Jumat, 26 Juni 2009

“Leontin Dewangga” dan Sastra Perlawanan

Asvi Warman Adam
http://www2.kompas.com/

JATUHNYA Soeharto membuka peluang munculnya karya sastra yang selama Orde Baru terlarang. Tiga dekade rezim otoriter itu identik dengan kematian sastra kiri, yaitu karya pengarang yang dianggap “terlibat G30S”. Demikian yang dialami Martin Aleida yang kiprahnya di dunia sastra tersumbat lebih dari 30 tahun. Baru sejak medio 1998 Martin bisa menerbitkan beberapa buku, yaitu Malam Kelabu, Ilyana dan Aku (kumpulan cerpen), Layang-Layang Tidak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi (novelet), dan Perempuan Depan Kaca (kumpulan cerpen). Yang terakhir adalah Leontin Dewangga (kumpulan cerpen) yang terbit akhir Desember 2003.

Martin Aleida lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 31 Desember 1943. Ia mendarat di Jakarta tahun 1963. Semula bernama Nurlan, ia aktivis Lekra Jakarta Raya. Setelah meletus G30S pada 1965, ia kemudian ditangkap tahun 1966 dan ditahan selama beberapa waktu. Setelah berganti-ganti pekerjaan (buruh bangunan, pelayan restoran, penjaga kios, pedagang kaki lima), dengan nama pena Martin Aleida ia menjadi wartawan majalah Tempo selama 13 tahun. Ketika identitasnya diketahui aparat, ia terpaksa berpindah kerja sebagai staf lokal Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta selama 10 tahun.

Sastra perlawanan

Buku Leontin Dewangga terdiri atas 17 cerpen. Tiga cerpen yang pertama, Malam Kelabu, Leontin Dewangga, dan Ode untuk Selembar KTP berlatar peristiwa 1965. Peristiwa 1965 yang diawali dengan penculikan para jenderal oleh pasukan Cakrabirawa pada subuh, 1 Oktober 1965, merupakan konflik yang terpanjang dalam sejarah nasional setelah merdeka. Satu-satunya konflik vertikal dan horizontal yang merombak tatanan politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia secara drastis. Di balik perubahan besar itu, yang terjadi adalah penderitaan puluhan tahun bagi mereka yang dituduh terlibat beserta keluarganya. Kesengsaraan dan stigma buruk itu tetap membekas sampai hari ini.

Cerpen Malam Kelabu menceritakan tentang seorang pemuda asal Sumatera Utara yang pergi melamar calon istrinya di sebuah desa di pinggir Bengawan Solo. Di atas perahu penyeberangan, sebelum sampai ke desa yang dituju, ia mendengar tentang bencana yang menimpa sang kekasih sekeluarga.

“Seminggu lalu ketahuan di rumah Partini menginap seorang pelarian PKI dari Yogya, kakak dari Mulyohardjo. Orang itu dicincang rakyat sampai mati. Rumah dibakar jadi abu”… Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama terpendam.

Seperti di daerah lain, keluarga komunis hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu dengan Partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.

Si pemuda hanya bisa mengeluh tanpa daya

“Engkau dan seluruh keluargamu sudah tiada. Tiada kubur tempat ziarah, seakan-akan engkau tak boleh diterima bumi karena ayahmu komunis. Karena pamanmu…” rintihnya liris, mengiris-iris.

Selang beberapa saat, ia mengambil keputusan mendadak: mengakhiri hidupnya sendiri dengan sebilah pisau yang disimpannya di balik bajunya dan tercebur di dalam arus Bengawan Solo.

Cerpen Leontin Dewangga menceritakan seorang pemuda Aceh, Abdullah, yang ditangkap pascaperistiwa 65 karena dituduh komunis. Ketika ditangkap, di sakunya terdapat surat ayahnya yang mengabarkan bahwa orangtua Abdullah akan naik haji dengan menumpang kapal laut, yang akan memakan waktu tiga bulan. Surat inilah yang menyelamatkan Abdullah. Ia diizinkan aparat keluar, tetapi harus melapor setiap minggu.

Abdullah yang hidup gelandangan itu menawarkan tenaga mengangkat barang penjual sayur di Pasar Senen. Suatu hari, Abdullah bertemu seorang ibu dari Bungur, pemilik warung yang terpikat oleh sikap Abdullah. Seusai mengangkat barang, Abdullah dihidangkan makanan oleh si ibu. Selanjutnya, Abdullah berkenalan dengan Dewangga Suciati, anak pemilik warung, yang kemudian menjadi istrinya.

Sampai mereka mempunyai dua anak, Abdullah tidak pernah menjelaskan kepada istri dan keluarga istrinya tentang dirinya. Istrinya, Ewa, tidak merasa asing dengan percakapan antara Abdullah dan tamu-tamunya. Percakapan mereka mengingatkan Ewa akan percakapan ayahnya almarhum dengan teman-temannya.

Ketika istrinya berjuang melawan maut karena kanker stadium terakhir, Abdullah memutuskan berterus terang kepada istri. Mendengar cerita suaminya, Ewa meminta Abdullah membuka leontin yang terpasang di lehernya. Ternyata di situ ada gambar semacam bulan sabit berwarna merah, lambang gerakan tani yang melancarkan aksi sepihak untuk melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria. Leontin ini dikalungkan oleh ayah Ewa ketika ia berusia 17 tahun, sebelum sang ayah dibawa oleh seorang algojo yang dikirim oleh tuan tanah pada tahun 1965. Sejak itu ayahnya tak pernah lagi kembali. Kemudian Ewa sendiri pernah diperkosa oleh aparat keamanan ketika mencari ayahnya.

Kisah perempuan yang menunggu maut menjemput karena kanker itu sendiri sudah menyedihkan. Namun, kisah cinta antara dua keluarga korban 1965 yang baru saling mengetahui riwayat hidup masing-masing setelah maut akan memisahkan mereka betul-betul tragedi anak manusia. Jutaan orang di Indonesia sampai hari ini masih dihinggapi trauma dan menutup identitasnya.

Cerpen Ode bagi Selembar KTP mengisahkan kehidupan seorang wanita yang pernah menghuni kamp konsentrasi perempuan Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Stigma buruk terhadap mereka yang terlibat G30S itu meskipun sudah ditahan sekian tahun tanpa proses pengadilan diawetkan dengan memberi tanda ET atau ETP pada kartu tanda penduduk mereka. Dengan hasil penjualan sebidang tanah warisan ayahnya, perempuan itu menyogok petugas di kelurahan jutaan rupiah sehingga ia memperoleh KTP yang bebas dari tanda keji itu.

Ia disesali putrinya karena uang jutaan itu bisa digunakan anak-anaknya untuk modal berjualan, membuka toko obras, melanjutkan sekolah, atau membuka bengkel. Tetapi, sang perempuan sudah mengambil keputusan.

“Waktu telah mengajariku bahwa siapa pun tak bisa membuat kata-kata menemukan kenyataan yang dijanjikannya. Aku tak bisa menunggu.”

Perjuangan batin perempuan ini sungguh ganjil bagi masyarakat Indonesia pada umumnya yang sama sekali tidak memiliki persoalan dengan KTP mereka. Tetapi, itulah kenyataan yang sangat diskriminatif yang menimpa para korban 1965 (sampai sekarang).

Cerpen-cerpen yang lain memperlihatkan kepedulian terhadap rakyat kecil yang tertindas. Dengan satu dan lain cara, mereka tetap melawan. Perlawanan itu bahkan dilakukan bukan hanya oleh manusia. Kolam dan anjing pun bisa protes. Sayang cerpen Martin Aleida berjudul Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata (Kompas, 5 Oktober 2003) tidak termuat dalam kumpulan ini. Ganja kering itu pun hidup dan bersaksi tentang pelanggaran HAM di Aceh dan di Indonesia.

Tidak menyerah

Lahir, jodoh, rezeki, dan mati ada di tangan Tuhan, demikian kata orang yang beriman. Tetapi, bagi mereka yang dianggap terlibat G30S, ada pihak lain yang menentukan nasib mereka. Meskipun tidak meminta dilahirkan sebagai anak seorang PKI, sang anak akan memikul “dosa turunan” yang seakan-akan diwariskan orangtuanya. Perkawinan pun bisa batal bila diketahui salah seorang pasangan itu “tidak bersih lingkungan”, artinya memiliki keluarga yang terlibat peristiwa 1965. Rezeki mereka jelas terhadang karena korban 1965 beserta keluarganya tidak bisa menjadi pegawai negeri, bahkan pegawai pada kebanyakan perusahaan swasta terkemuka. Kematian telah dialami oleh mereka yang dibantai tahun 1965/1966 atau yang meninggal secara tidak wajar di tempat-tempat penahanan yang jumlahnya ratusan buah di Tanah Air, termasuk kamp terbesar di Pulau Buru yang berkapasitas 10.000 orang.

Maka, yang digambarkan oleh Martin Aleida dalam buku ini hanyalah upaya untuk menertawakan atau mengejek nasib. Sungguhpun pada setiap cerpen itu terkandung pesan untuk tidak menyerah. Itulah pesan utama dari karya sastra perlawanan.

*) Juri Anugerah Sastra Khatulistiwa Award, 2003

Tidak ada komentar:

Label

`Atiqurrahman A Muttaqin A Rodhi Murtadho A. Iwan Kapit A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.H.J Khuzaini A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Malik Abdul Wachid B.S. Abdurrahman El Husaini Abidah El Khalieqy Abu Salman Acep Zamzam Noor Achdiat K. Mihardja Adek Alwi Adi Suhara Adnyana Ole Adreas Anggit W. Afrion Afrizal Malna Aguk Irawan MN Agung Dwi Ertato Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agusri Junaidi Agustinus Wahyono Ahda Imran Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Fanani Mosah Ahmad Fatoni Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musabbih Ahmad Rofiq Ahmad Sahidah Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alex R. Nainggolan Alex Suban Alunk Estohank Ami Herman Amien Kamil Amien Wangsitalaja Aminudin R Wangsitalaja Anastasya Andriarti Andreas Maryoto Anes Prabu Sadjarwo Angela Angga Wijaya Angkie Yudistia Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Kurniawan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Anwar Nuris Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif B. Prasetyo Arif Bagus Prasetyo Arif Hidayat Arman A.Z. Arti Bumi Intaran Arys Hilman AS Sumbawi Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh SABENA Astrikusuma Asvi Warman Adam Atep Kurnia Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Badrut Tamam Gaffas Bagja Hidayat Bagus Takwin Balada Bale Aksara Baltasar Koi Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bayu Insani Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Blambangan Brunel University London BSW Adjikoesoemo Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Saputra Budi Suwarna Bung Tomo Cak Kandar Catatan Cerpen Chairil Anwar Chavchay Syaifullah Cucuk Espe Cunong N. Suraja D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Daisuke Miyoshi Damanhuri Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Dhakidae Dante Alighieri Deddy Arsya Dedy Tri Riyadi Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Detti Febrina Dharmadi Diah Hadaning Dian Hartati Dian Sukarno Diana A.V. Sasa Dicky Fadiar Djuhud Didi Arsandi Dimas Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djadjat Sudradjat Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Doddy Hidayatullah Donny Anggoro Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr. Muhammad Zafar Iqbal Dr. Simuh Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwicipta Dwijo Maksum Edy A. Effendi Edy Firmansyah Efri Ritonga Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendri Saiful Elik Elsya Crownia Emha Ainun Nadjib Endah Sulawesi Endah Wahyuningsih Endang Suryadinata Endhiq Anang P Endri Y Eriyandi Budiman Ernest Hemingway Esai Esha Tegar Putra Eva Dwi Kurniawan Evi Dana Setia Ningrum Evi Idawati Evieta Fadjar F Rahardi Fabiola D. Kurnia Fadelan Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Faizal Syahreza Fajar Alayubi Fandy Hutari Fany Chotimah Fatah Yasin Noor Fathor Lt Fathurrahman Karyadi Fatih Kudus Jaelani Fatma Dwi Rachmawati Fauzi Absal Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fina Sato Fitri Susila Galih Pandu Adi Gde Agung Lontar Geger Riyanto Gerakan Literasi Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Ginanjar Rahadian Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Martin Gus tf Sakai Gusti Eka Hadi Napster Haji Misbach Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Hamdy Salad Han Gagas Handoko F. Zainsam Hari Santoso Haris del Hakim Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Gauk Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helwatin Najwa Hepi Andi Bastoni Heri C Santoso Heri KLM Heri Latief Heri Listianto Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Heru Emka Heru Kurniawan Heru Prasetya Hesti Sartika Hudan Hidayat Humaidiy AS I Made Asdhiana I Made Prabaswara I Nyoman Suaka IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Ahdiah Idayati Ignas Kleden Ihsan Taufik Ilenk Rembulan Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imam Cahyono Imam Jahrudin Priyanto Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah Darmastuti Indiar Manggara Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Irma Safitri Irman Syah Iskandar Noe Istiqomatul Hayati Ita Siregar Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya-Djafar Iyut FItra Jadid Al Farisy Jafar M. Sidik Jakob Sumardjo Jamal D Rahman Janual Aidi Javed Paul Syatha Jayaning S.A Jefri al Malay Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Pakagula Johan Edy Raharjo Joko Pinurbo Jokowi Undercover Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Juli Sastrawan Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Kadir Ruslan Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Khamami Zada Khrisna Pabichara Kikin Kuswandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Korrie Layun Rampan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kristianto Batuadji Kritik Sastra Kunni Masrohanti Kunthi Hastorini Kuntowijoyo Kurie Suditomo Kurnia EF Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Kuswinarto Lan Fang Landung Rusyanto Simatupang Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Liestyo Ambarwati Khohar Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto LN Idayanie Lucia Idayani Lukman Asya Lusiana Indriasari Lynglieastrid Isabellita M Hari Atmoko M. Aan Mansyur M. Arman A.Z M. Bagus Pribadi M. Fadjroel Rachman M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Luthfi Aziz M. Nahdiansyah Abdi M. Raudah Jambak M. Shoim Anwar M. Yoesoef M.D. Atmaja Maghfur Saan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Majalah Sastra Horison Maklumat Sastra Profetik Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Serenade Sinurat Mario F. Lawi Marluwi Marsel Robot Martin Aleida Martin Suryajaya Mashuri Matdon Mega Vristian Melani Budianta Melayu Riau Memoar MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftah Fadhli Miftahul Abrori Misbahus Surur Miziansyah J Mochtar Lubis Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan MT Arifin Mugy Riskiana Halalia Muhajir Arrosyid Muhamad Rifai Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Muhlis Al-Firmany Mujtahid Mulyadi SA Munawir Aziz Murniati Tanjung Murnierida Pram Musa Ismail Musfi Efrizal Mustaan Mustafa Ismail N. Mursidi Nafsul Latifah Naskah Teater Nasrullah Nara Nelson Alwi Nenden Lilis A Nh. Anfalah Ni Made Purnama Sari Nina Mussolini-Hansson Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noura Nova Christina Noval Jubbek Novela Nian Nugroho Notosusanto Nugroho Pandhu Sukmono Nur Faizah Nurdin F. Joes Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Nyoman Wirata Oka Rusmini Oktamandjaya Wiguna Oky Sanjaya Olanama Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Pagelaran Musim Tandur Pamusuk Eneste Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin PDS. H.B. Jassin Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa Persda Network Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prita Daneswari Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri Prosa Pudyo Saptono Puisi Puisi Kesunyian Puisi Sufi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Sugiarti Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Ragdi F. Daye Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan KH Ratih Kumala Ratna Indraswari Ibrahim Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Remy Sylado Reni Susanti Renny Meita Widjajanti Resensi Restu Kurniawan Retno Sulistyowati RF. Dhonna Rian Sindu Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Riki Utomi Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Abdullah Rosidi Rosihan Anwar Rukardi S Yoga S. Jai S. Sinansari Ecip S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Anam Assyaibani Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Teater Jerit Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Sartika Dian Nuraini Sastra Tanah Air Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas Sazano Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seli Desmiarti Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seno Joko Suyono SH Mintardja Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sipri Senda Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sobih Adnan Sofian Dwi Sofie Dewayani Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sri Ruwanti Sri Wintala Achmad St Sularto Stefanus P. Elu Sukron Abdilah Sulaiman Djaya Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susanto Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi Suyadi San Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syamsiar Hidayah Syarbaini Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Taufik Abdullah Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat TE. Priyono Teguh Afandi Teguh Ranusastra Asmara Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tita Tjindarbumi Titik Alva-Alvi Choiriyah Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Tosa Poetra Tri Lestari Sustiyana Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Ugoran Prasad Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Utada Kamaru UU Hamidy Vera Ernawati Veronika Ninik W.S. Rendra Wahjudi Djaja Wahyu Hidayat Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Budiartha Widya Karima Wijaya Herlambang Wiji Thukul Willem B Berybe Wilson Nadeak Winarni R. Wiratmo Soekito Wita Lestari Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Y. Wibowo Yasser Arafat Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yonatan Raharjo Yonathan Rahardjo Yopi Setia Umbara Yos Rizal S Yos Rizal Suriaji Yudhi Herwibowo Yuka Fainka Putra Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zainal Abidin Zainal Arifin Thoha Zawawi Se Zen Hae