sebagai masukan yang berharga.
Bagaimanapun juga, penerbitan buku ini, mestilah ditempatkan sebagai bagian dari perhatian pendekar akademis terhadap perkembangan sosial-politik yang terjadi di sekitarnya. Bahwa mereka “hanya dapat” menyumbangkan gagasannya, justru di situ peranan dan fungsinya sebagai pendekar akademis, intelektual yang juga ikut bertanggung jawab atas maju-mundurnya dunia pendidikan di negeri Indonesia.
Kehadiran buku ini, juga harus dipandang sebagai bentuk komunikasi –kaum intelektual—yang berkecimpung di dunia pendidikan, dengan masyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu, jika kita cermati benar berbagai gagasan yang terhimpun dalam buku ini, banyak hal yang sesungguhnya menyodorkan sesuatu yang baru. Setidak-tidaknya, jika kita menganganggap berbagai tulisan itu belum memadai, maka tugas kitalah untuk memperbaiki dan menyempurnakannya lebih lanjut. Jadi, komunikasi yang ditawarkannya berupa kajian kritis atau penelitian lanjutan mengenai berbagai problem yang dapat kita tangkap dari gagasan-gagasan yang ditawarkan buku ini. Itulah salah satu bentuk komunikasi pendekar akademis dalam menawarkan gagasannya kepada masyarakat. Satu tindakan yang sungguh terpuji dan elegan!
Bojonggede, 9 Mei 2004
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar