Yos Rizal S
http://www.ruangbaca.com/
Karya-karya terjemahan dari penulis generasi “pendidikan ulang” Mao hingga penulis mutakhir Cina kini gampang ditemukan di toko buku. Siapa saja mereka?
Sepotong biola itu berubah menjadi sebuah ancaman. Seorang kepala desa di kaki gunung Burung Hong dari Langit di kota Yong Jing, Cina, membolakbalik biola seperti tengah mencari bubuk heroin yang mungkin disembunyikan di alat musik itu. Ia juga mencurigai biola yang dibawa dua orang anak muda di depannya sebagai senjata.
Tapi seorang penduduk desa berseru dari balik kerumunan orang-orang yang mengerubungi Pak Kepala Desa. “Itu mainan tolol,” ucapnya. “Bukan, “ Pak Kepala Desa membetulkan, ”mainan borjuis.” Luo, salah seorang dari anak muda tertuduh itu, menjelaskan bahwa “benda aneh” yang diributkan seluruh desa itu adalah sebuah alat musik.
Luo lalu menunjuk tokoh Aku untuk memainkannya. “Apa judul lagumu?” tanya Pak Kepala Desa. “Mozart,” tokoh Aku bergumam. “Mozart apa?” “Mozart Memikirkan Ketua Mao,” Luo menyela. Kepala Desa itu pun manggutmanggut, seolah baru saja mendengar mukjizat. Orang paling berkuasa di gunung itu pun berucap, “Mozart memang selalu memikirkan Mao.”
Dengan kocak Dai Sijie menyuguhkan cerita Pak Kepala Desa yang sok pintar tapi sesungguhnya bodoh itu dalam Balzac dan Si Penjahit Cilik dari Cina yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, Februari lalu. Dai menghamparkan pelbagai ketololan orangorang desa yang gigih mendukung Revolusi Kebudayaan (1966-1976) Mao Zedong, tapi amat berkuasa.
Luo dan Aku—Luo anak dokter gigi, Aku anak dokter umum— adalah anak muda yang dikirim ke Burung Hong dari Langit untuk menjalani “pendidikan ulang” ala Mao. Inilah program pembersihan kalangan intelektual di Cina antara 1971-1974. Orang-orang pintar dihukum kerja paksa, sementara anak-anak mereka dididik untuk belajar pada petani.
Dengan berbekal biola, Luo dan Aku mengikuti program pendidikan itu. Setiap hari mereka harus mengangkuti beremberember kotoran manusia dan hewan ke sawah atau bekerja di pertambangan batu bara yang sewaktu- waktu bisa rubuh. Hiburan mereka satu-satunya adalah biola—dan persahabatan dengan gadis cantik anak penjahit desa.
Namun, celakanya “para guru” mereka di gunung tak tahu bahwa biola adalah alat musik. Tak cuma biola yang tak boleh dimainkan di depan umum—kecuali jika untuk memuji Mao, bukubuku juga tak diboleh dibaca— kecuali buku karangan Mao. Buku- buku, terutama karya pengarang Barat, adalah barang terlarang dan mesti dimusnahkan.
Maka ketika keduanya menemukan buku karangan Balzac (Honore de Balzac, 1799-1850), novelis Prancis, dan setumpuk sastra Barat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, mereka seperti menemukan surga yang hilang. Luo dan Aku membagi cerita dari buku Balzac kepada si Penjahit Cilik, sembari kucing- kucingan dengan penduduk desa yang setiap saat bisa melaporkan mereka pada Kepala Desa.
Kisah getir sekaligus jenaka itu ditulis Dai dari tanah pelariannya, Prancis, pada 2000. Novel pertamanya ini dengan cepat menduduki peringkat teratas buku- buku terlaris di Prancis dan meraih lima penghargaan internasional. Hak penerbitan novel itu telah dijual ke-19 negara. Dai yang juga seorang sutradara kemudian mengangkatnya ke dalam film Balzac and the Little Chinese Seamstress (Xiao cai feng) pada 2002.
Dai yang mengungsi ke Prancis sejak 1984 itu telah melahirkan tiga film lain: Chine, ma douleur (1989), Le Mangeur de Lune (1993) dan The Eleventh Child (1998). Lewat Luo dan Aku, novelis kelahiran Cina pada 1954 itu seperti menuturkan kisahnya sendiri. Ia adalah anak seorang dokter yang juga pernah menjalani “pendidikan ulang” dari 1971 sampai 1974.
Ia masih berumur 22 tahun ketika Mao meninggal. Selain Dai, Gao Xingjian juga sastrawan produk “pendidikan ulang”. Karyanya berjudul Gunung Jiwa yang diterbitkan Jalasutra pada 2003 meraih hadiah Nobel Sastra pada 2000. Ia eksil di Prancis sejak 1988 dan menjadi warga negara Prancis.
Gunung Jiwa menceritakan perjalanan Gao mencari kebebasan dan kedamaian batin hingga ke Gunung Jiwa (Lingyan). Dalam pengembaraan itu, penulis kelahiran Ganzhou, propinsi Jiangxi, Cina pada 1940 itu mengadon lukisan alam hutan-hutan di sepanjang Sungai Yangtse dan cerita warisan leluhur dengan cerita kesengsaraan yang dihadapi penduduk akibat Revolusi Kebudayaan.
Novel itu lahir setelah pemerintah Cina melarang pementasan naskah-naskah dramanya. Stasiun Bus (1983), naskah dramanya yang absurd—terpengaruh karyakarya drama Beckett dan Brecht— dilarang dipentaskan dengan alasan “mengotori jiwa” penontonnya. Begitu pula karyanya yang lain, Pantai (1986).
Gao lahir dari keluarga kaya. Ayahnya bekerja pada bank sedangkan ibunya adalah seorang pemain sandiwara amatir. Sejak kecil, Gao sudah biasa membaca karya drama dan sastra. Pada umur 22, ia lulus ujian bahasa Prancis pada Lembaga Bahasa Asing di Beijing. Tapi ketika Revolusi Kebudayaan datang, Gao terpaksa membakar seluruh koleksi bukunya.
Ia kemudian dikirim ke pedesaan untuk “dididik kembali”. “Di negeriku sendiri, aku tak bisa mempercayai siapa pun, bahkan juga keluargaku,” ucap Gao. Kabarnya, Gao terpaksa memusnahkan buku-bukunya setelah istrinya sendiri melapor kepada penguasa. Di luar Dai dan Gao, sebenarnya pengarang Red Shorgum (1987), Mo Yan, juga datang dari generasi “pendidikan ulang”.
Mo Yan lahir di Shandong pada 1955. Minatnya pada dunia sastra tumbuh setelah penulis dari kota datang ke kampung Mo Yan untuk menjalani “pendidikan ulang” menjadi petani. Ia belajar dari para penulis pendatang itu. Sayang karya-karya Mo Yan yang sangat populer di Cina belum diterjemahkan di sini (Baca: Mo Yan dan “Posmodernisme Kampung”).
Adeline Yen Mah adalah pengarang lain yang sezaman dengan tiga sastrawan di atas. Tapi Mah tak pernah merasakan pahitnya program penyeragaman rekaan Mao. Pengarang perempuan yang lahir di Tianjin, Cina, pada 1937, ini belajar ke Inggris setelah memenangkan kompetisi menulis pada usia 14 tahun. Ia melanjutkan studi di bidang kedokteran di California, AS.
Mah berdarah Cina dari ibunya dan Prancis dari ayahnya. Ketika ibunya wafat, ayahnya yang menikah lagi. Di bawah ibu tirinya ia merasakan diperlakukan tak adil, dikekang, dan diintimidasi. Karena itu karyanya tak heran mengungkapkan kegusaran pada masalah-masalah domestik. Ia juga mengungkapkan kegelisahan dunia anak-anak di lingkungan keluarga tak kondusif.
Novel pertamanya, Falling Leaves, ditulis pada 1997 dan diterbitkan oleh Yayasan Obor tahun lalu. Karyanya ini laku lebih dari sejuta eksemplar. Setelah Falling Leaves, ia menulis Chinese Cinderella. Deretan berikutnya adalah Amy Tan, pengarang kelahiran Oakland, California, 1952, dari pasangan John Tan dan Daisy.
Ayahnya insinyur dan pembaptis menteri yang hijrah ke Cina sewaktu huru-hara perang sipil di Cina. Karakter temperamental ayahnya membuat rumah tangga keluarga Tan dipenuhi kekerasan. John dan Daisy pun bercerai. Amy dikenal sebagai pengarang yang lihai menampilkan perbenturan karakter masyarakat pendatang dari Cina dengan tanah air barunya, Amerika.
Perempuan Cina di Amerika, misalnya, harus pandai-pandai memainkan “wajah ganda”-nya untuk bisa bertahan hidup. Ia juga sangat detail menggambarkan suasana Chinatown yang bagi masyarakat Amerika susah ditembus. Novel terkenalnya, The Joy Luck Club, yang terbit pada 1989 menempati peringkat pertama bestseller New York Time selama delapan bulan.
Pundi-pundinya pun dalam waktu singkat bertambah US$ 1,23 juta dari novelnya itu. Novel ini kemudian diterjemahkan ke dalam 17 bahasa. Di Indonesia, novel-novel Amy Tan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama. Karya terbaru Amy yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Lawan Dari Maut (The Opposite Of Fate).
Novel ini bertutur tentang Amy yang harus melepaskan diri dari ekspektasi-ekspektasi dan kutukan- kutukan masa lalunya. Ia menciptakan takdirnya sendiri. Setelah Amy, muncul Lisa See, penulis Cina-Amerika dari generasi yang lebih muda. Lahir di Paris dan besar di Los Angeles, Amerika, Lisa menghabiskan sebagian besar waktunya di Chinatown.
Buku pertamanya, On Gold Mountain: The One Hundred Year Odyssey of My Chinese-American Family yang memuat sejarah lengkap keluarga Cina-Amerikanya meraih best-seller pada 1995. Ia telah menulis lima buku.
Seri pertama detektif Liu Hulan karya Lisa, Liu Hulan: Jaring-jaring Bunga diterbitkan Qanita Januari lalu. Buku ini diterjemahkan dari Flower Net yang terbit pertama kali pada 1997. Novel ini mendapat penghargaan Edgar Awards. Selain serial Liu Hulan, mantan koresponden Publisher’s Weekly itu juga menulis tentang kisah klasik pengikatan kaki gadis-gadis Cina dalam Bunga Salju (Qanita, 2006).
Sebagian besar karya-karya sastra Cina yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tersebut adalah sastra yang lahir dari tanah perantauan. Kenyamanan dan kebebasan menulis tampaknya tak ditemukan pengarang-pengarang itu di tanah airnya sendiri. “Di Amerika ini, aku menemukan kebebasanku: menulis,” kata Amy Tan.
Menurut Iwan Fridolin, dosen Sastra Cina di Fakultas Budaya Universitas Indonesia, penerjamahan karyakarya sastra dari Cina ke dalam bahasa Indonesia sudah berlangsung lama. Iwan menandai penerjemahan karya-karya dari Cina sudah ditemukan sejak 1930-an. “Tapi mulai ramai setelah penerbit dari Medan bermunculan pada 1950-an,” kata Iwan.
Iwan menyebut, majalah Pantja Warna yang terbit akhir 1940-an, juga Star Weekly, kerap memuat cerpen terjemahan dari Cina. “Karya-karya Lu Xun adalah salah satu yang sering diterjemahkan, selain cerita-cerita silat,” ujar Iwan yang pernah menerjemahkan kumpulan cerpen kontemporer Cina Kisah Lelaki Tua dan Seekor Anjing yang diterbitkan Yayasan Obor awal 1990-an.
Lu Xun, nama pena dari Zhou Shuren, adalah sastrawan kelahiran Provinsi Zhejiang pada 1881. Di Indonesia, buku terjemahan karya Lu Xun pernah diterbitkan oleh Yayasan Obor pada pertengahan 1980-an. Lu Xun adalah pengarang yang dikagumi Mao. “Di lapangan kebudayaan, ia adalah pahlawan nasional paling berani,” puji Mao, pemimpin tertinggi Komunis Cina pada 1940.
Meski memuja Lu Xun yang anti-penindasan, Mao ironisnya menindas para pengarang dan kaum intelektual lainnya. Ia mengirim orang-orang pandai itu ke desa-desa, di gunung-gunung, untuk “dididik ulang”. Buku-buku, bahkan sepotong biola, pun diperlakukan bak musuh berbahaya bagi revolusi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
`Atiqurrahman
A Muttaqin
A Rodhi Murtadho
A. Iwan Kapit
A. Purwantara
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.H.J Khuzaini
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Malik
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman El Husaini
Abidah El Khalieqy
Abu Salman
Acep Zamzam Noor
Achdiat K. Mihardja
Adek Alwi
Adi Suhara
Adnyana Ole
Adreas Anggit W.
Afrion
Afrizal Malna
Aguk Irawan MN
Agung Dwi Ertato
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agusri Junaidi
Agustinus Wahyono
Ahda Imran
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Fanani Mosah
Ahmad Fatoni
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musabbih
Ahmad Rofiq
Ahmad Sahidah
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alex R. Nainggolan
Alex Suban
Alunk Estohank
Ami Herman
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Aminudin R Wangsitalaja
Anastasya Andriarti
Andreas Maryoto
Anes Prabu Sadjarwo
Angela
Angga Wijaya
Angkie Yudistia
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Kurniawan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Anwar Nuris
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif B. Prasetyo
Arif Bagus Prasetyo
Arif Hidayat
Arman A.Z.
Arti Bumi Intaran
Arys Hilman
AS Sumbawi
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh SABENA
Astrikusuma
Asvi Warman Adam
Atep Kurnia
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Badrut Tamam Gaffas
Bagja Hidayat
Bagus Takwin
Balada
Bale Aksara
Baltasar Koi
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bayu Insani
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Blambangan
Brunel University London
BSW Adjikoesoemo
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Saputra
Budi Suwarna
Bung Tomo
Cak Kandar
Catatan
Cerpen
Chairil Anwar
Chavchay Syaifullah
Cucuk Espe
Cunong N. Suraja
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Daisuke Miyoshi
Damanhuri
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Dhakidae
Dante Alighieri
Deddy Arsya
Dedy Tri Riyadi
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Detti Febrina
Dharmadi
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Sukarno
Diana A.V. Sasa
Dicky Fadiar Djuhud
Didi Arsandi
Dimas
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djadjat Sudradjat
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Doddy Hidayatullah
Donny Anggoro
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Muhammad Zafar Iqbal
Dr. Simuh
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwicipta
Dwijo Maksum
Edy A. Effendi
Edy Firmansyah
Efri Ritonga
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendri Saiful
Elik
Elsya Crownia
Emha Ainun Nadjib
Endah Sulawesi
Endah Wahyuningsih
Endang Suryadinata
Endhiq Anang P
Endri Y
Eriyandi Budiman
Ernest Hemingway
Esai
Esha Tegar Putra
Eva Dwi Kurniawan
Evi Dana Setia Ningrum
Evi Idawati
Evieta Fadjar
F Rahardi
Fabiola D. Kurnia
Fadelan
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Faizal Syahreza
Fajar Alayubi
Fandy Hutari
Fany Chotimah
Fatah Yasin Noor
Fathor Lt
Fathurrahman Karyadi
Fatih Kudus Jaelani
Fatma Dwi Rachmawati
Fauzi Absal
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fina Sato
Fitri Susila
Galih Pandu Adi
Gde Agung Lontar
Geger Riyanto
Gerakan Literasi
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Ginanjar Rahadian
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Martin
Gus tf Sakai
Gusti Eka
Hadi Napster
Haji Misbach
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko F. Zainsam
Hari Santoso
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helwatin Najwa
Hepi Andi Bastoni
Heri C Santoso
Heri KLM
Heri Latief
Heri Listianto
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Heru Emka
Heru Kurniawan
Heru Prasetya
Hesti Sartika
Hudan Hidayat
Humaidiy AS
I Made Asdhiana
I Made Prabaswara
I Nyoman Suaka
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ida Ahdiah
Idayati
Ignas Kleden
Ihsan Taufik
Ilenk Rembulan
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imam Cahyono
Imam Jahrudin Priyanto
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah Darmastuti
Indiar Manggara
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Irma Safitri
Irman Syah
Iskandar Noe
Istiqomatul Hayati
Ita Siregar
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya-Djafar
Iyut FItra
Jadid Al Farisy
Jafar M. Sidik
Jakob Sumardjo
Jamal D Rahman
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
Jefri al Malay
Jihan Fauziah
JJ. Kusni
Jo Pakagula
Johan Edy Raharjo
Joko Pinurbo
Jokowi Undercover
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Juli Sastrawan
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Kadir Ruslan
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Khamami Zada
Khrisna Pabichara
Kikin Kuswandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Korrie Layun Rampan
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kristianto Batuadji
Kritik Sastra
Kunni Masrohanti
Kunthi Hastorini
Kuntowijoyo
Kurie Suditomo
Kurnia EF
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Kuswinarto
Lan Fang
Landung Rusyanto Simatupang
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Liestyo Ambarwati Khohar
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
LN Idayanie
Lucia Idayani
Lukman Asya
Lusiana Indriasari
Lynglieastrid Isabellita
M Hari Atmoko
M. Aan Mansyur
M. Arman A.Z
M. Bagus Pribadi
M. Fadjroel Rachman
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Luthfi Aziz
M. Nahdiansyah Abdi
M. Raudah Jambak
M. Shoim Anwar
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Maghfur Saan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Majalah Sastra Horison
Maklumat Sastra Profetik
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Serenade Sinurat
Mario F. Lawi
Marluwi
Marsel Robot
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Mashuri
Matdon
Mega Vristian
Melani Budianta
Melayu Riau
Memoar
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftah Fadhli
Miftahul Abrori
Misbahus Surur
Miziansyah J
Mochtar Lubis
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
MT Arifin
Mugy Riskiana Halalia
Muhajir Arrosyid
Muhamad Rifai
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Al-Mubassyir
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Muhlis Al-Firmany
Mujtahid
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Murniati Tanjung
Murnierida Pram
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustaan
Mustafa Ismail
N. Mursidi
Nafsul Latifah
Naskah Teater
Nasrullah Nara
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Nh. Anfalah
Ni Made Purnama Sari
Nina Mussolini-Hansson
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noura
Nova Christina
Noval Jubbek
Novela Nian
Nugroho Notosusanto
Nugroho Pandhu Sukmono
Nur Faizah
Nurdin F. Joes
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Nyoman Wirata
Oka Rusmini
Oktamandjaya Wiguna
Oky Sanjaya
Olanama
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Pagelaran Musim Tandur
Pamusuk Eneste
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
PDS. H.B. Jassin
Penghargaan Hadiah Sastra Pusat Bahasa
Persda Network
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prita Daneswari
Prof. Tamim Pardede sebut Bambang Tri
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puisi Kesunyian
Puisi Sufi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Sugiarti
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Ragdi F. Daye
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan KH
Ratih Kumala
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Remy Sylado
Reni Susanti
Renny Meita Widjajanti
Resensi
Restu Kurniawan
Retno Sulistyowati
RF. Dhonna
Rian Sindu
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Riki Utomi
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Abdullah
Rosidi
Rosihan Anwar
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Sinansari Ecip
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Anam Assyaibani
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Teater Jerit
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian
Sartika Dian Nuraini
Sastra Tanah Air
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
Sazano
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seli Desmiarti
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seno Joko Suyono
SH Mintardja
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sipri Senda
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sobih Adnan
Sofian Dwi
Sofie Dewayani
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sri Ruwanti
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Stefanus P. Elu
Sukron Abdilah
Sulaiman Djaya
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susanto
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyadi
Suyadi San
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syamsiar Hidayah
Syarbaini
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Taufik Abdullah
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
TE. Priyono
Teguh Afandi
Teguh Ranusastra Asmara
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tita Tjindarbumi
Titik Alva-Alvi Choiriyah
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Tosa Poetra
Tri Lestari Sustiyana
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Ugoran Prasad
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utada Kamaru
UU Hamidy
Vera Ernawati
Veronika Ninik
W.S. Rendra
Wahjudi Djaja
Wahyu Hidayat
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Budiartha
Widya Karima
Wijaya Herlambang
Wiji Thukul
Willem B Berybe
Wilson Nadeak
Winarni R.
Wiratmo Soekito
Wita Lestari
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yasser Arafat
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yonatan Raharjo
Yonathan Rahardjo
Yopi Setia Umbara
Yos Rizal S
Yos Rizal Suriaji
Yudhi Herwibowo
Yuka Fainka Putra
Yurnaldi
Yushifull Ilmy
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zainal Abidin
Zainal Arifin Thoha
Zawawi Se
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar