Jumat, 29 Januari 2010

SIMBOL WAKTU SEBAGAI REPRESENTASI IDEOLOGI

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Fantasi-fantasi yang bertebaran pada masa kanak-kanak, konon, secara tidak sadar akan muncul kembali pada masa dewasa dalam bentuk yang lain. Jika pada masa kanak-kanak kita dihinggapi ketakutan akan hantu, bayangan nenek sihir, manusia bertaring yang akan menculik anak-anak nakal yang suka menangis, makhluk raksasa pemangsa manusia, atau sesosok makhluk yang dicitrakan begitu menakutkan, misalnya, pada masa dewasa ia akan berubah wujud menjadi ketakutan terhadap sesuatu yang dibayangkan dapat menghancurkan dirinya, karier, kehidupan rumah tangga atau ketakutan lain yang muncul begitu saja tanpa dapat dipahami sebab-musababnya.

Demikian juga sebaliknya. Serangkaian fantasi tentang harapan dan keinginan pada sesuatu yang tak dapat diwujudkan pada masa kanak-kanak, prinsip kenikmatan yang direpresi, tanpa sadar akan muncul kembali dalam bentuk lain yang sebenarnya merupakan representasi dari keinginan dan harapan pada masa anak-anak itu. Pernyataan seloroh: “masa kecil tidak bahagia” yang ditujukan pada orang tua atau seorang dewasa yang senang permainan anak-anak, sesungguhnya ada benarnya juga. Problem itu mempunyai akar psikologis yang jejaknya dapat ditelusuri pada masa kanak-kanak, pada masa pradewasa. Begitulah salah satu pandangan psikoanalisis yang bersumber pada gagasan Sigmund Freud.

“Keinginan-keinginan yang direpresi namun tidak bisa hilang pada masa kanak-kanak saja, sudah cukup memberikan kekuatan dalam membentuk gejala-gejalanya dan tanpanya reaksi terhadap trauma-trauma selanjutnya kemungkinan besar akan memiliki bentuk yang berbeda.” Begitulah, Freud berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan pada masa dewasa sesungguhnya selalu ada perkaitannya dengan masa tertentu yang disebutnya sebagai fase kanak-kanak.

Pengantar antologi cerpen karya Jamal T. Suryanata ini tidaklah bermaksud hendak mengangkat pemikiran Sigmund Freud. Tetapi, jika kita mencermati ke-15 cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, kita menjumpai adanya sejumlah cerpen yang berkecenderungan kuat mengangkat problem psikologis tokoh-tokohnya dalam lingkaran konflik masa lalu dan masa kini. Setidak-tidaknya, sebagian besar cerpen dalam antologi ini memperlihatkan kekuatannya tidak hanya pada konflik antartokohnya –yang memunculkan problem psikologis—, melainkan juga problem kultural yang coba diselusupkan Jamal T. Suryanata. Maka kita juga dapat menangkap pesan ideologis yang berkaitan dengan sikapnya terhadap kultur.

Dalam hal itulah, salah satu pandangan Freud tentang masa kanak-kanak ada cantelannya pada psikologi manusia. Lebih khusus lagi ada perkaitannya dengan proses kreatif pengarang: “…dalam usaha sang seniman untuk memahami atau memperoleh keindahan, ada satu peran penting yang dimainkan oleh dorongan-dorongan primitif masa kanak-kanak yang tidak boleh diabaikan.”

Sastra sebagai representasi pandangan dan kegelisahan sastrawan atas kehidupan ini, pada dasarnya tidak terlepas dari fantasi-fantasi yang muncul pada masa kanak-kanak. Dan ketika fantasi-fantasi itu diwujudkan dalam bentuk karya sastra, maka transformasi atas fantasi-fantasi itu tidak hanya telah memperoleh bentuknya yang berbeda, tetapi juga di dalamnya masuk ideologi yang hendak disampaikanya dalam bentuk metafora, simbol-simbol, bahkan juga parodi, yang maknanya bermukim di belakang teks. Tempat persemayaman makna itulah yang mesti kita masuki dan coba menjelaskannya lewat perspektif yang sesuai dengan tafsir pembaca. Teks jadinya tidak berdiri sendiri sebagai sebuah wacana yang otonom, mandiri, dan tak bersentuhan dengan dunia di luar dirinya, melainkan punya cantelan dengan konteks biografi dan masa lalu pengarang.
***

Dari lima belas cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, sedikitnya ada sembilan cerpen yang mengangkat hubungan anak—ayah atau anak—ibu yang dapat ditafsirkan sebagai simbolisasi proses perjalanan waktu masa kini yang tidak dapat melepaskan diri dari masa lalu. Simbolisasi ini juga berkaitan dengan ideologi pengarang. Kesembilan cerpen itu adalah “Telegram”, “Mata yang Bening”, “Ujung Murung”, “Cempaka”, “Lebaran”, “Hari Semakin Sunyi”, “Bulan di Pucuk Cemara”, “Plaza Airmata” dan “Tanjung Banua”. Sisanya bercerita tentang tema dunia kriminal (“Rampok” “Dunia Bandit” dan “Peluru Terakhir”), kritik terhadap birokrat (“Si Lantih” dan “Katebelece”) dan kehidupan wong cilik lengkap dengan kegetiran dan kemiskinannya (“Bayi Semangka”).

Dalam kaitannya dengan psikoanalisis Freud, cerpen “Telegram” misalnya, menggambarkan keterusiran tokoh aku dari tanah leluhurnya lantaran konflik dengan tokoh ayah. Meskipun tokoh ayah tidak ditempatkan sebagai pesaing dalam hubungan dengan ibu, posisi tokoh aku cenderung lebih dekat pada ibu dan ayah sebagai antagonis. Kisahnya dimulai dengan datangnya telegram. Dikabarkan bahwa ibu sakit keras. Berita itu menarik si tokoh aku untuk kembali ke tanah leluhur. Dari sana, terbentanglah kisah masa lalunya.

Tampak di sini hubungan segi tiga, anak—ibu—ayah. Meskipun tidak ada penggambaran yang mengarah pada kompleks Oedipus, posisi ibu menjadi penting karena ia berada di tengah konflik ayah—anak. Masa lalu dan masa kini dihubungkan oleh jembatan yang bernama ibu. Perhatikan pencitraan ibu yang merepresentasikan kebertanggungjawaban, perlindungan, dan harapan yang menawarkan kompromi. Sebuah idealisasi yang mewartakan aspek positif. Gambaran itu berbeda dengan sosok ayah yang konservatif, hitam-putih, dan bertindak atas nama tradisi yang harus dipertahankan secara ketat. Tradisi menjadi sesuatu yang eksklusif dan kebudayaan bagi si ayah menjadi kata benda. Itulah kaum masa lalu yang selalu berlindung dalam ketiak tradisi ketika ia berhadapan dengan modernitas.

Meski pada akhirnya tokoh anak—ibu dikalahkan, penyatuan tokoh ibu—anak memperlihatkan kemenangan di dunia yang lain. Jadi, harapan tak sepenuhnya kalah. Ia bukan sebagai pecundang, melainkan sebagai kearifan dari sebuah sikap kompromi. Oleh karena itu, persemayaman harapan berada di belahan dunia lain di luar sikap yang menempatkan kebudayaan sebagai kata benda. Bukankah kebudayaan itu dinamis, bergerak terus yang menyebabkan posisinya sebagai kata kerja.

Jamal T. Suryanata seperti sengaja membiarkan tradisi tetap hidup dalam dunia dan wilayahnya sendiri. Dan di luar itu bertengger harapan dan masa depan. Maka barang siapa yang hendak meraih masa depan, pergilah meninggalkan wilayah masa lalu yang tidak bergerak itu. Jadi, duduk perkaranya bukan terletak pada persoalan kalah—menang, melainkan pada kebebasan memilih. Jadi, biarkanlah tradisi dan kebudayaan masa lalu itu hidup dalam dunianya sendiri yang kemudian menjadi ingatan kolektif, dan di luar dunia itu, bersemayam harapan dan masa depan.

Bentuk kompromi yang ditawarkan Jamal T. Suryanata itu tampak jelas pada cerpen “Mata yang Bening.” Meskipun yang diangkat pengarang problem domestik, pertengkaran rumah tangga, kehadiran Dita, sang anak, berada dalam posisi penting lantaran tokoh itulah yang mempersatukan kembali suami—istri dalam lingkaran rumah tangga. Konflik suami—istri, Rizal dan Rohana, yang menyebabkan keduanya berpisah untuk sementara, dipersatukan kembali oleh sikap kompromistik keduanya ketika mereka menyadari, di depan ada masa depan. Secara simbolik masa depan itu digambarkan melalui mata bening Dita, anak mereka.

Begitulah, mempertahankan kehidupan tidaklah terjadi pada masa lalu, melainkan masa kini. Dengan masa kini, manusia dapat bergerak ke masa depan. Hanya orang-orang kalah yang berusaha hidup dengan masa lalunya. Itulah yang digambarkan dalam cerpen “Ujung Murung”. Di sana dunia masa lalu dibiarkan terus hidup sebagai masa kini. Akibatnya, ia tidak punya masa depan. Tokoh ibu dan kegilaan si gadis yang gagal jadi pengantin adalah dua contoh betapa hidup dengan masa lalu telah menceburkannya dalam dunia yang tidak punya masa depan. Salah satu bagian yang menarik dari cerpen ini adalah usaha pengarang menghadirkan mitos Si Malin Kundang, Radin Pangantin, dan Si Angui.

Rupanya, mitos-mitos anak durhaka itu sekadar mengecoh dan sekaligus membalikkan posisi ibu—anak. Di sini, kecintaan yang berlebihan pada seseorang sebagai bentuk simbolik bagi manusia yang hidup berkubang masa lalu. Kegilaan si ibu dan si gadis adalah manifestasi manusia yang tidak cukup kuat menghadapi realitas masa kini. Jika seseorang tidak dapat menerima realitas masa kini, bagaimana mungkin ia dapat melangkah dan membawa hidupnya ke masa depan? Jadi, menurut konsep Freud, trauma dan neurosis yang dialami kedua tokoh itu telah membawanya pada sebuah dunia yang menafikan prinsip realitas. Tokoh ibu yang menunggu kedatangan anaknya yang sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan dan tokoh si gadis yang gagal melaksanakan perkawinannya, terus-menerus hidup dan menghidupi dunia masa lalunya. Keduanya tak punya masa depan karena tidak mencoba menerima realitas masa kini.

Senada dengan tema cerpen “Ujung Murung”, cerpen “Plaza Airmata” bercerita tentang penantian sia-sia seorang ibu. Ia berharap, anaknya yang semata wayang itu, datang dan mengisi kembali kehidupannya. Terjadinya huru-hara yang membawa korban orang-orang tidak berdosa, sekaligus melenyapkan harapan dan masa depan si ibu. Anaknya, Tajuddin, ikut menjadi korban sia-sia akibat kerusuhan politik yang tidak dapat dipahami orang-orang kecil macam si ibu.

Tetapi si ibu, dengan kesederhanaannya, tidak dapat menerima realitas itu. Ia masih berkeyakinan, Tajuddin masih hidup. Anaknya adalah masa depannya. Maka, ketika Tajuddin tumpas dan tak jelas lagi nasibnya, tumpas pula masa depan si ibu. Meskipun cerpen ini seperti merepresentasikan sisi gelap dari carut-marut kehidupan politik di Tanah Air, gambaran itu juga laksana potret psikologis orang-orang kecil yang tidak siap menghadapi tragedi sebagai realitas masa kini. Maka, kompensasinya adalah lari dari masa kini dan berlindung pada masa lalu.

Dengan berlindung pada masa lalu, ia seolah-olah masih dapat memelihara masa depannya. Mereka yang berusaha secara ketat memelihara tradisi dan menempatkan kebudayaan sebagai kata benda, sesungguhnya menempatkan masa lalu sebagai alat perlindungan. Ia memberi legitimasi, kemapanan, dan keajekan. Maka, ketika modernisme datang membawa perubahan, mereka –para pengusung tradisi—seperti menghadapi ancaman. Ia harus mempertahankan tradisi dengan cara apa pun. Konservatisme menjadi sikap yang harus dipegang teguh. Cerpen “ujung Murung” dan “Plaza Airmata” memperlihatkan bahwa fantasi masa kanak-kanak –menurut konsep Freud—tak mengalami transformasi, tetapi terus bergentayangan, berkembang biak membangun dunianya sendiri sebagai fantasi masa kanak-kanak yang tidak dapat menerima prinsip realitas masa kini.

Di luar persoalan itu, sebagai potret sosial, Jamal T. Suryanata seperti hendak mewartakan, bahwa kehidupan politik sering kali tidak pilih bulu. Ia dapat menggusur siapa saja, termasuk orang-orang yang tidak berdosa. Bukankah peristiwa tragis yang sejenis itu bertaburan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini?

Cerpen “Lebaran” “Cempaka”, “Hari Semakin Sunyi”, “Bulan di Pucuk Cemara” dan “Tanjung Banua” pada dasarnya juga mengusung hubungan ayah—anak. Tentu saja masing-masingnya mengangkat problem yang berbeda satu dengan lainnya. Cerpen “Lebaran” misalnya, menggambarkan kerinduan tokoh ayah untuk sekadar berkumpul dengan anak-cucunya. Tetapi lantaran rindu yang tak tertahankan sebagai manifestasi dari hasrat besar untuk menghidupkan kembali masa lalu— si ayah justru menghembuskan nafasnya pada hari kemenangan itu. Pak Zul tak cukup siap menerima realitas masa kini. Bagaimanapun, zaman telah berubah, dan siapa pun harus dapat mengikuti perubahan itu. Jika tidak, ia akan tergilas oleh perubahan zaman atau ia lari dari masa kini dan membangun dunianya sendiri dengan berlindung pada masa lalu, sebagaimana yang digambarkan dalam cerpen “Ujung Murung” dan “Plaza Airmata”.

Cerpen “Cempaka” meski di sana ada tokoh Julak Hadam, sang dukun, yang menjadi penyebabnya, penggambaran tokoh ayah pada dasarnya tidak beranjak pada keterkungkungan masa lalu. Harapan dan masa depan yang hendak dibangun tokoh ayah melalui ramalan sang dukun menegaskan bahwa harapan dan masa depan tidak dapat bertumpu pada tradisi yang mendewakan intuisi dan cara berpikir irasional. Kematian tokoh ayah yang terkubur tanah ketika melakukan penggalian intan merupakan konsekuensi logis dari ketidakmampuannya melepaskan intuisi dan cara berpikir irasional. Sang ayah gagal karena usahanya membangun masa depan tidak didasari oleh keyakinan dan perhitungan rasional. Oleh karena itu, substansinya sama seperti tokoh Pak Zul (“Lebaran”), wanita tua dan si gadis (“Ujung Murung”) dan tokoh ibu (“Plaza Airmata”) yang tidak dapat menerima prinsip realitas. Maka, ketika harapan dan masa depan diperlakukan sebagai masa lalu, ia akan tergelincir jatuh: menolak masa kini dan hidup dengan dunia masa lalunya atau tergusur oleh perubahan zaman yang terus bergerak.

Nasib yang sama juga dialami tokoh Leha dalam “Bulan di Pucuk Cemara”. Ia tidak dapat menerima kenyataan, bahwa Syam, kekasihnya, tewas dalam aksi demonstrasi. Bahwa kini, Ardi, anaknya hasil hubungan gelap dengan Syam, menjadi bagian dari kehidupannya, tidaklah berarti kekasihnya itu akan hidup lagi. Kembali, Leha, seperti juga tokoh-tokoh lain dalam sejumlah cerpen yang telah disinggung tadi, terjerat oleh bayangan masa lalunya. Ia tidak mau menerima kenyataan kini, meski kenyataan itu, terlalu getir. Demikianlah, ketika seseorang hanya berkutat dengan masa lalu, ketika itu pula ia mulai membangun dunia fantasi dan harapannya, berdasarkan masa lalu yang dihadirkannya sebagai masa kini.

Keadaan itu berbeda dengan tokoh aku dalam cerpen “Tanjung Banua”. Ketika ia menyadari bahwa realitas yang dihadapinya kini, tanpa sang ayah yang tewas dalam kecelakaan di penambangan, tokoh aku tidak mau kembali ke masa lalu. Realitas yang dihadapinya kini, betapapun pahitnya lantaran ia terpaksa harus menjadi pelacur, adalah titik berangkat untuk menuju harapan dan masa depan. Maka, yang dialami tokoh aku adalah langkah menuju ke depan, dan bukan mundur ke belakang, lalu berlindung atas nama masa lalu yang baginya sekadar pemicu dan bukan alat legitimasi. Ia menyadari kekeliruannya sebagai pelacur, tetapi ia juga harus realistik. Hidup tak dapat diselesaikan dengan bermuram durja dan mendewakan masa lalu. Ketika ia sampai pada cita-citanya menjadi dokter, seketika itu pula profesinya sebagai pelacur, ia tinggalkan.

Oh, Papa, lihatlah sekarang. Lihat sekarang, Pa. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang dokter. Seperti Bu Dokter Linda. Seperti harapanmu. Dan sebentar lagi, Pa, dunia hitam dan glamour ini pasti akan segera kutinggalkan pula. Kukubur untuk selamanya. Pasti. Tapi, janganlah kisah luka ini sampai ke telinga mama yang suci itu. Jangan sampai. Demi aku. Juga demi mimpi adik-adikku!

Dari kesembilan cerpen Jamal T. Suryanata itu, tampak bahwa di balik simbolisasi waktu, ada problem psikologis yang hendak diselimuti. Konflik anak—ayah, anak—ibu, atau suami—istri, sangat mungkin merupakan representasi ideologi pengarangnya ketika ia melihat tradisi dan kultur puaknya berhadapan dengan perkembangan zaman. Pilihan yang dilakukan Jamal adalah kompromi dan bukan ketegasan menolak atau mengingkari. Dengan demikian, simbolisasi ayah—ibu sebagai masa lalu dan anak sebagai masa kini dan masa depan sangat mungkin merupakan pandangan ideologis pengarangnya dalam menghadapi situasi sosial zamannya. Bukankah karya sastra merupakan refleksi evaluatif pengarang atas kehidupan sosial—budaya yang terjadi di sekelilingnya.
***

Cerpen-cerpen lainnya, seperti “Rampok” “Dunia Bandit” dan “Peluru Terakhir” yang berkisah tentang dunia kriminal; “Si Lantih” dan “Katebelece” yang merupakan kritik atas perilaku birokrat; dan “Bayi Semangka” yang menggambarkan kelahiran bayi yang bentuknya mirip buah semangka, menegaskan keberagaman tema.

Satu hal yang patut dicatat dalam keseluruhan cerpen dalam antologi ini adalah kecenderungan Jamal untuk memanfaatkan bentuk kilas balik. Mengingat latar waktu masa lalu, masa kini, dan harapan masa depan berjalin kelindan dengan narasi yang disampaikan pencerita, maka di satu sisi, ada potensi untuk mengembangkan kisahannya melalui model arus kesadaran (stream of consiousness), sebagaimana tampak pada cerpen “Telegram,” “Ujung Murung” dan “Rampok” dan di sisi yang lain, ketika pengarang menggunakan bentuk pencerita akuan, ia lepas kontrol dan bertindak sebagai pencerita mahatahu. Periksa misalnya, cerpen “Cempaka” dan “Tanjung Banua”. Dalam kedua cerpen itu, narasi tokoh aku seperti seorang wartawan yang terus mengikuti apa yang dilakukan tokoh ayah.
***

Akhirnya harus saya akui, bahwa di balik tema-tema yang terkesan sederhana itu, tersimpan kekayaan makna yang cukup berlimpah. Dan kekayaan itu hanya mungkin dapat didedahkan, jika kita menghubungkaitkannya dengan persoalan di luar teks. Ia mesti ditempatkan dalam konteks sosial-budaya masyarakat yang melahirkannya. Di situlah, teks tidak hanya bermakna tekstual, tetapi juga kontekstual. Bukankah sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Di sana bersemayam problem psikologis, sikap dan pandangan kultural, dan sekaligus juga ideologi yang mendasarinya. Dan Jamal T. Suryanata secara piawai berhasil menyelimuti kekayaan maknanya secara rapi lewat kekuatan narasinya yang mempesona. Saya bahagia menikmati cerpen-cerpen dalam antologi ini.

Bojonggede, 19 Februari 2006

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae