Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Fantasi-fantasi yang bertebaran pada masa kanak-kanak, konon, secara tidak sadar akan muncul kembali pada masa dewasa dalam bentuk yang lain. Jika pada masa kanak-kanak kita dihinggapi ketakutan akan hantu, bayangan nenek sihir, manusia bertaring yang akan menculik anak-anak nakal yang suka menangis, makhluk raksasa pemangsa manusia, atau sesosok makhluk yang dicitrakan begitu menakutkan, misalnya, pada masa dewasa ia akan berubah wujud menjadi ketakutan terhadap sesuatu yang dibayangkan dapat menghancurkan dirinya, karier, kehidupan rumah tangga atau ketakutan lain yang muncul begitu saja tanpa dapat dipahami sebab-musababnya.
Demikian juga sebaliknya. Serangkaian fantasi tentang harapan dan keinginan pada sesuatu yang tak dapat diwujudkan pada masa kanak-kanak, prinsip kenikmatan yang direpresi, tanpa sadar akan muncul kembali dalam bentuk lain yang sebenarnya merupakan representasi dari keinginan dan harapan pada masa anak-anak itu. Pernyataan seloroh: “masa kecil tidak bahagia” yang ditujukan pada orang tua atau seorang dewasa yang senang permainan anak-anak, sesungguhnya ada benarnya juga. Problem itu mempunyai akar psikologis yang jejaknya dapat ditelusuri pada masa kanak-kanak, pada masa pradewasa. Begitulah salah satu pandangan psikoanalisis yang bersumber pada gagasan Sigmund Freud.
“Keinginan-keinginan yang direpresi namun tidak bisa hilang pada masa kanak-kanak saja, sudah cukup memberikan kekuatan dalam membentuk gejala-gejalanya dan tanpanya reaksi terhadap trauma-trauma selanjutnya kemungkinan besar akan memiliki bentuk yang berbeda.” Begitulah, Freud berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan pada masa dewasa sesungguhnya selalu ada perkaitannya dengan masa tertentu yang disebutnya sebagai fase kanak-kanak.
Pengantar antologi cerpen karya Jamal T. Suryanata ini tidaklah bermaksud hendak mengangkat pemikiran Sigmund Freud. Tetapi, jika kita mencermati ke-15 cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, kita menjumpai adanya sejumlah cerpen yang berkecenderungan kuat mengangkat problem psikologis tokoh-tokohnya dalam lingkaran konflik masa lalu dan masa kini. Setidak-tidaknya, sebagian besar cerpen dalam antologi ini memperlihatkan kekuatannya tidak hanya pada konflik antartokohnya –yang memunculkan problem psikologis—, melainkan juga problem kultural yang coba diselusupkan Jamal T. Suryanata. Maka kita juga dapat menangkap pesan ideologis yang berkaitan dengan sikapnya terhadap kultur.
Dalam hal itulah, salah satu pandangan Freud tentang masa kanak-kanak ada cantelannya pada psikologi manusia. Lebih khusus lagi ada perkaitannya dengan proses kreatif pengarang: “…dalam usaha sang seniman untuk memahami atau memperoleh keindahan, ada satu peran penting yang dimainkan oleh dorongan-dorongan primitif masa kanak-kanak yang tidak boleh diabaikan.”
Sastra sebagai representasi pandangan dan kegelisahan sastrawan atas kehidupan ini, pada dasarnya tidak terlepas dari fantasi-fantasi yang muncul pada masa kanak-kanak. Dan ketika fantasi-fantasi itu diwujudkan dalam bentuk karya sastra, maka transformasi atas fantasi-fantasi itu tidak hanya telah memperoleh bentuknya yang berbeda, tetapi juga di dalamnya masuk ideologi yang hendak disampaikanya dalam bentuk metafora, simbol-simbol, bahkan juga parodi, yang maknanya bermukim di belakang teks. Tempat persemayaman makna itulah yang mesti kita masuki dan coba menjelaskannya lewat perspektif yang sesuai dengan tafsir pembaca. Teks jadinya tidak berdiri sendiri sebagai sebuah wacana yang otonom, mandiri, dan tak bersentuhan dengan dunia di luar dirinya, melainkan punya cantelan dengan konteks biografi dan masa lalu pengarang.
***
Dari lima belas cerpen yang terhimpun dalam antologi ini, sedikitnya ada sembilan cerpen yang mengangkat hubungan anak—ayah atau anak—ibu yang dapat ditafsirkan sebagai simbolisasi proses perjalanan waktu masa kini yang tidak dapat melepaskan diri dari masa lalu. Simbolisasi ini juga berkaitan dengan ideologi pengarang. Kesembilan cerpen itu adalah “Telegram”, “Mata yang Bening”, “Ujung Murung”, “Cempaka”, “Lebaran”, “Hari Semakin Sunyi”, “Bulan di Pucuk Cemara”, “Plaza Airmata” dan “Tanjung Banua”. Sisanya bercerita tentang tema dunia kriminal (“Rampok” “Dunia Bandit” dan “Peluru Terakhir”), kritik terhadap birokrat (“Si Lantih” dan “Katebelece”) dan kehidupan wong cilik lengkap dengan kegetiran dan kemiskinannya (“Bayi Semangka”).
Dalam kaitannya dengan psikoanalisis Freud, cerpen “Telegram” misalnya, menggambarkan keterusiran tokoh aku dari tanah leluhurnya lantaran konflik dengan tokoh ayah. Meskipun tokoh ayah tidak ditempatkan sebagai pesaing dalam hubungan dengan ibu, posisi tokoh aku cenderung lebih dekat pada ibu dan ayah sebagai antagonis. Kisahnya dimulai dengan datangnya telegram. Dikabarkan bahwa ibu sakit keras. Berita itu menarik si tokoh aku untuk kembali ke tanah leluhur. Dari sana, terbentanglah kisah masa lalunya.
Tampak di sini hubungan segi tiga, anak—ibu—ayah. Meskipun tidak ada penggambaran yang mengarah pada kompleks Oedipus, posisi ibu menjadi penting karena ia berada di tengah konflik ayah—anak. Masa lalu dan masa kini dihubungkan oleh jembatan yang bernama ibu. Perhatikan pencitraan ibu yang merepresentasikan kebertanggungjawaban, perlindungan, dan harapan yang menawarkan kompromi. Sebuah idealisasi yang mewartakan aspek positif. Gambaran itu berbeda dengan sosok ayah yang konservatif, hitam-putih, dan bertindak atas nama tradisi yang harus dipertahankan secara ketat. Tradisi menjadi sesuatu yang eksklusif dan kebudayaan bagi si ayah menjadi kata benda. Itulah kaum masa lalu yang selalu berlindung dalam ketiak tradisi ketika ia berhadapan dengan modernitas.
Meski pada akhirnya tokoh anak—ibu dikalahkan, penyatuan tokoh ibu—anak memperlihatkan kemenangan di dunia yang lain. Jadi, harapan tak sepenuhnya kalah. Ia bukan sebagai pecundang, melainkan sebagai kearifan dari sebuah sikap kompromi. Oleh karena itu, persemayaman harapan berada di belahan dunia lain di luar sikap yang menempatkan kebudayaan sebagai kata benda. Bukankah kebudayaan itu dinamis, bergerak terus yang menyebabkan posisinya sebagai kata kerja.
Jamal T. Suryanata seperti sengaja membiarkan tradisi tetap hidup dalam dunia dan wilayahnya sendiri. Dan di luar itu bertengger harapan dan masa depan. Maka barang siapa yang hendak meraih masa depan, pergilah meninggalkan wilayah masa lalu yang tidak bergerak itu. Jadi, duduk perkaranya bukan terletak pada persoalan kalah—menang, melainkan pada kebebasan memilih. Jadi, biarkanlah tradisi dan kebudayaan masa lalu itu hidup dalam dunianya sendiri yang kemudian menjadi ingatan kolektif, dan di luar dunia itu, bersemayam harapan dan masa depan.
Bentuk kompromi yang ditawarkan Jamal T. Suryanata itu tampak jelas pada cerpen “Mata yang Bening.” Meskipun yang diangkat pengarang problem domestik, pertengkaran rumah tangga, kehadiran Dita, sang anak, berada dalam posisi penting lantaran tokoh itulah yang mempersatukan kembali suami—istri dalam lingkaran rumah tangga. Konflik suami—istri, Rizal dan Rohana, yang menyebabkan keduanya berpisah untuk sementara, dipersatukan kembali oleh sikap kompromistik keduanya ketika mereka menyadari, di depan ada masa depan. Secara simbolik masa depan itu digambarkan melalui mata bening Dita, anak mereka.
Begitulah, mempertahankan kehidupan tidaklah terjadi pada masa lalu, melainkan masa kini. Dengan masa kini, manusia dapat bergerak ke masa depan. Hanya orang-orang kalah yang berusaha hidup dengan masa lalunya. Itulah yang digambarkan dalam cerpen “Ujung Murung”. Di sana dunia masa lalu dibiarkan terus hidup sebagai masa kini. Akibatnya, ia tidak punya masa depan. Tokoh ibu dan kegilaan si gadis yang gagal jadi pengantin adalah dua contoh betapa hidup dengan masa lalu telah menceburkannya dalam dunia yang tidak punya masa depan. Salah satu bagian yang menarik dari cerpen ini adalah usaha pengarang menghadirkan mitos Si Malin Kundang, Radin Pangantin, dan Si Angui.
Rupanya, mitos-mitos anak durhaka itu sekadar mengecoh dan sekaligus membalikkan posisi ibu—anak. Di sini, kecintaan yang berlebihan pada seseorang sebagai bentuk simbolik bagi manusia yang hidup berkubang masa lalu. Kegilaan si ibu dan si gadis adalah manifestasi manusia yang tidak cukup kuat menghadapi realitas masa kini. Jika seseorang tidak dapat menerima realitas masa kini, bagaimana mungkin ia dapat melangkah dan membawa hidupnya ke masa depan? Jadi, menurut konsep Freud, trauma dan neurosis yang dialami kedua tokoh itu telah membawanya pada sebuah dunia yang menafikan prinsip realitas. Tokoh ibu yang menunggu kedatangan anaknya yang sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan dan tokoh si gadis yang gagal melaksanakan perkawinannya, terus-menerus hidup dan menghidupi dunia masa lalunya. Keduanya tak punya masa depan karena tidak mencoba menerima realitas masa kini.
Senada dengan tema cerpen “Ujung Murung”, cerpen “Plaza Airmata” bercerita tentang penantian sia-sia seorang ibu. Ia berharap, anaknya yang semata wayang itu, datang dan mengisi kembali kehidupannya. Terjadinya huru-hara yang membawa korban orang-orang tidak berdosa, sekaligus melenyapkan harapan dan masa depan si ibu. Anaknya, Tajuddin, ikut menjadi korban sia-sia akibat kerusuhan politik yang tidak dapat dipahami orang-orang kecil macam si ibu.
Tetapi si ibu, dengan kesederhanaannya, tidak dapat menerima realitas itu. Ia masih berkeyakinan, Tajuddin masih hidup. Anaknya adalah masa depannya. Maka, ketika Tajuddin tumpas dan tak jelas lagi nasibnya, tumpas pula masa depan si ibu. Meskipun cerpen ini seperti merepresentasikan sisi gelap dari carut-marut kehidupan politik di Tanah Air, gambaran itu juga laksana potret psikologis orang-orang kecil yang tidak siap menghadapi tragedi sebagai realitas masa kini. Maka, kompensasinya adalah lari dari masa kini dan berlindung pada masa lalu.
Dengan berlindung pada masa lalu, ia seolah-olah masih dapat memelihara masa depannya. Mereka yang berusaha secara ketat memelihara tradisi dan menempatkan kebudayaan sebagai kata benda, sesungguhnya menempatkan masa lalu sebagai alat perlindungan. Ia memberi legitimasi, kemapanan, dan keajekan. Maka, ketika modernisme datang membawa perubahan, mereka –para pengusung tradisi—seperti menghadapi ancaman. Ia harus mempertahankan tradisi dengan cara apa pun. Konservatisme menjadi sikap yang harus dipegang teguh. Cerpen “ujung Murung” dan “Plaza Airmata” memperlihatkan bahwa fantasi masa kanak-kanak –menurut konsep Freud—tak mengalami transformasi, tetapi terus bergentayangan, berkembang biak membangun dunianya sendiri sebagai fantasi masa kanak-kanak yang tidak dapat menerima prinsip realitas masa kini.
Di luar persoalan itu, sebagai potret sosial, Jamal T. Suryanata seperti hendak mewartakan, bahwa kehidupan politik sering kali tidak pilih bulu. Ia dapat menggusur siapa saja, termasuk orang-orang yang tidak berdosa. Bukankah peristiwa tragis yang sejenis itu bertaburan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini?
Cerpen “Lebaran” “Cempaka”, “Hari Semakin Sunyi”, “Bulan di Pucuk Cemara” dan “Tanjung Banua” pada dasarnya juga mengusung hubungan ayah—anak. Tentu saja masing-masingnya mengangkat problem yang berbeda satu dengan lainnya. Cerpen “Lebaran” misalnya, menggambarkan kerinduan tokoh ayah untuk sekadar berkumpul dengan anak-cucunya. Tetapi lantaran rindu yang tak tertahankan sebagai manifestasi dari hasrat besar untuk menghidupkan kembali masa lalu— si ayah justru menghembuskan nafasnya pada hari kemenangan itu. Pak Zul tak cukup siap menerima realitas masa kini. Bagaimanapun, zaman telah berubah, dan siapa pun harus dapat mengikuti perubahan itu. Jika tidak, ia akan tergilas oleh perubahan zaman atau ia lari dari masa kini dan membangun dunianya sendiri dengan berlindung pada masa lalu, sebagaimana yang digambarkan dalam cerpen “Ujung Murung” dan “Plaza Airmata”.
Cerpen “Cempaka” meski di sana ada tokoh Julak Hadam, sang dukun, yang menjadi penyebabnya, penggambaran tokoh ayah pada dasarnya tidak beranjak pada keterkungkungan masa lalu. Harapan dan masa depan yang hendak dibangun tokoh ayah melalui ramalan sang dukun menegaskan bahwa harapan dan masa depan tidak dapat bertumpu pada tradisi yang mendewakan intuisi dan cara berpikir irasional. Kematian tokoh ayah yang terkubur tanah ketika melakukan penggalian intan merupakan konsekuensi logis dari ketidakmampuannya melepaskan intuisi dan cara berpikir irasional. Sang ayah gagal karena usahanya membangun masa depan tidak didasari oleh keyakinan dan perhitungan rasional. Oleh karena itu, substansinya sama seperti tokoh Pak Zul (“Lebaran”), wanita tua dan si gadis (“Ujung Murung”) dan tokoh ibu (“Plaza Airmata”) yang tidak dapat menerima prinsip realitas. Maka, ketika harapan dan masa depan diperlakukan sebagai masa lalu, ia akan tergelincir jatuh: menolak masa kini dan hidup dengan dunia masa lalunya atau tergusur oleh perubahan zaman yang terus bergerak.
Nasib yang sama juga dialami tokoh Leha dalam “Bulan di Pucuk Cemara”. Ia tidak dapat menerima kenyataan, bahwa Syam, kekasihnya, tewas dalam aksi demonstrasi. Bahwa kini, Ardi, anaknya hasil hubungan gelap dengan Syam, menjadi bagian dari kehidupannya, tidaklah berarti kekasihnya itu akan hidup lagi. Kembali, Leha, seperti juga tokoh-tokoh lain dalam sejumlah cerpen yang telah disinggung tadi, terjerat oleh bayangan masa lalunya. Ia tidak mau menerima kenyataan kini, meski kenyataan itu, terlalu getir. Demikianlah, ketika seseorang hanya berkutat dengan masa lalu, ketika itu pula ia mulai membangun dunia fantasi dan harapannya, berdasarkan masa lalu yang dihadirkannya sebagai masa kini.
Keadaan itu berbeda dengan tokoh aku dalam cerpen “Tanjung Banua”. Ketika ia menyadari bahwa realitas yang dihadapinya kini, tanpa sang ayah yang tewas dalam kecelakaan di penambangan, tokoh aku tidak mau kembali ke masa lalu. Realitas yang dihadapinya kini, betapapun pahitnya lantaran ia terpaksa harus menjadi pelacur, adalah titik berangkat untuk menuju harapan dan masa depan. Maka, yang dialami tokoh aku adalah langkah menuju ke depan, dan bukan mundur ke belakang, lalu berlindung atas nama masa lalu yang baginya sekadar pemicu dan bukan alat legitimasi. Ia menyadari kekeliruannya sebagai pelacur, tetapi ia juga harus realistik. Hidup tak dapat diselesaikan dengan bermuram durja dan mendewakan masa lalu. Ketika ia sampai pada cita-citanya menjadi dokter, seketika itu pula profesinya sebagai pelacur, ia tinggalkan.
Oh, Papa, lihatlah sekarang. Lihat sekarang, Pa. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang dokter. Seperti Bu Dokter Linda. Seperti harapanmu. Dan sebentar lagi, Pa, dunia hitam dan glamour ini pasti akan segera kutinggalkan pula. Kukubur untuk selamanya. Pasti. Tapi, janganlah kisah luka ini sampai ke telinga mama yang suci itu. Jangan sampai. Demi aku. Juga demi mimpi adik-adikku!
Dari kesembilan cerpen Jamal T. Suryanata itu, tampak bahwa di balik simbolisasi waktu, ada problem psikologis yang hendak diselimuti. Konflik anak—ayah, anak—ibu, atau suami—istri, sangat mungkin merupakan representasi ideologi pengarangnya ketika ia melihat tradisi dan kultur puaknya berhadapan dengan perkembangan zaman. Pilihan yang dilakukan Jamal adalah kompromi dan bukan ketegasan menolak atau mengingkari. Dengan demikian, simbolisasi ayah—ibu sebagai masa lalu dan anak sebagai masa kini dan masa depan sangat mungkin merupakan pandangan ideologis pengarangnya dalam menghadapi situasi sosial zamannya. Bukankah karya sastra merupakan refleksi evaluatif pengarang atas kehidupan sosial—budaya yang terjadi di sekelilingnya.
***
Cerpen-cerpen lainnya, seperti “Rampok” “Dunia Bandit” dan “Peluru Terakhir” yang berkisah tentang dunia kriminal; “Si Lantih” dan “Katebelece” yang merupakan kritik atas perilaku birokrat; dan “Bayi Semangka” yang menggambarkan kelahiran bayi yang bentuknya mirip buah semangka, menegaskan keberagaman tema.
Satu hal yang patut dicatat dalam keseluruhan cerpen dalam antologi ini adalah kecenderungan Jamal untuk memanfaatkan bentuk kilas balik. Mengingat latar waktu masa lalu, masa kini, dan harapan masa depan berjalin kelindan dengan narasi yang disampaikan pencerita, maka di satu sisi, ada potensi untuk mengembangkan kisahannya melalui model arus kesadaran (stream of consiousness), sebagaimana tampak pada cerpen “Telegram,” “Ujung Murung” dan “Rampok” dan di sisi yang lain, ketika pengarang menggunakan bentuk pencerita akuan, ia lepas kontrol dan bertindak sebagai pencerita mahatahu. Periksa misalnya, cerpen “Cempaka” dan “Tanjung Banua”. Dalam kedua cerpen itu, narasi tokoh aku seperti seorang wartawan yang terus mengikuti apa yang dilakukan tokoh ayah.
***
Akhirnya harus saya akui, bahwa di balik tema-tema yang terkesan sederhana itu, tersimpan kekayaan makna yang cukup berlimpah. Dan kekayaan itu hanya mungkin dapat didedahkan, jika kita menghubungkaitkannya dengan persoalan di luar teks. Ia mesti ditempatkan dalam konteks sosial-budaya masyarakat yang melahirkannya. Di situlah, teks tidak hanya bermakna tekstual, tetapi juga kontekstual. Bukankah sastra tidak jatuh begitu saja dari langit. Di sana bersemayam problem psikologis, sikap dan pandangan kultural, dan sekaligus juga ideologi yang mendasarinya. Dan Jamal T. Suryanata secara piawai berhasil menyelimuti kekayaan maknanya secara rapi lewat kekuatan narasinya yang mempesona. Saya bahagia menikmati cerpen-cerpen dalam antologi ini.
Bojonggede, 19 Februari 2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar