Membaca, Memahami dan Memaknai…
IBM. Dharma Palguna
http://www.balipost.com/
SAYA membulak-balik halaman demi halaman sebuah buku tua, berjudul: Taman Sari: Papoepoelan Gending Bali. Di bawah judul itu ada keterangan berbunyi: ”Kapoepoelan Antoek I Wajan Djirne miwah I Wajan Roema.”
Dari segi isi, buku ini luar biasa. Memuat berbagai lagu-lagu Bali jaman dahulu yang tidak banyak lagi diketahui oleh masyarakat umum. Seluruh syair lagu ditulis dalam aksara Latin, dilengkapi dengan nang-ning-nung-neng-nong dalam aksara Bali. Tapi keadaan fisik buku itu sangat memperihatinkan. Lusuh. Semua halaman terlepas. Warna kertasnya sudah menyerupai warna tanah. Beberapa lempirnya lengket karena kelembaban udara. Yang masih terbaca adalah lempir mulai halaman 2 sampai dengan lempir halaman 70. Cover belakang buku sudah tidak ada. Saya tidak berhasil menemukan angka tahun buku itu diterbitkan. Entah karena bagian lempir yang memuat angka tahun itu sudah hilang, entah karena angka tahun itu memang tidak dicantumkan sebagaimana umumnya buku-buku terbitan jaman dahulu. Tapi dari ejaan lama yang dipergunakan, dan sejumlah tulisan tangan yang ada di balik cover depan, dapat diperkirakan buku ini sudah setengah abad lebih.
GENDING KETUJUH dalam kumpulan itu, pada halaman 11, berjudul Sekar Emas. Lagu itu dimulai dengan syair pendek yang tertulis seperti berikut ini: ”Sekar di sekar emas ngara rontje. Sekar agoeng di sangga langit. Sojor kangin sojor kaoeh lajak-lajak”.
ISI SYAIR itu tentang setangkai atau beberapa tangkai bunga yang terbuat dari bahan emas yang terselip di gelung seorang atau beberapa orang penari, mungkin anak-anak, mungkin dewasa. Bunga emas itu bergerak-gerak sesuai dengan gerakan badan si penari, miring ke timur, miring ke barat, dan melengkung ke belakang.
Ketika membaca syair itulah saya berhenti cukup lama pada frase sekar agoeng di sangga langit. Apakah sekar emas itu yang imaksudkan dengan Sekar Agung? Barangkali! Saya tidak menemukan petunjuk yang meyakinkan. Saya juga tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam hal klasifikasi sekar emas yang biasanya dipakai menghias gelung para penari, apakah salah satunya ada yang bernama Sekar Agung. Mudah-mudahan orang yang berkompeten dalam bidang ini kelak dapat menjelaskan.
Sebagai seorang pembaca saya merasakan bahwa frase itu seperti sebuah selipan yang terpisah dari konteksnya. Namun demikian, justru pada frase itu saya merasa tertantang untuk menemukan apa kira-kira yang disembunyikan di baliknya. Jangan-jangan itulah inti yang ingin disampaikan oleh pencipta gending itu.
Saya tidak bisa menyetop pikiran yang langsung bertanya: apakah ada sejenis bunga alam yang bernama Sekar Agung, selain Sekar Agung itu adalah istilah untuk wirama kakawin, yang dibedakan dengan Sekar Alit, dan Sekar Madhya?
RASANYA tidak ada jenis bunga alam bernama atau disebut Sekar Agung sepanjang yang dapat dilacak dari berbagai sumber. Namun demikian, saya juga tidak berani langsung menyimpulkan bahwa Sekar Agoeng yang dimaksud dalam frase di atas adalah klasifikasi metrum (wirama) dalam seni suara tradisional. Jika bukan nama jenis bunga, dan jika bukan nama jenis metrum, lalu apa?
ADA BAIKNYA terlebih dahulu kita lanjutkan menyimak frase itu. Kata di dalam frase di atas, bukanlah awalan, tapi kata depan yang menunjukkan lokasi, atau tempat di mana Sekar Agung itu ada. Dengan sangat lugas kita diberitahu bahwa Sekar Agung itu ada di suatu tempat bernama Sangga Langit.
Dari keseluruhan syair yang membangun gending itu, kita tidak mendapatkan petunjuk di mana tempat bernama Sangga Langit itu. Baik dalam bahasa Bali maupun dalam bahasa Kawi, kata sangga berarti ‘’sesuatu yang memiliki fungsi menyangga”, atau ”disifatkan sebagai penyangga sesuatu yang ada di atasnya”, yaitu langit dalam kasus ini.
Dari arti kata sangga langit itu kita mendapat sedikit keterangan bahwa tempat itu kemungkinan ada di daerah gunung yang kokoh dan tinggi. Atau di bebukitan di pinggir laut. Tidaklah aneh bila gunung dan bukit itu dibahasakan oleh para penyair dan sastrawan sebagai penyangga langit. Apalagi jika gunung dan bukit itu dipandang dari kejauhan. Tidak ubahnya gunung-bukit itu seperti sendi besar yang menjulang tinggi. Ibarat tiang pancang penyangga langit, agar langit tidak ”runtuh”.
Lalu, apa yang dimaksud dengan ”Sekar Agung di Sangga Langit?” Kita tidak tahu apa yang dimaksud oleh pencipta lagu itu. Karena jangankan maksud yang disembunyikannya, kita pun tidak tahu siapa yang menciptakan gending tua itu. Kita juga tidak tahu di mana gending itu diciptakan. Tak tahu juga dalam suasana hati yang bagaimana gending itu terlahir.
Oleh karena itu, pertanyaannyalah yang mesti diubah. Bukan apa yang dimaksud, tapi bagaimana kita memaknainya. Ada beberapa pemaknaan yang bisa kita berikan pada frase itu. Jika Sekar Agung itu adalah Sekar Emas itu sendiri, maka frase itu bisa kita baca seperti ini: ada setangkai bunga emas yang disebut Sekar Agung terselip di gelungan penari yang bentuknya tidak ubahnya seperti gunung penyangga langit.
Jika Sekar Agung itu bukan Sekar Emas, maka kita bisa membaca seperti berikut ini: ”Ada sekuntum bunga yang agung, mulia, suci, indah tumbuh di pelosok gunung atau bukit yang tak ubahnya sebagai penyangga langit”.
BACAAN ini menyebabkan frase itu menjadi terpisah sama sekali dengan konteksnya. Memisahkan sesuatu dari konteksnya, bukanlah cara yang bagus dalam membaca dan memahami. Oleh karena itu kita perhatikan bacaan berikutnya ini:
”Terdengar alunan wirama Sekar Agung dari penyangga langit”. Bacaan ini tidak jauh dari konteksnya, karena pada bait ketiga gending itu ada disebutkan bahwa sambil meliak-liukkan tubuhnya, penari itu berkali-kali menoleh ke arah juru kidung.
Pertanyaan Tanpa Jawaban…
SANG(G)A LANGIT…
DI SALAH satu pelosok Buleleng bagian barat ada sebuah desa yang entah sejak kapan bernama Sanga Langit. Entah mengapa pula tetua desa itu jaman dahulu menyebut wilayahnya Sanga Langit, satu kata yang misterius.
Tulisan ini tidak serta merta tentang desa itu. Karena tidak banyak yang penulis ketahui tentang seluk beluk dan problematik desa itu. Dan penulis sendiri hanya ingat samar-samar, sekali atau mungkin beberaapa kali pernah melintas di desa itu dalam sebuah perjalanan meletihkan entah dari mana ke mana. Tidak ada yang membekas secara khusus tentang desa itu. Oleh karena itu, pembicaraan kali ini adalah tentang konsep yang “terbaca” samar-samar dari nama Sanga Langit itu: sebuah nama yang berarti “sembilan langit”.
Gagasan apa yang terbaca di balik kata sanga langit itu? Paling tidak ada tiga konsep yang terlintas dari kata itu. Pertama, kata sanga langit mengindikasikan sembilan penjuru langit. Tafsirnya, satu bagian langit yang ada di atas kepala, ditambah delapan bagian langit yang ada di delapan penjuru mata angin. Dalam konsep itu, langit dipandang sebagai sebuah lingkaran besar. Bagian langit yang ada tepat di atas kepala adalah pusatnya. Pusat langit itu dikelilingi oleh belahan langit di timur, tenggara, selatan, barat daya, dan seterusnya. Dengan pembacaan seperti ini, langit tidak selalu disebutkan ada di atas. Ada juga sebutan langit di timur tempat matahari terbit. Langit di barat tempat matahari tenggelam. Dan sebagainnya.
Memang ada konsep tentang delapan penjuru yang mengelilingi titik pusat. Misalnya, jagat diibaratkan sekuntum bunga Padma dengan delapan kelopak menghadap delapan penjur, dengan sari-sari bunga ada di titik tengah. Pembacaan sanga langit di atas meminjam konsep bumi untuk dipasangkan di langit. Jika bumi adalah sekuntum bunga mekar menghadap ke atas, maka langit dipahami sebagai sekuntum bunga mekar menghadap ke bawah, alias sungsang. Konsep bunga Sumanasa dalam Sastra Kawi adalah sekuntum Ongkara Sungsang yang turun dari langit ke bumi. Sedangkan sekuntum Ongkara Ngadeg yang ada di bumi konon bergerak naik menyongsong yang sungsang itu. Pada satu titik yang Sungsang dan yang Ngadeg itu bertemu seperti pertemuan dua ujung duri. Pada pertemuan kedua ujung kuntum bunga mstis itulah terjadi apa yang dicita-citakan oleh para yogi, yaitu kebebasan terakhir!
Seperti itulah bacaan pertama dari kata sanga langit. Ada pula bacaan yang kedua. Langit itu dipandang bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis secara vertikal. Dari langit yang paling dekat dengan bumi terus ke atas sampai langit ke tujuh, dan kemudian ditambah dua lapis langit lagi di atasnya. Sehingga menjadi sembilan tingkatan langit.
Kita memang sering mendengar konsep tujuh tingkatan langit yang berhubungan dengan konsep tujuh tingkatan alam atas [sapta loka]. Bumi adalah alam paling bawah disebut Bhurloka. Angkasa yang menghubungkan bumi dengan matahari disebut Bhwahloka. Alam antara matahari dengan bintang Polar disebut Swahloka. Di atasnya lagi ada alam Mahaloka, Janaloka, Tapaloka. Dalam konsep itu langit ketujuh disepakati sebagai yang tertinggi. Langit atau alam tertinggi itu disebut Satyaloka.
Lalu apa kira-kira langit kedelapan dan langit kesembilan itu? Sampai di sini belum ditemukan sumber terpercaya yang dapat dirujuk. Yang ada hanya dugaan bahwa Satyaloka itu terdiri dari tiga lapis. Yang pertama adalah Satyaloka itu sendiri yang dihubungkan dengan alam Shiwa. Lapis kedua adalah alam Sadashiwa. Dan lapis tertinggi adalah alam Paramashiwa. Menurut dugaan ini, langit Sadashiwa dan langit Paramashiwa itulah yang kedelapan dan yang kesembilan.
Itulah bacaan yang kedua. Ada pula bacaan ketiga. Baik kata sanga maupun kata langit, sama-sama menunjuk pada yang tertinggi. Dalam sistem bilangan, sembilan disepakati sebagai bilangan tertinggi. Demikian pula langit dipandang sebagai yang tertinggi. Tidak ada yang lebih tinggi daripada langit. Karena di atas langit konon masih ada langit. Begitulah, kata sanga dan langit sama-sama menunjuk pada yang tertinggi.
Itulah tiga bacaan yang terlintas dari kata dan konsep sanga langit. Bacaan ini tidak serta merta bisa dihubungkan dengan nama desa Sanga Langit di Buleleng. Karena tetua desa Sanga Langit barangkali punya penjelasan lain mengapa menyebut tanahnya dengan nama seperti itu.
Saya teringat nama desa Sanga Langit justru ketika membulak-balik halaman buku tua yang berjudul Taman Sari: Papoepoelan Gending Bali, seperti yang telah dibicarakan dalam tulisan yang ada di kolom sebelah. Seperti yang diuraikan dalam tulisan itu, salah satu gending dalam kumpulan itu memuat syair yang berbunyi “Sekar Agoeng di Sangga Langit.”
Ketika membaca frase itulah saya tiba-tiba teringat desa Sanga Langit. Saya tercengang sendiri ketika pikiran menghubungkan kedua kata yang memiliki kemiripan fonetis itu, yang dibedakan hanya oleh satu fonem, yaitu - g.
Lalu muncul sejumlah kecurigaan, mungkinkah dulunya desa itu disebut Sangga Langit dan dalam perkembangannya akhirnya menjadi Sanga Langit karena masalah pelafalan? Jika kemungkinan ini benar, maka desa Sanga Langit tidak mesti dihubungkan dengan sembilan langit seperti di atas, tapi desa Sangga Langit itu diasosiasikan sebagai penyangga langit. Sangga Langit inikah yang dimaksudkan dalam frase “Sekar Agung di Sangga Langit”?
Saya memahami bahwa syair gending itu belum tentu berhubungan dengan desa Sang(g)a Langit yang ada di salah satu pelosok barat Buleleng itu. Tapi memang kata itu yang membuat saya mengalami “loncatan pikiran.” Dan loncatan pikiran seperti itu sangat umum terjadi. Yang jelas, karena syair itulah saya tergerak menulis pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban seperti ini.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar