Jumat, 29 Januari 2010

Agam Wispi (1930-2003)

Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/

Di sebuah rumah jompo di Amsterdam yang dingin, tahun 2003 dibuka dengan seorang penyair yang meninggal. Ajal datang hanya beberapa menit setelah 31 Desember. Itu hari ulang tahunnya. Saya bayangkan ia, persis pada usia 72 itu, sendiri, mungkin dalam kamar yang padam lampu, ketika cuaca di luar di bawah nol.

Hampir 40 tahun lamanya ia juga praktis diletakkan dalam gelap dan dalam sunyi. Indonesia seakan-akan melupakannya, Agam Wispi, satu dari khazanah nasional yang berharga: bukan saja puisinya yang cerah dan menggugah, tapi juga hidupnya sebagai satu saksi sejarah Republik? sebuah sejarah yang tak putus-putusnya digerakkan oleh cita-cita dan dihantam kekerasan.

Ia telah mengalaminya bahkan sejak awal. Di rumah masa kecilnya pernah menginap Tan Malaka, dalam salah satu perjalanan rahasia. Ketika itu, demikianlah ia pernah bercerita kepada saya, dari Aceh orang tua Wispi pindah sebentar ke Singapura, satu migrasi yang biasa di masa kolonial tahun 1930-an itu. Si ayah seorang komunis yang tak dikenal, dan kedatangan tokoh bawah-tanah itu bukan hal yang ganjil. Bahkan ke rumahnya pula pernah singgah Muso, kurang-lebih sembilan tahun sebelum memimpin PKI dalam “Peristiwa Madiun” 1948 yang berakhir dengan pertumpahan darah dan rentetan eksekusi itu.

Wispi sendiri kemudian juga jadi anggota Partai. Tapi pada awal, dan pada akhirnya, ia seorang penyair; ia redaktur kebudayaan di Harian Kerakyatan dan Pendorong di Medan dari tahun 1952 sampai 1957. Tulisannya dapat perhatian Nyoto, pemimpin partai yang juga penulis yang cemerlang itu, yang hampir selamanya jadi pelindung para seniman yang resah dan meresahkan dalam rumah besar PKI. Di tahun 1957 Agam diminta pindah ke Jakarta untuk jadi redaktur kebudayaan Harian Rakjat, koran resmi Partai.

Tapi tak selamanya mudah, di mana pun juga, untuk hidup dengan puisi dan sekaligus dengan “politik keyakinan”. Puisi adalah kata, bunyi, nyanyi, dan imajinasi, yang ternyata tak selamanya disusun dari satu subyek yang jernih, utuh, dan sadar. “Pena-lah yang bermimpi,” kata Gaston Bachelard. Keyakinan adalah hal lain lagi.

Tapi tak berarti bahwa seorang penyair dapat dengan mudah menyerahkan pena dan mimpi itu kepada iman dan ideologi. “Politik keyakinan”?yang ingin mengubah bumi berdasarkan sebuah tafsir yang diyakini tentang hidup dan mati?sering meletakkan penyair di dalam peran yang berlebihan. Keyakinan, kita tahu, menuntut sikap sadar yang teguh dan terkendali. “Sastrawan adalah insinyur jiwa manusia,” kata Stalin. Kalimat itu terkenal, tapi juga terbukti salah, karena menulis puisi tak sama dengan merancang-bangun. Menulis puisi adalah ibarat memasuki alam serat, (dalam leksikon Jawa, puisi adalah serat), seakan-akan menempuh serabut dengan jalinan yang pilin-memilin, berbeda-beda dan majemuk lekuknya, tak lurus lempang. Dengan itu, bagaimana ia akan dapat mengawali hari “kejadian kedua”, untuk mengikuti kiasan Ilya Ehrenburg, setelah Tuhan membangun hari kejadian pertama?

Tapi ia tak bisa bilang “tidak”. Seorang penyair toh tahu bahwa dunia memang sudah saatnya “berganti rupa”, sebagaimana dimaklumkan lagu Internasionale. Bahkan dengan serat yang kusut, penyair tetap terdorong untuk memberi bentuk, atau Gestalt, kepada sengkarut dan sengketa dalam hidup?sebagai sebuah pemberontakan atas keadaan tempat ia dilemparkan. Pada suatu hari Agam Wispi menyaksikan keadaan itu di awal tahun 1960-an, ketika di Tanjung Morawa tanah garapan para petani miskin digusur dengan traktor dan bedil, dan dari kantor Barisan Tani Indonesia rakyat memprotes, dan seorang petani mati ditembak:

dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala

ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya

Ketika sajak itu terbit dalam antologi Matinja Seorang Petani (1961) ia dilarang oleh penguasa militer yang waktu itu ditegakkan bersama dengan “Demokrasi Terpimpin”. Tapi dalam memberangus puisi, seperti halnya dalam membunuh petani, kekuasaan selamanya “cuma dapat bangkainya”. Puisi dan pemberontakan adalah juga “roh”, tak pernah hanya bangkai.

Tentang kenyataan itu, kekuasaan memang acap tak sabar. Juga kekuasaan yang hendak mengubah dunia. Kekuasaan menginginkan sesuatu yang efektif. Ketika ia bertaut dengan keyakinan, ia butuh sesuatu yang mantap: puisi (yang bukan “bangkai”) tak dikehendaki melesat ke mana-mana seperti roh yang sesat. Juga pemberontakan tak boleh hanya jadi ledakan yang tak sistematik. Tentang itulah Lenin berbicara akan perlunya “teori revolusi” dan Mao menganjurkan “konsolidasi ideologis”. Segalanya harus dibariskan. Maka puisi pun jadi slogan, pemberontakan jadi program.

Agam Wispi, penyair kita, gelisah dengan pilihan yang sulit itu. Sebagai redaktur kebudayaan Harian Rakjat ia menolak puisi buruk yang sarat semboyan revolusi yang dikirim kepadanya untuk dimuat, meskipun kadang-kadang penyairnya dapat stempel dukungan dari pengurus PKI di daerah. Wispi termasuk yang tak henti-hentinya menghendaki “tinggi mutu ideologi” dan sekaligus “tinggi mutu bentuk”. Saya kira ia sering kecewa.

Saat itu memang belum ditelaah bahwa mungkin bukan soal bentuk “buruk” yang sebenarnya terjadi dalam puisi Lekra (sebagaimana juga dalam puisi perjuangan lain), melainkan keajekan. Wispi pernah menyebutnya sebagai laku “memamah-biak”. Tapi pengulang-ulangan memang tak bisa dielakkan. Sebab, apa boleh buat, “politik keyakinan” menghendaki keajekan yang konsisten, bukan kesegaran yang tak diduga-duga. Keajekan itu, ketika perjuangan kian sengit, menjadikan puisi mandek, mengeras, dan teori pun jadi doktrin dan Partai mirip takhta suci yang teguh tak bisa bersalah. Marx akan menyebutnya sebagai Verdinglichung yang menafikan kebebasan dan kesegaran.

Jika dalam diri Agam, dorongan “kesegaran” itu sulit dielakkannya, sebab ia memang penyair. Pada akhirnya ia memang memilih puisi sebagai satu-satunya rumah, juga pendamping akrab dalam menjelajah dan membebaskan:

puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang

Ada yang sunyi, tapi juga heroik, dalam pilihan seperti itu: pada akhirnya puisi dan politik justru bersenyawa ketika mobilisasi “politik keyakinan” tak ada lagi. Ia bergerak hanya dari hasrat pembebasan. Ketika Partai tak hadir, apalagi sebagai takhta suci, politik pun berjalan sendiri bersama puisi, merasuk ke dalam puisi, mengalami transformasi bersama puisi.

Jalan cukup panjang ke arah itu bagi Agam. Tragedi besar tahun 1965 membuat Partai hancur, tapi sesuatu yang lebih dalam sebenarnya berlangsung pada Wispi. Ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi, ia tak berada di Indonesia. Sejak Mei 1965, Agam berada di Vietnam selama beberapa bulan. Di Hanoi ia sempat bertemu dengan Ho Chi-Minh. Kepada pemimpin Vietnam itu Wispi, selaku wartawan Harian Rakjat, minta izin untuk meliput kegiatan gerilya Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan. Ho memberinya jalan: Agam harus ke Kamboja lebih dulu, dan untuk dapat masuk Kamboja, ia harus ke Beijing, untuk dapat perkenan dari wakil pemerintahan Sihanouk.

Di Beijing dilihatnya ratusan orang Indonesia yang diundang untuk ikut dalam perayaan Revolusi Oktober. Tak disangka-sangka pada pagi 1 Oktober mereka diberi tahu bahwa sesuatu yang dramatik terjadi di Jakarta di malam sebelumnya.

Suasana politik di Indonesia pun berubah sama sekali. PKI, yang sebelumnya praktis menguasai arena politik, sejak hari itu terpojok. Pemerintah RRC memutuskan agar orang Lekra dan PKI tak kembali ke Indonesia. Mereka, sekitar 250 orang, ditempatkan di Nanking, di sebuah asrama bekas barak Tentara Nasionalis.

Mereka tak menyangka akan harus tinggal di sana begitu lama?dan bahkan tak bisa pulang seterusnya. Agam bercerita bagaimana selama itu harap sering bercampur ilusi, dan informasi yang terbatas menyebabkan arah yang rancu. Di masa itu pula Cina dilanda “Revolusi Kebudayaan”?sebuah kekacauan besar tersendiri, juga dalam pemikiran Marxisme-Leninisme. Sebab “Revolusi” yang dilancarkan Mao dengan jutaan Pengawal Merah itu adalah pemberontakan komunis melawan Partai Komunis, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya oleh kaum Marxis-Leninis yang mana pun. Partai Komunis Cina praktis diganti dengan Mao yang dikultuskan, “teori” revolusi digantikan dengan Buku Merah Kecil, Marxisme-Leninisme diambil-alih oleh mantra Maois yang dihafal.

Agam Wispi menyaksikan semua itu dengan frustrasi dan, saya duga, dengan kepahitan. Selama lima tahun di asrama di Nanking itu ia melihat mencongnya perilaku dari ajaran. Terkungkung bersama di satu tempat, perangai masing-masing anggota komunitas Indonesia itu pun kian transparan. Orang Partai yang selama ini diharapkan jadi “komunis yang baik” tampak cacatnya sebagai manusia biasa. Pertengkaran terjadi. Solidaritas ternyata tak cukup. Di mana yang ideal itu, sebenarnya?

Bahkan agaknya bagi Agam, yang ideal tak terdapat di luar kamp. Dalam suasana Cina yang gemuruh itu terkadang orang-orang Indonesia itu dibawa bekerja di dusun. Banyak yang bersemangat, juga ketika mengumpulkan tahi manusia dengan tangan telanjang untuk dijadikan pupuk. Tapi Agam, sebagaimana dikatakannya kepada saya, kian skeptis. Ia kian membangkang. Ia mulai berusaha untuk pergi dari sana. Ia membayangkan indahnya Danau Baikal yang jauh.

Dengan sedikit muslihat akhirnya, di tahun 1973, ia dapat izin untuk pergi. Ia berangkat ke Moskow dengan kereta api. Tak banyak yang diceritakannya tentang hidupnya di Uni Soviet, mungkin karena ia sebenarnya ingin ke Jerman Timur, yang di tahun 1959 dikunjunginya selama setahun, masa ketika ia menuliskan kuatren-kuatrennya yang memukau, Sahabat. Akhirnya ia ke Lepizig juga. Sampai 1978 ia tinggal di sana, belajar kesusastraan Jerman, bekerja di sebuah perpustakaan, dan mulai menerjemahkan Faust, yang diterbitkan oleh Kalam, Jakarta, di tahun 1999.

Saya tak ingat benar apa yang dikisahkannya tentang hidupnya di Lepizig. Yang saya ingat ia, dengan bahasa Jermannya yang fasih, mulai menggemari media TV dan surat kabar di Berlin Barat. Ia kagum akan perdebatan intelektual yang dilangsungkan di layar dan di pagina pagi. Ia juga terkejut karena baru pertama kalinya ia menemukan apa yang dulu selama di Indonesia tak diketahuinya: misalnya tentang yang terjadi dalam kesusastraan Soviet di bawah doktrin “realisme sosialis” Zhdanov?yang di Indonesia pernah dikutip Pramoedya Ananta Toer?sebuah doktrin yang ternyata membungkam ratusan sajak dan, dengan titah Stalin, mengirim penyair Osip Mandelstam ke pembuangan di Siberia sampai mati. Dari sini pula terasa getirnya kepada “orang politik”, sebagaimana kita temukan dalam sajaknya untuk novelis Asahan Aidit:

tak ada tokoh politik berani minta maaf
kepada mendelstam
karena serangkum sajaknya mati disiksa
di siberia buangan

Ada teman lamanya di Indonesia yang kecewa bahwa Agam pernah menyebut komunisme sebagai “satu eksperimen yang gagal”. Ia memang sering menunjukkan sikap nakal dan mencemooh, dan mungkin ia, yang bertahun-tahun jauh dari Indonesia, tak cukup peka merasakan betapa sakitnya orang-orang komunis yang dianiaya dan dihina di sini. Dihancur-hitamkan oleh “kaum kanan” sudah merupakan hal yang pedih, dan kini mereka dianggap sebagai pendukung “eksperimen yang gagal” oleh kawan sendiri.?

Tapi saya kira Agam Wispi tak pernah berhenti berpikir tentang teman-teman lamanya dengan rasa rindu. “Ketemu sahabat lama mahabagia daripada di surga mana pun!” kata selarik sajaknya. Dan jika ia mengatakan komunisme sebuah “eksperimen yang gagal”, saya kira ia tak hendak menyebut komunisme sebuah kejahatan. Bagaimanapun, apa yang diperjuangkan Marx dan diteruskan Lenin dan beribu-ribu pengikutnya dalam sejarah abad ke-20 adalah sebuah pergulatan yang sengit dan harapan yang luhur untuk keadilan. PKI mati, komunisme gagal, tapi pergulatan dan harapan macam itu mustahil musnah. Apa yang dituliskan Agam di tahun 1960-an bahkan masih bisa bergema di hari ini, meskipun kata “jenderal” di bawah ini kini bisa juga diganti dengan “pejabat” atau “politikus”:

jenderal
telah kupasang bintang-bintang di dada kalian
dari rejam tuan tanah dan lintah
kutuntut bintangmu: mana tanah!

Tanah dan kemerdekaan bertaut, menjadi suatu kebutuhan asasi. Merupakan satu tanda sejarah yang sedih?sejarah yang digerakkan oleh cita-cita dan dihantam kekerasan?bahwa kebutuhan itu kini berkait bukan hanya dengan si miskin, tapi juga dengan para eksil. Sebab mereka ini, hidup “klayaban” bertahun-tahun di luar negeri, seraya tak putus-putusnya, seperti kita, mencintai Indonesia, sebenarnya mirip buruh tani dalam sajak S. Anantaguna: orang-orang “yang bertanahair, tapi tak bertanah”, orang-orang yang rindukan sebuah negeri, tapi di sana tak diberi tempat bersama lagi.

Agam Wispi adalah salah satu di antaranya, dengan akhir hayat yang pernah dituliskannya dengan sayu:

?suatu hari: kau mati
dalam sunyi
tentu! sendirian: sendiri

Jakarta, 4 Januari 2003

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae