Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/
Di sebuah rumah jompo di Amsterdam yang dingin, tahun 2003 dibuka dengan seorang penyair yang meninggal. Ajal datang hanya beberapa menit setelah 31 Desember. Itu hari ulang tahunnya. Saya bayangkan ia, persis pada usia 72 itu, sendiri, mungkin dalam kamar yang padam lampu, ketika cuaca di luar di bawah nol.
Hampir 40 tahun lamanya ia juga praktis diletakkan dalam gelap dan dalam sunyi. Indonesia seakan-akan melupakannya, Agam Wispi, satu dari khazanah nasional yang berharga: bukan saja puisinya yang cerah dan menggugah, tapi juga hidupnya sebagai satu saksi sejarah Republik? sebuah sejarah yang tak putus-putusnya digerakkan oleh cita-cita dan dihantam kekerasan.
Ia telah mengalaminya bahkan sejak awal. Di rumah masa kecilnya pernah menginap Tan Malaka, dalam salah satu perjalanan rahasia. Ketika itu, demikianlah ia pernah bercerita kepada saya, dari Aceh orang tua Wispi pindah sebentar ke Singapura, satu migrasi yang biasa di masa kolonial tahun 1930-an itu. Si ayah seorang komunis yang tak dikenal, dan kedatangan tokoh bawah-tanah itu bukan hal yang ganjil. Bahkan ke rumahnya pula pernah singgah Muso, kurang-lebih sembilan tahun sebelum memimpin PKI dalam “Peristiwa Madiun” 1948 yang berakhir dengan pertumpahan darah dan rentetan eksekusi itu.
Wispi sendiri kemudian juga jadi anggota Partai. Tapi pada awal, dan pada akhirnya, ia seorang penyair; ia redaktur kebudayaan di Harian Kerakyatan dan Pendorong di Medan dari tahun 1952 sampai 1957. Tulisannya dapat perhatian Nyoto, pemimpin partai yang juga penulis yang cemerlang itu, yang hampir selamanya jadi pelindung para seniman yang resah dan meresahkan dalam rumah besar PKI. Di tahun 1957 Agam diminta pindah ke Jakarta untuk jadi redaktur kebudayaan Harian Rakjat, koran resmi Partai.
Tapi tak selamanya mudah, di mana pun juga, untuk hidup dengan puisi dan sekaligus dengan “politik keyakinan”. Puisi adalah kata, bunyi, nyanyi, dan imajinasi, yang ternyata tak selamanya disusun dari satu subyek yang jernih, utuh, dan sadar. “Pena-lah yang bermimpi,” kata Gaston Bachelard. Keyakinan adalah hal lain lagi.
Tapi tak berarti bahwa seorang penyair dapat dengan mudah menyerahkan pena dan mimpi itu kepada iman dan ideologi. “Politik keyakinan”?yang ingin mengubah bumi berdasarkan sebuah tafsir yang diyakini tentang hidup dan mati?sering meletakkan penyair di dalam peran yang berlebihan. Keyakinan, kita tahu, menuntut sikap sadar yang teguh dan terkendali. “Sastrawan adalah insinyur jiwa manusia,” kata Stalin. Kalimat itu terkenal, tapi juga terbukti salah, karena menulis puisi tak sama dengan merancang-bangun. Menulis puisi adalah ibarat memasuki alam serat, (dalam leksikon Jawa, puisi adalah serat), seakan-akan menempuh serabut dengan jalinan yang pilin-memilin, berbeda-beda dan majemuk lekuknya, tak lurus lempang. Dengan itu, bagaimana ia akan dapat mengawali hari “kejadian kedua”, untuk mengikuti kiasan Ilya Ehrenburg, setelah Tuhan membangun hari kejadian pertama?
Tapi ia tak bisa bilang “tidak”. Seorang penyair toh tahu bahwa dunia memang sudah saatnya “berganti rupa”, sebagaimana dimaklumkan lagu Internasionale. Bahkan dengan serat yang kusut, penyair tetap terdorong untuk memberi bentuk, atau Gestalt, kepada sengkarut dan sengketa dalam hidup?sebagai sebuah pemberontakan atas keadaan tempat ia dilemparkan. Pada suatu hari Agam Wispi menyaksikan keadaan itu di awal tahun 1960-an, ketika di Tanjung Morawa tanah garapan para petani miskin digusur dengan traktor dan bedil, dan dari kantor Barisan Tani Indonesia rakyat memprotes, dan seorang petani mati ditembak:
dia jatuh
rubuh
satu peluru
dalam kepala
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya
Ketika sajak itu terbit dalam antologi Matinja Seorang Petani (1961) ia dilarang oleh penguasa militer yang waktu itu ditegakkan bersama dengan “Demokrasi Terpimpin”. Tapi dalam memberangus puisi, seperti halnya dalam membunuh petani, kekuasaan selamanya “cuma dapat bangkainya”. Puisi dan pemberontakan adalah juga “roh”, tak pernah hanya bangkai.
Tentang kenyataan itu, kekuasaan memang acap tak sabar. Juga kekuasaan yang hendak mengubah dunia. Kekuasaan menginginkan sesuatu yang efektif. Ketika ia bertaut dengan keyakinan, ia butuh sesuatu yang mantap: puisi (yang bukan “bangkai”) tak dikehendaki melesat ke mana-mana seperti roh yang sesat. Juga pemberontakan tak boleh hanya jadi ledakan yang tak sistematik. Tentang itulah Lenin berbicara akan perlunya “teori revolusi” dan Mao menganjurkan “konsolidasi ideologis”. Segalanya harus dibariskan. Maka puisi pun jadi slogan, pemberontakan jadi program.
Agam Wispi, penyair kita, gelisah dengan pilihan yang sulit itu. Sebagai redaktur kebudayaan Harian Rakjat ia menolak puisi buruk yang sarat semboyan revolusi yang dikirim kepadanya untuk dimuat, meskipun kadang-kadang penyairnya dapat stempel dukungan dari pengurus PKI di daerah. Wispi termasuk yang tak henti-hentinya menghendaki “tinggi mutu ideologi” dan sekaligus “tinggi mutu bentuk”. Saya kira ia sering kecewa.
Saat itu memang belum ditelaah bahwa mungkin bukan soal bentuk “buruk” yang sebenarnya terjadi dalam puisi Lekra (sebagaimana juga dalam puisi perjuangan lain), melainkan keajekan. Wispi pernah menyebutnya sebagai laku “memamah-biak”. Tapi pengulang-ulangan memang tak bisa dielakkan. Sebab, apa boleh buat, “politik keyakinan” menghendaki keajekan yang konsisten, bukan kesegaran yang tak diduga-duga. Keajekan itu, ketika perjuangan kian sengit, menjadikan puisi mandek, mengeras, dan teori pun jadi doktrin dan Partai mirip takhta suci yang teguh tak bisa bersalah. Marx akan menyebutnya sebagai Verdinglichung yang menafikan kebebasan dan kesegaran.
Jika dalam diri Agam, dorongan “kesegaran” itu sulit dielakkannya, sebab ia memang penyair. Pada akhirnya ia memang memilih puisi sebagai satu-satunya rumah, juga pendamping akrab dalam menjelajah dan membebaskan:
puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang
Ada yang sunyi, tapi juga heroik, dalam pilihan seperti itu: pada akhirnya puisi dan politik justru bersenyawa ketika mobilisasi “politik keyakinan” tak ada lagi. Ia bergerak hanya dari hasrat pembebasan. Ketika Partai tak hadir, apalagi sebagai takhta suci, politik pun berjalan sendiri bersama puisi, merasuk ke dalam puisi, mengalami transformasi bersama puisi.
Jalan cukup panjang ke arah itu bagi Agam. Tragedi besar tahun 1965 membuat Partai hancur, tapi sesuatu yang lebih dalam sebenarnya berlangsung pada Wispi. Ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi, ia tak berada di Indonesia. Sejak Mei 1965, Agam berada di Vietnam selama beberapa bulan. Di Hanoi ia sempat bertemu dengan Ho Chi-Minh. Kepada pemimpin Vietnam itu Wispi, selaku wartawan Harian Rakjat, minta izin untuk meliput kegiatan gerilya Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan. Ho memberinya jalan: Agam harus ke Kamboja lebih dulu, dan untuk dapat masuk Kamboja, ia harus ke Beijing, untuk dapat perkenan dari wakil pemerintahan Sihanouk.
Di Beijing dilihatnya ratusan orang Indonesia yang diundang untuk ikut dalam perayaan Revolusi Oktober. Tak disangka-sangka pada pagi 1 Oktober mereka diberi tahu bahwa sesuatu yang dramatik terjadi di Jakarta di malam sebelumnya.
Suasana politik di Indonesia pun berubah sama sekali. PKI, yang sebelumnya praktis menguasai arena politik, sejak hari itu terpojok. Pemerintah RRC memutuskan agar orang Lekra dan PKI tak kembali ke Indonesia. Mereka, sekitar 250 orang, ditempatkan di Nanking, di sebuah asrama bekas barak Tentara Nasionalis.
Mereka tak menyangka akan harus tinggal di sana begitu lama?dan bahkan tak bisa pulang seterusnya. Agam bercerita bagaimana selama itu harap sering bercampur ilusi, dan informasi yang terbatas menyebabkan arah yang rancu. Di masa itu pula Cina dilanda “Revolusi Kebudayaan”?sebuah kekacauan besar tersendiri, juga dalam pemikiran Marxisme-Leninisme. Sebab “Revolusi” yang dilancarkan Mao dengan jutaan Pengawal Merah itu adalah pemberontakan komunis melawan Partai Komunis, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya oleh kaum Marxis-Leninis yang mana pun. Partai Komunis Cina praktis diganti dengan Mao yang dikultuskan, “teori” revolusi digantikan dengan Buku Merah Kecil, Marxisme-Leninisme diambil-alih oleh mantra Maois yang dihafal.
Agam Wispi menyaksikan semua itu dengan frustrasi dan, saya duga, dengan kepahitan. Selama lima tahun di asrama di Nanking itu ia melihat mencongnya perilaku dari ajaran. Terkungkung bersama di satu tempat, perangai masing-masing anggota komunitas Indonesia itu pun kian transparan. Orang Partai yang selama ini diharapkan jadi “komunis yang baik” tampak cacatnya sebagai manusia biasa. Pertengkaran terjadi. Solidaritas ternyata tak cukup. Di mana yang ideal itu, sebenarnya?
Bahkan agaknya bagi Agam, yang ideal tak terdapat di luar kamp. Dalam suasana Cina yang gemuruh itu terkadang orang-orang Indonesia itu dibawa bekerja di dusun. Banyak yang bersemangat, juga ketika mengumpulkan tahi manusia dengan tangan telanjang untuk dijadikan pupuk. Tapi Agam, sebagaimana dikatakannya kepada saya, kian skeptis. Ia kian membangkang. Ia mulai berusaha untuk pergi dari sana. Ia membayangkan indahnya Danau Baikal yang jauh.
Dengan sedikit muslihat akhirnya, di tahun 1973, ia dapat izin untuk pergi. Ia berangkat ke Moskow dengan kereta api. Tak banyak yang diceritakannya tentang hidupnya di Uni Soviet, mungkin karena ia sebenarnya ingin ke Jerman Timur, yang di tahun 1959 dikunjunginya selama setahun, masa ketika ia menuliskan kuatren-kuatrennya yang memukau, Sahabat. Akhirnya ia ke Lepizig juga. Sampai 1978 ia tinggal di sana, belajar kesusastraan Jerman, bekerja di sebuah perpustakaan, dan mulai menerjemahkan Faust, yang diterbitkan oleh Kalam, Jakarta, di tahun 1999.
Saya tak ingat benar apa yang dikisahkannya tentang hidupnya di Lepizig. Yang saya ingat ia, dengan bahasa Jermannya yang fasih, mulai menggemari media TV dan surat kabar di Berlin Barat. Ia kagum akan perdebatan intelektual yang dilangsungkan di layar dan di pagina pagi. Ia juga terkejut karena baru pertama kalinya ia menemukan apa yang dulu selama di Indonesia tak diketahuinya: misalnya tentang yang terjadi dalam kesusastraan Soviet di bawah doktrin “realisme sosialis” Zhdanov?yang di Indonesia pernah dikutip Pramoedya Ananta Toer?sebuah doktrin yang ternyata membungkam ratusan sajak dan, dengan titah Stalin, mengirim penyair Osip Mandelstam ke pembuangan di Siberia sampai mati. Dari sini pula terasa getirnya kepada “orang politik”, sebagaimana kita temukan dalam sajaknya untuk novelis Asahan Aidit:
tak ada tokoh politik berani minta maaf
kepada mendelstam
karena serangkum sajaknya mati disiksa
di siberia buangan
Ada teman lamanya di Indonesia yang kecewa bahwa Agam pernah menyebut komunisme sebagai “satu eksperimen yang gagal”. Ia memang sering menunjukkan sikap nakal dan mencemooh, dan mungkin ia, yang bertahun-tahun jauh dari Indonesia, tak cukup peka merasakan betapa sakitnya orang-orang komunis yang dianiaya dan dihina di sini. Dihancur-hitamkan oleh “kaum kanan” sudah merupakan hal yang pedih, dan kini mereka dianggap sebagai pendukung “eksperimen yang gagal” oleh kawan sendiri.?
Tapi saya kira Agam Wispi tak pernah berhenti berpikir tentang teman-teman lamanya dengan rasa rindu. “Ketemu sahabat lama mahabagia daripada di surga mana pun!” kata selarik sajaknya. Dan jika ia mengatakan komunisme sebuah “eksperimen yang gagal”, saya kira ia tak hendak menyebut komunisme sebuah kejahatan. Bagaimanapun, apa yang diperjuangkan Marx dan diteruskan Lenin dan beribu-ribu pengikutnya dalam sejarah abad ke-20 adalah sebuah pergulatan yang sengit dan harapan yang luhur untuk keadilan. PKI mati, komunisme gagal, tapi pergulatan dan harapan macam itu mustahil musnah. Apa yang dituliskan Agam di tahun 1960-an bahkan masih bisa bergema di hari ini, meskipun kata “jenderal” di bawah ini kini bisa juga diganti dengan “pejabat” atau “politikus”:
jenderal
telah kupasang bintang-bintang di dada kalian
dari rejam tuan tanah dan lintah
kutuntut bintangmu: mana tanah!
Tanah dan kemerdekaan bertaut, menjadi suatu kebutuhan asasi. Merupakan satu tanda sejarah yang sedih?sejarah yang digerakkan oleh cita-cita dan dihantam kekerasan?bahwa kebutuhan itu kini berkait bukan hanya dengan si miskin, tapi juga dengan para eksil. Sebab mereka ini, hidup “klayaban” bertahun-tahun di luar negeri, seraya tak putus-putusnya, seperti kita, mencintai Indonesia, sebenarnya mirip buruh tani dalam sajak S. Anantaguna: orang-orang “yang bertanahair, tapi tak bertanah”, orang-orang yang rindukan sebuah negeri, tapi di sana tak diberi tempat bersama lagi.
Agam Wispi adalah salah satu di antaranya, dengan akhir hayat yang pernah dituliskannya dengan sayu:
?suatu hari: kau mati
dalam sunyi
tentu! sendirian: sendiri
Jakarta, 4 Januari 2003
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar