Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Dodong Djiwapradja, Kastalia, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), xiii + 117 halaman
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, nama Dodong Djiwapradja tidaklah terlalu menonjol dibandingkan Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar atau Ramadhan KH. Meskipun demikian, Ajip Rosidi menempatkan Dodong sebagai salah seorang penyair Indonesia terkuat pada tahun 1960-an, di samping Rendra. Kiprahnya sendiri sebagai penyair dimulai sejak puisinya, “Cita-cita” dimuat majalah Gema Suasana (1948) yang waktu itu masih diasuh Chairil Anwar. Sejak itu, cerpen, esai, dan terutama puisinya banyak menghiasi majalah-majalah yang terbit tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an.
Sampai awal tahun 1970-an, Dodong masih terus berkarya. Sayangnya, dalam masa produktifnya itu, ia tak sempat mengumpulkan puisinya untuk diterbitkan sebagai antologi tersendiri. Meskipun A. Teeuw mengatakan bahwa “… seorang penyair Sunda, Dodong Djiwapradja, gampang terlupakan karena karya-karyanya yang lahir selama kurun waktu yang panjang itu tak pernah terbit sebagai satu kumpulan tersendiri,” di kalangan penyair seangkatannya, nama Dodong tetap menampati kedudukan yang penting. Oleh karena itu, terbitnya Kastalia tentu saja merupakan sumbangan penting untuk melihat perjalanan kepenyairannya.
Antalogi ini berisi puisi-puisi Dodong yang dihasilkannya dalam kurun waktu an-tara tahun 1948 sampai 1973. Setelah melalui proses pemilihan dan pemilahan, maka ter-himpunlah 67 puisi yang dibagi ke dalam lima bagian, yaitu “Jalan Setapak” (1948–1949), “Getah Malam” (1951–1959), ”Kastalia” (1960), “Jari Jemari” (1961–1963), dan “Penyair, yang Lahir di Tanah Air” (1970–1973). Rendra dalam Kata Pengantar buku itu mengatakan, “… seluruh sajaknya memperlihatkan sikap hidupnya yang hati-hati, tekun melindungi kemurnian hati nuraninya, dan sangat menghargai saat-saat bahagia yang kecil dan sederhana, penuh rasa syukur kepada keindahan-keindahan yang mengharukan yang diberikan oleh alam, yang semuanya itu ia lukiskan dengan cermat dan bagus.”
***
Yang menonjol dari antologi ini adalah adanya kesan yang kuat atas konsistensi penyair pada kehati-hatian dalam pilihan kata (diksi) untuk membangun keindahan puitik. Konsistensi itu tampak dari pemakaian dan pemanfaatan plastisitas setiap kata. Dengan cara ini, setiap kata menampilkan kekayaan nuansa maknanya yang mendalam.
Yang muncul kemudian dari kecermatan dan kehati-hatian penyair melakukan pilihan kata adalah kemampuan bahasa Indonesia yang sarat dengan nuansa makna. Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang kaya dengan rasa dan berbagai kemungkinan penggalian maknanya sekaligus. Dengan demikian, Dodong Djiwapradja membangun puisinya bermula dari kedalaman setiap makna kata, kemudian dari berbagai kemungkinan makna lain dalam urutan sintaksinya, dan berikutnya berdasarkan kepaduan menghadirkan sebuah wacana puitik, baik dalam setiap baitnya, maupun dalam keseluruhan puisi yang bersangkutan.
Dengan cara demikian, wacana puitik itu hadir utuh bukan dalam bentuk pernya-taan-pernyataan, melainkan dalam sebuah dunia yang dibungkus oleh kekuatan rasa bahasa dan yang sekaligus menawarkan pembaca untuk ikut mengumbar imajinasi serta menggoda kecerdasan penalarannya. Puisi jadinya bukan sekadar ekspresi perasaan, tetapi juga kemampuan intelek penyairnya sendiri.
Kehati-hatian dan kecermatan pilihan kata yang dilakukan penyair, memperlihatkan keseriusan dan kesungguhan penyair di dalam dunia kepenyairannya. Ia menulis puisi bukan sekadar iseng-iseng atau pekerjaan yang dapat dilakukan sambil lalu, tetapi pekerjaan yang dilakukan lewat proses pemahaman, pendalaman, dan penghayatan atas segala peristiwa yang terjadi yang lalu mengkristal dalam wujud pemaknaan filosofis atau ideologis terhadap hakikat di balik peristiwa-peristiwa itu.
Secara keseluruhan, Kastalia menyerupai potret perjalanan kepenyairan Dodong yang bermula dari mekarnya cita-cita romantik (1948–1949) ketika gejolak perasaannya penuh dengan harapan-harapan ideal, sampai pada kematangan dan kearifannya sebagai manusia (1970–1973).
Bahwa karya-karyanya berasal dari puisi-puisi Dodong yang tercecer di berbagai majalah antara tahun-tahun itu (1948-1973), justru dalam hal itulah, puisi-puisi Dodong memperlihatkan relevansi dan aktualitasnya dalam konteks sekarang. Ibarat sebuah mo-numen, puisi-puisi Dodong seolah-olah tidak lekang ditelan waktu dan tetap berdiri de-ngan kekhasan dan kelebihannya sendiri di tengah kesemarakan peta puisi Indonesia.
Selain itu, kekayaan metafora dan kehalusan ironi sama sekali tidak memperlihat-kan bentuk-bentuk yang klise, tetapi justru malah tampil dengan penuh kesegaran yang sangat khas sebagai salah satu ciri kekuatan kepanyairan seorang Dodong Djiwapradja. Inilah yang menjadikan antologi Kastalia senantiasa sedap dibaca, nikmat dihayati, segar rasa bahasanya dan selalu menggoda untuk terus menelusuri maknanya. Kastalia telah menempatkan diri sebagai karya penting dari seorang penyair veteran.
*) Pengajar FSUI, Depok.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 26 Juni 2009
Problem Utama Dunia Sastra Kita
Edy Firmansyah
http://www.suarakarya-online.com/
Problem utama yang paling serius dalam kesusastraan kita ialah menumbuh kembangkan minat sastra pada generasi muda. Bahkan kalau perlu mencuci otak anak-anak muda menjadi setengah sastrawan. Sebab lingkungan mereka (keluarga, sekolah dan mungkin negara) sepertinya punya sikap sinis terhadap sastra dan sastrawan.
Dalam keluarga misalnya. Kebanyakan orang tua akan mengutuk diri sepanjang hidupnya kalau akhirnya kecolongan punya anak atau menantu seorang sastrawan. Sebab dimata mereka sastra adalah “bidang pekerjaan” paling gila yang pernah ada. Dan mereka yang nyemplung di dalamnya adalah “orang gila”.
Nada lembaga persekolahan terhadap sastra dan sastrawan juga tidak jauh beda. Bahkan lebih brutal. Prilaku kurikulum pendidikan kita malah terkesan ingin menghapuskan etika atau akal budi yang bersumber dari karya sastra. Hal ini dibuktikan sampai saat ini pelajaran kesusasteraan masih sebagai bagian dari mata pelajaran lain, seperti bagian Bahasa lndonesia dan porsinya pun hanya 10 persen. Kalau diperguruan tinggi ia hanya bagian dari mata kuliah budaya dasar, porsi materi sastra 0,1 persen.
Seakan-akan sastra hanyalah pelajaran sampingan yang jika dalam keadaan mendesak layak untuk ditiadakan. Bebeda dengan matematika, fisika, kimia dan akuntansi. Ironisnya lagi generasi muda seakan percaya bahwa sastra memang tak bisa memberikan apa-apa. Apalagi memberikan titik terang pada masa depannya.
Sebenarnya banyak problem lain dalam kesusastraan, tapi ringan. Seperti sempitnya jalan menuju singgana sastra karena system akomodasi yang terlunta-lunta, terutama bagi pemula. Tersumbatnya saluran regenerasi akibat pengapuran yang sengaja dibuat generasi tua dan media massa.
Ada juga problem tentang munculnya saluran baru kesusastraan yang sengaja dibuat generasi muda seperti gua bawah tanah dalam perang gerilya karena mampatnya saluran lama, yakni sastra cyber. Yang mana setelah diproklamirkan kemunculannya menjadi perdebatan. Bahkan dituding-tuding sebagai sastra “sampah”.
Tapi ini pun masih bukan problem serius. Yang menjadi problem utama kita bagaimana menumbuhkan minat sastra pada generasi muda. Sebab sastrawan generasi tua mulai bengok-bengok bahwa kita kekurangan sastrawan. Dari 1 juta penduduk hanya lahir satu sastrawan. Sedangkan idealnya dari 1 juta penduduk perlu 10.000 sastrawan baru.
Ini artinya kita kekurangan juru damai. Dan dampaknya akan sangat menyeramkan; jiwa manusia muda Indonesia akan mudah tersulut dan tenggelam dalam lautan bencana moral yang secara tiba-tiba membesar dan meluluh lantakkan etika negeri ini. Tawuran, pemerkosaan, free sex, pembunuhan dan narkoba yang kerap dilakukan generasi muda setidaknya bisa menjadi bukti kongkret.
Ya. Sebab sastra tidak menjadi panji utama penjaga etika di negeri ini. Padahal sastra berfungsi sebagai agen pendidikan membentuk pribadi keinsanan seseorang dan memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban. Fase-fase pemikiran ini jelas memberi pengetahuan bahwa sastra berkaitan dengan pemikiran, pendidikan, dan akal budi manusia.
Tegasnya Friedrich Schiller mengatakan sastra semacam permainan menyeimbangkan segenap kemamuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81). Bahkan kalau kita mau melakukan refleksi lebih mendalam bahwa para sastrawan yang kaya secara material murni merupakan hasil jerih payahnya menciptakan karya yang berkualitas. Seorang Joni Andriadinata yang dulunya pernah menjadi tukang becak di Jakarta, kini telah punya rumah sendiri, mobil sendiri karena keseriusannya menekuni dunia sastra. Beda dengan Insinyur sipil yang kaya, kebanyakan karena terlalu besar mengkorup biaya konstruksi. Akibatnya bagunan menjadi buruk. Juga para dokter yang kaya pada umumnya karena ekslotatif terhadap pasien. Tapi mengapa cita-cita anak selalu ingin menjadi dokter atau insinyur. Tidak menjadi sastrawan?
Menurut hemat penulis, mungkin karena lambang kesenimanan di Indonesia adalah “binatang jalang” sehingga citra buruk pun terbentuk pada kaum sastrawan atau seniman; kumal, awut-awutan, berambut gondrong, mungkin malah tatoan seperti gali. Nah, penampilan luar inilah yang sering menjadi cercaan public tentang sastrawan.
Karena itu, jika kita menginginkan generasi muda punya minat terhadap sastra atau malah tertarik menjadi sastrawan, mengapa tidak mulai dari sastrawan atau seniman itu sendiri melakukan perubahan. Yakni dengan merubah penampilan luar para sastrawan ketika muncul dihadapan public. Dengan menyesuaikan cara berprilaku orang kebanyakan. Tujuannya untuk membangun citra positif bahwa tak semua sastrawan memilih jalan Chairil Anwar. ***
http://www.suarakarya-online.com/
Problem utama yang paling serius dalam kesusastraan kita ialah menumbuh kembangkan minat sastra pada generasi muda. Bahkan kalau perlu mencuci otak anak-anak muda menjadi setengah sastrawan. Sebab lingkungan mereka (keluarga, sekolah dan mungkin negara) sepertinya punya sikap sinis terhadap sastra dan sastrawan.
Dalam keluarga misalnya. Kebanyakan orang tua akan mengutuk diri sepanjang hidupnya kalau akhirnya kecolongan punya anak atau menantu seorang sastrawan. Sebab dimata mereka sastra adalah “bidang pekerjaan” paling gila yang pernah ada. Dan mereka yang nyemplung di dalamnya adalah “orang gila”.
Nada lembaga persekolahan terhadap sastra dan sastrawan juga tidak jauh beda. Bahkan lebih brutal. Prilaku kurikulum pendidikan kita malah terkesan ingin menghapuskan etika atau akal budi yang bersumber dari karya sastra. Hal ini dibuktikan sampai saat ini pelajaran kesusasteraan masih sebagai bagian dari mata pelajaran lain, seperti bagian Bahasa lndonesia dan porsinya pun hanya 10 persen. Kalau diperguruan tinggi ia hanya bagian dari mata kuliah budaya dasar, porsi materi sastra 0,1 persen.
Seakan-akan sastra hanyalah pelajaran sampingan yang jika dalam keadaan mendesak layak untuk ditiadakan. Bebeda dengan matematika, fisika, kimia dan akuntansi. Ironisnya lagi generasi muda seakan percaya bahwa sastra memang tak bisa memberikan apa-apa. Apalagi memberikan titik terang pada masa depannya.
Sebenarnya banyak problem lain dalam kesusastraan, tapi ringan. Seperti sempitnya jalan menuju singgana sastra karena system akomodasi yang terlunta-lunta, terutama bagi pemula. Tersumbatnya saluran regenerasi akibat pengapuran yang sengaja dibuat generasi tua dan media massa.
Ada juga problem tentang munculnya saluran baru kesusastraan yang sengaja dibuat generasi muda seperti gua bawah tanah dalam perang gerilya karena mampatnya saluran lama, yakni sastra cyber. Yang mana setelah diproklamirkan kemunculannya menjadi perdebatan. Bahkan dituding-tuding sebagai sastra “sampah”.
Tapi ini pun masih bukan problem serius. Yang menjadi problem utama kita bagaimana menumbuhkan minat sastra pada generasi muda. Sebab sastrawan generasi tua mulai bengok-bengok bahwa kita kekurangan sastrawan. Dari 1 juta penduduk hanya lahir satu sastrawan. Sedangkan idealnya dari 1 juta penduduk perlu 10.000 sastrawan baru.
Ini artinya kita kekurangan juru damai. Dan dampaknya akan sangat menyeramkan; jiwa manusia muda Indonesia akan mudah tersulut dan tenggelam dalam lautan bencana moral yang secara tiba-tiba membesar dan meluluh lantakkan etika negeri ini. Tawuran, pemerkosaan, free sex, pembunuhan dan narkoba yang kerap dilakukan generasi muda setidaknya bisa menjadi bukti kongkret.
Ya. Sebab sastra tidak menjadi panji utama penjaga etika di negeri ini. Padahal sastra berfungsi sebagai agen pendidikan membentuk pribadi keinsanan seseorang dan memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban. Fase-fase pemikiran ini jelas memberi pengetahuan bahwa sastra berkaitan dengan pemikiran, pendidikan, dan akal budi manusia.
Tegasnya Friedrich Schiller mengatakan sastra semacam permainan menyeimbangkan segenap kemamuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seorang diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81). Bahkan kalau kita mau melakukan refleksi lebih mendalam bahwa para sastrawan yang kaya secara material murni merupakan hasil jerih payahnya menciptakan karya yang berkualitas. Seorang Joni Andriadinata yang dulunya pernah menjadi tukang becak di Jakarta, kini telah punya rumah sendiri, mobil sendiri karena keseriusannya menekuni dunia sastra. Beda dengan Insinyur sipil yang kaya, kebanyakan karena terlalu besar mengkorup biaya konstruksi. Akibatnya bagunan menjadi buruk. Juga para dokter yang kaya pada umumnya karena ekslotatif terhadap pasien. Tapi mengapa cita-cita anak selalu ingin menjadi dokter atau insinyur. Tidak menjadi sastrawan?
Menurut hemat penulis, mungkin karena lambang kesenimanan di Indonesia adalah “binatang jalang” sehingga citra buruk pun terbentuk pada kaum sastrawan atau seniman; kumal, awut-awutan, berambut gondrong, mungkin malah tatoan seperti gali. Nah, penampilan luar inilah yang sering menjadi cercaan public tentang sastrawan.
Karena itu, jika kita menginginkan generasi muda punya minat terhadap sastra atau malah tertarik menjadi sastrawan, mengapa tidak mulai dari sastrawan atau seniman itu sendiri melakukan perubahan. Yakni dengan merubah penampilan luar para sastrawan ketika muncul dihadapan public. Dengan menyesuaikan cara berprilaku orang kebanyakan. Tujuannya untuk membangun citra positif bahwa tak semua sastrawan memilih jalan Chairil Anwar. ***
“Leontin Dewangga” dan Sastra Perlawanan
Asvi Warman Adam
http://www2.kompas.com/
JATUHNYA Soeharto membuka peluang munculnya karya sastra yang selama Orde Baru terlarang. Tiga dekade rezim otoriter itu identik dengan kematian sastra kiri, yaitu karya pengarang yang dianggap “terlibat G30S”. Demikian yang dialami Martin Aleida yang kiprahnya di dunia sastra tersumbat lebih dari 30 tahun. Baru sejak medio 1998 Martin bisa menerbitkan beberapa buku, yaitu Malam Kelabu, Ilyana dan Aku (kumpulan cerpen), Layang-Layang Tidak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi (novelet), dan Perempuan Depan Kaca (kumpulan cerpen). Yang terakhir adalah Leontin Dewangga (kumpulan cerpen) yang terbit akhir Desember 2003.
Martin Aleida lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 31 Desember 1943. Ia mendarat di Jakarta tahun 1963. Semula bernama Nurlan, ia aktivis Lekra Jakarta Raya. Setelah meletus G30S pada 1965, ia kemudian ditangkap tahun 1966 dan ditahan selama beberapa waktu. Setelah berganti-ganti pekerjaan (buruh bangunan, pelayan restoran, penjaga kios, pedagang kaki lima), dengan nama pena Martin Aleida ia menjadi wartawan majalah Tempo selama 13 tahun. Ketika identitasnya diketahui aparat, ia terpaksa berpindah kerja sebagai staf lokal Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta selama 10 tahun.
Sastra perlawanan
Buku Leontin Dewangga terdiri atas 17 cerpen. Tiga cerpen yang pertama, Malam Kelabu, Leontin Dewangga, dan Ode untuk Selembar KTP berlatar peristiwa 1965. Peristiwa 1965 yang diawali dengan penculikan para jenderal oleh pasukan Cakrabirawa pada subuh, 1 Oktober 1965, merupakan konflik yang terpanjang dalam sejarah nasional setelah merdeka. Satu-satunya konflik vertikal dan horizontal yang merombak tatanan politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia secara drastis. Di balik perubahan besar itu, yang terjadi adalah penderitaan puluhan tahun bagi mereka yang dituduh terlibat beserta keluarganya. Kesengsaraan dan stigma buruk itu tetap membekas sampai hari ini.
Cerpen Malam Kelabu menceritakan tentang seorang pemuda asal Sumatera Utara yang pergi melamar calon istrinya di sebuah desa di pinggir Bengawan Solo. Di atas perahu penyeberangan, sebelum sampai ke desa yang dituju, ia mendengar tentang bencana yang menimpa sang kekasih sekeluarga.
“Seminggu lalu ketahuan di rumah Partini menginap seorang pelarian PKI dari Yogya, kakak dari Mulyohardjo. Orang itu dicincang rakyat sampai mati. Rumah dibakar jadi abu”… Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama terpendam.
Seperti di daerah lain, keluarga komunis hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu dengan Partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.
Si pemuda hanya bisa mengeluh tanpa daya
“Engkau dan seluruh keluargamu sudah tiada. Tiada kubur tempat ziarah, seakan-akan engkau tak boleh diterima bumi karena ayahmu komunis. Karena pamanmu…” rintihnya liris, mengiris-iris.
Selang beberapa saat, ia mengambil keputusan mendadak: mengakhiri hidupnya sendiri dengan sebilah pisau yang disimpannya di balik bajunya dan tercebur di dalam arus Bengawan Solo.
Cerpen Leontin Dewangga menceritakan seorang pemuda Aceh, Abdullah, yang ditangkap pascaperistiwa 65 karena dituduh komunis. Ketika ditangkap, di sakunya terdapat surat ayahnya yang mengabarkan bahwa orangtua Abdullah akan naik haji dengan menumpang kapal laut, yang akan memakan waktu tiga bulan. Surat inilah yang menyelamatkan Abdullah. Ia diizinkan aparat keluar, tetapi harus melapor setiap minggu.
Abdullah yang hidup gelandangan itu menawarkan tenaga mengangkat barang penjual sayur di Pasar Senen. Suatu hari, Abdullah bertemu seorang ibu dari Bungur, pemilik warung yang terpikat oleh sikap Abdullah. Seusai mengangkat barang, Abdullah dihidangkan makanan oleh si ibu. Selanjutnya, Abdullah berkenalan dengan Dewangga Suciati, anak pemilik warung, yang kemudian menjadi istrinya.
Sampai mereka mempunyai dua anak, Abdullah tidak pernah menjelaskan kepada istri dan keluarga istrinya tentang dirinya. Istrinya, Ewa, tidak merasa asing dengan percakapan antara Abdullah dan tamu-tamunya. Percakapan mereka mengingatkan Ewa akan percakapan ayahnya almarhum dengan teman-temannya.
Ketika istrinya berjuang melawan maut karena kanker stadium terakhir, Abdullah memutuskan berterus terang kepada istri. Mendengar cerita suaminya, Ewa meminta Abdullah membuka leontin yang terpasang di lehernya. Ternyata di situ ada gambar semacam bulan sabit berwarna merah, lambang gerakan tani yang melancarkan aksi sepihak untuk melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria. Leontin ini dikalungkan oleh ayah Ewa ketika ia berusia 17 tahun, sebelum sang ayah dibawa oleh seorang algojo yang dikirim oleh tuan tanah pada tahun 1965. Sejak itu ayahnya tak pernah lagi kembali. Kemudian Ewa sendiri pernah diperkosa oleh aparat keamanan ketika mencari ayahnya.
Kisah perempuan yang menunggu maut menjemput karena kanker itu sendiri sudah menyedihkan. Namun, kisah cinta antara dua keluarga korban 1965 yang baru saling mengetahui riwayat hidup masing-masing setelah maut akan memisahkan mereka betul-betul tragedi anak manusia. Jutaan orang di Indonesia sampai hari ini masih dihinggapi trauma dan menutup identitasnya.
Cerpen Ode bagi Selembar KTP mengisahkan kehidupan seorang wanita yang pernah menghuni kamp konsentrasi perempuan Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Stigma buruk terhadap mereka yang terlibat G30S itu meskipun sudah ditahan sekian tahun tanpa proses pengadilan diawetkan dengan memberi tanda ET atau ETP pada kartu tanda penduduk mereka. Dengan hasil penjualan sebidang tanah warisan ayahnya, perempuan itu menyogok petugas di kelurahan jutaan rupiah sehingga ia memperoleh KTP yang bebas dari tanda keji itu.
Ia disesali putrinya karena uang jutaan itu bisa digunakan anak-anaknya untuk modal berjualan, membuka toko obras, melanjutkan sekolah, atau membuka bengkel. Tetapi, sang perempuan sudah mengambil keputusan.
“Waktu telah mengajariku bahwa siapa pun tak bisa membuat kata-kata menemukan kenyataan yang dijanjikannya. Aku tak bisa menunggu.”
Perjuangan batin perempuan ini sungguh ganjil bagi masyarakat Indonesia pada umumnya yang sama sekali tidak memiliki persoalan dengan KTP mereka. Tetapi, itulah kenyataan yang sangat diskriminatif yang menimpa para korban 1965 (sampai sekarang).
Cerpen-cerpen yang lain memperlihatkan kepedulian terhadap rakyat kecil yang tertindas. Dengan satu dan lain cara, mereka tetap melawan. Perlawanan itu bahkan dilakukan bukan hanya oleh manusia. Kolam dan anjing pun bisa protes. Sayang cerpen Martin Aleida berjudul Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata (Kompas, 5 Oktober 2003) tidak termuat dalam kumpulan ini. Ganja kering itu pun hidup dan bersaksi tentang pelanggaran HAM di Aceh dan di Indonesia.
Tidak menyerah
Lahir, jodoh, rezeki, dan mati ada di tangan Tuhan, demikian kata orang yang beriman. Tetapi, bagi mereka yang dianggap terlibat G30S, ada pihak lain yang menentukan nasib mereka. Meskipun tidak meminta dilahirkan sebagai anak seorang PKI, sang anak akan memikul “dosa turunan” yang seakan-akan diwariskan orangtuanya. Perkawinan pun bisa batal bila diketahui salah seorang pasangan itu “tidak bersih lingkungan”, artinya memiliki keluarga yang terlibat peristiwa 1965. Rezeki mereka jelas terhadang karena korban 1965 beserta keluarganya tidak bisa menjadi pegawai negeri, bahkan pegawai pada kebanyakan perusahaan swasta terkemuka. Kematian telah dialami oleh mereka yang dibantai tahun 1965/1966 atau yang meninggal secara tidak wajar di tempat-tempat penahanan yang jumlahnya ratusan buah di Tanah Air, termasuk kamp terbesar di Pulau Buru yang berkapasitas 10.000 orang.
Maka, yang digambarkan oleh Martin Aleida dalam buku ini hanyalah upaya untuk menertawakan atau mengejek nasib. Sungguhpun pada setiap cerpen itu terkandung pesan untuk tidak menyerah. Itulah pesan utama dari karya sastra perlawanan.
*) Juri Anugerah Sastra Khatulistiwa Award, 2003
http://www2.kompas.com/
JATUHNYA Soeharto membuka peluang munculnya karya sastra yang selama Orde Baru terlarang. Tiga dekade rezim otoriter itu identik dengan kematian sastra kiri, yaitu karya pengarang yang dianggap “terlibat G30S”. Demikian yang dialami Martin Aleida yang kiprahnya di dunia sastra tersumbat lebih dari 30 tahun. Baru sejak medio 1998 Martin bisa menerbitkan beberapa buku, yaitu Malam Kelabu, Ilyana dan Aku (kumpulan cerpen), Layang-Layang Tidak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi (novelet), dan Perempuan Depan Kaca (kumpulan cerpen). Yang terakhir adalah Leontin Dewangga (kumpulan cerpen) yang terbit akhir Desember 2003.
Martin Aleida lahir di Tanjung Balai, Sumatera Utara, 31 Desember 1943. Ia mendarat di Jakarta tahun 1963. Semula bernama Nurlan, ia aktivis Lekra Jakarta Raya. Setelah meletus G30S pada 1965, ia kemudian ditangkap tahun 1966 dan ditahan selama beberapa waktu. Setelah berganti-ganti pekerjaan (buruh bangunan, pelayan restoran, penjaga kios, pedagang kaki lima), dengan nama pena Martin Aleida ia menjadi wartawan majalah Tempo selama 13 tahun. Ketika identitasnya diketahui aparat, ia terpaksa berpindah kerja sebagai staf lokal Kantor Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta selama 10 tahun.
Sastra perlawanan
Buku Leontin Dewangga terdiri atas 17 cerpen. Tiga cerpen yang pertama, Malam Kelabu, Leontin Dewangga, dan Ode untuk Selembar KTP berlatar peristiwa 1965. Peristiwa 1965 yang diawali dengan penculikan para jenderal oleh pasukan Cakrabirawa pada subuh, 1 Oktober 1965, merupakan konflik yang terpanjang dalam sejarah nasional setelah merdeka. Satu-satunya konflik vertikal dan horizontal yang merombak tatanan politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia secara drastis. Di balik perubahan besar itu, yang terjadi adalah penderitaan puluhan tahun bagi mereka yang dituduh terlibat beserta keluarganya. Kesengsaraan dan stigma buruk itu tetap membekas sampai hari ini.
Cerpen Malam Kelabu menceritakan tentang seorang pemuda asal Sumatera Utara yang pergi melamar calon istrinya di sebuah desa di pinggir Bengawan Solo. Di atas perahu penyeberangan, sebelum sampai ke desa yang dituju, ia mendengar tentang bencana yang menimpa sang kekasih sekeluarga.
“Seminggu lalu ketahuan di rumah Partini menginap seorang pelarian PKI dari Yogya, kakak dari Mulyohardjo. Orang itu dicincang rakyat sampai mati. Rumah dibakar jadi abu”… Rakyat tak pandang bulu. Tak punya pertimbangan dalam melampiaskan amarah dan dendam kesumat yang sudah lama terpendam.
Seperti di daerah lain, keluarga komunis hilang. Tak peduli Ibu Mulyo yang buta huruf. Tak mau tahu dengan Partini dan adik-adiknya yang buta politik. Politik tak punya mata. Mereka ikut hilang di tepi bengawan.
Si pemuda hanya bisa mengeluh tanpa daya
“Engkau dan seluruh keluargamu sudah tiada. Tiada kubur tempat ziarah, seakan-akan engkau tak boleh diterima bumi karena ayahmu komunis. Karena pamanmu…” rintihnya liris, mengiris-iris.
Selang beberapa saat, ia mengambil keputusan mendadak: mengakhiri hidupnya sendiri dengan sebilah pisau yang disimpannya di balik bajunya dan tercebur di dalam arus Bengawan Solo.
Cerpen Leontin Dewangga menceritakan seorang pemuda Aceh, Abdullah, yang ditangkap pascaperistiwa 65 karena dituduh komunis. Ketika ditangkap, di sakunya terdapat surat ayahnya yang mengabarkan bahwa orangtua Abdullah akan naik haji dengan menumpang kapal laut, yang akan memakan waktu tiga bulan. Surat inilah yang menyelamatkan Abdullah. Ia diizinkan aparat keluar, tetapi harus melapor setiap minggu.
Abdullah yang hidup gelandangan itu menawarkan tenaga mengangkat barang penjual sayur di Pasar Senen. Suatu hari, Abdullah bertemu seorang ibu dari Bungur, pemilik warung yang terpikat oleh sikap Abdullah. Seusai mengangkat barang, Abdullah dihidangkan makanan oleh si ibu. Selanjutnya, Abdullah berkenalan dengan Dewangga Suciati, anak pemilik warung, yang kemudian menjadi istrinya.
Sampai mereka mempunyai dua anak, Abdullah tidak pernah menjelaskan kepada istri dan keluarga istrinya tentang dirinya. Istrinya, Ewa, tidak merasa asing dengan percakapan antara Abdullah dan tamu-tamunya. Percakapan mereka mengingatkan Ewa akan percakapan ayahnya almarhum dengan teman-temannya.
Ketika istrinya berjuang melawan maut karena kanker stadium terakhir, Abdullah memutuskan berterus terang kepada istri. Mendengar cerita suaminya, Ewa meminta Abdullah membuka leontin yang terpasang di lehernya. Ternyata di situ ada gambar semacam bulan sabit berwarna merah, lambang gerakan tani yang melancarkan aksi sepihak untuk melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria. Leontin ini dikalungkan oleh ayah Ewa ketika ia berusia 17 tahun, sebelum sang ayah dibawa oleh seorang algojo yang dikirim oleh tuan tanah pada tahun 1965. Sejak itu ayahnya tak pernah lagi kembali. Kemudian Ewa sendiri pernah diperkosa oleh aparat keamanan ketika mencari ayahnya.
Kisah perempuan yang menunggu maut menjemput karena kanker itu sendiri sudah menyedihkan. Namun, kisah cinta antara dua keluarga korban 1965 yang baru saling mengetahui riwayat hidup masing-masing setelah maut akan memisahkan mereka betul-betul tragedi anak manusia. Jutaan orang di Indonesia sampai hari ini masih dihinggapi trauma dan menutup identitasnya.
Cerpen Ode bagi Selembar KTP mengisahkan kehidupan seorang wanita yang pernah menghuni kamp konsentrasi perempuan Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Stigma buruk terhadap mereka yang terlibat G30S itu meskipun sudah ditahan sekian tahun tanpa proses pengadilan diawetkan dengan memberi tanda ET atau ETP pada kartu tanda penduduk mereka. Dengan hasil penjualan sebidang tanah warisan ayahnya, perempuan itu menyogok petugas di kelurahan jutaan rupiah sehingga ia memperoleh KTP yang bebas dari tanda keji itu.
Ia disesali putrinya karena uang jutaan itu bisa digunakan anak-anaknya untuk modal berjualan, membuka toko obras, melanjutkan sekolah, atau membuka bengkel. Tetapi, sang perempuan sudah mengambil keputusan.
“Waktu telah mengajariku bahwa siapa pun tak bisa membuat kata-kata menemukan kenyataan yang dijanjikannya. Aku tak bisa menunggu.”
Perjuangan batin perempuan ini sungguh ganjil bagi masyarakat Indonesia pada umumnya yang sama sekali tidak memiliki persoalan dengan KTP mereka. Tetapi, itulah kenyataan yang sangat diskriminatif yang menimpa para korban 1965 (sampai sekarang).
Cerpen-cerpen yang lain memperlihatkan kepedulian terhadap rakyat kecil yang tertindas. Dengan satu dan lain cara, mereka tetap melawan. Perlawanan itu bahkan dilakukan bukan hanya oleh manusia. Kolam dan anjing pun bisa protes. Sayang cerpen Martin Aleida berjudul Kesaksian Ganja Kering, Basah Air Mata (Kompas, 5 Oktober 2003) tidak termuat dalam kumpulan ini. Ganja kering itu pun hidup dan bersaksi tentang pelanggaran HAM di Aceh dan di Indonesia.
Tidak menyerah
Lahir, jodoh, rezeki, dan mati ada di tangan Tuhan, demikian kata orang yang beriman. Tetapi, bagi mereka yang dianggap terlibat G30S, ada pihak lain yang menentukan nasib mereka. Meskipun tidak meminta dilahirkan sebagai anak seorang PKI, sang anak akan memikul “dosa turunan” yang seakan-akan diwariskan orangtuanya. Perkawinan pun bisa batal bila diketahui salah seorang pasangan itu “tidak bersih lingkungan”, artinya memiliki keluarga yang terlibat peristiwa 1965. Rezeki mereka jelas terhadang karena korban 1965 beserta keluarganya tidak bisa menjadi pegawai negeri, bahkan pegawai pada kebanyakan perusahaan swasta terkemuka. Kematian telah dialami oleh mereka yang dibantai tahun 1965/1966 atau yang meninggal secara tidak wajar di tempat-tempat penahanan yang jumlahnya ratusan buah di Tanah Air, termasuk kamp terbesar di Pulau Buru yang berkapasitas 10.000 orang.
Maka, yang digambarkan oleh Martin Aleida dalam buku ini hanyalah upaya untuk menertawakan atau mengejek nasib. Sungguhpun pada setiap cerpen itu terkandung pesan untuk tidak menyerah. Itulah pesan utama dari karya sastra perlawanan.
*) Juri Anugerah Sastra Khatulistiwa Award, 2003
Kitab Sastra Selebritas
A. Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/
Tatkala kampanye terbuka digelar, sebagian artis-selebritas Indonesia lagi sibuk berkampanye demi mendulang suara pada pemilu legislatif nanti. Kini ditengarai, keranjingan mutakhir artis tanah air pada berduyun-duyun terjun di ranah politik. Untuk menandai hal ini, PAN tak lagi dijuluki Partai Amanat Nasional, tapi Partai Artis Nasional.
Mereka seakan tak puas atas ketenaran dirinya selama ini, yang kerapkali tampil di tv maupun di koran-koran. Mereka malah membikin baliho yang berisikan foto dirinya, partai yang ditungganginya, serta misi dan visi politiknya ketika dia kelak terpilih.
“Kita adalah bangsa yang tidak pernah selesai,” tutur Zack Sorga, sutradara pertunjukan teater bertajuk ‘Blangwir Nyelonong ke Priuk’, di akhir pementasannya, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, hari Rabu (2 Desember 1998). Pernyataan Zack Sorga tersebut cocok mengalegorikan ketakselesaian proses pencarian manusia.
Geliat selebritas memang gampang ditebak: selalu mengejar kepuasan. Bagai menenggak air laut, dahaga tak pernah bisa dipuaskan. Manusia senantiasa memburu kenikmatan. Sehingga, ada masa di mana artis-selebritas menggemari kawin-cerai.
Di awal tulisan ini dibeberkan, bahwa selebritas, kini, pada ngetren bercebur di bursa caleg, namun ada pula selebritas yang lain menekuni titah panggilan literer dengan membesut karya-karya: puisi maupun prosa. Mereka ini adalah selebritas yang juga menulis dan mengarang.
Di sela-sela kesibukan permanennya, model artis-selebritas yang terakhir itu meluangkan waktunya menulis buku, terlibat mengorganisir problematika sosial, serta mengikuti acara-acara kemanusiaan. Seperti Rieke Dyah Pitaloka, Ayu Utami, Dewi Lestari Simangunsong, Djenar Maesa Ayu, Angelina Sondakh, Wanda Hamidah, Trie Utami, Fira Basuki, dan Neno Warisman.
Rieke Dyah Pitaloka misalnya, ia adalah penulis produktif. Ia menulis 2 (dua) antologi puisi: Renungan Kloset (2001) dan Ups!. Renungan Kloset hingga tahun 2005 terjual mendekati 10 ribu eksemplar. Tersebab buku ini, menghantarkan Rieke terpilih mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten di Den Haag, Belanda, Januari 2003. Pada tahun yang sama terbit Renungan Kloset, dari Cengkeh sampai Utrecht (April, 2003). Dan juga, tesis master filsafatnya yang berjudul Banalitas Kejahatan: Aku yang Tak Mengenal Diriku, Tela’ah Hannah Arendt Perihal Kekerasan Negara, oleh Rieke dibesut menjadi sebuah buku dengan judul Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat (2004).
Begitu juga dengan Neno Warisman. Ia membikin buku Izinkan Aku Bertutur (2004). Buku ini berisi kumpulan karangan mirip puisi, yang ditulisnya dalam kurun waktu 2000-2004. Selain itu, Trie Utami, penyanyi kawakan, turut menggubah buku yang bernuansa Budhis, Karmapala, The Silent Love: Nyanyian Hati Trie Utami (2006).
Trie Utami terbilang kreatif. Bukunya tersebut bukanlah novel biasa, tapi ditulis berbentuk prosa lirik. Terbagi dalam 10 serat (bab) yang terdiri dari: Enigma (dharma karana), Shakuntala (dharma apurva), Dewa Kupinta (dharma shmara), Tarian Rembulan (dharma buddhaya), Kasmaraniku (dharma sembah), Batas Sekat (dharma rindu), The Silent Love (dharma bisu), Lao Gong (dharma kanthi), Klangenan (dharma vidhya), dan Gong Xi Fa Cai (dharma lakcana).
Tamara Garaldine, seorang artis-selebritas papan atas juga turut meramaikan panggung literasi. Pada September 2005, ia meluncurkan antologi cerpen Kamu Sadar, Saya Punya Alasan untuk Selingkung Kan Sayang? (2005).
Seturut sajak Ziarah Batu –kepada para orator oleh Dorothea Rosa Herliany: “Kupilih bahasa batu buat memecah keangkuhan nuranimu.” Mirip dunia politik, dunia literasi, kini, ditengarai sangat menyehari dalam kehidupan artis-selebritas. Bahkan, ada selebritas yang meminta bantuan penulis profesional untuk menuliskan biografinya.
Semisal Krisdayanti, Lenny Marlina, Titiek Puspa, dan Heidi Yunus. Buku yang berjudul Seribu Satu KD milik Krisdayanti ditulis oleh redaktur senior Femina, Alberthiena Endah. Buku Si Lenny dari Ciateul tentang Lenny Marlina, ditulis oleh novelis Titie Said. Dan, buku Titiek Puspa, Sebuah Biografi, yang memuat biografi Titiek Puspa, ditulis oleh redaktur senior Kompas, Ninok Leksono.
Namun, ada juga artis-selebritas yang telah lama bergumul dengan literasi. Mereka di samping menekuni dunia selebritas, pun pula tidak sonder di jagad literasi. Mereka ini penulis tangguh. Sebut saja misalnya, Dewi Lestari –-yang akrab disapa Dee–, Fira Basuki, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu. Dee, yang mantan penyanyi Trio RSD (Rita Sita Dewi), didapuk kesuksesan dashyat menulis novel Supernova, Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Novel ini menjadi best seller dengan angka penjualan lebih dari 100 ribu eksemplar dalam waktu kurang dari setahun. Dan, sebagai karya teranyar Dee, Rectoverso (2008).
Pada masanya, Supernova banyak meraup pujian. Supernova sempat diganjar nominasi Katulistiwa Literary Award sejajar dengan karya maestro literer, seperti Danarto (Setangkai Melati di Sayap Jibril), Dorothea Rosa Herliany (Kill The Radio), Sutardji Calzoum Bachri (Hujan Menulis Ayam), dan Hamsad Rangkuti (Sampah Bulan Desember).
Begitu juga dengan Fira Basuki. Selebritas asal Surabaya ini, jebolan jurusan Komunikasi dan Jurnalisme dari Pattsburg State University, Kansas, Amerika Serikat, menggubah novel Jendela dan Atap. Lalu, Ayu Utami membesut novel fenomenal, Saman, yang memenangi sayembara novel DKJ, dilanjutkan Larung (2001), yang juga best seller dan banyak dibicarakan orang, dan terakhir Bilangan Fu (2008). Tak ketinggalan juga karya Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang Aku Monyet –yang kemudian cerpen ini dibesut menjadi film dengan judul serupa–, Menyusu Ayah di Jurnal Perempuan dan Melukis Jendela di Majalah Horison.
Mereka, artis-selebritas yang gemar menggeluti baca-tulis (karya literer) bukan semata-mata mencari hiburan, seperti sajian entertainment yang lazim ditampilkan ke penonton tanah air. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Tak melulu selebritas politik saja yang mampu mengusung perubahan. Hakikat dari kitab sastra karya selebritas itu, juga bergelimang daya-nyala perubahan.
http://indonimut.blogspot.com/
Tatkala kampanye terbuka digelar, sebagian artis-selebritas Indonesia lagi sibuk berkampanye demi mendulang suara pada pemilu legislatif nanti. Kini ditengarai, keranjingan mutakhir artis tanah air pada berduyun-duyun terjun di ranah politik. Untuk menandai hal ini, PAN tak lagi dijuluki Partai Amanat Nasional, tapi Partai Artis Nasional.
Mereka seakan tak puas atas ketenaran dirinya selama ini, yang kerapkali tampil di tv maupun di koran-koran. Mereka malah membikin baliho yang berisikan foto dirinya, partai yang ditungganginya, serta misi dan visi politiknya ketika dia kelak terpilih.
“Kita adalah bangsa yang tidak pernah selesai,” tutur Zack Sorga, sutradara pertunjukan teater bertajuk ‘Blangwir Nyelonong ke Priuk’, di akhir pementasannya, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, hari Rabu (2 Desember 1998). Pernyataan Zack Sorga tersebut cocok mengalegorikan ketakselesaian proses pencarian manusia.
Geliat selebritas memang gampang ditebak: selalu mengejar kepuasan. Bagai menenggak air laut, dahaga tak pernah bisa dipuaskan. Manusia senantiasa memburu kenikmatan. Sehingga, ada masa di mana artis-selebritas menggemari kawin-cerai.
Di awal tulisan ini dibeberkan, bahwa selebritas, kini, pada ngetren bercebur di bursa caleg, namun ada pula selebritas yang lain menekuni titah panggilan literer dengan membesut karya-karya: puisi maupun prosa. Mereka ini adalah selebritas yang juga menulis dan mengarang.
Di sela-sela kesibukan permanennya, model artis-selebritas yang terakhir itu meluangkan waktunya menulis buku, terlibat mengorganisir problematika sosial, serta mengikuti acara-acara kemanusiaan. Seperti Rieke Dyah Pitaloka, Ayu Utami, Dewi Lestari Simangunsong, Djenar Maesa Ayu, Angelina Sondakh, Wanda Hamidah, Trie Utami, Fira Basuki, dan Neno Warisman.
Rieke Dyah Pitaloka misalnya, ia adalah penulis produktif. Ia menulis 2 (dua) antologi puisi: Renungan Kloset (2001) dan Ups!. Renungan Kloset hingga tahun 2005 terjual mendekati 10 ribu eksemplar. Tersebab buku ini, menghantarkan Rieke terpilih mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten di Den Haag, Belanda, Januari 2003. Pada tahun yang sama terbit Renungan Kloset, dari Cengkeh sampai Utrecht (April, 2003). Dan juga, tesis master filsafatnya yang berjudul Banalitas Kejahatan: Aku yang Tak Mengenal Diriku, Tela’ah Hannah Arendt Perihal Kekerasan Negara, oleh Rieke dibesut menjadi sebuah buku dengan judul Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat (2004).
Begitu juga dengan Neno Warisman. Ia membikin buku Izinkan Aku Bertutur (2004). Buku ini berisi kumpulan karangan mirip puisi, yang ditulisnya dalam kurun waktu 2000-2004. Selain itu, Trie Utami, penyanyi kawakan, turut menggubah buku yang bernuansa Budhis, Karmapala, The Silent Love: Nyanyian Hati Trie Utami (2006).
Trie Utami terbilang kreatif. Bukunya tersebut bukanlah novel biasa, tapi ditulis berbentuk prosa lirik. Terbagi dalam 10 serat (bab) yang terdiri dari: Enigma (dharma karana), Shakuntala (dharma apurva), Dewa Kupinta (dharma shmara), Tarian Rembulan (dharma buddhaya), Kasmaraniku (dharma sembah), Batas Sekat (dharma rindu), The Silent Love (dharma bisu), Lao Gong (dharma kanthi), Klangenan (dharma vidhya), dan Gong Xi Fa Cai (dharma lakcana).
Tamara Garaldine, seorang artis-selebritas papan atas juga turut meramaikan panggung literasi. Pada September 2005, ia meluncurkan antologi cerpen Kamu Sadar, Saya Punya Alasan untuk Selingkung Kan Sayang? (2005).
Seturut sajak Ziarah Batu –kepada para orator oleh Dorothea Rosa Herliany: “Kupilih bahasa batu buat memecah keangkuhan nuranimu.” Mirip dunia politik, dunia literasi, kini, ditengarai sangat menyehari dalam kehidupan artis-selebritas. Bahkan, ada selebritas yang meminta bantuan penulis profesional untuk menuliskan biografinya.
Semisal Krisdayanti, Lenny Marlina, Titiek Puspa, dan Heidi Yunus. Buku yang berjudul Seribu Satu KD milik Krisdayanti ditulis oleh redaktur senior Femina, Alberthiena Endah. Buku Si Lenny dari Ciateul tentang Lenny Marlina, ditulis oleh novelis Titie Said. Dan, buku Titiek Puspa, Sebuah Biografi, yang memuat biografi Titiek Puspa, ditulis oleh redaktur senior Kompas, Ninok Leksono.
Namun, ada juga artis-selebritas yang telah lama bergumul dengan literasi. Mereka di samping menekuni dunia selebritas, pun pula tidak sonder di jagad literasi. Mereka ini penulis tangguh. Sebut saja misalnya, Dewi Lestari –-yang akrab disapa Dee–, Fira Basuki, Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu. Dee, yang mantan penyanyi Trio RSD (Rita Sita Dewi), didapuk kesuksesan dashyat menulis novel Supernova, Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Novel ini menjadi best seller dengan angka penjualan lebih dari 100 ribu eksemplar dalam waktu kurang dari setahun. Dan, sebagai karya teranyar Dee, Rectoverso (2008).
Pada masanya, Supernova banyak meraup pujian. Supernova sempat diganjar nominasi Katulistiwa Literary Award sejajar dengan karya maestro literer, seperti Danarto (Setangkai Melati di Sayap Jibril), Dorothea Rosa Herliany (Kill The Radio), Sutardji Calzoum Bachri (Hujan Menulis Ayam), dan Hamsad Rangkuti (Sampah Bulan Desember).
Begitu juga dengan Fira Basuki. Selebritas asal Surabaya ini, jebolan jurusan Komunikasi dan Jurnalisme dari Pattsburg State University, Kansas, Amerika Serikat, menggubah novel Jendela dan Atap. Lalu, Ayu Utami membesut novel fenomenal, Saman, yang memenangi sayembara novel DKJ, dilanjutkan Larung (2001), yang juga best seller dan banyak dibicarakan orang, dan terakhir Bilangan Fu (2008). Tak ketinggalan juga karya Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang Aku Monyet –yang kemudian cerpen ini dibesut menjadi film dengan judul serupa–, Menyusu Ayah di Jurnal Perempuan dan Melukis Jendela di Majalah Horison.
Mereka, artis-selebritas yang gemar menggeluti baca-tulis (karya literer) bukan semata-mata mencari hiburan, seperti sajian entertainment yang lazim ditampilkan ke penonton tanah air. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Tak melulu selebritas politik saja yang mampu mengusung perubahan. Hakikat dari kitab sastra karya selebritas itu, juga bergelimang daya-nyala perubahan.
Ibu Kota Buku
Muhidin M. Dahlan*
http://www.jawapos.com/
Beirut, kota yang kerap dikutuk sebagai salah satu ibu kota yang paling rajin memproduksi teror dan kekerasan di kawasan samudera pasir, menjelma menjadi kota buku paling semarak di tahun ini. Ibu kota Lebanon itu terpilih sebagai ibu kota buku dunia (World Book Capital) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Program yang bernama ”a city the World Book Capital for year” ini sudah berlangsung sejak 2001. Kota Madrid menjadi kota pembuka untuk pelaksanaan program ini. Lalu berturut-turut Alexandria (2002), New Delhi (2003), Antwerp (2004), Montreal (2005), Turin (2006), Bogotá (2007), Amsterdam (2008), dan sekarang Beirut.
Pemilihan kota itu bukan disandarkan pada sistem kompetisi, melainkan lewat mekanisme penunjukan. Untuk kepentingan itu UNESCO membentuk sebuah dewan bersama yang digandeng dari beberapa lembaga perbukuan internasional berwibawa. Di antaranya: International Publishers Association (IPA), International Booksellers Federation (IBF), dan International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA).
Dewan bersama itulah yang kemudian menggodok kota-kota yang layak dijadikan sebagai ibu kota buku saban tahun berjalan. Bahkan untuk 2010, dewan ini sudah menetapkan ibu kota buku dunia berikutnya, yakni Ljubljana (Slovenia).
Kota yang ditunjuk itulah yang mendapat kesempatan merayakan buku dengan caranya masing-masing selama setahun. Beirut sendiri, seperti dikabarkan situs resminya, menggelar di seluruh penjuru kota sekira 120 peristiwa buku.
Memang mengejutkan keterpilihan Kota Beirut. Belasan tahun kota ini menjadi panggung teater perang sipil yang menakutkan, pabrik bom mobil, dan dentum banalitas kekerasan lainnya yang tak putus-putus merundung.
Tapi bagi mereka yang memahami agak lebih dalam jiwa Beirut, akan tahu bahwa jangkar dunia sastra dan tradisi intelektual Timur Tengah pernah tertancap di batin kota ini. Menurut penulis Beirut Fragments: A Memoir–yang fragmennya pernah dimuat di New York Review of Books pada 1990, Jean Said Makdisi, kawasan Hamra yang menjadi pusat gravitasi kota tak bisa diabaikan perannya sebagai kawasan ”an almost boundless tolerance and freedom of thought”.
Sejak 23 April 2009 hingga 23 April 2010, kalimat Said Maksidi itu seperti menemukan jawabannya. Ke-120 peristiwa buku yang digelar menunjukkan bahwa Beirut adalah kota literasi yang kaya dan layak diperhitungkan. Di sana pelbagai ajang perbukuan dipertontonkan. Seperti konferensi internasional aktivis buku dan kebudayaan ihwal konflik Arab-Israel, training perpustakaan dan seminar taman bacaan, dialog audiobooks untuk kalangan buta, dunia penerjemahan Beirut, akar dan perkembangan pers, buku anak, festival puisi dan prosa, festival akbar seni rupa, patung, musik, dan seni video, dan seterusnya.
Dengan mandat keterpilihan sebagai ibu kota buku itu, pemerintahan Kota Beirut memiliki privelese mengundang para penulis dan penerbit-penerbit beken di seantero dunia, seperti para penyair Mexico dan Jerman, novelis Prancis, penerbit-penerbit dari Italia dan Mesir, desainer dan ilustrator buku dari Spanyol dan Swiss, aktivis-aktivis buku dari Belanda, toko-toko buku di kawasan serumpun seperti Aljazair, Maroko, Siria, Tunisia, dan Uni Emirat Arab.
Yang tak bisa dilupakan bahwa rahim Beirut pernah melahirkan pujangga besar dunia, Gibran Khalil Gibran, yang dalam satu putaran hidupnya telah menyumbang literasi cinta dan perdamaian yang paling menakjubkan di dunia. Pada momentum ini kemudian Gibran National Committee membuat semacam Gibran Fest dengan menampilkan wajah produksi karya-karya Gibran yang telah diterjemahkan ke hampir seluruh bahasa dunia. Termasuk salah satunya yang paling tajir penerjemahan Gibran adalah Indonesia. Saking tajirnya, karya-karya Gibran yang bersifat cinta-sufistik itu menjelma menjadi karya-karya anak remaja yang gaul abis. Tentu itu bukanlah ulah Gibran, melainkan kreasi penerbit-penerbit mini di Indonesia yang memodifikasi Gibran semau-maunya menjadi ini dan itu.
Seakan mengembalikan spirit damai yang diteaterkan karya-karya Gibran di panggung literasi dunia, pemerintah kota dibantu para aktivis buku dan kebudayaan, LSM, dan kantong-kantong kreativitas Beirut menjadikan ajang World Book Capital sebagai jawaban dari kebudayaan dan dunia buku atas konfrontasi yang tiada akhir antara Arab-Israel. Usaha ini sekaligus meneguhkan kredo bahwa buku bisa menyatukan dan mengukuhkan keragaman, sementara politik rasialisme memisahkan, mempertajam gap keragaman, dan mengobarkan perang.
Untuk perayaan keragaman itu pemerintahan Kota Beirut memiliki privelese mengundang para penulis dan penerbit-penerbit beken di seantero dunia, seperti para penyair Mexico dan Jerman, novelis Prancis, penerbit-penerbit dari Italia dan Mesir, desainer dan ilustrator buku dari Spanyol dan Swiss, aktivis-aktivis buku dari Belanda, toko-toko buku di kawasan serumpun seperti Aljazair, Maroko, Syria, Tunisia, dan Uni Emirat Arab.
Dan Beirut pun berpesta dan menari mabuk dengan buku sepanjang tahun. Di posisi ini, Unesco, sebagai jangkar gagasan, telah menjembatani jalan toleransi lewat dunia buku di tanah lahirnya para nabi monoteistik yang terus-menerus sangsai di ujung teror.
Di atas semua itu, program ini bisa juga kita baca sebagai ikhtiar membangkitkan kehangatan tradisi sebuah kota, merangsang daya intelegensi dan kreativitas, dan memberi identitas baru pada sebuah kota di mana identitas itu dirayakan, dijaga, dan dipundaki secara kolektif oleh seluruh eksponen warganya.
Di Indonesia, pemberian identitas atas sebuah kota bukan soal asing lagi. Umumnya yang cukup terkenal mengidentifikasi kota dengan makanannya (Kota Gudeg/Jogjakarta, Kota Tahu/Kediri, Kota Pecel/Madiun), dengan alam geografisnya (Kota Seribu Satu Gua/Pacitan, Kota Jati/Blora), keseniannya (Bumi Reog/Ponorogo), agama dan pendidikan (Kota Serambi Mekkah/Aceh, Kota pelajar/Jogjakarta dan Malang), naskah kuna (Tambo Minang/Padang, Bukittinggi; La Galigo/Makassar; Negarakrtagama/Mojokerto, Babad Tanah Djawi/Solo-Jogjakarta; Perang Syabil/Aceh; Hikayat Hang Tuah/Riau; Hikayat Banjar/Banjarmasin), dan seterusnya.
Dalam konteks ini, barangkali penting bagi para pemangku dunia perbukuan dan kebudayaan dengan bekerja sama dengan pemerintah kota setempat memikirkan kembali bagaimana memberikan denyut kota dengan buku secara bergiliran setiap tahun dengan menjadikannya sebagai ibu kota buku.
Modal yang kita punyai sebetulnya sudah cukup. Setiap tahun banyak sekali aktivitas perbukuan yang digelar oleh banyak kota. Sebut saja Book Fair yang sudah dilakukan secara reguler di Jakarta, Jogjakarta, dan beberapa kota lainnya. Beberapa festival juga saban tahun dilakukan, misalnya Ubud Writers & Reader Festival, kompetisi Khatulistiwa Award, penghargaan Prosa Terbaik Dewan Kesenian Jakarta, bienalle-bienalle seni rupa, festival-festival film (JIFFEST, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, FFI, Festival Film Bandung), festival perpustakaan dengan menganugerahi perpustakaan publik terbaik yang dilakukan Perpustakaan Nasional. \
Ada juga pertemuan tahunan komunitas-komunitas buku (komunitas blog buku, penerjemah, editor, penulis, penyair, cerpenis, asosiasi penerbit independen, peresensi, dongeng Nusantara, dan sebagainya).
Sementara itu, saban tahun untuk memperingati Hari Buku Internasional (23 April) dan Buku Nasional (17 Mei) Forum Indonesia Membaca selalu merayakan semacam festival literasi selama sepurnama di mana tahun ini dipusatkan di Gedung Bank Mandiri di Kota Tua Jakarta Kota.
Nah, saatnya kini untuk mengambil sebuah langkah berani mencetuskan program perbukuan baru yang massif dalam program dan terencana-satu dalam jaringan. Selain memberi denyut baru pada sebuah kota, mandat ”Ibu kota Buku” ini memberikan privelese kepada pemerintah dan warga di sebuah kota yang terpilih untuk memanggil para penggiat dunia buku, literasi, kesenian, dan industri-industri kreatif lainnya untuk menyelenggarakan aktivitas tahunannya dalam satu kota secara bersama-sama.
Barangkali, ini salah satu cara kita menghidup-hidupkan nyala tahunan sebuah kota dengan buku. (*)
*) Kerani di Indonesia Buku [I:BOEKOE]. Berdiam di Jogjakarta.
http://www.jawapos.com/
Beirut, kota yang kerap dikutuk sebagai salah satu ibu kota yang paling rajin memproduksi teror dan kekerasan di kawasan samudera pasir, menjelma menjadi kota buku paling semarak di tahun ini. Ibu kota Lebanon itu terpilih sebagai ibu kota buku dunia (World Book Capital) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Program yang bernama ”a city the World Book Capital for year” ini sudah berlangsung sejak 2001. Kota Madrid menjadi kota pembuka untuk pelaksanaan program ini. Lalu berturut-turut Alexandria (2002), New Delhi (2003), Antwerp (2004), Montreal (2005), Turin (2006), Bogotá (2007), Amsterdam (2008), dan sekarang Beirut.
Pemilihan kota itu bukan disandarkan pada sistem kompetisi, melainkan lewat mekanisme penunjukan. Untuk kepentingan itu UNESCO membentuk sebuah dewan bersama yang digandeng dari beberapa lembaga perbukuan internasional berwibawa. Di antaranya: International Publishers Association (IPA), International Booksellers Federation (IBF), dan International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA).
Dewan bersama itulah yang kemudian menggodok kota-kota yang layak dijadikan sebagai ibu kota buku saban tahun berjalan. Bahkan untuk 2010, dewan ini sudah menetapkan ibu kota buku dunia berikutnya, yakni Ljubljana (Slovenia).
Kota yang ditunjuk itulah yang mendapat kesempatan merayakan buku dengan caranya masing-masing selama setahun. Beirut sendiri, seperti dikabarkan situs resminya, menggelar di seluruh penjuru kota sekira 120 peristiwa buku.
Memang mengejutkan keterpilihan Kota Beirut. Belasan tahun kota ini menjadi panggung teater perang sipil yang menakutkan, pabrik bom mobil, dan dentum banalitas kekerasan lainnya yang tak putus-putus merundung.
Tapi bagi mereka yang memahami agak lebih dalam jiwa Beirut, akan tahu bahwa jangkar dunia sastra dan tradisi intelektual Timur Tengah pernah tertancap di batin kota ini. Menurut penulis Beirut Fragments: A Memoir–yang fragmennya pernah dimuat di New York Review of Books pada 1990, Jean Said Makdisi, kawasan Hamra yang menjadi pusat gravitasi kota tak bisa diabaikan perannya sebagai kawasan ”an almost boundless tolerance and freedom of thought”.
Sejak 23 April 2009 hingga 23 April 2010, kalimat Said Maksidi itu seperti menemukan jawabannya. Ke-120 peristiwa buku yang digelar menunjukkan bahwa Beirut adalah kota literasi yang kaya dan layak diperhitungkan. Di sana pelbagai ajang perbukuan dipertontonkan. Seperti konferensi internasional aktivis buku dan kebudayaan ihwal konflik Arab-Israel, training perpustakaan dan seminar taman bacaan, dialog audiobooks untuk kalangan buta, dunia penerjemahan Beirut, akar dan perkembangan pers, buku anak, festival puisi dan prosa, festival akbar seni rupa, patung, musik, dan seni video, dan seterusnya.
Dengan mandat keterpilihan sebagai ibu kota buku itu, pemerintahan Kota Beirut memiliki privelese mengundang para penulis dan penerbit-penerbit beken di seantero dunia, seperti para penyair Mexico dan Jerman, novelis Prancis, penerbit-penerbit dari Italia dan Mesir, desainer dan ilustrator buku dari Spanyol dan Swiss, aktivis-aktivis buku dari Belanda, toko-toko buku di kawasan serumpun seperti Aljazair, Maroko, Siria, Tunisia, dan Uni Emirat Arab.
Yang tak bisa dilupakan bahwa rahim Beirut pernah melahirkan pujangga besar dunia, Gibran Khalil Gibran, yang dalam satu putaran hidupnya telah menyumbang literasi cinta dan perdamaian yang paling menakjubkan di dunia. Pada momentum ini kemudian Gibran National Committee membuat semacam Gibran Fest dengan menampilkan wajah produksi karya-karya Gibran yang telah diterjemahkan ke hampir seluruh bahasa dunia. Termasuk salah satunya yang paling tajir penerjemahan Gibran adalah Indonesia. Saking tajirnya, karya-karya Gibran yang bersifat cinta-sufistik itu menjelma menjadi karya-karya anak remaja yang gaul abis. Tentu itu bukanlah ulah Gibran, melainkan kreasi penerbit-penerbit mini di Indonesia yang memodifikasi Gibran semau-maunya menjadi ini dan itu.
Seakan mengembalikan spirit damai yang diteaterkan karya-karya Gibran di panggung literasi dunia, pemerintah kota dibantu para aktivis buku dan kebudayaan, LSM, dan kantong-kantong kreativitas Beirut menjadikan ajang World Book Capital sebagai jawaban dari kebudayaan dan dunia buku atas konfrontasi yang tiada akhir antara Arab-Israel. Usaha ini sekaligus meneguhkan kredo bahwa buku bisa menyatukan dan mengukuhkan keragaman, sementara politik rasialisme memisahkan, mempertajam gap keragaman, dan mengobarkan perang.
Untuk perayaan keragaman itu pemerintahan Kota Beirut memiliki privelese mengundang para penulis dan penerbit-penerbit beken di seantero dunia, seperti para penyair Mexico dan Jerman, novelis Prancis, penerbit-penerbit dari Italia dan Mesir, desainer dan ilustrator buku dari Spanyol dan Swiss, aktivis-aktivis buku dari Belanda, toko-toko buku di kawasan serumpun seperti Aljazair, Maroko, Syria, Tunisia, dan Uni Emirat Arab.
Dan Beirut pun berpesta dan menari mabuk dengan buku sepanjang tahun. Di posisi ini, Unesco, sebagai jangkar gagasan, telah menjembatani jalan toleransi lewat dunia buku di tanah lahirnya para nabi monoteistik yang terus-menerus sangsai di ujung teror.
Di atas semua itu, program ini bisa juga kita baca sebagai ikhtiar membangkitkan kehangatan tradisi sebuah kota, merangsang daya intelegensi dan kreativitas, dan memberi identitas baru pada sebuah kota di mana identitas itu dirayakan, dijaga, dan dipundaki secara kolektif oleh seluruh eksponen warganya.
Di Indonesia, pemberian identitas atas sebuah kota bukan soal asing lagi. Umumnya yang cukup terkenal mengidentifikasi kota dengan makanannya (Kota Gudeg/Jogjakarta, Kota Tahu/Kediri, Kota Pecel/Madiun), dengan alam geografisnya (Kota Seribu Satu Gua/Pacitan, Kota Jati/Blora), keseniannya (Bumi Reog/Ponorogo), agama dan pendidikan (Kota Serambi Mekkah/Aceh, Kota pelajar/Jogjakarta dan Malang), naskah kuna (Tambo Minang/Padang, Bukittinggi; La Galigo/Makassar; Negarakrtagama/Mojokerto, Babad Tanah Djawi/Solo-Jogjakarta; Perang Syabil/Aceh; Hikayat Hang Tuah/Riau; Hikayat Banjar/Banjarmasin), dan seterusnya.
Dalam konteks ini, barangkali penting bagi para pemangku dunia perbukuan dan kebudayaan dengan bekerja sama dengan pemerintah kota setempat memikirkan kembali bagaimana memberikan denyut kota dengan buku secara bergiliran setiap tahun dengan menjadikannya sebagai ibu kota buku.
Modal yang kita punyai sebetulnya sudah cukup. Setiap tahun banyak sekali aktivitas perbukuan yang digelar oleh banyak kota. Sebut saja Book Fair yang sudah dilakukan secara reguler di Jakarta, Jogjakarta, dan beberapa kota lainnya. Beberapa festival juga saban tahun dilakukan, misalnya Ubud Writers & Reader Festival, kompetisi Khatulistiwa Award, penghargaan Prosa Terbaik Dewan Kesenian Jakarta, bienalle-bienalle seni rupa, festival-festival film (JIFFEST, Jogja-NETPAC Asian Film Festival, FFI, Festival Film Bandung), festival perpustakaan dengan menganugerahi perpustakaan publik terbaik yang dilakukan Perpustakaan Nasional. \
Ada juga pertemuan tahunan komunitas-komunitas buku (komunitas blog buku, penerjemah, editor, penulis, penyair, cerpenis, asosiasi penerbit independen, peresensi, dongeng Nusantara, dan sebagainya).
Sementara itu, saban tahun untuk memperingati Hari Buku Internasional (23 April) dan Buku Nasional (17 Mei) Forum Indonesia Membaca selalu merayakan semacam festival literasi selama sepurnama di mana tahun ini dipusatkan di Gedung Bank Mandiri di Kota Tua Jakarta Kota.
Nah, saatnya kini untuk mengambil sebuah langkah berani mencetuskan program perbukuan baru yang massif dalam program dan terencana-satu dalam jaringan. Selain memberi denyut baru pada sebuah kota, mandat ”Ibu kota Buku” ini memberikan privelese kepada pemerintah dan warga di sebuah kota yang terpilih untuk memanggil para penggiat dunia buku, literasi, kesenian, dan industri-industri kreatif lainnya untuk menyelenggarakan aktivitas tahunannya dalam satu kota secara bersama-sama.
Barangkali, ini salah satu cara kita menghidup-hidupkan nyala tahunan sebuah kota dengan buku. (*)
*) Kerani di Indonesia Buku [I:BOEKOE]. Berdiam di Jogjakarta.
Beno pun Kembali ke Jalan yang Benar
Pudyo Saptono
http://www.suarakarya-online.com/
Jagad perpuisian di Kota Semarang kembali menggeliat seiring kembalinya si anak “hilang”-penyair Beno Siang Pamungkas-pada jalan yang benar, yang pernah mewangikan namanya di dunia sastra modern.
Setelah sengaja “menghilang” dan “menggelandang” di jalanan selama sepuluh tahun sebagai seorang juru warta pada sebuah stasiun televisi swasta nasional, penyair Semarang kelahiran Desa Kuncen, Kecamatan Padagangan, Kabupaten Bojonegoro, Jatim, 30 Maret 1968 ini akhirnya merasa sangat berdosa dan takut tercerabut dari akar kesenimanannya.
Sebagai wujud pertanggungjawabannya di pentas budaya, pekan lalu Beno sukses meluncurkan sebuah buku antologi puisi bertajuk Ensiklopedi Kesedihan, yang memuat 44 buah puisi hasil karyanya. Uniknya, pada peluncuran buku yang menandai kebangkitannya di pentas budaya itu, Beno berhasil pula menyinergikan puisi dengan kehidupan malam dan dunia gemerlap (dugem). Jadilah malam itu, para pengunjung Lipstick Cafe & Lounge di Jalan Hasanudin, Semarang-tempat peluncuran buku-yang biasanya dimanja dengan dentuman musik cadas, berubah menjadi penikmat puisi yang santun.
Sebagai salah satu motor Revitalisasi Sastra Pedalaman (bersama Sosiawan Leak Kusprihyanto Namma dan sejumlah teman sastrawan lain), dalam kumpulan puisinya Beno Siang Pamungkas menggambarkan negeri ini sebagai laboratorium kesedihan. Yang banyak bertutur soal nasib anak cucu, masa depan bangsa, tentang tindak kekerasan yang dihalalkan, pemerkosaan hak dan pemaksaan kehendak, pengemplangan uang rakyat, hingga bencana alam silih berganti membingkai kehidupan negeri ini.
Tanpa bermaksud “menjual” kesedihan dalam arti sesungguhnya. Beno sangat berharap kesedihan yang dia tawarkan dalam antologi puisinya justru bisa membawa titik balik kehidupan yang lebih manusiawi, lebih dirahmati, serta jauh dari azab duniawi.
Semua itu tecermin jelas dalam puisi bertajuk “Kota Kabut”, “Sajak Batuk Angin Kemarau”, “Rumah Kita”, “Surat dari Ujung Watu”, “Sajak dari Jalan Tol”, dan lain-lainnya. Tapi di luar karya-karyanya yang menghentakkan hati nurani, ada juga beberapa puisi Beno yang menggambarkan kegundahgulanaan dia dalam mengarungi bahtera cinta. Salah satunya tercermin pada penggalan puisi berjudul “Bali Bug” yang berbunyi begini: tanah jawa pudar dan menua/di punggungmu/di pucuk ferry/di selat sampit yang menjorok/dengan hati gemetar/kupinang kau pengantinku.
Peluncuran antologi penyair Beno Siang Pamungkas malam itu diapresiasi para seniman sastra baik dari Kota Semarang, Solo, Kendal, dan beberapa daerah lainnya. Seperti Eko Tunas, Tumur Sinar Suprabana, serta Wijang Warek. Selain itu, juga tampak mantan Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) Prof Ir Eko Budihardjo MSc, Ketua PWI Jateng Sasongko Tedjo, dan Ketua Taman Budaya Surakarta Murtidjono Skar.
Di mata Eko Budihardjo, buku kumpulan puisi yang diluncurkan Beno Siang Pamungkas, dan akan dibacakan keliling ke 10 kota di Indonesia, merupakan buku yang baik. “Setiap buku yang diterbitkan, yakinlah bahwa buku itu baik. Kalau ada penyair mengatakan buku antologinya Beno ini tidak baik, maka dia harus mampu menerbitkan buku yang jauh lebih baik,” ujar Eko yang juga mantan Rektor Undip Semarang tersebut.
http://www.suarakarya-online.com/
Jagad perpuisian di Kota Semarang kembali menggeliat seiring kembalinya si anak “hilang”-penyair Beno Siang Pamungkas-pada jalan yang benar, yang pernah mewangikan namanya di dunia sastra modern.
Setelah sengaja “menghilang” dan “menggelandang” di jalanan selama sepuluh tahun sebagai seorang juru warta pada sebuah stasiun televisi swasta nasional, penyair Semarang kelahiran Desa Kuncen, Kecamatan Padagangan, Kabupaten Bojonegoro, Jatim, 30 Maret 1968 ini akhirnya merasa sangat berdosa dan takut tercerabut dari akar kesenimanannya.
Sebagai wujud pertanggungjawabannya di pentas budaya, pekan lalu Beno sukses meluncurkan sebuah buku antologi puisi bertajuk Ensiklopedi Kesedihan, yang memuat 44 buah puisi hasil karyanya. Uniknya, pada peluncuran buku yang menandai kebangkitannya di pentas budaya itu, Beno berhasil pula menyinergikan puisi dengan kehidupan malam dan dunia gemerlap (dugem). Jadilah malam itu, para pengunjung Lipstick Cafe & Lounge di Jalan Hasanudin, Semarang-tempat peluncuran buku-yang biasanya dimanja dengan dentuman musik cadas, berubah menjadi penikmat puisi yang santun.
Sebagai salah satu motor Revitalisasi Sastra Pedalaman (bersama Sosiawan Leak Kusprihyanto Namma dan sejumlah teman sastrawan lain), dalam kumpulan puisinya Beno Siang Pamungkas menggambarkan negeri ini sebagai laboratorium kesedihan. Yang banyak bertutur soal nasib anak cucu, masa depan bangsa, tentang tindak kekerasan yang dihalalkan, pemerkosaan hak dan pemaksaan kehendak, pengemplangan uang rakyat, hingga bencana alam silih berganti membingkai kehidupan negeri ini.
Tanpa bermaksud “menjual” kesedihan dalam arti sesungguhnya. Beno sangat berharap kesedihan yang dia tawarkan dalam antologi puisinya justru bisa membawa titik balik kehidupan yang lebih manusiawi, lebih dirahmati, serta jauh dari azab duniawi.
Semua itu tecermin jelas dalam puisi bertajuk “Kota Kabut”, “Sajak Batuk Angin Kemarau”, “Rumah Kita”, “Surat dari Ujung Watu”, “Sajak dari Jalan Tol”, dan lain-lainnya. Tapi di luar karya-karyanya yang menghentakkan hati nurani, ada juga beberapa puisi Beno yang menggambarkan kegundahgulanaan dia dalam mengarungi bahtera cinta. Salah satunya tercermin pada penggalan puisi berjudul “Bali Bug” yang berbunyi begini: tanah jawa pudar dan menua/di punggungmu/di pucuk ferry/di selat sampit yang menjorok/dengan hati gemetar/kupinang kau pengantinku.
Peluncuran antologi penyair Beno Siang Pamungkas malam itu diapresiasi para seniman sastra baik dari Kota Semarang, Solo, Kendal, dan beberapa daerah lainnya. Seperti Eko Tunas, Tumur Sinar Suprabana, serta Wijang Warek. Selain itu, juga tampak mantan Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) Prof Ir Eko Budihardjo MSc, Ketua PWI Jateng Sasongko Tedjo, dan Ketua Taman Budaya Surakarta Murtidjono Skar.
Di mata Eko Budihardjo, buku kumpulan puisi yang diluncurkan Beno Siang Pamungkas, dan akan dibacakan keliling ke 10 kota di Indonesia, merupakan buku yang baik. “Setiap buku yang diterbitkan, yakinlah bahwa buku itu baik. Kalau ada penyair mengatakan buku antologinya Beno ini tidak baik, maka dia harus mampu menerbitkan buku yang jauh lebih baik,” ujar Eko yang juga mantan Rektor Undip Semarang tersebut.
Seni itu Memberi Ruang Redam
Ugoran Prasad (Seniman Muda dan Pekerja Teater Garasi)
Pewawancara: Mustaan
http://www.lampungpost.com/
PILIHANNYA bergelut dalam dunia seni tak sia-sia, malah membuahkan hasil gemilang. Muda dan berkarya, begitulah yang ada di benak Ugoran Prasad, pekerja sastra kelahiran Lampung yang memilih menetap di Yogjakarta.
Lama bergelut di dunia sastra, banyak karya yang telah ditelurkan dan membuahkan apresiasi, penghargaan untuk karya cerita pendek terbaik untuk Cerpen Pilihan 2005–2006, di salah satu harian nasional ternama tahun 2007, dan karya fiksi peserta Utan Kayu Literary Bienalle 2007, Komunitas Teater Utan Kayu 2007.
Bolak-balik Lampung–Jogja, kerap dilakukan Ugoran. Maklum saja, meskipun memilih Kota Gudeg untuk berkarya, toh keluarga besarnya masih di Tanah Bumi Ruwa Jurai. Bahkan, usai menerima penghargaan dari Kompas, ia mampir ke Kota Tapis untuk sekadar melepas kangen di kota kelahirannya. Ugoran pun berbagi pengalaman dengan wartawan Lampung Post Mustaan seputar seni dan karya sastra.
Bagaimana pandangan Anda tentang perkembangan dunia seni sastra di Indonesia?
Sastra adalah medan kesenian yang paling bisa bertahan dalam keadaan paling darurat. Penyair bisa bekerja dengan pulpen dan selembar kertas tisu. Jadi asumsinya, sastra bisa hidup dalam keadaan apapun. Saya bekerja di kelompok teater yang saya rasa lebih besar tuntutannya.
Sebagai karya, teater berlangsung seketika yang peristiwanya diciptakan bersama penonton. Sastra juga membutuhkan pembaca, tapi tidak di saat yang sama.
Begitu karya sastra selesai, ia menjadi dokumen, milik sejarah, bahkan bagi pengarangnya. Dokumen, selama tersedia, selalu bisa dikunjungi kapan saja. Mpu Prapanca, karyanya baru dibaca 400 tahun setelah kematiannya. Kini, ahli sejarah Asia mana yang belum baca Negarakertagama?
Nah, soal perkembangan, ini lain lagi. Pertanyaan ini memaksa saya balik bertanya: kita mau membicarakan perkembangan yang bagaimana? Atau, apa yang sebenarnya disebut sebagai perkembangan sastra? Parameternya apa? Ini soal yang rumit, saya pikir. Menilik bahwa penyair-penyair terus dilahirkan, penulis muda dapat ruang, pembaca masih berminat membaca, untuk mudahnya, ya baiklah, sastra Indonesia masih menciptakan ruang perkembangan. Ini tidak memuaskan, tapi cukup.
Tentang perkembangannya di Lampung?
Saya melihat sastra di Lampung dari kejauhan. Sejak 1996, saya kuliah di Jogja. Jadi sama sekali tidak sempat kontak langsung dengan pengarang-pengarang Lampung. Saya malah ketemu bang Is (Iswadi Pratama, red) di Jogja, lewat kontak Teater Satu dengan Teater Garasi. Dina Oktaviani juga, ketemu di Jogja. Waktu SMA saya dengar nama-nama penulis atau penyair Lampung, ada Iwan Nurdaya-Djafar atau Isbedy Setiawan Z.S. Tapi saat itu, karya tulis orang dari Lampung yang benar-benar saya baca cuma Bubin Lantang.
Akhir 90-an baru saya dengar perkembangan menarik forum-forum sastra di Lampung. Sekarang ada banyak nama-nama seumuran saya yang cukup perlu untuk dibaca. Ada Ari Pahala, Jimmy Maruli, untuk menyebut beberapa nama.
Perlu tidak karya sastra sebagai wujud berkesenian mulai diajari sejak usia dini. Apa gunya juga berkesenian itu?
Saya pikir sastra, bahkan kesenian secara luas, sangat penting nilainya, terutama sekarang ini. Dunia bekerja sangat cepat, orang cenderung dipaksa beradu cepat, berebut hal-hal penting. Pasar ada di mana-mana, politik, ekonomi, semuanya pasar.
Dan sastra nggak terlalu berguna sebenarnya. Nggak bakal mati kalo nggak ada sastra. Justru di situ pentingnya. Seni memberi ruang redam. Suatu ruang selainnya kenyataan sehari-hari namun sekaligus anak kandung dari kenyataan itu sendiri. Ini paling kelihatan dalam prosesi orang masuk gedung bioskop atau teater. Antre, masuk ke ruang lain, gelap, mengambil tempat duduk, selama dua jam mengonsumsi bukan kenyataan yang terberi oleh kenyataan. Struktur ini sama juga dengan sastra, hanya batas spasialitasnya lebih kabur.
Anda ahli membuat karya cerpen hingga menjadi cerpenis terbaik versi salah satu surat kabar nasional?
Soal ahli-ahlian ini, saya bukan ahli. Ini bukan soal rendah hati atau bukan. Buat saya, tidak penting seorang pengarang itu ahli atau bukan. Saya pikir pengarang yang baik adalah pengarang yang selalu mengenyahkan pikiran tentang “ahli-ahlian” ini. Oya, (penghargaan) itu juga bukan untuk cerpenis terbaik. Cerpenis terbaiknya buat saya jelas. Ada Danarto, Seno Gumira, Adek Alwi, Gus Tf., mereka sungai, saya empang. Cerpen terbaik, ini lain. Karya itu, dari skema ruang dan waktu yang terbatas, dianggap baik mata dua orang juri, dua orang pembaca. Penilaian ini belum tentu disepakati pembaca yang lain. Ruang yang tercipta dari berbagai pandangan dan aras penilaian–suatu diskursus–itulah yang menumbuhkan.
Dari mana asalnya saya bisa bikin cerita, itu bisa saya jawab. Saya belajar membaca dan menulis. Belajar membaca sebagai pembaca dan belajar membaca sebagai penulis. Juga, belajar menulis sebagai pembaca. Pelajaran saya sendiri belum selesai. Jadi, saya nggak bisa sok tahu. Saya bisa bagi metode saya tapi metode itu bisa salah.
Bagaimana posisi sastrawan asal Lampung di kancah seni sastra di Indonesia, apakah sudah mulai diperhitungkan? Apakah cerpenisnya juga sudah mulai tumbuh di Lampung?
Saya pikir iya. Terakhir saya dengar Iswadi Pratama, bersama penyair dari empat kota lain (Gunawan Maryanto, Nur Zen, Sindu Putra dan S. Yoga), disebut sebagai penyair di bawah usia 40 yang paling pantas diperhitungkan di Indonesia. Kalau tidak salah, judul antologinya Lima Pusaran. Saya pikir komentar Nirwan Dewanto tentang perkembangan penyair-penyair terkini, termasuk di Lampung, lumayan keras. Harusnya bisa jadi perdebatan yang menarik. Siapa tahu Nirwan salah lagi.
Cerpennya memang cuma saya baca beberapa. Tidak sekaya hasil ciptaan puisi, entah kenapa. Mungkin belum.
Menulis cerpen itu bagian dari kerja jurnalistik. Pada kondisi bangsa yang memang masih mencari jatidirinya, apakah sangat layak untuk dibuat karya cerpen atau cerita lainnya?
Dalam kondisi apapun cerita layak dibuat, dituliskan. Dari dulu tukang cerita, para pendongeng, mengikatkan diri pada kondisi, bertolak dari kondisi, untuk bisa memamah kondisi. Sekalipun gak paham-paham, proses memamah ini penting. Bahwa banyak pengarang mengambil inspirasi dari kerja jurnalistik, ini benar. Tapi menyebut kerja penulisan fiksi sebagai bagian dari kerja jurnalis, sepertinya terlalu menekan. Jurnalisme diharuskan bekerja sebagai penyampai kebenaran. Ini ontologi sekaligus sumber soal terbesar jurnalisme, kan? Fiksi lebih ringan hati. Suatu fiksi yang baik, berusaha merekam dan merepresentasikan konteks tertentu dengan logika tertentu pula, artinya ia perlu melengkapi diri dengan data yang baik, mematuhi aturan sebab akibat tertentu. Saya bilang tertentu, sebab realisme dan fantasi, misalnya, ukuran-ukuran intrinsiknya berbeda. Begitupun ukuran itu harus ada. Nah, sepatuh apapun, selengkap apapun, fiksi bukanlah kebenaran. Mungkin ada pretensinya, tapi ia tetap bukan kebenaran. Ia bisa mirip, terasa seperti, tapi bukan. Batasannya jelas.
Seorang cerpenis biasanya identik dengan perayu, ahli diplomasi, ahli pidato dan bahkan ahli dalam dokumentasi. Apakah itu memang karakter seniman pada umumnya?
Saya bisa merayu ibu saya. Merayu teman perempuan saya juga bisa, tapi jarang yang percaya. Diplomasi, saya tidak bagus. Sering berujung pada ribut keras yang nggak produktif. Saya tidak terlalu suka karakter diskusi verbal. Saya sangat jarang bisa mendapatkan kedalaman pembahasan kecuali dalam diskusi kecil yang terbatas, 5–8 orang. Lebih dari itu, pasar. Kadang-kadang pasar bagus juga, kadang bikin capek. Dokumentasi, saya pikir penting. Saya sangat terinspirasi dengan modus-modus dokumentasi pengarang-pengarang dari disiplin angkatan 40 sampai 60-an. Rajin, teliti, mungkin karena zaman itu belum ada TV. Karakter seniman pada umumnya, saya pikir lebih banyak yang mengira dirinya seniman daripada yang benar-benar berkesenian. Begitu seniman mengira dia harus mengutamakan ciri-ciri tertentu agar tampak seperti seniman, sebenarnya dia lebih cocok jadi tentara.
Biasanya seniman termasuk cerpenis atau penyair, dimulai saat orang kuliah. Dengan indekos dia mencari tambahan uang saku, kuliah, makan atau indekos. Pengalaman Anda?
Ya, seperti itulah, biasanya. Saya agak lebih ringan, karena bisa cari duit dengan cara lain. Menerjemahkan buku, menulis liputan, dokumentasi proses, semacam itu. Di waktu awal, saya tidak mau membebani kerja penulisan fiksi saya dengan proses cari duit, jadi bisa lebih rileks. Satu cerpen bisa saya kerjakan berbulan-bulan, satu novel bertahun-tahun. Tapi ada efek lain, saya jadi tidak prolifik. Lagian, sebenarnya tidak harus satuan waktu berbanding lurus dengan pencapaian karya. Tidak harus berlama-lama. Ada yang bisa bikin cerita dari satu peristiwa terantuk batu. Itu saya tidak bisa.
Pewawancara: Mustaan
http://www.lampungpost.com/
PILIHANNYA bergelut dalam dunia seni tak sia-sia, malah membuahkan hasil gemilang. Muda dan berkarya, begitulah yang ada di benak Ugoran Prasad, pekerja sastra kelahiran Lampung yang memilih menetap di Yogjakarta.
Lama bergelut di dunia sastra, banyak karya yang telah ditelurkan dan membuahkan apresiasi, penghargaan untuk karya cerita pendek terbaik untuk Cerpen Pilihan 2005–2006, di salah satu harian nasional ternama tahun 2007, dan karya fiksi peserta Utan Kayu Literary Bienalle 2007, Komunitas Teater Utan Kayu 2007.
Bolak-balik Lampung–Jogja, kerap dilakukan Ugoran. Maklum saja, meskipun memilih Kota Gudeg untuk berkarya, toh keluarga besarnya masih di Tanah Bumi Ruwa Jurai. Bahkan, usai menerima penghargaan dari Kompas, ia mampir ke Kota Tapis untuk sekadar melepas kangen di kota kelahirannya. Ugoran pun berbagi pengalaman dengan wartawan Lampung Post Mustaan seputar seni dan karya sastra.
Bagaimana pandangan Anda tentang perkembangan dunia seni sastra di Indonesia?
Sastra adalah medan kesenian yang paling bisa bertahan dalam keadaan paling darurat. Penyair bisa bekerja dengan pulpen dan selembar kertas tisu. Jadi asumsinya, sastra bisa hidup dalam keadaan apapun. Saya bekerja di kelompok teater yang saya rasa lebih besar tuntutannya.
Sebagai karya, teater berlangsung seketika yang peristiwanya diciptakan bersama penonton. Sastra juga membutuhkan pembaca, tapi tidak di saat yang sama.
Begitu karya sastra selesai, ia menjadi dokumen, milik sejarah, bahkan bagi pengarangnya. Dokumen, selama tersedia, selalu bisa dikunjungi kapan saja. Mpu Prapanca, karyanya baru dibaca 400 tahun setelah kematiannya. Kini, ahli sejarah Asia mana yang belum baca Negarakertagama?
Nah, soal perkembangan, ini lain lagi. Pertanyaan ini memaksa saya balik bertanya: kita mau membicarakan perkembangan yang bagaimana? Atau, apa yang sebenarnya disebut sebagai perkembangan sastra? Parameternya apa? Ini soal yang rumit, saya pikir. Menilik bahwa penyair-penyair terus dilahirkan, penulis muda dapat ruang, pembaca masih berminat membaca, untuk mudahnya, ya baiklah, sastra Indonesia masih menciptakan ruang perkembangan. Ini tidak memuaskan, tapi cukup.
Tentang perkembangannya di Lampung?
Saya melihat sastra di Lampung dari kejauhan. Sejak 1996, saya kuliah di Jogja. Jadi sama sekali tidak sempat kontak langsung dengan pengarang-pengarang Lampung. Saya malah ketemu bang Is (Iswadi Pratama, red) di Jogja, lewat kontak Teater Satu dengan Teater Garasi. Dina Oktaviani juga, ketemu di Jogja. Waktu SMA saya dengar nama-nama penulis atau penyair Lampung, ada Iwan Nurdaya-Djafar atau Isbedy Setiawan Z.S. Tapi saat itu, karya tulis orang dari Lampung yang benar-benar saya baca cuma Bubin Lantang.
Akhir 90-an baru saya dengar perkembangan menarik forum-forum sastra di Lampung. Sekarang ada banyak nama-nama seumuran saya yang cukup perlu untuk dibaca. Ada Ari Pahala, Jimmy Maruli, untuk menyebut beberapa nama.
Perlu tidak karya sastra sebagai wujud berkesenian mulai diajari sejak usia dini. Apa gunya juga berkesenian itu?
Saya pikir sastra, bahkan kesenian secara luas, sangat penting nilainya, terutama sekarang ini. Dunia bekerja sangat cepat, orang cenderung dipaksa beradu cepat, berebut hal-hal penting. Pasar ada di mana-mana, politik, ekonomi, semuanya pasar.
Dan sastra nggak terlalu berguna sebenarnya. Nggak bakal mati kalo nggak ada sastra. Justru di situ pentingnya. Seni memberi ruang redam. Suatu ruang selainnya kenyataan sehari-hari namun sekaligus anak kandung dari kenyataan itu sendiri. Ini paling kelihatan dalam prosesi orang masuk gedung bioskop atau teater. Antre, masuk ke ruang lain, gelap, mengambil tempat duduk, selama dua jam mengonsumsi bukan kenyataan yang terberi oleh kenyataan. Struktur ini sama juga dengan sastra, hanya batas spasialitasnya lebih kabur.
Anda ahli membuat karya cerpen hingga menjadi cerpenis terbaik versi salah satu surat kabar nasional?
Soal ahli-ahlian ini, saya bukan ahli. Ini bukan soal rendah hati atau bukan. Buat saya, tidak penting seorang pengarang itu ahli atau bukan. Saya pikir pengarang yang baik adalah pengarang yang selalu mengenyahkan pikiran tentang “ahli-ahlian” ini. Oya, (penghargaan) itu juga bukan untuk cerpenis terbaik. Cerpenis terbaiknya buat saya jelas. Ada Danarto, Seno Gumira, Adek Alwi, Gus Tf., mereka sungai, saya empang. Cerpen terbaik, ini lain. Karya itu, dari skema ruang dan waktu yang terbatas, dianggap baik mata dua orang juri, dua orang pembaca. Penilaian ini belum tentu disepakati pembaca yang lain. Ruang yang tercipta dari berbagai pandangan dan aras penilaian–suatu diskursus–itulah yang menumbuhkan.
Dari mana asalnya saya bisa bikin cerita, itu bisa saya jawab. Saya belajar membaca dan menulis. Belajar membaca sebagai pembaca dan belajar membaca sebagai penulis. Juga, belajar menulis sebagai pembaca. Pelajaran saya sendiri belum selesai. Jadi, saya nggak bisa sok tahu. Saya bisa bagi metode saya tapi metode itu bisa salah.
Bagaimana posisi sastrawan asal Lampung di kancah seni sastra di Indonesia, apakah sudah mulai diperhitungkan? Apakah cerpenisnya juga sudah mulai tumbuh di Lampung?
Saya pikir iya. Terakhir saya dengar Iswadi Pratama, bersama penyair dari empat kota lain (Gunawan Maryanto, Nur Zen, Sindu Putra dan S. Yoga), disebut sebagai penyair di bawah usia 40 yang paling pantas diperhitungkan di Indonesia. Kalau tidak salah, judul antologinya Lima Pusaran. Saya pikir komentar Nirwan Dewanto tentang perkembangan penyair-penyair terkini, termasuk di Lampung, lumayan keras. Harusnya bisa jadi perdebatan yang menarik. Siapa tahu Nirwan salah lagi.
Cerpennya memang cuma saya baca beberapa. Tidak sekaya hasil ciptaan puisi, entah kenapa. Mungkin belum.
Menulis cerpen itu bagian dari kerja jurnalistik. Pada kondisi bangsa yang memang masih mencari jatidirinya, apakah sangat layak untuk dibuat karya cerpen atau cerita lainnya?
Dalam kondisi apapun cerita layak dibuat, dituliskan. Dari dulu tukang cerita, para pendongeng, mengikatkan diri pada kondisi, bertolak dari kondisi, untuk bisa memamah kondisi. Sekalipun gak paham-paham, proses memamah ini penting. Bahwa banyak pengarang mengambil inspirasi dari kerja jurnalistik, ini benar. Tapi menyebut kerja penulisan fiksi sebagai bagian dari kerja jurnalis, sepertinya terlalu menekan. Jurnalisme diharuskan bekerja sebagai penyampai kebenaran. Ini ontologi sekaligus sumber soal terbesar jurnalisme, kan? Fiksi lebih ringan hati. Suatu fiksi yang baik, berusaha merekam dan merepresentasikan konteks tertentu dengan logika tertentu pula, artinya ia perlu melengkapi diri dengan data yang baik, mematuhi aturan sebab akibat tertentu. Saya bilang tertentu, sebab realisme dan fantasi, misalnya, ukuran-ukuran intrinsiknya berbeda. Begitupun ukuran itu harus ada. Nah, sepatuh apapun, selengkap apapun, fiksi bukanlah kebenaran. Mungkin ada pretensinya, tapi ia tetap bukan kebenaran. Ia bisa mirip, terasa seperti, tapi bukan. Batasannya jelas.
Seorang cerpenis biasanya identik dengan perayu, ahli diplomasi, ahli pidato dan bahkan ahli dalam dokumentasi. Apakah itu memang karakter seniman pada umumnya?
Saya bisa merayu ibu saya. Merayu teman perempuan saya juga bisa, tapi jarang yang percaya. Diplomasi, saya tidak bagus. Sering berujung pada ribut keras yang nggak produktif. Saya tidak terlalu suka karakter diskusi verbal. Saya sangat jarang bisa mendapatkan kedalaman pembahasan kecuali dalam diskusi kecil yang terbatas, 5–8 orang. Lebih dari itu, pasar. Kadang-kadang pasar bagus juga, kadang bikin capek. Dokumentasi, saya pikir penting. Saya sangat terinspirasi dengan modus-modus dokumentasi pengarang-pengarang dari disiplin angkatan 40 sampai 60-an. Rajin, teliti, mungkin karena zaman itu belum ada TV. Karakter seniman pada umumnya, saya pikir lebih banyak yang mengira dirinya seniman daripada yang benar-benar berkesenian. Begitu seniman mengira dia harus mengutamakan ciri-ciri tertentu agar tampak seperti seniman, sebenarnya dia lebih cocok jadi tentara.
Biasanya seniman termasuk cerpenis atau penyair, dimulai saat orang kuliah. Dengan indekos dia mencari tambahan uang saku, kuliah, makan atau indekos. Pengalaman Anda?
Ya, seperti itulah, biasanya. Saya agak lebih ringan, karena bisa cari duit dengan cara lain. Menerjemahkan buku, menulis liputan, dokumentasi proses, semacam itu. Di waktu awal, saya tidak mau membebani kerja penulisan fiksi saya dengan proses cari duit, jadi bisa lebih rileks. Satu cerpen bisa saya kerjakan berbulan-bulan, satu novel bertahun-tahun. Tapi ada efek lain, saya jadi tidak prolifik. Lagian, sebenarnya tidak harus satuan waktu berbanding lurus dengan pencapaian karya. Tidak harus berlama-lama. Ada yang bisa bikin cerita dari satu peristiwa terantuk batu. Itu saya tidak bisa.
Langganan:
Postingan (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae