Selasa, 09 Maret 2010

Seni (tak) Tergantung Anggaran

Asarpin*
http://www.lampungpost.com/

DALAM beberapa bulan terakhir, ada yang unik pada diskusi sastra di Lampung. Beberapa pengarang tampaknya sedang serius merancang sebuah kredo tentang seni dan sastra yang “tergantung pada uang”. Kalau tidak ada anggaran dari pemerintah, maka seni dianggap akan mati. Seniman dan sastrawan mulai berkarya dengan mengharapkan jasa!

Memang, sejak “pahlawan tanpa tanda jasa” disematkan pada para guru, lalu dikritik di mana-mana, sekarang orang malas untuk disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau perlu jadi pengarang dengan puluhan bintang jasa dan bisa kaya raya. Para seniman kemudian mendekatkan diri pada kuasa modal dan mengorbankan integritas seni. Selain itu, upaya menginduk pada negara dianggap sah demi memperoleh suntikan modal.

Menjadi kaya tidak ada yang melarangnya. Saya bersimpati pada Pramoedya walau pun rumahnya sudah mentereng, dan amat mencolok dibandingkan dari rumah-rumah di sekitarnya. Tapi Pram tidak mengemis pada pemerintah. Tidak bikin proposal. Demikian pula Afrizal Malna. Penyair ini mungkin satu-satunya yang sudah punya nama besar dengan menghasilkan ratusan puisi yang mendapat apresiasi luas, tapi sekaligus paling melarat dan sampai sekarang tidak punya rumah. Ia tak punya uang kecuali mengharapkan hasil dari honor tulisan di koran, atau sebagai pembicara dalam diskusi tentang seni.

Dulu Afrizal masih bekerja di UPC Jakarta, dan mengandalkan honor Rp1,5 juta/bulan. Padahal Afrizal adalah salah satu pendiri UPC yang sumbangannya terhadap gerakan kaum miskin kota dengan warna budaya sangat dominan. Waktu kami masih tinggal serumah, beberapa kali Afrizal meminjam uang Rp10 ribu kepada saya untuk beli rokok. Ini cukup sering, tidak hanya kepada saya.

Afrizal sempat juga diselamatkan beberapa wartawan televisi yang memintanya membuat skenario film pendek. Tapi saya tahu betul bahwa Afrizal mau menggarap skenario film itu kalau tidak diatur dan diarahkan si pemesan. Ia ingin membuatnya dengan merdeka, agar bisa tulus.

Maka, agak ganjil kedengarannya kalau seniman dan sastrawan di Lampung meributkan soal anggaran. Kita semua sepakat bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana untuk kegiatan seni dan sastra sama sebagaimana mereka memperlakukan politik, bahkan sudah sewajarnya jika perhatian pemerintah lebih terfokus pada soal seni, budaya, dan sastra, karena ini persoalan nilai. “Pada 2010 ini pemerintah harus memikirkan strategi kebudayaan di Lampung,” tulis Iswadi.

Sejak dulu, pemerintah kita memang tidak peka, tidak terbiasa berpikir keras, apalagi mau memikirkan strategi kebudayaan. Sementara senimannya sejak dulu “berkesenian secara melarat”, kata Taufiq Ismail. Tapi terlampau berharap pada gubernur atau wali kota, sekalipun mereka kita dukung saat pencalonan, bisa membuat ketergantungan yang tidak sehat, padahal sejak lama seniman hidup dengan memotong tali pusar ketergantungan.

Lagi pula, apa sih yang sudah dilakukan seniman dan sastrawan Lampung selama ini? Melihat cara-cara mereka mendesak pemerintah untuk memberi dana bagi perkembangan seni dan sastra di Lampung, terkesan mereka sudah banyak jasa dan perlu dihargai, seperti Sutardji dihargai oleh Pemprov Riau.

Sumbangan mereka terhadap perbaikan kualitas masyarakat Lampung tidak terlalu jelas. Selama ini mereka hanya mengharumkan nama Lampung di kancah pergaulan seni dan sastra nasional, tetapi hanya sebatas mengharumkan saja. Apanya yang harum, warganya, tradisinya, bahasanya, menjadi tidak jelas juga.

Kalau saja kegelisahan para seniman dan sastrawan Lampung itu terbit dari hati yang tulus, memikirkan seni dan sastra sampai berdarah-darah, saya sangat bangga. Tapi saya kira, tudingan yang dialamatkan kepada pemerintah selama ini, punya ekor yang panjang. Kritik yang bertubi-tubi kepada pemerintah kadang menyimpan motif yang tidak punya hubungan langsung dengan nasib seni dan sastra di tanah Lampung, tetapi lebih pada mengharapkan dana pribadi.

Munculnya puluhan sastrawan di Lampung dengan karya yang lumayan bagus, dan mendapat apresiasai nasional, justru karena mereka tidak menggantungkan hidup dengan dana dari pemerintah. Jangan-jangan kalau Pemprov atau Pemkot sudah ngasih dana, para seniman dan sastrawan kita akan bernasib sama dengan para aktivis LSM di Lampung yang kehilangan daya kritis. Tidak ada dana dari Pemprov selama ini justru sudah terbukti mampu melahirkan karya-karya dengan capaian estetika yang sip.

Harumnya nama Teater Satu di kancah nasional selama ini hampir tidak ada peran yang berarti dari pemerintah daerah. Anggaran kegiatan Teater Satu dan Kober memang tidak sepenuhnya mandiri, mereka masih menggantungkan dana dari luar. Namun keberadaan dana bagi dua komunitas teater di Lampung itu bukan persoalan pokok dan mendasar. Saya kira akan tetap lahir karya-karya hebat Iswadi dan Ari Pahala sekalipun sudah tidak ada lagi bantuan dari pihak luar.

Demikian pula Isbedy, Arman A.Z., Inggit, Lupita, Oyos, Dahta, dll., mereka sudah terbukti hebat walaupun masih sering melarat. Memang, dalam event atau acara yang tingkatnya nasional atau internasional, para sastrawan kita kadang masih harus buat proposal kepada pemerintah, walaupun akomodasi dan transportasi sudah disiapkan panitia.

Memang, dengan tidak adanya anggaran dari pemerintah, para seniman dan sastrawan kita menjadi pintar bikin proposal. Kepintaran dalam membuat proposal ini nyaris mengalahkan kepintaran para aktivis LSM. Mereka juga pandai membangun jaringan di kantor-kantor pemerintah atau swasta, yang sewaktu-waktu akan mereka “manfaatkan” untuk kepentingan mendapatkan dana. Kelebihan terakhir, adalah: kalau ada momentum pemilihan kepala daerah para sastrawan dan seniman kita menjadi tim sukses, tapi ketika jago mereka menang, hanya pahit yang mereka terima.

Uang benar-benar membutakan banyak orang. Uang juga senjata paling ampuh untuk menggerogoti idealisme para pengarang dan wartawan. Sukses tampaknya cuma bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita. Para pengarang Lampung senantiasa menjadi biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri.

Lagi-lagi saya teringat Pram, terutama satu kalimatnya dalam novel Bukan Pasar Malam: “Hidup di alam demokrasi membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh–ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi.”

Adakah Pram sedang bicara tentang filsafat uang? Pram bisa jadi berhutang pada ajaran Marx dan Simmel tentang filsafat uang. Dalam salah satu tulisannya, The Capacity of Present-day Jews and Christians to Become Free (1843), yang pernah dikutip St. Sunardi dalam pengantar buku A.B. Widyanta tentang sosiologi kebudayaan George Simmel, kita menemukan gagasan Marx tentang uang. Uang, kata Marx, adalah “Tuhan pencemburu bangsa Israel” (The jealous god of Israel). Tak ada Tuhan lain pun yang boleh ada di hadapan Dewa Uang.

Bisa jadi “uang menurunkan derajat semua Tuhan–dan mengubah mereka menjadi komoditas”, seperti kata Marx yang sekuler. Uang terbukti menjadi nilai dari segala sesuatu yang bersifat umum, dan tidak membutuhkan nilai-nilai lainnya. Oleh karena itu, uang telah merampas nilai kesejatian pribadi, juga merampas nilai sesungguhnya dari seluruh dunia; baik dunia manusia maupun dunia alam. Uang adalah esensi terasing dari kerja dan hidup manusia, dan esensi ini menguasai dirinya saat dia memujanya.

Di sini kita tahu mengapa Georg Simmel (1858–1918) terseret bayang-bayang Marx. Salah satu tesis Simmel terkenal–sekaligus menghubungkan dirinya dengan Marx–adalah tentang segalanya adalah uang. Kalau ini juga yang sedang mengancam para seniman Lampung, maka pilihan kita sekarang tinggal, “Serulah,” kata Asrul Sani: Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan anggaran dengan mengorbankan ideal-ideal kesenian! Kemudian katakan: “Ia yang hendak mencipta, menciptalah atas bumi ini. Ia yang akan tewas, tewaslah karena kehidupan.”

*) Asarpin, pembaca sastra.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae