Sabtu, 20 Maret 2010

SEKAR AGUNG DI SANGGA LANGIT…

Membaca, Memahami dan Memaknai…

IBM. Dharma Palguna
http://www.balipost.com/

SAYA membulak-balik halaman demi halaman sebuah buku tua, berjudul: Taman Sari: Papoepoelan Gending Bali. Di bawah judul itu ada keterangan berbunyi: ”Kapoepoelan Antoek I Wajan Djirne miwah I Wajan Roema.”

Dari segi isi, buku ini luar biasa. Memuat berbagai lagu-lagu Bali jaman dahulu yang tidak banyak lagi diketahui oleh masyarakat umum. Seluruh syair lagu ditulis dalam aksara Latin, dilengkapi dengan nang-ning-nung-neng-nong dalam aksara Bali. Tapi keadaan fisik buku itu sangat memperihatinkan. Lusuh. Semua halaman terlepas. Warna kertasnya sudah menyerupai warna tanah. Beberapa lempirnya lengket karena kelembaban udara. Yang masih terbaca adalah lempir mulai halaman 2 sampai dengan lempir halaman 70. Cover belakang buku sudah tidak ada. Saya tidak berhasil menemukan angka tahun buku itu diterbitkan. Entah karena bagian lempir yang memuat angka tahun itu sudah hilang, entah karena angka tahun itu memang tidak dicantumkan sebagaimana umumnya buku-buku terbitan jaman dahulu. Tapi dari ejaan lama yang dipergunakan, dan sejumlah tulisan tangan yang ada di balik cover depan, dapat diperkirakan buku ini sudah setengah abad lebih.

GENDING KETUJUH dalam kumpulan itu, pada halaman 11, berjudul Sekar Emas. Lagu itu dimulai dengan syair pendek yang tertulis seperti berikut ini: ”Sekar di sekar emas ngara rontje. Sekar agoeng di sangga langit. Sojor kangin sojor kaoeh lajak-lajak”.

ISI SYAIR itu tentang setangkai atau beberapa tangkai bunga yang terbuat dari bahan emas yang terselip di gelung seorang atau beberapa orang penari, mungkin anak-anak, mungkin dewasa. Bunga emas itu bergerak-gerak sesuai dengan gerakan badan si penari, miring ke timur, miring ke barat, dan melengkung ke belakang.

Ketika membaca syair itulah saya berhenti cukup lama pada frase sekar agoeng di sangga langit. Apakah sekar emas itu yang imaksudkan dengan Sekar Agung? Barangkali! Saya tidak menemukan petunjuk yang meyakinkan. Saya juga tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam hal klasifikasi sekar emas yang biasanya dipakai menghias gelung para penari, apakah salah satunya ada yang bernama Sekar Agung. Mudah-mudahan orang yang berkompeten dalam bidang ini kelak dapat menjelaskan.

Sebagai seorang pembaca saya merasakan bahwa frase itu seperti sebuah selipan yang terpisah dari konteksnya. Namun demikian, justru pada frase itu saya merasa tertantang untuk menemukan apa kira-kira yang disembunyikan di baliknya. Jangan-jangan itulah inti yang ingin disampaikan oleh pencipta gending itu.

Saya tidak bisa menyetop pikiran yang langsung bertanya: apakah ada sejenis bunga alam yang bernama Sekar Agung, selain Sekar Agung itu adalah istilah untuk wirama kakawin, yang dibedakan dengan Sekar Alit, dan Sekar Madhya?

RASANYA tidak ada jenis bunga alam bernama atau disebut Sekar Agung sepanjang yang dapat dilacak dari berbagai sumber. Namun demikian, saya juga tidak berani langsung menyimpulkan bahwa Sekar Agoeng yang dimaksud dalam frase di atas adalah klasifikasi metrum (wirama) dalam seni suara tradisional. Jika bukan nama jenis bunga, dan jika bukan nama jenis metrum, lalu apa?

ADA BAIKNYA terlebih dahulu kita lanjutkan menyimak frase itu. Kata di dalam frase di atas, bukanlah awalan, tapi kata depan yang menunjukkan lokasi, atau tempat di mana Sekar Agung itu ada. Dengan sangat lugas kita diberitahu bahwa Sekar Agung itu ada di suatu tempat bernama Sangga Langit.

Dari keseluruhan syair yang membangun gending itu, kita tidak mendapatkan petunjuk di mana tempat bernama Sangga Langit itu. Baik dalam bahasa Bali maupun dalam bahasa Kawi, kata sangga berarti ‘’sesuatu yang memiliki fungsi menyangga”, atau ”disifatkan sebagai penyangga sesuatu yang ada di atasnya”, yaitu langit dalam kasus ini.

Dari arti kata sangga langit itu kita mendapat sedikit keterangan bahwa tempat itu kemungkinan ada di daerah gunung yang kokoh dan tinggi. Atau di bebukitan di pinggir laut. Tidaklah aneh bila gunung dan bukit itu dibahasakan oleh para penyair dan sastrawan sebagai penyangga langit. Apalagi jika gunung dan bukit itu dipandang dari kejauhan. Tidak ubahnya gunung-bukit itu seperti sendi besar yang menjulang tinggi. Ibarat tiang pancang penyangga langit, agar langit tidak ”runtuh”.

Lalu, apa yang dimaksud dengan ”Sekar Agung di Sangga Langit?” Kita tidak tahu apa yang dimaksud oleh pencipta lagu itu. Karena jangankan maksud yang disembunyikannya, kita pun tidak tahu siapa yang menciptakan gending tua itu. Kita juga tidak tahu di mana gending itu diciptakan. Tak tahu juga dalam suasana hati yang bagaimana gending itu terlahir.

Oleh karena itu, pertanyaannyalah yang mesti diubah. Bukan apa yang dimaksud, tapi bagaimana kita memaknainya. Ada beberapa pemaknaan yang bisa kita berikan pada frase itu. Jika Sekar Agung itu adalah Sekar Emas itu sendiri, maka frase itu bisa kita baca seperti ini: ada setangkai bunga emas yang disebut Sekar Agung terselip di gelungan penari yang bentuknya tidak ubahnya seperti gunung penyangga langit.

Jika Sekar Agung itu bukan Sekar Emas, maka kita bisa membaca seperti berikut ini: ”Ada sekuntum bunga yang agung, mulia, suci, indah tumbuh di pelosok gunung atau bukit yang tak ubahnya sebagai penyangga langit”.

BACAAN ini menyebabkan frase itu menjadi terpisah sama sekali dengan konteksnya. Memisahkan sesuatu dari konteksnya, bukanlah cara yang bagus dalam membaca dan memahami. Oleh karena itu kita perhatikan bacaan berikutnya ini:

”Terdengar alunan wirama Sekar Agung dari penyangga langit”. Bacaan ini tidak jauh dari konteksnya, karena pada bait ketiga gending itu ada disebutkan bahwa sambil meliak-liukkan tubuhnya, penari itu berkali-kali menoleh ke arah juru kidung.


Pertanyaan Tanpa Jawaban…
SANG(G)A LANGIT…

DI SALAH satu pelosok Buleleng bagian barat ada sebuah desa yang entah sejak kapan bernama Sanga Langit. Entah mengapa pula tetua desa itu jaman dahulu menyebut wilayahnya Sanga Langit, satu kata yang misterius.

Tulisan ini tidak serta merta tentang desa itu. Karena tidak banyak yang penulis ketahui tentang seluk beluk dan problematik desa itu. Dan penulis sendiri hanya ingat samar-samar, sekali atau mungkin beberaapa kali pernah melintas di desa itu dalam sebuah perjalanan meletihkan entah dari mana ke mana. Tidak ada yang membekas secara khusus tentang desa itu. Oleh karena itu, pembicaraan kali ini adalah tentang konsep yang “terbaca” samar-samar dari nama Sanga Langit itu: sebuah nama yang berarti “sembilan langit”.

Gagasan apa yang terbaca di balik kata sanga langit itu? Paling tidak ada tiga konsep yang terlintas dari kata itu. Pertama, kata sanga langit mengindikasikan sembilan penjuru langit. Tafsirnya, satu bagian langit yang ada di atas kepala, ditambah delapan bagian langit yang ada di delapan penjuru mata angin. Dalam konsep itu, langit dipandang sebagai sebuah lingkaran besar. Bagian langit yang ada tepat di atas kepala adalah pusatnya. Pusat langit itu dikelilingi oleh belahan langit di timur, tenggara, selatan, barat daya, dan seterusnya. Dengan pembacaan seperti ini, langit tidak selalu disebutkan ada di atas. Ada juga sebutan langit di timur tempat matahari terbit. Langit di barat tempat matahari tenggelam. Dan sebagainnya.

Memang ada konsep tentang delapan penjuru yang mengelilingi titik pusat. Misalnya, jagat diibaratkan sekuntum bunga Padma dengan delapan kelopak menghadap delapan penjur, dengan sari-sari bunga ada di titik tengah. Pembacaan sanga langit di atas meminjam konsep bumi untuk dipasangkan di langit. Jika bumi adalah sekuntum bunga mekar menghadap ke atas, maka langit dipahami sebagai sekuntum bunga mekar menghadap ke bawah, alias sungsang. Konsep bunga Sumanasa dalam Sastra Kawi adalah sekuntum Ongkara Sungsang yang turun dari langit ke bumi. Sedangkan sekuntum Ongkara Ngadeg yang ada di bumi konon bergerak naik menyongsong yang sungsang itu. Pada satu titik yang Sungsang dan yang Ngadeg itu bertemu seperti pertemuan dua ujung duri. Pada pertemuan kedua ujung kuntum bunga mstis itulah terjadi apa yang dicita-citakan oleh para yogi, yaitu kebebasan terakhir!

Seperti itulah bacaan pertama dari kata sanga langit. Ada pula bacaan yang kedua. Langit itu dipandang bertingkat-tingkat dan berlapis-lapis secara vertikal. Dari langit yang paling dekat dengan bumi terus ke atas sampai langit ke tujuh, dan kemudian ditambah dua lapis langit lagi di atasnya. Sehingga menjadi sembilan tingkatan langit.

Kita memang sering mendengar konsep tujuh tingkatan langit yang berhubungan dengan konsep tujuh tingkatan alam atas [sapta loka]. Bumi adalah alam paling bawah disebut Bhurloka. Angkasa yang menghubungkan bumi dengan matahari disebut Bhwahloka. Alam antara matahari dengan bintang Polar disebut Swahloka. Di atasnya lagi ada alam Mahaloka, Janaloka, Tapaloka. Dalam konsep itu langit ketujuh disepakati sebagai yang tertinggi. Langit atau alam tertinggi itu disebut Satyaloka.

Lalu apa kira-kira langit kedelapan dan langit kesembilan itu? Sampai di sini belum ditemukan sumber terpercaya yang dapat dirujuk. Yang ada hanya dugaan bahwa Satyaloka itu terdiri dari tiga lapis. Yang pertama adalah Satyaloka itu sendiri yang dihubungkan dengan alam Shiwa. Lapis kedua adalah alam Sadashiwa. Dan lapis tertinggi adalah alam Paramashiwa. Menurut dugaan ini, langit Sadashiwa dan langit Paramashiwa itulah yang kedelapan dan yang kesembilan.

Itulah bacaan yang kedua. Ada pula bacaan ketiga. Baik kata sanga maupun kata langit, sama-sama menunjuk pada yang tertinggi. Dalam sistem bilangan, sembilan disepakati sebagai bilangan tertinggi. Demikian pula langit dipandang sebagai yang tertinggi. Tidak ada yang lebih tinggi daripada langit. Karena di atas langit konon masih ada langit. Begitulah, kata sanga dan langit sama-sama menunjuk pada yang tertinggi.

Itulah tiga bacaan yang terlintas dari kata dan konsep sanga langit. Bacaan ini tidak serta merta bisa dihubungkan dengan nama desa Sanga Langit di Buleleng. Karena tetua desa Sanga Langit barangkali punya penjelasan lain mengapa menyebut tanahnya dengan nama seperti itu.

Saya teringat nama desa Sanga Langit justru ketika membulak-balik halaman buku tua yang berjudul Taman Sari: Papoepoelan Gending Bali, seperti yang telah dibicarakan dalam tulisan yang ada di kolom sebelah. Seperti yang diuraikan dalam tulisan itu, salah satu gending dalam kumpulan itu memuat syair yang berbunyi “Sekar Agoeng di Sangga Langit.”

Ketika membaca frase itulah saya tiba-tiba teringat desa Sanga Langit. Saya tercengang sendiri ketika pikiran menghubungkan kedua kata yang memiliki kemiripan fonetis itu, yang dibedakan hanya oleh satu fonem, yaitu - g.

Lalu muncul sejumlah kecurigaan, mungkinkah dulunya desa itu disebut Sangga Langit dan dalam perkembangannya akhirnya menjadi Sanga Langit karena masalah pelafalan? Jika kemungkinan ini benar, maka desa Sanga Langit tidak mesti dihubungkan dengan sembilan langit seperti di atas, tapi desa Sangga Langit itu diasosiasikan sebagai penyangga langit. Sangga Langit inikah yang dimaksudkan dalam frase “Sekar Agung di Sangga Langit”?

Saya memahami bahwa syair gending itu belum tentu berhubungan dengan desa Sang(g)a Langit yang ada di salah satu pelosok barat Buleleng itu. Tapi memang kata itu yang membuat saya mengalami “loncatan pikiran.” Dan loncatan pikiran seperti itu sangat umum terjadi. Yang jelas, karena syair itulah saya tergerak menulis pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban seperti ini.

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae