Jumat, 26 Februari 2010

REFLEKSI KESENIAN

Beni Setia
http://www.surabayapost.co.id/

AWAL 2009 kemarin diawali dengan kerisauan mengemukan di benak seniman Jawa Timur, dan semua itu sesungguhnya dipicu dua hal. Satu, dipindahkannya Dinas Kebudayaan dari rumah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ke rumah (baru) di Dinas Parawisata. Dengan konsekuensi: siapa yang mengelola Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, dan semua kegiatan rutinnya, yang selama ini jadi ajang pemanifestasian pencapaian kreatif mereka.

Dua, fakta ketika Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya tetap berada di bawah Dindik Jawa Timur, dan dianggap sebagai sarana UPT kegiatan seni pelajar, sehingga seniman, cq DKJT, merasa tidak akan bisa ”meminjam” Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya untuk kegiatan berkesenian mereka. Dan–terutama–kegiatan sastra yang setiap tahun tampil dalam kop Festival Cak Durasim. Bahkan, eksistensi dari Festival Cak Durasim itupun jadi samar-samar dalam diketidakpastian siapa yang memegang legalitas proyek dan pendanaannya.

Mendung kelabu menaungi tempat dan acara kesenian, semua tradisi dan energi kreatif kesenian seperti sedang ditempatkan di episentrum ketakpastian dalam rentang 8 skala Richter. Untung acara sastra itu kemudian diteruskan Dinas Kebudayaan dan Parawisata Jawa Timur, meski semua sastrawan Jawa Timur tetap kehilangan ruang representatif yang menjanjikan gengsi penyelenggaraan. Acara rutin Temu Sastrawan, Jawa Timur, bagian dari Festival Cak Durasim, misalnya, terpaksa diselenggarakan di aula Dibudpar di Menanggal dan tak lagi di Taman Budaya. Jawa Timur di Surabaya.

Acara dari jenis seni lainnya ada yang tampil di Malang, tempat lain di Surabaya dan entah di mana lagi. Atau sebuah acara baca sajak yang jeleketek diselenggarakan di aula Museum Mpu Tantular, Buduran, Sidoarjo–selain acara baca sajak akhir tahun yang diselenggarakan di Pendopo Taman Budaya, nyaris ngemper tak memakai ruang Gedung Tertutup. Dan kayaknya Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, yang telah investasi banyak untuk Teater Tertutup dan terutama Wisma Seni itu, memang sudah waktunya dirubah menjadi Taman Pelajar, biar netral–dan pemanpaatan areal kantor untuk Samsat tidak menjadi problem.

Untuk itu amat pantas bila Disdik itu membayar kompensasi agar sarana Taman Budaya Jawa Timur di Malang bisa ditingkatkan. Sehingga semua kegiatan kesenian terpusat di Malang, meski penulis tak tahu apa status Taman Budaya Jawa Timur di Malang didanai provinsi atau kota. Menelad kegiatan Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, yang aktivitasnya lebih gaung dari Taman Budaya Jawa Tengah (induk) di Semarang. Kenapa harus begitu?

Saat tidak memiliki rumah, semua kegiatan rutin terjadwal dalam Festival Cak Durasim dan diselenggarakan terpusat di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya itu terpaksa dipecah dan disebarkan ke mana-mana. Jadinya, wong Jawa bilang, kok repot andong tempat andong wektu. Di mana semua agenda seni–terutamanya sastra–yang

sudah terjadwal rapi tersendat di ketidakpastian, jadi ringkih seperti lelaki tua gagap penderita tremor. Betapa tidak: ada acara, ada jadwal, ada dana, ada pimpro, tapi tidak punya tempat pentas. Mengeluyur sebagai si satria wirang penyandang pedang ronin. Set back ke masa 1980-an.

Saat acara seni kembali terfragmentasi dalam kabut komunitas yang tersebar di daerah–dengan segala ego preferensi komunitasnya. Faktanya, misalnya, Khaul Bung Karno di Blitar, atau Festival Sastra Jawa diselenggarakan di halaman rumah pribadi dan ruang kelas di Nglaran, Cakul, Trenggalek. Piye iki? Apa usaha Dewan Kesenian Jawa Timur dalam mengatasi handikap ruang publik resmi pro penggalakan apresiasi dan penggalangan potensi seniman, via konsultasi legal dengan Pemda Provinsi Jawa Timur, agar taraf melek budaya warga Jawa Timur meningkat?

Atau semua seniman harus memulai lagi segalanya dari nol–sambil dibujuk agar tak banyak ulah dengan kartu asuransi kesehatan agar bisa bolak-balik ke Puskesmas untuk mendapatkan perawatan maag dan kemudian HO–? Sementara banyak kegiatan komunitas yang tak dirujuk oleh ayoman legal Pemda, Dindik, Disbudpar atau DKJT yang sejak awal disenggarakan dan terus diselenggarakan secara swadaya. Ambillah acara Malsasa yang mentradisi itu. Bahkan kerinduan komunitas sastra Jawa kepada forum untuk tampil tidak pernah diakomodasi Dindik, Disbudpar atau DKJT, hingga terpaksa menumpang Malsasa.

Kenapa Disbudpar dan DKJT tidak mengakomodasinya dengan satu acara Temu Sastrawan Jawa–bahkan Festival Sastra Jawa yang swadaya itu terselenggara di udik perbukitan kidul–? Kenapa tak ada anggaran Temu Sastrawan Jawa? Apa Jawa Timur itu hanya bagian legal dari NKRI dan tidak ditopang pilar sosial-budaya Jawa?

BENI SETIA, pengarang
E-mail: benisetia54@yahooo.com
Rekening: BCA KCP Caruban No 3281012663

DENNY MIZHAR DAN ALAM PUITIK GUNUNG KIDUL

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Tuhan Yang Aku Penggal Dan Naluri Insani Yang Mati
Denny Mizhar

Aku pernah memenggal nama tuhan
ketika tak kuat menjumpai tempat singgahnya.

Batu-batu kerikil tajam melukai kakiku
di jalan menapaki pertapaan.

Kesunyian singgah dalam kesilaman masa
keharuan menebar putik-putik kamboja
lelah dengan mudah.

Bayangan-bayangan kematiannya
bergelayut di dinding nalarku penuh angka.

Tak habis aku menginjaki nasib selalu patah
warna bercahaya hilang tertutup kabut nestapa.

Penempaan akan diri
kian berulang-ulang dalam kehangatan purnama
ah, masih saja jauh kelanaku, sedang tubuhku penuh darah.

Dengan segala daya aku berlari merangkul sepi
di puncak perbukitan dimana tuhan pernah aku makamkan.

Seketika mulutku berkhotbah
mempertanyakan naluri insani juga mati di bukit putih.
***

Membaca puisi Denny Mizhar, mengingatkanku seringnya terjadi orang kendat, atau bunuh diri di Gunung Kidul (GK). Dari persoalan bermacam-macam yang tampaknya ada kecenderungan nasib pahit, terpancar di balik bencah tanahnya. Kefahaman ini didukung penulis puisi, yang pernah bilang dirinya sedang di sana. Lantas diriku teringat lukisan beraliran dekoratif karya pelukis Harjiman (almarhum), yang seluruh obyek lukisannya mengenai alam GK yang gersang; cucuran air hujan jarang sampai menghijaukan pandang.

GK salah satu kabupaten di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), alamnya dulu sangat kering, tanah merah bercampur bebatu. Padahal masyarakat kebanyakan mengandalkan pertanian, sebagai mata pencarian hidup. Tapi waktu demi waktu insan giat berfikir dan pekerja ulet. Mulai menapaki tangga keindahan, ada yang ke Ibukota dan di Yogyakarta sendiri, demi mencukupi hayatnya. Lantas pemerintahan DIY menggalakkan penghijauan, yang kini dapat dipanen lewat semilir bayu. Namun "tradisi" bunuh diri, masih berjalan di awal tahun 2000-an. Semoga tulisan ini turun, sudah tiada lagi yang mengecutkan nyawa tersebut.

Sebenarnya aku ingin kembarai warna pantai Kroasia lewat google, sebab diriku belum ke sana, terus kujumpai puisi Denny. Lalu kuarahkanlah pada warna lokal yang tidak kalah menariknya, meski laut selatan GK tiada permainan voli pantai dengan pemain yang aduhai. Tapi tanjung karang putihnya ayik juga dipandang mata. Aku mulai saja mengupas karyanya, demi tidak ngelantur tak karuan. Kuterjemahkan perbait, kuanggap Denny Mizhar sudah berkali-kali hatamkan Sabda Zarathustra -Nietzsche, sehingga kudapati lebih naik, meski dengan secarik catatan:

I
Kerap manusia mendapati kesadaran kelemahannya, ketika sudah melampaui batas dinaya, sampai memulangkah apa saja yang diyakini. Saat itu juga, yang ditanggalkan begitu kuat hadir, tapi tak merasakan puncak perjumpaan. Sebab tengah menyatukan kesaksian, semisal jiwa ateis masih merasai kehadiran-Nya, ketika nalar tak mampu menjangkau, melemparkan duga pada hayalan.

II
Di jalanan hidup berliku penuh duri-duri tajam, dari kebodohanlah terlihat adanya kelicikan. Di sini ketakmampuan mencerna terbayang, tapi dengan memasuki goa pertapaan bertafakkur, semuanya terang dalam keinsyafan pemahaman.

III
Dalam sunyi, nilai-nilai bathin yang sudah ditapaki, menyembul mencapai langit-langit goa menyatu ruangan. Memantulkan terang cahaya dari pintu selalu terbuka, sedari pelatarannya tercium bunga harum ingatan kamboja. Bau kewaspadaan disebut keheningan makmur, kelapangan jiwa menerima.

IV
Namun, nalar yang menghitung denting air menetesi batuan putih di lantai goa, melayarkan gambaran usianya. Rumusan hidup dari bacaan, ingatan kalender merayunya berfikir kausalitas. Hati tergoda membentangkan angka, memasukkan dalam makna kesatuan bersusah payah. Serupa peperangan di medan kemanusiawian.

V
Tatkala nalar dilayarkan dengan bukti rangkaian kata "Tak habis aku..." Maka keindahan kalbu yang rapi segugusan cahaya puitik, atas pencarian hakikat dikehendaki puisi itu, membuyar penyesalan tiada habis-habisnya. Kekecewaan tergambar padat, ke puncaknya warna gelap gulita menusuki bagian rasa.

VI
Ialah cahaya-gelap pun purnama, serta bayang-bayang kelebatan dahan, mematangkan makna. Dari gerak itu bukan berasal cahaya, tapi paduan angin perasaan bergetar menyempurnakan kehangatan. Serupa "tubuhku penuh darah" atau rasa meruh di luar, sedang menyaksikan ketelanjangan sendiri.

VII
Di bait ini, logika pemenggal tuhan tak berdaya, kembali ingin mendekapi sunyi, ke hati yang pernah ditinggalkan. Meski dalam tempo detikan, tapi jarak hati dan nalar sungguh jauh, kalau tak sedang merasai kegenapan. Sepadan penyatuan selaras, lalu keduanya (hati-fikiran), bergegas keluar dari goa pertapaan, ke bukit pemakaman tuhan. Perbendaharaan makna, lenyap dari hadapan aku lirik, bermuwajjaha kepada-Nya.

VIII
Akhirnya nasib berkesaksian, lewat mempertanyakan yang tak butuhkan jawaban para penyaksi. Apakah ada atau tidak, mulutnya berucap; bahwa tuhan yang hadir dalam wacana pun, perlu nafas-nafas ruh kehadiran demi kebesaran-Nya. Kalau bukan manusia sendiri tak akan sanggup memaknai, atau terkubur nuraninya di bukit putih.

Sastra Kita Antara Tragedi dan Ironi

Tjahjono Widijanto
http://www.suarakarya-online.com/

Dari awal tumbuh dan perkembangan sastra Indonesia modern tak lepas dari persoalan luka kemanusiaan dan luka bangsa .Dalam sastra kita, monumen-monumen luka manusia ini juga diikuti dengan hero-hero yang keheroikannya bisa jadi tidak sedahsyat cerita-cerita dalam sejarah ansich. Ambil contoh roman Surapati karya Abdoel Moeis, Pulang (Toha Mohtar), Surabaya, Corat-coret di Bawah Tanah (Idrus), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), Keluarga Gerilya, Perburuan, Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer) dan Burung-burung Manyar karya J.B Mangun Wijaya, semua menunjukan sisi paradoksal antara hero, heroisme dan tragik. Tokoh Untung Surapati dalam sejarah ditampilkan sebagai sosok yang memilki kompleksitas kejiwaan, mulai dari persoalan harga diri hingga affairnya dengan seorang noni Belanda bernama Suzana.

Demikian pula tokoh Tamin dalam Pulang, dan tokoh Gurui Isa dalam Jalan Tak Ada ujung, tidaklah tampil sebagai tokoh yang super sakti dan super hebat seperti pahlawan-pahlawan dalam sejarah tetapi justru menghayati tumbuhnya jiwa kepahlawanan dalam dirinya pada saat kondisi jiwanya terjepit dan tersia-sia. Tokoh Tamin bisa tampil sebagai hero setelah menyadari betapa ia telah tercerabut dan tidak berartinya bagi lingkungannya. Tokoh guru Isa bahkan harus menjadi seorang yang impoten dan penakut terlebih dahulu sebelum mendapatkan keberanian. Rasa heroismenya muncul justru pada saat ia berada pada puncak ketakutan ketika mengalami penyiksaan serdadau Belanda di tahanan.

Munculnya hero dan heroisme dibarengi dengan tragedi mulai tampak dengan kuat pada karya-karya masa 1940-an pada saat pendudukan Jepang. Pendudukan singkat Jepang telah membawa perubahan yang luar biasa dalam aspek linguistik dan wilayah imajinasi literer yang oleh Teeuw (1980) disebut sebagai cultural revolution. Pada masa sebelumnya (Poejangga Baroe dan Pra-Pujangga Baroe) karya sastra kita cenderung menampilkan hero dan heroisme dengan berteriak lantang, gegap gempita nyaris tanpa darah dan luka. Puisi-puisi M. Yamin “Bahasa Bangsa” dan Sanusi Pane, “Doa” misalnya tampil dengan gagah perkasa dan lantang menyuarakan pemujaan sekaligus kerinduannya terhadap kebesaran Indonesia masa lalu.

Sajak-sajak Yamin dan Pane sama-sama mengingatkan kita pada konsep kebudayaan kebangsaan yang dianut para pemuda di wilayah pergerakan seperti nasionalisme Jawa versi Soerjo Koesoemo atau nasionalisme Sumatra model Mohamad Amir dan Bahder Johan. Dalam perkembangan selanjutnya, novel-novel Sutan Takdir Alisyahbana (STA) seperti Layar Terkembang, Kalah dan Menang, serta Grota Azura mencoba membentangkan hero dan heroisme dalam uoaya mensosialisasikan orientasi kebudayaan dan kebangsaan. Justru karena hero dan heroisme tampil kelewat gagah perkasa novel-novel STA menjadi kelihatan “musykil” dan ajaib, yang oleh Keitch Foulcher (1991) malahan dikatakan tidak segemilang eseai-eseainya.

Semangat kepahlawanan kebangsaan dalam sastra kita mencapai puncaknya di tangan Chairil Anwar yang justru mencampuradukan hero, heroisme dengan pengorbanan bahkan ketragisan. Puisi-puisi Chairil meski sepentas kilas menggelegar namun menghadirkan antara yang heroik dan yang tragik. Tragik dan heroik saling berpaut, antara maut dan kekalahan senatiasa beriringan dengan sebuah “kebermaknaan” sekali berarti sesudah itu mat!.Pada karya-karya berikutnya tragedi luka-luka kemanusiaan beriringan dengan hero dan heroisme ini semakin tampil mencekam. Luka-luka kemanusiaan yang muncul bersamaan dengan hero dan heroisme itu masuk pada ruang-ruang tragedi pribadi, keluarga dan masyarakat. Karena itu dalam cerita-cerita Pramoedya dapat kita temukan sebuah kegetiran dan tragedi yang dahsyat ketika seorang bapak harus tega memenggal kepala bapaknya yang menjadi mata-mata musuh.

Dapat pula ditemukan sorang kakak yang menukar kehormatannya dengan nyawa adiknya yang tertangkap musuh. Pada titik ini pembaca dipaksa untuk menyaksikan tragic of execution, sebuah tragedi yang memperkuat hero dan heroisme, juga sebaliknya hero, heroisme yang memperjelas dan menegaskan ketragikan.

Ironi antara kepahlawanan dan ketragisan dalam karya sastra kita juga dihadirkan tidak saja dalam nada getir namun bisa juga sinis, satire bahkan menggelikan. Dalam Corat-coret di Bawah Tanah dan Surabaya, Idrus memandang dari sisi lain peritiwa pertempuran Surabaya. Pertempuran Surabaya yang menggetarkan itu di dalam teks sastra karya Idrus justru ditampilkan dengan parodi. Para pemuda yang bersenjata dilukiskan sebagai cowboy-cowboy pemula yang sedang memiliki kegemaran baru bermain-main dengan senjata.

Semangat kepahlawanan tidak lagi diletakan sebagai sesuatu yang keramat, sakral dan luar biasa namun diletakan pada sebuah situasi kejiwaan yang ganjil yang tumbuh dari situasi chaos yang bisa jadi tidak disadari dan tak dimengerti oleh ’sang hero’ itu sendiri.

Cerpen-cerpen Idrus ini mengingatkan kita pada naskah Don Quixote de La Mancha karya Carvantes. Melalui tokoh ‘hero’-nya, Don Quixote (Don Kisot), Carventes menyindir kaum bangsawan dan satriya pada zamanya yang gemar memposisikan diri sebagai hero. Bagi Carventes (juga Idrus) hero dan heroisme tidak lebih dari khayalan menggelikan dari segelintir orang yang merasa telah berbuat sesuatu yang besar yang sebenarnya hanyalah ilusi belaka dari ketakberdayaan. Heroisme adalah sebuah pelarian dari utopia yang tak kunjung mewujud.

Sudah lama pula, teks-teks sastra dianggap bisa juga mewadahi dan menghadirkan kerinduan akan “hero-hero imajinatif” dari masyarakat akibat krisis hero dalam realitas itu sendiri. Teks sastra dianggap mampu menawarkan suatu gambaran ideal seorang hero yang danggap dapat menawarkan sebuah dunia yang juga ideal justru pada saat realitas sosial masyarakat berada dalam puncak frustasi.

Contoh semacam ini dapat ditemukan dalam serat Sabda Pranawa dan Kalatida, karya pujangga Jawa terakhir, Ranggawarsita. Kalatida yang berarti zaman edan (disebut juga kalabendu) menggambarkan carut marutnya sosial, budaya dan ekonomi masyarakat akibat krisis pemimpin yang ideal. Penderitaan ini berakhir setelah munculnya pemimpin baru, hero baru bernama Ratu Adil yang membawa masyarakat pada zaman keemasan (kalasabu). ***

*) Penulis penyair dan esais. Tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

Pudarkah Sastra Pesantren?

Fahrudin Nasrulloh*
http://cetak.kompas.com/

Dalam riwayat orang Jawa, bahasa dan sastra Jawa biasa dijadikan medium untuk memperkenalkan ajaran Islam, dalam ruang-ruang yang disebut pesantren. Adapun dalam sastra Islam-Kejawen, anasir sufisme dan ajaran pekertinya diserap oleh pujangga Jawa untuk mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu.

Cerita bisa bermula saat imperium Majapahit dikhatamkan dengan masuknya Islam dan berdirinya Kerajaan Demak, abad ke-14 M. Demak pun berdiri pada abad ke-16 M. Banyak karya sastra Jawa yang ditulis seputar momen itu. Dua naskah di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda: Het Boek Van Bonang dan Een Javaans Geschrift de 16e Eew (Primbon Jawa Abad ke-16 M).

Menurut Simuh, naskah yang disebut pertama berisi ”pitutur Sheikh Bari”, ihwal bagaimana mempertahankan ajaran sufisme ortodoks dan menentang setiap bentuk pembangkangan terhadap syariah. Di bagian lain, HM Rasyidi melihat dengan kritis serat-serat macam Gatoloco dan Dharmagandul, adalah kronik-kronik sejarah yang menjadi penanda masa peralihan dari Majapahit yang Hindu ke Demak-Islam.

Jawa Kuno > Islam

Het Boek Van Bonang adalah salah satu contoh karya sastra Jawa-pesantren, di samping karya-karya lainnya.

Dalam gairah kesusastraan Jawa-pesantren inilah, kalangan santri ataupun kiai melakukan semacam revitalisasi atau penulisan ulang warisan sastra Jawa Kuno dan Jawa Tengahan, dengan antara lain memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya. Munculnya kegairahan dan kegiatan baru untuk mengkaji sastra Jawa Kuno ini, menurut Kuntara Wiryamartana, sebagai sebuah gerakan ”renaisans sastra klasik” dalam penelitian-penelitian mutakhir.

Pada masa bergairah inilah lahir beberapa karya kapujanggan, semisal Serat Centini (12 jilid) yang ditulis oleh sejumlah pujangga Keraton Surakarta yang dipimpin oleh KGP Adipati Anom Amengkunegara III. Demikian pula karya R Ngabehi Ronggowarsito (1728-1802 Jawa/1802-1873 M), seperti Suluk Saloka Jiwa, Serat Kalatida, dan Serat Wirid Hidayat Jati.

Layak dicermati pula beberapa dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1892 M, Kanjeng Raden Adipati Suryakusuma (pensiunan Bupati Semarang) mengarang sebuah narasi monumental berjudul Serat Cebolek. Serat ini terdiri dari 31 satu syair dalam gaya macapat.

Pudar pada masa kini

Bersama sejumlah karya, misalnya, Jamus Kalimasada (Riwayat Syekh Jambu Karang), Riwayat Bekti Jamal, Jentraning Tanah Jawa, Suluk Jaka Lontang, Serat Gita Utama Margalayu, Suluk Rara Jinem, dan Kidung Rumeksa ing Wengi, karya-karya sastra Jawa pesantren di atas merupakan ensiklopedia dan warisan dari budaya Islam Jawa yang tak ternilai harganya.

Warisan yang sayangnya tidak mendapat kelanjutannya pada masa kini. Gus Dur, dalam sebuah esai pendeknya yang bertajuk ”Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia” (Kompas, 26 November 1973) menyebut bahwa pesantren belum menjadi medan pertaruhan bagi sastrawan Indonesia.

Karya-karya Djamil Suherman, Mohammad Radjab, atau Hamka belum bisa dikatakan benar-benar menggali secara mendalam dunia pesantren (tentang surau atau kehidupan di kampung yang islami). Karya mereka sekadar memantulkan yang nostalgia atau catatan peristiwa, bukan sebuah pergulatan keagamaan yang keras dan kental.

Sementara itu, sebenarnya begitu melimpah dan penuh ragamnya persoalan di seputar Islam dan kepesantrenan sejak era modern (akhir abad ke-19) dimulai di negeri ini. Namun, seberapa jauh hal itu digarap oleh pengarang kita? Abidah El-Khalieqy dengan novelnya, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora, seperti mencoba melakukan itu. Namun, tidak berhasil. Ia menyampaikan sekadar ”pesan”, bukan satu ”wacana”, misalnya, tentang persoalan psikologis dan keterpinggiran perempuan di wilayah domestik kiai.

Cecaran, bahkan tudingan sesat menghambur kepada Abidah dalam beberapa road show bedah novel PBS beberapa waktu lalu. Hal ini memberi fakta lain, pudarnya sastra Jawa-pesantren ternyata juga diakibatkan oleh ketidaksiapan dan ketidakterbukaan dunia pesantren dalam menghadapi kehidupan modern. Kembali kepada Gus Dur, persoalan itu disebabkan oleh dua kendala: pertama, karena persoalan dramatis di pesantren berlangsung pada ”taraf terminologis” yang tinggi tingkatannya.

Kedua, karena masih kakunya pandangan masyarakat kita terhadap manifestasi kehidupan beragama di negeri kita. Oleh Nurcholish Madjid, pandangan ini dinamai sakralisme agama. Dengan demikian, naluri sastra dan elastisitas bentuk penceritaan tidak memperoleh jalan pelepasan.

Seberapa jauh alam keterbukaan yang konon demokratis ini bisa membuat masyarakat kita, khususnya para pengarang dan para kiai yang memegang otoritas pesantren, dapat mengatasi kendala-kendala di atas? Kita masih menunggu waktu yang memprosesnya.

*) Pengarang dan Editor, Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.

KILAS BALIK SERAT KALATIDA KARYA RONGGOWARSITO

Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/

Sebenarnya perjalanan kehidupan dalam alam fisik ini bersifat stagnan. Mulai dulu sampai sekarang, bahkan nanti akan bersifat sama alurnya. Sama dalam tataran peristiwa problematikanya. Yang berbeda hanyalah fenomena tempat, fasilitas, pelaku orangnya, budaya, dan peradabannya. Ini terlihat sebagai suatu siklus rotasi yang pada saatnya nanti akan teruluang kembali. Seperti suatu nasib; kadang di atas, kadang di bawah. Suatu saat akan berjaya, di saat yang lain akan terjatuh juga.

Peristiwa-peristiwa masa lalu akan terulang kembali pada masa sekarang. Begitu juga dengan sekarang, pada hari esok akan terulang pula. Namun tidak sama persis. Yang sama hanyalah suasana batiniah peristiwa itu. Seperti itulah fenomena yang seolah-olah tampak dari karya Ronggowarsito. Kita kenal bahwa Ronggowarsito adalah seorang pujangga yang konon ceritanya memiliki ketajaman batin yang khusus dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Dalam karya-karyanya sering terungkap prediksi-prediksi suatu kejadian masa datang. Bahkan lebih dari itu, ia juga mengetahui ajalnya sendiri.

Sebenarnya Ronggowarsito bukanlah nama asli, melainkan suatu gelar kebangsawanan di keraton Surakarta. Gelar Rongowarsito ini diberikan kepada seorang juru tulis kerajaan. Nama asli Ronggowarsito yang kita kenal saat ini adalah Bagus Burham yang lahir tanggal 15 Maret 1802. Orang yang pertama kali menerima gelar Ronggowarsito ini adalah Yosodipuro II yang tidak lain adalah kakek Bagus Burham. Ronggowarsito II bernama Panjangswara dan dia adalah ayah dari Bagus Burham. Bagus Burham inilah yang yang kemudian menggantikan ayahnya dengan gelar Ronggowarsito III setelah perang Diponegoro usai; yaitu sekitar tahun 1830. Dan Bagus Burham inilah yang sampai dewasa ini akrab kita kenal dengan nama Ronggowarsito. Yang karya-karyanya sampai di tangan kita.

Dalam karyanya, Ronggowarsito pernah menyinggung datangnya bencana yang merupakan sebagian dari kutukan Tuhan. Berdasarkan penglihatan ruhaniahnya, hari itu suatu saat akan datang. Semua ini tidak lepas dari hukum sebab-akibat. Sebelum datangnya hari itu, pasti ada sebabnya terlebih dahulu. Sebab utama yang melatarbelakangi munculnya kutukan Tuhan tidak lain adalah dipicu oleh kelalaian manusia sendiri. Ia lalai dengan jati dirinya sehingga lalai pula dengan tugas kemanusiaannya di dunia. Misi kekhalifahan terabaikan. Mengobarkan api kerusakan dalam kesemestaan alam. Angkara murka bangkit di mana-mana. Bahaya, susah, dan derita meraja lela. Ilustrasi itu terungkap dalam Serat Kalatida yang diungkapkan dalam bentuk tembang Sinom. Serat tersebut berbunyi:

I
Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunyaruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti
Sujana sarjana kelu
Kalulun Kala Tida
Tidhem tandhaning dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda.

II
Ratune ratu utama
Patihe patih linuwih
Pra nayaka tyas raharja
Panekare becik-becik
Parandene tan dadi
Paliyasing Kala Bendu
Mandar mangkin andadra
Rubeda angreribedi
Beda-beda ardaning wong saknegara

III
Katetangi tangsisira
Sira kang paramengkawi
Kawileting tyas duhkita
Kataman ing reh wirangi
Demimg upaya sandi
Sumaruna anerawung
Mangimur manuhara
Met pamrih melik pakolih
Temah suka ing karsa tanpa wiweka.

IV
Dasar korban pawarta
Bebaratan ujar lamis
Pinudya dadya pangarsa
Wekasan malah kawuri
Yen pinikir sayekti
Mundhak apa aneng ngayun
Andhedher kaluputan
Siniraman banyu kali
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.

V
Ujaring Panitisastra
Awewarah asung peling
Ing jaman keneng musibat
Wong ambeg jatmika kontit
Mengkono yen niteni
Pedah apa amituhu
Pawarta lolawara
Mundhak angreranta ati
Angurbaya angiket cariteng kuna.

VI
Keni kinarya darsana
Panglimbang ala lan becik
Sayekti akeh kewala
Lelakon kang dadi tamsil
Masalahing ngaurip
Wahaninira tinemu
Temahan anarima
Mupus pepesthening takdir
Puluh-puluh anglakoni kaelokan.

VII
Amenangi jaman edan
Ewth aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada.

VIII
Semono iku bebasan
Padu-padune kepengin
Enggih mekoten man Doblang
Bener ingkang angarani
Nanging sajroning batin
Sejatine nyamut-nyamut
Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma

IX
Beda lan kang wus santosa
Kinarilan ing Hyang Widhi
Satiba malanganeya
Tan susah ngupaya kasil
Saking mangunah prapti
Pangeran paring pitulung
Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih
Parandene maksih taberi ichtiyar.

X
Sakadare linakonan
Mung tumindah mara ati
Angger kang dadi prakara
Karana wirayat muni
Ichtiyar iku yekti
Pamilihing reh rahayu
Sinambi budidaya
Kanthi awas lawan eling
Kang kaesthi antuka parmaning suksma.

XI
Ya Allah ya Rasulullah
Kang sipat murah lan asih
Mugi-mugi aparinga
Pitulung ingkang martani
Ing alam awal akhir
Dumununging gesang ulun
Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi
Mula mugi wontena pitulung Tuwan.

XII
Sagede sabar santosa
Mati sajroning ngaurip
Kalis ing reh aruhara
Murka angkara sumingkir
Tarlen meleng malat asih
Sanityaseng tyas mematuh
Badharing sapudhendhana
Antuk mayar sawetawis
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya.

Ronggowarsito dalam karyanya di atas mengisahkan bahwa martabat negara hancur berantakan. Aturan, hukum, dan undang-undangnya tidak diindahkan dan diinjak-injak. Contoh-contoh yang luhur tidak ada lagi. Orang-orang terpelajar terbawa arus dalam kepincangan zaman. Suasananya mencekam, sebab hidup penuh dengan kerepotan. Ibarat yang salah jadi benar, dan yang benar menjadi salah. Yang halal menjadi haram, dan yang haram memnjadi halal.

Pada dasarnya kepincangan-kepincangan itu tidaklah bersumber dari pemerintahan, tetapi semuanya mengalir dari jiwa-jiwa masyarakat dan manusianya. Pemimpin pemerintahan termasuk orang yang baik. Patihnya juga cerdik. Semua anak buah hatinya baik. Pemuka-pemuka masyarakat juga baik. Tetapi semuanya itu tidak membawa kebaikan. Justru malah sebaliknya. Hal itu disebabkan oleh kutukan zaman. Bahkan keusahpayahan semakin menjadi-jadi. Lantaran perbedaan persepsi, pandangan, pikiran, serta tujuan manusiannya masing-masing. Semuanya saling membenarkan diri-sendiri. Walau sudah jelas dirinya bersalah.

Saat itulah hukum menjadi barang dagangan yang tengah diobral murah. Pemerintah tak berdaya. Yang berharta jadi penguasa. Berhak menentukan jalan hidupnya. Tak peduli benar-salah dan halal-haramnya cara yang ditempuhnya. Yang penting tujuan tercapai, segalanya digilasnya.

Melihat fenomena semacam itu, Ronggowarsito menangis sedih. Ia merasa malu dan terhina. Realitas yang ada penuh dengan fitnah dan intrik. Segalanya seolah-olah tampak menghibur dan menggembirakan. Di depan seseorang bersifat manis dan memuji-muji, tetapi jika seseorang itu tidak ada, maka ia justru balik menikamnya

Berbagai macam gosip dan rumor datang tak menentu pada zaman itu. Di mana-mana selalu ada gosip, bahkan hampir diseluruh penjuru dipenuhi dengan gosip. Bukan gosip yang positif, melainkan hanya sekedar mengumbar aib. Orang-orang banyak yang berebut kedudukan. Setiap kepala ingin duduk memerintah. Oleh sebab itu, janji-janji berhamburan demi menggapai tujuan. Tapi pada akhirnya itu hanya sekedar bualan. Kata-kata yang telah diucapkan justru malah tidak diperhatikan sama sekali. Sibuk dengan perutnya sendiri. Sebenarnya, kalau benar-benar direnungkan, menjadi pemimpin itu tidak ada guna-faedahnya. Justru malah menumpuk kesalahan-kesalahan saja. Bahkan jika lupa diri, hasilnya tidak lain hanyalah kesusahpayahan yang berujung pada bencana.

Berdasarkan buku Paniti Sastra, sebenarnya sudah ada wawancang terlebih dahulu akan peristiwa ini. Saat zaman dipenuhi kesusahpayahan, kebatilan, serta musibah, orang baik akan tidak terpakai. Ia malah dikucilkan. Hendaknya hal ini menjadi catatan penting. Kata-kata yang tak bermakna dan gosip-gosip hanya akan menyiksa hati. Ini tidak patut untuk didengarkan. Lebih baik mendengar cerita masa lalu dan dongeng-dongeng. Itu dapat dijadikan teladan dan cermin diri yang baik guna membandingkan dan mempertimbangkan antara perbuatan yang baik dan buruk. Antara kebaikan dan kejahatan. Antara yang benar dan salah. Sebenarnya cukup banyak contoh dari kisah-kisah terdahulu yang mampu membuat hati penikmatnya tenang dan damai, bersikap ikhlas menerima yang berujung pada kepasrahan dan keridhaan terhadap segala takdir Tuhan.

Ronggowarsito mengisyaratkan bahwa hidup di zaman edan ini memanglah sangat repot. Susang menentukan sikap. Ingin mengikuti arus zaman, kita tidak sampai hati, tetapi jika tidak mengikuti, kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Yang kita dapat hanyalah kelaparan. Walaupun begitu, ini sudah jadi kehendak Tuhan. Di zaman ini, seuntung apapun orang yang lupadaratan, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Ingat kepada yang hidup dan yang mati. Ingat pada jati dirinya sendiri. Waspada terhadap kutukan tuhan yang pasti.

Ibarat pepatah. Orang yang hidup di zaman edan ini seolah-olah tampak menolak segala realitas kepincangan yang ada, namun pada dasarnya ia berminat menerima kenyataannya. Benar kata orang, dalam hati fenomena ini memang repot juga. Dari pada memikirkan arus zaman itu, Ronggowarsito lebih baik memimikirkan hal yang lain. Lebih baik ia menginstropeksi diri. Ia menyadari bahwa usianya semakin tua. Apa pula yang hendak dicari dalam dunia yang seperti ini. Lebih baik berkhalwat agar mendapat ampunan Tuhan yang sejati.

Berbeda lagi dengan mereka yang sudah kuat, yang telah menggenggam kesejatian hidup, ia pasti telah berlimpahkan rahmat tuhan. Bagaimanpun fenomena zamannya, ia selalu bernasib mujur. Tuhan selalu memberi pertolongan padanya. Ia tidak perlu bersusah payah, dengan tiba-tiba ia akan mendapatkan anugrah. Walaupun begitu, ia masih butuh ikhtiar juga.

Orang yang seperti itu, selalu menjalani realitas hidup dan kehidupan dengan bersikap sederhana dan sewajarnya. Urep sakmadyane. Ia berjalan berdasarkan tuntunan hati yang jernih. Memberikan kebahagiaan dan tak menimbulkan permasalahan. Seperti pepatah, manusia itu wajib berikhtiar dalam memilih jalan yang benar. Bersamaan dengan hal itu, ia harus senantiasa ingat dan waspada agar mendapat rahmat Tuhan yang Esa.

Setelah menginstropeksi diri, dengan segala kesadarannya, Ronggowarsito berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan berwasilah kepada Rasulnya. Dengan kasih sayang-Nya, Ronggowarsito berharap agar mendapatkan pertolongan di saat ajal telah menjelang. Baik saat di dunia maupun saat di akhirat nanti. Ia sadar betul bahwa hidupnya tinggal sebentar lagi. Khusnul khotimah ataukah su’ul khotimakah akhir perjalanannya nanti? Yang jelas, hanya Tuhan-lah yang kuasa memberi pertolongan padanya. Semoga ia dikaruniai kesabaran dan kekuatan ketika menjalani mati dalam kehidupan (mati sajroning ngaurip). Jauh dari bencana serta terhindar dari keangkaramurkaan. Dengan segenap jiwa Ronggowarsito merenungkan, menyucikan lahir, batin, dan pikiran sembari menyongsong berakhirnya kutukan zaman. Ia pasrah menanti datangnya putusan (takdir) Tuhan.

Apabila serat itu kita tarik benang merah dengan realitas sekarang, maka akan terasa relevansi yang begitu kuat. Fenomena yang digambarkan Ronggowarsito dalam zamannya seolah muncul kembali pada saat ini. Ini diperkuat dengan isyu “kiamat” pada akhir tahun 2012. Konon diceritakan bahwa kiamat itu adalah hari kehancuran alam. Tanda-tandanya adalah rusaknya moral manusia. Bumi digoncang-gancingkan dengan guncangan (problematika hidup dan kehidupan) yang sangat dahsyat. Manusia bingung dengan sendirinya. Bagaikan makan buah simalakama.

Jika kita berpandangan lebih arif terhadap isyu tersebut, kita akan menemukan titik temu antara realitas sekarang dengan ujaran Ronggowarsito dan Maya Calender. Tahun 2012 berdasarkan Maya Calender merupakan titik kulminasi dari peristiwa “kiamat”. Kiamat di sini tidak sekedar kita pahami sebagai totalitas kehancuran alam semesta, melainkan bisa jadi kehancuran yang bersifat minimum. Sebab kita kenal istilah kiamat sughroh dan kiamat kubroh. Begitu juga dengan pijakan kita tentang kehancuran alam. Alam yang bagaimanakah yang hancur! Alam fisik? Alam ruhani? Alam hati? Alam pikiran? Atau bahkan alam tubuh manusia (kematian personal)? Lantas kita juga harus berpandangan pada letak titik sentrum yang paling kuat dalam kehancuran alam tersebut?

Realitas alam ruhaniah manusia sekarang ini memang benar-benar hancur. Esensi keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam dirinya kerap tergadaikan. Manusia banyak yang lari dari Tuhan dan berganti arah-mendekat pada nafsiahnya. Hawa nahsunya yang kerap ditonjolkan. Hal itulah yang menyebabkan hancurnya alam hati dan pikiran mereka. Alam hati tak tenang, tergoncang-gancingkan, dibayang-bayangi dengan ketakutan-ketakutan akan kemelaratan di dunia sehingga ia kerap mengejar harta dan tahta. Jika telah terjadi demikian, alam pikiran akan hancur. Pikiran-pikran yang baik dan positif akan tergantikan dengan kecurangan-kecurangan dan keculasan. Sehingga dalam setiap detik, ia akan dihantui dengan pikiran dan rasa bersalah, takut terbongkar kucurangan dan keculasannya. Wal hasil, benih penyakit yang aneh-aneh pun muncul dalam diri manusia sebab terlalu besar memendam beban rasa. Dan akhirnya, tubuh dilanda sakit. Hanya mengeluh yang ia bisa. Menyesal tiada guna. Lantas meninggal dunia. Inilah kronologis “kiamat” dalam tataran kecil-kecilan.

Fenomena di atas merujuk pada personal manusia. Namun jika hal itu terjadi dalam skala yang lebih besar, kita perlu melihat titik sentrumnya. Wilayah manakah yang masyarakatnya paling dominan melakukan hal tersebut. Dari sinilah konsep penghancuran umat akan berlaku. Seperti kisah kaum Nuh AS yang dihancurkan dengan banjir besar dan kaum-kaum lain sebelum kita. Dan hanya merekalah yang mau berikhtiar mendekatkan diri pada orang-orang yang benar, pada para kekasih tuhanlah yang saat itu berlimpahkan anugrah dan keselamatan.

Kenyataan saat ini; individu, masyarakat, dan pemerintah banyak yang bertindak korup. Lahan-perlahan bencana kerap melanda. Kematian masal meraja lela, baik di darat, laut, maupun udara. Tidakkah ini merupakan sebagian kecil dari kiamat? Apakah ini kutukan Kalatida? Ataukah ini kepastian Kalender Maya? Benarkah potret “kiamat” itu akan terjadi kembali dalam realitas masyarakat kita sekarang ini? Dan memang pantas-siapkah masyarakat kita menerima kepastian seperti itu? Jawabannya hanya ada dalam diri kita masing-masing, dalam ruang waktu yang masih terasing.

GETIR CINTA; TERHALANG BALAS BUDI

Judul : ZALZALAH:Biarkan Cinta pada Akhirnya
Penulis : Masdhar Z
Penerbit : Semesta (Kelompok Pro-U Media), Yogyakarta
Tahun Terbit : 2009
Tebal : 325 Hlm
Peresensi : Denny Mizhar*
http://www.sastra-indonesia.com/

Miniatur Puisi Dunia

Judul: Pesta Penyair: Antologi Puisi Jawa Timur
Editor: Ribut Wijoto, S Yoga, Mashuri
Penerbit: Dewan Kesenian Jawa Timur
Tebal: viii + 288 halaman
Cetakan: Cetakan I: 2009
Peresensi: Risang Anom Pujayanto
http://www.surabayapost.co.id/

Jawa Timur. Sebagai kawasan kaya aneka seni-budaya, sungguh celaka apabila tidak memiliki semacam monumen suaka pencatat segala gilang-gemilang. Sebagai pemilik kultur sosial terbuka sekaligus tidak adanya identitas pusat-pinggiran, telah berimplikasi pada kemudahan pencerapan informasi dari luar. Sehingga bersamaan dengan kemudahan informasi tersebut, dialektika wacana lokal dan ’dari luar’ merupakan hal yang tak terelakkan dalam dinamika pendewasaan warna seni-budaya yang berkarakter Jawa Timur.

Dalam setiap periode persinggungan wacana lokal dan ’dari luar’, setidaknya salah satu seni yang terlibat di dalamnya niscaya sempat menduduki posisi puncak kejayaan. Namun jangan dibayangkan tahta itu akan bertahan lama di Jawa Timur. Tidak. Semua cekat melesat. Silih berganti. Sehingga bila masanya terganti—seni yang pernah berada di masa keemasan tapi lupa disudikan dalam catatan—kondisinya bakal tertumpuk oleh tawaran seni-seni kreasi baru. Alhasil, keteledoran tidak mencatat fenomena tersebut mengakibatkan jejak yang berserak semakin sulit terlacak.

Pendeknya untuk menghindari hal itu sekaligus sebagai penanda identitas daerah, ikhtiar pendokumentasian perkembangan seni Jawa Timur memang berada di titik yang vital untuk diperhatikan. Pada 2009, Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) sebagai lembaga yang menaungi seni di Jawa Timur telah memberi sinyal terang; salah satunya dengan meghadirkan satu buku antologi puisi Jawa Timur: Pesta Penyair. Dalam buku Pesta Penyair ini dihadiri oleh 55 penyair berbeda generasi. Dan, masing-masing penyair berpartisipasi menulis tiga puisi terbaik.

Pada prinsipnya, seperti yang diungkap salah satu penyair sekaligus Ketua Komite Sastra DKJT Mashuri, langkah-langkah pendokumentasian tanpa menancapkan tonggak di dalamnya sekali pun, memang sudah cukup baik. Pasalnya, ketika berhenti pada tataran ini, dokumentasi telah mengejawantah dengan sendirinya berupa data-data. Artinya, manakala ada yang berkenan membawa data ke ruang yang lebih megah, di mana di ruangan tersebut ’yang berkenan’ bebas mengeksekusi sesuai kepentingan tertentu, maka catatan Pesta Penyair yang belum terjamah ini merupakan data-data asli, murni, dan terbaik untuk dijadikan salah satu pertimbangan referensi.

Akan tetapi ketika ditinjau dari aspek kuratorial, pandangan yang membiarkan dokumen-dokumen berhenti pada sekadar dokumen belaka merupakan hal yang tidak sehat, semena-mena dan sangat tidak bertanggung jawab. Sebab, setiap obyek puisi yang diciptakan selalu menggunakan unsur prespektif struktur indah, dasar peresepsiannya pun pasti bukan didasarkan pada alasan nama besar saja, sekadar kenal, maupun asal diketahui pernah menulis puisi. Melainkan ditengok dari pencapaian-pencapaian gagasan yang ditawarkan penyair. Karena itu, untuk mengetahui perkembangan perpuisian di Jawa Timur, pembaca dapat menyimak tiap-tiap puisi lebih detail dalam Pesta Penyair.

Apabila dipetakan dengan menggunakan kategori umur, secara garis besar terdapat tiga generasi yang turut serta dalam Pesta Penyair. Katakanlah: senior, menengah dan junior. Pengklasifikasian ini bukan otomatis mendudukkan kualitas persajakan senior lebih unggul ketimbang junior. Bukan. Namun akan sangat terlihat perbedaan ciri khas karya generasi tua, menengah dan yang junior. Kendati tidak secara keseluruhan, perbedaannya terletak pada penekanan salah satu unsur dalam suatu karya. Generasi Akhudiat, Aming Aminoedin, Sabrot D Malioboro, Roesdi Zaki, D Zawawi Imron, Saiful Hadjar, Tengsoe Tjahjono, dan lainnya merupakan generasi yang telah makan asam garam, berpengalaman dalam menjalani kehidupan. Pengalaman kehidupan ini berpengaruh pada puisi mereka. Sehingga, puisi-puisi yang tampak sangat bijaksana, menggunakan metafor sederhana dan cenderung menasehati. Ciri ini dikentarai karena para penyair senior telah mengandaikan adanya pembaca.

Sebaliknya penyair yang masih muda memiliki karakter yang berbanding terbalik dengan para penyair senior. Beberapa karyanya terkesan egois, personal, kaya akan gaya bahasa, abstrak dan seolah-olah ingin dimengerti. Pembaca yang wajib memahami, bukan penyair menyodorkan gagasan setara kemampuan intelektual pembaca awam. Terdapat beberapa kemungkinan penyair muda ini memilih gemar mengeksplorasi teknik-teknik. Di antaranya, eksperimentasi akan aliran puisi atau justru karena minimnya pengetahuan, penguasaan dan pengalaman akan obyek yang hendak dieksplor, sehingga hasil akhirnya terkadang dibuat-buat sangat abstrak. Tentu dengan menebar dalih, karya yang baik adalah karya yang susah dipahami. Atau pembaca yang tidak paham merupakan pembaca yang hanya memiliki kemampuan pas-pasan.

Sementara penyair generasi menengah memperlihatkan kematangannya. Mereka berhasil mengkombinasikan keunggulan, mereduksi kekurangan-kekurangan yang muncuk di lain generasi yang disebut terdahulu. Karya-karya matang itu tampil dengan citra yang tidak menggebu-gebu, tidak egois, persetubuhan dengan obyek dengan berlama-lama dikarenakan gairah memuncak hingga benar-benar menimbulkan kompleksitas konstruks teks, dan pesan moral yang tersampaikan pun tidak hadir secara eksplisit juga laten. Tetapi tentu tetap tepat tujuan.

Peletakkan penyair berdasarkan kriteria umur ini memang bukan kebenaran tunggal. Tetapi setidaknya ternyata mampu memberi bukti bahwa usia mampu mempengaruhi proses penciptaan suatu karya. Sebutlah seindah sajak Akhudiat. Jika dibandingkan dengan sajak-sajak karya penyair sejamannya, Akhudiat sejatinya memiliki teknik tak kalah dengan generasi yang masih matang, hanya saja di akhir puisi-puisinya terdapat sebersit nasehat yang kurang elegan, terlalu vulgar, seakan keluar dari keapikan bait-bait yang dibangun sebelumnya.

Sementara itu, penyair muda lebih mudah diketahui. Pasalnya, penyair muda selalu ingin tampak sempurna. Dan ini tervisualisasikan dalam pembaitan, pertimbangan pemilihan diksi, unsur bunyi, dan sebagainya. Kecenderungan memang tampil seragam sesuai kriterium puisi zaman sekarang, namun bukan berarti tidak ada tawaran kebaruan sama sekali. Dody Kristianto, misalnya, puisi Dody merupakan puisi dongeng. Perpaduan antara puisi dan logika dongeng. Selain aspek penceritaan, dalam puisi-puisi Dody juga terdapat pengambil-alihan keajaiban dongeng yang biasanya terpatok pada binatang, kini di tangan Dody beralih pada media-media lain. Karakter yang khas dimiliki penyair muda juga terjadi pada puisi-puisi Arif Junianto, Ahmad Faishal, Akhmad Fatoni, Wildansyah Bastomi, dan sebagainya. Kini pertanyaannya, seberapa besar penyair muda ini tetap bertahan pada temuannya ini?

Sedangkan penyair yang telah matang, yang memiliki kebaruan dan tidak terlepas dari tautan sejarah perpuisian nusantara, yakni milik F Azis Manna. Tapi sayang stamina Azis kurang menjadi fokus perhatian. Lihat ’Orang-Orang Kampung’ yang terbagi dalam empat babakan. 1-3 masih konsisten menyangkut kemanusiaan, tetapi pada bagian 4 berubah menuju ketuhanan. Memang tidak ada yang salah, hanya sedikit timpang. Di puisi Azis yang lain, ’Genting’ dan ’Cinta Kami’, semakin membuktikan bahwa stamina berpuisi Azis sedikit menghambat kesempurnaan.

Terlepas dari itu, seluruh puisi yang tersebar dalam Pesta Penyair sejatinya tidak hanya bisa diukur dengan penggolongan usia. Sebab banyak hal yang bisa dimaknai keunikannya. Katakanlah, ketika melihat dari kaca mata kultur di mana penyair kerap melakukan kontak sosial, persoalan gender penyair yang mempengaruhi puisi-puisinya, persoalan kota dan pedesaan, penggunaan teknik konvensional tradisional dan pembawa aliran seni tertentu, penyair mana yang berangkat dari teori-teori besar atau yang karena bersentuhan langsung dengan obyek, dan beberapa tata cara lainnya dalam menikmati puisi.

Karena itu, kendati Pesta Penyair tak ubahnya miniatur perpuisian dunia lantaran sifat seni Jawa Timur yang terbuka, tetapi puisi-puisi dalam Pesta Penyair tetap terasa nafas ciri Jawa Timur.

Aceh, Kurusetra, Bharatayudha

Imam Cahyono
http://www.sinarharapan.co.id/

Pernah menonton wayang, menonton film Mahabharata? Atau, menyimak kisahnya di buku, komik, atau dari cerita mulut ke mulut? Kendati cerita Mahabharata sudah sangat lama hidup dalam tradisi masyarakat kita, ia selalu saja menarik untuk dinikmati, alias tidak membosankan. Bisa jadi, ia telah menjadi salah satu bagian dalam khazanah budaya kita. Bukan tidak mungkin, kisah Mahabharata adalah kisah abadi yang akan selalu menjadi inspirasi bagi umat manusia. Yang pasti, ia memberikan banyak pelajaran dan pengalaman kepada kita semua—jika kita mau sejenak merenungkannya.

Menyimak kisah Mahabharata selalu saja menimbulkan sensasi tersendiri. Ada perasaan marah, geram, sedih, pedih, gembira dan seterusnya. Menyimak Mahabharata berarti bertamasya, terbang melayang ke masa silam, masa kini dan berimajinasi tentang kehidupan di masa yang akan datang.

Perang Saudara itu harus terjadi?
Peristiwa paling dramatis dalam kisah Mahabharata adalah perang Bharatayudha. Pandawa dan Kurawa, dua keturunan wangsa Kuru, berebut takhta dengan berperang besar-besaran, perang Bubat. Perang itu, pecah, berkecamuk di Kurusetra.

Dalam lakon Kresna Duta, Bharatayudha kudu dadi (perang bersaudara itu harus terjadi). Perang besar antarsaudara Bharatayudha itu, kata Kresna, bukan untuk mencari rezeki dan kejayaan belaka (kamukten), tetapi perang suci yang menempatkan manusia pada takdirnya: bahwa barang siapa punya utang harus membayar, yang menanam harus menuai, yang memproduksi harus memakainya (sapa nggawe kudu nganggo).

”Maka, orang yang tidak punya utang tidak perlu ragu, tidak perlu khawatir. Apalagi yang tidak punya utang pati (nyawa), tidur bisa nyenyak. Tetapi, bagi siapa yang punya utang pati dan wirang, entah apa yang akan terjadi dalam perang Bharatayudha,” demikian kata Kresna.

Bharatayudha adalah perang antara keluarga Pandawa (simbol kebenaran) melawan kelompok sepupunya, Kurawa (simbol ketidakbenaran). Perang ini untuk memperebutkan takhta warisan, Hastinapura. Sebelum perang terjadi, pihak Pandawa mengutus Kresna sebagai duta untuk menagih janji Kurawa yang akan menyerahkan kembali sebagian kerajaan Hastinapura.

Akan tetapi, Kresna ditolak oleh Kurawa. Kresna pun marah dan berubah menjadi raksasa. Kemarahan raksasa itu memang bisa diredam oleh Dewa Surya atau Dewa Matahari. Kemarahan Kresna bisa diredam, tapi perang saudara—Bharatayudha—tak bisa dibendung.

Tatkala menyimak kisah Mahabharata, ada segunung pertanyaan yang cukup mengganggu. Kita tak harus menangkap kisah itu hitam-putih begitu saja. Pandawa yang baik, berjiwa mulia, santun, adil berperang melawan Kurawa yang pongah, dengki, culas dan sombong. Pandawa didukung tokoh-tokoh dari golongan putih (baik) sementara Kurawa didukung oleh pihak yang jahat. Bagaimana dengan Bisma, Karna, yang berada di pihak Kurawa, tapi hati dan jiwanya berpihak pada kebenaran?

Mengapa antarsaudara sendiri harus saling membunuh?
Mengapa Pandawa yang konon berhati emas, berjiwa mulia, harus berperang melawan saudaranya sendiri? Apakah tidak ada jalan lain selain perang? Berapa prajurit dan tentara yang gugur oleh ambisi kedua pihak? Mereka tidak bisa disalahkan apakah mereka berada di pihak Pandawa atau Kurawa. Mereka hanyalah rakyat biasa yang harus senantiasa tunduk dan patuh pada junjungannya, rela mengorbankan jiwa raga demi bangsa. Sebagai warga negara yang baik, sudah menjadi kewajiban bagi rakyat untuk membela negaranya. Entah itu benar atau salah.

Dalam kisah Bharatayudha, pertempuran berkecamuk dengan bengis, sepanjang siang yang terik dan lembab itu. Ribuan kereta hancur dan kuda tewas. Gajah-gajah roboh, dan tubuh manusia—tak terhitung jumlahnya—tercincang, remuk, binasa. Kurusetra menjadi laut dengan puluhan gelombang yang bertabrakan, memuncratkan darah. Hari-hari peperangan di Kurusetra berlangsung seru, menyeramkan. Baik pihak yang baik dan yang jahat sama saja perilakunya. Logika perang adalah membunuh atau dibunuh. Jika ingin hidup, berarti harus memupus kehidupan yang lain. Logika perang adalah menang dan kemenangan. Dan untuk mencapainya, mereka sama-sama buas.

Perang, Sebuah Takdir?
Mengapa perang saudara itu harus terjadi? Apakah Tuhan telah menggariskan bahwa antara Pandawa dan Kurawa harus berperang sebagai jalan akhir yang mesti ditempuh? Bagaimana perasaan keluarga kedua belah pihak yang sedang berperang? Yang pasti, kalah jadi arang dan menang jadi abu. Pihak Pandawa pada akhirnya memenangkan pertempuran pun harus membersihkan diri dari dosa-dosa yang dilakukan semasa perang. Entah kebetulan ataukah sebuah kemestian, Bharatayudha juga terjadi dalam kehidupan keseharian manusia. Kita memang berharap tidak menemukannya, apalagi menyaksikan dan menghadapinya langsung. Tapi, apa boleh buat.

Di Indonesia, kita sudah menyaksikannya di pelupuk mata. Kisah Mahabharata, Bharatayudha dan Kurusetra ala Indonesia, berlangsung di Aceh. Di ujung timur nusantara, sudah lama genderang perang ditabuh. Dalam waktu dekat, perang yang lebih besar tampaknya tak lagi terelakkan. Perang antara saudara sendiri, sekandung, senasib, sepenanggungan, sebangsa dan setanah air.

Siapa pun tak bisa menyangkal, Aceh adalah jantung republik ini. Denyut pertama bangsa Indonesia dimulai dari Aceh. Tanah renconglah yang pertama kali mengakui Indonesia sebagai negara merdeka, pernyataan langsung kepada presiden Soekarno. Sang presiden pun mengakui sembari menitikkan airmata, bahwa Aceh adalah modal RI. Rakyat Aceh dengan ikhlas menyumbangkan dua pesawat terbang, Seulawah. Aceh juga menyumbangkan uang kontan sebesar 250.000 dolar AS kepada Angkatan Perang RI, 250.000 dolar lainnya untuk keperluan pemerintah Soekarno, serta 5 kg emas.

Jika kemudian muncul Gerakan Aceh Merdeka dan ingin melepaskan diri, itu pun bukan tanpa alasan, tidak hadir di ruang hampa. Ketidakadilan yang panjang yang diderita rakyat Aceh pada akhirnya menghadirkan keinginan untuk merdeka. Kini, ribuan tentara RI telah siap siaga di serambi Mekah. Pihak GAM pun tak mau mengalah. Keduanya siap bertempur, sampai titik darah penghabisan. Peperangan pun tak terelakkan. Kita hanya bisa mencatat, merekam dan menyaksikan, betapa perang sungguh mengerikan. Sesantun dan searif apapun peperangan, ia bukanlah jalan yang baik dan jalan terbaik atas solusi sebuah persoalan. Dalam kondisi terdesak pun, perang bukanlah pilihan bijak.

Perang hanya akan melahirkan serangkaian dendam, kebencian yang beranak pinak dan mendalam, menggelora, membara. Perang melahirkan api dalam sekam. Tapi, tak ada satu pun kekuatan yang dapat membendung pertumpahan darah di serambi Mekah. Pertempuran pecah, berkecamuk, dan entah berapa korban akan jatuh, dan entah kapan akan usai. Mahabharata, Bharatayudha, Kurusetra ada di masa lalu dan sekarang. Bukan tidak mungkin, ia akan hadir kembali di masa depan. Apakah perang adalah memang takdir, sebuah kemestian dari penguasa seluruh alam?

Penulis, esais, editor Jurnal ”Interaksi” Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae